Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Aritmia dapat merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau
ekstra kardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya
mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga. Kelainan
irama jantung ini dapat terjadi pada pasin usia muda ataupun usia lanjut.
Aritmia dibagi menjadi kelompok aritmia supraventrikular dan aritmia
ventrikular berdasarkan letak lokasi yaitu di atrial berupa AV node dan berkas His
dan di ventrikel mulai dari infra his bundle. Selain itu aritmia dapat dibagi
berdasarkan frekuensi denyut jantung yaitu bradikardia dan takikardia dengan
nilai normal berkisar antara 60-100/menit. Berdasarkan letak fokus, aritmia
menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dan Supraventricular Extra
Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) dimana fokusnya
berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia)
merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry di sekitar nodus AV
(Lukman, 2010)
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak, bertambah cepat menjadi
berkisar antara 150 sampai 250 per menit. TSV merupakan jenis disritmia yang
paling sering ditemukan. Prevalensi TSV kurang lebih 1 di antara 25.000 individu.
Insiden pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Doniger & Sharieff, 2010).
Deteksi dini jenis takidisritmia ini sangat penting, terutama karena
sifatnya yang gawat darurat. Diagnosis awal dan tatalaksana SVT memberikan
hasil yang memuaskan. Diagnosis dan pemberian terapi yang terlambat akan
memperburuk prognosis, mengingat kemungkinan terjadinya gagal jantung bila
TSV berlangsung lebih dari 24-36 jam, baik dengan kelainan struktural maupun
tidak (Chun & Hare, 2010).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1
3.1 Definisi
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan denyut jantung yang mendadak bertambah cepat.
Perubahan denyut jantung umumnya menjadi berkisar antara 150 kali/menit
sampai 250 kali/menit. (Doniger & Sharieff, 2010).
Kelainan SVT mencakup komponen sistem konduksi di bagian atas
bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS normal.
Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal
jantung.

2.2 Epidemiologi
Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular
yang sering ditemukan. Angka kejadian SVT diperkirakan 1 per 250.000
sampai 1 per 250. Angka kekerapan masing-masing bentuk SVT berbeda
sesuai usia. (Chun & Hare, 2010).
Insiden SVT diperkirakan hampir 50-60% (Schlechte, 2011). SVT
terjadi dengan struktur jantung yang normal dan hanya 15% SVT yang disertai
dengan penyakit jantung, karena obat-obatan atau demam, (Kantoch, 2011).
SVT akan menghilang secara spontan pada beberapa pasien (Hanisch, 2012).
Namun, sampai dengan 33% pasien akan mengalami kekambuhan (Schlechte,
2011). Bahkan, untuk SVT jenis atrioventricular nodal reentrant tachycardia
(AVNRT) biasanya tidak dapat sembuh secara spontan dan membutuhkan
ablasi radiofrekuensi (Sekar, 2013).

2.3 Etiologi
1. Idiopatik, ditemukan hampir setengah jumlah insiden. Tipe idiopatik lebih
sering pada bayi daripada anak.

2
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) 10-20% terjadi setelah konversi
menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan
interval PR yang pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan
oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras
tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-
TGA)

2.4 Klasifikasi
Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:
1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :
a. Sinus tachycardia
b. Inappropriate sinus tachycardia
c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)
2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :
a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)
b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)
c. Atrial fibrillation
d. Atrial flutter
3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :
a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
b. AV reentrant tachycardia (AVRT)
c. Junctional ectopic tachycardia

2.5 Elektrofisiologi
1) Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila
terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama
pengganti).

3
- Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara
aktif dan fenomena reentry
- Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal
tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal,
sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu
bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik
yang memacu jantung berkontraksi.
- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad)
dimana rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd
melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya
dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik.
Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur
(pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi
ektopik atau fibrilasi.
2) Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung disebabkan oleh hambatan hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian
miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi.
Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai
dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras
kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.
3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung terjadi sebagai karena gangguan
pembentukan rangsang dan gangguan hantaran rangsang.

2.6 Mekanisme Takiaritmia


4
Gangguan ini dapat dibagi menjadi:
a. Peningkatan Automatisasi
Pada keadaan normal, automatisasi (depolarisasi spontan)
hanya terjadi pada nodus SA. Hal ini disebabkan karena impuls-
impuls yang dicetuskan di nodus SA sedemikian cepatnya sehingga
menekan proses automatisasi di sel lain.Apabila terjadi perubahan
tonus susunan saraf pusat otonom atau karena suatu penyakit di
Nodus SA sendiri maka dapat terjadi aritmia
b. Trigger Automatisasi
Dasar mekanisme trigger automatisasi ialah adanya early
dan delayed after-depolarisation yaitu suatu voltase kecil yang
timbul sesudah sebuah potensial aksi,apabila suatu ketika terjadi
peningkatan tonus simpatis misalnya pada gagal jantung atau
terjadi penghambatan aktivitas sodium-potassium-ATP-ase
misalnya pada penggunaan digitalis, hipokalemia atau
hipomagnesemia atau terjadi reperfusi jaringan miokard yang
iskemik misalnya pada pemberian trombolitik maka keadaan-
keadaan tersebut akan mnegubah voltase kecil ini mencapai nilai
ambang potensial sehingga terbentuk sebuah potensial aksi
prematur yang dinamakan “trigger impuls”. trigger impuls yang
pertama dapat mencetuskan sebuah trigger impuls yang kedua
kemudian yang ketiga dan seterusnya samapai terjadi suatu iramam
takikardai.
c. Re-entry
Bilamana konduksi di dalah satu jalur tergaggu sebagai
akibat iskemia atau masa refrakter, maka gelombang depolarisasi
yang berjalan pada jalur tersebut akan berhenti, sedangkan
gelombang pada jalur B tetap berjalan sepetisemual bahkan dapat
berjalan secara retrograd masuk dan terhalang di jalur A. Apabila
bebrapa saat kemudian terjadi penyembuhan pada jalur A atau
masa refrakter sudah lewat maka gelombang depolarisasi dari ajlur
5
B akan menemus rintangan jalur A dan kembali mengkatifkan jalur
B sehingga terbentuk sebuah gerakan sirkuler atau reentri loop.
Gelombang depolarisasi yang berjalan melingkar ini bertindak
seagi generator yang secara terus-menerus mencetuskan impuls.
Reentry loop ini dapat berupa lingkaran besar melalui jalur
tambahan yang disebut macroentrant atau microentrant.

2.7 Gejala Klinis


Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa
karena mendadak gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-muntah, laju
nadi sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung
atau kegagalan sirkulasi yang nyata. (Schlechte, et al., 2011; Hanash &
Crosson, 2010).
Takikardia supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan
oleh sindrom WPW, baik yang manifes maupun yang tersembunyi (concealed)
sering menyebabkan pasien dibawa ke dokter karena rasa berdebar dan
perasaan tidak enak (Schlechte, et al., 2011).
SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan
sampai bertahun-tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung
lebih lama, gejalanya lebih ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem
susunana saraf autonom. Sebagian besar pasien terdapat disfungsi miokard
akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya. (Schlechte, et al.,
2011).
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah
lelah, pusing, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran.
Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan
(Schlechte, et al., 2011).
Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja
dengan SVT tapi risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus
dengan WPW dan pada anak dengan penyakit jantung. Bila takikardi terjadi

6
saat fetus, dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung berat dan hidrops
fetalis. (Kothari & Skinner, 2013)

2.8 Diagnosis
3 Permukaan elektrokardiogram (EKG) adalah landasan diagnosis untuk
gangguan irama jantung. Untuk deteksi awal perubahan kualitatif dan
kuantitatif detak jantung, sering digunakan metode auskultasi langsung
dimana metode ini dapat menentukan denyut teratur dan tidak teratur yang
merupakan karaksteristik fibrilasi atrium.4

3.4 Penatalaksanaan
2.9 Terapi Aritmia
2.9.1 Tujuan Terapi
Hasil yang diharapkan tergantung dari jenis aritmianya.
Sebagai contoh, tujuan akhir penanganan fibrilasi atrium adalah
mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi tromboemboli, dan
menjegah kejadian berulang 7
2.9.2 Terapi Non Farmakologi

a. Penderita dianjurkan untuk merubah gaya hidup seperti


pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita
yang menderita obesitas.
b. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai
efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel
serta neurohormonal, meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan.7
2.9.3 Terapi Farmakologi

Penggolongan antiaritmia dilakukan menurut klasifikasi


Vaughn Williams atas dasar sifat-sifat elekrtofisiologisnya yang diukur
di sel-sel myocard tertentu dalam 4 kelas sebagai berikut: 8

7
1. Zat-zat stabilisasi membrane juga disebut efek kinidin dan efek
anastesi lokal. Zat-zat ini sangat mengurangi kepekaan membrane
sel jantung untuk rangsangan akibat penghambatan pemasukan
ion Na ke membrane dan perlambatan depolarisasinya. Efeknya
ialah frekuensi jantung berkurang dan ritmenya menjadi normal
kembali. Zat-zat stabilisasi membrane dapat dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu : 8
 Kelompok kinidin : kinidin, disopiramida, β-bloker, dan
prokainamida. Zat-zat ini antara lain memperpanjang masa
refrakter dan aksipotensial sel-sel myocard.
 Kelompok lidokain : lidokain, mexiletin, fenitoin, aprindin
(Fiboran), dan tocainide (Tonocard). Zat-zat ini antara lain
mempersingkat masa refrakter dan aksi potensial sel-sel
myocard, hanya efektif pada aritmia bilik. Obat epilepsi
fenitoin khusus digunakan pada aritmia akibat keracunan
digoksin.
 Kelompok Propafenon : propafenon dan flecainida (Tambocor)
memperpanjang sedikit masa refrakter dan oksipotensial.
2. Beta-blockers terdiri dari etenolol, bisoprolol, nadolol, dan
karteolol. Mengurangi hiperaktifitas adrenergik di myocard
dengan penurunan frekuensi dan daya kontraksinya. Beberapa β-
bloker (antara lain propanolol. esebutolol, alprenolol, dan
oxprenolol) memiliki pula efek kelas IA, sedangkan setolol
termasuk kelas III. Propanolol, metoprolol, dan timolol digunakan
sebagai profilaktis setelah infark untuk mencegah infark kedua.
3. K-chanels blokers terdiri dari amiodaron, setalol, dan bretylium.
Akibat blockade saluran kalium, masa refrakter dan lamanya aksi
potensial diperpanjang. Amiodaron efektif terhadap aritmia
serambi dan bilik dan setalol terutama efektif terhadap aritmia
bilik.

8
4. Antagonis kalsium terdiri dari verapamil dan diltiasem.
Mengakibatkan penghambatan pemasukan ion Ca, antara lain
penyaluran impuls AV diperlambat dan masa refrakter
diperpanjang 8

2.9.3.1 Klasifikasi Antiaritmia


Obat-obatan antiaritmia dibagi menjadi beberapa golongan yaitu:
1. Kelas I ( Penghambat Kanal Na+)
Obat-obat antiaritmia dapat digolongkan berdasarkan efek
kecenderungan obat tersebut terhadap potensial aksi. meskipun
klasifikasi ini cukup baik, tidak seluruhnya mudah atau benar karena
banyak obat yang kerjanya berhubungan lebih dari satu kelas atau
dapat memiliki metabolit aktif dengan cara kerjanya menghambat
kanal natrium sensitive-voltase oleh mekanisme yang sama dengan
kerja anestesi local. penurunan kecepatan masuknya natrium
memperlambat kecepatan kenaikan fase 0 potensi aksi. contoh
obatnya yaitu dysopyramide (IA), flecainide (IC), lidocaine (IB),
Mexiletine (IB), Procainamide (IA), propafenone (IC), quinidine (IA),
tocainide (IB).8
Klas IA. Kinetik kerjanya intermediate, memperpanjang masa
repolarisasi potensial aksi. Menurunkan Vmaks pada semua heart rate.
Contoh: kuinidin, prokainamid, disopiramid.4
Klas I B. kinetik kerjanya cepat dan memperpendek
repolarisasi potensial aksi hanya ringan saja. Mempunyai efek yang
ringan terhadap kasus dengan heart rate rendah, tetapi mempunyai
efek lebih besar pada kasus dengan heart rate tinggi. Contoh: lidokain,
meksiletin, fenitoin, tokainid.4
Klas IC. kinetik kerjanya lambat dan mempunyai efek kecil
terhadap repolarisasi potensial aksi. Contoh: Propafenon, flekainid,
lorkainid.4

9
Pada penelitian-penelitian obat-obatan kelas I ini tidak
menunjukkan penurunan angka kematian secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol. Bila diberikan pada pasien usia lanjut
dengan penyakit jantung sering terjadi proaritmia..4
2. Kelas II (Penghambat Adrenoreseptor-B)
Obat-obat kelas II merupakan antagonis adrenergic-B. obat-
obat ini mengurangi depolarisasi fase 4 sehingga mendepresi
otomatisasi, memperpanjang konduksi AV, dan dapat menurunkan
denyut jantung dan kontraksi. obat kelas II berguna untuk pengobatan
takiaritmia yang disebabkan peningkatan aktivasi simpatis. obat ini
juag digunakan untuk fibrilasi dan flutter atrium, serta takikardia re-
entrant nodus AV. contoh obat nya : Esmolol, metoprolol dan
propranolol.8
3. Kelas III (Penghambat kanal K+)
Obat kelas III menghambat kanal kalium sehingga mengurangi
arus kalium keluar selama repolarisasi sel jantung. obat ini
memperpanjang lama potensial aksi tanpa mengaggu depolarisasi fase
0 atau membrane istirahat. contoh obatnya : Amiodarone, dofetilide,
dan sotalol).8
4. Kelas IV (Penghambat Kanal Ca+)
Obat-obat kelas IV adalah penghambata kanal kalsium. obat
ini mengurangi arus masuk yang di bawa kalsium, menyebabkan
penurunan kecepaan depolarisasi spontan fase 4. obat ini juga
memperlambat konduksi oada jaringan yang tergantung pada arus
kalsium, seperti nodus AV. Meskipun kanal kalsium yang sensitive-
voltase terdapat pada berbagai jaringan, efek utama penghambat kanal
kalsium adalah pada otot polos vascular dan jantung. contoh obatnya :
Verapamil dan diltiazem.8

10
Tatalaksana takiaritmia dan bradiaritmia menurut algoritma
ACLS 2018: 6

Gambar 2.21 Algoritma Takikardia 6


Catatan:
 Kardioversi rekomendasi dosis inisial
o QRS sempit teratur: 50-100J
o QRS sempit tidak teratur: 120-200J bifasik atau 200J monofasik
o QRS lebar teratur: 100J
o QRS lebar tidak teratur: dosis defibrilasi (tidak disinkronisasi)
 Adenosin IV
o Dosis pertama 6 mg IV bolus cepat, diikuti dengan flush NS
11
o Dosis kedua: 12 mg IV jika diperlukan
 Obat antiaritmia IV untuk takikardia QRS lebat teratur
o Amiodaron IV: dosis inisial 150 mg dalam 10 menit. Dapat diulang
bila terulang kembali. Diikuti dosis rumatan 1 mg/menit untuk 6
jam pertama.

12
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2011. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation


and emergency cardiovascular care: Advanced life support. Circulation, Volume
112, pp. 167-187.

Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to treatment
of supraventricular tachycardia in population. Current Cardiology Reports,
Volume 6, pp. 322-326.

Delacrétaz, E., 2012. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of


Medicine, 354(10), pp. 1039-1051.

Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2010. Dysrythmias. Clinics of North America,


Volume 53, pp. 85-105.

Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson


& B. Stanton, eds. Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.

Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management of


Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p. 251–260.

Hanisch, D., 2012. Arrhythmias. Journal of Nursing, Volume 16, pp. 351-362.

Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian Pacing


and Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.

Kannankeril, P. & Fish, F., 2011. Disorders of Cardiac Rhythm and Conduction.
In: , eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy & T. Feltes, eds. Moss and
Adams' Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents: Including the Fetus
and Young Adults 7th Ed. Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins, pp.
293-342.

Kantoch, M. J., 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal, Volume 72,


pp. 609-619.

Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Tachyarrhythmia and
Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to 2011. Korean
Circulation Journal, Volume 42, pp. 735-740.

Kothari, D. S. & Skinner, J. R., 2013. Tachycardias: an update. Volume 91, p.


136–144.

13
Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular
Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 367(15), pp. 1438-1448.

Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2013. Emergency Department Management of


the Patient With Supraventricular Tachycardia. Emergency Care, 23(3), pp. 176-
189.

Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2011. Efficacy of


Adenosine for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia. The Journal of
Tehran University Heart Center, Volume 3(3), pp. 157-162.

Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2011. Supraventricular


Tachycardia in the Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and
Management. Journal of Health Care, 22(5), pp. 289-299.

Sekar, R. P., 2013. Epidemiology of Arrhythmias. Indian Pacing and


Electrophysiology Journal, Volume 8, pp. 8-13.

Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2012. Medications used
to manage supraventricular tachycardia: A North American Survey. Cardiology,
Volume 27, pp. 199-203.

14

Anda mungkin juga menyukai