Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Seksualitas

a. Pengertian

Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan

seorang wanita normal. Hubungan seksual yang nyaman dan

memuaskan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

hubungan perkawinan bagi banyak pasangan (Irwan, 2012).

Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk memulai

atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan

seksual (Sexual excitement) adalah respons tubuh terhadap rangsangan

seksual. Ada dua respons yang mendasar yaitu myotonia (ketegangan

otot yang meninggi) dan vasocongestion (bertambahnya aliran darah

ke daerah genital) (Chandra,2005).

b. Elemen dalam Motivasi Seksual Manusia

Menurut Linda J dan Danny J (2010) elemen pengatur ganda dalam

motivasi seksual manusia yaitu :

1) Dorongan seksual :

a) Dorongan fisiologis : hormon testoeteron, obat-obat

afrodisik (perangsang),stimulasi fisik atau genital

b) Dorongan psikologis : pasangan yang menarik, stimulasi

10
11

c) erotis, fantasi, cinta, percumbuan

2) Tekanan seksual

a) Tekanan bilogis : gangguan hormon, obat dengan efek

samping seksual, depresi

b) Hambatan psikologis : pasangan tidak menarik, pikiran

negatif, emosi negatif, stress dan kemarahan.

c. Fungsi seksualitas

Perilaku seksual adalah manifestasi aktivitas seksual yang

mencakup baik hubungan seksual (intercourse, coitus) maupun

masturbasi. Perilaku seksual yang normal dapat merupakan

keseimbangan antara “motor erotik” yang mendorong hasrat untuk

aktifitas seksual dan suatu “rem” seksual yang menjaga keinginan

tersebut tetap terkendali. Sinyal-sinyal yang mendorong dan

menghambat bertemu pada pusat spesifik dihipotalamus dan sistem

limbik untuk menghasilkan hasrat seksual yang merupakan satu

kesatuan. Perilaku seksual normal akan terjadi jika dorongan seksual

lebih besar atau seimbang dibandingkan tekanan atau hambatan (Linda

J dan Danny, 2010).

Karakteristik seksual dibagi menjadi dua jenis yaitu karakteristik

seksual primer yang secara langsung berhubungan dengan reproduksi

dan termasuk organ seks (alat kelamin), dan karakteristik seksual

sekunder adalah atribut selain organ seks yang umumnya

membedakan satu seks dari yang lain tetapi tidak penting untuk
12

reproduksi, seperti payudara yang lebih besar dan lain sebagainya.

d. Dimensi fungsi sexual

Dimensi fungsi seksual terdiri dari beberapa dimensi dari berbagai

referensi. Dalam penelitian ini dimensi fungsi seksual merujuk pada

dimensi fungsi seksual yang dikemukakan oleh Rosen dkk (2010).

Dimensi fungsi seksual menurut Rosen dkk terdiri dari 6 dimensi

yaitu:

1)Desire

Desire/ hasrat / minat seksual adalah perasaan ingin

melakukan hubungan seksual, merasa menerima ajakan untuk

berhubungan seksual dari pasangannya, dan memikirkan serta

membayangkan atau berfantasi terhadap hubungan seksual dengan

pasangannya.

2)Arousal /birahi

Arousal adalah perasaan baik aspek fisik maupun mental

terhadap kenikmatan seksual. Bisa seperti sensasi rasa

hangat/panas dan kesemutan pada alat kelamin,

lubrikasi/keluarnya lendir vagina, dan kontraksi otot kelamin saat

terangsang.

3)Lubrication

Lubrication adalah keluarnya lender serviks karena

berhasrat / birahi terhadap rangsangan seksual yang dirasakan

terhadap pasangannya. Lubrikasi akan terus terjadi hingga


13

aktivitas seksual selesai.

4)Orgasm

Orgasme adalah perasaan mencapai klimaks saat melakukan

hubungan seksual.

5)Satisfaction

Perasaan nikmat dan puas setelah melakukan hubungan

seksual, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangannya.

6)Pain

Perasaan nyeri ketika melakukan hubungan seksual baik pada

awal, saat penetrasi penis maupun setelah selesai. Hal ini bisa

terjadi karena terganggunya fungsi seksual pada dimensi lain

seperti tidak terjadi lubrikasi karena terangsang. Penyebab lain

bisa karena vaginismus yaitu terjadinya kontraksi atau kejang

otot-otot vagina sepertiga bawah sebelum atau selama senggama

sehingga penis sulit masuk ke dalam vagina.

e. Respons seksual wanita (Sexual Response Cycle- SRC)

Siklus respon seksual (Sexual Response Cycle- SRC) wanita

terbagi menjadi 4 fase ( Masters dan Johnson 1996, dalam Puspasari

2011) yaitu:

1) Tahap rangsangan/excitement (desire and arousal)

Perempuan di fase ini mengalami perubahan aliran darah ke

genetalia, termasuk klitoris, labia minora dan mayora serta vagina.

Terjadi pula peningkatan tekanan darah, respirasi dan nadi. Selain


14

itu, terjadi ereksi pada puting susu dan sensasi panas “hot flues”

(kemerahan daerah leher, muka dan dada. Perangsangan terjadi

sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk fisik atau psikis.

Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera masuk

ke fase plateu. Pada saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung

bertahap memerlukan waktu yang lebih lama. Pemacu dapat

berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti

pandangan, suara, bau,lamunan.pikiran dan mimpi. Kenikmatan

seksual subjektif dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan

seksual pada perempuan fase kongesti (darah mengumpul di

daerah pelvis) yang mengakibatkan lubrikasi vagina dan

pembesaran payudara (puting susu yang menegak).

2) Tahap pendataran ( plateu phase)

Pada fase plateu terjadi ketika seseorang mencapai level tertinggi

dari rasa gairah dan bertahan di fase ini beberapa saat. Jika

dianalogikan dengan skala tingkat kepuasan 1-10, nilai 10 adalah

orgasme, maka fase plateu ini berada di nilai 8. Perempuan di fase

ini terjadi danya pembengkakan areola pada payudara, sepertiga

bagian bawah vagina menyempit, dan mencengkaram saat

penetrasi penis. Terjadi pembukaan daerah belakang vagina yaitu

“the cul de sac”. Selain itu, kelenjar bartolini yang terletak di

bawah kulit dari labia minora, menfgelurkan cairan lubrikan yang

berjumlah lebih banyak dari fase sebelumnya. Adanya sensasi


15

“seks skin’ dimana terjadi warna kegelapan karena

hipervaskularisasi. Peningkatan tekanan darah, respirasi dan nadi

yang merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya dan “seks flush”

masih terjadi dengan disertai adanya kejang pada wajah, kaki dan

tangan.

3) Tahap orgasme

Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan

psikologis dalam aktifitas seks sebagai akibat pelepasan

memuncaknya ketegangan seksual (seksul tension) setelah terjadi

fase rangsangan yang memuncak pada plateu phase. Pada

perempuan kontraksi di dinding sepertiga bagian bawah vagina/

otot pubococcygeus secara ritmik dan nadi mencapai puncak.

Pada fase orgasme terjadi kontraksi seluruh otot-otot tubuh,

terutama daerah genital. Tahap orgasme relatif singkat saja.

Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat meningkat, begitu

juga aktifitas tubuh, jantung, dan pernafasan. Orgasme dapat

dicetuskan secara psikologis dengan fantasi dan secara somatik

dengan stimulasi bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi setiap

orang. Selama fase orgasme, ketegangan otot mencapai

puncaknya dan kemudian ketegangan otot tersebut akan menurun

karena darah didorong keluar dari pembuluh darah yang

membengkak. Denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah

meningkat dan terjadi kontraksi ritmis uterus. Orgasme disertai


16

dengan sensasi kenikmatan yang intens. Kemudian tiba-tiba

terjadi pelepasan atau release ketegangan seksual disebut klimaks

atau orgasme. Ketika mencapai fase ini, otak akan mengeluarkan

hormon endorphine yang dapat mengurangi nyeri dan

menyebabkan rileks, banyak orang mengalami kedekatan atau

keintiman yang lebih dengan pasanganya setelah mencapai

orgasme.

4) Tahap resolusi (mencakup pasca senggama)

Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin serta luar

alat kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Pada

fase resolusi wanita juga mengalami relaksasi seluruh tubuh dan

perasaan nyaman. Ditandai dengan kembalinya fungsi tubuh ke

keadaaan pre excitement, aliran darah dari genital kembali ke

sirkulasi umum, dengan stimulasi yang adekuat, wanita dapat

terangsang kembali respon seksualnya sebelum resolusi lengkap,

bergairah dan masuk ke dalam fase plateu lagi, orgasme lagi

sehingga terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, wanita

kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat, mengalami

relaksasi mental dan fisik, merasa sejahtera.

2. Disfungsi Seksual

a. Pengertian

Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau


17

berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh

dan atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai

berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005).

Menurut Kolodny dalam Durank Mark (2006) disfungsi seksual

adalah adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus/fase

respon seksual. Disfungsi seksual biasa bersifat life long (seumur

hidup), atau acquired (didapat). Life long mengacu pada kondisi

kronis yang muncul di seluruh kehidupan seksual seseorang,

sedangkan acquired mengacu pada gangguan yang dimulai setelah

aktivitas seksual seseorang, relatif normal. Selain itu, gangguan ini

dapat bersifat genelized atau menyeluruh, yang terjadi setiapkali

melakukan hubungan seksual atau situasional yang terjadi hanya

dengan mitra-mitra atau pada waktu tertentu tetapi tidak dengan mitra

lain atau pada waktu-waktu lainya.

b. Macam- macam disfungsi seksual

Sebelum 1980 disfungsi seksual dengan sebab apapun

digolongkan kedalam istilah frigiditas pada wanita. Sejak saat itu,

klasifikasi gangguan seksual telah berkembang dan kini berdasarkan

pada orientasi fisiologis, yaitu suatu model seksualitas manusia yang

terdiri dari 4 fase. Klasifikasi ini membagi sindrom disfungsi seksual

menjadi gangguan hasrat seksual, gangguan eksitasi atau gairah dan

gangguan orgasme,serta gangguan resolusi (Linda J. dan Danny,

2010).
18

Pada DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disolders IV) menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai

gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual

yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar

manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada satu atau lebih dari

empat fase siklus tanggapan yaitu hasrat atau libido, bangkitan,

orgasme atau pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir

sepertiga dari pasien yang mengalami disfungsi seksual terjadi tanpa

pengaruh dari penggunaan obat, beberapa petunjuk mengarahkan

bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi

seksual. Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-

bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang

sedang terganggu dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual

dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).

Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi

gangguan minat/ keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri

atau rasa tidak nyaman dan hambatan untuk mencapai puncak atau

orgasme. Pada DSM IV dari American Phychiatric Assocation, dan

ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat

kategori yaitu :

1) Gangguan minat/ keinginan seksual/hasrat (desire disorders)

Perilaku seksual yang normal dapat merupakan keseimbangan

antara motor erotik yang mendorong hasrat untuk aktivitas seksual


19

dan suatu tren seksual yang menjaga keinginan tersebu tetap

terkendali. Sinya-sinyal yang mendorong dan menghambat

tampaknya bertemu pada pusat spesifik di hipotalamus dan sistem

limbik untuk menghasilkan hasrat seksual yang merupakan satu-

kesatuan. Kemungkinan hanya bagian akhir dari kesatuan ini yang

mengalami kelainan. Tidak ada pemeriksaan khusus untuk

mengetahui kelainan pada hasrat seksual. Dengan demikian,

diagnosis gangguan hasrat seksual hanya berdasarkan pada

keluhan subjektif mengenai adanya kelainan libido yang

menyebabkan distress pada individu tersebut maupun kesulitan

dalam berhubungan dengan orang lain.

Dua kelompok gangguan gairah seksual yang dikenal adalah

gangguan seksual hipoaktif (Hypoactive sexual disorder, HSD)

dan gangguan penolakan seksual. HSD didefinisikan sebagai

penurunan atau tidak adanya fantasi seksual atau hasrat untuk

aktifitas seksual yang menetap atau berkurang. Gangguan

penolakan seksual adalah penolokan yang ekstrim terhadap atau

penghindaran terhadap semua/sebagian kontak seksual genital

dengan pasangan (Linda dan Danny 2010).

2) Gangguan birahi (arousal disorder)

Ditandai dengan kesulitan mencapai atau mempertahankan

keterangsangan saat melakukan aktivitasn seksual. Seorang wanita

mungkin melakukan hubungan intim, tetapi gagal merasakan


20

kenikmatan dan kesenangan yang biasanya ia rasakan. Apabila ia

tidak terangsang, maka pelumasan normal vagina dan

pembengkakan vulva tidak terjadi dan hubungan intim pervagina

dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri, yang

semakin menghambat dirinya menikmati hubungan tersebut.

Wanita yang mengalami hambatan nafsu seksual mungkin tidak

menginginkan atau tidak menikmati seksual, tetapi dia

mengijinkan pasangannya untuk bersenggama dengannya, sebagai

suatu kewajiban. Wanita yang lain mungkin sangat cemas dengan

gagasan bersenggama sehingga menolak atau membuat alasan

menghindarinya (Linda dan Danny 2010).

3) Gangguan orgasme (orgasmic disorder)

Ditandai dengan tertundanya atau gagalnya mencapai orgasme

saat melakukan aktivitas seksual. Sebagian wanita secara spesifik

mengalami kesulitan mencapai orgasme, baik dengan kehadiran

pasangannya atau pada semua situasi. Hal ini mungkin merupakan

bagian dari hilangnya kenikmatan seksual secara umum, atau

relatif spesifik, yaitu manusia masih dapat terangsang dan

menikmati seksual tetapi gagal mencapai orgasme. Walaupun obat

tertentu dapat menghambat orgasme pada wanita, namun pada

sebagian kasus faktor psikologis tampaknya menjadi penyebab

(Linda dan Danny 2010)


21

4) Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder)

Gangguan nyeri seksual karena vaginismus dan dispareuni (Linda

dan Danny 2010)

a) Vaginismus

Wanita dengan vaginismus mengalami spasme involunter

berulang yang otot-otot pelvis sepertiga atas liang vagina,

dengan tingkat keparaahan sampai menyebabkan hubungan

seksual terasa menyakitkan atau tidak mungkin dilakukan.

Biasanya keadaan ini disebabkan adanya antisipasi terhadap

hubungan seksual atau selama penetrasi. Vaginismus dapat

disebabkan oleh masalah organik maupun psikososial (rasa

bersalah, batasan agama, trauma seksual, ketakutan akan

kehamilan dan penyakit menular seksual).

b) Dispareunia

Wanita dengan dispareunia mengalami nyeri berulang atau

menetap pada daerah genetalia sebelum, selama atau setelah

berhubungan seksual. Penyebab organik pada dispareunia

meliputi adanya sisa himen, tumor pelvis, endometritis,

penyakit peradangan pelvis dan vestibulitis vulva. Keadaan

hipoestrogen yang berhubungan dengan menopouse, periode

awal post partum, penggunaan kontrasepsi dapat menyebabkan

dispareunia. Masalah psikososial yang menyebabkan

dispareunia dapat meliputi kurangnya kepercayaan diri, persepsi


22

terhadap tubuh yang buruk, rasa bersalah, riwayat

pelecehan/trauma seksual. Faktor interpersonal pada pasangan

termasuk kemarahan, rasa tidak percaya, komunikasi yang

kurang juga dapat menjadi penyebab dispareunia.

c. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Seksual

1) Faktor Hormonal

Efek samping dari KB progesteron terjadi pada vagina

sebagai akibat sampingan dari hormon progesteron, vagina

menjadi kering, sehingga merasa sakit (dispareuni) saat

melakukan hubungan seksual, dan jika kondisi ini berlangsung

lama akan menimbulkan penurunan gairah atau disfungsi seksual

pada wanita (Yetti Anggraeni dan Martini 2011). Keadaan

hipoestrogen pada pengguna kontrasepsi hormonal dapat menjadi

penyebab dispareunia (Linda dan Danny 2010).

Bukti penelitian yang dapat mendukung teori diatas,

disampaikan oleh beberapa peneliti yang melakukan penelitian

tentang pengaruh kontrsepsi hormonal terhadap fungsi seksual

seseorang. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Afefy (2015)

dalam Moudy (2016) dari peneltian yang dilakukan terhadap

pasien yang berkunjung ke Cairo University Hospital bahwa

penggunaan kontrasepsi terbukti berkorelasi secara signifikan

terhadap penurunan fungsi seksual pada akseptor dengan arah

korelasi positif dan kekuatan korelasi r =0,22 dan nilai p 0,03.


23

Hasil penelitian lain yang sama disampaikan oleh Batlajery

dkk (2015) dari studi yang dilakukan di Puskesmas Palmerah

bahwa terjadi kejadian dysfungsi seksual pada akseptor KB

hormonal lebih tinggi (32,7%) dibandingkan dengan akseptor KB

non hormonal (29,1%).

Hal yang berbeda disampaikan oleh Tekin dkk (2014) dalam

Moudy (2016) bahwa akseptor yang menggunakan kontrasepsi

hormonal mempunyai skore FSFI yang lebih tinggi dibandingkan

dengan yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (nilai p =

0,00). Namun demikian, pada dimensi nyeri, akseptor kontrasepsi

hormonal mempunyai skor nyeri yang lebih tinggi dibanding

kelompok yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (4,1:

3,8) hal ini dapat disebabkan karena berkurangnya lubrikasi saat

bersanggama.

Pada penelitian lain disampaikan oleh Ozgoli dkk di

University of Medical Science di Teheran Iran menyamopaaikan

bahwa pada pengguna DMPA gairah seksual lebih baih dibanding

pengguna cyclofem, pada nyeri seksual kurang dari pengguna

cyclofem.

2) Faktor Demografi dan Biologis

a)Umur

Beberapa studi sebelumnya melaporkan bahwa ada

hubungan antara umur dengan fungsi seksual. Hal ini


24

berkaitan dengan teori penuaan bahwa sel-sel tubuh akan

menurun fungsinya, demikian juga fungsi reproduksi yang

mana pada kaum perempuan akan terjadi penurunan fungsi

ovarium yang memproduksi hormon estrogen dan

progesterone yang mempengaruhi fungsi seksual itu sendiri

(Baziad, 2008 ). Berek 2011 dalam Giti Ozoli (2004)

berpendapat bahwa hasrat seksual wanita akan memuncak

pada usia 20 - 40 tahun dan akan menurun diluar itu. Sesuai

dengan pendapat Manuaba (2010) wanita usia subur adalah

wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan

baik antara umur 20-45 tahun setelah melewati umur diatas

50 tahun dapat terjadi masalah dalam hubungan seks.

Shahhosseini dkk (2014) melaporkan bahwa penurunan

fungsi seksual berhubungan dengan umur yang semakin

bertambah pada populasi. Terlihat bahwa dengan

bertambahnya usia, aktivitas seksual akan terpengaruh karena

adanya tugas baru seperti tanggung jawab sebagai orang tua,

dalam keluarga, maupun komunitas.

Berbeda dengan hasil penelitian Guida dkk (2005) dalam

Moudy (2015), bahwa tidak terbukti ada hubungan antara usia

akseptor dengan disfungsi seksual.


25

b)Perbedaan umur pasangan

Jarak antara usia antar pasangan ditemukan berhubungan

secara statistik dengan fungsi seksual. Ditemukan pasangan

dengan perbedaan usia 10 tahun mengalami kepuasan seks

maupun kepuasan hidup berumah tangga yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasangan dengan perbedaan usia yang

lebih jauh. Penjelasan lebih jauh tentang hal ini belum ada

informasinya (Shahhosseini, 2014)

c)Pendidikan

Pendidikan dilaporkan berhubungan dengan indeks

fungsi seksual yang tinggi, dimana ibu yang berpendidikan

tinggi mempunyai indeks fungsi seksual yang lebih tinggi

dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Hal ini

dapat berhubungan dengan semakin tingginya pendidikan

seseorang, semakin luas wawasan yang dimiliki termasuk

dalam hal seksualitas sehingga memungkinkannya untuk

mempunyai perilaku seksual yang lebih bervariasi, lebih

percaya diri terhadap pasangannya dalam melakukan

hubungan seksual sehingga dapat memberikan kepuasan

seksual bagi keduanya. (Shahhosseini,2014).

d)Jumlah anak

Kaitannya dengan jumlah anak, kepuasan seksual

ditemukan lebih rendah pada ibu dengan jumlah anak kurang


26

dari 2-3 dibandingkan dengan lainnya. Hal ini ada

hubungannya dengan pengalaman akan dispareunia (Ziherl

S,2010 dalam Moudy 2016).

e)Pekerjaan

Ibu yang bekerja sebagai wanita karir dilaporkan

memiliki kepuasan seksual yang lebih tinggi dibandingkan

dengan ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga. Hal ini

disebabkan karena mereka lebih independen secara finansial,

mempunyai kepercayaan diri yang lebih tinggi sebagai

konsekuensi dari perasaan puas terhadap kehidupan seks

mereka akibat dari kemampuan menghasilkan uang.

Perempuan dengan pendapatan yang lebih rendah atau tidak

mempunyai pendapatan merasa kurang seksi, yang bisa

mengakibatkan kurangnya minat uuntuk berhubungan seks

dengan pasangannya, atau kurangnya kepuasan dalam

kehidupan seksualnya. Bertolak belakang dengan informasi

tersebut, bukti penelitian lain mengatakan bahwa ibu rumah

tangga memiliki kualitas kehidupan seksual yang lebih tinggi

dari ibu yang memiliki karir di luar rumah (M.Alizadeh dkk,

2014).

f) Lama Waktu Menikah

Durasi lama pernikahan dilaporkan berhubungan dengan

frekuensi hubungan seksual. Call dkk dalam DeLamater


27

(2009) menemukan bahwa kebiasaan dalam hal hubungan

seks terjadi pada hubungan suami – isteri yang sudah

berlangsung lama dan terjadi penurunan.

Penurunan dalam hubungan rumah tangga terjadi pada

saat yang bersamaan dengan bertambahnya usia, yang juga

menjadi faktor konfounding dalam hubungan seksual antar

pasangan. Namun bagaimanapun menurunnya frekuensi

hubungan seksual bukan menjadi satu-satunya ukuran

menurunnya fungsi seksual ( Delamater J, 2009)

g)Pendapatan

Faktor sosial ekonomi seperti income keluarga dapat

menyebabkan konlik dalam rumah tangga. Status ekonomi

menjadi tekanan dalam rumah tangga, sebagai salah satu

faktor yang menyebabkan konflik antara suami isteri dapat

menurunkan fungsi seksual masing-masing (Shahhosseini

(2014), Alizadeh (2011).

3) Faktor Psikologikal, Patologikal, Keharmonisan Rumah Tangga

a) Psikologikal

Faktor kesehatan mental merupakan faktor yang sangat

berperan terhadap kualitas kehidupan seksual seseorang.

Sebagian besar studi melaporkan bahwa kesehatan mental

ditemukan sebagai faktor yang kuat terhadap kepuasan

seksual seseoran. Dalam hal ini, kesehatan mental


28

menyangkut orang yang mempunyai standar individual

bagaimana untuk berpikir dan merasakan / menikmati

hidupnya secara keseluruhan maupun dalam hal khusus

seperti kehidupan seks mereka hubungan interpersonal, fisik

maupun status mentalnya (Shahhosseini,2014)

Studi lain melaporkan bahwa stress maupun depresi yang

dialami berdampak buruk terhadap fungsi seksual seseorang.

Terapi yang digunakan terhadap depresi juga dapat

menyebabkan disfungsi seksual seperti anorgasme, disfungsi

ereksi, dan berkurangnya libido (Delamter,2009)

b) Patologikal

Gangguan hasrat seksual dapat disebabkan oleh penyakit

ateroskerosis, hipertensi, diabetes, efek samping obat, hipo

dan hipertiroidisme. Dispareunia dapat disebabkan karena

penyakit tumor pelvis, endometriosis, penyakit peradangan

pelvis dan vestibulitis vulva (Linda dan Danny, 2010).

c) Keharmonisan rumah tangga

Keharmonisan dalam rumah tangga akan berpengaruh

terhadap kepuasan seks yang tinggi. Adanya kekerasan dalam

rumah tangga menyebabkan menurunnya fungsi seksual dari

pihak perempuan, karena memepengaruhi minat dan gairah

seksual untuk melakukan hubungan seks (Shahhosseini Z,

2014)
29

d. Faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Sexual


Menurut Simon dan Sharon (2006) masalah yang mempengaruhi
gangguan fungsi seksual terdapat 4 kelompok utama:
1) Faktor sosial-budaya, poitik, ekonomi
Faktor yang termasuk disini adalah kurangnya informasi
tentang seksualitas, akses ke pelayanan yang relevan, budaya,
kecemasan serta rasa malu terhadap orientasi seksual, norma-
norma budaya, orang-orang dari budaya yang dominan dan
kurangnya minat seks karena keluarga dan kewajiban.
2) Faktor hubungan dengan pasangan
Adanya konflik dengan pasangan, kekuatan yang tidak setara
(salah satu pasangan lebih dominan), perbedaan hasrat, kelemahan
komunikasi ( komunikasi tidak efektif), kesehatan pasangan.
3) Faktor Psikologis

Trauma di masa lalu, depresi, kecemasan, pengalaman

dilecehkan (seksual, verbal, fisik), perkosaan, belum pernah

mendapat pengalaman seksual.Kondisi keuangan, keluarga atau

masalah pekerjaan, penyakit atau kematian anggota keluarga,

depresi.

4) Faktor medis

a) Faktor fisiologis meliputi:

Menjelang masa menopause, terjadi perubahan pada organ-

organ yang terlibat dalam penerimaan stimulasi seksual.

(1) Kondisi kulit meliputi:

Penurunan aktivitas kelenjar keringat dan kelenjar minyak,

penurunan sensasi raba.


30

(2) Kondisi payudara meliputi:

Penurunan lemak, kurang optimalnya pembengkakan

payudara dan ereksi puting payudara sebagai respon

terhadap stimulasi seksual.

(3) Vagina

Vagina yang memendek dan yang kehilangan elastisitasnya.

Sekresi fisiologis (lubrikasi) berkurang. Peningkatan pH

vagina dari 3,5 menjadi 4,5 hingga > 5, penipisan lapisan

luar (epitel) dinding vagina.

(4) Organ reproduksi bagian dalam

Kandung telur (ovarium) dan saluran telur (tuba faloppi)

mengecil, folikel ovarium tidak tumbuh dan berkembang,

terbentuk jaringan parut/skar pada ovarium, berat rahim

menurun 30-50%, leher rahim mengecil, dan penurunan

produksi lendir.

(5) Kandung kemih

Segitiga uretra dan kandung kemih mengecil.

b) Patologis (penyakit) :

Selain faktor fisiologis, disfungsi seksual juga dapat terjadi

karena faktor patologis:

(1) Peradangan pada

vagina
31

(2) Peradangan

kandung kemih

(3) Endometriosis

(biasa ditandai dengan nyeri haid hebat)

(4) Hipotiroid (kadar

hormone tiroid rendah)

(5) Diabetes mellitus

(DM)

(6) Multiple sclerosis

(7) Muscular dystrophy

Tindakan pembedahan yang menimbulkan keluhan nyeri

saat berhubungan seksual: pengangkatan rahim, pengangkatan

payudara, luka sayatan saat persalinan. Kelainan lain pada

organ seksual (massa/tumor, infeksi, atrofi, jaringan parut, dsb).

e. Disfungsi seksual dan kualitas hubungan seksual

Hubungan seksual berkaitan dengan beberapa aspek seksualitas

yaitu fisikal, emosional, dan psikologis. Pada prakteknya,

mendapatkan kenikmatan seksual, mencapai orgasme, dan frekuensi

hubungan seksual dievaluasi dalam aspek fisikal. Perasaan malu, rasa

bersalah, kekecewaan, atau marah dapat di artikan sebagai espek

emosional dalam hubungan seksual. Selanjutnya, depresi, frustasi,

kecemasan, dan kekhawatiran di anggap masuk dalam aspek

psikologis dalam hubungan seksual.


32

Disfungsi seksual dapat diartikan sebagai masalah berulang yang

berhubungan dengan respon seksual dan atau hasrat seksual yang

dirasa mengganggu baik pada individu maupun pasangannya.

Beberapa masalah yang sering dikeluhkan dari disfungsi seksual ini

adalah kurangnya hasrat berhubungan, kurangnya produksi lubrikan,

sulit terangsang maupun lama utuk terangsang, nyeri atau tidak

nyaman saat melakukan hubungan seksual, dan kesulitan mencapai

orgasme. Respon seksual melibatkan interaksi yang kompleks antara

fisiologi, emosi, pengalaman, kepercayaan, dan gaya hidup. Interupsi

pada salah satu faktor diatas dapat merujuk pada disfungsi seksual.

Dari segi fisik, hormon memegang peran penting dalam regulasi

fungsi seksual wanita. Penurunan hormon estrogen yang berhubungan

dengan penuaan dan menopause menyebabkan wanita mengalami

gangguan fungsi seksual.

Hubungan seksual pada dasarnya tidak hanya menyangkut

hubungan fisik, tapi juga mengenai hubungan emosional antar

pasangan. Jika masing-masing pihak merasa puas dengan hubungan

intim tersebut maka boleh dikatakan kualitas hubungan seksual

pasangan tersebut baik. Namun, ada kalanya seorang wanita

mengalami kesulitan dalam mencapai kepuasan tersebut yang merujuk

kearah disfungsi seksual. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya

dalam mencari sebab dari kesulitan tersebut. R, Rosen dkk.,(2010)

telah merumuskan suatu alat penilaian untuk mendeskripsikan fungsi


33

seksual wanita. Indeks fungsi seksual wanita menilai fungsi seksual

wanita berdasarkan 6 faktor utama yang dinilai paling menentukan

kepuasan seksual wanita yaitu: hasrat seksual, gairah atau rangsagan

seksual, lubrikasi, orgasme, kepuasan dan nyeri atau rasa tidak

nyaman saat berhubungan. Aspek-aspek ini nantinya akan dinilai dan

dibuat skoringnya sehingga didapatkan suatu nilai yang mewakili

fungsi seksual wanita.

3. Keluarga Berencana

a. Definisi Keluarga Berencana

Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-undang (UU) No. 52

tahun 2009 tentang perkembangan, kependudukan dan

pembangunan keluarga menyebutkan bahwa keluarga berencana

adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal

melahirkan, kehamilan, melalui promosi perlindungan dan bantuan

sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang

berkualitas, (Kemenkes RI, 2013).

Paradigma baru KB Nasional (KBN) telah diubah visinya dari

mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera

(NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas

Tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang

sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal,

berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa


34

kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2006). Paradigma baru

program KB ini, menekankan pentingnya upaya menghormati hak-

hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas

keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam (enam) misi, yaitu:

1) Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil

berkualitas.

2) Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan,

kemandirian, dan ketahanan keluarga.

3) Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

4) Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan

hak hak reproduksi.

5) Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk

mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender melalui program

KB.

6) Mempersiapkan SDM berkualitas sejak pembuahan dalam

kandungan sampai dengan usia lanjut (Saifuddin, 2006).

b. Manfaat Keluarga Berencana

Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di

Indonesia adalah melalui program KB. Keluarga Berencana dapat

mencegah munculnya bahaya-bahaya akibat:

1) Kehamilan terlalu dini.

Wanita yang sudah hamil tatkala umurnya belum mencapai

17 tahun sangat terancam oleh kematian sewaktu persalinan.


35

Tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh cukup matang dan siap

untuk dilewati oleh bayi. Lagi pula, bayinya pun dihadang oleh

risiko kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun.

2) Kehamilan terlalu terlambat.

Wanita yang usianya sudah terlalu tua untuk mengandung

dan melahirkan terancam banyak bahaya. Khususnya bila ibu

mempunyai problem kesehatan lain, atau sudah terlalu sering

hamil dan melahirkan kehamilan-kehamilan yang terlalu

berdesakkan jaraknya. Kalau ibu belum pulih dari satu

persalinan tapi sudah hamil lagi, tubuhnya tak sempat

memulihkan kebugaran maka berbagai masalah kesehatan

bahkan bahaya kematian juga akan menghadang.

3) Terlalu sering hamil dan melahirkan.

Wanita yang sudah punya lebih dari 4 anak dihadang

bahaya kematian akibat pendarahan hebat dan macam-macam

kelainan bila ibu terus saja hamil dan bersalin lagi

(Prawirohardjo, 2010).

4. Kontrasepsi

a. Pengertian Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra

berarti “melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah


36

pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang

mengakibatkan kehamilan. Tujuan dari penggunaan kontrasepsi adalah

menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat

adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Berdasarkan

maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi

adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-

duanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki

kehamilan (Hartanto, 2004). Kontrasepsi juga merupakan upaya

mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau menetap, yang

dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis,

menggunakan alat/obat, atau dengan operasi (Wiknjosastro et al.,

2006).

b. Macam-macam Metode Kontrasepsi

Kontrasepsi yang baik harus memiliki syarat-syarat antara lain

aman, dapat diandalkan, sederhana (sebisa mungkin tidak perlu

dikerjakan oleh dokter), murah, dapat diterima oleh orang banyak,

dan dapat dipakai dalam jangka panjang. Sampai saat ini belum ada

metode atau alat kontrasepsi yang benar-benar 100% ideal.

Terdapat beberapa macam alat kontrasepsi yang dapat digunakan,

antara lain:

1)Metode kontrasepsi sederhana

a)Metode kalender
37

Metode ini didasarkan pada suatu perhitungan yang

diperoleh dari informasi yang dikumpulkan dari sejumlah

menstruasi secara berurutan. Hari subur dapat diidentifikasi

melalui pencatatan siklus menstruasi dengan durasi minimal

enam siklus dan dianjurkan dua belas siklus. Demi menjamin

efektivitas maksimum, metode kalender sebaiknya

dikombinasikan dengan indikator-indikator lainnya (Glaiser

& Gebbie, 2005).

b)Metode Amenorea Laktasi (MAL)

c)Metode suhu tubuh

d)Senggama terputus (koitus interuptus)

2)Metode Barrier

a) Diafragma

b) Spermisida

3)Metode Kontrasepsi Modern

a) Kontrasepsi pil

b) Kontrasepsi implant

c) Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

d) Kontrasepsi Mantap (KONTAP)

e) Kontrasepsi Suntikan

c. Tujuan Kontrasepsi

Adapun tujuan dari penggunaan kontrasepsi yaitu: untuk

menunda, menjarangkan dan menghentikan/ mengakhiri kehamilan


38

(Hartanto, 2004).

d. Syarat Kontrasepsi

Kontrasepsi yang baik harus memiliki syarat-syarat yang harus

dipenuhi, yaitu: tidak memiliki efek samping yang merugikan, lama

kerja dapat diatur sesuai keinginan, tidak mengganggu hubungan

persetubuhan, sederhana (sedapat-dapatnya tidak harus dikerjakan

oleh seorang dokter), harganya murah supaya dapat dijangkau oleh

masyarakat luas, dan dapat diterima oleh pasangan suami istri

(Hartanto, 2004).

e. Sasaran Kontrasepsi

Penggunaan kontrasepsi memiliki beberapa sasaran, yaitu:

1)Pasangan Usia Subur (PUS), yaitu: semua pasangan usia subur yang

ingin menunda/ menjarangkan kehamilan dan mengatur jumlah

anak.

2)Ibu yang mempunyai banyak anak, dianjurkan menggunakan

kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka

kematian bayi karena faktor multiparitas (banyak melahirkan

anak).

3)Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan, yaitu ibu

yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan

jiwanya jika dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai

kontrasepsi (Suratun et al., 2008).


39

5. Kontrasepsi Suntik Depot Medroksiprogesteron Asetat (Dmpa)

a. Pengertian

Kontrasepsi suntik DMPA berisi hormon progesteron saja dan

tidak mengandung hormone esterogen. Dosis yang diberikan 150

mg/ml depot medroksiprogesteron asetat yang disuntikkan secara

intramuscular (IM) setiap 12 minggu (Varney, 2006).

Suntik DMPA adalah – Alfa – medroxi progesterone yang

digunakan untuk tujuan kontrasepsi parenteral , mempunyai efek

progestageneyang kuat dan sangat efektif. (Hartanto, 2004)

b. Farmakologi DMPA

1) Tersedia dalam larutaan mikrokristaline

2) Setelah 1 minggu penyuntikan 150 mg, tercapai kadar puncak

lalu kadarnya tetap tinggi untuk 2-3 bulan selanjutnya menurun

kembali.

3) Ovulasi mungkin sudah dapat timbul setelah 73 hari

penyuntikan tetapi umumnya ovulasi baru timbul kembali

setelah 4 bulan atau lebih.

4) Pada pemakaian jangka lama tidak terjadi efek akumulasi dari

DMPA dalam darah atau serum (Hartanto, 2004).

c. Mekanisme Kerja

Mekanisme Kerja kontrasepsi DMPA menurut Hartanto (2004) :

1) Primer : Mencegah ovulasi Kadar Folikel Stimulating Hormone

(FSH) dan Luteinizing hormone (LH) menurun serta tidak


40

terjadi lonjakan LH. Pada pemakaian DMPA, endometrium

menjadi dangkal dan atrofis dengan kelenjar kelenjar yang tidak

aktif. Dengan pemakaian jangka lama endometrium bisa

menjadi semakin sedikit sehingga hampir tidak didapatkan

jaringan bila dilakukan biopsi, tetapi perubahan tersebut akan

kembali normal dalam waktu 90 hari setelah suntikan DMPA

berakhir.

2) Sekunder

a) Lendir servik menjadi kental dan sedikit sehingga

merupakan barier terhadap spermatozoa.

b) Membuat endometrium menjadi kurang baik untuk

implantasi dari ovum yang telah dibuahi.

c) Mungkin mempengaruhi kecepatan transportasi ovum

didalam tuba falopi.

d. Efektivitas

DMPA memiliki efektivitas yang tinggi dengan 0,3 kehamilan

per100 perempuan dalam satu tahun pemakaian (BKKBN, 2003).

Kegagalan yang terjadi pada umumnya dikarenakan oleh

ketidakpatuhan akseptor untuk datang pada jadwal yang telah

ditetapkan atau teknik penyuntikan yang salah, injeksi harus benar

benar intragluteal (Baziad, 2002).

e. Kelebihan

Kelebihan penggunaan suntik DMPA menurut BKKBN (2003) :


41

1) Sangat efektif.

2) Pencegahan kehamilan jangka panjang.

3) Tidak berpengaruh pada hubungan suami istri.

4) Tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius

terhadap penyakit jantung dan gangguan pembekuan darah.

5) Tidak mempengaruhi ASI

6) Sedikit efek samping

7) Klien tidak perlu menyimpan obat suntik

8) Dapat digunakan oleh perempuan usia lebih dari 35 tahun

sampai perimenopause.

9) Membantu mencegah kanker endometrium dan kehamilan

ektopik.

10) Menurunkan kejadian penyakit jinak payudara.

11) Mencegah beberapa penyakit radang panggul.

f. Keterbatasan

Keterbatasan penggunaan suntik DMPA menurut BKKBN

(2003) :

1) Sering ditemukan ganguan haid.

2) Kemungkinan terlambatnya pemulihan kesuburan setelah

penghentian pemakaian.

3) Klien sangat bergantung pada tempat sarana pelayanan

kesehatan.

4) Permasalahan berat badan merupakan efek samping tersering.


42

5) Tidak menjamin perlindungan terhadap penularan infeksi

menular seksual, hepatitis B dan virus HIV.

6) Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi perubahan lipid

serum.

Berdasarkan rekomendasi FDA (The US Food and Drug

Administration) tahun 2004 bahwa pemakaian kontrasepsi DMPA

lebih baik tidak digunakan lebih dari 2 tahun, pemakaian diatas 2

tahun dipertimbangkan hanya jika metode kontrasepsi lainya tidak

memadai atau tidak ada pilihan (ACOG Commite Opinion, 2014).

g. Indikasi

Indikasi pada pengguna suntik DMPA menurut BKKBN (2003) :

1) Wanita usia reproduktif, menghendaki pencegahan kehamilan.

2) Wanita yang telah memiliki anak.

3) Menghendaki kontrasepsi jangka panjang dan memiliki

efektifitas tinggi.

4) Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai.

5) Setelah melahirkan dan tidak menyusui.

6) Setelah abortus dan keguguran.

7) Memiliki banyak anak tetapi belum menghendaki tubektomi.

8) Masalah gangguan pembekuan darah.

h. Efek Samping

Efek samping yang sering ditemukan menurut Hartanto (2004) :

1) Mengalami gangguan haid


43

a) Perubahan pola haid (amenorhoe, perdarahan irreguler,

perdarahan bercak (spooting), perubahan dalam frekuensi,

lama, dan jumlah darah yang hilang).

b) Efek pada pola haid tergantung pada lama pemakaian.

Perdarahan inter-menstrual dan perdarahan bercak

berkurang dengan jalannya waktu, sedangkan kejadian

amenorrhoe bertambah besar.

c) Insidens yang tinggi dari amenorrhoe diduga berhubungan

dengan atrofi endometrium. Sedangkan sebab-sebab dari

perdarahan irreguler masih belum jelas, dan tampaknya

tidak ada hubungan dengan prubahan-perubahan dalam

kadar hormon atau histologi endometrium.

d) DMPA lebih sering menyebabkan perdarahan bercak dan

ammenorhoe lebih sering terjadi pada akseptor dengan

berat badan tinggi.

2) Penambahan berat badan, umumnya pertambahan berat badan

tidak terlalu besar, bervariasi antara < 1 kg - 5 kg dalam tahun

pertama, penyebab pasti tidak jelas, tampaknya terjadi karena

bertambahnya lemak tubuh, dan bukan karena retensi cairan

tubuh. Hipotesa para ahli DMPA merangsang pusat pengendali

nafsu makan di hipotalamus, yang menyebabkan akseptor

makan lebih banyak dari pada biasanya.

3) Efek pada sistem kardiovaskular, perubahan dalam metabolisme


44

lemak, terutama penurunan HDL-Kolesterol, dicurigai dapat

menambah besar resiko timbulnya penyakit kardiovaskular.

4) Efek Metabolik, DMPA mempengaruhi metabolisme

kaarbohidrat, tidak ditemukan terjadinya diabetes pada akseptor.

WHO menyarankan untuk melakukan pemantauan glukosa

toleran pada pemakaian kontrasepsi suntik.

5) Efek pada sistem reproduksi, lamanya masa tidak subur/infertil

mungkin tergantung pada kecepatan metabolisme DMPA dan

juga pada berat badan akseptor. Akseptor yang memakai

kontrasepsi suntikan untuk waktu yang lama, dapat menjadi

hamil sama cepatnya dengan akseptor yang hanya ikut

beberapaa kali suntikan, yang menunjukan bahwa tidak terjadi

efek kumulatif dari obatnya.

6) Efek samping lain dari KB progesteron juga terjadi pada vagina

yang menjadi kering, sehingga merasa sakit (dispareuni) saat

melakukan hubungan seksual, dan jika kondisi ini berlangsung

lama akan menimbulkan penurunan gairah pada wanita.

6. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi

Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada

jenis kontrasepsi itu sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan

berpengaruh pada efek umpan balik positif estrogen (estrogen positive

feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative


45

feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada

kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron

menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini

akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan

menimbulakn umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon

FSH dan LH dan dengan keberadaan progesteron efek penghambatan

estrogen akan berlipat ganda. Dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat

mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap

dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama

menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi

hormon terutama estrogen (Guyton, 2008).

7. Pengukuran FSFI

Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid

dan akurat terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19

pertanyaan yang terbagi dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual

(Desire) no 1-2, rangsangan seksual (arrousal) no 3-6, lubrikasi

(lubrication) no 7-10, orgasme (orgasm) no 11-13, kepuasan

(satisfaction) no 14-16, dan rasa nyeri (pain) 17-19 ((Rossen dkk dalam

PMC 2010) oleh Cindi M)). FSFI digunakan untuk mengukur fungsi

seksual termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir. Skor yang

tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih

baik (Rosen dkk, 2010).


46

B. Kerangka Teori

Elemen pengatur Ganda Faktor-faktor yang


dalan notivasi sexual mempengaruhi fungsi
manusia : sexual :
a. Dorongan Sexual 1. Faktor demografi
1. Dorongan fisiologis 2. Faktor biologis
2. Dorongan Psikologis 3. Faktor psikologi,
b. Tekanan seksual 4. Faktor patologikal
1. Tekanan Biologis 5. Faktor sosio kultural
KB
 Gangguan Suntik DMPA 6. Faktor Hormonal
Hormon
7. Faktor Medis
 Obat dengan efek 8. Faktor Ekonomi
samping sexual 9. Faktor hubungan
 Depresi dengan pasangan
2. Hambatan (keharmonisan)
Psikologis
 Pasangan yang
tidak menarik
 Pikiran negatif
 Emosi negatif
 Stress &
kemarahan

Pola Fungsi Sexual

Dimensi Fungsi
Sexual
47

Desire Arousal Lubrikasi Orgasme Kepuasan Nyeri


(hasrat) (Gairah)

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Modifikasi Guyton (2008),Simon Levay (2006),Rousen(2010),

Shahhosseini(2006)

Anda mungkin juga menyukai