Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ke Nu an
“ Pandangan NU tentang Maulid Nabi Muhammad SAW “
Dosen Pengampu :

Tamim Ali A, M.Ag

Oleh :

1. Ulul Azmi Ramdani / 1420121005

2. Elmia loezia / 1420121040

3. Siti rohajani Azizah / 1420121039

4. Khoirun Isa Nursasi Kirana /1420121041

5.Baiq Elsa Julia Dinova / 1420121002

6.Lale Erika Cahya Kartika / 1420121015

7.Ahmad Yani / 1420121050

8.Ahmad Santoni / 1420121023

9. Lulus ujiandari / 1420121025

10. Rahmadian Jelsa / 1420121049

11.Rosita Sri hariana / 1420121026

12.Tina Septiani / 1420121061

Prodi Keperawatan

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN BAGU ( UNIQHBA )

1
2021/202

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kasih dan karunia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah bahasa indonesia yang bertemakan “Pandangan NU
tentang Maulid Nabi Muhamad SAW” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang pandangan NU tentang maulid
nabi Muhamad. Adapun penjelasan-penjelasan pada makalah ini saya ambil dari beberapa
sumber buku dan website.
Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini, akan tetapi saya juga menyadari bahwa terdapat kekurangan di dalam makalah
ini. Untuk itu dengan senang hati saya senantiasa menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun para pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Narmada, 25 April 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I

DAFTAR ISI II

BAB I PENDAHULUAN III

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4

BAB II PEMBAHASAN 2

A. Pengaertian Maulid Nabi Muhammad Saw 5


B. Sejarah Maulid Nabi Muhammad Saw 5
C. Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw 6
D. Sejarah Munculnya Maulid Nabi Muhammad Saw 8
E. Pandangan NU Tentang Maulid Nabi Muhammad Saw 10
F. Tradisi Fathimiyyah 13
G. Bagi Yang Memperingati 14
H. Tergantung Kegiatan 15

BAB III KESIMPILAN 17

DAFTAR PUSTAKA 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya

diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam

sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni

dari Prancis, Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau

The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan

menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat

perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam

terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah

tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai

lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi orang Eropa menyebutnya Saladin,

seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah

para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub katakanlah dia

setingkat Gubernur. Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan

daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung

Arabia. Kata Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali

dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin

mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12

Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa

diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

4
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-

Nashir, ternyata khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579

H (1183 Masehi), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah

dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali

ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam

di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal

dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan

semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan

seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma

ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian

menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan

syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan

bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan

Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan

sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang

seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi

tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca

masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah

keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul.

Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta

5
berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil

dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin

Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya

tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang

disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi

kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu

membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib

bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun

1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan

Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau

Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai

kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat

syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi

disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan

Sunan Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang

ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum

menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan

mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang

“pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, artinya Dia

mengampuni).

6
Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg

Mulud. Kata “gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar

keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap

dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg

Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar

(menyambut Idul Adha).

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul

Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala

oleh anak-anak NU. Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini

amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan

Rabius Tsany (Bakdo Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan

spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang

menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak

besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga

yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Ada yang hanya membaca Barzanji atau Diba’ (kitab sejenis Barzanji). Bisa

juga ditambah dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian

hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya

ialahmau’izhah hasanah dari para muballigh kondang.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah

atauperbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah

(bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang

muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam,

antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak

7
bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara

temanten dan Muludan.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW

bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di

Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa

yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain,

sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah

yang diada-adakan dalam agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah

merayakan hari kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama

Islam dan pembuat syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan

untuk melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi

yang utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa

Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).)

B. Rumusan Masalah
1. pengertian maulid nabi Muhammad SAW
2. Sejarah maulid nabi Muhammad SAW
3. Hukum memperingati maulid nabi Muhammad SAW
4. Sejarah munculnya maulid nabi Muhammad SAW
5. Tradisi Fathimiyyah

C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui apa itu maulid nabi Muhammad SAW
2. Agar mahasiswa mengetahui seperti apa pandangan NU tentang maulid nabi
Muhammad SAW

8
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa

Arab: ‫ مولد النبي‬،‫)مولد‬, adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam

tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah

dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang

berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara

subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada

Rasulullah Muhammad SAW.

B. Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-

Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin

Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal

dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan

9
kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin

saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa

dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.

C. Hukum Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga Allah

membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik

balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?

Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjawab:

1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan

sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan

bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan

malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi

Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul

Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.

2. Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya.

Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari’atkan dalam agama kita,

maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi atau sudah barang

tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau

laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya

tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :

10
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .

Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya

hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama.

Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan

untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara

peringatan maulid Nabi r tersebut.

Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai

kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah, maka bagaimana

mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar

kita bisa sampai kepada Allah.? Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran

terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari’at baru pada agama-Nya

yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan

terhadap firman Allah ta’ala :

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-

cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i islam itu jadi agama

bagimu“. Q.S; Al-Maidah : 3.

Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi

termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan

sebelum Rasulullah meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari

kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena

11
Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu

agamamu.“

Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari

kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam

agama (bid’ah) sesudah wafatnya Rasulullah, dan pada perkataannya

terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3).

Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara

peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan

(mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta

menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara

peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta

kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah

sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya

sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa

memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang

termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat)

dalam mengamalkan syari’at Nabinya.

D. Sejarah Munculnya Maulid Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya penyelenggaraan perayaan yang memperingati peristiwa-

perisiwa Islam tertentu yang kemudian dijadikan sebagai perantara untuk mendapat

12
berkah itu, pada mulanya hanya dikenal oleh kelompok kebatinan yang buruk. Mereka

adalah Bani Ubaid Al Qaddah yang menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.

Upacara maulid adalah termasuk perbuatan yang dicontohkan oleh para ahli

penyimpangan dan kesesatan, sesungguhnya orang yang pertama yang memunculkan

perayaan upacara maulid adalah orang-orang dari Bani Fatimiyyun dari golongan

Ubaidiyyun yang hidup dikurun waktu ke-4 Hijriyah.

Mereka ini sengaja mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah radhiallahu

anha secara dzalim dan untuk mencemarkan nama baiknya padahal sebenarnya

mereka adalah sekelompok orang-orang Yahudi atau ada yang mensinyalir bahwa

mereka dari orang Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka

berasal dari kelompok Atheis.

Pendapat lain, seperti Imam As Suyuthi dalam Husnul Maqshud fi Amal Al

Maulid menegaskan:

“Orang yang pertama kali mengadakan peringatan hari Maulid Nabi adalah

penduduk Irbal, Raja Agung Abu Sa’id Kau Kaburi bin Zainuddin Ali bin Bakitkin,

seorang raja negeri Amjad.

Dan ini diikuti oleh Syaikh Muhammad bin Abu Ibrahim Alu Syaikh: “Bid’ah

peringatan Maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa’id Kau Kaburi pada

abad ke-6 H”

Syaikh Hamud Tuwaijiri: “Upacara peringatan maulid adalah bid’ah dalam Islam

yang diadakan oleh sulthan Irbal pada akhir abd ke-6H atau pada awal abad ke-7H.”

13
Al Ubaidiyyun memasuki Mesir 362 H dan raja terakhirnya Al Adhid meninggal

567 H, sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549 H dan meninggal 630 H, ini menjadi

bukti bahwa kelompok Ubadiyyun lebih dahulu daripada penguasa Irbal -Al Malik Al

Mudzaffar - dalam mengadakan upacara peringatan maulid Nabi.

Bukan tidak sah mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang pertama

kali mengadakan Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan Al Ubaidiyyun

diadakan di negeri sendiri - Mesir, seperti yang dijelaskan dalam buku-buku sejarah.

Jutaan umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi’ul

Awwal setiap tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin

saling memberi ucapan selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk

peringatan tersebut, bahkan penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang

beragam dan melimpah, sesuai kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.

Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara resmi di kalangan

pejabat, raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do’a-

do’a keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al Qur’an, orasi dan pidato politik.

Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid Nabi bermula ? Apakah

peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ? Apa hukumnya secara syariah

memperingati maulid ini?

Pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap

tahunnya. Bersamaan dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum

memperingati maulid, meskipun Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati

14
hari kelahirannya, begitu juga dengan para sahabat dan tabi’in yang merupakan

generasi pilihan.

E. Pandangan NU Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW

Hingga kini beberapa kalangan masih bertanya pandangan dari organisasi


masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berkenaan
peringatan hari lahir Nabi Muhammad, atau lebih dikenal sebagai Maulid Nabi.

Hari lahir Nabi Muhammad SAW terjadi pada Senin, 12 Rabiul Awal pada tahun
Gajah atau 570 Masehi. Pada 2021, Maulid Nabi bertepatan dengan hari Senin, 18
Oktober 2021 (matahari terbenam-waktu Magrib) sampai dengan Selasa, 19 Oktober
2021.

Melansir NU Online, disebutkan bahwa Nabi Muhammad memberikan isyarat


pemuliaan bulan Rabiul Awal atau bulan kelahirannya melalui sabda perihal puasa
hari Senin.

Artinya: “Itu (puasa Senin) hari aku dilahirkan, aku diutus, atau hari wahyu
diturunkan kepadaku,” (HR Muslim).

Maulid Nabi diperingati setiap tahunnya di banyak tempat, namun beliau tidak
pernah memperingatinya. Disebutkan bahwa Rasulullah tentu memiliki alasan
khusus kenapa tidak melakukan itu.

Hal ini kadang menjadi alasan bagi sekelompok orang untuk membidahkan praktik
peringatan maulid dengan segala kegiatan yang menyertainya. Misalnya zikir
bersama, Qira’atulQur’an, pelantunanshalawat, pembacaan kitab rawi (kitab sejarah
hidup Nabi Muhammad saw).
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam karyanya Husnul MaqshidfiAmalilMawlid
menjelaskan, kenapa Nabi tidak menyelenggarakan peringatan maulid pada Senin,
bulan Rabiul Awwal, semasa hidupnya. Berikut ini kutipannya:

Artinya: “Nabi Muhammad saw tidak menambahkan sedikitpun ibadah pada bulan
Rabiul Awwal dibanding bulan lainnya kecuali karena kasih sayang dan keramahan
Nabi Muhammad saw terhadap umatnya.

15
Rasulullah saw meninggalkan amal tersebut karena khawatir datang perintah
kewajiban untuk umatnya; (ia meninggalkannya) sebagai bentuk rahmatnya
terhadap mereka.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Husnul MaqshidfiAmalilMawlid, [Beirut,
Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tanpa tahun], halaman 67).

Keengganan Rasulullah untuk menyelenggarakan peringatan maulid mengandung


hikmah tersendiri. Keengganan itu tidak lain merupakan bentuk kasih sayang Nabi
Muhammad saw agar tidak menambah beban bagi umatnya.

Namun, disebukan, apabila masyarakat hendak menyelenggarannya, perlu


diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta
harus atas dasar kemaslahatan.

Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbutanbid’ah dan


mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad saw secara
berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas
sumber dan dalilnya. Nabi Muhammad saw sendiri telah menyatakan dalam sebuah
hadis:

Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda:
Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara
berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan
(memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah,
maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Adapun yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini, adalah peringatan Maulid Nabi
Muhammad saw yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus mengandung
manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan taqwa serta
mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi
Muhammad saw.

Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara menyelenggarakan pengajian atau
acara lain yang sejenis yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi saw.

Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok

pendukung Fathimah putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali

16
yang mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan

peringatan secara besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di

samping memperingati kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran

keluarga “ahlul bait” Nabi saw.

Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak

peringatan Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak

ada dasar hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya

sepanjang hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi’in.

‫ “من أحدث في‬:‫وهو القائل صلى الله عليه وسلم‬

‫”أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami yang tidak

ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.

Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid

ketika masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran

syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus

da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta

keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan hukum,

seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara sufiestik yang

sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain Allah, bernadzar kepada

selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi semenjak kelomopk

Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di belahan dunia lainnya.

17
F. Tradisi Fathimiyyah

Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok

pendukung Fathimah putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali

yang mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan

peringatan secara besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di

samping memperingati kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran

keluarga “ahlul bait” Nabi saw.

Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak

peringatan Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak

ada dasar hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya

sepanjang hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi’in.

‫ “من أحدث في‬:‫وهو القائل صلى الله عليه وسلم‬

‫”أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami yang tidak

ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.

Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid

ketika masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran

syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus

da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta

keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan hukum,

seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara sufiestik yang

sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain Allah, bernadzar kepada

18
selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi semenjak kelomopk

Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di belahan dunia lainnya.

G. Bagi Yang Tidak Memperingati

Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al Maliki Al Husni,

seorang ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi dengan diisi

kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw dan

memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan,

menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat Islam. Meskipun ia

menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu,

karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya,

beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya dimuka

bumi dengan membawa misi rahamatan lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari

kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau

berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, ( ‫)ذلك يوم فيه ولدت‬. “Itu hari, saya

dilahirkan.”

Terkait bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husni

mengatakan, “Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak

otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan

kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i

menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram,

maka hukumnya haram.”

19
Menurut padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid Nabi membawa

mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan

dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang

diperbolehkan karena membawa manfaat.

H. Tergantung Kegiatan

Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur

dengan bid’ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan

bersandar pada hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada

meraih mashalahat.”

Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan.

Sebagian ada yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu

Hajar Al Asqalani, namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat

mereka ini bersandar pada

firman Allah swt, {‫“ }وذكرهم بأيام الله‬Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”

Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh ‘Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah

berfatwa tentang dibolehkannya memperingati maulid Nabi dengan syarat.

Fatwa itu tertuang sebagai berikut, “Rasulullah saw telah menetapkan bahwa

hari di mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya.

Setiap mukmin hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala,

mengutamakan amal. Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah

swt atas pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang

20
memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa kelestarian.

Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara khusus. Bahkan

dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang disyariatkan,

mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak keluar dari

koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara hukum, seperti

ikhthilat atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang

tidak ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang

dikatagorikan bid’ah adalah tawasul terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai

dengan ajaran agama dan bertentangan dengan adab.

Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang

diutamakan adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul. “Mencegah

kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat.”

Namun jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan,

maka tidak ada larangan memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-

hal negatif sesuai kemampuan.”

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi dengan tujuan

untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r

21
termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk

mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid’ah) yang bukan syari’at-Nya. Oleh karena

itu peringatan maulid Nabi termasuk bid’ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.

Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi

terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar’i, indera maupun

akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung

pengkultusan terhadap Nabi, hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya

kepada Allah ta’ala kita berlindung kepada Allah dari hal ini.

Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang

mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid

(kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa ), maka mereka

semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah telah datang, maka kami

berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.

Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh

Nabi, karena Rasulullah merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri

untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap

Rasulullah melebihi yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan

mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah dengan perbuatan

tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah masih hidup, lalu bagaimana

hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.

Bid’ah ini, maksudnya adalah bid’ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun

waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). sesungguhnya Peringatan

22
maulid Nabi telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath

(bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara

munkar yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah – Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil

23
Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-

Anshariy.

Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany

Kabbani, Syekh M. Hisyam, Ensiklopedi Akidah Ahlusanah : Maulid dan Ziarah Ke

Makam Nabi, penerbit Serambi, 2007

Muthohar Ahmad, Maulid Nabi : Menggapai Keteladan Rasullah SAW, Lkis, Februari

2011.

Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah Edisi Fatwa Terkini Jilid 2, Penyusun :

Syaikh Khalid al Juaraisy, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1424.

http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/12/1/pustaka-172.html

http://www.box.net/encoded/6870461/67171703/226a37b841e29f599bfb2

24

Anda mungkin juga menyukai