Anda di halaman 1dari 17

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN

PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Enhancing Climate Change Adaptation for Food-Crop Farmers

Sumaryanto

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
E-mail : sumaryanto_sony@yahoo.com

Naskah masuk : 25 Juni 2012 Naskah diterima : 1 Agustus 2012

ABSTRACT

Climate change is going on and its negative impacts include bio-physical and socio-economic aspects.
This is one of most serious threats to food security. To over the impacts, food-crop farmers’ adaptation needs
enhancement. This paper aims to improve knowledge on critical points in formulating effective strategy and policy
for enhancing food-crop farmers’ adaptation on climate change. The key success to adaptation is participation of
farmers and other stakeholders. Therefore, farmers’ adaptation-capacity enhancement strategy is a synergy
between farmers’ autonomous adaptation and government’s planned adaptation.

Key words: climate change, vulnerability, adaptation

ABSTRAK

Perubahan iklim telah terjadi. Dampak negatifnya mencakup aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan
merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Untuk mengatasinya,
kapasitas adaptasi petani produsen pangan harus ditingkatkan. Tinjauan ini ditujukan untuk meningkatkan
pemahaman mengenai simpul-simpul kritis dalam perumusan strategi dan kebijakan yang efektif untuk
meningkatkan kapasitas adaptasi petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim. Kunci sukses adaptasi
adalah partisipasi petani maupun pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu strategi peningkatan kapasitas
adaptasi petani membutuhkan sinergi antara kapasitas adaptasi yang secara mandiri telah berkembang pada
komunitas petani (autonomus adaptation) dengan adaptasi terencana (planned adaptation) yang dikembangkan
pemerintah.

Kata kunci : perubahan iklim, kerentanan, adaptasi

PENDAHULUAN untuk dapat hidup sehat. Kedua, secara


empiris cukup banyak individu dan rumah
tangga yang ternyata masih rawan pangan.
Dari sejumlah isu kebijakan, Ketiga, munculnya sejumlah persoalan baru
ketahanan pangan selalu menempati prioritas yang secara langsung maupun tidak langsung
atas. Hal ini merupakan konsekuensi dari mengancam keberlanjutan ketahanan pangan.
kondisi berikut. Pertama, esensi ketahanan Organisasi Pangan dan Pertanian
pangan berkenaan langsung dengan hak (FAO) menyatakan bahwa salah satu
setiap individu untuk dapat tercukupi ancaman paling serius terhadap masa depan
kebutuhan pangannya dalam kuantitas dan keberlanjutan ketahanan pangan adalah
kualitas yang sesuai dengan persyaratan implikasi perubahan iklim (FAO, 2008). Sejak

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

73
terjadinya perubahan iklim, peluang muncul- pendukung yang kondusif tersebut menjadi
nya kejadian iklim ekstrim meningkat. Di sisi tanggung jawab pemerintah namun harus
lain, manusia tidak dapat mengendalikan mempertimbangkan inisiatif dan aspirasi
perilaku iklim. Oleh karena itu, yang secara masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
teknis dan sosial ekonomi layak ditempuh Secara historis, setiap individu atau
adalah memperkuat kemampuan untuk ber- komunitas petani selalu dihadapkan pada
adaptasi terhadap perubahan iklim. Untuk kondisi untuk beradaptasi dengan lingkungan-
jangka menengah-panjang, adaptasi saja tidak nya; baik lingkungan fisik maupun sosial
cukup. Strategi yang dipandang tepat adalah ekonomi. Oleh karena itu esensi dari kebijakan
melakukan adapatsi dan mitigasi secara dan program adaptasi tersebut harus
sinergis (IPCC, 2001; IPCC, 2007). diorientasikan untuk memperlancar proses
Strategi yang ditempuh Indonesia peningkatan kapasitas adaptasi mereka. Oleh
dalam mitigasi dan adaptasi terhadap karena aktor utama adaptasi terhadap
perubahan iklim pada sektor pertanian adalah perubahan iklim pada sektor pertanian adalah
sebagai berikut. Adaptasi dan mitigasi petani maka bentuk-bentuk adaptasi yang
dilakukan secara simultan, tetapi prioritas secara mandiri telah dikembangkan oleh
mitigasi lebih banyak diarahkan pada sub petani atau komunitas petani (autonomous
sektor perkebunan, sedangkan adaptasi lebih adaptation) merupakan modal dasar yang
diprioritaskan pada sub sektor pangan. penting (ADB and IFPRI, 2009). Implikasinya,
Alasannya: (1) pada umumnya manfaat peningkatan kapasitas adapatsi melalui
mitigasi tidak bersifat langsung dan cenderung adaptasi terencana (planned adaptation) yang
bersifat jangka menengah – panjang, (2) pengembangannya dilakukan oleh pemerintah
adaptasi berkenaan langsung dengan seyogyanya bertumpu atau setidaknya sinergis
kehidupan sehari-hari sehingga pemecahan dengan autonomus adaptation yang telah
masalah jangka pendek tidak dapat ditunda, mentradisi dalam komunitas petani (Lasco et
dan (3) potensi penurunan emisi gas rumah al., 2011).
kaca yang dapat dicapai melalui aksi mitigasi Dampak perubahan iklim terhadap
pada sub sektor perkebunan lebih besar pertanian bersifat langsung dan tidak langsung
daripada sub sektor pangan. dan mencakup aspek biofisik maupun sosial
Efektivitas kebijakan dan program ekonomi. Dampak biofisik antara lain
adaptasi tidak hanya ditentukan oleh mencakup: (i) efek fisiologis pada tanaman
ketepatan rancangan dan instrumennya tetapi maupun ternak/ikan, (ii) perubahan
juga ditentukan oleh ketepatan strategi yang sumberdaya lahan dan air, (iii) meningkatnya
diterapkan untuk mengimplementasinya gangguan OPT, dan (iv) peningkatan
(IPCC, 2007; FAO, 2007). Hal ini merupakan permukaan laut dan salinitas, dan sebagainya.
implikasi dari kondisi berikut. Efektivitas Dampak sosial ekonomi lain meliputi: (i)
adaptasi ditentukan oleh kombinasi dari: (i) turunnya produktivitas dan produksi, (ii)
instrumen yang dipilih, (ii) metode yang fluktuasi harga komoditas pangan, (iii)
diterapkan, (iii) tingkat dan kualitas partisipasi meningkatnya jumlah penduduk rawan
masyarakat (kelompok sasaran), dan (iv) pangan, dan sebagainya.
ketepatgunaan penyediaan faktor pendukung Sasaran umum adaptasi adalah
(terutama infrastruktur dan kelembagaan), meminimalkan kerentanan, mengembangkan
dan (v) konsistensi kebijakan dan program. resiliensi, dan jika mengembangkan diri jika
Dalam konteks itu peranan faktor pendukung situasi dan kondisinya memungkinkan.
terutama infrastruktur sangat strategis karena Kerentanan petani terhadap perubahan iklim
mempengaruhi pula efektivitas faktor-faktor ditentukan oleh interaksi dampak potensial
lainnya tersebut di atas. Sebagai contoh, perubahan iklim dan kapasitas adaptasi petani.
teknologi adaptif akan lebih mudah diadopsi Potensi dampak merupakan resultante dari
jika didukung infrastruktur yang tersedia. sensitivitas petani dan cekaman (exposure)
Dalam konteks pertanian, petani akan lebih akibat variasi iklim yang tajam. Di sisi lain,
aktif untuk berpartisipasi dalam aksi adaptasi kapasitas adaptasi petani ditentukan oleh
jika lembaganya sesuai dengan aspirasi kondisi internal petani dan faktor pendukung
mereka. Secara normatif, penyediaan faktor eksternalnya. Kondisi internal petani antara

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

74
lain mencakup pengetahuan dan penguasaan yang cenderung menjadi lebih tinggi atau lebih
teknologi usahatani, kemampuan permodalan, rendah. Faktor-faktor yang berkontribusi
dan keterampilan manajerial, sedangkan faktor terhadap perubahan iklim terkait variasi radiasi
pendukung terpenting adalah ketersediaan matahari, deviasi orbit bumi, gerak lempeng
infrastruktur, paket-paket teknologi inovatif, tektonik, perilaku vulkanik, dan konsentrasi
dan kelembagaan. gas rumah kaca. Mengacu pada sejumlah
Mengacu pada kinerja pertanian besar hasil penelitian, sebagian besar pakar
khususnya sub sektor pangan Indonesia saat iklim internasional sepakat dengan kesimpulan
ini, Pemerintah perlu mengarusutamakan bahwa penyebab perubahan iklim sangat
(mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan terkait dengan aktivitas manusia (anthro-
iklim dalam kebijakan pembangunan pertanian pogenics). Diyakini bahwa aktivitas manusia
nasional. Pengintegrasian strategi adaptasi secara langsung maupun tidak langsung
tersebut dalam kerangka pembangunan menyebabkan komposisi atmosfer bumi
pertanian membutuhkan pemahaman yang berubah, antara lain terjadinya peningkatan
komprehensif mengenai perubahan iklim dan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) yang
implikasinya terhadap pertanian dalam arti drastis (Trenberth et al., 1995).
luas. Pada saat yang sama, untuk merumus- Meskipun sejak periode sebelumnya
kan program dan keperluan perencanaan juga terindikasi telah terjadi adanya peningkatan
membutuhkan banyak sekali data dan konsentrasi gas-gas rumah kaca, namun
informasi dari hasil-hasil penelitian dan kajian peningkatannya yang sangat cepat terjadi
empiris. Argumen dasarnya adalah: (i) sejak revolusi industri. Sejak revolusi (1875)
permasalahan, situasi, dan kondisi petani emisi CO2 meningkat pesat seiring dengan
pangan di Indonesia sangat beragam, (ii) meningkatnya konsumsi energi fosil. Pada
karakteristik kapasitas adaptasi lazimnya saat yang sama terjadi peningkatan laju
bersifat spesifik lokal, dan (iii) lingkungan pertumbuhan penduduk dan perkembangan
strategis yang dihadapi petani beragam dan ekonomi sehingga konversi hutan menjadi
dinamis. kawasan pemukiman, industri, prasarana
Tulisan ini merupakan suatu tinjauan transportasi mengalami ekskalasi (Locke and
ilmiah mengenai implikasi perubahan iklim Mackery, 2009). Implikasinya, emisi gas rumah
terhadap kinerja pertanian, khususnya kaca (GRK) yakni karbon dioksida (CO2), gas
pertanian tanaman pangan. Orientasinya methane (CH4), gas nitrous oxide (NO2), dan
adalah untuk mengidentifikasi memperdalam Fluorinated gases meningkat pula secara
pemahaman tentang implikasi perubahan iklim eksponensial. Kondisi itu menyebabkan
terhadap produksi pangan dan kaitannya terjadinya pemanasan global (global warming).
dengan ketahanan pangan. Tujuannya adalah Menurut Intergovernmental Panel on Climate
untuk meningkatkan pemahaman mengenai Change (IPCC), kenaikan gas-gas rumah kaca
simpul-simpul kritis dalam perumusan yang tajam (khususnya CO2, CH4, dan N2O)
kebijakan dan strategi peningkatan kapasitas selama dua abad terakhir diikuti kenaikan rata-
0
adaptasi petani tanaman pangan terhadap rata suhu udara global sekitar 1 C (IPCC,
perubahan iklim dalam rangka mendukung 2001).
keberlanjutan ketahanan pangan. Secara global, aktivitas manusia yang
banyak menghasilkan emisi GRK adalah
pembakaran energi fosil dan deforestrasi,
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP fermentasi enterik dan pengelolaan limbah di
KETAHANAN PANGAN peternakan, perubahan penggunaan sumber-
daya lahan (land-use change) dari kondisi
Perubahan Iklim dan Fenomenanya di alami, penggunaan chlorofluorocarbons
Indonesia (CFCs), dan aktivitas pertanian. Kontributor
utama emisi GHG adalah konsumsi energi.
Iklim berbeda dengan cuaca. Iklim Secara sektoral, pangsa emisi yang dihasilkan
mengacu pada perilaku cuaca jangka panjang, dari aktivitas sektor energi, perubahan
termasuk dinamikanya. Perubahan iklim penggunaan lahan (land-use change) dan
dicirikan oleh berubahnya dinamika dan kehutanan, pertanian, proses industri, dan
besaran dan atau intensitas unsur-unsur iklim

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

75
limbah masing-masing adalah sekitar 63, 18, mengalami curah hujan yang lebih rendah
13, 3, dan 3 persen (Rosegrant et al., 2008). tetapi periodenya lebih panjang.
Pada aktivitas pertanian, sumber GRK Dalam beberapa tahun terakhir,
berasal dari aktivitas berikut: (i) pembakaran keragaman iklim antar tahun dan antar musim
pada aktivitas pertanian maupun pembakaran yang disebabkan oleh fenomena El Nino
padang rumput, (ii) fermentasi enterik dan Southern Oscillation (ENSO) dan Osilasi
pengelolaan limbah ternak, (iii) penggunaan Atlantik atau Osilasi Pasifik juga meningkat.
kapur pertanian, (iv) pemupukan urea, (v) Dalam Ratag (2001) dinyatakan bahwa siklus
emisi N2O (langsung maupun tidak) dari ENSO meningkat frekuensinya dari 3 – 7
tanah, dan (vi) emisi CH4 dari lahan sawah tahun sekali menjadi 2 – 5 tahun sekali.
yang dihasilkan oleh proses dekomposisi Menurut Timmerman et al. (1999) dan Hansen
bahan organik pada kondisi an-aerobik tanah et al. (2006) pemanasan global menyebabkan
sawah yang tergenang yang selanjutnya frekuensi El-Nino meningkat dan fenomena
dilepaskan ke atmosfer melalui tanaman La-Nina menguat.
(IPCC, 2007).
Selain meningkatnya suhu udara, Dampak Perubahan Iklim terhadap
pemanasan global juga menjadi penyebab Produksi Pangan
terjadinya: (i) perubahan dan ketidak tentuan
curah hujan dan musim, (ii) peningkatan Meningkatnya variabilitas unsur-unsur
frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim yang bahkan kadang-kadang ekstrim
iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta tidak kondusif untuk proses metabolisme
peningkatan ataupun penurunan suhu udara berlangsung secara optimal. Oleh karena itu
secara ekstrim, dan (iii) peningkatan perubahan iklim tidak kondusif untuk
permukaan laut dan gelombang pasang (rob). kehidupan sebagian besar makhluk hidup
termasuk manusia. Pada manusia, perubahan
Di Indonesia, terutama dalam mendadak suhu atmosfer menjadi sangat
kaitannya dengan pertanian yang paling rendah atau sebaliknya menjadi sangat tinggi
banyak dicermati adalah perubahan perilaku menyebabkan daya tahan tubuh menurun
curah hujan. Di beberapa lokasi terbuktikan sehingga menjadi lebih rentan terhadap
bahwa sejak beberapa dekade terakhir penyakit dan produktivitas kerja turun.
permulaan musim hujan mundur, sementara Bencana banjir akibat curah hujan yang sangat
itu di beberapa lokasi lainnya lebih awal lebat atau sebaliknya musim kering yang
(Ibrahim, 2003). Penelitian lain memperoleh berlangsung terlalu lama menyebabkan gagal
temuan adanya kecenderungan terjadinya panen dan distribusi barang antar lokasi
perubahan pola spasial, dan variasi curah menjadi tidak lancar. Kondisi-kondisi tersebut
hujan pada musim hujan. Di beberapa wilayah mengakibatkan pemenuhan kebutuhan hidup
ditemukan bahwa rata-rata curah hujan pada sehari-hari menjadi lebih sulit; bahkan pada
periode 1994 – 2002 lebih rendah daripada kasus-kasus tertentu dapat berakibat fatal.
rata-rata curah hujan dalam periode 1970 –
2000. Curah hujan musiman Desember, Perubahan iklim berimplikasi terhadap
Januari, Februari (DJF) di sebagian besar hampir semua aktivitas ekonomi. Diperkirakan
wilayah di Pulau Jawa, Indonesia bagian bahwa total biaya dan risiko global akibat
Timur, dan Sulawesi menjadi lebih tinggi. perubahan iklim setara dengan kehilangan
Sementara itu, curah hujan musiman Juni, Juli, GDP dunia sekitar 5 persen per tahun (Stern
Agustus (DJA) di sebagian besar wilayah di et al., 2006). Dampak negatif perubahan iklim
Jawa, Papua, Sumatera Bagian Barat, dan yang diderita negara-negara berkembang
Kalimantan Bagian Timur dan Selatan menjadi diperkirakan lebih besar daripada negara-
lebih rendah (Boer, 2008; Boer et al., 2009). negara maju (IPCC, 2001). Persoalannyapun
menjadi lebih kompleks karena selain terjadi
Estimasi Naylor et al. (2007) penurunan laju pertumbuhan ekonomi, jumlah
menyebutkan bahwa curah hujan di Pulau penduduk miskin dan rawan pangan
Jawa dan Bali akan lebih tinggi tetapi diprediksikan akan meningkat tajam.
periodenya lebih pendek. Sebaliknya, bagian
utara Sumatera dan Kalimantan akan Bagi negara-negara berkembang,
kompleksitas persoalan yang terkait dengan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

76
dampak negatif perubahan iklim bukan hanya intensitas gangguan OPT mengakibatkan
berkenaan dengan turunnya laju pertumbuhan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman
ekonomi, tetapi yang lebih gawat adalah tidak optimal. Penurunan luas panen terkait
meningkatnya jumlah penduduk miskin dan dengan meningkatnya persentase puso yang
rawan pangan. Hal ini merupakan konsekuensi terjadi akibat kekeringan, banjir, ataupun
logis dari: (1) sejak semula proporsi penduduk gangguan OPT. Dalam jangka panjang,
miskin memang lebih banyak, (2) sebagian turunnya luas panen juga merupakan akibat
besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dari penyusutan lahan pertanian akibat
yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, naiknya permukaan air laut.
(3) penguasaan teknologi kemampuan Dampak perubahan iklim terhadap
permodalannya sangat terbatas sehingga produksi pangan terjadi melalui turunnya
kapasitas adaptasinya rendah, (4) risiko konflik produktivitas dan luas panen. Turunnya
antar kelompok masyarakat terkait dengan produktivitas terkait dengan kondisi iklim
kemiskinan masih tinggi, dan (5) perubahan makro dan iklim mikro yang kurang kondusif
iklim juga mendagradasi kualitas kesehatan terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif
sehingga produktivitas kerja akibat juga tanaman (cekaman air dan suhu) dan
menurun. meningkatnya organisme pengganggu
Pada sektor pertanian, dampak tanaman. Penurunan luas panen terkait
langsung dan tidak langsung perubahan iklim dengan puso yang terjadi akibat kekeringan
dapat dipilah menjadi dua kategori (FAO, dan banjir serta hilangnya sebagian lahan
2007) yaitu: (1) dampak biofisik, dan (2) pertanian akibat naiknya paras muka air laut.
dampak sosial ekonomi. Dampak biofisik Angka-angka prediksi mengenai
antara lain mencakup: (i) efek fisiologis pada seberapa besar dampak perubahan iklim
tanaman, hutan, dan ternak (kuantitas dan terhadap produksi pangan dunia cukup banyak
kualitas), (ii) perubahan lahan, dan sumber- versinya. Selain terkait dengan perbedaan
daya lahan dan air (kuantitas dan kualitas), (iii) pendekatan dan model yang diterapkannya,
meningkatnya gangguan gulma dan penyakit, skenario yang dikembangkan juga bervariasi.
(iv) pergeseran spasial dan temporal (i) – (iii), Variasi dalam skenario ini tak lepas dari
(v) peningkatan permukaan air laut dan pertimbangan adanya feed back dari
salinitas, (vi) perubahan habitat biota laut, perkembangan yang dicapai dalam mitigasi
termasuk sumberdaya perikanan laut. Dampak dan adaptasi. Sebagai ilustrasi, dalam
sosial ekonomi antara lain mencakup: (i) Rosenzweig and Iglesias (2010) diungkapkan
turunnya produktivitas dan produksi, (ii) proyeksi produksi pangan biji-bijian negara
penurunan marginal GDP sektor pertanian, (iii) (ataupun kelompok negara) di dunia menurut
fluktuasi harga di pasar internasional, (iv) berbagai macam skenario yang didasarkan
perubahan distribusi geografis rejim per- atas efek CO2 dan level adaptasi yang
dagangan, (v) meningkatnya jumlah penduduk dicapai. Salah satu diantaranya (skenario CM-
rawan pangan, dan (vi) migrasi dan civil A#2 =Year 2020, CO2 effect (475 ppm), Level
unrest. 1 adaptation) diperkirakan bahwa produksi
Meskipun secara teknis sektor pangan di sebagian besar negara di dunia
pertanian merupakan salah satu andalan aksi masih mengalami penurunan dari minus 3
mitigasi perubahan iklim, namun sektor ini juga persen sampai minus 13 persen dan hanya
merupakan sektor paling rentan terhadap sebagian kecil negara yang mengalami
perubahan iklim (Fischer et al., 2002). Oleh kenaikan, itupun berkisar antara 2 – 3 persen
karena sektor ini merupakan penghasil pangan saja (Level 1 adaptation adalah adaptasi
maka ketahanan pangan rawan terhadap sederhana yang intinya adalah melakukan
perubahan iklim. perubahan pola usahatani).
Dalam konteks agregat, dampak Prediksi yang sedikit lebih optimistis
perubahan iklim terhadap produksi pangan dikemukakan Fischer et al. (2002) yang
terjadi melalui turunnya produktivitas dan atau menunjukkan bahwa terkait dengan perubahan
luas panen. Produktivitas turun karena iklim, untuk 90 tahun ke depan (sampai 2080)
meningkatnya cekaman lingkungan (variabi- produksi pangan turun 0,6 – 0,9 persen.
litas iklim yang lebih besar) dan meningkatnya Namun terjadi perbedaan yang menyolok

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

77
antara negara maju versus negara 2011. Maret – Juni 2011 turun kembali, namun
berkembang. Di satu sisi, negara-negara maju kemudian naik lagi dan kondisi harga tinggi
akan mengalami peningkatan produksi karena berlangsung sampai Januari 2012. Pada Bulan
kesiapan infrastrukturnya memungkinkan aksi Februari – April, harga beras turun kembali
adaptasinya efektif, sementara itu karena tetapi kemudian naik lagi sejak Mei 2012 dan
secara geografis sebagian besar negara- sampai kini untuk harga beras kualitas medium
negara maju terletak di wilayah temperate di tingkat eceran berkisar pada angka 7000 –
maka naiknya rata-rata suhu global justru 8000 rupiah per kilogram.
menyebabkan potensi sumberdaya lahan yang Dalam penelitian sosial ekonomi,
sesuai untuk digunakan sebagai lahan salah satu pendekatan untuk mengetahui
pertanian bertambah luas. Di sisi lain, negara- dampak perubahan iklim terhadap produksi
negara berkembang yang secara geografis dan ketahanan pangan adalah melalui analisis
kebetulan banyak yang terletak di wilayah dampak anomali iklim. Dengan pendekatan
sekitar khatulistiwa justru mengalami seperti itu, hasil penelitian terbaru
penurunan produksi pangan. Khusus di Asia (Sumaryanto et al., 2011) memperoleh bebe-
Tenggara, produksi serealianya diproyeksikan rapa kesimpulan sebagai berikut:
turun 2,5 persen – 7,8 persen.
(1) Untuk lingkup agregat nasional, El Nino
IPCC (2007) memperkirakan bahwa berdampak negatif terhadap luas panen
perubahan iklim akan mengakibatkan agregat komoditas pangan utama (padi,
ketergantungan impor bahan pangan negara- jagung, dan kedelai), sedangkan La Nina
negara berkembang semakin besar. berdampak positif. Rata-rata penurunan
Sebelumnya, dalam FAO Commitee on Food luas panen akibat El Nino adalah sekitar
st
Security, Reports of 3 Session (2005) 5,4 persen, sedangkan rata-rata kenaikan
diungkapkan bahwa 11 persen dari lahan luas panen akibat La Nina adalah sekitar
pertanian negara-negara berkembang akan 2,7 persen. Dampak terbesar terjadi jika
sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. anomali iklim tersebut terjadi pada periode
Dampaknya adalah terjadinya penurunan September - Desember dan Mei -
produksi pangan biji-bijian di 65 negara dan Agustus.
mengakibatkan penurunan 16 persen GDP.
Sementara itu, Warren et al. (2006) (2) Untuk padi, El Nino menyebabkan rata-
memprediksi jika tidak melakukan mitigasi dan rata luas panen turun 3,83 persen,
adaptasi terhadap perubahan iklim (business produktivitas turun 0,15 persen, dan
as usual) sehingga suhu rata-rata global produksi turun 3,99 persen. La Nina
0
meningkat sampai 3 C maka kelaparan akan mengakibatkan luas panen meningkat
melanda sekitar 600 juta penduduk dunia dan sekitar 2,78 persen, produktivitas naik
sebagian besar adalah di negara-negara sekitar 0,19 persen, dan produksi naik
berkembang. sekitar 2,95 persen.
Di dalam negeri kondisi iklim yang (3) Variasi dampak El Nino maupun La Nina
tidak kondusif juga menyebabkan terhadap produksi padi antar provinsi
pertumbuhan produksi padi tidak stabil. cukup besar. Sumber utama variasi adalah
Setelah pertumbuhan yang rendah pada tahun kondisi iklim serta ketersediaan dan
2007, terjadi angka kenaikan produksi yang kualitas irigasi wilayah yang bersangkutan.
cukup menyolok pada tahun 2008. Pada tahun
2009, kenaikan produksi padi masih bertahan Implikasinya pada Ketahanan Pangan
pada level yang aman. Namun pada tahun
2010 dan 2011 pertumbuhan produksi tidak Konsep ketahanan pangan (food
mencapai target. Terkait dengan kondisi security) berkembang dari waktu ke waktu
tersebut, harga beras pada tahun 2010 dan sampai memperoleh bentuknya sekarang ini.
2011 meningkat cukup tajam. Sebagai contoh, Pertama kali muncul adalah pada World Food
sejak paruh kedua tahun 2010, harga beras Conference tahun 1974, kemudian mengalami
meningkat cukup tajam. Meskipun sempat perluasan makna dan revisi oleh FAO pada
turun (November 2010), namun kemudian tahun 1983, serta kontribusi World Bank tahun
meningkat kembali dan sampai awal Januari 1986, dan yang sekarang ini secara luas
diadopsi adalah sebagaimana yang dinyatakan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

78
dalam World Food Summit 1996 (FAO, 1996): terganggu. Pada saat yang sama, dampak
“Food security exists when all people, at all negatif perubahan iklim pada berbagai sektor
times, have physical and economic access to ekonomi itu juga menyebabkan rata-rata
sufficient, safe and nutritious food that meets pendapatan riil turun sehingga aksesnya
their dietary needs and food preferences for an terhadap pangan menurun. Sudah barang
active and healthy life”. Jadi ketahanan tentu, situasi paling gawat adalah pada
pangan mencakup empat unsur atau dimensi penduduk miskin.
yaitu: (i) ketersediaan (food availability), (ii) Implikasi perubahan iklim terhadap
akses penduduk terhadap pangan (access to ketahanan pangan dapat diuraikan sebagai
sufficient food), (iv) stabilitas (stability of food berikut. Mengacu pada kerangka pemikiran
stock), dan (iv) pemanfaatan pangan yang dikembangkan FAO (2008), dapat
(utilization of food, which is related to cultural disederhanakan dengan bantuan Gambar 1.
practices).
Pertumbuhan penduduk, perkembang-
Dari keempat unsur tersebut yang an dan pertumbuhan ekonomi, sosial – politik,
paling rawan terkena dampak perubahan iklim teknologi, serta budaya dan religi masyarakat
adalah stabilitas pangan (food system stability) global mendorong laju emisi gas rumah kaca.
karena secara simultan ditentukan oleh Akibatnya terjadi pemanasan global dan terkait
ketersediaan temporal dan akses terhadap dengan itu terjadi perubahan iklim. Perubahan
pangan (FAO, 2007). Pembahasan berikut ini iklim tersebut mempengaruhi keseluruhan
difokuskan pada aspek ini. sektor ekonomi, termasuk diantaranya yang
Sejak dekade terakhir ini ketersediaan paling rentan adalah sektor pertanian.
global komoditas pangan perkapita cenderung Implikasi perubahan iklim terhadap
menurun dan fluktuatif. Terkait dengan itu, pertanian mencakup: efek fertilisasi CO2, efek
terjadi lonjakan-lonjakan harga pangan yang peningkatan rata-rata suhu atmosfer global,
ekstrim. Pada periode September 2008 – Mei dan efek dari perubahan presipitasi yang
2009 indeks harga pangan mengalami mencakup perubahan yang sifatnya gradual,
lonjakan tertinggi dalam dua puluh lima tahun meningkatnya frekuensi dan intensitas
terakhir. Meskipun sempat kembali turun ke kejadian iklim ekstrim, maupun variabilitas
level yang “reasonable”, tetapi menjelang akhir cuaca. Efek fertilisasi CO2 yakni meningkatnya
tahun ini melonjak kembali, bahkan hari-hari ini konsentrasi CO2 di atmosfir memang cen-
mencapai suatu level yang ekstrim lagi. derung merangsang pertumbuhan tanaman
Kenaikan harga di sejumlah negara di Asia (terutama di wilayah temperate pada tanaman
seperti Filipina, Bangladesh, dan Pakistan naik yang termasuk kategori C3), tetapi secara
sampai dua kali lipat bahkan lebih. Di sisi lain, agregat tidak berpengaruh nyata terhadap
Vietnam membatasi ekspornya, Thailand proyeksi pangan global (Tubiello et al., 2007).
terdorong pula menumpuk cadangan Pengaruh peningkatan rata-rata suhu global
domestiknya, China dan Laos mengenakan berbeda-beda tergantung tingkat kenaikan
pajak ekspor, sedangkan Indonesia selain suhu rata-rata tersebut dan lokasi
berusaha meningkatkan cadangannya juga geografisnya (Leff, Ramankutty and Foley,
meningkatkan subsidi untuk konsumen. 2004). Kenaikan moderat (antara 1 – 3 C)
o

Perubahan iklim tidak hanya berdam- berpengaruh positif di wilayah temperate,


pak negatif terhadap dimensi penyediaan tetapi terutama untuk serealia di wilayah
pangan tetapi berdampak negatif pula pada tropika dan wilayah yang secara musiman
dimensi stabilitas sistem pangan dan akses beriklim kering pengaruhnya negatif. Kenaikan
o
penduduk terhadap pangan. Pada dimensi lebih dari 3 C berpengaruh negatif di semua
penyediaan, turunnya produktivitas dan wilayah (IPCC, 2007). Untuk perubahan
meningkatnya risiko gagal panen menyebab- presipitasi yang sifatnya gradual maupun
kan kuantitas dan kualitas ketersediaan variabilitas cuaca, beberapa jenis komoditas
pangan menjadi lebih rawan. Kinerja stabilitas masih dapat menyesuaikan sepanjang tidak
juga menurun karena perubahan iklim juga melewati ambang batas toleransinya. Namun
tidak kondusif untuk mendukung kinerja rantai untuk kejadian iklim ekstrim, baik berupa
pasok pangan karena kelancaran transportasi, intensitas curah hujan yang sangat tinggi
komunikasi, pemrosesan, dan penyimpanan ataupun sebaliknya sangat rendahnya curah

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

79
hujan sehingga menimbulkan kekeringan level ekstrim; dengan sendirinya menurunkan
maka pengaruhnya sangat nyata. Dampaknya kualitas kesehatan.
bukan hanya berupa turunnya produktivitas
tetapi bahkan dapat mengakibatkan puso.

Respon adaptif pada


sistem pangan

Efek
fertilisasi CO2

Penin gkatan
rata -rata Perubahan Perubahan
suhu global aset -aet aktivitas Perubahan dalam
perubahan iklim

dalam dalam unsur - unsur


sistem sistem ketahanan pangan
Perubahan pangan pangan
Drivers global gradual
warming : presipitasi
 Demografi
 Ekonomi
Peningkatan Kemungkinan
 Sosial – politik
frekuensi dan
 Teknologi terjadinya perubahan
intensitas pola konsumsi pangan
 Budaya dan religi kejadian Kemungkinan terjadinya  Kuantitas
iklim ekstrim migrasi dan atau konflik  Kualitas
 Jenis
Peningkatan  Komposisi
variabilitas
cuaca

Gambar 1. Implikasi Perubahan Iklim Terhadap Ketahanan Pangan

Sumber: FAO, 2008 (dimodifikasi).

Akibat dari situasi dan kondisi tersebut Migrasi ataupun konflik tersebut juga
mencakup tiga kemungkinan. Pertama, berkontribusi terhadap perubahan yang terjadi
terjadinya perubahan dalam aset-aset sistem dalam aset-aset sistem pangan. Selanjutnya,
pangan misalnya lahan, infrastruktur pertanian, perubahan aset-aset sistem pangan itu
alat-alat dan mesin-mesin yang digunakan mendorong terjadinya perubahan dalam
dalam sistem produksi pertanian, dan aktivitas sistem pangan yakni sistem usahatani
sebagainya. Faktor pendorong utama dan pasar masukan maupun keluarannya.
perubahan ini adalah efek fertilisasi CO2, Perubahan aktivitas dalam sistem pangan ini
peningkatan suhu rata-rata, dan perubahan sebenarnya juga merupakan bagian dari
gradual presipitasi. Kedua, kemungkinan respon adaptif pada sistem pangan dan
terjadinya konflik dan atau migrasi. Hal ini merupakan latar belakang terjadinya
terjadi jika peningkatan frekuensi dan perubahan dalam aset-aset sistem pangan
intensitas kejadian iklim ekstrim sangat tidak ataupun umpan balik pada driver dari global
kondusif bagi komunitas terkait untuk warming. Lazimnya opsi-opsi adaptasi akan
mempertahankan kehidupannya secara layak mengarah pada perubahan aset sistem
di lokasi yang bersangkutan. Ketiga, pangan, sedangkan opsi-opsi yang
menurunnya kualitas kesehatan. Variabilitas berorientasi pada minimalisasi dampak akan
cuaca yang tajam, terlebih-lebih jika mencapai menjadi bagian dari aksi-aksi mitigasi yang

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

80
mengarah pada aspek-aspek ekonomi, panen padi MT II adalah sekitar separuh dari
teknologi, dan sosial – budaya (driver dari total luas areal panen MT I. Sesudah itu, di
global warming tersebut di atas). beberapa lokasi dengan kualitas irigasi yang
Perubahan aktivitas dalam sistem sangat baik masih ada juga petani yang
pangan mendorong terjadinya perubahan menanam padi, tetapi proporsinya sangat
unsur-unsur ketahanan pangan. Perubahan kecil. Di Daerah Irigasi Brantas (yang dapat
yang terjadi tidak hanya menyangkut unsur dikategorikan sebagai daerah irigasi paling
ketersediaannya, tetapi sangat mungkin berkembang di Indonesia), rata-rata proporsi
meliputi pula unsur stabilitasnya, akses luas panen padi MT III kurang dari 5 persen
penduduk terhadap pangan, dan bahkan luas areal baku sawah (Sumaryanto et al.,
pemanfaatan pangan. Bentuknya dapat 2001). Dengan kondisi seperti itu maka
berupa perubahan dalam pola konsumsi pasokan pangan (beras) di pasar pada Bulan
pangan yang mencakup: kuantitas, kualitas, Desember dan Januari berada pada level
komposisi, atau jenis pangan yang terendah dari rata-rata pasokan bulanan di
dikonsumsi. dalam negeri. Di sisi lain, cadangan pangan
petani pada umumnya juga berada pada level
Dalam situasi dan kondisi tertentu, terendah. Implikasinya, harga pangan naik.
misalnya jika intensitasnya tinggi dan
durasinya panjang, terkonsentrasi pada Untuk Indonesia, pengalaman selama
kelompok tertentu, tidak ada jaring pengaman ini menunjukkan bahwa kenaikan harga
sosial yang kondusif untuk saling berbagi pangan pokok (beras) tidak hanya memicu
maka kerawanan pangan itu mendorong kenaikan harga komoditas pangan lainnya
terjadinya migrasi. Jika kondisi seperti itu tetapi merambah pula komoditas non pangan
berlangsung cukup lama dan intensif dan tidak sehingga mendorong kenaikan harga-harga
ada pula kebijakan pemerintah yang efektif umum (inflasi). Dibandingkan dengan
untuk mengatasinya maka dapat mendorong beberapa dekade lalu (ketika Indonesia belum
pula terjadinya konflik antar kelompok berubah menjadi net importir BBM dan peran
masyarakat dan pada gilirannya memperberat BULOG dalam pengendalian harga masih
tingkat kerawanan sosial dalam konteks yang sangat efektif), telah terjadi perubahan. Namun
lebih luas. kontribusi kenaikan harga pangan pokok
terhadap inflasi masih tampaknya masih
Secara empiris, fenomena kerawanan significant.
pangan yang paling umum bersifat temporer.
Dalam konteks demikian itu kerawanan Dampak perubahan iklim terhadap
pangan temporer di Indonesia cenderung kerawanan pangan temporer dapat berupa
berimpit dengan musim ‘paceklik’ yakni berkurangnya kuantitas konsumsi pangan per
periode ketika sebagian besar produksi kapita dan atau turunnya kualitas komoditas
pangan belum dapat dipanen, sementara itu pangan yang dikonsumsi. Sosoknya dapat
cadangan pangan masyarakat dari hasil panen berupa perubahan pola musimannya
sebelumnya sudah menipis. Untuk sebagian (pergeseran temporalnya) dan atau durasinya.
besar penduduk di kawasan Indonesia Barat, Secara empiris, yang sering terjadi merupakan
musim paceklik biasanya berlangsung pada kombinasi dari faktor-faktor tersebut karena
Bulan Desember – Januari. Sesuai dengan pergeseran musim mengacaukan pula jadwal
daya belinya, kelompok paling rentan adalah tanam pada musim berikutnya, bahkan tahun
rumah tangga miskin. berikutnya; dan hal itu meningkatkan risiko
gagal panen. Sementara itu, dampak iklim
Sejak tiga dekade terakhir, jika tak ekstrim (banjir dan atau kekeringan) tidak
terjadi anomali iklim maka panen raya (panen hanya menyebabkan produksi turun, tetapi
dari usahatani padi MT I) biasanya terjadi pada juga menyebabkan sumberdaya (biaya tunai,
Bulan Februari – April dengan puncaknya tenaga kerja, waktu) yang dipergunakan dalam
pada Bulan Maret. Panen berikutnya adalah usahatani tersebut maupun untuk proses
dari usahatani padi MT II yakni sekitar Bulan pemulihan (recovery) meningkat. Hasil
Juni – Agustus. Sesuai dengan ketersediaan penelitian Sumaryanto et al. (2011)
air irigasi dan pola tanam yang diterapkan memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
mayoritas petani padi, rata-rata luas areal

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

81
(1) Iklim ekstrem menyebabkan status tajam yang berdasarkan berbagai ramalan
ketahanan pangan turun karena meskipun dinyatakan akan sering terjadi dalam era
La Nina berdampak positif tetapi perubahan iklim. Oleh karena itu perubahan
besarannya lebih kecil daripada dampak iklim disimpulkan merupakan salah satu
negatif El Nino. Dalam hal ini dampaknya ancaman paling serius terhadap keberlanjutan
pada status ketahanan pangan agregat ketahanan pangan. Berpijak pada karakteristik
maupun pola temporer yang dialami rumah iklim sebagai suatu sistem yang sifatnya global
tangga perdesaan adalah lebih besar maka ruang lingkup dampak negatif
daripada rumah tangga perkotaan. perubahan iklim tidak eksklusif lokal, nasional,
(2) El Nino dan La Nina mempengaruhi pola atau regional, tetapi bersifat global (IPCC,
musiman status ketahanan pangan, tetapi 2001; ADB, 2009).
secara agregat nasional tidak significant. Secara garis besar, kerentanan
Dalam satu tahun terdapat 3 kategori merupakan fungsi dari karakter, besaran, dan
tingkat kerawanan pangan. Periode “baik” tingkat variasi iklim terhadap suatu sistem
dicirikan oleh indeks ketahanan pangan yang terdadah, sensitivitas sistem tersebut
yang lebih tinggi dari rata-rata bulanan. Ini terhadap dadahan (exposure), dan kapasitas
terjadi pada periode Februari – Mei. adaptasinya (Lasco et al., 2011). Dalam IPCC
Kategori “sedang” terjadi pada periode (2001), paparan didefinisikan sebagai ”the
Juni – November, sedangkan kategori nature and degree to which a system is
“tidak baik” terjadi pada periode November exposed to significant climatic variations”,
– Februari. sensitivitas didefinisikan sebagai “the degree
to which a system is affected, either adversely
or beneficially, by the climate-related stimuli”,
PERAN STRATEGIS PENINGKATAN sedangkan kapasitas adaptasi (adaptif
KAPASITAS ADAPTASI PETANI capacity) didefinisikan sebagai “the ability of a
system to adjust to climate change (including
Kerentanan Petani terhadap Perubahan climate variability and extremes), to moderate
Iklim the potential damage from it, to take
advantage of its opportunities, or to cope with
Aktivitas utama (core business) di its consequences”. Secara ringkas, konstelasi
sektor pertanian adalah usahatani tanaman hubungan antara paparan, sensitivitas, potensi
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dampak, kapasitas adaptasi, dan kerentanan
maupun perikanan. Terkait karakteristik jangka pendek - menengah dapat
intrinsiknya, hampir semua cabang usahatani divisualisasikan seperti Gambar 2.
tersebut rentan terhadap variabilitas iklim yang

Dadahan (Exposure) Sensitivitas

Potensi Dampak Kapasitas adaptif

Kerentanan

Gambar 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan

Sumber : Lasco et al., 2011.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

82
Untuk horizon waktu jangka pendek – berkurang. Namun perlu diingat bahwa lazim-
menengah, dari tiga faktor tersebut (dadahan, nya dasar pertimbangan dalam pengambilan
sensitivitas, dan kapasitas adaptif) yang keputusan mengenai teknologi yang akan
sifatnya benar-benar eksogen adalah diterapkan maupun pola pembiayaannya
dadahan, sedangkan sensitivitas maupun didasarkan atas pengalamannya. Oleh karena
kapasitas adaptif dalam batas-batas tertentu itu jika terjadi perubahan perilaku dadahan
dapat diinternalisasi. Berbeda dengan yang drastis dan tidak terantisipasi maka
dadahan, dalam beberapa hal terdapat selain yang bersangkutan menjadi sensitif,
keterkaitan antara sensitivitas dengan kemampuannya dalam beradaptasi juga turun
kapasitas adaptif. Sensitivitas suatu sistem karena sumberdaya dikuasainya yang
dapat dikurangi jika kinerja kapasitas sedianya akan digunakan untuk meningkatkan
adaptasinya meningkat. Sebaliknya, kapasitas kapasitas adaptasi yang lebih tinggi semakin
adaptif dapat terdegradasi jika tidak ada menipis. Mengacu pada argumen tersebut
terobosan yang memungkinkan sensitivitasnya maka mudah dipahami bahwa dalam jangka
dapat dikurangi. Hal ini merupakan implikasi pendek – menengah, simpul strategis untuk
logis dari latar belakang peningkatan A yang mengurangi kerentanan dan membangun
dalam jangka pendek – menengah seringkali resiliensi terhadap perubahan iklim terletak
diorientasikan untuk mengatasi masalah yang pada peningkatan kapasitas adaptasi.
timbul akibat sensitivitasnya yang tinggi Dalam jangka panjang, sasaran
terhadap gangguan dari lingkungannya. adaptasi lebih mudah dicapai jika disinergikan
Sebagai contoh, upaya petani untuk mengatasi dengan Mitigasi; sebaliknya pengalaman dari
kekeringan dapat dilakukan dengan aksi adaptasi merupakan masukan yang
menambah pasokan air irigasi dengan sangat diperlukan dalam menyusun taktik dan
menerapkan irigai pompa. Dengan tindakan itu strategi mitigasi. Gambar 3 menyajikan
maka sensitivitasnya terhadap kekeringan konstelasi hubungan mitigasi dan adaptasi.

Gambar 3. Adaptasi dalam Konteks Dinamis Jangka Panjang

Sumber : Klein, 2009.

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

83
Pada Gambar 3 tampak bahwa menjalankan strategi adaptasi yang memadai
kapasitas adaptasi mempengaruhi tingkat maka kawasan ini akan sangat terancam
kerentanan melalui dua jalur, yakni secara keberlanjutan ketahanan pangannya.
langsung dan tidak langsung. Jalur tidak Untuk meningkatkan ketahanan petani
langsung adalah melalui mekanisme menghadapi perubahan iklim diperlukan ada-
pengurangan potensi dampak, sedangkan jalur nya dukungan yang memadai dari pemerintah.
langsung mencakup langkah-langkah “coping Namun sangat disayangkan bahwa sejak
strategies” dalam mengatasi masalah yang beberapa dekade terakhir ini perhatian untuk
terkait dengan kerentanan yang dirasakannya. pengembangan irigasi berkurang. Sebagai
Kapasitas adaptasi didefinisikan seba- gambaran, dalam laporan UNCTAD (2010)
gai derajat penyesuaian yang terjadi dalam disebutkan bahwa dalam tiga dekade terakhir
praktek, proses, atau struktur yang dapat ini pangsa pengeluaran untuk investasi publik
meringankan atau mengatasi potensi ke- (terutama di negara-negara berkembang)
rusakan/kerugian atau memetik manfaat dari untuk sektor pertanian justru turun dari 7
kesempatan yang mungkin ada. Faktor-faktor persen menjadi 4 persen. Khususnya untuk
yang mempengaruhi kapasitas adaptasi kasus di Indonesia, yang dipandang paling
adalah faktor sosial ekonomi, teknologi, mendesak adalah rehabilitasi dan
infrastruktur, dan kebijakan pemerintah. pengembangan irigasi serta investasi di bidang
Situasi dan kondisi faktor-faktor yang penelitian dan pengembangan, serta investasi
mempengaruhi kapasitas adaptasi tersebut di bidang penyuluhan pertanian.
beragam sehingga kapasitas adaptasi antar
wilayah, antar komunitas, bahkan antar Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi
individu petani juga beragam. Implikasinya,
simpul-simpul kritis strategi peningkatan Meskipun bentuk ataupun tipenya
kapasitas adaptasi antar wilayah, atau antar bervariasi namun sasaran adaptasi terhadap
komunitas juga berbeda-beda. Informasi perubahan iklim pada prinsipnya adalah
tentang keragaman dan faktor-faktor yang meminimalkan kerentanan (vulnerability),
mempengaruhinya sangat bermanfaat untuk membangun resiliensi, serta mengembangkan
mendukung perumusan kebijakan, penyu- kemampuan memanfaatkan kesempatan yang
sunan program, dan strategi implementasi menguntungkan dari situasi dan kondisi yang
adaptasi terhadap perubahan iklim (Brooks et ditimbulkan oleh perubahan iklim (Brooks and
al, 2005). Adger, 2005). Kerentanan adalah derajat
mudah-tidaknya terkenai, rusak, merugi, atau
Kinerja usahatani dipengaruhi oleh melemah eksistensinya. Berbeda dengan
penguasaan sumberdaya dan kemampuan kerentanan, resiliensi mengacu pada ke-
manajerial petani yakni kemampuan meng- mampuan merancang untuk bertahan, pulih,
akumulasikan dan mendayagunakan penge- atau bahkan berkembang dari kondisi yang
tahuan, informasi, dan keterampilannya dalam tercipta dari akibat yang muncul terkait dengan
mengalokasikan sumberdaya yang dikuasai- perubahan iklim (ECA, 2009).
nya dalam rangka mencapai tujuan yang ingin
dicapai dalam berusahatani. Sebagian dari Kata kunci untuk menjawab tantangan
pengetahuan tersebut diperoleh dari tersebut adalah mengupayakan agar
penyuluhan, belajar secara mandiri, dari petani kerentanan petani terhadap kondisi iklim yang
lain, atau orang tuanya secara turun-temurun, kurang kondusif dapat dikurangi. Dengan kata
dan dari sumber-sumber informasi lainnya. lain, petani harus dikondisikan menjadi lebih
Oleh karena itu secara umum kelompok paling tahan, tangguh, dan lentur (resilience) untuk
rentan terhadap risiko iklim (kekeringan, banjir, menghadapi perubahan iklim.
badai) adalah petani kecil. Leary et al. (2007) Dalam IPCC (2007) maupun Lasco et
menyatakan bahwa ketahanan petani kecil al. (2011) dinyatakan bahwa secara umum
untuk menghadapi perubahan iklim pada tingkat kerentanan merupakan fungsi dari
umumnya kurang memadai. Khususnya untuk tingkat paparan (exposure), sensitivitas, dan
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia), kapasitas adaptasi (adaptive capacity including
laporan ADB and IFPRI (2009) menyatakan adaptation measures). Dalam jangka pendek,
jika tidak ada perbaikan produktivitas dan tidak tingkat paparan dan sensitivitas sistem yang

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

84
terkena paparan tersebut dapat diasumsikan secara normatif maupun aktual dilakukan oleh
tidak mudah diubah (given) sehingga fokus masyarakat atau komunitas. Dalam beberapa
utama dalam strategi adaptasi adalah aspek, efektivitas adaptasi individual
meningkatkan kapasitas adaptif petani (Lasco ditentukan oleh adaptasi yang sifatnya kolektif
et al., 2011). Secara teoritis, jika strategi (masyarakat). Untuk kasus di Indonesia, hasil
peningkatan kapasitas adaptif itu tepat maka penelitian Sejati et al. (2011), dan Sumaryanto
kondusif pula untuk mengurangi derajat et al. (2012) menunjukkan bahwa peran aksi
sensitivitas sehingga merupakan modal dasar kolektif sangat menentukan. Hal ini
untuk pengembangan kapasitas adaptasi disebabkan sebagian besar petani produsen
jangka menengah - panjang. pangan Indonesia adalah petani kecil. Aksi
Adaptasi terhadap perubahan iklim kolektif ini terutama sangat diperlukan pada
mengacu pada penyesuaian yang dilakukan kegiatan pengelolaan air irigasi dan pe-
sebagai respon terhadap pengaruh yang ngendalian organisme pengganggu tanaman
timbul akibat kondisi iklim aktual atau yang (OPT) terutama hama tikus dan wereng coklat.
diperkirakan akan terjadi agar mampu ber- Kapasitas adaptasi merupakan
tahan dan jika memungkinkan dapat meman- resultante dari kinerja unsur-unsur pembentuk-
faatkan kesempatan untuk berkembang. nya. Identifikasi tingkat keragaman kapasitas
Terdapat berbagai tipe adaptasi berdasarkan adaptasi didekati melalui identifikasi unsur-
sifatnya: adaptasi autonomous vs terencana, unsur pembentuknya yang meliputi: (i)
adaptasi antisipatif vs reaktif, dan adaptasi penguasaan pengetahuan di bidang usahatani,
individual vs kolektif (masyarakat). Meskipun utamanya yang terkait dengan kiat-kiat
berbeda-beda namun sasaran umumnya menghadapi efek perubahan iklim; (ii)
adalah mengarah pada minimalisasi risiko penguasaan teknologi usahatani yang lebih
akibat iklim, dalam arti meningkatkan resiliensi produktif dan adaptif terhadap variabilitas iklim;
dan mengurangi kerentanan terhadap kondisi (iii) keterampilan manajerial usahatani; (iv)
iklim yang tidak kondusif (IPCC, 2001; Lasco kemampuan mengakses informasi iklim; (v)
et al., 2011). kemampuan mengakses pasar masukan dan
Adaptasi yang sifatnya autonomous keluaran usahatani; (vi) tersedianya kelem-
merupakan kiat-kiat adaptasi yang secara bagaan ”risk sharing” di tingkat petani,
mandiri telah diterapkan petani tanpa adanya khususnya yang terkait dengan risiko iklim;
intervensi dari pemerintah (Lasco et al., 2011). (vii) tersedianya infrastruktur yang kondusif
Di sisi lain, adaptasi terencana (planned untuk mengurangi potensi dampak perubahan
adaptation) adalah adaptasi yang pengem- iklim; (viii) tersedianya kelembagaan yang
bangannya melibatkan kelembagaan dan efektif untuk mengatasi bencana akibat iklim
kebijakan, sasarannya memperkuat kapasitas ekstrem dan mempercapat proses
adaptif petani dengan melalui pemanfaatan pemulihannya; (ix) bijakan pemerintah yang
teknologi baru dan infrastruktur secara secara khusus menangani dampak bencana
maksimal (Dolan et al., 2001; Clements et al., iklim ekstrem dan proses pemulihannya; (x)
2011). kebijakan perlindungan usaha di bidang
usahatani pangan; (xi) kebijakan perlindungan
Adaptasi reaktif adalah cara-cara aset-aset penting dan sumberdaya pertanian
penyesuaian yang dilakukan ketika dampak pangan strategis,
perubahan iklim telah dirasakan, sedangkan
adaptasi antisipatif merupakan adaptasi yang Mengacu pada FAO (2011), strategi
sifatnya proaktif dan dilakukan sebelum peningkatan kapasitas adaptasi petani melalui
dampak penuh perubahan iklim dirasakannya pendekatan planned adaptation harus tetap
(Dolan et al., 2001). Secara umum adaptasi mempertimbangkan autonomous adaptation
antisipatif lebih efektif meskipun dalam jangka yang telah berkembang pada komunitas
pendek seringkali manfaatnya tidak segera petani. Simpul-simpul kritisnya adalah sebagai
dapat dirasakan. berikut: (1) fokus pada ketahanan pangan; (2)
pengarusutamaan (main streaming) adaptasi
Sesuai istilahnya, adaptasi individual terhadap perubahan iklim dalam pem-
merupakan cara-cara adaptasi yang dilakukan bangunan (pertanian); (3) sifatnya adalah
secara perseorangan, sedangkan adaptasi demand driven yang berbasis sumberdaya
masyarakat merupakan cara adaptasi yang

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

85
lokal; (4) aksi adaptasi harus disinergikan menanam padi dua kali setahun, padahal
dengan mitigasi; (5) teknologinya berbasis kemudian ternyata mengalami kekeringan.
pendekatan ekosistem; (6) gerakan sosialnya Kelima, Perbaikan infrastruktur transportasi.
berbasis pada partisipasi dan perlu mem- Pada saat ini cukup banyak jalan perdesaan
perhatikan aspek gender; (7) sistem yang rusak. Hal ini menyebabkan biaya angkut
koordinasinya berbasis kemitraan yang barang menjadi lebih mahal. Implikasinya,
konteksnya bersifat lintas wilayah dan bervisi harga masukan yang diterima petani cukup
jangka panjang. mahal, dan di sisi lain oleh karena struktur
Dari sejumlah kajian empiris (Boer et pasar keluaran bersifat oligopsonistik maka
al., 2009; Sejati, 2011, Sumaryanto et al 2011; harga jual hasil panen yang mereka terima
dan Sumaryanto, 2012), simpul-simpul kritis menjadi lebih rendah. Keenam, Pengetahuan
peningkatan kapasitas adaptasi petani dan keterampilan mengenai cara-cara
produsen pangan khususnya padi di Indonesia adaptasi terhadap perubahan iklim. Kehadiran
terletak pada beberapa aspek berikut. Sekolah Lapang Iklim sangat diperlukan. Bukti
Pertama, Perbaikan infrastruktur irigasi. Dasar empiris di lapang menunjukkan beberapa
pertimbangannya: (i) perbaikan infrastruktur petani yang pernah mengenyam tambahan
irigasi dapat meminimalkan risiko gagal panen pengetahuan dan keterampilan dari Program
akibat kebanjiran dan atau kekeringan, (ii) Sekolah Lapang Iklim mampu dan mau
secara empiris telah terbukti bahwa dengan menerapkan pola tanam yang adaptif terhadap
ketersediaan air irigasi yang lebih baik maka perubahan iklim. Ketujuh, Penguatan Peranan
petani mampu menerapkan pola tanam yang Kelompok Tani dalam mengkoordinasikan
adaptif, (iii) di lapangan cukup banyak bukti penerapan pola usahatani sehamparan. Ini
yang menunjukkan bahwa rendahnya dapat dibuktikan dari pembandingan kinerja
reliabilitas pasokan air irigasi disebabkan oleh usahatani antar kelompok yang menunjukkan
kerusakan infrastruktur irigasi, terutama adanya indikasi bahwa semakin baik peranan
pendangkalan saluran, ketidaktepatan rancang kelompok tani dalam mengkoordinasikan
bangun saluran tertier, kerusakan pintu-pintu perencanaan mengenai komoditas apa yang
air, dan mampatnya saluran pembuang. akan ditanam, seberapa banyak, dan jadwal
Kedua, Perbaikan operasi dan pemeliharaan tanam ternyata kinerja usahataninya lebih
irigasi. Dasar pertimbangannya: (i) kinerja baik.
irigasi tidak hanya ditentukan oleh
ketersediaan dan kualitas infrastruktur irigasi PENUTUP
tetapi juga operasi dan pemeliharaannya, (ii)
kinerja operasi dan pemeliharaan irigasi pada
umumnya masih belum baik. Ketiga, Perubahan iklim telah terjadi. Di
Perbaikan pengaturan pola tanam. Dasar Indonesia, fenomenanya berupa peningkatan
pertimbangannya: (i) di lapangan banyak frekuensi kejadian El Nino dan La Nina serta
ditemukan bahwa terjadinya kekurangan air kecenderungan terjadinya perubahan pola
pada sejumlah hamparan lahan petani adalah spasial, temporal, dan intensitas curah hujan.
akibat penerapan pola tanam yang kurang Perilakunya makin kurang teratur sehingga
terkoordinasi, (ii) dengan pola tanam yang pola tanam optimal menjadi lebih sulit
antisipatif terhadap ketersediaan air maka dilakukan. Secara keseluruhan, risiko usaha-
sejumlah petani mampu mencapai produk- tani menjadi lebih tinggi dan berdampak
tivitas yang cukup tinggi sehingga pendapatan negatif terhadap produksi pangan dan
usahataninya meningkat cukup signifikan. pendapatan petani.
Keempat, Informasi mengenai peramalan iklim Untuk menjawab tantangan tersebut,
yang cukup akurat. Di lapangan banyak kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan
keluhan yang disampaikan oleh petani padi iklim harus ditingkatkan. Dengan cara itu
bahwa kesulitan dalam mengantisipasi curah kerentanan petani terhadap kondisi iklim yang
hujan menyebabkan petani ragu-ragu untuk variabilitasnya makin tajam dan bahkan
menanam lebih awal. Sementara itu, sebagian kadang-kadang ekstrim itu dapat diatasi.
lainnya terlampau over estimate mengenai Peningkatan kapasitas adaptasi petani
kemungkinan masih adanya curah hujan membutuhkan pendekatan multi disiplin lintas
sehingga mereka memaksakan diri untuk

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

86
sektor. Peran pemerintah sangat diperlukan Perubahan Iklim untuk Ketahanan Petani:
terutama dalam pengembangan dan Dampak Kenaikan Air Laut. Laporan Akhir
percepatan adopsi teknologi usahatani yang Konsorsium Penelitian dan Pengem-
lebih produktif dan adaptif terhadap perubahan bangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
iklim, penyediaan infrastruktur pertanian yang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
efektif untuk mendukung aplikasi teknologi Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
tersebut, pengembangan jaringan informasi
Brooks N, Adger WN. 2005. Assessing and
iklim–pertanian, pengembangan kelembagaan
Enhancing Adaptive Capacity, In
perlindungan petani terhadap dampak negatif Adpatation Policy Frameworks for Climate
iklim ekstrim pada usahatani, dan kebijakan Change: Developing Strategies, Policies
harga masukan dan keluaran usahatani yang and Measures, Lim B, Spanger-Siegfried
kondusif untuk pendapatan petani. E, Burton I, Malone E, and Hug S (eds),
Kebijakan dan strategi peningkatan Cambridge University Press, Cambridge.
kapasitas adaptasi petani harus berbasis Brooks, N., W. N. Adger, and P. M. Kelly. 2005.
penguatan sinergi antara adaptasi yang secara The Determinants of Vulnerability and
historis telah dikembangkan mandiri oleh Adaptive Capacity at the National Level
and the Implications for Adaptation. Global
petani dengan adaptasi terencana yang
Environmental Change 15 (2005) 151-163.
diintroduksikan oleh pemerintah. Untuk me- Elsevier Ltd. All rights reserved.
ningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap
perubahan iklim maka aksi adaptasi terhadap Clements, R., J. Haggar, A. Quezada, and J.
Torres. 2011. Technologies for Climate
perubahan iklim harus diposisikan sebagai Change Adaptation - Agriculture Sector. X.
bagian integral program pembangunan per- Zhu (Ed.). UNEP Risø Centre, Roskilde,
tanian, terutama pada subsektor pangan. 2011.
Mengingat bahwa keberhasilan aksi adaptasi
Dolan, A.H., B. Smit, M.W. Skinner, B. Bradshaw,
terletak pada partisipasi semua pihak yang C.R. Bryant. 2001. Adaptation to Climate
berkepentingan maka pengarus utamaan Change in Agriculture: Evaluation of
(mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan Options, Occasional Paper No. 26,
iklim dalam kebijakan subsektor pangan perlu Department of Geography, University of
dilakukan di semua level. Guelph, ISBN 0-88955-520-6, ISSN 0831-
4829.
ECA. 2009. Shaping Climate-Resilient
DAFTAR PUSTAKA Development: A Framework for Decision-
Making, A Report of the Economics of
Climate Adaptati on (ECA) Working
Asian Development Bank (ADB) and International
Group, ClimateWorks Foundation, Global
Food Policy Research Institute (IFPRI).
Environment Facility, European
2009. Building Climate Resilience in the
Commission, McKinsey & Company, The
Agriculture Sector in Asia and the Pacific.
Rockefeller Foundation, Standard
Mandaluyong City, Philippines. ADB, 2009.
Chartered Bank and Swiss Re.
Asian Development Bank (ADB). 2009. The
FAO. 1996. Rome Declaration and World Food
Economics of Climate Change in
Summit Plan of Action. Rome. Available at:
Southeast Asia: A Regional Review, Asian
www.fao.org/docrep/003/X8346E/x8346e0
Development Bank (ADB).
2.htm#P1_10.
Boer, R. 2008. Pengembangan Sistem Prediksi
FAO. 2005. Impact of Climate Change and
Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan
Deseases on Food Security and Poverty
Akhir Konsorsium Penelitian dan
Reduction. Special Event Background
Pengembangan Perubahan Iklim Sektor
Document for the 31st Session of
Pertanian. Balai Besar Penelitian dan
Committee on World Food Security.
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Rome, 23 - 26 May 2005.
Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. FAO. 2007. Adaptation to Climate Change in
Agriculture, Forestry and Fisheries:
Boer, R., I. Las, E. Surmaini, D.D. Dasanto, D.
Perspective, Framework and Priorities,
Erfandi, S.F. Muin, A. Rachman, Y.
Interdepartmental Working Group on
Sarvinta, Sumaryanto, Darsana, Tamara.
Climate Change, Food and Agriculture
2009. Pengembangan Sistem Prediksi

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

87
Organization (FAO) of the United Nations, Naylor, R. L., D.S. Battisti, D. J. Vimont, W. P.
Rome. Falcon, and M.B. Burke. 2007. Assesing
FAO. 2008. Climate Change and Food Security: A the Risk of Climate Variability and Climate
Framework Document. Food and Change for Indonesian Rice Agriculture.
Agriculture Organization of The United Proceeding of the National Academic of
Nations (FAO). Rome. Science 114: 7752 - 7757.

FAO. 2011. FAO-ADAPT: FAO'S Frame Work Ratag, M.A. 2001. Model Iklim Global dan Area
Programme on Climate Change Terbatas Serta Aplikasinya di Indonesia.
Adaptation. Food and Agriculture Paper disampaikan pada Seminar Sehari
Organization of The United Nations (FAO). Peningkatan Kesiapan Indonesia dalam
Rome. Implementasi Kebijakan Perubahan Iklim,
Bogor, 1 November 2001.
Fischer, G., M. Shah, and H.V. Velthuizen. 2002.
Climate Change and Agricultural Rosegrant, M.W., M. Ewing, G. Yohe, I. Burton, S.
Vulnerability. IIASA. Luxemberg, Austria. Huq, and R. Valmonte-Santos. 2008.
Climate Change and Agriculture: Threats
Hansen, J., M. Sato, R. Ruedy, K. Lo, D.W. Lea, and Opportunities. Deutsche Gesellschaft
and M. Medina-Elizade. 2006. Global für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
Temperature Change. PNAS 103: 14288 - GmbH. Germany. M climate@gtz.de.
14203.
Rosenzweig, C. and A. Iglesias. 2010. Potential
Ibrahim, G. 2003. Dinamika dan Pergeseran Musim Impact of Climate Change on World Food
di Indonesia. Seminar Antisipasi Supply: Data Set from a Major Crop
Perubahan Iklim. Perhimpi - Kementan - Modelling Study. Available from
BAKP. http://sedac:ciesin.columbia.edu/cgi-
IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, bin/charlotte
adaptation, and Vulnerability. Cambridge Sejati, W.K., T. Pranadji, B. Irawan, Saptana, S.
University Press, New York. Wahyuni, A. Purwoto, dan C. Muslim.
IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate 2011. Peningkatan Kapabilitas Kelompok
Change 2007: Impacts, Adaptati on and Tani Dalam Adaptasi Terhadap Perubahan
Vulnerability. Contributi on of Working Iklim. Pusat Sosial Ekonomi dan
Group II to the Fourth Assessment Report Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan
of the Intergovernmental Panel on Climate Pengembangan Pertanian, Kementerian
Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Pertanian.
Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Stern, N., S.Peters, V.Bakhshi, A.Bowen,
Hanson (eds), Cambridge University C.Cameron, S.Catovsky, D.Crane,
Press, Cambridge, United Kingdom, 7-22. S.Cruickshank, S.Dietz, N.Edmonson, S.-
Klein, R.J.T. 2009. Measuring Vulnerability to L.Garbett, L.Hamid, G.Hoffman, D.Ingram,
Climate Change: An Academic or Political B.Jones, N.Patmore, H.Radcliffe,
Challenge? Stockholm Environment R.Sathiyarajah, M.Stock, C.Taylor,
Institute, Brussels, Belgium. T.Vernon, H.Wanjie, and D.Zenghelis
(2006), Stern Review: The Economics of
Lasco R.D, C.M.D. Habito, R.J.P. Delfino, F.B.
Climate Change, HM Treasury, London.
Pulhin, and R.N. Concepcion. 2011.
Climate Change Adaptation for Sumaryanto, B. Irawan, H. Sawit, A. Setyanto, J.
Smallholder Farmers in Southeast Asia. Situmorang, dan M. Suryadi. 2011.
World Agroforestry Centre, Philippines. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
65p. Kerawanan Pangan Temporer/Musiman.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Leary, N., J. Adejuwon, V. Barros, I. Burton, J.
Pertanian, Bogor.
Kulkarni, R. Lasco (eds). 2007. Climate
Change and Adaptati on, London: Sumaryanto, Sugiarto, dan M. Suryadi. 2012.
Earthscan, p. 448. Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman
Pangan Terhadap Perubahan Iklim Untuk
Locke, H., and B. Mackey. 2009. The Nature of
Mendukung Keberlanjutan Ketahanan
Climate Change: Reunite International
Pangan. Laporan Kemajuan Penelitian.
Climate Change Mitigation Efforts with
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Biodiversity Conservation and Wilderness
Pertanian, Badan Penelitian dan
Protection. International Journal of
Pengembangan Pertanian.
Wilderness, Vol. 15, Number 2, August: 6-
40. Timmerman, A., J. Oberhuber, M. Esch, M. Latif,
and E. Roeckner. 1999. Increased El Nino

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 30 No. 2, Desember 2012 : 73 - 89

88
in A Climate Model Forced by Future UNCTAD. 2010. Agriculture at the Crossroads:
Greenhouse Warming. Nature 398. Guaranteeing Food Security in a Changing
Trenberth, K. E., J. T. Houughton, and L. G. Meira Global Climate. United Nations
Filho. 1995. The Climate System: an Conference on Trade and Development
Overview. In: Climate Change 1995. The (UNCTAD), Policy Briefs, No. 18 Dec.
Science of Climate Change. Contribution of 2010.
Working Group I to the Second Warren, R., N. Amell, R. Nichols, P. Levy, and J.
Assessment Report of The Price. 2006. Understanding The Regional
Intergovernmental Panel on Climate Impacts of Climate Change. Research
Change (IPCC). Cambridge University Report Prepared for The Stern Review,
Press. Tyndall Center Working Paper 90,
Tubiello, F.N., Amthor, J.A., Boote, K., Donatelli, M., Norwich. Available from
Easterling, W.E., Fisher, G., Gifford, R., www.tyndall.ac.uk/publications/working.pa
Howden, M., Reilly, J. & Rosenzweig, C. per/twp90.pdf.
2007. Crop Response to Elevated CO2
and World Food Supply. European Journal
of Agronomy, 26: 215 - 228.

STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Sumaryanto

89

Anda mungkin juga menyukai