Anda di halaman 1dari 19

Bid’ah-Bid’ah Dalam Peringatan Maulid Nabi SAW

A. Latar Belakang

Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada

mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab

waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari

serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris. Kita

mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun

1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap

Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat

perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam

terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu

khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun

hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi orang Eropa menyebutnya

Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata.

Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada

Dinasti Bani Ayyub katakanlah dia setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya

berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya

membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata

Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan

cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin

mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad

1
SAW, 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu

saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad

yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji

bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa

haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi

kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-

masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada,

bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan

sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan

semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi

peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut

ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi

Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah

kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat

ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada

peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah

menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian

bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan

sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang

menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang

2
dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di

kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah

keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi

rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi

Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh

Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama

sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya

berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk

meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian

lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan

Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam

menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil

menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem

direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa

menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi

atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan

berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain

(dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya

3
perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa

diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan

ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai

Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan

Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang

baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu

memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa

Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut

Gerebeg Mulud. Kata “gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan

dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti

perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi

gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan

Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul

Adha).

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga

Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah

dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam

peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan

sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada

yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke

beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara

4
sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang

diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang

menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab sejenis

Barzanji). Bisa juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti

penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-

lain, dan puncaknya ialahmau’izhah hasanah dari para muballigh kondang.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai

bid’ah atauperbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah

hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak

memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun

sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan,

tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri

sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan

Muludan.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW

bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at

kepadanya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat

mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya

dengan menghidupkan Islam!”

”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada

waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan hari

5
kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena perayaan

hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, lebih

dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya

semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat

syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk

melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat

beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di

masa generasi yang utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah

bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).)

B. Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud

saja (bahasa Arab: ‫ مولد النبي‬،‫)مولد‬, adalah peringatan hari lahir Nabi

Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul

Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti hari lahir.

Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat

Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi,

peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada

Rasulullah Muhammad SAW.

C. Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh

Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa

6
pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang

berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin

sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi

Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat

itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen

Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.

D. Hukum Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga

Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan

sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya

memperingati maulid Nabi r ?

Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah

menjawab:

1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath’i (pasti),

bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang

mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan)

Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian

maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati

pada malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila

dilihat dari sisi sejarahnya.

2. Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada

dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari’atkan

7
dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh

Nabi atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya.

Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan

kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini,

karena Allah ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .

Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti

ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan

termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran

agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah

dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid

Nabi r tersebut.

Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat

sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah,

maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh

jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah.? Hal ini

jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita

telah membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah

dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman

Allah ta’ala :

8
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan

telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i islam

itu jadi agama bagimu“. Q.S; Al-Maidah : 3.

Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid

Nabi termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia

telah dirayakan sebelum Rasulullah meninggal dunia. Dan jika ia

bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan

dari ajaran agama, karena Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah

Ku sempurnakan untuk kamu agamamu.“

Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian

dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara

baru dalam agama (bid’ah) sesudah wafatnya Rasulullah, dan pada

perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia

ini (Q.S; Al-Maidah : 3).

Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang

mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya

bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan

kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah

(semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan

maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta

kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang

tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya

terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh

9
manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan)

Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam

kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam

mengamalkan syari’at Nabinya.

E. Sejarah Munculnya Maulid Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya penyelenggaraan perayaan yang memperingati

peristiwa-perisiwa Islam tertentu yang kemudian dijadikan sebagai

perantara untuk mendapat berkah itu, pada mulanya hanya dikenal oleh

kelompok kebatinan yang buruk. Mereka adalah Bani Ubaid Al Qaddah

yang menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.

Upacara maulid adalah termasuk perbuatan yang dicontohkan oleh

para ahli penyimpangan dan kesesatan, sesungguhnya orang yang pertama

yang memunculkan perayaan upacara maulid adalah orang-orang dari Bani

Fatimiyyun dari golongan Ubaidiyyun yang hidup dikurun waktu ke-4

Hijriyah.

Mereka ini sengaja mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah

radhiallahu anha secara dzalim dan untuk mencemarkan nama baiknya

padahal sebenarnya mereka adalah sekelompok orang-orang Yahudi atau

ada yang mensinyalir bahwa mereka dari orang Majusi (penyembah api)

bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok Atheis.

Pendapat lain, seperti Imam As Suyuthi dalam Husnul Maqshud fi

Amal Al Maulid menegaskan:

10
“Orang yang pertama kali mengadakan peringatan hari Maulid Nabi

adalah penduduk Irbal, Raja Agung Abu Sa’id Kau Kaburi bin Zainuddin

Ali bin Bakitkin, seorang raja negeri Amjad.

Dan ini diikuti oleh Syaikh Muhammad bin Abu Ibrahim Alu Syaikh:

“Bid’ah peringatan Maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa’id

Kau Kaburi pada abad ke-6 H”

Syaikh Hamud Tuwaijiri: “Upacara peringatan maulid adalah bid’ah

dalam Islam yang diadakan oleh sulthan Irbal pada akhir abd ke-6H atau

pada awal abad ke-7H.”

Al Ubaidiyyun memasuki Mesir 362 H dan raja terakhirnya Al Adhid

meninggal 567 H, sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549 H dan

meninggal 630 H, ini menjadi bukti bahwa kelompok Ubadiyyun lebih

dahulu daripada penguasa Irbal -Al Malik Al Mudzaffar - dalam

mengadakan upacara peringatan maulid Nabi.

Bukan tidak sah mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang

pertama kali mengadakan Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan

Al Ubaidiyyun diadakan di negeri sendiri - Mesir, seperti yang dijelaskan

dalam buku-buku sejarah.

Jutaan umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12

Rabi’ul Awwal setiap tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw.

Kaum muslimin saling memberi ucapan selamat, hadiah, dan aneka

hidangan yang dipersiapkan untuk peringatan tersebut, bahkan penjual

11
aneka makanan mendapatkan pesanan yang beragam dan melimpah, sesuai

kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.

Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di

kalangan pejabat, raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi

ucapan selamat, do’a-do’a keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al

Qur’an, orasi dan pidato politik.

Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid Nabi bermula ?

Apakah peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ? Apa hukumnya

secara syariah memperingati maulid ini?

Pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang saat ada peringatan maulid

setiap tahunnya. Bersamaan dengan itu, masih ada perdebatan seputar

hukum memperingati maulid, meskipun Rasulullah saw sendiri tidak pernah

memperingati hari kelahirannya, begitu juga dengan para sahabat dan tabi’in

yang merupakan generasi pilihan.

F. Tradisi Fathimiyyah

Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada

sekelompok pendukung Fathimah putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin,

mereka lah pertama kali yang mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi

Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara besar-besaran, mereka

membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati kelahiran

Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait”

Nabi saw.

12
Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak

mutlak peringatan Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan

agama yang tidak ada dasar hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah

memperingati hari kelahirannya sepanjang hidupnya, begitu juga para

sahabat dan tabi’in.

‫ “من أحدث في‬:‫وهو القائل صلى هللا عليه وسلم‬

‫”أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami

yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya tidak termasuk

dari ajaran Islam.

Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek

perayaan maulid ketika masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan

dalam menyebarkan ajaran syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana

yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah

penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta keluarga Nabi dan disertai

dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan hukum, seperti berlebihan

di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara sufiestik yang sudah

menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain Allah, bernadzar

kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi

semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di

belahan dunia lainnya.

13
G. Bagi Yang Tidak Memperingati

Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al

Maliki Al Husni, seorang ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati

maulid Nabi dengan diisi kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah

perjalanan hidup Nabi saw dan memperdengarkan pujian-pujian

terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi

kegembiraan terhadap umat Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya

pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu, karena itu termasuk

katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari

kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat

diciptakan dirinya dimuka bumi dengan membawa misi rahamatan

lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika

Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam

setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam

Bukhari dan Muslim, (‫)ذلك يوم فيه ولدت‬. “Itu hari, saya dilahirkan.”

Terkait bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr

Al Husni mengatakan, “Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh

generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh

dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu

sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i menjadi wajib hukumnya,

sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya

haram.”

14
Menurut padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid Nabi

membawa mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di

dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan

fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa

manfaat.

H. Tergantung Kegiatan

Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya

bercampur dengan bid’ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad

Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada hukum asli, yaitu “Menolak

kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih mashalahat.”

Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga

membolehkan. Sebagian ada yang malah menganjurkan, seperti Imam

Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani, namun mereka

mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka ini bersandar pada

firman Allah swt, {‫“ }وذكرهم بأيام هللا‬Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari

Allah.”

Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh ‘Athiyyah Shaqr

rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya memperingati maulid

Nabi dengan syarat.

Fatwa itu tertuang sebagai berikut, “Rasulullah saw telah

menetapkan bahwa hari di mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan

dibanding dengan hari-hari lainnya. Setiap mukmin hendaknya bersungguh-

15
sungguh dalam meraih keagungan pahala, mengutamakan amal. Itulah

alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah swt atas

pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang

memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa

kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya

secara khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas

apa yang disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan

pribadi Rasul, tidak keluar dari koridor syariat dan berubah menjadi hal

yang diharamkan secara hukum, seperti ikhthilat atau campur baur laki-laki

dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan

hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan

bid’ah adalah tawasul terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan

ajaran agama dan bertentangan dengan adab.

Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka

yang diutamakan adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul.

“Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat.”

Namun jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i

didapatkan, maka tidak ada larangan memperingati maulid Nabi dengan

tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai kemampuan.”

I. Kesimpulan

Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r

dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, dan pengagungan

16
terhadap Rasulullah r termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita

tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid’ah)

yang bukan syari’at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi termasuk bid’ah

dalam agama dan termasuk yang diharamkan.

Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan

maulid Nabi terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan

syar’i, indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang

didalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi, hingga terjadi

pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta’ala kita berlindung

kepada Allah dari hal ini.

Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang

mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah

maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah

Musthafa ), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh

Rasulullah telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap

kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.

Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati

kedatangan ruh Nabi, karena Rasulullah merasa enggan (tidak senang) apabila

ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan

pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah melebihi yang lainnya, akan tetapi

mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka

melihat keengganan Rasulullah dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak

17
mereka lakukan pada saat Rasulullah masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut

bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.

Bid’ah ini, maksudnya adalah bid’ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3

(tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).

sesungguhnya Peringatan maulid Nabi telah menodai kesucian aqidah dan juga

mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita)

serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah – Al-

Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa

Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.

Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany

Kabbani, Syekh M. Hisyam, Ensiklopedi Akidah Ahlusanah : Maulid dan

Ziarah Ke Makam Nabi, penerbit Serambi, 2007

Muthohar Ahmad, Maulid Nabi : Menggapai Keteladan Rasullah SAW,

Lkis, Februari 2011.

Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah Edisi Fatwa Terkini Jilid

2, Penyusun : Syaikh Khalid al Juaraisy, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan

Pertama, Dzulhijjah 1424.

http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-172.html

http://www.box.net/encoded/6870461/67171703/226a37b841e29f599bfb2

18
19

Anda mungkin juga menyukai