Laporan Kasus Ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior SMF Ilmu Penyakit Jantung RSU Royal Prima Medan
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus tentang Supra Ventriculare Tachycardy (SVT). Terima
Kasih kepada dr. Joy Wulansari Purba Sp.JP yang telah membimbing penulis dalam
pembuatan laporan kasus ini. Laporan kasus ini juga disusun dengan maksimal atas
bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan laporan kasus ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki
laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus tentang Supra Ventriculare
Tachycardy (SVT) ini dapat memberikan manfaat maupun menambah pengetahuan bagi
pembaca.
Penulis
1|Page
BAB I
PENDAHULUAN
2|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3|Page
Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-
TGA)
4|Page
secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu
jantung berkontraksi.
- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana
rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian
yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui.
Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry
terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa
tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau
fibrilasi.
2) Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung disebabkan oleh hambatan hantaran (konduksi)
aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan tidak
adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya
menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada
tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV,
jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan
purkinye dalam miokard.
3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung terjadi sebagai karena gangguan pembentukan
rangsang dan gangguan hantaran rangsang.
5|Page
konduksi yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi
lambat yang terletak sejajar dengan katup trikuspid, memungkinkan reentrant
sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur tersebut, keluar dari nodus AV
secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus AV ke atrium) dan secara
anterograde (yaitu, maju dari nodus AV ke ventrikel) dalam waktu bersamaan.
Depolarisasi atrium dan ventrikel yang bersamaan, mengakibatkan gelombang P
jarang terlihat pada gambaran EKG, meskipun depolarisasi atrium akan
memunculkan gelombang P pada akhir kompleks QRS pada lead V1 (Link,
2012).
6|Page
kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi retrograde. (Kantoch 2011;
Doniger & Sharieff 2010).
Impuls listrik AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan turun
melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke atrium secara retrograde melalui
nodus AV. Karena jalur aksesori tiba di ventrikel di luar bundle His, kompleks
QRS akan menjadi lebih lebar dibandingkan biasanya. (Kantoch 2011; Doniger
& Sharieff 2010).
3) Atrial tachycardia
Sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama.
Takikardi atrium primer tampak adanya gelombang P yang agak berbeda dengan
gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR.
Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal
(jaras tambahan). (Manole & Saladino, 2013).
Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya sebuah
sirkuit reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial flutter disebabkan oleh
sebuah ritme reentry di dalam atrium, yang menimbulkan laju detak jantung
sekitar 300 kali/menit dan bersifat regular atau regular-ireguler. Gambaran EKG
7|Page
akan tampak gelombang P dengan penampakan “sawtooth”. Perbandingan
antara gelombang P dan QRS yang terbentuk biasanya berkisar 2:1 sampai
dengan 4:1. Karena rasio gelombang P terhadap QRS cenderung konsisten,
atrial flutter biasanya lebih regular bila dibandingkan dengan atrial fibrillation.
Atrial fibrillation dapat menjadi SVT jika respon ventrikel yang terjadi lebih
besar dari 100 kali per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik ritme
ireguler-ireguler baik pada depolarisasi atrium maupun ventrikel. (Doniger &
Sharieff, 2010; Link, 2012).
Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.
2.7 Gejala Klinis Supraventricular Tachycardia (SVT
Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa karena
mendadak gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-muntah, laju nadi sangat
cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau kegagalan
sirkulasi yang nyata. (Schlechte, et al., 2011; Hanash & Crosson, 2010).
Takikardia supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan oleh sindrom
WPW, baik yang manifes maupun yang tersembunyi (concealed) sering
menyebabkan pasien dibawa ke dokter karena rasa berdebar dan perasaan tidak enak
(Schlechte, et al., 2011).
SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan sampai
bertahun-tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung lebih lama,
gejalanya lebih ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem susunana saraf
autonom. Sebagian besar pasien terdapat disfungsi miokard akibat SVT pada saat
serangan atau pada SVT sebelumnya. (Schlechte, et al., 2011).
8|Page
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah lelah,
pusing, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran. Pasien juga
mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan (Schlechte, et al.,
2011).
Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja dengan
SVT tapi risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus dengan WPW
dan pada anak dengan penyakit jantung. Bila takikardi terjadi saat fetus, dapat
menyebabkan timbulnya gagal jantung berat dan hidrops fetalis. (Kothari &
Skinner, 2013)
9|Page
i. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
j. EKG:
(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah
kompleks QRS sebagai pseudo r’ dalam V1 atau pseudo s dalam lead
inferior. (Delacrétaz, 2012)
(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS
yang sempit karena adanya konduksi retrograde. (Kantoch 2011; Doniger
& Sharieff 2010).
(3) AVRT antidromik : kompleks QRS melebar
(4) Atrial tachycardia : Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai
dengan 4:1
10 | P a g e
terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah direndam selama sekitar
lima detik ke dalam mangkuk air dingin. Akan tetapi, maneuver vagal yang
lain seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan pada bola mata tidak
direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan
pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan penekanan
pada bola mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika
perendaman wajah gagal, adenosin dengan dosis awal 200 µg / kg dapat
diberikan secara intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar
(seperti pada fossa antecubital). Terkadang dibutuhkan dosis adenosine
sampai dengan 500 µg / kg. (Schlechte, 2011).
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung
sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal.
Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik)
dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan
menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan
sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal
terhadap kontraktilitas jantung. (Manole & Saladino, 2013).
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam
terapi SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya
dilaporkan pada sekitar 90% kasus. (Dubin, 2012; Kannankeril & Fish,
2011). Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline,
mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit
(maksimal 200 µ/kg). Dosis yang efektif yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada
sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
(Moghaddam, et al., 2011)
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial
flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien
dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah
pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers,
11 | P a g e
calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma. (Manole & Saladino, 2013).
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih
mungkin mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT. (Kothari & Skinner, 2013).
d. Verapamil
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi saat
ini mulai jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat ini mulai bekerja 2
sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac output. Banyak laporan
terjadinya hipotensi berat dan henti jantung. Jika diberikan verapamil,
persiapan untuk mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium
klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor seperti dopamin.
Tidak ada bukti bahwa verapamil efektif mengatasi ventrikular takikardi
pada kasus-kasus yang tidak memberikan respon dengan adenosine. (Chun
& Van Hare, 2010; American Heart Association, 2011)
e. Prokainamid.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif.
Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi
retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga
sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan. Dosis oral yang biasa
diberikan berkisar antara 40-100 mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis
awal untuk intravena yang dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan
untuk dosis pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit (Iyer,
2013).
f. Digoksin
Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT pada
anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera SVT dan
sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom
karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi
dipakai pada pasien tanpa gagal jantung kongestif. (Schlechte, 2011).
12 | P a g e
g. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa
digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa
dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat
meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan mengubah takikardi dengan
meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine) sama
halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek vagal
seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol.
Metode ini tidak direkomendasikan pada pasien dengan CHF karena dapat
meningkatkan afterload sehingga merugikan pada pasien dengan gagal
jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan
intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr terhadap tekanan
darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
h. Flecainide dan sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol
SVT yang refrakter. Dosis yang terbukti aman digunakan berkisar 80-180
mg/m2/hari yang diberikan dalam 2-3 dosis terbagi (Iyer, 2013)
i. Beta bloker.
Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu juga
penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di
antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi
memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan terapi
pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua pasien yang
diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid
setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif
dalam memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik (Iyer, 2008).
13 | P a g e
Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma
14 | P a g e
2) Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka
panjang SVT. Di antara yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang lebih
sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien
dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan
gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan
penting untuk pengobatan.
a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang
karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan
gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan
preeksitasi.
15 | P a g e
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat diberikan
long acting β blocker, yang telah terbukti aman digunakan dan tidak
membutuhkan monitoring spesifik. Pada pasien yang mengalami syok atau
sulit untuk dilakukan kardioversi, dapat diberikan obat-obatan antiaritmia
yang lebih kuat, seperti sotalol, flecainide atau amiodarone yang masing-
masing membutuhkan monitoring intensif. Konsentrasi flecainide dalam
darah harus diukur pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak
tercapainya konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus
dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan dapat
diterima jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki beberapa efek
β blocker dan harus diperhatikan kemungkinan terjadinya disfungsi miokard.
(Iyer, 2013)
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan yang
dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut (Wong, et al., 2006). Digoksin
tidak diunakan sebagai terapi tunggal karena dianggap kurang efektif.
Penggunaannya juga berpotensi memberikan resiko terjadinya atrial
takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin dikontraindikasikan
untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White (WPW) karena meningkatkan
sifat konduksi dari jalur aksesori dan merupakan predisposisi untuk
mempercepat terjadinya fibrilasi atrium dan kematian mendadak pada
pasien. (Wong, et al., 2012)
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun,
radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang
menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya
tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau
kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi
dapat dilakukan bila SVT refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada
potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-
tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter
dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau
ablasi pembedahan. (Kothari & Skinner, 2013)
16 | P a g e
Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam manajemen
takikardi.
Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone
Kelas 2 : β blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel Amiodarone, sotalol
blocker
Kelas 4 : calcium channel blocker Verapamil, diltiazem
b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif
berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh
Gallagher dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan
dengan sumber energi arus langsung yang tinggi (high energy direct current)
berupa DC Shock menggunakan kateter elektroda multipolar yang diletakkan
di jantung. Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak
terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan
dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar 30-60
detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan
resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di bawah kateter ablasi
yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury
adalah mekanisme utama kerusakan jaringan selama prosedur ARF.
Meningkatnya suhu jaringan menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan
yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi
jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur
sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan
kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan)
dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan
17 | P a g e
pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada
sirkuit yang penting dalam mempertahankan kelangsungan aritmia tersebut
di luar jaringan konduksi normal. Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan,
maka energi radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya
pasien tidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga
dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya
perlu dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama dan
frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan toleransi
terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk
SVT yang teratur, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ARF lebih
efektif daripada obat dalam aspek peningkatan kualitas hidup pasien dan
penghematan biaya daripada obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata
ARF pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%.
Angka penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama dibandingkan dengan obat-obatan (Kim, et al., 2012).
18 | P a g e
ektopik secara kriotermik. Gillete tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan
fokus ektopik di A-V junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi
dilanjutkan dengan pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.
Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah mulai
ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi, kesulitan melakukan
ablasi transkateter dapat diatasi dengan pendekatan bedah dengan
menggunakan tehnik kombinasi insisi dan cryoablation jaringan. Pada saat
yang sama adanya residu kelainan hemodinamik yang menyebabkan
hipertensi atrium dan ventrikel dapat dikoreksi sekaligus.
19 | P a g e
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama : Bangun Manumpan Suprapto Silaban, S.E
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 Tahun
No.RM : 018339
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen
Tgl Masuk : 03 September 2018
3.2 ANAMNESA
Keluhan Utama : Jantung berdebar – debar
Telaah : Pasien laki-laki berusia 43 tahun, datang ke RS.Royal Prima
dengan keluhan jantung terasa berdebar – debar telah dialami
sejak ± 1 hari ini. OS juga merasakan sebelumnya mengalami
nyeri bagian ulu hati dan keringat dingin, mual (+) serta muntah
(+). Os mengatakan bahwa dirinya 2 bulan yang lalu pernah
dirawat di ICU dengan sebab yang sama. OS mengatakan
pertama kali mengalami hal ini sejak 15 tahun yang lalu saat
dirinya tengah berlari menaiki tangga. OS mengatakan rasa
jantung berdebar –debar ini terkadang muncul yang sangat
menggangu aktivitasnya.
20 | P a g e
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
TANDA VITAL
Kesadaran : Compos Mentis Temperatur : 370C
GCS : E4 ; V5 ; M6 Tinggi Badan : 165 cm
TD : 110/80 mmHg Berat Badan : 70 kg
RR : 23 x/menit IMT : 23,2 kg/m2
Nadi : 98 x/menit Status Gizi : Overweight
STATUS GENERALIS
1. Kepala : Simetris, Normocephali, tidak terdapat jejas maupun
hematom.
2. Mata
Pupil : Pupil bulat Isokor
Sklera : Ikterik (-/-)
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
Reflek Cahaya : (+/+)
3. Telinga : Tidak ditemukan kelainan
4. Hidung : Deviasi Septum (-/-), Konka Hiperemis (-/-)
5. Mulut : Mukosa bibir kering (-)
6. Kelenjar : Kelenjar getah bening di submandibula, leher, aksila,
inguinal tidak teraba.
7. Leher
Inspeksi : Jejas (-), Oedem (-)
Palpasi : Deviasi trakhea (-), Nyeri tekan (-), TVJ(-).
8. Thorax Depan
Inspeksi: bentuk dada simetris fusiform, retraksi sela iga (-), spider nevi(-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Tabel 3.2 Palpasi Thorax
Lokasi Stem Fremitus
21 | P a g e
Atas Kanan = Kiri
Tengah Kanan = Kiri
Bawah Kanan = Kiri
22 | P a g e
Kanan Kiri
1 Deformitas sendi - -
2 Jari tabuh - -
3 Tremor ujung jari - -
4 Edema - -
5 Sianosis - -
6 Eritema Palmaris - -
7 Luka - -
23 | P a g e
11 PDW 52,6 fL 12.0 - 55.0 .
12 MPV 9,6 fL 6.50 - 9.50 .
13 PCT 0,10 % 0.100 - .
0.500
14 Hitung Eosinofil 1,7 % 1-3 .
Jenis Basofil 0,4 % 0-1 .
Lekosit Monosit 3,7 % 2-8 .
Neutrofil 53,3 % 50 - 70 .
Limfosit 27,9 % 20-40 .
LUC 4 % 0-4
24 | P a g e
Kesimpulan :
Paroxysmal SVT + VES
25 | P a g e
3. Tab. Simvastatin 20 mg 1x1
4. Tab. KSR 2x1
4.8 Follow Up
Tanggal S O A P
04/09/ Dada TD: 110/80 mmHg SVT Injeksi
2018 berdebar- HR : 98 x/menit Ondansetron 4
debar, badan RR: 23 x/menit mg/8 jam
terasa lemas, T: 37,0 C Injeksi Ranitidin
keringat BB:70 kg 50 mg/12 jam
dingin TB: 165 cm Ketorolac 3%
SN: Vesikuler injeksi
ST : -
Amiodaron 150
Foto Thoraks :
mg bolus lambat
Cardiomegaly
dalam 10 menit
EKG :
Tab. Clopidogrel
Paroxysmal
75 mg 1x1
SVT + VES
Tab. Concor 2,5
mg 1x1
Tab. Simvastatin
20 mg 1x1
Tab. KSR 2x1
05/09/ Dada mulai TD: 90/60 mmHg SVT Injeksi
2018 tidak terasa HR : 64 x/menit Ondansetron 4
26 | P a g e
berdebar- RR: 20x/menit mg/8 jam
debar, dada T: 36,2 C Injeksi Ketorolac
terasa sesak T: 37,0 C 30 mg/8 jam
BB:70 kg Injeksi
TB: 165 cm Omeprazole 1
SN: Vesikuler vial/12 jam
ST : - Tab. Clopidogrel
Foto Thoraks :
75 mg 1x1
Cardiomegaly
Tab. Concor 2,5
EKG :
mg 1x1
Paroxysmal
Tab. Simvastatin
SVT + VES
20 mg 1x1
Tab. KSR 2x1
27 | P a g e
debar, sesak T : 36,8 C Injeksi Ketorolac
berkurang 30 mg/8 jam
Injeksi
Omeprazole 1
vial/12 jam
Tab. Clopidogrel
75 mg 1x1
Tab. Concor 2,5
mg 1x1
Tab. Simvastatin
20 mg 1x1
Tab. KSR 2x1
BAB IV
KESIMPULAN
28 | P a g e
Amiodaron 150 mg bolus lambat dalam 10 menit, Tab. Clopidogrel 75 mg 1x1 Tab.
Concor 2,5 mg 1x1, Tab. Simvastatin 20 mg 1x1, Tab. KSR 2x1.
DAFTAR PUSTAKA
29 | P a g e
1. American Heart Association, 2011. Guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care: Advanced life support.
Circulation, Volume 112, pp. 167-187.
2. Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to
treatment of supraventricular tachycardia in population. Current Cardiology
Reports, Volume 6, pp. 322-326.
3. Delacrétaz, E., 2012. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of
Medicine, 354(10), pp. 1039-1051.
4. Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2010. Dysrythmias. Clinics of North
America, Volume 53, pp. 85-105.
5. Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H.
Jenson & B. Stanton, eds. Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.
6. Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management
of Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p. 251–260.
7. Hanisch, D., 2012. Arrhythmias. Journal of Nursing, Volume 16, pp. 351-362.
8. Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian
Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.
9. Kannankeril, P. & Fish, F., 2011. Disorders of Cardiac Rhythm and
Conduction. In: , eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy & T.
Feltes, eds. Moss and Adams' Heart Disease in Infants, Children, and
Adolescents: Including the Fetus and Young Adults 7th Ed. Philadelphia:
Lippincott, Williams and Wilkins, pp. 293-342.
10. Kantoch, M. J., 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal, Volume
72, pp. 609-619.
11. Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Tachyarrhythmia
and Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to 2011. Korean
Circulation Journal, Volume 42, pp. 735-740.
12. Kothari, D. S. & Skinner, J. R., 2013. Tachycardias: an update. Volume 91, p.
136–144.
13. Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular
Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 367(15), pp. 1438-1448.
14. Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2013. Emergency Department Management
of the Patient With Supraventricular Tachycardia. Emergency Care, 23(3), pp.
30 | P a g e
31 | P a g e