Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIK PROFESI NERS

STASE KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT DAN KRITIS

Nama : USWATUN HASANAH


NIM : 170507065
RS Tempat Praktik : RS. ANNA PEKAYON
Tgl Praktik : 14 Mei s/d 28 Juni 2018
Pembimbing : Ns. ADHITYA LAZUARDI S.Kep
Berkas dikumpulkan : 1. Laporan Pendahuluan
2. Laporan Kasus Kelolaan
3. Target Pencapaian
4. Resume Keperawatan

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAKARTA
TAHUN 2018
LAPORAN PRAKTIK PROFESI NERS
STASE KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT DAN KRITIS

Nama : YULIA FITRI YANTI


NIM : 170507072
RS Tempat Praktik : RS. ANNA PEKAYON
Tgl Praktik : 14 Mei s/d 28 Juni 2018
Pembimbing : Ns. ADHITYA LAZUARDI S.Kep
Berkas dikumpulkan : 1. Laporan Pendahuluan
2. Laporan Kasus Kelolaan
3. Target Pencapaian
4. Resume Keperawatan

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAKARTA
TAHUN 2018
LAPORAN PENDAHULUAN TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR

LAPORAN PENDAHULUAN
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

A. DEFINISI
a. Takikardi supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150
kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada TSV mencakup komponen sistem
konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan TSV mempunyai
kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan
gagal jantung (Aslinar, 2010).
b. Supraventrikular takikardi (SVT) adalah detak jantung yang cepat dan reguler berkisar
antara 150-250 denyut per menit. SVT sering juga disebut Paroxysmal Supraventrikular
Takikardi (PSVT). Paroksismal disini artinya adalah gangguan tiba-tiba dari denyut
jantung yang menjadi cepat.

B. ELEKTROFISIOLOGI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR


Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan pembentukan
rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta penghantaran
rangsang.
1. Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang terbentuk
secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali menimbulkan gangguan irama
ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama
pengganti).
a. Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif dan
fenomena reentry.
b. Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau
belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian jantung yang
belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan
rangsangan instrinsik yang memacu jantung berkontraksi.
c. Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan kecepatan
automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung yang melebihi
keadaan normal.
d. Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional
(blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana rangsang dari arah
lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade
tadi setelah masa refrakternya dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang
baru secara ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau
tidak teratur (pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan
takikardi ektopik atau fibrilasi.
2. Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran (konduksi) aliran
rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan tidak adanya aliran
rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk
dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang
mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri
sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.
3.Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan rangsang
bersama gangguan hantaran rangsang.

C. KLASIFIKASI
Terdapat 3 jenis TSV yang sering ditemukan pada bayi dan anak, yaitu:
1. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati. Takikardi ini
jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena pemeriksaan rutin atau
karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Pada takikardi atrium primer, tampak
adanya gelombang “p” yang agak berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus,
tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak
tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).

2. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)


Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic, konduksi
antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan konduksi retrograd
terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang tampak pada EKG adalah
takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan gelombang p yang timbul segera
setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad
terjadi pada jaras tambahan sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras his-purkinye.
Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS yang lebar
dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks
QRS.

3. Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)


Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini merupakan
mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan anak. Sirkuit tertutup
pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi
lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini
disebut juga jenis typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak
adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul segera
setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak karena
gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi
pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis
atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi
dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang
cukup jauh setelah komplek QRS.

D. PENYEBAB
1. Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini biasanya
terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya
setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan
interval PR yang pendek daninterval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan
langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)
E. TANDA DAN GEJALA
1. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi;
bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis,
berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
2. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
3. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
4. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas
tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan
seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik
pulmonal; hemoptisis.
5. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

F. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme
terjadinya takikardi supraventrikular yaitu Otomatisasi (automaticity) dan Reentry. Irama
ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami
percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction,
bundel HIS, dan ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi
adalah vena pulmonalis dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis adalah sinus
takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia
berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan gangguan metabolik
seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis. Ini adalah mekanisme yang
terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur
konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal hingga
membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur tersebut harus memiliki
blok searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak
mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang
mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd
secara cepat pada jalur konduksi tersebut.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan
dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja).
Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan
disfungsi ventrikel atau katup.
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang
dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan
kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
menyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan
atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh
endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan segera
a. Pemberian adenosine
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negatif,
dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat dengan
konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari
aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat
ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit
pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap
kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena
dapat menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90%
kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai
dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250
µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien
diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan
terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node,
gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node
(seperti beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan
bronkokonstriksi pada pasien asma.
b. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif.
Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi
retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering
dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
c. Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada
anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan
sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada
risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi
tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh Wren dkk tahun 1990, pada 29 bayi
dengan TSV, pengobatan efektif dengan digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi
ventrikel, baik melalui pengaruh inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV
yang ditengahi vagus.
d. Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung
kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan
penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik
sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang
diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada
puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak
dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan
menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi
ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock
kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasif.
e. Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat
digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah
sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis
digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8 jam.
f. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa
digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba
untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan
darah dengan cepat dan mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal.
Efek phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium
(tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti aritmia lain
seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak direkomendasikan pada
bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada
bayi dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200
mg cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr terhadap
tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
2. Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV. Di
antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih sepertiganya
akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi
atrial automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi
berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk
pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya
tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan
yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang
sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau
amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka
panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid,
quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone.
I. DIAGNOSIS
Diagnosis TSV berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Pada bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu dan sukar minum
b. Denyut jantung; 180-300 kali/menit (mungkin sulit dihitung)
c. Dapat terjadi gagal jantung (bila dalam 24 jam tidak membaik)
d. EKG:
e. Pemeriksaan esophageal electrophysiology dapat digunakan sebagai prediktor
apakah bayi membutuhkan obat anti aritmia
KONSEP ASKEP

A. PENGKAJIAN

1. Pengkajian primer :
a. Airway
- Apakah ada peningkatan sekret ?
- Adakah suara nafas : krekels ?
b. Breathing
- Adakah distress pernafasan ?
- Adakah hipoksemia berat ?
- Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak nafas ?
- Apakah ada bunyi whezing ?
c. Circulation
- Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
- Apakah ada takikardi ?
- Apakah ada takipnoe ?
- Apakah haluaran urin menurun ?
- Apakah terjadi penurunan TD ?
- Bagaimana kapilery refill ?
- Apakah ada sianosis ?

2. Pengkajian sekunder
a. Riwayat penyakit
a) Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
b) Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup
jantung,
hipertensi
c) Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya
kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi
b. Kondisi psikososial
1) Pengkajian fisik
a) Aktivitas : kelelahan umum
b) Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin
tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra,
denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat,
sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung
menurun berat.
c) Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut,
menolak,marah, gelisah, menangis.
d) Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan
kelembaban kulit
e) Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung,
letargi, perubahan pupil.
f) Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang
atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
g) Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels,
ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan
seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena
tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
h) Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema,
edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung,
perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakkeimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar
dengan sumber informasi.
6. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan
otot pernapasan, defornitas dinding dada.

C. INTERVENSI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung,
perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard.
Tujuan: Penuruanan curah jantung teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
- Pasien tidak mengeluh pusing
- Pasien tidak mengeluh sesak
- EKG normal
- Kulit elastis BB normal
- Suhu: 36-37C/axila
- Pernapasan 12-21x/mnt
- Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi 60-100x/mnt

Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
b. Monitor bunyi napas, bunyi jantung
R/mengetahui perubaha napas /bunyi jantung
c. Monitor edema
R/mengetahui keadaan pasien
d. Batasi garam sesuai program
R/menghindari penimbunan cairan
e. Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
f. Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
g. Kolaborasi/lanjutkan program EKG
R/mengetahui kelainan jantung
h. Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
i. Kolaborasi/lanjutkan terapi obat
R/mempercepat proses penyembuhan

2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri terhambat.
Tujuan: Perpusi jaringan serebral teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
- Pasien tidak mengeluh pusing
- Pasien tidak mengeluh sesak napas
- Pernapasan 12-21x/mnt
- Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi 60-100x/mnt
- CRT: <3 detik

Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui kondisi pasien
b. Monitor capillary refill time
R/mengetahui status keadaan pasien
c. Monitor kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
d. Anjurkan untuk cukup istirahat
R/mempercepat pemulihan kondisi
e. Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
f. Bantu aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja pasien
g. Cegah fleksi tungkai
R/menghindari penurunan staus kesadaran pasien
h. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/mencukupi kebutuhan pasien
i. Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
j. Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
k. Kolaborasi/lanjutkan terapi transfusi
R/mempercepat pemulihan kondisi pasien
l. Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mempercepat proses penyembuhan

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakkeimbangan suplai dan kebutuhan


oksigen.
Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
- Pasien tidak mengeluh lemas
- Pasien tidak mengeluh pusing
- Pasien tidak mengeluh sesak napas
- Pernapasan 12-21x/mnt
- Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi 60-100x/mnt
- CRT: <3 detik

Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
b. Monitor kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
c. Anjurkan untuk cukup istirahat
R/mempercepat pemulihan kondisi
d. Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
e. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/mencukupi kebutuhan pasien
f. Bantu aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi bebar kerja pasien
g. Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
h. Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
i. Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama, dosis, waktu, cara, rute
R/mempercepat penyembuhan

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.


Tujuan: Nyeri akut teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam
dengan kriteria hasil:
- Pasien tidak mengeluh nyeri
- Pasein tidak mengeluh sesak
- Pernapasan 12-21x/mnt
- Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui kondisi pasien
b. Monitor derajat dan kualitas nyeri (PQRST)
R/mengetahui rasa nyeri yang dirasakan
c. Ajarkan teknik distraksi/relaksasi/napas dalam
R/mengurangi rasa nyeri
d. Beri posisi nyaman
R/untuk mengurangi rasa nyeri
e. Beri posisi semifowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
f. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/memenuhi kebutuhan pasien
g. Anjurkan untuk cukup istirahat
R/mempercepat proses penyembuhan
h. Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mengurangi rasa nyeri

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar dengan


sumber informasi.
Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x45 menit dengan kriteria hasil:
- Pasien bisa menjelaskan pengertian
- Bisa menyebutkan penyebab
- Bisa menyebutkan tanda dan gejala
- Bisa menyebutkan perawatan
- Bisa menyebutkan pencegahan

Intervensi:
a. Kontrak waktu, tempat, dan topik dengan pasien
R/menetapkan waktu, tempat, dan topik untuk pendidikan kesehatan
b. Berikan pendidikan kesehatan
R/meningkatkan pengetahuan pasien
c. Evaluasi pengetahuan pasien
R/mengetahui keberhasilan pendidikan kesehatan
d. Anjurkan kepada klien untuk melakukan apa yang telah disampaikan dalam
pendidikan kesehatan
R/mengingatkan kembali pada pasien

6. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan otot
pernapasan, defornitas dinding dada.
Tujuan: pola napas tidak efektif teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
- Pasien tidak mengeluh pusing
- Pasien tidak mengeluh sesak napas
- Pernapasan 12-21x/mnt
- Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi 60-100x/mnt
- CRT: <3 detik

Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
b. Monitor kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
c. Anjurkan untuk bedrest
R/mempercepat pemulihan kondisi
d. Beri posisi semifowler
R/mencukupi kebutuhan oksigen
e. Bantu aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja pasien
f. Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
g. Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, C.M, Gallo B.M. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.1997

Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter
Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.

Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan


pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;1999

Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 2001

Anda mungkin juga menyukai