Anda di halaman 1dari 17

KONSEP DASAR

TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

1.1 Konsep Medis


1.1.1 Definisi
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang
ditandai dengan perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi
berkisar antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada TSV
mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada
kebanyakan TSV mempunyai kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi
pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal jantung (Aslinar, 2010).
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah detak jantung yang cepat dan
reguler berkisar antara 150-250 denyut per menit. SVT sering juga disebut
Paroxysmal Supraventrikular Takikardi (PSVT). Paroksismal disini artinya
adalah gangguan tiba-tiba dari denyut jantung yang menjadi cepat.

1.1.2 Elektrofisiologi Takikardi Supraventrikular


Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan
pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan
serta penghantaran rangsang.
1. Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali
menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering
menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
1) Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif
dan fenomena reentry
2) Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak
atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga
bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja
secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu
jantung berkontraksi.

1
3) Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
4) Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana
rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian
yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui.
Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry
terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa
tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau
fibrilasi.
2. Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard
yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade
ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus
SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai
pada percabangan purkinye dalam miokard.
3. Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan
rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.

1.1.3 Klasifikasi
Terdapat 3 jenis TSV yang sering ditemukan pada bayi dan anak, yaitu:
1. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama.
Pada takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak
berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai
pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak
tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).

2
2. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)
Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic,
konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction)
sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction).
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
yang sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS
dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras
tambahan sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras his-purkinye.
Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS
yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang jauh
setelah kompleks QRS.
3. Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan
anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd
terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-
fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi
dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul segera
setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak
karena gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada
sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic.
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh
setelah komplek QRS.

1.1.4 Etiologi
1. Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini
biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan
terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah

3
suatu sindrom dengan interval PR yang pendek daninterval QRS yang lebar;
yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui
jaras tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-
TGA)

1.1.5 Tanda Dan Gejala


1. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur;
defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun;
kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah
jantung menurun berat.
2. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
3. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat
antiangina, gelisah
4. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi
nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau
fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
5. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

1.1.6 Patofisiologi
Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua
mekanisme terjadinya takikardi supraventrikular yaitu Otomatisasi (automaticity)
dan Reentry. Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya
sel yang mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di
atrium, A-V junction, bundel HIS, dan ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi
sumber/fokus otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior. Contoh
takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara
perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi
sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia,
hipomagnesemia, dan asidosis. Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai

4
penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur
konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal
hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur tersebut
harus memiliki blok searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur
konduksi yang tidak mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal
jalur konduksi yang mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran
listrik secara retrograd secara cepat pada jalur konduksi tersebut.

1.1.7 Pathway

Mekanisme SVT

Otomatisasi

Mengalami Percepatan ( di atrium, AV-Juntion, bundle HIS, dan Ventrikel )

Hipokalemia dan Hipoksia

Perubahan irama jantung ventrikel takikardi

Penurunan curah jantung Hipoksia Jaringan

Cardio Cerebral Pulmo

Perubahan irama jantung Hipoventilasi

Kelelahan Pola nafas tidak efektif

Intoleransi aktivitas

1.1.8 Pemeriksaan Penunjang


1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi.
Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan
obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif
(di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu
jantung/efek obat antidisritmia.

5
3. Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan
dengan disfungsi ventrikel atau katup.
4. Scan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu
gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium
dapat menyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat
jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut
contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia

1.1.9 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan segera
1) Pemberian adenosine
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan
berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat
minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10
detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan
menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan
sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal
terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam
terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan
secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50

6
µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250
µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian
pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial
flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien
dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah
pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers,
calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma.
2) Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif.
Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada
konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV.
Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
3) Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada
anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan
sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom
karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi
dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh Wren dkk
tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif dengan
digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh
inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.
4) Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung
kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia,
dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan
kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup
efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang
QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu
terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis
sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan
terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka
dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua
ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasif.
5) Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat
digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama

7
adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan
¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8 jam.
6) Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa
digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa
dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat
meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan mengubah takikardi
dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine)
sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek
vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan
propanolol. Metode ini tidak direkomendasikan pada bayi dengan CHF
karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada bayi
dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam
200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr
terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170
mmHg.
2. Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka
panjang TSV. Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV,
kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah
dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi
sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan
merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang
karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala
klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi.
Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan
obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun
pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi
propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten
digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan
amiodarone.

8
1.2 Konsep Askep
1.2.1 Pengkajian
1. Pengkajian primer :
1) Airway
Apakah ada peningkatan sekret ?
Adakah suara nafas : krekels ?
2) Breathing
Adakah distress pernafasan ?
Adakah hipoksemia berat ?
Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak nafas ?
Apakah ada bunyi whezing ?
3) Circulation
Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
Apakah ada takikardi ?
Apakah ada takipnoe ?
Apakah haluaran urin menurun ?
Apakah terjadi penurunan TD ?
Bagaimana kapilery refill ?
Apakah ada sianosis ?
2. Pengkajian sekunder
1) Riwayat penyakit
a. Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
b. Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit
katup jantung, hipertensi
c. Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya
kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi
2) Kondisi psikososial
a. Pengkajian fisik
b. Aktivitas : kelelahan umum
c. Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin
tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi
ekstra, denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal

9
pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah
jantung menurun berat.
d. Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut,
menolak,marah, gelisah, menangis.
e. Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran
terhadap makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan
kelembaban kulit
f. Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung,
letargi, perubahan pupil.
g. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang
atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
h. Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels,
ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan
seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena
tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
i. Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema,
edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

1.2.2 Intervensi Keperawatan


1.2.2.1 Diagnosa 1 Penurunan Curah Jantung
1. Intervensi Keperawatan
a. Perawatan Jantung
Observasi :
a) Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung
( meliputi dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea, peningkatan CVP )
b) Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
( meliputi peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi
vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
pucat )
c) Monitor tekanan darah ( termasuk tekanan darah ortostatik,
jika perlu )

10
d) Monitor intake dan output cairan
e) Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
f) Monitor saturasi oksigen
g) Monitor keluhan nyeri dada ( mis. Intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presivitasi yang mengurangi nyeri )
h) Monitor EKG 12 sadapan
i) Monitor aritmia ( kelainan irama dan frekuensi )
j) Monitor nilai laboratorium jantung ( mis. Elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro – BNP )
k) Monitor fungsi alat pacu jantung
l) Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
m) Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian
obat ( mis. Beta blocker, ACE inhibitor, calcium channel
blocker, digoksin )
Terapeutik :
a) Posisikan pasien semi fowler atau fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi nyaman
b) Berikan diet jantung yang sesuai ( mis. Batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak )
c) Gunakan stocking elastis atau pneumatic intermiten sesuai
indikasi
d) Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup
sehat
e) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress jika perlu
f) Berikan dukungan emosional dan spiritual
g) Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen
>94%
Edukasi
a) Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
b) Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
c) Anjurkan berhenti merokok
d) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian

11
e) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
b) Rujuk ke program rehabilitasi jantung
a. Perawatan Jantung
Observasi :
a) Identifikasi karakteristik nyeri dada ( meliputi factor pemicu
dan Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan
frekuensi )
b) Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
c) Monitor aritmia ( kelainan irama dan frekuensi )
d) Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia
( mis. Kalium, magnesium serum )
e) Monitor enzim jantung ( mis. CK, CKMB, Troponin T,
Troponin I )
f) Monitor saturasi oksigen
g) Identifikasi stratifikasi pada sindrom coroner akut ( mis.
Skor TIMI, Kilip, Crusade )
Terapeutik
a) Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
b) Pasang akses intravena
c) Puasakan hingga bebas nyeri
d) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress
e) Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan
pemulihan
f) Siapkan menjalani intervensi perkutan, jika perlu
g) Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi
a) Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
b) Anjurkan menghindari manuver valsava ( mis. Mengedan
saat BAB atau batuk )
c) Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
d) Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan

12
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu
b) Kolaborasi pemberian antianginal ( mis. Nitrogliserin, beta
blocker, calcium channel blocker )
c) Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
d) Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
e) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah maneuver
valsava ( mis. Pelunak tinja, antiemetic )
f) Kolaborasi pencegahan thrombus dengan antikoagulan, jika
perlu
g) Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

1.2.2.2 Diagnosa 2 Pola Nafas Tidak Efektif


1. Intervensi Keperawatan
a. Manajemen Jalan Nafas
Observasi :
a) Monitor pola nafas ( frekuensi, kedalaman, usaha nafas )
b) Monitor bunyi nafas tambahan ( mis. Gurgling, wheezing,
ronkhi kering )
c) Monitor sputum ( jumlah, warna, aroma )
Terapeutik :
a) Pertahankan kepatenan jalan nafas
b) Posisikan semi fowler atau fowler
c) Berikan oksigen jika perlu
Edukasi :
a) Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b) Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik
jika perlu
b. Pemantauan Respirasi
Observasi :

13
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
b) Monitor pola nafas ( seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik )
c) Auskultasi bunyi nafas
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g) Monitor saturasi oksigen
h) Monitor nilai AGD
i) Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik :
a) Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan jika perlu

1.2.2.3 Diagnosa 3 Intoleransi Aktivitas


1. Intervensi Keperawatan
a. Manajemen Energi
Observasi :
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
b) Monitor kelelahan fisik dan emosional
c) Monitor pola dan jam tidur
d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik :
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
( mis. Cahaya, suara. Kunjungan )
b) Lakukan rentang gerak pasif dan atau aktif
c) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan

14
d) Fasilitas duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi :
a) Anjurkan tirah baring
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
d) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi :
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
b. Terapi Aktivitas
Observasi :
a) Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam
aktivitas tertentu
b) Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang
diinginkan
c) Identifikasi makna aktivitas rutin ( mis. Bekerja )
dan waktu luang
d) Monitor respon emosional, fisik, social, dan
spiritual terhadap aktivitas
Terapeutik :

a) Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan deficit


yang dialami
b) Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi
dan rentang aktivitas
c) Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan
aktivitas yang konsisten sesuai kemampuan fisik,
psikologis dan social
d) Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
e) Fasilitasi aktvitas fisik rutin

15
f) Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami
keterbatasan waktu, energi atau gerak
g) Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara berat
badan, jika sesuai
h) Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu
Edukasi :
a) Jelaskan metode aktivitas fisik sehari – hari jika
perlu
b) Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, C.M, Gallo B.M. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.1997

Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa
Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.

Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 2001

SDKI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

SIKI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai