Anda di halaman 1dari 48

1

CONTOH PENERAPAN EKONOMETRIKA


DALAM PENELITIAN AGRIBISNIS

4.7. Pengaruh Faktor-faktor Produksi terhadap Kuantitas Produksi

Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi kuantitas produksi


(PBB) sapi potong, dianalisis menggunakan regresi linear berganda
yang ditransformasikan menjadi fungsi produksi model Cobb-
Douglas. Variabel independen diidentifikasi berdasarkan faktor-faktor
produksi kuantitatif dan kualitatif. Faktor-faktor produksi kuantitatif
meliputi jumlah sapi yang diusahakan (X1), bobot badan awal ternak
(X2), lama waktu penggemukan (X3), bahan kering hijauan pakan
ternak (X4), bahan kering pakan konsentrat (X5), dan pencurahan
tenaga kerja (X6). Faktor-faktor produksi kualitatif meliputi tipe
kandang ternak (X7), kondisi lingkungan kandang (X8), bangsa sapi
(X9), dan orientasi usaha ternak (X10).
Agar hasil penelitian merupakan hasil yang valid (syah) dan
reliable (dapat dipercaya) serta dapat menggambarkan populasi yang
sebenarnya, maka terlebih dahulu dilakukan uji instrumen penelitian.
Pada sisi lain agar dapat menghasilkan persamaan regresi linear yang
dapat digunakan sebagai penduga pengaruh faktor-faktor produksi
terhadap kuantitas produksi, maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian model analisis.

4.7.1. Pengujian instrumen penelitian

pg. 1
2

Penelitian ini merupakan penelitian sosial ekonomi peternakan,


sehingga variabel-variabel yang terdapat di dalamnya merupakan
variabel konstruk, yang dibentuk melalui dimensi-dimensi atau
indikator-indikator yang diamati (tidak dikukur secara langsung).
Indikator-indikator tersebut dikumpulkan mengguna-kan bantuan
instrumen penelitian berupa kuesioner, yang sekaligus untuk
mengetahui jawaban responden. Agar kuesioner penelitian memenuhi
syarat sebagai alat pengumpul data, maka perlu dilakukan uji validitas
dan uji reliabilitas.

1) Uji validitas

Uji validitas diterapkan untuk mengukur valid tidaknya


instrumen penelitian. Hal ini diperlukan karena instrumen penelitian
digunakan sebagai alat pengumpulan data pada tingkat responden
(peternak penggemukan sapi potong). Instrumen penelitian dikatakan
valid bila pertanyaan yang terdapat pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang diukur dalam suatu penelitian. Untuk
mengukur validitas instrumen penelitian, salah satunya menggunakan
uji Confirmatory Factor Analysis (CFA). Uji CFA dapat digunakan
untuk menge-tahui apakah variabel-variabel bebas (independent
variables) dapat mengkon-firmasikan variabel tergantung (dependent
variable) yang di bakukan. Dalam uji CFA analisis yang digunakan
adalah analisis faktor Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy (KMO-MSA), yaitu analisis untuk mengetahui dapat

pg. 2
3

tidaknya variabel-variabel konstruk (varibel independen dan variabel


dependen) digunakan sebagai analisis faktor. Nilai KMO-MSA
bervariasi antara 0,00 sampai dengan 1,00 dan nilai yang dikehendaki
adalah lebih besar dari 0,50. Lebih lanjut hasil uji CFA menggunakan
analisis faktor KMO-MSA seperti disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Uji KMO-MSA dan Uji Bartlett’s.

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .850


Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 2006.810
Df 45
Sig. .000

Berdasarkan Tabel 22, dapat diketahui bahwa nilai KMO


sebesar 0,850 yang ternyata lebih besar dari nilai 0,50; maka pengaruh
variabel-variabel bebas (jumlah sapi, bobot badan awal, lama waktu
penggemukan, bahan kering hijauan pakan ternak, bahan kering
konsentrat, curahan tenaga kerja, tipe kandang, kondisi lingkungan
kandang, bangsa sapi, dan orientasi usaha ternak) terhadap variabel
tergantung (pertambahan bobot badan sapi) memenuhi syarat
digunakan sebagai analisis faktor. Demikian pula halnya bahwa nilai
Bartlett test dengan Chi-Squares sebesar 2006,810 dan signifikansi
pada 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa uji analisis faktor dapat
dilanjutkan. Hasil uji statistik validitas secara lengkap dan sistematis
disajikan pada Lampiran 13.2.

Lampiran 13.2. Indikator uji validitas

pg. 3
4

KMO and Bartlett's Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .850
Bartlett's Test of Approx. Chi-Square 2006.810
Sphericity df 45
Sig. .000

Total Variance Explained


Extraction Sums of Rotation Sums of
Squared Squared
Initial Eigenvalues Loadings Loadings
% of Cumu- % of Cumu- % of Cumu-
Comp Total Var lative % Total Var lative % Total Var lative %
1 5.076 50.765 50.765 5.076 50.765 50.765 4.862 48.618 48.618
2 2.033 20.328 71.093 2.033 20.328 71.093 2.247 22.475 71.093
3 .891 8.909 80.002
4 .736 7.357 87.359
5 .637 6.375 93.734
6 .477 4.767 98.501
7 .047 .468 98.969
8 .045 .451 99.420
9 .034 .344 99.763
10 .024 .237 100.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.

2) Uji reliabilitas

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk melakukan uji terhadap


kuesioner penelitian karena digunakan untuk mengukur indikator pada

pg. 4
5

variabel konstruk (Ghozali, 2007). Kuesioner dikatakan reliabel, jika


jawaban seseorang (responden) terhadap pertanyaan adalah konsisten
atau stabil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini sebagai variabel
konstruk berjumlah 10 (sepuluh), meliputi jumlah sapi yang
diusahakan peternak (ekor), bobot badan awal atau bobot badan sapi
bakalan (kg), lama waktu penggemukan (bulan), jumlah bahan kering
hijauan pakan ternak (ton), jumlah bahan kering konsentrat (ton),
jumlah pencurahan tenaga kerja (hok), tipe kandang ternak (score),
kondisi lingkungan kandang (score), bangsa sapi (score), dan orientasi
usaha ternak sapi potong (score). Uji statistik yang digunakan untuk
melakukan uji reliabilitas instrumen penelitian adalah uji statistik
Cronbach Alpha (α). Hasil uji statistik Cronbach Alpha terhadap
sepuluh variabel konstruk diperoleh nilai Cronbach Alpha sebesar
87,60%, yang berarti kuesioner penelitian reliabel digunakan sebagai
instrument penelitian. Menurut Nunnally (1967), suatu variabel
konstruk dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha
lebih besar dari 60,00%. Menurut Arikunto (2002), suatu instrumen
penelitian dikatakan reliabel apabila hasil per-hitungan Standardized
Item Alpha (SIA) lebih besar dari 70,0%. Hasil uji statistik reliabilitas
secara lengkap dan sistematis disajikan pada Lampiran 13.1.

Lampiran 13.1. Indikator uji reliabilitas

Case Processing Summary


N %
Cases Valid 165 100.0
Excludeda 0 .0
Total 165 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

pg. 5
6

Reliability Statistics
Cronbach's Cronbach's Alpha Based on
Alpha Standardized Items N of Items
.876 .853 10

Item-Total Statistics
Scale Corrected Squared Cronbach's
Scale Mean if Variance if Item-Total Multiple Alpha if
Item Deleted Item Deleted Correlation Correlation Item Deleted
JSp 17.5776 13.179 .789 .935 .849
Baw 11.9263 12.929 .754 .945 .851
WPg 16.5452 16.949 .050 .922 .899
HPt 16.6232 12.175 .888 .965 .838
PKo 18.0803 11.981 .922 .941 .834
CTk 14.0870 11.986 .902 .958 .836
TKd 17.8900 15.330 .582 .462 .868
LKd 17.3629 16.182 .321 .162 .881
BSp 17.9389 16.743 .162 .237 .888
OUs 18.2374 15.713 .497 .351 .873

Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
18.4743 17.436 4.17560 10

4.7.2. Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model


regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Menurut Santosa dan Ashari (2005), uji normalitas adalah pengujian
tentang kenormalan distribusi data. Uji normalitas data merupakan uji

pg. 6
7

yang paling banyak dilakukan untuk analisis statistik parametrik.


Dalam analisis statistik parametrik, asumsi yang harus dipenuhi oleh
data adalah bahwa data tersebut berdistribusi normal. Seperti halnya
pada uji t dan uji F yang mengasumsikan bahwa nilai residual
hendaknya berdistribusi normal. Ada dua cara untuk mendeteksi
normal dan tidaknya distribusi residual, yaitu menggunakan analisis
grafik dan uji statistik. Uji statistik dapat dilakukan dengan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa grafik histogram
memberi-kan pola distribusi yang normal, sedangkan pada grafik
normalnya menunjukkan bahwa titik-titik menyebar secara lekat
(tidak jauh) di sekitar garis diagonal. Kedua grafik tersebut
menunjukkan bahwa model regresi yang digunakan dalam analisis
data tidak menyalahi asumsi normalitas data. Berdasarkan uji
statistik dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh
nilai sebesar 0,876 dan signifikan pada 0,426. Hal ini berarti hipotesis
null (H0) diterima, yang berarti data residual terdistribusi secara
normal. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov tersebut konsisten dengan uji
sebelumnya (berdasarkan analisis grafik), yaitu tidak menyalahi
asumsi normalitas data. Uji normalitas data secara lengkap dan
sistematis disajikan pada Lampiran 14.4.

4.7.3. Pengujian Model Analisis

Dalam analisis regresi terdapat beberapa asumsi yang harus


dipenuhi agar persamaan yang dihasilkan valid jika digunakan untuk

pg. 7
8

melakukan prediksi (Santosa dan Ashari, 2005). Asumsi tersebut


merupakan konsekuensi dari penggunaan metode Ordinary Least
Squares (OLS) dalam analisis regresi.

1) Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas mempunyai tujuan untuk menguji apakah


dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
independent (Ghozali, 2007). Menurut Santosa dan Ashari (2005),
asumsi multikolinearitas menyatakan bahwa variabel independen
harus terbebas dari gejala korelasi antar variabel independen. Salah
satu cara untuk mengidentifikasi multikolinearitas, adalah dengan cara
melihat matrik korelasi variabel-variabel independen. Variabel
independen yang mempunyai korelasi cukup tinggi (umumnya di atas
0,90) dengan variabel independen yang lain, maka hal ini merupakan
indikasi adanya multikolinearitas (Ghozali, 2007).
Berdasarkan hasil analisis data empiris dapat dinyatakan bahwa
antar variabel independen tidak terjadi multikolinearitas, karena
koefisien matrik korelasi antar variabel independent jauh lebih kecil
dari 0,90. Hasil uji statistik multikolinearitas secara lengkap dan
sistematis disajikan pada Lampiran 14.1.
Lampiran 14. Uji Asumsi Klasik

Lampiran 14.1. Indikator uji multikolinearitas

pg. 8
9

Coefficient Correlationsa
Model OUs WPg LKd BSp TKd JSp PKo CTk BAw HPt
1 Correlat OUs 1.000 .110 -.026 .028 -.180 .119 -.161 -.169 -.058 .137
ions WPg .110 1.000 -.071 .216 -.001 .408 -.228 -.217 .578 -.443
LKd -.026 -.071 1.000 .008 -.192 -.011 .145 -.018 -.109 -.038
BSp .028 .216 .008 1.000 -.060 .122 .034 -.166 -.040 .009
TKd -.180 -.001 -.192 -.060 1.000 -.213 -.076 .013 .052 .037
JSp .119 .408 -.011 .122 -.213 1.000 -.188 .013 -.410 -.273
PKo -.161 -.228 .145 .034 -.076 -.188 1.000 -.265 -.190 -.226
CTk -.169 -.217 -.018 -.166 .013 .013 -.265 1.000 -.177 -.523
BAw -.058 .578 -.109 -.040 .052 -.410 -.190 -.177 1.000 -.172
HPt .137 -.443 -.038 .009 .037 -.273 -.226 -.523 -.172 1.000
Covaria OUs .005 .001 .000 .000 -.001 .001 -.002 -.002 .000 .002
nces WPg .001 .026 .000 .002 -1.312E-5 .009 -.005 -.005 .013 -.012
LKd .000 .000 .004 3.160E-5 .000 -9.625E-5 .001 .000 .000 .000
BSp .000 .002 3.160E-5 .005 .000 .001 .000 -.002 .000 .000
TKd -.001 -1.312E-5 .000 .000 .006 -.002 .000 .000 .001 .000
JSp .001 .009 -9.625E-5 .001 -.002 .019 -.003 .000 -.008 -.006
PKo -.002 -.005 .001 .000 .000 -.003 .016 -.005 -.003 -.005
CTk -.002 -.005 .000 -.002 .000 .000 -.005 .022 -.004 -.013
BAw .000 .013 .000 .000 .001 -.008 -.003 -.004 .019 -.004
HPt .002 -.012 .000 .000 .000 -.006 -.005 -.013 -.004 .028

a. Dependent Variable: PBb

2) Uji autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan pengujian asumsi di mana variabel


dependen tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, atau dengan kata
lain nilai dari variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai
variabel itu sendiri, baik nilai periode sebelumnya atau nilai periode
sesudahnya (Santosa dan Ashari, 2005). Menurut Ghozali (2007), uji
autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t
dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika
terjadi autokorelasi, maka dinamakan terdapat problem autokorelasi.
Untuk melakukan deteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan uji

pg. 9
10

Durbin-Watson (DW). Uji DW memerlukan persyaratan adanya DW


hitung (d) dan nilai DW tabel (dl dan du).
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Durbin Watson sebesar
1,813 sedangkan pada variabel independen sebanyak 10 variabel
dengan jumlah sampel sebanyak 165 responden, diperoleh nilai d l
sebesar 1,486 dan nilai du sebesar 1,767. Oleh karena nilai DW
sebesar 1,813 lebih besar dari batas atas (du) sebesar 1,767 dan lebih
kecil dari 4-du (4-1,767 = 2,233), maka dapat disimpulkan bahwa data
empiris (hasil survai lapangan) tidak terjadi autokorelasi. Hasil uji
statistik autokorelasi secara lengkap dan sistematis disajikan pada
Lampiran 14.2.

Lampiran 14.2. Indikator uji autokorelasi

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson
1 .948a .899 .892 .30287 1.813
a. Predictors: (Constant), OUs, WPg, LKd, BSp, TKd, JSp, PKo, CTk, BAw, HPt
b. Dependent Variable: PBb

3) Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam


model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu
pengamatan kepengamatan yang lain (Ghozali, 2007). Dalam regresi,
salah satu asumsi yang harus dipenuhi adalah bahwa varians residual
dari satu pengamatan kepengamatan yang lain tidak memiliki pola

pg. 10
11

tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai yang tidak
sama antar satu varians dari satu residual (Santosa dan Ashari, 2005).
Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,
maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi
heteroskedastisitas. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dapat
dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel
dependen dengan residual. Apabila grafik plot tersebut ada pola
tertentu yang teratur, di mana titik-titik yang ada membentuk pola
tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit),
maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa grafik plot terlihat
bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas
maupun di bawah titik orijin pada sumbu Y. Kondisi ini dapat
disimpulkan bahwa data empiris yang digunakan tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi yang diajukan, sehingga data
tersebut layak digunakan untuk prediksi pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Grafik plot uji ada tidaknya
heteroskedastisitas secara lengkap dan sistematis disajikan pada
Lampiran 14.3.

Lampiran 14.3. Indikator uji heteroskedastisitas

pg. 11
12

4) Uji normalitas Residual

pg. 12
13

4.7.4. Analisis regresi linear berganda

pg. 13
14

Usaha penggemukan sapi potong yang dilakukan oleh peternak


rakyat, membawa konskuensi terhadap kebutuhan dan penggunaan
faktor-faktor produksi dalam jumlah dan kualitas tertentu. Hal ini
karena eksistensi sapi potong sebagai obyek usaha ternak sepenuhnya
tergantung pada kesungguhan peternak dalam menyediakan faktor-
faktor produksi tersebut. Pengaruh faktor-faktor produksi terhadap
kuantitas produksi usaha penggemukan sapi potong yang dalam hal ini
diidentifikasi berdasarkan pertambahan bobot badan (PBB) sapi
potong, dianalisis menggunakan regresi linear berganda (multiple
linear regression) yang ditransformasikan menjadi fungsi produksi
model Cobb-Douglas. Variabel independen atau faktor-faktor yang
mempengaruhi PBB sapi potong diidentifikasi berdasarkan faktor-
faktor produksi kuantitatif (jumlah sapi yang diusahakan, bobot badan
awal ternak, lama waktu penggemukan, jumlah bahan kering hijauan
pakan ternak, jumlah bahan kering konsentrat, jumlah pencurahan
tenaga kerja) dan faktor-faktor produksi kualitatif (tipe kandang
ternak, kondisi lingkungan kandang, bangsa sapi, dan orientasi
peternak pada usaha ternak sapi potong).
Berdasarkan hasil pengujian model analisis (uji asumsi klasik)
pada data empiris, diperoleh hasil bahwa: (i) tidak terjadi
multikolinearitas antar faktor-faktor produksi yang dibakukan sebagai
variabel independen; (ii) tidak terjadi autokorelasi antara kesalahan
pengganggu pada sampel satu dengan sampel yang lain; (iii) tidak
terjadi heteroskedastisitas antara varians residual sampel; (iv) residual
persamaan regresi berdistribusi normal. Hasil perhitungan

pg. 14
15

menggunakan paket program SPSS (Statistical Package for Social


Sciences) diperoleh nilai-nilai koefisien regresi, t hitung dan
probabilitas kesalahan seperti pada Tabel 23.

Tabel 23. Koefisien Regresi Pengaruh Faktor-faktor Produksi terhadap


Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong yang Digemukkan.

Unstandardized Stand.
Coefficients Coef.
Model B Std. Error Beta T Sig.
1 Konstanta 7.306 .965 7.567 .000
Jumlah sapi (ekor) .312 .140 .225 2.234 .027*
Bobot badan awal (kg) -.508 .137 -.403 -3.707 .000**
Lama wkt pengg (bl) -.556 .162 -.314 -3.424 .001**
HPT (ton BK) .937 .168 .768 5.580 .000**
Konsentrat (ton BK) .311 .128 .257 2.437 .016*
Tenaga kerja (hok) .087 .148 .073 .585 .559
Tipe kandang (score) .084 .076 .039 1.108 .270
Lingk kandang (score) -.013 .062 -.006 -.212 .833
Bangsa sapi (score) .608 .068 .264 9.004 .000**
Orientasi ush (score) -.026 .074 -.011 -.358 .721
Dependent Variable: Pertambahan Bobot Badan ternak (kg).

Berdasarkan Tabel 23 dapat dibentuk persamaan regresi sebagai


penduga pengaruh faktor-faktor independen (faktor-faktor produksi
kuantitatif dan kuali-tatif) terhadap faktor dependen (PBB sapi
potong) sebagai berikut:

Ln Y = 0,225 ln X1 - 0,403 ln X2 - 0,314 ln X3 + 0,768 ln X4 + 0,257 ln X5 +


0,073 ln X6 + 0,039 ln X7 - 0,006 ln X8 + 0,264 ln X9 - 0,011 ln X10

Keterangan :

pg. 15
16

Y : Pertambahan bobot badan ternak (kg/periode).


X1 : Jumlah sapi potong yang diusahakan (ekor/periode).
X2 : Bobot badan awal sapi potong (kg).
X3 : Lama waktu penggemukan sapi potong (bl/periode).
X4 : Hijauan pakan ternak (ton BK/periode).
X5 : Konsentrat (ton BK/peruode).
X6 : Curahan tenaga kerja (hok/periode).
X7 : Tipe kandang ternak (score).
X8 : Kondisi lingkungan kandang (score).
X9 : Bangsa sapi yang diusahakan peternak (score).
X10 : Orientasi usaha ternak (score).
ln : Logaritma yang berbasis e, di mana e = 2,718.

Koefisien regresi pada persamaan tersebut merupakan koefisien


variabel independen yang sudah distandardisasi, sehingga persamaan
regresi tidak mempunyai konstanta karena garis regresi melewati titik
orijin. Standardisasi (standardized beta) diterapkan dengan tujuan
untuk mengeliminasi perbedaan unit ukuran yang diterapkan pada
variabel-variabel independen yang realitasnya tidak sama (heterogen).
Menurut Ghozali (2007), jika ukuran variabel independen tidak sama,
maka sebaiknya interpretasi persamaan regresi menggunakan
standardized beta. Lebih lanjut diungkapkan, keuntungan
menggunakan standardized beta adalah mampu mengeliminasi
perbedaan unit ukuran pada variabel independen.
Hasil persamaan regresi menunjukkan, bahwa faktor-faktor
produksi kuantitatif yang meliputi jumlah sapi yang diusahakan (X 1),
jumlah bahan kering hijauan pakan ternak (X4), jumlah bahan kering
pakan konsentrat (X5), jumlah curahan tenaga kerja (X6), serta faktor-
faktor produksi kualitatif yang meliputi tipe kandang ternak (X 7), dan
bangsa sapi potong (X9) mempunyai hubungan yang positif (searah)
terhadap PBB sapi potong (Y). Sedangkan faktor-faktor produksi
bobot badan awal sapi potong (X2), lama waktu penggemukan (X3),

pg. 16
17

kondisi lingkungan kandang ternak (X8), dan orientasi usaha ternak


(X10) berhubungan negatif (berlawanan arah) terhadap PBB sapi
potong (Y). Selanjutnya untuk mengetahui signifikansi parameter
secara serempak, signifikansi parameter secara parsial, dan koefisien
determinasi perlu dilakukan uji goodness of fit persamaan regresi. Uji
goodness of fit secara lengkap di sajikan pada Lampiran 15.

Lampiran 15. Uji Goodness of Fit

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .948 a
.899 .892 .30287
a. Predictors: (Constant), OUs, WPg, LKd, BSp, TKd, JSp, PKo, CTk, BAw, HPt

Anovab
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 125.778 10 12.578 137.119 .000a
Residual 14.126 154 .092
Total 139.904 164
a. Predictors: (Constant), OUs, WPg, LKd, BSp, TKd, JSp, PKo, CTk, BAw, HPt
b. Dependent Variable: PBb

Lampiran 15. (lanjutan)

pg. 17
18

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
1 (Constant) 7.306 .965 7.567 .000
JSp .312 .140 .225 2.234 .027*
BAw -.508 .137 -.403 -3.707 .000**
WPg -.556 .162 -.314 -3.424 .001**
HPt .937 .168 .768 5.580 .000**
PKo .311 .128 .257 2.437 .016*
CTk .087 .148 .073 .585 .559
TKd .084 .076 .039 1.108 .270
LKd -.013 .062 -.006 -.212 .833
BSp .608 .068 .264 9.004 .000**
OUs -.026 .074 -.011 -.358 .721
a. Dependent Variable: PBb

1) Uji simultan (uji F).

Hasil perhitungan menggunakan paket program SPSS diperoleh


nilai-nilai analysis of variance (anova) seperti disajikan pada Tabel
24.

Tabel 24. Análysis of Variance Pengaruh Faktor-faktor Produksi terhadap


Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong yang Digemukkan.

pg. 18
19

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.


1 Regression 125.778 10 12.578 137.119 .000a
Residual 14.126 154 .092
Total 139.904 164

Berdasarkan Tabel 24, secara serempak variabel-variabel


independen berpengaruh sangat nyata terhadap variabel dependen,
atau dengan kata lain faktor-faktor produksi jumlah sapi (X1), bobot
badan awal ternak (X2), lama waktu penggemukan (X3), jumlah bahan
kering hijauan pakan (X4), jumlah bahan kering konsentrat (X5),
curahan tenaga kerja (X6), tipe kandang ternak (X7), kondisi ling-
kungan kandang (X8), bangsa sapi (X9), dan orientasi usaha (X10)
secara serempak berpengaruh sangat nyata terhadap PBB sapi potong
(Y). Kondisi ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar 137,119 dengan nilai
signifikansi 0,000 (P < 0,01 < 0,05).

2) Uji parsial (uji t)

Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui, bahwa secara parsial


faktor-faktor jumlah sapi yang diusahakan (X1), dan jumlah bahan
kering pakan konsentrat (X5) berpengaruh nyata (P < 0,05), sedangkan
bobot badan awal sapi potong (X2), lama waktu penggemukan (X3),
jumlah bahan kering hijauan pakan (X4), dan bangsa sapi (X9)
berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kuantitas PBB sapi
potong (Y). Faktor-faktor curahan tenaga kerja (X6), tipe kandang
(X7), kondisi ling-kungan kandang (X8), dan orientasi usaha ternak

pg. 19
20

(X10) tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi
potong (Y).

3) Koefisien determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur


kemampuan persamaan regresi linear berganda (fungsi produksi
model Cob-Douglas) dalam menerangkan variasi kuantitas PBB sapi
potong sebagai variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan paket program SPSS diperoleh koefisien korelasi
sebesar 0,948, yang berarti faktor-faktor produksi (kuantitatif dan
kualitatif) yang dibakukan sebagai variabel independen mempunyai
keeratan hubungan tergolong kuat dengan kuantitas PBB sapi potong
sebagai variabel dependen. Koefisien determinasi diperoleh sebesar
0,892; yang berarti bahwa variasi yang terdapat pada faktor-faktor
produksi jumlah sapi (X1), bobot badan awal ternak (X2), lama waktu
penggemukan ternak (X3), jumlah bahan kering hijauan pakan ternak
(X4), jumlah bahan kering konsentrat (X5), curahan tenaga kerja (X6),
tipe kandang ternak (X7), kondisi lingkungan kandang (X8), bangsa
sapi (X9), dan orientasi usaha ternak (X10) sebesar 89,20% dapat
menerangkan variasi yang terjadi pada kuantitas PBB sapi potong (Y),
sedangkan sebesar 10,80% diterangkan oleh faktor-faktor lain yang
tidak dimasukkan dalam model.

4.7.4. Pengaruh faktor-faktor produksi terhadap PBB sapi potong

pg. 20
21

Pengaruh faktor-faktor produksi (kuantitatif dan kualitatif)


terhadap kuantitas PBB sapi potong diidentifikasi dari hasil uji parsial
atau uji t (goodness of fit test). Berdasarkan hasil uji t, variabel-
variabel independen yang berpengaruh nyata atau sangat nyata
terhadap kuantitas PBB sapi potong meliputi jumlah sapi yang
diusahakan (X1), bobot badan awal sapi potong (X2), lama waktu
penggemukan sapi potong (X3), bahan kering hijauan pakan ternak
(X4), bahan kering pakan konsentrat (X5), dan bangsa sapi yang
diusahakan (X9). Variabel-variabel independen yang tidak
berpengaruh nyata terhadap PBB sapi potong meliputi curahan tenaga
kerja (X6), tipe kandang ternak (X7), kondisi lingkungan kandang (X8),
dan orientasi usaha ternak (X9).
Jumlah pemilikan sapi potong (X1), adalah kuantitas ternak sapi
potong yang diusahakan peternak rakyat untuk tujuan menghasilkan
pertambahan bobot badan ternak selama satu periode penggemukan
(dalam satuan ekor). Jumlah sapi yang diusahakan peternak rakyat
sangat penting peranannya terhadap kuantitas PBB yang dihasilkan,
sehingga kuantitas PBB merupakan fungsi dari jumlah sapi.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial jumlah sapi
yang diusahakan peternak rakyat berpengaruh nyata (P < 0,05) dengan
arah positif terhadap kuantitas total PBB sapi potong. Hal ini dapat
diartikan, apabila jumlah sapi potong yang diusahakan peternak rakyat
ditambah atau dikurangi dari jumlah rata-rata 3,08 ekor/peternak dan
dengan asumsi faktor-faktor independen yang lainnya dianggap
konstan, maka akan meningkatkan atau mengurangi kuantitas total
PBB sapi potong. Hasil analisis ini sesuai dengan hasil penelitian

pg. 21
22

Marawali et al. (2004), yang menyatakan bahwa usaha penggemukan


sapi potong di Kabupaten Kupang dengan skala usaha rata-rata 1,70
ekor/peternak berpengaruh nyata dengan arah positif terhadap
peningkatan PBB sapi potong.
Bobot badan awal sapi potong (X2), adalah bobot badan ternak
pada saat mulai dibudidayakan sebagai usaha penggemukan sapi
potong atau dengan kata lain bobot badan bakalan sapi potong
(diukur dengan satuan kilogram). Bobot badan bakalan sapi potong
juga penting peranannya terhadap kuantitas PBB yang dihasilkan,
sehingga kuantitas PBB juga merupakan fungsi dari bobot badan
bakalan sapi potong.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial bobot badan
awal sapi potong berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) dengan arah
negatif terhadap kuantitas PBB sapi potong. Hal ini dapat diartikan
apabila bakalan sapi potong yang diusahakan peternak rakyat lebih
besar dari pada rata-rata bobot badan awal 310,81 kg dan dengan
asumsi faktor-faktor independen lainnya dianggap konstan, maka
justeru akan menurunkan PBB sapi potong. Demikian pula sebaliknya
apabila bobot badan awal sapi potong lebih kecil dari rata-rata bobot
badan awal 310,81 kg, maka akan dapat meningkatkan PBB sapi
potong. Koefisien regresi yang bertanda negatif, disebabkan oleh nilai
rata-rata bobot badan awal sapi potong (310,81 kg) yang digunakan
sebagai sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong diduga
terlalu besar.
Pada sapi bakalan dengan bobot badan yang terlalu besar secara
teoritis mempunyai kecenderungan sapi bakalan tersebut sudah

pg. 22
23

melewati umur pubertas, sehingga laju pertumbuhannya mulai


menurun dan akan terus menurun hingga umur dewasa. Pada umur
dewasa pertumbuhan sapi berhenti, namun tetap dapat mengalami
perubahan bobot badan yang semakin meningkat akibat dari
penimbunan lemak yang jauh lebih dominan dibandingkan dari
pertumbuhan yang sesungguhnya (pertambahan massa non lemak).
Oleh karena itu, sapi yang dipotong pada usia muda (1,50 – 2,5 th)
persentase dagingnya lebih tinggi dibandingkan sapi dewasa
(Sudarmono dan Sugeng, 2008). Kondisi ini didukung oleh pendapat
Firdausi et al. (2012) yang menyatakan semakin tinggi bobot badan
awal maka PBB harian yang dihasilkan semakin kecil, dan sapi yang
baik untuk digemukkan adalah sapi dalam kondisi kurus tetapi sehat
agar PBB harian yang dihasilkan tinggi.
Bobot sapi bakalan yang terlalu berlebihan, akan menyebabkan
sapi tersebut tidak dapat digemukkan lagi (Kongphitee et al., 2010).
Menurut Parakkasi (1999), kegemukan akan menurunkan nafsu makan
yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam
pengisian rongga abdomalis atau adanya feedback dari jaringan lemak.
Lama waktu penggemukan (X3), adalah waktu yang dibutuhkan
untuk kegiatan budidaya penggemukan sapi potong per periode
produksi yang dimulai sejak sapi dibudidayakan sampai akhir
penggemukan atau sampai sapi siap dipotong yang diukur dengan
satuan bulan. Lama waktu penggemukan sangat penting peranannya
terhadap kuantitas PBB sapi potong, sehingga kuantitas PBB juga
merupakan fungsi dari waktu. Perbandingan PBB ternak dibandingkan

pg. 23
24

dengan waktu disebut pertumbuhan kumulatif (Rianto dan Purbowati,


2009).
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial lama waktu
penggemukan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) dengan arah
negatif terhadap kuantitas PBB sapi potong. Hal ini dapat diartikan
apabila waktu penggemukan sapi potong bertambah lama dari pada
nilai rata-ratanya sebesar 7,82 bulan dan dengan asumsi bahwa faktor-
faktor independen lainnya dianggap konstan, maka justeru akan
menurunkan PBB sapi potong. Demikian pula sebaliknya, apabila
lama waktu penggemukan dikurangi dari nilai rata-ratanya, maka akan
dapat meningkatkan PBB sapi potong. Kondisi tersebut terjadi karena
lamanya waktu penggemukan rata-rata (7,82 bulan) yang dilaksanakan
oleh peternak rakyat dapat dikatagorikan terlalu lama, sehingga laju
pertumbuhan ternak yang tinggi tidak terjadi secara optimal.
Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh pengaruh bobot badan awal
terhadap PBB sapi potong yang bertanda negatif, dan diduga bakalan
sapi potong yang digunakan untuk usaha penggemukan mempunyai
bobot badan awal rata-rata yang terlalu besar (310,81 kg) atau dengan
kata lain diduga sapi bakalan tersebut sudah melampaui umur
pubertas. Lama waktu penggemukan 7,82 bulan/ periode dapat
dikatagorikan penggemukan jangka panjang, karena menurut
Sudarmono dan Sugeng (2008) lama penggemukan sapi dibedakan
menjadi tiga, yaitu penggemukan jangka pendek (< 4 bulan), jangka
menengah (4 – 7 bulan), dan penggemukan jangka panjang (> 7
bulan).

pg. 24
25

Hijauan pakan ternak (X4), adalah semua bahan pakan yang


berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan,
termasuk batang, ranting dan bunga. Jumlah bahan kering hijauan
pakan ternak adalah kuantitas hijauan pakan yang diberikan kepada
ternak sapi potong per periode produksi dengan tidak
memperhitungkan kandungan air sebagai salah satu komponennya
(diukur dengan satuan ton). Hijauan pakan untuk ternak sapi potong
rata-rata diberikan 3 kali/hari dengan macam yang bervariasi, antara
lain jerami padi, ruput gajah, jerami jagung, rumput lapangan. Jerami
padi merupakan hijauan pakan yang dominan diberikan kepada ternak
sapi potong. Menurut Hartadi et al. (1997), kandungan bahan kering
pada jerami padi kering adalah sebesar 86 %, rumput gajah segar 28
%, jerami jagung segar 28 %, dan bahan kering pada rumput lapangan
segar 25 %. Hijauan pakan bermanfaat untuk perawatan tubuh,
kebutuhan pokok hidup, dan keperluan berproduksi bagi ternak yang
bersangkutan.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial bahan kering
hijauan pakan ternak berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) dengan arah
positif terhadap kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila bahan
kering hijauan pakan ternak yang diberikan kepada sapi potong
ditambah kuantitasnya menjadi lebih besar dari jumlah rata-rata 8,38
ton (BK)/3,08 ekor/7,82 bulan (atau setara 11,60 kg (BK)/ekor/ hari)
dan dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap konstan, maka akan
dapat meningkatkan PBB sapi potong. Begitupun sebaliknya, apabila
jumlah bahan kering hijauan pakan yang diberikan kepada sapi potong
dikurangi menjadi lebih kecil dari jumlah rata-ratanya, maka akan

pg. 25
26

menurunkan PBB sapi potong. Hasil analisis ini sesuai dengan hasil
penelitian Marawali et al. (2004), yang menyatakan bahwa jumlah
pakan segar yang diberikan kepada ternak sapi potong di Kabupaten
Kupang sebanyak 21,21 kg/ekor/hari berpengaruh nyata dengan arah
positif terhadap peningkatan PBB sapi potong.
Hijauan pakan yang diberikan kepada sapi potong sangat
beragam (macam maupun kualitasnya), sehingga kandungan unsur-
unsur zat pakan di dalamya juga tidak akan sama antara pakan satu
dengan pakan yang lainnya. Hijauan pakan berupa jerami padi,
termasuk bahan pakan yang kurang mempunyai mutu baik, sehingga
apabila diberikan kepada sapi potong yang sedang digemukkan maka
hasilnya akan kurang baik, karena unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya (khususnya protein) tergolong rendah. Hijauan pakan ternak
dalam usaha penggemukan sapi potong tetap diharapkan
keberadaannya dalam ransum (walaupun jumlahnya sedikit), karena
untuk menambah suplai protein, kalsium, fosfor, mineral mikro dan
vitamin, serta untuk mengurangi problem pencernakan seperti
kembung dan sebagainya.
Konsentrat (X4), adalah bahan pakan ternak yang dipergunakan
bersama bahan pakan yang lain untuk meningkatkan keserasian gizi
dari keseluruhan pakan dan dimaksudkan untuk disatukan/dicampur
sebagai suplemen atau pakan lengkap. Jumlah bahan kering
konsentrat adalah kuantitas konsentrat yang diberikan kepada ternak
per periode produksi dengan tidak memperhitungkan kandungan air
sebagai salah satu komponennya dan diukur dengan satuan ton. Pakan
konsentrat diberikan kepada sapi potong sebanyak 1 – 2 kali/hari yang

pg. 26
27

secara realitas macamnya bervariasi, antara lain berupa dedak padi,


ketela pohon segar, dan jagung. Dedak padi dan ketela pohon
merupakan komponen konsentrat yang dominan diberikan kepada
ternak. Menurut Hartadi et al. (1997), kandungan bahan kering pada
dedak padi adalah sebesar 86 %, ketela pohon segar 23 %, dan biji
jagung kering 86 % dari berat fisiknya. Dedak padi digunakan
sebagai pakan penguat, yaitu pakan yang berfungsi untuk
meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang
nilai gizinya rendah. Dedak padi sebagai pakan penguat mempunyai
kadar serat kasar yang relatif rendah (6 – 12 %) serta kandungan
protein yang relatif tinggi (11,35 – 13,8 %), sehingga mudah dicerna
oleh ternak.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial bahan kering
pakan konsentrat berpengaruh nyata (P < 0,05) dengan arah positif
terhadap kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila bahan kering
konsentrat yang diberikan kepada sapi potong ditambah atau dikurangi
kuantitasnya menjadi lebih besar atau lebih kecil dari jumlah rata-rata
2,02 ton (BK)/3,08 ekor/7,82 bulan (atau setara 2,80 kg
(BK)/ekor/hari) dan dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap
konstan, maka akan juga meningkatkan atau menurunkan kuantitas
PBB sapi potong. Kondisi ini merupakan hal yang wajar, karena
pakan konsentrat mempunyai fungsi untuk meningkatkan dan
memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya
rendah. Sapi potong yang sedang digemukkan idealnya harus
diberikan pakan konsentrat yang cukup, agar dapat menghasilkan PBB
sapi potong yang baik. Hasil analisis ini tersirat sesuai dengan hasil

pg. 27
28

penelitian Dinata et al. (2009) yang menyatakan bahwa sapi PO yang


diberikan pakan konsentrat (BK) sebanyak 2,00% dari bobot badan
sapi menghasilkan PBB harian yang lebih besar dibandingkan sapi
yang diberikan pakan konsentrat (BK) sebanyak 1%. Lebih lanjut
menurut hasil penelitian Irawan (2009), bahwa semakin banyak
pemberian konsentrat pada program penggemukan sapi potong, secara
nyata (P < 0,05) akan meningkatkan PBB harian.
Curahan tenaga kerja (X6), adalah jumlah tenaga kerja yang
dialokasikan per periode produksi pada usaha penggemukan sapi
potong, sejak sapi bakalan mulai dibudidayakan sampai dengan sapi
yang bersangkutan siap dipasarkan dan diukur dengan satuan hok
(hari orang kerja). Eksistensi curahan tenaga kerja sebagai salah satu
komponen faktor produksi pada usaha penggemukan sapi potong
sangat diperlukan, karena tenaga kerja merupakan pelaksana
operasional aktivitas proses produksi. Aktivitas operasional proses
produksi yang membutuhkan curahan tenaga kerja antara lain aktivitas
pembersihan kandang dari kotoran ternak dan sisa pakan, pemberian
pakan dan minum kepada ternak, memandikan ternak, perawatan
ternak, dan ragam aktivitas yang lainnya.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial curahan tenaga
kerja tidak berpengaruh nyata (P > 0,05), dan mempunyai arah positif
terhadap kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila faktor produksi
curahan tenaga kerja ditambah atau dikurangi kuantitasnya menjadi
lebih besar atau lebih kecil dari rata-rata curahan sebanyak 109,93
hok/3,08 ekor/7,82 bulan (atau setara 1,22 jok/ekor/hari) dan dengan
asumsi bahwa faktor-faktor produksi yang lainnya dianggap konstan,

pg. 28
29

maka tidak akan meningkatkan atau mengurangi kuantitas PBB sapi


potong. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Marawali et al.
(2004), yang menyatakan bahwa curahan tenaga kerja berpengaruh
nyata dengan arah positif terhadap PBB sapi potong. Faktor-faktor
yang menyebabkan curahan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata
terhadap PBB sapi potong, adalah alokasi tenaga kerja 1,22
jok/ekor/hari merupakan curahan yang cukup untuk berbagai aktifitas
operasional usaha ternak sapi potong. Curahan tenaga kerja pada
usaha penggemukan sapi potong sebesar 1,2 jok/ekor/hari lebih besar
dibandingkan hasil penelitian Purwanto et al. (2006) sebanyak 180
hok/16 ekor/3 bl atau setara dengan 1,00 jok/ekor/hari.
Tipe kandang (X7) yang dimaksud dalam penelitian ini
berkaitan erat dengan konstruksi kandang yang didasarkan atas wujud
fisik kandang, meliputi lantai kandang, kerangka kandang, dinding
kandang, atap kandang, dan tempat pakan serta tempat minum ternak.
Tipe kandang diklasifikasikan menjadi tiga katagori, yaitu permanen,
semi permanen, dan sederhana yang diukur berdasarkan satuan score.
Tipe kandang mempunyai makna penting terhadap tempat berlindung
ternak dan penunjang produktivitasnya.
Berdasarkan hasil analisis data empiris, tipe kandang ternak
sapi potong sebagian besar dapat dikatagorikan sederhana (39,40%),
kemudian diikuti katagori permanen (31,51%), dan semi permanen
(29,09%). Secara parsial tipe kandang ternak tidak berpengaruh nyata
(P > 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila score
tipe kandang ditingkatkan atau diturunkan menjadi lebih besar atau
lebih kecil dari score rata-rata sebesar 1,95 (katagori semi permanen)

pg. 29
30

dan dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap konstan, maka


tidak akan berpengaruh terhadap kuantitas PBB sapi potong.
Hubungan fisik antara tipe kandang terhadap PBB sapi potong
yang demikian, kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal antara
lain: (i) dominannya pengaruh faktor-faktor produksi di luar tipe
kandang ternak terhadap PBB sapi potong (misal: jumlah sapi yang
diusahakan, bobot badan awal sapi, lama waktu penggemukan,
hijauan pakan ternak, pakan konsentrat, dan bangsa sapi); (ii) kandang
sebagai pelindung ternak hanya dalam katagori cukup melindungi
ternak dari hal yang tidak meng-untungkan (misal : hujan, banjir,
angin, udara dingin, terik matahari, maupun ancaman predator serta
pencuri ternak); (iii) kandang sebagai penunjang produktivitas ternak
hanya dapat dikatagorikan cukup dukungannya terhadap aktivitas-
aktivitas pemeliharaan ternak, khususnya penanganan dan
pengawasan ternak, baik yang menyangkut masalah kesehatan,
produksi (termasuk laju pertumbuhan dan perkembangan), serta
reproduksi.
Kondisi lingkungan kandang (X8), adalah salah satu faktor
lingkungan hidup ternak yang mempunyai peranan terhadap jaminan
hidup sehat dan nyaman serta sesuai dengan tuntutan hidup ternak.
Kondisi lingkungan kandang yang baik adalah apabila sepenuhnya
dapat memberikan kenyamanan untuk pertumbuhan dan
perkembangan ternak. Lingkungan kandang diklasifikasikan menjadi
empat katagori, yaitu sangat baik, baik, sedang, dan kurang (dalam
satuan score).

pg. 30
31

Berdasarkan hasil analisis data empiris, sebagian besar kondisi


lingkungan kandang yang ada pada tingkat peternak rakyat dalam
katagori baik (41,21 %) dan sedang (41,21 %), kemudian sebagian
kecil dengan katagori kurang baik (13,33 %), dan sangat baik (4,24
%). Secara parsial, kondisi lingkungan kandang tidak berpengaruh
nyata terhadap kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila score
kondisi lingkungan kandang ditingkatkan atau diturunkan menjadi
lebih besar atau lebih kecil dari score rata-rata sebesar 3,25 (katagori
baik) dan dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap konstan,
maka tidak akan berpengaruh terhadap kuantitas PBB sapi potong.
Hubungan fisik antara kondisi lingkungan kandang terhadap PBB sapi
potong yang demikian, kemungkinan disebabkan oleh dominannya
pengaruh faktor-faktor produksi di luar kondisi lingkungan kandang
terhadap PBB sapi potong.
Bangsa sapi yang dominan terdapat di lapangan (daerah
penelitian) meliputi SPO, PO dan LPO. Bangsa sapi diukur
menggunakan satuan score. Bangsa sapi pada usaha penggemukan
sapi potong sangat penting, karena bangsa sapi melalui sifat
genetiknya sangat berkaitan erat dengan potensinya sebagai mesin
biologis dalam menghasilkan PBB sapi potong. Menurut Soeparno
(2005), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan antara
lain genotip, jenis kelamin, hormon dan kastrasi. Bangsa sapi yang
berbeda mempunyai potensi laju pertumbuhan yang juga berbeda.
Sapi hasil persilangan mempunyai laju pertumbuhan (pertambahan
bobot badan) yang lebih tinggi dibandingkan sapi lokal, sehingga

pg. 31
32

banyak disenangi oleh peternak. Namun, setiap bangsa sapi


mempunyai keunggulan dan kekurangan yang tidak senantiasa sama.
Berdasarkan analisis data empiris, secara parsial bangsa sapi
potong berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) dengan arah positif
terhadap PBB sapi potong. Artinya, semakin tinggi peringkat score
bangsa sapi potong dibandingkan dengan score rata-rata sebesar 1,84
dengan asumsi faktor-faktor yang lain dianggap konstan, maka akan
semakin meningkatkan kuantitas PBB sapi potong. Demikian pula
sebaliknya, apabila peringkat score bangsa sapi potong semakin
rendah dibandingkan score rata-ratanya sebesar 1,84, maka akan
semakin menurunkan kuantitas PBB sapi potong. Peningkatan mutu
genetik hasil per-silangan sapi-sapi Bos Taurus dengan sapi lokal
(PO) tidak hanya memperbaiki PBB harian, namun juga akan
mempercepat waktu penggemukan, memperbaiki efisiensi
penggunaan pakan, serta meningkatkan persentase karkas dan kualitas
daging (Soeharsono et al., 2011). Namun, apabila sapi-sapi hasil
persilangan tidak dipelihara dengan baik, maka performansnya akan
menurun drastis. Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan dengan
sapi PO atau sapi lokal, yang pada umumnya mampu beradaptasi
dengan kondisi lingkungan (pakan) yang buruk (Djajanegara dan
Diwyanto, 2001). Fenomena yang demikian disebabkan karena
adanya interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan, atau dikenal
dengan genetic environment interaction (GEI).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (49,09%)
peternak rakyat menggunakan sapi SPO, kemudian sebanyak 33,33%
peternak menggunakan sapi PO, sebanyak 12,12% peternak

pg. 32
33

menggunakan sapi LPO, dan sisanya sebanyak 5,46% peternak


menggunakan berbagai bangsa lainnya dalam usaha penggemukan
sapi potong. Pada sisi lain, dari hasil penelitian juga dapat diketahui
bahwa rata-rata kuantitas PBB sapi potong perhari pada sapi LPO
(0,93 kg/hari) lebih besar bila dibandingkan dengan sapi SPO (0,84
kg/hari) maupun sapi PO (0,41 kg/hari).
Orientasi usaha (X10), merupakan tujuan utama peternak rakyat
dalam melaksanakan budidaya atau usaha penggemukan sapi potong.
Orientasi usaha dibakukan sebagai independent variable dengan tiga
katagori, yaitu komersial, semi komersial, dan sambilan (satuan:
score).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui, bahwa sebagian
besar peternak dalam melaksanakan usaha ternaknya mempunyai
orientasi sebagai usaha sambilan sebesar 73,33 %, kemudian secara
berurutan diikuti oleh semi komersial sebesar 13,94 %, dan orientasi
komersial sebesar 12,73 %. Secara parsial, orientasi usaha tidak
berpengaruh nyata (P > 0,05) dan mempunyai arah negatif terhadap
kuantitas PBB sapi potong. Artinya, apabila score orientasi usaha
ditingkatkan atau diturunkan menjadi lebih besar atau lebih kecil dari
score rata-rata 1,39 (katagori usaha sambilan) dan dengan asumsi
faktor-faktor lainnya dianggap konstan, maka tidak akan berpengaruh
terhadap kuantitas PBB sapi potong. Hubungan fisik antara orientasi
usaha terhadap PBB sapi potong yang demikian, kemungkinan
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (i) belum kuatnya motivasi
peternak rakyat dalam memposisikan usaha penggemukan sapi potong
sebagai usaha komersial atau semi komersial, dengan kata lain masih

pg. 33
34

diposisikan sebagai usaha sambilan; (ii) pengelolaan usaha


penggemukan sapi potong belum dilakukan secara intensif; (iii)
dominannya pengaruh faktor-faktor produksi di luar faktor orientasi
usaha terhadap PBB sapi potong.

4.8. Elastisitas dan Efisiensi Faktor-faktor Produksi

Pengaruh faktor-faktor produksi (kuantitatif dan kualitatif)


terhadap kuantitas PBB sapi potong dapat diketahui dari hasil uji t
(goodness of fit test), sedangkan besarnya pengaruh dapat dilihat dari
koefisien elastisitas produksi masing-masing faktor produksi yang
bersangkutan. Elastisitas produksi adalah suatu konsep yang
mengukur derajad kepekaan perubahan output yang disebabkan oleh
perubahan penggunaan input (Sumodiningrat dan Iswara, 1987).
Menurut Soekartawi (1994), elastisitas produksi (Ep) adalah persentase
perubahan output sebagai akibat dari persentase perubahan input.
Berdasarkan nilai elastisitas produksi, selanjutnya dapat digunakan
untuk menghitung efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dapat ditinjau
melalui efisiensi teknis dan efisiensi harga (efisiensi alokatif).
Efisiensi teknis secara teoritis dapat terwujud apabila dalam suatu
proses produksi dapat diperoleh nilai fisik produk rata-rata (average
physical product) yang maksimal. Efisiensi harga dapat tercapai
apabila peternak mampu membuat suatu upaya di mana nilai produk
marjinal (NPM) untuk suatu faktor produksi sama dengan harga faktor
produksi (Px) yang bersangkutan. Menurut Soekartawi (1994), dalam

pg. 34
35

kenyataannya NPMx tidak selalu sama dengan Px, yang sering terjadi
adalah: (i) (NPMx/Px) > 1, artinya penggunaan input X belum efisien,
sehingga untuk mencapai efisiensi maka faktor produksi yang
bersangkutan perlu ditambah kuantitasnya. (ii) (NPM x/Px) < 1, artinya
penggunaan input X tidak efisien, sehingga untuk mencapai efisiensi
maka faktor produksi yang bersangkutan perlu dikurangi kuantitasnya.
Berdasarkan hasil analisis data empiris, besarnya elastisitas
produksi terhadap masing-masing faktor produksi kuantitatif dan
faktor-faktor produksi kualitatif dapat dilihat pada fungsi model Cobb-
Douglas sebagai berikut :

Y = X10,225 X2-0,403 X3-0,314 X40,768 X50,257 X60,073 X70,039 X8-0,006 X90,264 X10-0,011

Nilai konstanta sebesar nol secara teoritis mengandung arti


bahwa apabila variabel-variabel independen (X1, X2, X3, ......., X10)
bernilai nol, maka besarnya PBB sapi potong juga bernilai nol.
Konstanta bernilai nol karena dalam persamaan regresi yang
diterapkan untuk menyusun fungsi produksi model Cobb Douglas
menggunakan koefisien regresi yang telah melalui standardisasi,
sehingga garis regresi melalui titik orijin. Penggunaan koefisien
regresi yang sudah distandardisasi ini di dasarkan pada pertimbangan,
bahwa satuan-satuan fisik variabel independen adalah tidak homogen
(beragam). Menurut Ghozali (2007), jika ukuran variabel independen
tidak sama, maka sebaiknya intepretasi persamaan regresi
menggunakan standardized beta. Lebih lanjut dinyatakan,
keuntungan menggunakan standardized beta adalah mampu
mengeliminasi perbedaan unit ukuran pada variabel independen.

pg. 35
36

Sedangkan nilai-nilai yang mempunyai peranan sebagai pangkat pada


masing-masing variabel independen dalam fungsi produksi model
Cobb-Douglas disebut elastisitas.
Berdasarkan fungsi produksi model Cobb-Douglas diperoleh
jumlah elastisitas produksi (∑ βi) sebesar 0,892, yang artinya bahwa
proses produksi penggemukan sapi potong yang dilakukan peternak
rakyat secara teoritis berada pada kondisi decreasing return to scale.
Decreasing return to scale mengandung arti, apabila input usaha
penggemukan sapi potong pada tingkat peternak rakyat diperluas
menjadi dua kalinya dan dengan asumsi harga-harga faktor input
maupun harga faktor output dianggap tetap, maka output usaha yang
dihasilkan kurang dari dua kalinya atau dapat dikatakan tidak lagi
menguntungkan (diseconomies of scale). Kondisi ini kemungkinan di
samping karena usaha penggemukan sapi potong pada tingkat
peternak rakyat masih diusahakan sebagai usaha sambilan, juga
disebabkan karena rendahnya harga bobot hidup sapi (output).
Rendahnya harga bobot hidup sapi pada saat itu merupakan akibat dari
meningkatknya kuantitas impor sapi maupun daging yang dilakukan
pemerintah Indonesia.
Kondisi riil di lapangan, peternak dalam melaksanakan usaha
ternaknya tidak hanya mempunyai kepentingan terhadap jumlah
produk yang dihasilkan saja, akan tetapi tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana meningkatkan pendapatan usaha semaksimal mungkin.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dihitung tingkat efisiensi harga
(efficiency allocative) penggunaan masing-masing faktor produksi
kuantitatif usaha penggemukan sapi potong. Efisiensi harga faktor-

pg. 36
37

faktor produksi kuantitatif dihitung dengan terlebih dahulu


mengetahui nilai rata-rata penggunaan masing-masing faktor
produksi, produk fisik marjinal (PFM) dari setiap penggunaan faktor
produksi, biaya korbanan marjinal (BKM) atau harga masing-masing
faktor produksi persatuan (Pxi), dan harga produk persatuan (Py) yang
nilainya seperti disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Efisiensi Harga Faktor-faktor Produksi pada Usaha


Penggemukan Sapi Potong Tingkat Peternak Rakyat.

Faktor Produksi Rata-rata PFM NPM BKM Efisiensi


Harga
.. (kg) .. .... (rupiah) ... .. (rupiah) ..
Jumlah sapi (X1) 3,08 ekor 11,73 252.539,86 6.812.517,79 0,04
Bobot awal (X2) 310,81 kg -0,21 -4.521,17 22.140,79 -0,20
Wkt pnggmk (X3) 7,82 bl -6,45 -138.864,63 3.495.591,82 -0,04
BK HPT (X4) 8,38 ton 14,71 316.697,47 306.379,91 1,03
BK Konsent (X5) 2,02 ton 20,40 439.131,41 1.867.186,36 0,23
Tenaga kerja (X6) 109,93 hok 0,11 2.368,23 28.694,32 0,08

Jumlah sapi potong yang dibudidayakan pada tingkat peternak


rakyat mempunyai hubungan positif terhadap kuantitas PBB yang di
hasilkan dengan . nilai elastisitas jumlah sapi terhadap PBB sapi
potong sebesar 0,225. Artinya, apabila jumlah sapi potong yang
diusahakan peternak rakyat ditambah atau dikurangi sebesar 1,00%
dari jumlah rata-rata 3,08 ekor/peternak dan dengan asumsi faktor-
faktor independen lainnya ceteris paribus, maka akan meningkatkan
atau mengurangi rata-rata PBB sapi potong sebesar 0,225% dari
160,53 kg/periode produksi. Hal ini terjadi karena pengusahaan sapi
potong pada tingkat peternak rakyat dengan skala usaha rata-rata 3,08
ekor/peternak merupakan jumlah yang relatif maksimal, sehingga
apabila dilakukan penambahan jumlah sapi potong untuk diusahakan

pg. 37
38

(dengan asumsi faktor-faktor produksi yang lainnya dianggap tetap),


maka hanya akan meningkatkan PBB sapi potong dalam kuantitas
yang relatif kecil.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil penelitian Marawali
et al. (2004), yang menyatakan bahwa usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Kupang dengan skala usaha rata-rata 1,70
ekor/peternak berpengaruh nyata dengan arah positif terhadap
peningkatan PBB sapi potong. Lebih lanjut dinyatakan, setiap
peningkatan jumlah sapi sebanyak 1,00% maka akan dapat
meningkatkan PBB sapi potong sebanyak 0,57% dari rata-rata 0,41
kg/ekor/hari.
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap jumlah sapi potong
yang diusahakan apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka
elastisitas produksi sebesar 0,225 berada pada daerah II, dan
implikasinya adalah setiap upaya penambahan sapi potong dalam
suatu usaha, tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan PBB
yang diperoleh peternak. Kondisi ini didukung oleh nilai efisiensi
harga sebesar 0,04, yang artinya rata-rata jumlah sapi yang diusahakan
sebanyak 3,08 ekor/periode dengan rata-rata harga penjualanRp
21.529,40/kg (bobot hidup) ditinjau dari efisiensi harga adalah tidak
efisien.
Rata-rata bobot badan awal sapi pada usaha penggemukan sapi
potong tingkat peternak rakyat adalah 310,81 kg, dan berdasarkan
analisis data empiris diperoleh nilai elastisitas bobot badan awal
terhadap PBB sapi potong sebesar -0,403. Hal ini mengandung
arti, apabila bobot badan awal sapi potong ditingkatkan sebanyak

pg. 38
39

1,00% dari rata-rata bobot badan sebesar 310,81 kg dengan asumsi


bahwa faktor-faktor independen lainnya ceteris paribus, maka akan
menurunkan PBB sapi potong sebesar 0,403% dari rata-rata 160,53
kg/periode produksi. Demikian pula sebaliknya, apabila bobot badan
awal sapi dikurangi sebanyak 1,00% dari rata-rata bobot badan awal
dan dengan asumsi faktor produksi yang lain ceteris patibus, maka
akan dapat meningkatkan PBB sapi potong sebesar 0,403% dari
160,53 kg/periode produksi. Kondisi tersebut terjadi karena rata-rata
bobot badan awal sapi potong yang digunakan sebagai sapi bakalan
oleh peternak rakyat adalah terlalu besar, rentang umur pubertas yang
tersisa relatif sedikit, sehingga laju pertumbuhan ternak yang tinggi
tidak terjadi secara optimal.
Nilai elastisitas produksi terhadap bobot awal ternak (bobot sapi
bakalan) apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka
elastisitas produksi -0,403 berada pada daerah III, dan implikasinya
setiap upaya penambahan bobot badan awal sapi potong justeru akan
merugikan peternak yang bersangkutan. Kondisi ini didukung oleh
nilai efisiensi harga sebesar -0,20, yang artinya bobot badan awal sapi
potong sebesar 310,81 kg pada usaha penggemukan sapi potong
dengan rata-rata harga penjualan sapi Rp 21.529,40/kg (bobot hidup),
maka ditinjau dari efisiensi harga secara ekonomis tidak efisien. Agar
dapat diperoleh laju pertumbuhan ternak yang optimal, maka bobot
badan awal sapi potong yang akan digemukkan perlu dikurangi
menjadi lebih kecil dari 310,81 kg.
Lama waktu penggemukan sapi potong pada tingkat peternak
rakyat sangat bervariasi, dan apabila diklasifikasikan berdasarkan

pg. 39
40

kelompok waktu maka sebagian besar (44,85%) melakukan


penggemukan selama 5 - 10 bulan, kemudian 30,91% lebih dari 10
bulan, dan 24,24% kurang dari 5 bulan. Berdasarkan hasil analisis
data empiris, diperoleh nilai elastisitas lama waktu penggemukan sapi
terhadap PBB sapi potong sebesar -0,314. Artinya, apabila waktu
penggemukan sapi potong ditingkatkan menjadi lebih lama 1,00% dari
nilai rata-ratanya 7,82 bulan dan dengan asumsi bahwa faktor-faktor
independen lainnya ceteris paribus, maka akan menurunkan rata-rata
PBB ternak sapi potong sebesar 0,314% dari 160,53 kg/periode
produksi. Kondisi tersebut juga berlaku kebalikannya, apabila faktor
lama waktu penggemukan berkurang sebesar 1,00% dari pada nilai
rata-ratanya 7,82 bulan dan dengan asumsi faktor produksi yang lain
ceteris paribus, maka akan dapat meningkatkan PBB sapi potong
sebesar 0,314% dari 160,53 kg/periode produksi. Kondisi tersebut
terjadi karena rata-rata lamanya waktu penggemukan (7,82 bulan)
yang dilaksanakan oleh peternak rakyat dapat dikatagorikan terlalu
lama, sehingga laju pertumbuhan ternak yang tinggi tidak terjadi
secara optimal. Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh pengaruh
bobot badan awal terhadap PBB sapi potong yang bertanda negatif,
yang diduga bakalan sapi potong yang digunakan untuk penggemukan
mempunyai bobot badan awal rata-rata yang terlalu besar (310,81 kg)
dan diduga bakalan sapi potong tersebut sudah melampaui umur
pubertas.
Nilai elastisitas produksi terhadap lama waktu penggemukan
sapi potong apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka
elastisitas produksi -0,314 berada pada daerah III, dan implikasinya

pg. 40
41

setiap upaya penambahan waktu penggemukan justeru akan


merugikan peternak yang bersangkutan. Kondisi ini didukung oleh
nilai efisiensi harga sebesar -0,04, yang artinya lama waktu
penggemukan 7,82 bulan/periode produksi pada usaha penggemukan
sapi potong dengan rata-rata harga penjualan sapi Rp 21.529,40/kg
(bobot hidup), maka ditinjau dari efisiensi harga secara ekonomis
tidak efisien. Berdasarkan analisis data empiris dengan asumsi faktor-
faktor independen yang lain dianggap konstan, agar terjadi laju
pertumbuhan ternak yang optimal maka lama penggemukan sapi
potong perlu dikurangi menjadi lebih kecil dari 7,82 bulan.
Hijauan pakan ternak yang diberikan kepada sapi potong secara
realitas sangat bervariasi, dan jerami padi merupakan hijauan pakan
yang dominan diberikan kepada ternak sapi potong. Berdasarkan
hasil analisis data empiris, diperoleh nilai elastisitas bahan kering
hijauan pakan ternak terhadap PBB sapi potong sebesar 0,768.
Artinya, apabila bahan kering hijauan pakan ternak ditambah
kuantitasnya sebesar 1,00% dari jumlah rata-rata 8,38 ton (BK)/3,08
ekor/7,82 bulan (setara dengan 11,60 kg (BK)/ekor/hari) dan dengan
asumsi faktor-faktor lainnya ceteris paribus, maka akan dapat
meningkatkan PBB sapi potong sebesar 0,768% dari rata-rata PBB
sapi potong (160,53 kg/3,08 ekor/periode produksi atau 0,68
kg/ekor/hari). Begitupun sebaliknya, apabila jumlah bahan kering
hijauan pakan dikurangi 1,00%, maka PBB sapi potong yang
dihasilkan juga akan berkurang sebesar 0,768%. Hasil analisis ini
sedikit berbeda dengan hasil penelitian Marawali et al. (2004), yang
menyatakan bahwa setiap peningkatan jumlah pakan segar 1,00%

pg. 41
42

maka akan dapat meningkatkan PBB sapi potong sebanyak 0,52%


dari rata-rata 0,41 kg/ekor/hari.
Nilai elastisitas produksi terhadap penggunaan hijauan pakan
ternak apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka elastisitas
produksi sebesar 0,768 berada pada daerah II, dan implikasinya adalah
setiap upaya penambahan bahan kering hijauan pakan ternak dalam
usaha penggemukan sapi potong tidak diimbangi secara proporsional
oleh tambahan PBB yang diperoleh peternak sapi potong. Pada
tahapan ini secara teoritis produk total yang dihasilkan tetap menaik,
namun kondisi decreasing rate. Analisis data empiris penggunaan
faktor produksi bahan kering hijauan pakan menghasilkan nilai
efisiensi harga sebesar 1,03, artinya pemberian bahan kering hijauan
pakan 8,38 ton (BK)/3,08 ekor/7,82 bulan (setara 11,60 kg
(BK)/ekor/hari) pada usaha penggemukan sapi potong dengan rata-
rata harga penjualan sapi Rp 21.529,40/kg bobot hidup maka secara
ekonomis relatif efisien (efisiensi harga mendekati nilai 1,00).
Jumlah konsentrat (dalam bentuk bahan kering) sebagai pakan
pada usaha penggemukan sapi potong secara teoritis mempunyai
pengaruh positif terhadap kuantitas PBB yang dihasilkan. Berdasarkan
hasil analisis data empiris, diperoleh nilai elastisitas penggunaan
bahan kering konsentrat sebagai pakan ternak sebesar 0,257. Artinya,
apabila bahan kering konsentrat ditambah atau dikurangi kuantitasnya
sebesar 1,00% dari jumlah rata-rata 2,02 ton (BK)/3,08 ekor/7,82
bulan atau setara 2,80 kg (BK)/ekor/hari dan dengan asumsi faktor-
faktor lainnya ceteris paribus, maka akan juga meningkatkan atau
menurunkan kuantitas PBB sapi potong sebesar 0,257% dari rata-rata

pg. 42
43

PBB sapi potong (160,53 kg/3,08 ekor/periode produksi atau 0,68


kg/ekor/hari). Kondisi ini merupakan hal yang wajar, karena pakan
konsentrat mempunyai fungsi untuk meningkatkan dan memperkaya
nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sapi
potong yang sedang digemukkan idealnya harus diberikan pakan
konsentrat yang cukup, agar dapat menghasilkan PBB sapi potong
yang baik. Hasil analisis tersebut tersirat sesuai dengan hasil
penelitian Dinata et al. (2009) yang menyatakan bahwa sapi PO yang
diberikan pakan konsentrat (BK) sebanyak 2% dari bobot badan sapi
menghasilkan PBB harian yang lebih besar dibandingkan sapi yang
diberikan pakan konsentrat (BK) sebanyak 1%.
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap penggunaan
konsentrat dikaitkan dengan kurva produksi total, maka elastisitas
produksi sebesar 0,257 berada pada daerah II (stage II), dan
implikasinya adalah setiap upaya penambahan bahan kering
konsentrat dalam usaha penggemukan sapi potong tidak diimbangi
secara proporsional oleh tambahan PBB yang diperoleh peternak sapi
potong. Pada tahapan ini secara teoritis produk total yang dihasilkan
tetap menaik, namun pada kondisi decreasing rate. Kondisi ini
didukung oleh nilai efisiensi harga sebesar 0,23, yang artinya
pemberian bahan kering konsentrat 2,02 ton (BK)/3,08 ekor/7,82
bulan (setara 2,80 kg (BK)/ekor/hari) pada usaha penggemukan sapi
potong dengan rata-rata harga penjualan sapi Rp 21.529,40/kg bobot
hidup, maka nilai efisiensi harga tersebut secara ekonomis tidak
efisien.

pg. 43
44

Curahan tenaga kerja pada usaha ternak sapi potong secara total
sebanyak 109,93 hok/3,08 ekor/7,82 bulan atau setara 1,22
jam/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis data empiris, diperoleh nilai
elastisitas faktor produksi tenaga kerja sebesar 0,073. Artinya, apabila
faktor produksi curahan tenaga kerja ditambah atau dikurangi
kuantitasnya sebesar 1,00% dari rata-rata curahan sebanyak 109,93
hok/3,08 ekor/7,82 bulan (setara dengan 1,22 jok/ekor/hari) dan
dengan asumsi bahwa faktor-faktor produksi yang lainnya ceteris
paribus, maka akan meningkatkan atau mengurangi kuantitas PBB
sapi potong sebesar 0,073% dari PBB rata-rata sebesar 160,53
kg/periode produksi.
Curahan tenaga kerja pada usaha penggemukan sapi potong
rakyat sebanyak 1,22 jok/ekor/hari, adalah lebih kecil dibandingkan
hasil penelitian Luanmase et al. (2011) yang menyatakan, bahwa
curahan tenaga kerja pada usaha ternak sapi potong dengan rata-rata
kepemilikan 2,24 ST (satuan ternak) di Kabupaten Seram Bagian
Barat adalah sebanyak 3,59 jok/hari (setara dengan 1,60
jok/ekor/hari). Sedangkan menurut Abdullah et al. (2012), hasil
penelitian curahan tenaga kerja pada usaha ternak sapi potong di
Sulawesi Selatan menunjukkan, bahwa curahan 1 – 2 jok/hari banyak
terdapat pada usaha ternak skala usaha < 1 ST, curahan 3 – 4 jok/hari
banyak terdapat pada skala usaha 1 – 3 ST, dan curahan 5 – 6 jok/hari
banyak terdapat pada skala usaha > 5 ST.
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap curahan tenaga
kerja apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka elastisitas
produksi sebesar 0,073 berada pada daerah II, dan implikasinya adalah

pg. 44
45

setiap upaya penambahan curahan tenaga kerja dalam usaha


penggemukan sapi potong tidak diimbangi secara proporsional oleh
tambahan PBB yang diperoleh peternak sapi potong. Pada tahapan ini
secara teoritis produk total yang dihasilkan tetap menaik, namun pada
tahapan decreasing rate. Nilai efisiensi harga diperoleh sebesar 0,08,
yang artinya curahan tenaga kerja sebanyak 109,93 hok/3,08 ekor/7,82
bulan (setara 1,22 jok/ekor/ hari) pada usaha penggemukan sapi
potong dengan rata-rata harga penjualan sapi Rp 21.529,40/kg bobot
hidup, maka secara ekonomis tidak efisien.
Tipe kandang ternak sapi potong sebagian besar dikatagorikan
sederhana, kemudian diikuti katagori permanen, dan semi permanen
(39,40% > 31,51% > 29,09%). Berdasarkan hasil analisis data
empiris, diperoleh nilai elastisitas tipe kandang terhadap kuantitas
PBB sapi potong sebesar 0,039. Hal ini berarti setiap upaya perbaikan
tipe/konstruksi kandang ternak dalam usaha penggemukan sapi potong
dan dengan asumsi faktor-faktor yang lainnya ceteris paribus, maka
akan meningkatkan kuantitas PBB sapi potong.
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap score tipe kandang
ternak apabila dikaitkan dengan kurva produksi total, maka posisinya
berada pada daerah II, dan implikasinya adalah setiap upaya perbaikan
tipe kandang dalam suatu usaha ternak tidak diimbangi secara
proporsional oleh tambahan kuantitas PBB yang diperoleh peternak
sapi potong. Pada tahapan ini secara teoritis produk total yang
dihasilkan tetap menaik, namun pada tahapan decreasing rate. Agar
secara ekonomis dapat lebih menguntungkan peternak, maka

pg. 45
46

perbaikan tipe kandang dalam usaha penggemukan ternak sapi potong


merupakan salah satu upaya yang positif untuk dilakukan.
Kondisi lingkungan kandang sebagian besar dalam katagori
baik (41,21%) dan sedang (41,21%), kemudian sebagian kecil dalam
katagori kurang baik (13,33%), dan sangat baik (4,24%). Dari hasil
analisis data empiris diperoleh nilai elastisitas kondisi lingkungan
kandang terhadap kuantitas PBB sapi potong sebesar -0,006. Hal ini
berarti setiap upaya melakukan perbaikan lingkungan kandang dalam
kegiatan usaha penggemukan sapi potong dan dengan asumsi faktor-
faktor produksi yang lainnya ceteris paribus, maka justeru akan
menurunkan kuantitas PBB sapi potong. Kondisi ini terjadi karena
lingkungan kandang ternak sebagian besar sudah dalam katagori yang
baik.
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap score kondisi
lingkungan kandang apabila dikaitkan dengan kurva produksi total,
maka elastisitas sebesar -0,006 berada pada daerah III, dan implikasi
dari nilai elastisitas tersebut adalah bahwa setiap upaya perbaikan
lingkungan kandang dan dengan asumsi faktor-faktor yang lain
dianggap tetap (ceteris paribus), maka justeru akan mengurangi PBB
sapi potong yang dihasilkan. Agar secara ekonomis tidak mengurangi
PBB sapi potong, maka upaya perbaikan lingkungan kandang dalam
usaha penggemukan sapi potong belum perlu dilakukan.
Bangsa sapi yang pada umumnya dibudidayakan oleh peternak
rakyat adalah Peranakan Ongole (PO) sebanyak 33,33%, Persilangan
Simmental (SPO) sebanyak 49,09%, Persilangan Limousine (LPO)
sebanyak 12,12%, sedangkan beberapa bangsa yang lain sangat kecil

pg. 46
47

populasinya (5,46%). Hasil analisis data empiris menunjukkan,


bahwa elastisitas bangsa sapi terhadap kuantitas PBB sapi potong
sebesar 0,264. Hal ini berarti setiap upaya melakukan perbaikan
bangsa sapi dalam usaha penggemukan sapi potong pada tingkat
peternak rakyat, maka akan meningkatkan kuantitas PBB sapi potong.
Kondisi ini merupakan suatu hal yang logis, karena bangsa sapi secara
genetis mempunyai karakteristik produk-tivitas yang berbeda pada
antar bangsa, di samping itu karena secara realitas (pada tingkat
peternak rakyat) masih cukup banyak populasi sapi lokal yang
dibudidayakan (misal: bangsa PO), di mana tingkat PBB nya relatif
rendah bila dibandingkan dengan sapi-sapi bangsa lainnya (SPO
maupun LPO).
Besarnya nilai elastisitas produksi terhadap penggunaan bangsa
sapi untuk diusahakan apabila dikaitkan dengan kurva produksi total,
maka elastisitas sebesar 0,264 berada pada daerah II, dan implikasinya
setiap upaya perbaikan bangsa sapi potong dalam suatu usaha
penggemukan sapi potong tidak diimbangi secara proporsional oleh
tambahan kuantitas PBB yang diperoleh peternak. Ditinjau secara
teoritis pada tahapan ini berarti produk total yang dihasilkan tetap
menaik, namun pada tahapan decreasing rate.Agar secara ekonomis
dapat lebih menguntungkan peternak, maka upaya perbaikan bangsa
sapi potong dalam usaha penggemukan sapi potong merupakan salah
satu kegiatan yang positif untuk dilakukan.
Orientasi usaha merupakan cerminan tujuan peternak dalam
melaksanakan budidaya atau usaha penggemukan sapi potong.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar peternak dalam

pg. 47
48

melaksanakan usaha ternaknya mempunyai orientasi usaha sambilan


sebesar 73,33%, kemudian secara berurutan diikuti oleh semi
komersial sebesar 13,94%, dan orientasi usaha komersial sebesar
12,73%. Hasil analisis data empiris diperoleh nilai elastisitas produksi
terhadap orientasi usaha ternak sapi potong sebesar -0,011 dan
artinya setiap upaya melakukan perbaikan orientasi usaha dalam
penggemukan sapi potong dengan asumsi faktor-faktor yang lain
ceteris paribus, maka akan menurunkan PBB sapi potong.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya korelasi negatif antara
orientasi usaha dengan kuantitas produksi, antara lain karena faktor
orientasi usaha hanya dipandang sebagai faktor yang parsial. Asnawi
(2007) menyatakan, perlu adanya dorongan dari faktor internal
dan eksternal yang dapat membuat seseorang

Sumber:
Edy Prasetyo. 2013. Efisiensi dan Optimasi Usaha penggemukan Ternak Sapi
Potong pada Tingkat Peternak Rakyat di Jawa Tengah. Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

pg. 48

Anda mungkin juga menyukai