Masalah kerusakan lahan dan degradasi ekosistem memiliki keterkaitan erat dengan
perilaku masyarakat pengguna lahan tersebut. Sebagai salah satu sumber kehidupan, ekosistem
lahan mengalami berbagai tindak eksploitatif teknis-biofisik guna mengejar tuntutan ekonomi
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial keluarga dan masyarakat yang hidup di
ekosistem tersebut. Degradasi lahan dan ekosistem yang terjadi akibat kegiatan survival dan
ekonomi memerlukan sikap dan tindakan yang mengarah pada upaya pengelolaan yang lebih
berkesinambungan. Akan tetapi pada umumnya masyarakat pengguna dan pengeksploitasi
lahan kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan pengelolaan serta upaya konservasi
ekosistem yang memadai. Upaya konservasi dan pengelolaan ekosistem menuntut biaya tinggi
serta tenaga dalam jumlah besar yang tidak mampu dipenuhi oleh individu dan masyarakat
berkemampuan terbatas. Lebih jauh lagi, masa depan dan keberhasilan upaya dan kegiatan
tersebut sulit diramalkan. Akibatnya adalah masyarakat petani tidak atau kurang responsif
terhadap kebijakan terkait konservasi atau pelestarian ekosistem dan sumberdaya, namun
sebaliknya mereka lebih responsif terhadap kebijakan dan upaya terkait peningkatan produksi
pangan. Di sisi lain, berita tentang keberhasilan ekonomi dan lingkungan yang disebabkan
oleh penerapan teknologi pengelolaan ekosistem dan konservasi lebih menjamin ketertarikan
petani untuk mengadopsi teknologi serupa. Perdebatan akademik terkait perubahan ekologis
dan pengelolaan sumber daya dalam dekade terakhir ini bergeser pada topik sejauh mana
dan secepat apa dampak perubahan memberikan pengaruh dan bagaimana masyarakat harus
bersikap dan bertindak.
Konservasi lingkungan saat ini tidak hanya dipandang dari sudut ekosistem saja,
namun juga mencakup tantangan teknis dan administratif dengan aspek politik yang
semakin meningkat. Masyarakat perlu diberi tahu dan dibujuk untuk mengambil manfaat
ekosistem secara benar serta dididik untuk memahami sangsi yang diberikan bila mereka
tidak menaati peraturan terkait pelestarian ekosistem. Guna menerapkan pemikiran ini
diperlukan penguasaan informasi dan keterampilan teknis serta strategi bimbingan yang
tepat. Makalah ini mencoba menggali potensi lokal terkait pemahaman dan pengelolaan
serta tujuan pemanfaatan ekosistem di mana masyarakat mengandalkan hidup dan
mempertaruhkan masa depannya.
komunitas yang beraktivitas dalam sistem tersebut. Dalam kaitannya dengan sistem
sosial dan ekologi, yang oleh Conway (1981) disebut ekosistem, adalah keseimbangan
sistem tersebut yang dicirikan oleh karakteristik sistem yang diukur dengan parameter
produksi. Conway (1981) merinci karakterisasi suatu sistem dalam: (a) produktivitas, yaitu
kemampuan suatu sistem atau ekosistem dalam menghasilkan produksi yang dapat diukur,
(b) stabillitas, yaitu kemampuan sistem tersebut untuk mempertahankan produksi dalam
kisaran tertentu dalam berbagai gangguan eksternal, (c) kemerataan, yaitu kemampuan sistem
mendistribusikan produksinya bagi masyarakat atau stakeholder yang menggantungkan
hidup kepada sistem tersebut, dan (d) keberlanjutan atau sustainabilitas, yaitu kemampuan
sistem untuk tetap bertahan dan berproduksi secara berkelanjutan. Conway (1987)
menyebutkan bahwa elemen sosial merupakan kunci utama dalam mempertahankan
suatu sistem untuk tetap berada dalam kondisi berimbang. Secara implisit pernyataan
ini menunjukkan bahwa ketangguhan sosial atau social resilience masyarakat memegang
peran penting dalam menjaga kelangsungan hidup suatu ekosistem. Di sisi lain, Chambers
(1992) mengembangkan teknik analisis kesisteman yang berkaitan dengan karakterisasi
sistem tersebut. Chambers juga mengemukakan bahwa manusia atau elemen sosial dalam
suatu sistem tidak dapat dipisahkan dari elemen ekologis dalam sistem tersebut.
Walaupun kedua penulis di atas menunjukkan peran ketangguhan sosial masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem yang dikelolanya, namun Conway (1981,
1987) lebih mengutamakan keseimbangan ekosistem sebagai suatu sistem ekologi di mana
elemen-elemen alam, sosial (manusia), teknologi dan ekonomi saling berinteraksi. Dalam
pembahasannya Conway menunjukkan contoh bagaimana suatu komunitas berevolusi
dalam sikap dan tindakan mengelola ekosistem secara berkelanjutan. Di sisi lain Chambers
(1992) membahas peran teknik dan metode yang sesuai dengan tujuan sosial-ekonomi
masyarakat. Namun pada hakekatnya kedua penulis tersebut mengutamakan aspek sosial
dan sosiologis yang dicerminkan oleh kemampuan evolusi sosial dan mengadaptasikan sikap
dan tindakan sosial dalam konteks resilience (kelenturan, keluwesan atau daya lenting).
Sebelum Chambers dan Conway menerapkan teori keseimbangan dan analisis sistem
seperti di atas, Holling (1973) telah mengintegrasikan terminologi resilience ke dalam
konteks ekologis dalam upaya meningkatkan pemahaman dinamika non linier ekosistem
yang diamati. Ketangguhan ekologis didefinisikan oleh Holling (1973) dan dipertajam oleh
Gunderson (2000) sebagai ”kemampuan suatu ekosistem untuk bertahan terhadap berbagai
gangguan eksternal tanpa menunjukkan perubahan berarti”. Dalam pembahasan Conway
(1987) ketangguhan ekologis ini dijabarkan sebagai stabilitas sistem atau “kemampuan suatu
sistem untuk tetap berproduksi secara optimum dalam berbagai gangguan eksternal seperti
perubahan iklim, hama dan penyakit, dll.” Penjabaran ini menunjukkan bahwa ketangguhan
ekologis berkaitan erat dengan perubahan variabel tertentu seperti kandungan hara tanah,
struktur habitat, tinggi permukaan laut, dan berbagai perubahan faktor-faktor iklim dalam
jangka panjang. Sebaliknya, penurunan ketahanan ekologis merupakan resultan intervensi
277
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
manusia yang berupaya meningkatkan daya tahan atau stabilitas proses ekosistem seperti
mitigasi banjir, kekeringan dan kebakaran (Gunderson dan Pritchard 2002). Sebagai
contoh, ledakan pertumbuhan ganggang dan perubahan komposisi tanaman air dalam
sebuah danau merupakan isyarat terjadinya perubahan ekologis sekaligus dipandang pula
sebagai krisis ekologi (Folke, Carpenter, Walker, Scheffer, Elmqvist, Gunderson dan
Holling 2004)
Pembahasan di atas dengan jelas menguak fakta bahwa perilaku manusia lebih sering
meningkatkan kerentanan ekosistem daripada meningkatkan ketangguhannya. Setiap
tindakan dan campur tangan manusia berpotensi menurunkan ketangguhan ekologis
karena tujuan aktivitas manusia umumnya untuk mengontrol atau mengubah keragaman
proses yang terjadi dalam suatu ekosistem (Gunderson 2000). Akan tetapi, ironisnya,
sistem ekologis dan sistem sosial memiliki sifat ketangguhan dalam hal kemampuan
untuk melakukan konsolidasi melalui interaksi antara struktur sistem dengan proses yang
pada akhirnya menghasilkan perubahan atau perkembangan sistem tersebut. Para pakar
kesisteman dan ekologi dalam kurun waktu berbeda secara konsisten mengemukakan
bahwa karakteristik penting ketangguhan sosial dan ekologi adalah ”kemampuan untuk
bertahan, berproduksi, berevolusi dan menyesuaikan diri terhadap gangguan eksternal”.
Terminologi ”konsolidasi” memberikan implikasi bahwa struktur suatu sistem dan proses
perubahannya tidak mudah dipisahkan dan keduanya berinteraksi secara organik untuk
menghasilkan pola-pola organisasi atau pola sistem yang baru. Termasuk dalam struktur
sistem adalah elemen-elemen kesisteman seperti sumber daya, teknologi, manusia dan
kelembagaan serta infrastruktur pendukung yang secara garis besar merupakan bagian
faktor-faktor teknis, sosial dan ekonomi. Secara singkat, terminologi ketangguhan sosial dan
ekologi mencerminkan daya adaptasi sistem sosial dan ekologi. Holling (2001) menyebut
ketangguhan sosial dan ekologi yang mampu mengikuti proses untuk beradaptasi sebagai
suatu siklus adaptasi atau adaptive-cycle. Dengan kata lain suatu sistem sosial-ekologi yang
memiliki ketangguhan tinggi dapat dipastikan memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi
pula.
Di sisi berseberangan dari ketangguhan sosial yang memiliki konotasi optimis
dijumpai istilah kerentanan (vulnerability) yang sering digunakan dalam suatu pernyataan
yang bersifat pesimis. Akan tetapi pada hakekatnya kedua terminologi tersebut hanya
menunjukkan perbedaan dari sudut pandang yang berbeda. Tompkins dan Adger (2004)
mengungkap bahwa ketangguhan dan kerentanan sosial memiliki elemen-elemen sosial
yang kuat karena keduanya merupakan fungsi kapasitas adaptif suatu sistem sosial yang
sangat tergantung pada modal sosial (social capital), kelembagaan, sumber daya dan
distribusinya dalam suatu sistem sosial.
Makna kapasitas adaptasi umumnya dikaitkan dengan tindakan manusia dalam
merespons, mengantisipasi, atau memproyeksikan perubahan ekosistem, guna mengurangi
dampak buruk atau mengambil keuntungan dari perubahan dan peluang yang diakibatkan
278
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
oleh perubahan ekosistem. Namun demikian kemampuan sistem sosial dalam merespons
perubahan ekosistem tidak sama. Sebagian sistem sosial memiliki kemampuan merespons
perubahan iklim dan ekosistem secara berkelanjutan (sustainable responses), sebagian lagi
tidak memilikinya (Tompkins dan Adger, 2004). Ketangguhan tekno-sosial organisasi
subak di Bali yang bertahan lebih dari satu millenium dan diungkap oleh Suradisastra,
Sejati, Supriyatna dan Hidayat (2002) mencerminkan bahwa etnis Bali memiliki
kemampuan merespon berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim dan ekosistem.
Secara teknis, anggota atau kerama subak akan memberi respons atau menyesuaikan diri
terhadap setiap intervensi eksternal secara terus menerus atau berkelanjutan. Reaksi subak
sebagai suatu organisasi petani mengarah pada tidak pemecahan masalah. Sikap responsif
seperti ini mengungkap bagaimana organisasi subak dapat bertahan dan beradaptasi selama
ini. Sebaliknya etnis Sunda cenderung memiliki respon yang tidak berkelanjutan dalam
menghadapi perubahan ekosistem sebagaimana ditunjukkan oleh hilangnya berbagai
kearifan lokal yang pernah membawa etnis-etnis tersebut ke tingkat evolusi sosial sekarang
(Suradisastra, Hastuti, Wiryono, Budhi dan Tarigan, 2009). Salah satu contoh adalah
semakin memudarnya kepatuhan akan larangan-larangan tersamar yang mengarah pada
upaya pelestarian sumberdaya, terutama sumber daya air, yang disebut pamali (Suradisastra
1997).
Ketangguhan sosial memiliki makna paralel dengan ketangguhan ekologi. Ketangguhan
sosial adalah kemampuan suatu kelompok atau sistem sosial (keluarga, komunitas, dan
masyarakat) untuk bertahan terhadap berbagai trauma yang disebabkan oleh perubahan
yang mengganggu. Gangguan sosial dapat dipicu oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial,
ekonomi dan lingkungan. Suatu kelompok sosial yang memiliki ketahanan sosial tidak
hanya menunjukkan keterikatan (kohesifitas) yang kuat dalam kondisi gangguan, namun
juga mampu menyerap gangguan tersebut dan menyesuaikan diri setelah gangguan tersebut
hilang.
Parameter pengukuran ketahanan sosial dan ekologi dibagi dalam 3 (tiga) tahap
(Gunderson dan Pritchard 2002), yaitu: (a) sampai sejauh mana sistem tersebut mampu
bertahan terhadap gangguan eksternal, (b) sampai sejauh mana anggota dan elemen-
elemen sistem tersebut mampu melakukan reorganisasi, dan (c) sampai sejauh mana sistem
tersebut mampu menyerap dan mencerna pelajaran dan pengalaman yang diperoleh dalam
konteks politik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Suatu sistem yang kuat akan mampu
mempertahankan kohesi sosial, melakukan konsolidasi, bertahan dan menyesuaikan diri
dengan/dalam kondisi baru. Sistem demikian menurut Tompkins dan Adger (2004)
diklasifikasikan kedalam kelompok sosial yang memiliki ketangguhan tinggi. Sebaliknya
bila suatu sistem atau organisasi tidak mampu bertahan terhadap gangguan dan intervensi
eksternal, maka sistem atau organisasi tersebut akan runtuh karena ketangguhan sosialnya
rendah.
279
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
280
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
1. memiliki sifat partisipatif dalam arti membuka peluang kontak dan interaksi secara
baik,
2. bersifat polisentris yang menunjukkan bentuk organisasi yang terdiri atas beberapa
pemegang kewenangan,
3. akuntabel bagi masyarakat dan pemegang kewenangan diatasnya,
4. deliberatif dalam arti memberi peluang bagi anggotanya untuk berdebat, melakukan
mediasi dan negosiasi,
5. memiliki susunan pengurus secara berlapis (multi-layered) dalam arti mengandung
keterwakilan yang luas,
6. berkeadilan dalam distribusi keuntungan dan risiko yang tidak diharapkan.
Suatu governan yang memiliki karakteristik lengkap akan mampu melaksanakan hal-
hal berikut dalam mempertahankan dan meningkatkan ketangguhan sosial dan ekologi
suatu sistem:
1. mampu terlibat dan melaksanakan berbagai dinamika perkembangan sistem dalam
berbagai skala,
2. mampu mengantisipasi dan mengatasi ketidak pastian dan kejutan tertentu,
3. cocok dan mampu guna merancang kelembagaan yang sesuai dengan konteks sosial
dan ekologis,
4. mampu mendeteksi dan memberi arah terhadap ambang perubahan yang tidak dapat
dikembalikan,
5. memiliki keterampilan mengintegrasikan berbagai pengetahuan,
6. mampu menjaga keragaman ekologi dan sosial.
Dengan melalui proses partisipatif, governan yang memiliki karakteristik dan
kemampuan di atas akan mampu mempertahankan, meningkatkan dan mengembangkan
ketangguhan sosial dan ekosistem setempat di mana komunitas tersebut berada.
Dalam kaitannya dengan kelembagaan pengelola sumber daya (terutama sumber daya
air) di Indonesia, kelengkapan karakteristik governan dan kapasitas mengelola ketangguhan
sosial dan ekosistem diharapkan mampu mendukung kelangsungan evolusi resiliensi sosial
dan ekosistem secara berkelanjutan. Temuan peran governan organisasi pengelola sumber
daya di Indonesia akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.
Bersumber pada Suradisastra (1997), beberapa lembaga organisasi tradisional yang
memiliki kewenangan atau governan lokal dan kewenangan partisipatif antara lain adalah
Kerapatan Adat Nagari atau KAN (etnis Minang), lembaga dewan adat Otini-tabenak (etnis
Dani, Papua), dan Sambanim-pakasanim (Marind Anim, Papua). Struktur dan proses yang
membentuk governan dilembagakan dalam sejenis kelompok pengurus yang dalam kasus
Papua disebut dewan adat yang setara dengan status governing board dalam pandangan
281
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
282
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
terhadap struktur dan proses yang terjadi dalam sistem governan mereka. Masyarakat
memiliki peluang untuk turut menentukan arah dan tujuan terkait upaya pengelolaan
ketangguhan sosial dalam sistem mereka.
Dalam sistem sosial-ekologi tradisional, masyarakat umumnya tidak atau kurang
memiliki kontrol terhadap keputusan dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh tokoh atau lembaga kepemimpinan. Dengan demikian akan sulit bagi suatu sistem
tradisional sosial dan ekologi untuk menerapkan manajemen yang baik dalam upaya
membangun, mempertahankan dan mengembangkan ketangguhan sosial dan ekologi
shareholder sistem tersebut. Dalam kondisi ini dibutuhkan sifat dan sikap kepemimpinan
untuk menggerakkan masyarakat dalam upaya mempertajam dan mengevolusikan
ketangguhan sosial dan ekologi setempat sesuai dengan ekologi kultural lingkungan
tersebut. Para tokoh pemimpin lokal hendaknya mampu memahami dan menguasai peta
kultural dalam sistem sosial di mana mereka berada. Teknik dan strategi pendekatan para
pemimpin lokal juga sangat beragam dari pendekatan fisik dan keras (seperti kasus jawara
di Banten) sampai kepada pendekatan feodalistik seperti masih terjadi di beberapa lokasi
etnis di Indonesia. Secara ringkas, peran tokoh atau lembaga kepemimpinan adalah sebagai
katalis yang dapat memberikan dampak signifikan dalam suatu proses perubahan.
Ekologi Kultural
Keterikatan sosial dan hubungan sosial (social interplay) dalam suatu ekologi kultural
memiliki pengaruh dalam memilih strategi peningkatan ketangguhan sosial dan ekologi
masyarakat. Sistem sosial yang memiliki keterikatan sosial tinggi pada umumnya membuka
kesempatan besar bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan interaksi sosial. Masyarakat
dalam suatu sistem dengan hubungan sosial yang relatif tinggi lebih mudah berkomunikasi
dan karenanya lebih mudah pula menerima intervensi eksternal yang dapat membantu
meningkatkan taraf hidup dan lingkungan ekosistemnya (Suradisastra, 2005). Sistem
sosial dan ekologi yang dicirikan dengan pola demikian memiliki ketangguhan yang tinggi
dan mampu berevolusi sesuai dengan perubahan struktur dan kebutuhan internalnya.
Tokoh pemimpin dalam suatu sistem harus mampu memahami dan memanfaatkan
tatanan sosial (social setting), atau sering disebut ekologi kultural, sebagai entry point
untuk menyampaikan gagasan eksternal kedalam suatu sistem (Suradisastra, 2005) dan
mencermati reaksi yang terjadi karena intervensi eksternal tersebut. Tokoh kepemimpinan
harus mampu menduga fleksibilitas ketangguhan sosial dan ekosistem yang berada dibawah
kontrolnya. Tokoh pemimpin atau lembaga penggerak komunitas terkait pembangunan
ketangguhan sosial dan ekologi harus memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami penyebab kerusakan sistem sosial-ekologi komunitasnya.
2. Mengidentifikasi elemen-elemen yang hilang dari sistem sosial-ekologi tersebut.
3. Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mampu melakukan konsolidasi dan
memulihkan kerusakan sistem tersebut (upaya recovery).
283
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Partisipasi
Menerapkan konsep partisipasi dalam upaya meningkatkan ketangguhan sosial dan
ekologi merupakan suatu tindakan penting. Partisipasi mampu membangun kepercayaan
(trust) dan pemahaman persepsi (shared understanding) yang pada akhirnya akan
meningkatkan kemampuan mobilisasi komunal (self-mobilization) sebagai bentuk partisipasi
tertinggi. Dalam hal ini peran kepemimpinan adalah menjamin agar rasa saling percaya
dalam komunitasnya tetap terjaga. Begitu pentingnya tokoh atau lembaga kepemimpinan
sehingga Gunderson, Carpenter, Folke, Olsson, dan Peterson (2006) mengemukakan
bahwa lembaga kepemimpinan adalah minyak pelumas bagi terselenggaranya suatu
jejaring kerjasama (network). Peran kunci lain bagi tokoh kepemimpinan adalah berupaya
mengintegrasikan pemahaman sosial dan ekologi secara objektif.
284
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
2. Mengembangkan jaringan kerja sama sistem sosial yang berada dalam lingkup ekologi
kultural yang sama guna meningkatkan ketangguhan dan mengurangi kerentanan
sosial dan ekosistem.
3. Walaupun saat ini dicanangkan bahwa degradasi lingkungan telah bersifat global dan
karenanya tindakan global dibutuhkan, namun dampak dan masalah perubahan iklim,
ekosistem dan lingkungan lebih bersifat lokal. Para perancang manajemen lingkungan
dan ekosistem harus berfikir global, namun bertindak lokal (think globally, act locally).
Dampak perubahan ekosistem yang sangat beragam harus ditangani secara spesifik di
berbagai hierarki ekosistem dan administratif.
4. Upaya menghidupkan, memberdayakan dan merancang kelembagaan baru yang
berorientasi ke arah tindakan kolektif masyarakat. Bentuk dan struktur kelembagaan
harus disesuaikan dengan sifat (nature) kelompok sosial dan kondisi ekosistem serta
keragaman sumber daya lokal.
5. Memulai kegiatan dalam kelompok-kelompok kecil yang memperhatikan kemerataan
pencapaian kelompok dan mampu menggali alternatif substitusi keuntungan
sosial (social benefit) dari kegiatan kolektif yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa kelompok kecil lebih mudah dibentuk dan lebih mudah mencapai
tujuan atau sukses. Pembagian keuntungan dan social benefit dalam kelompok kecil
lebih mudah didistribusikan dan karenanya kelompok kecil lebih mampu menerapkan
aspek kemerataan yang relatif tinggi. Lebih jauh lagi kegagalan tindak kolektif dalam
kelompok kecil lebih mudah diantisipasi karena anggota kelompok lebih mudah
dikelola dan diarahkan. Kelompok kecil juga lebih mampu menggali keuntungan
selektif guna menutup kegagalan kolektif yang mungkin terjadi.
6. Guna meningkatkan sikap partisipatif masyarakat diperlukan pemahaman terhadap
faktor-faktor sosial, budaya dan pengalaman kelembagaan anggota sistem sosial
tertsebut. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena secara umum setiap
kelemahan partisipasi selalu dikaitkan dengan kelemahan informasi dan pemahaman
masyarakat terhadap informasi tersebut.
Salah satu masalah yang berkaitan dengan Sungai Cimanuk dan daerah alirannya
adalah kegiatan penambangan pasir dan batu (bahan galian-C). Di wilayah Garut, terutama
sekitar kaki Gunung Guntur, Kecamatan Tarogong, kegiatan penggalian pasir dan batu
telah berlangsung lama. Eksploitasi ekosistem dan penggundulan vegetasi sepanjang DAS
Cimanuk di bagian hulu dan tengah telah mengakibatkan perubahan ekosistem yang
parah sepanjang DAS tersebut. Harian Pikiran Rakyat tanggal 8 April 2010 melaporkan
peristiwa runtuhnya kirmir pembatas badan sungai dan pemukiman di berbagai lokasi
yang menyebabkan banjir dan kerusakan harta-benda. Peningkatan debit air Cimanuk di
wilayah hulu mempengaruhi debit air di wilayah hilir. Harian Pos Kota (23 April 2010)
mengabarkan kecemasan petani tambak udang dan bandeng di Indramayu.
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung menilai bahwa
meluasnya lahan kritis di kawasan hulu Sungai Cimanuk merupakan penyebab utama
tidak terkontrolnya aliran sungai. Tekanan air dari sungai yang meluap mengikis dan
merusak kirmir dan menyebabkan bencana. Pengakuan Bupati Garut bahwa “lahan kritis
di kawasan hulu Sungai Cimanuk sudah berada dalam keadaan sangat mengkhawatirkan”
(Harian Pikiran Rakyat, 8 April 2010) menunjukkan bahwa dibutuhkan tindakan cepat
dan akurat guna mencegah berlanjutnya kerusakan dan terjadinya bencana alam.
Berita di atas menyajikan contoh klasik kelemahan koordinasi dan persaingan
kelembagaan (institutional competition). Persaingan ini melibatkan BBWS Cimanuk-
Cisanggarung dengan BKSDA dan Dinas Kehutanan serta Pemkab Garut. Kesulitan
dan keterbatasan anggaran terkait pelestarian DAS mempengaruhi sikap dan tanggung
jawab kelembagaan yang terlibat, akan tetapi tidak pernah berkembang suatu upaya lintas
kelembagaan yang secara bersama dan terkoordinir memusatkan tujuan dan sasaran pada
interes dan masalah bersama (shared interest and problem) yang dihadapi ketiga kelembagaan
tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa bukan hanya ketangguhan ekologi DAS Cimanuk
yang telah dan dapat berubah karena kerusakan ekosistem, namun juga ketangguhan sosial
dan kelembagaan turut terpengaruh.
Kerusakan ekosistem DAS Cimanuk terutama disebabkan oleh tindakan manusia yang
berinteraksi dengan kondisi ekosistem DAS Cimanuk. Kegiatan penambangan bahan galian
kelas-C, ekspansi dan ekstensifikasi usaha perkebunan dan pertanian melalui pembukaan
dan konversi lahan hutan menyebabkan penurunan ketangguhan sosial-ekologi DAS yang
diindikasikan antara lain oleh menurunnya tingkat kesuburan lahan, peralihan pola tanam
dan komoditas yanjg diusahakan, peningkatan migrasi dan perubahan lapangan pekerjaan
serta perubahan kelembagaan lokal. Produktivitas dan produksi komoditas tanaman
pangan dan perkebunan semakin tergantung pada pemberian input eksternal, terutama
pupuk anorganik dan pestisida. Sistem sosial dan kelembagaan yang berurusan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan air dan lahan sepanjang DAS Cimanuk lenyap atau semakin
melemah perannya. Salah satu contoh adalah menghilangnya lembaga tradisional petani
pengguna air (mayorat dan ulu-ulu) pada kelompok-kelompok sosial sepanjang DAS
Cimanuk.
286
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Wilayah Hulu
Bagian hulu Sungai Cimanuk yang diamati berjarak sekitar 5-7 km ke mata air Sungai
Cimanuk di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut. Ketinggian lokasi pengamatan
diperkirakan sekitar 1.200 meter, beriklim basah. Lebar sungai di lokasi ini sekitar 1-3
meter dengan kedalaman sekitar 25 cm. Pada musim hujan, lebar sungai dapat mencapai
10 meter dengan kedalaman 6-10 kali lipat dari kondisi pada musim kemarau. Debit air
pada musim kemarau terukur sebesar 88,2 liter/detik. Kualitas air baik dan jernih, namun
pada musim penghujan diperkirakan menurun sebagai dampak pencucian insektisida yang
digunakan di areal pertanian sekitarnya.
Penunjuk arah: Barat daya Timur laut
Garis transek:
288
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
ekologi yang lemah karena lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan sangat
menggantungkan diri pada input eksternal (pupuk, pestisida, benih, tenaga kerja dan
teknologi lain) agar tetap mampu berproduksi secara layak.
Perubahan sistem sosial-ekologi yang terjadi karena introduksi sistem kelembagaan baru
mengisyaratkan bahwa sistem sosial-ekologi DAS Cimanuk tidak memiliki ketangguhan
tinggi. Proses perubahan kelembagaan dan ekosistem yang disebabkan oleh introduksi
faktor-faktor eksternal (misalnya struktur kelembagaan dan teknologi) umumnya tidak
terjadi secara gradual, namun lebih bersifat transformatif. Introduksi faktor eksternal yang
dilakukan secara top-down umumnya mengubah sistem dan struktur sosial-ekosistem
secara total. Hubungan tanaman hutan yang berkembang secara alami dengan tanaman
perkebunan yang dikembangkan oleh manusia dalam teori yang dikembangkan Purves,
Orians dan Heller (2008) disebut interaksi predatori. Interaksi predatori adalah hubungan
interaktif di mana satu pihak berperan sebagai pemangsa (predator) dan pihak lain bersifat
sebagai mangsa (prey). Interaksi predatori di DAS Cimanuk bagian hulu antara lain
ditunjukkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Dalam
kaitan dengan teori ini, manusia (sistem sosial) dan tanaman perkebunan (teknologi)
merupakan predator terhadap tanaman hutan yang diatur alam. Setiap perluasan lahan
perkebunan di DAS Cimanuk Hulu mengakibatkan penurunan luas lahan hutan. Ekosistem
hutan di wilayah DAS Cimanuk Hulu tidak mampu bertahan terhadap intervensi eksternal
yang dikendalikan dengan teknologi serta terjadi dalam kurun waktu relatif singkat.
Wilayah Tengah
Lokasi pengamatan wilayah tengah DAS Cimanuk di Kabupaten Sumedang adalah
Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka. Desa ini memanfaatkan air Sungai
Cipeles (anak sungai Cimanuk) dan mata air dari Gunung Tampomas untuk keperluan
pertanian dan rumah tangga. Air dari mata air di Gunung Tampomas mengalir ke Sungai
Ciburial di desa Liani, bermuara di Sungai Cibeureum yang mengalir ke Sungai Cipeles
dan selanjutnya bermuara di Sungai Cimanuk. Desa ini termasuk desa makmur dengan
kegiatan utama usahatani padi di areal sawah sekitar 60 hektar. Intensitas penanaman padi
mencapai 300 persen dan di sebagian lokasi dikembangkan palawija (terutama cabai) yang
ditanam dalam waktu bersamaan dengan tanaman padi (multiple cropping).
289
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Garis
transek:
290
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
dan pola tanam. Secara fungsional terjadi perkembangan dan peningkatan kegiatan alih
informasi antaranggota Kelompok Tani Mandiri dan dengan kelompok tani lain dari luar
desa. Tokoh-tokoh petani yang telah berhasil dalam mengubah pola tanam dan komoditas
berperan sebagai sumber informasi dan pembimbing bagi rekan-rekan anggota Kelompok
Tani Mandiri dan petani bukan anggota kelompok. Kondisi ini mencerminkan proses
transformasi peran kelembagaan kelompok tani dalam konteks lokal.
Penggalian pasir di sekitar mata air berdampak negatif terhadap muka air tanah di
lokasi penggalian. Muka air tanah (water table) semakin menurun dan menyulitkan upaya
pemanfaatan air guna memenuhi kebutuhan usahatani. Lebih jauh lagi, lahan berpasir
semakin rentan terhadap erosi air dan hujan. Longsor dan pendangkalan menyebabkan
peningkatan lebar sungai karena jumlah air yang mengalir di lokasi tersebut tetap. Arus
yang relatif deras dan kedalaman sungai yang rendah sering menyebabkan perpindahan
aliran. Upaya mengurangi dampak banjir dilakukan dengan menggunakan bronjong
batu di bagian sungai yang sensitif terhadap terpaan air. Penanaman tanaman keras
untuk menahan banjir tidak dilakukan karena memerlukan waktu lama. Akan tetapi
Perum Perhutani berupaya mengembangkan tanaman jati di sekitar sungai Cimanuk
di wilayah Cimalaka. Kegiatan penanaman diupahkan kepada masyarakat setempat dan
masyarakat diberi hak untuk menanam palawija di areal tanam sampai kanopi tanaman
menghalangi penyinaran matahari. Kegiatan penanaman palawija umumnya berlangsung
sampai 2-3 tahun karena dalam umur tersebut, kanopi tanaman jati sudah menaungi lahan
dibawahnya. Petani menghentikan kegiatan tumpangsari ketika kegiatan penanaman sudah
tidak menguntungkan. Biaya pengairan lahan tanaman dengan pompa berkisar sekitar Rp
4.000/bata (14 m2). Untuk setiap hektar lahan usaha diperlukan biaya Rp 2.800.000 setiap
musim. Masyarakat yang berpartisipasi dalam upaya penanaman jati diizinkan membuka
kios dagangan di jalan raya tepi sungai Cimanuk dengan uang sewa Rp. 1.000/hari.
291
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Garis transek:
292
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
usahatani. Di sisi lain, kasus perubahan sistem sosial sepanjang jalan raya Cimalaka
mencerminkan proses transformasi struktur kelembagaan dari struktur eksklusif pertanian
menjadi struktur pertanian dan perdagangan. Kedua perubahan tersebut berkaitan erat
dengan ekosistem lingkungan sistem sosial yang berbeda. Proses transformasi kelembagaan
dalam sistem sosial dan ekologi DAS Cimanuk Hulu mencerminkan ketangguhan sosial-
ekologi yang relatif tinggi. Lembaga organisasi petani tidak sepenuhnya digantikan
atau didominasi oleh kelembagaan baru, namun berangsur-angsur berintegrasi dengan
kelembagaan introduksi atau mengembangkan cakupan kegiatannya menjadi kelompok
petani multisektor (sektor pertanian dan perdagangan).
293
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
Daftar Pustaka
Chambers, R. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion
Paper 311. IDS, Brighton.
Conway, G.R. 1981. Agroecosystems Analysis for Research and Development. Winrock
International. Bangkok, Thailand.
______. 1987. The Properties of Agroecosystems. Agric Systems 24, 95-117.
Folke, C., S.R. Carpenter, B.H. Walker, M. Scheffer, T. Elmqvist, L.H Gunderson and C.S.
Holling. 2004. Regime Shifts, Resilience and Biodiversity in Ecosystem Management.
Annual Review of Ecology and Systematics. 35:557-581.
Gunderson, L.H., S.R. Carpenter, C. Folke, Per Olsson, and G. Peterson. 2006. Water
RATs (Resilience, Adaptability and Transformability) in Lake and Wetland Social
Ecological Systems. Ecology and Society 11(1):16. [online] URL: Ecology and Society.
11(1): 19. URL:http//www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art6/
Gunderson, L.H. 2000. Ecological Resilience – in Theory and Application. Annual Review of
Ecological Systems 2000. 31:425-439. arjournals.annualreviews.org.
Gunderson, L.H. and L. Pritchard (eds.). 2002. Resilience and the Behaviors of Large-scale
Ecosystems. Island Press. Washington D.C., USA.
Harian Pikiran Rakyat. 2010. Kabupaten Garut Kewalahan. 8 April 2010.
Harian Pos Kota. 2010. Debit Sungai Cimanuk Naik, Petani Cemas. 23 April 2010.
Holling, C.S. 1973. Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of
Ecological Systems 1973. 4:1-23. arjournals.annualreviews.org.
______. 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological and Social
Systems. Ecosystems 4:390-405.
294
MEMBANGKITKAN KETANGGUHAN SOSIAL DAN EKOLOGI
295