Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Perempuan Usia 28 Tahun dengan Atrial Tachycardia dan Wolff-Parkinson-White tipe B


Fidya Mayastri, Muzakkir Amir*
*Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin

ABSTRACT
Atrial Tachycardia (AT) is a rare type of tachycardia that occurs in (Wolff-Parkinson-White)
WPW syndrome. The WPW syndrome may remain undetected until it manifests as a paroxysmal
supraventricular tachycardia (PSVT). This tachyarrhytmia require specific treatment
considerations. We report a case of 28 years old female patient that was diagnosed following
successful termination of narrow complex tachycardia. This is followed by a review of
literature covering the diagnostic and initial therapeutic issues.
Keywords: Atrial tachycardia , Wolff-Parkinson-White Syndrome, Paroxysmal
Supraventricular Tachycardia

ABSTRAK
Takikardia atrial (AT) merupakan bentuk yang jarang dari takikardi yang terjadi pada
Sindrom WPW . Sindrom WPW akan tetap tidak terdeteksi hingga menimbulkan manifestasi
berupa Takikardi Supraventrikel Paroksismal (PSVT). Kejadian takiaritmia ini memerlukan
pertimbangan penanganan yang spesifik. Kami laporkan kasus wanita 28 tahun yang telah
didiagnosis dengan takikardi kompleks sempit dan berhasil diterminasi. Kasus ini disertakan
dengan review literature mengenai diagnostic dan terapinya.
Kata kunci : Takikardia atrial, Sindrom Wolff-Parkinson-White, Takikardi Supraventrikel
Paroksismal

BAB I

1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Supraventricular tachycardia (SVT) adalah satu jenis takiaritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara
150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada SVT mencakup komponen sistem
konduksi dan terjadi di bagian atas bundel His. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks
QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal jantung.
Insiden SVT sekitar 35 kasus dalam 100.000 populasi setiap tahunnya, dengan
prevalensi 2,25 kasus dalam 1000 populasi. SVT dapat terjadi pada semua umur, namun lebih
sering pada usia dewasa muda tanpa kelainan pada jantungnya. Prevalensi SVT di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita berkisar 9% dari seluruh pasien aritmia dan 1,26 % - 1,42 % dari seluruh
jumlah kunjungan rumah sakit. Sampai saat ini data prevalensi SVT pada populasi umum di
Indonesia belum diketahui.
Terdapat 2 mekanisme dasar terjadinya SVT yaitu automatisasi dan reentri.
Automatisasi terjadi karena terdapat fokus ektopik di dalam atrium, AV junction atau sistem
his purkinje yang menimbulkan ritme automatik. Komplikasi jarang terjadi. Namun akibat
detak jantung tidak normal maka jantung tidak dapat memompakan darah secara efektif,
hal ini dapat menyebabkan tekanan darah rendah, dan sinkop. Tekanan darah rendah
juga dapat menyebabkan iskemia yang dapat merusak otot jantung dan akhirnya
menyebabkan gagal jantung. Komplikasi ini terjadi pada individu yang memiliki penyakit
jantung yang mendasari seperti gangguan katup. Kematian mendadak dapat terjadi pada WPW.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk memaparkan dan membahas lebih
dalam tentang suatu kejadian Supraventricular Tachycardia (SVT) pada seorang wanita usia
28 tahun yang tidak berespon pada pemberian Adenosine yang mana pada akhirnya diketahui
bahwa pasien memiliki irama dasar jantung dengan preeksitasi Wolff Parkinson White (WPW)
tipe B.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
Supraventricular Tachycardia
2.1. Definisi
Supraventricular Tachyarrhytmia adalah kelompok gangguan irama jantung yang berasal dari
nodus sinus, jaringan atrium, jaras tambahan, dan area junctional. Sedangkan Supraventricular
Tachycardia (SVT) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan takikardia (atrial
dan/atau ventrikular) dengan laju lebih dari 100 kpm saat istirahat, yang mekanismenya
melibatkan jaringan yang berasal dari berkas His atau di atasnya. (Raharjo SB dkk, 2017).
Paroxysmal Supraventricular Tachycardia (PSVT) ditandai dengan (1) onset dan terminasi
yang mendadak, (2) kecepatan atrium antara 140 kpm-250 kpm dan (3) Kompleks QRS sempit,
kecuali dengan adanya konduksi aberan (Lilly dkk, 2011).

2.2. Epidemiologi
Prevalensi SVT pada populasi umum adalah 2,29 per 1000 penduduk. Jika didasarkan
pada umur dan jenis kelamin di populasi US, insiden dari Paroxysmal Supraventricular
Tachycardia (PSVT) sekitar 36 per 100.000 penduduk per tahun. Terdapat hampir 89.000
kasus baru per tahun dan 570.000 orang dengan PSVT (Orejarena,1998).
Prevalensi SVT di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita berkisar 9% dari seluruh pasien
aritmia dan 1,26 % - 1,42 % dari seluruh jumlah kunjungan rumah sakit. Sampai saat ini data
prevalensi SVT pada populasi umum di Indonesia belum diketahui.

2.3. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari Supraventricular Tachyarrhytmia menurut Pedoman Tatalaksana
Supraventrikular Takiaritmia dari PERKI tahun 2017:

Tabel 1. Klasifikasi Supraventrikular Tachcardia (Raharjo dkk,2017)

3
2.4. Etiologi
- Idiopatik
Ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien.
- Sindrom Wolf Parkinson White (WPW)
Terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya setelah konversi menjadi
sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang
pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung
antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.
- Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)

2.5. Patofisiologi

4
AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT) dan AV reentrant tachycardia (AVRT) merupakan
aberansi elektrik yang terjadi utamanya sebagai akibat dari proses reentri. Penyebab lainnya
yaitu peningkatan automatisasi dan triggered activity dan biasanya menyebabkan takikardi
kompleks sempit. Atrial Tachycardia (AT) dapat terjadi akibat salah satu dari 3 mekanisme
tersebut. AVNRT dan AVRT adalah atrioventricular nodal-dependent arrhythmias, dan AT
adalah atrioventricular nodal-independent arrhythmia (Colucci dkk,2010).

AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)


AVNRT merupakan tipe yang paling sering dari SVT. Kebanyakan pasien dengan AVNRT tidak
memiliki kelainan struktural jantung. Lebih sering terjadi pada usia dewasa serta perempuan
yang sehat. Namun, beberapa pasien memiliki penyakit jantung sebelumnya, seperti
pericarditis, infark miokard, atau prolapse katup mitral. Keterlibatan jalur lambat (slow
pathway) dan jalur cepat (fast pathway) pada jaringan atrioventricular nodal adalah substrat
aberan yang mendasari terjadinya mekanisme takiaritmia reentri (Colucci dkk,2010).

Gambar 1. Mekanisme AVNRT (Estner dan Deisenhofer, 2006)

(a) Selama irama sinus impuls atrial secara antegrad melewati fast dan slow pathway secara
simultan. Karena impuls mencapai Bundle His melalui fast pathway, makan interval PR
normal.

5
(b) Periode refrakter efektif pada fast pathway lebih lama daripada slow pathway. Konduksi
pada fast pathway diblok oleh premature beat atrial dan konduksi berjlaan melalui slow
pathway untuk mengativasi Bundle His, sehingga interval PR memanjang. Karena konduksi
antegrad melalui slow pathway lambat, sehingga fast pathway memiliki waktu yang cukup
untuk mengembalikan eksitabilitas. Konduksi impuls ke bawah melalui slow pathway dapat
mereeksitasi fast pathway secara retrograde, menyebabkan AV nodal echo beat.
(c) Konduksi melalui fast pathway diblok oleh coupling atrial premature beat yang pendek
dan mengalami konduksi ke bawah melalui slow pathway dengan sangat lambat. Ini
menyebabkan waktu yang cukup untuk fast pathway untuk mengalami recovery sehingga dapat
terjadi konduksi retrograde. Slow pathway juga memiliki waktu untuk recovery sehingga dapat
terjadi reentri antegrade repetitif. Proses yang terjadi terus menerus ini disebut dengan tipe
slow-fast (typical) AVNRT.
(d) Fast-slow (atypical) AVNRT: pada tipe ini, konduksi antegrade terjadi pada fast pathway
sedangkan konduksi retrograde terjadi pada slow pathway dengan interval AH (atrial-His) yang
pendek dan internal HA (His-atrial) yang panjang.
(e) Slow-slow AVNRT: pada tipe ini, konduksi antegrad melalui slow pathway dan konduksi
retrograde melaui slow pathway lainnya. Tipe ini memiliki karakteristik interval HA dan AH
relatif panjang dan sama.

AV reentrant tachycardia (AVRT)


AVRT merupakan tipe kedua terbanyak dari SVT. Pasien dengan aritmia ini sering terjadi pada
usia yang lebih muda daripada pasien dengan AVNRT. SVT ini disebabkan karena jalur
aksesori (accessory pathway) atau bypass tract yang berperan sebagai jalur aberan untuk
menyalurkan impuls dari sinoatrial nodal dan berjalan secara antegrad atau retrograde melalui
jalur tersebut, menyebabkan sirkuit reentri. AVRT sering terjadi pada Wolff-Parkinson-White
syndrome (Colucci dkk,2010).
AVRT memiliki 2 tipe yaitu AVRT orthodromic dan AVRT antidromic. AVRT orthodromic yaitu
saat impuls reentri menggunakan accessory pathway dengan arah retrograde dari ventrikel ke
atrium, dan melalui AV node dengan arah antegrade. Sedangkan AVRT antidromic terjadi saat
impuls reentri melalui accessory pathway dengan arah antegrad dari atrium ke ventrikel dan
melalui AV node dengan arah retrograde (Chauhan dkk,2001).

6
Gambar 2. Tipe AV reentrant tachycardia (AVRT) (Chauhan dkk,2001)

Atrial tachycardia (AT)


AT merupakan tipe tersering ketiga dari SVT (sekitar 10%), yang mana berorigin dari single
fokus atrium. SVT ini, jika fokal, biasanya memiliki lokasi origin definitive, seperti berdekatan
dengan krista terminalis pada atrium kanan atau pada ostium vena pulmonalis di atrium kiri.
Bentuk lainnya yaitu multifocal, sering terjadi pada pasien gagal jantung atau penyakit paru
obstruktif kronis. Atrial tachycardia biasanya menghasilkan interval RP dan PR yang bervariasi
karena konduksi atrioventricular bergantung pada property AV node dan kecepatan takikardia.
Pada AT, morfologi dan aksis gelombang P ditentukan oleh origin dan mekanisme takikardi.
(Colucci dkk,2010).

Gambar 3. Atrial Tachycardia (Colucci dkk, 2010)

2.7. Manifestasi Klinis


Supraventricular Tachycardia (SVT) sangat mempengaruhi kualitas hidup pasiennya.
Menurunnya kualitas hidup pasien SVT tergantung pada frekuensi munculnya, durasi SVT, dan
juga apakah gejalanya muncul pada saat aktivitas atau saat istirahat (Maryniak,2013). Keluhan
paling sering pada pasien TSV berupa palpitasi, namun ada juga pasien yang datang dengan

7
adanya EKG SVT yang terdokumentasi. Sebuah studi menunjukkan bahwa presentasi klinis
SVT berupa EKG yang terdokumentasi SVT sebesar 38%, palpitasi 22%, nyeri dada 5%, sinkop
4%, Atrial fibrilasi 0,4% dan kematian jantung mendadak sebesar 0,2 (Cain,2013). Salah satu
diagnosis banding yang sering mengacaukan diagnosis SVT adalah gangguan panik dan
ansietas. Dilaporkan bahwa gejala gangguan panik ditemukan pada 67% pasien SVT, terutama
perempuan (Lessmeier,1997).
Pasien dengan AVNRT dan AVRT sering memberikan gejala/keluhan yang sangat
berbeda. Pasien dengan AVNRT lebih sering menggambarkan keluhannya sebagai dada yang
bergetar atau leher yang berdenyut keras. Keluhan ini mungkin terkait dengan aliran balik
pulsatil saat atrium kanan berkontraksi melawan katup trikuspid yang menutup. Sebuah studi
invasif menunjukkan bahwa tekanan atrium kiri pada saat AVNRT lebih tinggi dibanding pada
saat AVRT (Laurent,2009), sehingga pada AVNRT ditemukan kadar ANP (atrial natriuretic
peptide) yang lebih tinggi dan lebih sering terjadi poliuria dibanding pasien AVRT (Abe
dkk,1997).
Gejala sinkop jarang ditemukan pada pasien SVT, namun keluhan pusing sering terjadi.
Pasien tua dengan AVNRT lebih sering datang dengan keluhan sinkop atau hampir sinkop.
Penurunan tekanan darah pada saat SVT sering terjadi pada awal terjadinya SVT (10 - 30 detik),
yang kemudian akan menjadi normal kembali setelah 30 – 60 detik (Razavi dkk,2005).
Pada laju nadi yang sama, SVT tidak selalu menggambarkan respon hemodinamik yang sama.
Hal ini membuktikan bahwa laju nadi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
perubahan hemodinamik. Kontraksi atrium pada saat katup AV tertutup dapat menyebabkan
gangguan drainase vena pulmonalis yang berhubungan dengan respon neural. Temuan ini dapat
diobservasi pada saat studi elektrofisiologi yaitu ketika dilakukan pemacuan yang
menstimulasi SVT maka penurunan tekanan darah paling nyata pada saat pemacuan atrium dan
ventrikel terjadi secara simultan. Interval ventrikulo-atrial berbanding terbalik dengan derajat
penurunan tekanan darah. Peningkatan tekanan vena sentral juga berbanding terbalik dengan
interval ventrikulo- atrial.

2.8. Tatalaksana
Langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan perekaman EKG 12 sadapan
untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui mekanisme takiaritmianya. Algoritma berikut ini
akan membantu untuk menegakkan diagnosis pasien takikardia dengan QRS sempit:

8
Gambar 4. Diagnosis banding Takikardia Kompleks QRS sempit
(ACC/AHA/HRS Guideline, 2015)

Prinsip tatalaksana SVT terdiri dari tatalaksana fase akut dan lanjutan. Tatalaksana fase akut
ditujukan untuk mengatasi keadaan kegawatan hemodinamik, konversi aritmia dan
menghilangkan gejala klinis. Tatalaksana SVT lanjutan dapat berupa terapi definitif seperti
ablasi radiofrekuensi atau berupa terapi rumatan. Terapi definitif SVT adalah modalitas terapi
yang dapat menyembuhkan SVT secara tuntas. Tatalaksana SVT lanjutan harus
mempertimbangkan beberapa faktor, meliputi: kondisi klinis (frekuensi, durasi SVT, dan gejala
lain yang berkaitan) dan preferensi pasien (Raharjo dkk,2017).

2.9. Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi. Namun akibat detak jantung tidak normal maka
jantung tidak dapat memompakan darah secara efektif, hal ini dapat menyebabkan
tekanan darah rendah, dan sinkop. Tekanan darah rendah juga dapat menyebabkan
iskemia yang dapat merusak otot jantung dan akhirnya menyebabkan gagal jantung.
Komplikasi ini terjadi pada individu yang memiliki penyakit jantung yang mendasari seperti
gangguan katup. Kematian mendadak dapat terjadi pada WPW.

9
2.10. Prognosis
Supraventricular tachycardia (SVT) memiliki outcome yang baik dan individu dapat
melakukan aktivitas seperti biasa secara normal. Efek samping obat pun jarang ditemukan.
Naum pada kondisi dimana SVT berkelanjutan yang tidak ditangani dengan pengobatan, maka
otot jantung akan melemah dan menyebabkan gagal jantung. Pada kondisi dimana individu
memiliki penyakit jantung dasar atau sistemik maka prognosis bergantung pada penyakit yang
mendasarinya.

BAB III

10
ILUSTRASI KASUS

Seorang perempuan 28 tahun masuk di IGD Pusat Jantung Terpadu RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dengan keluhan dada berdebar dengan cepat sejak 1 jam sebelum masuk rumah
sakit setelah makan malam. Keluhan dirasakan secara tiba-tiba. Tidak ada keluhan sesak nafas,
nyeri dada, mual, muntah, keringat dingin maupun syncope.
Pasien mengalami keluhan yang sama 2 minggu yang lalu hingga dirawat inap di RS
Awal Bros selama 5 hari karena palpitasi dan mengalami kematian fetal intrauterine saat
kehamilan berusia 28 minggu . Pasien kemudian melahirkan fetus dengan induksi. Saat itu
pasien mendapatkan obat suntikan namun pasien tidak mengetahui pasti obat tersebut. Setelah
itu detak jantung pasien kembali normal. Pasien diberikan juga Bisoprolol 2,5 mg sekali sehari.
Tidak ada riwayat konsumsi kopi maupun teh.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan deskripsi umum pasien dengan kesan sakit
sedang, status gizi cukup (IMT 25 kg/m2), kesadaran composmentis. Ditemukan peningkatan
tekanan darah (120/80 mmHg), pernafasan 20 kali per menit, Nadi 195 kali permenit, Suhu
36.7 C. Pemeriksaan asukultasi paru tidak terdapat ronkhi maupun wheezing. Asukultasi
jantung tidak terdengar murmur. Tidak terdapat edem tungkai.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

11
Supraventricular rhythm, axis 60 degree, HR 195 bpm reguler, P wave retrograde, RP<PR
interval, QRS duration 0,08 s, ST depressed V3-V6 , II, III, aVF.
Kesimpulan : Atrial Takikarida dd AVNRT dd Orthodomic AVRT, HR 195bpm, Normoaksis

LABORATORIUM
 WBC : 10,0 x 103 /uL  Albumin : 3,6
 Neutrofil: 65,7 %  PT : 10,2 sec
 Lymph : 16,7 %  aPTT : 25,3 sec
 Mono : 6,3 %  INR : 0,96
 Eo : 1,0 %  GDS : 102
 Baso: 0,3 %
 HB : 15,8 mg/dl
 HCT : 37,7 %
 PLT : 405 x 103 /uL
 Ur : 12 mg/dl
 Cr : 0,58 mg/dl
 GOT : 9 mg/dl
 GPT : 12 mg/dl
 Na : 143 mmol/L
 K : 4,1 mmol/L
 Cl : 107 mmol/L

FOTO RONTGEN THORAX

12
Tanggal 1 September 2018

ECHOCARDIOGRAFI
Di RS Awal Bros tanggal 20 Agustus 2018

• Normal LV systolic function, EF 62.5% (TEICH)


• Normal Heart Chamber DImension
• LVEDd 4,49 cm, LVEDs 2,98 cm LA Mayor 4,1 cm, LA Minor 4,0 cm, RA Mayor 3,4
cm, RA Minor 3,4 cm, RVDB 2,4 cm, Ao 2,8 cm,LA 3,0 cm, LA/Ao 1,07
• Left Ventricular Hypertrophy –
• Global Normokinetic.
• Normal RV systolic function
• Valves :
o Mitral : good function and movement
o Aorta : 3 cuspis, calcification -, good function and movement
o Tricuspid : good function and movement

13
o Pulmonal : good function and movement
E/A Fusion
Conclusion :
Normal LV Systolic Function EF 62.5% (TEICH)

Di Pusat Jantung Terpadu RSWS Tanggal 2 September 2018


• Poor Echo Window
• Normal LV systolic function, EF 62% (TEICH), EF 61.9% (BIPLANE)
• Normal Heart Chamber DImension
• LVEDd 3.22 cm, LVEDs 2,18 cm LA Mayor 3,6 cm, LA Minor 2,8 cm, RA Mayor 3,5
cm, RA Minor 3,1 cm,
• Left Ventricular Hypertrophy (–) , (LVMI 68,4 g/m2, RWT - )
• Global Normokinetic.
• Normal RV systolic function, TAPSE 1,8 cm
• Valves :
o Mitral : good function and movement
o Aorta : 3 cuspis, calcification -, good function and movement
o Tricuspid : good function and movement
o Pulmonal : good function and movement
• E/A > 1 Normal
ERAP 3 mmHg LVSV 34 ml, LVCO 2,71 l/ms
Conclusion :
Poor Echo Window
Normal LV Systolic Function EF 61,9% (BIPLANE)
Global Normokinetik

DIAGNOSA :
Supraventricular Tachycardia (Atypical AVNRT dd Orthodromic AVRT dd Atrial
Tachycardia) dengan hemodinamik stabil

TATALAKSANA:
- Manuver Vagal

14
- Adenosine 6mg/iv bolus

EKG saat pemberian bolus Adenosine:

Supraventricular Tachycardia (Atypical AVNRT) with stable hemodynamic

Setelah itu diberikan pemberian:


• Amiodarone 150 mg/iv bolus
 Amiodarone 1 mg/menit/selama 6 jam via syringe pump
 Diikuti dengan Amiodarone 0.5mg/menit/ selama 18 jam via syringe pump

Kemudian dilakukan kardioversi


• Premedikasi : Propofol 50 mg/bolus/iv
• Synchronized Cardioversion 50 joule biphasic (09:00, 02/09/2018)
• Post Kardioversi: BP: 100/60 mmHg, Pulse : 95 bpm, RR : 20 tpm, T : 36,5o C

15
Sinus Rhythm, HR 93 bpm regular, Axis 45 degree, P wave duration 0.08 sec, PR Interval
0.18s
QRS duration 0.08 sec
Kesimpulan : Sinus Rhythm HR 93 bpm, Normal Axis

EKG kontrol 12 jam kemudian

Sinus Rhythm, HR 55 bpm regular, Axis 20 degree, PR Interval 0.18s


QRS duration 0.11 sec, Delta Wave (+) pre cordial lead
Kesimpulan : Sinus Rhythm HR 55 bpm, Normal Axis, WPW type B

16
BAB IV
DISKUSI

Pasien merupakan seorang wanita muda dengan usia 28 tahun.


Pasien dengan penyakit kardiovaskular jika dibandingkan dengan pasien PSVT tanpa
penyakit kardiovaskular terjadi pada kelompok usia lebih muda dan PSVT yang lebih cepat.
Wanita memiliki resiko dua kali daripada pria untuk terjadi PSVT. Pasien dengan PSVT yang
dirujuk ke pusat spesialistik untuk ablasi adalah lebih muda dan memiliki distribusi jenis
kelamin yang sama, dan dengan penyakit kardiovaskular yang lebih rendah (Goyal,1996).
Frekuensi AVNRT lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada orang
dengan usia pertengahan/lebih tua, kejadian AVNRT lebih sering terjadi, dimana pada dewasa
muda prevalensi antara AVRT dan AVNRT seimbang, atau AVRT lebih banyak terjadi.
Frekuensi relative dari takikardi yang dimediasi oleh jalur aksesori menurun seiring usia.
Insiden dari manifestasi pre eksitasi atau gambaran WPW pada EKG didapatkan 0,1-0,3%.
Namun tidak semua pasien dengan pre eksitasi ventrikel terjadi PSVT (Olgin and Zipes, 2011).

Pasien datang dengan keluhan utama palpitasi.


Gejala SVT sering dimulai saat usia dewasa. Pada 1 studi, mean age untuk onset gejala
yaitu 3218 tahun untuk AVNRT dan 2314 untuk AVRT. Onset pertama SVT terjadi hanya
3,9% pada wanita selama kehamilan tetapi pada wanita dengan riwayat SVT, 22% dilaporkan
bahwa kehamilan mengeksaserbasi gejalanya (Lee dkk,1995).
Pada suatu studi retrospective pasien-pasien berusia <21 tahun dengan gambaran WPW
pada EKG, 64% pasien memiliki gejala saat datang dan 20% memiliki gejala selama follow up.
Presentasi klinis yang muncul meliputi SVT yang terdokumentasi sebanyak 38%, palpitasi
sebanyak 22%, nyeri dada sebanyak 5%, syncope sebanyak 4%, AF 0,4% dan sudden cardiac
death (SCD) sebanyak 0,2% (Cain dkk,2013).

Gejala palpitasi dirasakan memberat saat pasien hamil.


Kehamilan dapat menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya aritmia, meskipun pada
pasien tanpa kelainan struktural jantung. Kehamilan juga meningkatkan risiko eksaserbasi
aritmia, terutama pada pasien dengan substrat aritmia yang sudah ada sebelumnya. Faktor
kontribusi utama penyebab aritmia antara lain terjadi peningkatan level katekolamin,

17
sensitivitas reseptor adrenergik, dan status hipervolemik. (Orejarena dkk,1998) Denyut atrium
prematur dapat terjadi pada sekitar 50% pasien selama kehamilan, namun biasanya ringan dan
dapat ditoleransi oleh pasien. Sedangkan aritmia yang berkelanjutan biasanya jarang, hanya 2
sampai 3 kasus per 1000 kehamilan, namun kemungkinan eksaserbasi SVT terjadi pada 20%
kehamilan.

Pada pasien ini, didapatkan gambaran EKG:


Supraventricular rhythm, heart rate 195 kali per menit dengan kompleks QRS sempit yaitu
0,08 s, gelombang P retrograde, RP<PR interval dan RP >90 ms sehingga berdasarkan
algoritma di atas dapat disimpulkan Atrial Takikarida dd Atypical AVNRT dd Orthodromic
AVRT.
Terdapat beberapa differential diagnosis untuk pasien dengan gambaran EKG
kompleks QRS sempit. Berdasarakan ACC/AHA/HRS guideline tahun 2015, dapat digunakan
algorima sebagai berikut:

Gambar 5. Algoritma diagnosis banding pada pasien dengan takikardia QRS sempit
(ACC/AHA/HRS Guideline,2015)

Atypical AVNRT adalah AVNRT yang mana fast pathway secara anterograde dari
sirkuit dan slow pathway secara retrograde (fast-slow AV node reentry) atau slow pathway
secara anterograde dan slow pathway yang kedua secara retrograde (slow-slow AVNRT).

18
AVRT (Atrioventricular re-entrant tachycardia) merupakan sebuah takikardi re-entrant
yang mana jalur listrik memerlukan jalur aksesori, atrium, AV node (atau jalur aksesori kedua)
dan ventrikel. Orthodromik AVRT merupakan AVRT dimana impus re-entrant menggunakan
jalur aksesori dengan arah retrograde dari ventrikel ke atrium dan AV node dengan arah
anterograde. Kompleks QRS secara umum sempit atau dapat lebar karena adanya bundle
branch block atau konduksi aberan.
Atrial Tachycardia (AT) dapat pula terjadi bersamaan dengan adanya jaras tambahan.
Namun kejadian AT secara umum sangat jarang yaitu hanya sekitar 10%.

Gambar 6. Representasi skematik dari sirkuit reentri saat AVRT, antidromic AVRT,
AT dan AVNRT menggunakan left-sided jaras tambahan
(Issa, Miller dan Zipes, 2012)

Pada pasien dilakukan Vagal Manuver.


Berdasarkan ACC/AHA/HRS guideline tahun 2015, algoritma penangan awal SVT yaitu:

19
Gambar 7. Algoritma penanganan Supraventricular Tachycardia
(ACC/AHA/HRS Guideline,2015)

Manuver Vagal direkomendasikan untuk penanganan akut pada pasien dengan SVT
regular. Untuk konversi akut SVT, maneuver vagal, termasuk Valsava dan pijat sinus karotis,
dapat dilakukan dengan cepat dan seharusnya menjadi first-line intervensi untuk terminasi SVT.
Manuver ini sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi supine. Manuver vagal secara
tipikal tidak akan efektif jika irama tidak melibatkan AV node sebagai komponen yang
dibutuhkan dalam suatu sirkuit reentrant. Tidak ada “gold standart” untuk teknik maneuver
Valsava yang sesuai, tetapi secara umum, pasien menaikkan tekanan intrathoracic dengan cara
berusaha keras melawan closed glottis selama 10-30 detik, setara dengan minimal 30-40
mmHg. Pijat karotis dilakukan setelah yakin tidak ada bruit secara auskultasi, dengan
memberikan tekanan terus menerus pada sinus karotis kanan atau kiri selama 5-10 detik.
Manuver vagal lainnya berdasarkan reflex klasik dengan mengaplikasikan handuk basah
dingin pada wajah, yaitu air bersuhu 10oC (50oF), terbukti efektif untuk terminasi takikardia.
Pada 1 studi melibatkan 148 pasien dengan SVT menunjukkan bahwa Valsava lebih berhasil
daripada pijat karotis, dan mengganti dari 1 teknik ke Teknik lainnya menghasilkan kesuksesan
sebesar 27,7%. Praktek dengan memberikan tekanan pada bola mata potensial untuk
mendatangkan bahaya sehingga mulai ditinggalkan (ACC/AHA/HRS guideline,2015).

20
Namun Vagal Manuver tidak berhasil mengembalikan irama jantung pasien menjadi
sinus. Sehingga diberikan injeksi Adenosine.
Adenosine telah menunjukkan dalam nonrandomized trial dalam setting emergensi
bahwa secara efektif dapat menterminasi SVT baik AVNRT maupun AVRT, dengan angka
kesuksesan 78-96%. Walaupun pasien dapat menunjukkan efek samping, seperti rasa tidak
nyaman pada dada, sesak nafas, dan flushing, namun efek samping serius jarang terjadi karena
half-life obat ini sangat singkat. Adenosie diberikan secara blous cepat melalui intravena
proksimal diikuti dengan saline flush. Rekaman EKG selama injeksi Adenosine untuk melihat
efek dari adenosine (ACC/AHA/HRS guideline,2015).
Efek primer dari adenosine pada SA node dan miokard atrium dimediasi melalui
aktivasi dari aliran keluar potassium spesifik, Ach/adenosine-regulated potassium current.
Sebagai hasilnya, terjadi:
1. Hiperpolarisasi dan perlambatan SA node
2. Depresi aksi potensial di AV node
3. Inhibisi ringan pada aliran masuk kalsium (ICa) pada miosit atrium
4. Supresi aliran ICa pada miosit ventrikel, menyebabkan dromotropic, kronotropik,dan
inotropic negative. Mekanisme ini menjelaskan bagaimana Adenosine dapat menterminasi
SVT. Sebagai tambahan, adenosine juga memperpendek durasi aksi potensial, sehingga
menngurasi periode refrakter efektif pada jaringan atrium, dan mempercepat atrial flutter dan
fibrilasi.

21
Gambar 8. Mekanisme Kerja Adenosine (Opie, Gersh dan DiMarco, 2004)

Adenosine menghambat AV node melalui efek pada kanal ion. Adenosine bekerja pada
reseptor permukaan A1, membuka kanal adenosine-sensitive potassium untuk hiperpolarisasi
dan menghambat AV node serta secara tidak langsung menghambat pembukaan kanal kalsium
(Opie, Gersh dan DiMarco, 2004)
Efek sekunder dari adenosine yaitu dapat terjadi percepatan denyut jantung sekunder
setelah adenosine-induced bradycardia atau hipotensi karena vasodilatasi perifer. Peningkatan
denyut jantung terutama disebabkan karnea peningkatan reflex pada aktivitas simpatis
(peningkatan rangsangan syaraf simpatis pada kemoreseptor badan karotis setelah injeksi
adenosin).
Sirkuit re-entrant pada AVNRT meliputi jalur slow anterograde dan jalur fast retrograde.
Efek langsung dari adenosine pada kedua jalur ini adalah untuk meningkatkan refrakter dan
memperlambat konduksi, sehingga, efek langsung adenosine adalah untuk
terminasi/memperlambat takikardia dengan menghambat konduksi baik pada jalur slow dan/
fast. Stimulasi simpatis sekunder, yang mana secara umum memperlambat takikardia dan/
hipotensi, dapat mempercepat konduksi pada jalur slow anterograde, yang mana lebih sensitive
pada stimulasi adrenergik.

22
Pemberian Adenosine juga belum dapat mengembalikan irama jantung.
Pada pasien ini diberikan injeksi Adenosine hanya diberikan sebesar 6 mg secara bolus
intravena. Menurut teori, dosis pemberian adenosine untuk SVT yaitu bolus 6 mg intravena
secara cepat dalam waktu 1-3 detik diikuti bolus saline normal 20 ml. Bila diperlukan, dosis
kedua Adenosine 12 mg intravena dapat diberikan dalam 1-2 menit setelah pemberian pertama.
Dapat diulang lagi (dosis ketiga) dengan selang waktu 1-2 menit.
Adenosine akan menterminasi irama reentrant pada AVNRT maupun AVRT dengan
menekan AV node. Pada AVNRT, adenosine secara efektif memutus seluruh aliran listrik antara
atrium dan ventrikel secara temporer. Sedangkan pada AT tidak dipengaruhi oleh adenosine
dan tetap dapat melakukan konduksi sinyal elektrik ke ventrikel.

Gambar 9. Respon Takikardi kompleks QRS sempit terhadap Adenosine


(European Heart Rhythm Association, 2017)

Setelah itu dilakukan kardioversi pada pasien.


Kardioversi tersinkronisasi memiliki efektivitas tinggi dalam terminasi SVT (termasuk
AVNRT dan AVRT) dan saat pasien stabil, kardioversi dilakukan setelah sedasi atau anestesi
adekuat. Kebanyakan pasien dengan SVT stabil respon terhadap terapi farmakologis,dengan
angka kesuksesan konversi 80-98% untuk agen seperti verapamil, diltiazem atau adenosine.
Pada beberapa kasus resisten, bolus obat kedua atau dosis lebih tinggi terbukti efektif. Namun,

23
pada kasus yang jarang, obat-obatan dapat gagal untuk mengembalikan irama sinus sehingga
kardioversi dibutuhkan.
Shock yang diberikan pada kardioversi akan secara elektrik mengenai seluruh sel pada
jantung sehingga terjadi interupsi dan terminasi pada gangguan irama yang abnormal.
Depolarisasi pada sel jantung akan mengembalikan sinus nodal pada aktivitas pacemaker
normal. Pada keadaan reentrant-induced arrhythmia, seperti PSVT, kardioversi menginterupsi
sirkuit abnormal dan mengembalikan irama sinus. Angka keberhasilan tinggi untuk
mengkonversi ke irama sinus, namun tergantung pada gangguan irama dan durasinya.
Terkadang tetap tidak dapat mengembalikan ke irama normal atau awalnya dapat terkonversi
ke irama normal tetapi setelah beberapa saat kembali aritmia, mengingat mekanisme aritmia
tetap terjadi setelah diterminasi sehingga dapat terjadi kembali. (Smith dkk, 2013).

Setelah dilakukan kardioversi, irama kembali sinus dengan gambaran EKG sinus rhytm,
heart rate 93 kali per menit. Namun pada rekaman EKG pasien 12 jam kemudian
mengalami perubahan menjadi gambaran WPW tipe B saat heart rate mencapai 55 kali
per menit.
Hanya AV node dan bundle of His yang secara normal merupakan hubungan antara
atrium dan ventrikel. Impuls atrium harus melewati AV node, dimana menghambat impuls
karena konduksinya yang lambat, sebelum impuls mencapai ventrikel. Beberapa individu
memiliki jaras tambahan antara atrium dan ventrikel. Jaras ini dapat bersifat konduktif
sehingga mereka dapat meneruskan impuls atrium langsung ke ventrikel. Jaras ini disebut jalur
aksesoris (atau bundle of Kent). Ini merupakan sisa dari perkembangan embriologi dari jantung.
Jaras tambahan dapat nyata atau tersembunyi (concealed). Pada mayoritas pasien
(+60% kasus), jaras tambahan dapat menghantarkan impuls secara antegrad (atrium ke
ventrikel) dan retrograd (ventrikel ke atrium). Pada beberapa kasus, periode refrakter jaras
tambahan panjang atau konduksinya lambat, sehingga konduksi dari nodus AV lebih dominan.
Hal ini menyebabkan gelombang delta tidak terbentuk. Jika konduksi AV pada suatu waktu
menjadi panjang, maka konduksi melalui jaras tambahan dapat berlangsung dan menghasilkan
gelombang delta pada EKG. Pada 17 hingga 37% kasus, jaras tambahan hanya dapat
menghasilkan konduksi secara retrograd, sehingga adanya jaras tambahan seakan-akan
tersembunyi. Seperti pada kasus ini, saat heart rate mencapai 55 kali per menit, maka periode
refrakter menjadi panjang sehingga menghasilkan gelombang delta pada EKG (Raharjo
dkk,2017).

24
Gambar 10. Jaras tambahan tersembunyi (concealed)
(Fuster, Walsh dan Harrington,2013)

Jalur aksesoris tidak memiliki sifat memperlambat konduksi seperti AV node sehingga
impuls yang mencapai jalur aksesoris dapat langsung diteruskan ke ventrikel tanpa
perlambatan. Jadi, ventrikel dapat terdepolarisasi lebih cepat, yang disebut dengan pre eksitasi.
Pre eksitasi hanya dapat terjadi jika jalur aksesoris dapat melakukan konduksi antegrade.
Individu dengan jalur aksesoris memiliki resiko untuk terjadi AVRT. Takiaritmia ini
disebabkan oleh mekanisme sirkuit reentrant yang mana melibatkan atrium, AV node, jalur
aksesoris dan ventrikel. Pada kebanyakan kasus diinduksi oleh premature atrial beat. AVRT
memiliki 2 tipe yaitu orthodromic dan antidromic. Pada AVRT orthodromic, impuls reentry
berputar dengan arah antegrade melalui AV node. Pada AVRT antidromic impuls berjalan
dengan arah retrograde melalui AV node.
WPW syndrome adalah keadaan elektrofisologis yang abnormal ditandai dengan PR
interval yang memendek, gelombang delta dan kompleks QRS lebar pada EKG karena adanya
preeksitasi atrioventricular. Tipe takikardia yang tersering pada individu dengan WPW
syndrome adalah AVRT orthodromic dimana sistem konduksi normal melalui jalur anterograde
dan jalur aksesori melalui jalur retrograde. Sebagai tambahan, dilaporkan bahwa dual AV nodal
fisiologis terdapat pada 10% pasien dengan WPW syndrome. Jadi, walaupun jarang, episode
AVNRT dimana jalur aksesoris tidak termasuk dalam sirkuit reentry dapat ditemukan pada
pasien dengan WPW syndrome (Elitok dkk,2017).

25
Gambar 11. Wolff-Parkinson-White Syndrome

Secara umum, sindroma WPW dibagi menjadi dua tipe, yakni tipe A dan tipe B. Pada
tipe A, jalur asesori ini berada pada dinding atrium kiri bagian posterior menuju paraseptal,
dengan gelombang delta positif pada sadapan V1-V6 dan negatif pada lead I. Sedangkan pada
tipe B, jalur asesori terletak pada atrium kanan menuju ventrikel kiri dengan karakteristik
gelombang delta negatif pada V1-V3 dan positif pada lead I.

Letak Jalur Aksesoris


Terdapat banyak algoritma untuk mengidentifikasi lokasi dari jalur aksesori. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah saat tindakan elektrofisiologi study dan ablasi.

26
Gambar 12. Letak jaras tambahan (jalur askesori)
(Fuster, Walsh dan Harrington,2013)

Tindakan electrophysiology study dan ablasi pada Wolff Parkinson White Syndrome
Pada pasien ini tindakan lanjutannya yaitu direncanakan untuk dilakukan Electrophysiology
Study dan diikuti dengan tindakan ablasi. Pada pasien dengan AVRT orthodromic dan tampak
gambaran preeksitasi pada EKG istirahat serta bersedia melakukan tindakan ablasi maka
termasuk dalam rekomendasi kelas I untuk tindakan ablasi.

Gambar 13. Algoritma tindakan lanjutan untuk AVRT ortodromik


(ACC/AHA/HRS Guideline,2015)

27
Rekurensi setelah tindakan ablasi
Tabel 2. Tingkat keberhasilan dan komplikasi ablasi SVT (Raharjo dkk,2017)

28
BAB V
KESIMPULAN

Supraventrikular Tachycardia (SVT) adalah kelompok gangguan irama jantung dengan


denyut jantung istirahat lebih dari 100 kpm. Pasien memiliki manifestasi klinis yang berbeda-
beda namun umumnya datang dengan gejala palpitasi. Sebagai tindakan awal diperlukan
rekaman EKG untuk menyingkirkan beberapa diagnosis banding dari SVT. Tatalaksana terbagi
menjadi tatalaksana awal dan tatalaksana lanjut. Tatalaksana awal meliputi Manuver Vagal,
injeksi Adenosine, kardioversi, dan obat-obat anti aritmia lainnya. Tatalaksana lanjutan yaitu
elektrofisiologi study dan kateter ablasi. Atrioventrikular Reentrant Tachycardia (AVRT)
ortodromik merupakan bentuk Supraventrikular Tachycardia (SVT) yang paling sering
terinduksi hampir 55% pada pasien dengan Wolff-Parkinson-White Syndrome. Namun pada
kasus ini didapatkan gambaran Atrial Tachycardia dengan Wolff-Parkinson-White Syndrome
type B. Jaras tambahan pada pasien ini tersembunyi (concealed) karena hanya terekam pada
EKG saat heart rate pasien lebih lambat, saat periode refrakter menjadi lebih panjang.
Sebagai seorang dokter sangat penting untuk mengenali dan menangani
Supraventrikular Tachycardia (SVT). Perlu pula diketahui bahwa salah satu trigger dari SVT
ini adalah WPW Syndrome sehigga manajemen yang diberikan pada pasien dapat diberikan
secara tepat.

DAFTAR PUSTAKA

29
Abe H, Nagatomo T, Kobayashi H, Miura Y, Araki M, Kuroiwa A, Nakashima Y.
Neurohumoral and hemodynamic mechanisms of diuresis during atrioventricular nodal
reentrant tachycardia. Pacing and clinical electrophysiology: PACE. 1997;20:2783-2788.

Cain N, Irving C, Webber S, et al. Natural history of Wolff-Parkinson-White syndrome


diagnosed in childhood. Am J Cardiol. 2013;112:961–965.

Chauhan VS, Krahn AD, Klein GJ, Skanes AC, Yee R. Supraventricular Tachycardia.
Medical Clinics of North America. 2001; 85(2):193-223.

Colucci RA, Silver MJ, Shubrook J. Common Types of Supraventricular Tachycardia:


Diagnosis and Management in American Family Physician Journal. 2010: 82(8):942-52.

Estner H and Deisenhofer I. Atrioventricular nodal reentrant tachycardia. In: Catheter


Ablation of Cardiac Arrhythmias. 2006: 103-127.

European Heart Rhythm Association. EHRA consensus document on the management


on supraventricular arrhythmias. Europace. 2017; 19: 465–511.

Fuster V, Walsh R, Harrington RA. Hurst’s The Heart 13th Edition. The Mc Graw-Hills
Company. 2013.

Goyal R, Zivin A, Souza J, Shaikh SA, Harvey M, Bogun F, Daoud E, Man KC,
StrickbergerSA,MoradyF.Comparisonoftheagesoftachycardiaonsetinpatients with
atrioventricular nodal reentrant tachycardia and accessory pathway- mediated tachycardia.
American heart journal. 1996;132:765-67.

Issa ZF, Miller JM, dan Zipes DP. Atrioventricular Reentrant Tachycardia. In: Clinical
Arrhythmology and Elctrophysiology Second Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012;
18: 411-415.

Laurent G, Leong-Poi H, Mangat I, Korley V, Pinter A, Hu X, So PP, Ramadeen A,


Dorian P. Influence of ventriculoatrial timing on hemodynamics and symptoms during
supraventricular tachycardia. Journal of cardiovascular electrophysiology. 2009;20:176-181.

Lee SH, Chen SA, Wu TJ, et al. Effects of pregnancy on first onset and symptoms of
paroxysmal supraventricular tachycardia. Am J Cardiol 1995;76: 675–78.

Lessmeier TJ, Gamperling D, Johnson-Liddon V, Fromm BS, Steinman RT, Meissner


MD, Lehmann MH. Unrecognized paroxysmal supraventricular tachycardia. Potential for
misdiagnosis as panic disorder. Archives of internal medicine. 1997;157:537-543.

Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease: Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins. 2011; 12: 288-293.

Maryniak A, Bielawska A, Bieganowska K, Miszczak-Knecht M, Walczak F,


Szumowski L. Does atrioventricular reentry tachycardia (avrt) or atrioventricular nodal reentry
tachycardia (avnrt) in children affect their cognitive and emotional development? Pediatric
cardiology. 2013;34:893-897.

30
Olgin JE, Zipes DP. Speci c Arrhythmias: Diagnosis and Treatment. In: Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medicine 9th ed. Philadelphia:Saunders. 2011:863-931.

Opie, LH, Gersh BJ, DiMarco JP. Antiarrhythmic Drugs and Strategies. In: Drugs for
the Heart 6th Edition. Elsevier Saunders. 2004; 8: 247-49.

Orejarena LA, Vidaillet H, Jr., DeStefano F, Nordstrom DL, Vierkant RA, Smith PN,
Hayes JJ. Paroxysmal supraventricular tachycardia in the general population. Journal of the
American College of Cardiology. 1998;31:150-157.

Raharjo SB, Munawar A, Yugo D, Yansen I, Muzakkir, Yuniadi Y. Pedoman


Tatalaksana Takiaritmia Supraventrikular. Jakarta. 2017.

Razavi M, Luria DM, Jahangir A, Hodge DO, Low PA, Shen WK. Acute blood pressure
changes after the onset of atrioventricular nodal reentrant tachycardia: A time-course analysis.
Journal of cardiovascular electrophysiology. 2005;16:1037-1040.

Smith G, Taylor DM, Morgans A, Cameron P. Prehospital synchronized electrical


cardioversion of a poorly perfused SVT patient by paramedics. Prehosp Disaster Med. 2013
Jun. 28(3):301-4.

The American College of Cardiology/American Heart Association/ The Heart Rhythm


Society. Guideline for the management of adult patients with supraventricular tachycardia.
Elsevier Inc. 2015.

31

Anda mungkin juga menyukai