Karena situasi sekarang tidak memungkinkan, kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan
kumpulan atau beramai-ramai dalam memperingati Tahun Baru Islam ini.
Tapi tak usah khawatir, kita masih bisa mengirimkan pesan dan kata-kata maupun ucapan
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram kepada teman, kerabat, maupun sahabat.
Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender hijriah yang memiliki sejarah panjang
dalam Islam. Berbagai kejadian penting mewarnai perjalanan bulan ini di masa lalu mulai dari
tonggak awal sejarah Islam hingga peristiwa berdarah yang melahirkan perpecahan di tubuh
Islam sendiri. Kata "Muharam" dalam bahasa Arab artinya "yang dilarang". Mengenai Muharam
ini, Allah SWT berfirman dalam Alquran surah At-Taubah ayat 36:
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah [ketetapan]
agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (Q.S At-Taubah [9]: 36).
Empat bulan haram yang dimaksud ayat di atas,adalah Muharram, Zulqo’dah, Zulhijah dan
Rajab. Maksudnya, pada waktu-waktu tersebut, aktivitas tertentu menjadi terlarang untuk
dilakukan, terutama berperang. Sejarah ringkas Muharam akan dibagi menjadi tiga babak: awal
hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, kemudian penetapan kalender hijriah,
dan peristiwa Karbala saat pembunuhan cucu Rasulullah SAW, Husein bin Ali yang juga terjadi
di Muharam.
HIJRAH NABI
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa hijrah ketiga
selepas hijrah ke Habasyah dan Thaif. Namun, peristiwa hijrah ke Madinah inilah yang
merupakan tonggak awal pembentukan masyarakat Islam yang mandiri dan berdaulat. Karena
itu, ia bernilai penting dan tak tergantikan dalam sejarah keemasan Islam. Selama 13 tahun
selepas diangkat menjadi nabi dan rasul, Muhammad SAW melakukan dakwah di Mekkah.
Tetapi, ajakan untuk masuk Islam mengalami kendala besar di tanah kelahirannya. Tekanan dan
ancaman terus dirasakan oleh penganut Islam di masa awal dakwah nabi. Berkali-kali,
Rasulullah SAW menerima ancaman pembunuhan yang dilancarkan oleh kafir Quraisy. Hal itu
terus terjadi hingga tahun ke-11 masa kenabian. Namun, setiap musim haji tiba, Nabi
Muhammad SAW selalu menemui kabilah-kabilah luar Mekkah yang datang ke Ka'bah untuk
membacakan Alquran dan mengajak untuk masuk Islam. Awalnya tak ada yang menyambut
dakwah Nabi SAW, hingga suatu ketika di Aqabah, daerah antara Mina dan Mekkah, Rasulullah
SAW bertemu dengan sekelompok orang dari kabilah Khazraj yang menerima dengan terbuka
dakwah Islam. Merekalah mula-mula penduduk Madinah yang membawa pulang ajaran Islam
dan menyebarkannya di daerah asal mereka. Di Aqabah itulah pembaitan pertama dilakukan
Rasulullah SAW, cikal bakal terbentuknya masyarakat Islam Madinah. Setahun berikutnya, 12
lelaki dari Anshar, Madinah menemui Rasulullah SAW menyatakan tunduk ke agama Islam.
Sejak itu, kekuatan Islam mulai terbangun di Madinah, yang memantik kehendak Nabi
Muhammad SAW untuk berhijrah ke sana. Niat untuk berhijrah ini muncul di bulan Muharam.
Peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah ini merupakan kejadian mengharukan. Di momen-
momen itu, kaum Quraisy menyusun makar untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Untuk
memutuskan hal itu, dilakukanlah rapat penting di Dar al-Nadwa, tempat Qushay bin Kilab.
Dalam musyawarah, diusulkan bahwa Nabi Muhammad SAW harus segera dibunuh. Namun,
karena Rasulullah SAW merupakan pemuda yang lahir dari kabilah Abdi Manaf, salah satu
kabilah terpenting di Arab, maka dilakukanlah makar dan tipu muslihat agar kabilah itu tidak
dapat menuntut balik, jika Nabi SAW berhasil dibunuh. Rencana itu dilakukan dengan meminta
agar semua suku Arab mengirimkan satu utusan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Tipu
daya itu digambarkan Alquran dalam surah Al-Anfal ayat 30: “Dan [ingatlah], ketika orang-
orang kafir [Quraisy] memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan
memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan
Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal
[8]: 30). Pada malam keberangkatan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, rumah Rasulullah
dijaga ketat oleh utusan pemuda dari kabilah-kabilah Arab agar beliau tidak bisa lolos. Namun,
karena pertolongan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW berhasil pergi dengan selamat. Di dipan
tempat Nabi SAW tidur, Ali bin Abi Thalib berkorban dengan berbaring mengenakan selimut
beliau. Alhasil, di pagi harinya, ketika orang-orang yang ditugaskan membunuh Nabi SAW
meringkusnya, sosok yang mereka inginkan sudah tiada lagi. Nabi Muhammad SAW keluar
untuk berhijrah bersama sahabat seperjalanannya, Abu Bakar As-Shiddiq menuju gua di bukit
Tsur pada 2 Rabi'ul Awwal atau 20 Juli 622 masehi. Setelah tiga hari bersembunyi di gua itu,
mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah.
KALENDER HIJRIYAH
Momen hijrah dari Mekah ke Madinah itu dianggap sebagai tonggak penting dalam sejarah
Islam. Karena itulah, penanggalan komariah yang digunakan umat Islam dijuluki kalender hijriah.
Disebut demikian karena penanggalan itu berpatokan pada tahun pertama hijrah dari Mekkah ke
Madinah. Namun, pada dasarnya kalender hijriah ini baru digunakan secara masal dan ditetapkan
sebagai kalender resmi di masa Kekhalifahan Rasyidin, khususnya di tampuk khalifah Umar bin
Khattab. Ide untuk merumuskan dan menetapkan kalender resmi Islam ini lahir dari usul gubernur
Abu Musa al-Asy’ari yang mengalami kesulitan dalam pengarsipan surat yang ditulis tanpa tanda
tahun. Hal ini dikarenakan bangsa Arab biasanya hanya menyematkan tanggal dan bulan, tanpa
membubuhi tahun. Misalnya saja, pencatatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, diketahui jatuh
pada 12 Rabi'ul Awal tahun Gajah. Pengingat tahun disematkan pada salah satu kejadian penting
di antara banyak peristiwa yang terjadi sepanjang tahun. Umar bin Khattab lantas melihat urgensi
untuk segera merumuskan kalender Islam. Karena itu, ia mengumpulkan orang-orang terkemuka
dan pakar di masa itu untuk merumuskan penetapan kalender yang akan digunakan. Dalam
"Konsolidasi Metodologis Kalender Islam Internasional" yang ditulis Muh. Rasywan Syarif di
Jurnal Bimas Islam, mereka yang berdiskusi di musyawarah itu adalah Umar bin Khattab, Usman
Bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Shalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Dari situ,
diputuskanlah untuk menggunakan kalender lunar yang berpatokan pada peredaran bulan
mengelilingi matahari, bukan penanggalan syamsiat sebagaimana yang jamak digunakan saat ini.
Kalender komariah ini menghitung durasi satu tahun dari 12 siklus sinodis bulan atau 12 fase
ketika hilal tampak setiap bulannya. Berbeda dengan penanggalan syamsiat yang jumlah harinya
30 atau 31 per bulan, pada kalender lunar, rata-rata per bulannya adalah 29,53 hari. Yang menjadi
perbedaan pendapat pada musyawarah itu adalah penetapan awal tahun dalam kalender Islam. Ada
lima usul penetapan tahun pertama di penanggalan Islam di waktu itu, yaitu agar tahun pertama
dimulai ketika wafat Rasululullah, atau sejak peristiwa Isra Mi'raj, atau sejak Nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi rasul, atau sejak kelahiran Rasulullah SAW, hingga usul Ali bin Abi
Thalib agar kalender Islam dimulai sejak hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.
Usul Ali bin Abi Thalib kemudian yang diterima anggota musyawarah. Sejak 8 Rabi'ul Awal 17
H, kalender Islam ditetapkan dan digunakan secara luas di bawah panji Kekhalifahan Rasyidin.
Kalender hijriah mulai dipakai di masa Umar bin Khattab. Karena berpatokan pada tahun hijrah
Nabi Muhammad SAW, kalender itu dikenal dengan sebutan penanggalan hijriah.
TRAGEDI KARBALA
Tragedi Karbala Selain berbagai peristiwa penting dan kejadian menggembirakan terjadi di
Muharam, di bulan ini, sejarah juga mencatat pembunuhan cucu Rasulullah SAW, Husen bin Ali
RA. Pembunuhan Husen bin Ali ini dikenal dengan tragedi Karbala, yang terjadi di wilayah 100
km sebelah barat daya Bagdad. Tragedi Karbala ini dimulai dari perseteruan antara khalifah
masa itu, Yazid bin Muawiyah dan Husen bin Ali. Sebagian umat Islam pada pemerintahan
dinasti Umayyah merasa tidak puas dengan cara Yazid memimpin, yang kemudian
mengharapkan agar Husen mengambil alih tampuk khalifah di masa itu. Yazid yang merasa sah
sebagai khalifah melihatnya sebagai upaya kudeta. Merasakan ketidakberesan wilayah
kekuasaannya, Yazid bin Muawiyah yang berkedudukan di Damaskus mulai memata-matai
pergerakan Husen yang saat itu berada di Madinah. Alhasil, karena merasa tidak aman, Husen
lantas pindah ke Mekkah. Penduduk Kufah yang kian tidak puas dengan dinasti Umayyah
meminta Husen bertolak ke Kufah, dengan jaminan sekitar 100.000 penduduk Kufah siap
menyambut kedatangannya. Yazid bin Muawiyah kian waspada. Ia lantas mengganti kepada
daerah Kufah, yang sebelumnya dipegang oleh Nu'man bin Bisyr dengan Ubaidillah bin Ziyad,
yang dirasa lebih bisa mengendalikan keadaan Kufah dengan tangan dinginnya. Setelah dua
utusan Husen bin Ali dibunuh: Muslim bin ‘Aqil dan Qeis bin Mashar As-Saidawiy, hal itu tidak
juga mengendurkan keinginan Husen untuk berangkat ke Kufah. Akhirnya, penduduk Makkah
terpaksa melepas Husein dan rombongannya berangkat menuju Kufah pada 18 Zulhijah tahun
ke-60 Hijriyah. Pada 2 Muharam 61 H, ketika rombongan Husen sampai di Karbala, pasukan
Ubaidillah bin Ziyad juga bertolak dengan kekuatan tempur 4000 pasukan dengan persenjataan
lengkap, dipimpin oleh Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash. Setelah mengepung selama delapan
hari, tepat pada 10 Muharam, hari Asyura 61 H atau 10 Oktober 680 M, rombongan Husen yang
berjumlah 72 orang, terdiri dari 32 prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, sisanya anak-anak
dan perempuan. Mereka semua ditumpas oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Setelah
pasukannya habis, akhirnya Husen bin Ali dibunuh. Oleh karena itu, Times of India menuliskan
bahwa selain bulan berkah, Muharam juga sebenarnya bulan duka cita. Tragedi Karbala disebut
sebagai batu tapal terbelahnya antara kaum Sunni dan Syiah di seluruh dunia.