Anda di halaman 1dari 15

Faktor yang Menghadapi Ketahanan Sistem Sosial Ekologi Waduk Cirata (Studi Kasus

Waduk Cirata Kabupaten Cianjur Jawa Barat Indonesia)

1. Pengantar
Kondisi lingkungan perairan secara umum, termasuk waduk Cirata, merupakan salah
satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum pada tahun 1987.
Waduk Cirata memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik tenaga air untuk wilayah
Jawa – Bali. Fungsi lain dari waduk ini adalah sebagai kawasan wisata dan budidaya.
Kegiatan budidaya ikan yang banyak dikembangkan adalah budidaya ikan sistem
keramba jaring apung [1].
Sifat perairan waduk yang dianggap sebagai milik bersama dan akses yang terbuka
menyebabkan pertumbuhan keramba jaring apung di berbagai tempat berkembang sangat
pesat dan cenderung tidak terkendali dan tidak terkendali [2]. Jika pembatasan keramba
jaring apung 12.000 unit di Cirata didasarkan pada daya dukung perairan, diduga telah
terjadi kelebihan keramba jaring apung di Waduk Cirata [3].
Perubahan biofisik serta dampak sosial ekonomi masyarakat merupakan tantangan
utama di sektor budidaya dan perikanan dalam skenario perubahan iklim [4].
Membutuhkan ketahanan kelembagaan untuk menangani tekanan lingkungan perairan
baik secara teknis maupun non teknis. Ketahanan sistem ekologi sosial seperti
pencemaran lingkungan perairan umum, degradasi biofisik ekosistem, eksploitasi
sumberdaya perikanan yang berlebihan, konversi kawasan lindung, dan konflik
sumberdaya [5]. Pendekatan pengelolaan lingkungan air bertujuan untuk
mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan air guna memaksimalkan
kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat [6].
Kondisi Waduk Cirata harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan konflik
sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat terutama yang terkena dampak pembangunan
Waduk Cirata, semua stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan Waduk Cirata telah
memiliki tujuan yang sama dengan pemanfaatan Waduk Cirata. secara optimal dan
berkelanjutan tanpa mengorbankan salah satu fungsi utama dan fungsi turunan Waduk
Cirata [5].
Beberapa proses yang berkaitan dengan air masyarakat dan publik adalah vegetasi air,
penggunaan lahan, aktivitas sosial, dan ekonomi wilayah. Dalam hal ini terdapat pola
interaksi yang dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang interaksi antara
masyarakat dengan masyarakat perairan. Tata air masyarakat telah mengalami perubahan
komponen ekologis seperti berkembangnya ganggang dan tumbuhan air seperti eceng
gondok di perairan umum, yang merupakan indikasi perubahan kondisi ekologis yang
dianggap krisis ekologis [7]. Krisis ekologis dengan indikator produksi primer, spesies,
daya dukung, ekosistem perairan, produktivitas, pergantian, keseimbangan variabilitas
dan kualitas air telah terjadi perubahan yang menyebabkan penurunan nilai ekologis.
Kemerosotan ekologi menyebabkan parameter ekonomi manfaat penggunaan distribusi
umum untuk budidaya air tawar berubah dengan indikator profitabilitas usaha keramba
jaring apung dan investasi perikanan, pendapatan pembudidaya ikan. Kondisi ekologis
dan ekonomi akan berimplikasi pada kondisi sosial dengan indikator sosial konflik [5-7].
Pengelolaan sumber daya air harus dapat menjangkau tekanan lingkungan (ketahanan)
karena memiliki banyak pemangku kepentingan. Lingkungan perairan telah banyak
mengalami perubahan yang relatif cepat dibandingkan dengan lingkungan darat.
Pemanfaatan sumber daya air dapat menekan lingkungan air masyarakat sehingga
berpotensi mengancam ketahanan umum sistem sosial-ekologis yang terkandung di
dalamnya [8]. Perubahan cepat yang terjadi di dunia yang kita tinggali saat ini telah
menimbulkan berbagai dampak lingkungan terhadap ekosistem termasuk sumber daya
perairan, sehingga perlu segera dilakukan rehabilitasi. Pengelolaan sistem ekologi
sumberdaya perairan yang di dalamnya terdapat sistem sosial yang berperan penting
sebagai faktor pendorong perubahan, salah satu unsur penyusun utamanya adalah
gagasan resiliensi sistem sosial ekologi yang memandang resiliensi sebagai kunci
pembangunan berkelanjutan.
Resiliensi adalah kemampuan sistem sosial-ekologi tertentu untuk dapat menahan
gangguan dengan cara menyerap dan mengarahkannya agar keadaan variabel dalam
sistem tidak berubah [9]. Resiliensi sosial dapat tercermin dalam bagaimana suatu
kelompok masyarakat memperoleh, menguasai, dan memelihara akses terhadap sumber
daya kritis untuk kelangsungan hidup mereka [10].
Ketahanan sistem sosial-ekologi lingkungan di perairan umum (waduk, danau, dan
sungai) seperti pencemaran limbah ke perairan yang naik secara eksponensial yang
mengancam kesehatan manusia, ekosistem, dan keanekaragaman hayati, pertumbuhan
spesies invasif, terjadinya pergantian yang mengakibatkan kematian massal di daerah
waduk dan danau yang berakibat pada kelestarian sumber daya air [11].
Sistem ekologi sosial diartikan sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara sumber
daya alam dan manusia dengan hubungan timbal balik [12]. Sistem sosial-ekologis
merupakan sistem ekosistem yang saling berhubungan antar sistem sosial, dalam arti
menjalin kerjasama dan hubungan timbal balik dengan yang lain. Ketahanan merupakan
kerangka utama dalam berbagai sektor dan konteks, dalam berbagai skala [14]. Perspektif
resiliensi ilmu ekologi pada dekade 60an dan 70an populasi penelitian seperti interaksi
antara predator dan mangsa serta respon fungsional ditinjau dari teori stabilitas ekologi.
Ketahanan dan stabilitas menggambarkan keberadaan beberapa domain stabilitas dalam
sistem alam, serta yang terkait dengan proses ekologis, kejadian acak, dan heterogenitas
berdasarkan skala temporal dan spasial.
Ketahanan adalah kapasitas untuk bertahan dalam suatu domain dalam menghadapi
perubahan dan mengusulkan teori bahwa ketahanan menentukan kegigihan hubungan
dalam suatu sistem dan merupakan ukuran kemampuan sistem untuk menyerap
perubahan keadaan, mengarahkan, dan mempertahankan keadaan variabelnya. [15]. Ada
dua definisi umum tentang resiliensi: (1) aspek teknis seperti inersia atau kelembaman
dan plastisitas; (2) aspek ekosistem, ketahanan pada dasarnya didefinisikan sebagai
kapasitas suatu ekosistem untuk bertahan dari gangguan dan kemudian memulihkan
fungsi dasarnya yang esensial. Ketahanan ekosistem adalah kemampuan ekosistem untuk
mentolerir gangguan tanpa mengubah struktur dan fungsi utamanya [16]. Resiliensi
adalah dinamika sistem ekonomi-lingkungan. Dalam sistem ekonomi konvensional,
lingkungan seringkali tidak diperhitungkan dalam proses produksi dan konsumsi.
Pengesampingan lingkungan sebagai salah satu komponen sistem ekonomi menjadi ironis
karena baik kegiatan produksi maupun kegiatan konsumsi selalu berinteraksi dengan
lingkungan.
Keterkaitan antara sistem manusia dengan sumber daya alam dan sumber daya
buatannya dikenal dengan sistem sosial-ekologis. Ketahanan sosial-ekologis perlu
dipahami dengan lebih baik dalam skala yang lebih luas dan dikelola serta dipelihara
secara aktif. Ketahanan sosial-ekologi mencakup berbagai mekanisme untuk bertahan
hidup dan belajar dari kondisi yang tiba-tiba berubah. Resiliensi sosial-ekologis adalah
kapasitas sistem sosial-ekologis yang saling terkait untuk menyerap gangguan dan
perubahan. Pengembangan ketahanan sistem sosial-ekologi adalah kunci pembangunan
berkelanjutan.
2. Metode
2.1. Deskripsi lokasi penelitian.
Metode penelitian menggunakan studi kasus pada ketahanan keramba jaring apung di
perairan umum di Kabupaten Cirata Cianjur Provinsi Jawa Barat. Studi kasus
dimaksudkan untuk mengkaji secara intensif latar belakang permasalahan, keadaan dan
status ketahanan budidaya sistem keramba jaring apung, serta interaksinya dengan
lingkungan atau ekosistem yang mempengaruhinya.
Lokasi penelitian di Waduk Cirata Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian
dilakukan mulai September 2017 hingga Mei 2018. Data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara
dengan responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam dengan
tokoh masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pencatatan yang dilakukan di
lokasi penelitian dan data statistik yang dikumpulkan oleh instansi daerah seperti Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Cianjur. Selain itu, diperoleh juga data dan informasi dari beberapa penelitian mengenai
laporan penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan
daerah, dan data dari instansi pemerintah lainnya, lembaga swasta dan non pemerintah,
serta perguruan tinggi.
2.2. Analisis data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey. Dalam metode
survei, pengumpulan data dilakukan pada sebagian populasi atau dengan pengambilan
sampel yang dianggap mewakili seluruh populasi dalam penelitian ini [18]. Sesuai
dengan kerangka pendekatan masalah, data yang dikumpulkan meliputi data yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan keramba jaring apung di
Waduk Cirata.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi langsung di lapangan dan
wawancara dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berkaitan
dengan variabel yang diamati. Pengamatan langsung ke lokasi penelitian bertujuan untuk
mendapatkan gambaran tentang wilayah, situasi, dan kondisi lokasi penelitian, serta
untuk memverifikasi data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan kenyataan. Data
sekunder dikumpulkan dengan cara penelitian kepustakaan di lembaga atau instansi, yang
meliputi informasi tentang gambaran umum daerah penelitian dan informasi lain yang
dapat mendukung penelitian ini. Analisis data menggunakan matriks SWOT untuk
kombinasi faktor internal dan eksternal dengan nilai skoring. Analisis SWOT adalah
identifikasi sistematis berbagai faktor untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan
pada logika yang memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman [19].

Pendekatan sistem sosio-ekologis digunakan sebagai kerangka kerja analisis resiliensi,


dimana konsep resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk
mempertahankan atau menyerap konsekuensi yang mengejutkan sambil mempertahankan
fungsi dan bentuk sistem [20]. Pendekatan SES mengambil pandangan nonlinear
pengembangan sistem, dengan siklus adaptif dari empat tahap eksploitasi, konservasi,
pelepasan, dan reorganisasi-melalui mana sistem dapat kembali ke keadaan semula, atau
telah membentuk siklus baru [21].
3. Hasil dan Diskusi
3.1. Kondisi umum lokasi penelitian
Waduk Cirata yang dibangun pada tahun 1982-1987 berada pada ketinggian 221 m
dpl. Luasnya 6.200 hektar (ha) dengan luas daerah tangkapan air 603.200 ha, kedalaman
rata-rata 34,9 m, dan volume 2.300.000 m2 [1]. Daerah genangan tersebut meliputi
Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung. Daerah genangan terluas ada di
Kabupaten Cianjur. Pengembangan budidaya air tawar di Cirata merupakan inisiasi dari
International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran
yang bertujuan untuk menggantikan pemukiman yang terkena dampak proyek waduk
Cirata.
Dalam laporan akhir Kajian dan Pelatihan Lingkungan Cirata dan Saguling tentang
sistem budidaya yang diterapkan pada keramba jaring apung dalam satu unit keramba
jaring apung, terdapat tambak jaring berlapis empat dengan ukuran jaring 7 x 7meter
untuk 3.000 kepala keluarga atau sebanyak-banyaknya. 1.600 unit. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 41 Tahun 2002 tentang
Pengembangan Pemanfaatan Air Umum, Pertanian dan Lahan Waduk di Kawasan Cirata.
yang tujuannya untuk meningkatkan fungsi dan kegunaan waduk secara optimal melalui
pemberian kesempatan kepada masyarakat setempat untuk berusaha dalam bidang
budidaya ikan dan penggunaan lahan pertanian serta pengembangan pariwisata dalam
batas dan persyaratan teknis yang ditetapkan oleh badan pengelola, dengan tidak
akibatnya mengganggu kelestarian dan fungsi utama waduk [6].
Pengelolaan Waduk Cirata tidak terlepas dari kebijakan pemerintah daerah sebagai
lembaga arbitrase berbagai pihak yang berperan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.
Konsistensi pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pemanfaatan Waduk Cirata sebagai
perairan umum yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan budidaya, harus dapat
melakukan pemetaan (pemetakan lokasi) perikanan budidaya sebagai bagian dari
mendukung keberlanjutan perikanan budidaya di Waduk Cirata. Pengelolaan Waduk
Cirata tidak terlepas dari kebijakan pemerintah daerah sebagai lembaga arbitrase berbagai
pihak yang berperan dalam pemanfaatan Waduk Cirata [5]. Pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem merupakan pendekatan yang menggunakan komponen utama
lingkungan perairan. Berbagai perubahan biosfer seringkali didahului oleh campur tangan
manusia sebagai bentuk interaksinya dengan sistem lingkungan. Ekologi manusia
memandang bahwa hubungan sistem ekologi berinteraksi dengan sistem sosial. Aliran
massa, energi, dan informasi yang menghubungkan ekosistem dan sistem sosial
menyebabkan kualitas ekosistem dapat dipengaruhi oleh sistem sosial atau sistem sosial
dipengaruhi oleh kondisi ekologis. Pemanfaatan fungsi waduk tidak terlepas dari nilai
ekonomi keuntungan bagi pemangku kepentingan pemanfaatan Cirata [7].
3.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden adalah struktur umur keramba jaring apung pada rentang 20
sampai 30 tahun sebesar 34,14% berada pada usia produktif, untuk melakukan kegiatan
usaha. Usia produktif dalam hal ini berarti fase dimana seseorang telah mampu
melakukan kegiatan produksi dalam arti ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri maupun orang lain. Tingkat pendidikan formal keramba jaring apung
pembudidaya ikan sebesar 48,78% tamat SD, 36,58% tamat SMP, dan 12,19%. adalah
SMA.
3.3. Kondisi umum lokasi penelitian
Waduk Cirata yang dibangun pada tahun 1982-1987 berada pada ketinggian 221 m dpl.
Luasnya 6.200 hektar (ha) dengan luas daerah tangkapan air 603.200 ha, kedalaman rata-
rata 34,9 m, dan volume 2.300.000 m2 [1]. Daerah genangan tersebut meliputi Kabupaten
Cianjur, Purwakarta, dan Bandung. Daerah genangan terluas ada di Kabupaten Cianjur.
Pengembangan budidaya air tawar di Cirata merupakan inisiasi dari International Center
for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran, yang bertujuan
untuk menggantikan pemukiman yang terkena dampak proyek waduk Cirata.

Pada gambar 1 dapat dilihat lokasi penelitian Waduk Cirata di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Waduk Cirata dengan luas 6.200 Ha, terdiri dari tiga kabupaten yaitu Bandung
Barat, Purwakarta dan Cianjur Kabupaten Cianjur memiliki luas 2.976 Ha. Pemanfaatan
waduk sebagai perairan umum untuk budidaya dengan sistem keramba jaring apung pada
prinsipnya diperbolehkan dengan ketentuan tidak melebihi ambang batas waduk dan
tidak mengganggu fungsi utama waduk sebagai pembangkit listrik tenaga air.
Berdasarkan penelitian ini pembatasan jumlah unit jaring apung di Cirata didasarkan
pada daya dukung perairan, terdapat kelebihan keramba jaring apung di Waduk Cirata,
sehingga perlu penataan melalui sistem pengelolaan yang terkendali baik secara ekologis
maupun secara ekonomis. Strategi internal yang dilakukan oleh pembudidaya ikan dapat
dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 penilaian responden terhadap faktor strategis internal, meliputi kekuatan
dan kelemahan. Faktor modal sosial menyatakan bahwa jaringan hubungan merupakan
sumber daya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber daya ekonomi masyarakat
yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan faktor kekuatan lainnya. Faktor
kelebihan kapasitas keramba jaring apung merupakan nilai yang paling tinggi
dibandingkan dengan faktor kelemahan lainnya.
Berdasarkan penelitian tersebut dalam laporan akhir kajian lingkungan Cirata dan
Saguling dan pelatihan sistem budidaya yang diterapkan pada keramba jaring apung
dalam satu unit keramba jaring apung terdapat empat tambak berlapis dengan ukuran
jaring 7 x 7meter untuk 3.000 kepala keluarga atau sebanyak 1.600 unit. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 41 Tahun 2002 tentang
Pengembangan Pemanfaatan Air Umum, Pertanian dan Lahan Waduk Kabupaten Cirata
bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan manfaat waduk secara optimal melalui
pemberian kesempatan kepada masyarakat setempat untuk berusaha dalam bidang
budidaya ikan dan budidaya ikan. penggunaan lahan pertanian serta pengembangan
pariwisata dalam batas dan persyaratan teknis yang ditetapkan oleh badan pengelola,
dengan tidak mengganggu kelestarian dan fungsi pokok waduk.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan analisis swot, terdapat beberapa
faktor yang menentukan kondisi sistem sosial-ekologi, yang dapat dilihat pada Tabel 2
penilaian faktor strategi eksternal yang meliputi peluang dan ancaman. Faktor
pembukaan lapangan pekerjaan di sektor perikanan memiliki nilai yang paling tinggi
dibandingkan dengan faktor peluang lainnya. Faktor keramba jaring apung over kapasitas
merupakan nilai tertinggi dari faktor ancaman lainnya.

Keterkaitan antara sistem manusia dengan sumber daya alam dan sumber daya buatan
merupakan indikator strategi yang harus dilakukan untuk pengelolaan sumber daya air di
waduk Cirata, kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Faktor internal yang memiliki
nilai maksimal adalah modal sosial yang menyatakan bahwa jaringan relasi merupakan
sumber daya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber daya ekonomi
masyarakat. Faktor eksternal memiliki nilai yang maksimal dalam membuka lapangan
pekerjaan di sektor perikanan.
Berdasarkan Tabel 3 Pembobotan hasil kuesioner SWOT, dapat diketahui nilai Peluang
(O) 0,57, Ancaman (T) 0,43, Kekuatan (S) 0,65, dan Kelemahan (W) 0,35.

Berdasarkan penelitian ini pada kuadran 1 memiliki peluang dan kekuatan yang dapat
dimanfaatkan. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif. Kuadran yang saya masuki adalah Strength
Opportunity Strategy (SO). Strategi ini memanfaatkan kekuatan pembudidaya ikan untuk
memanfaatkan peluang sebanyak-banyaknya. Kekuatan yang dimiliki adalah modal
sosial menyatakan bahwa jaringan hubungan merupakan sumber daya perikanan yang
dapat dimanfaatkan untuk sumber ekonomi masyarakat, dapat dimanfaatkan untuk
budidaya sistem keramba jaring apung, namun harus dilakukan kapasitas keramba jaring
apung di Waduk Cirata, dan peningkatan potensi wisata perairan dan perikanan di Waduk
Cirata.
3.4. Faktor yang Menghadapi Ketahanan Sistem Sosial-Ekologi Waduk Cirata
Berdasarkan penelitian ini pengelolaan perikanan berbasis ekosistem merupakan
pendekatan yang menggunakan komponen utama lingkungan perairan. Berbagai
perubahan biosfer seringkali didahului oleh campur tangan manusia sebagai bentuk
interaksinya dengan sistem lingkungan. Pandangan ekologi manusia melihat bahwa
hubungan sistem ekologi berinteraksi dengan sistem sosial. Aliran massa, energi, dan
informasi yang menghubungkan ekosistem dan sistem sosial menyebabkan kualitas
ekosistem dapat dipengaruhi oleh sistem sosial atau sistem sosial dipengaruhi oleh
kondisi ekologis.
Pemanfaatan fungsi waduk tidak terlepas dari nilai ekonomi keuntungan bagi
pemangku kepentingan memanfaatkan Cirata. Pada tabel 4 dapat dilihat sistem sosial
ekologi yang meliputi; (1) sumber daya air lingkungan yang meliputi kualitas air secara
fisika, kimia, dan biologi statusnya sangat rentan, fungsi air publik statusnya rentan dan
status kondisi perubahan iklim sangat rentan; (2) kerentanan ekologis meliputi
pergantian, daya dukung keramba jaring apung, produktivitas keramba jaring apung,
status ekosistem perairan sangat rentan dan ikan endemik status Spesies rentan; (3)
kerentanan ekonomi termasuk profitabilitas perikanan, karakteristik, dan penanganan
status pendaratan ikan sangat rentan dan pekerjaan sektor perikanan, pendapatan lain dari
sektor lain, prospek pasar status perikanan rentan; (4) kerentanan sosial termasuk
pendatang baru dalam perikanan, status modal sosial sangat rentan dan kepemilikan
keramba jaring apung, tingkat pendidikan, dan status pengetahuan lingkungan rentan.
Kapasitas adaptasi dalam sistem masyarakat ekologi terkait dengan keragaman genetik
di perairan umum waduk Cirata, terutama untuk perikanan tangkap, di mana ia tunduk
pada tekanan endemik spesifik lokal karena perubahan kualitas air dan tekanan
lingkungan lainnya.
Tata air waduk mengalami perubahan kondisi pada komponen ekologi seperti
berkembangnya alga di waduk dan beberapa perubahan komunitas vegetasi lahan basah
merupakan indikasi perubahan kondisi ekologi yang mengarah pada krisis ekologi. Dari
hasil identifikasi dalam sistem sosial ekologi, terdapat beberapa titik kritis yang
menentukan tingkat resiliensi:
1. Konflik sosial pemanfaatan sumber daya air didasarkan pada fungsi pokok dan fungsi
turunan yang memiliki nilai ekonomi namun mengabaikan nilai ekologi sehingga
percepatan tata kelola dan pengaturan sumber daya air di Waduk Cirata dapat
berkelanjutan.
2. Sistem keramba jaring apung perikanan budidaya telah terjadi mendung yang
menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas sumber daya air dan perikanan,
sehingga harus dilakukan penataan zonasi untuk sistem keramba jaring apung
perikanan budidaya.
3. Kondisi ekosistem dan lingkungan rentan terhadap kerusakan, pencemaran, dan
penurunan kualitas lingkungan perairan di Waduk Cirata, sehingga perlu dilakukan
pengelolaan lingkungan.
4. Terjadinya perubahan iklim sering mengakibatkan terjadinya turn over yang
mengakibatkan kematian massal ikan pada budidaya dengan sistem keramba jaring
apung.
5. Hubungan Patron-Klien yang kuat terjalin antara semua pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pemanfaatan sumber daya air yang memiliki nilai ekonomi.
6. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasar terhadap sumber daya perikanan.
Hal ini dikarenakan karakteristik komoditas perikanan yang mudah rusak, volume
yang dihasilkan harus dijual dalam keadaan segar dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari agar tidak terjadi pembusukan ikan sebelum dijual. Perubahan harga
sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi sosial petani ikan. Kondisi ini turut
membentuk pola hubungan patron-klien antara petani dan pedagang.
7. Biaya dan ketersediaan input untuk faktor produksi budidaya sistem keramba jaring
apung, seperti mahalnya harga faktor produksi pakan, pembangunan keramba jaring
apung, dan ketersediaan tenaga kerja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan umum waduk Cirata tindakan
skala lokal dan regional dalam rangka peningkatan ketahanan sistem sosial-ekologis di
waduk Cirata. yaitu: (1) mengembalikan fungsi dan peran ekosistem melalui pemanfaatan
sumber daya air secara berkelanjutan; (2) proses penerapan tindakan melalui proses
pengambilan keputusan untuk menanggapi pengaruh lingkungan perairan dan hubungan
sosial ekonomi; (3) keanekaragaman hayati sumberdaya perairan dalam konteks sistem
ekologi; modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi Dalam
sistem sosial, (4) keberadaan lembaga dan jaringan pembelajaran yang memiliki
pengetahuan, pengalaman dalam pemecahan masalah, dan keseimbangan kekuatan antar
kelompok kepentingan memiliki peran penting dalam kapasitas adaptasi.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian faktor yang dihadapi ketahanan sistem sosial ekologi
Waduk Cirata (Studi Kasus Waduk Cirata Kabupaten Cianjur Jawa Barat Indonesia)
menunjukkan kondisi tersebut mengalami penurunan dari aspek ekologi yang tidak
mendukung kegiatan keramba jaring apung karena daya tampungnya melebihi kapasitas.
daya dukung keramba jaring apung. Aspek sosial konflik antara pembudidaya keramba
jaring apung dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan waduk cirata. Dari aspek
ekonomi menurunnya pendapatan pembudidaya ikan akibat hasil produksi yang terus
menurun, akibat kondisi ekologis yang kurang menguntungkan dan konflik kepentingan
dari aspek sosial. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan adanya kerjasama antar
pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam pemanfaatan
sumber daya air publik tanpa mengorbankan nilai ekologi sosial dan ekonomi masyarakat
setempat.
5. Terima kasih
Kami berterima kasih atas kerjasama yang erat antara Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Padjajaran, dan Balai Konservasi Perikanan Perairan Umum di
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia untuk penyediaan fasilitas dan
dukungan. Penelitian ini dibiayai oleh dana internal Unpad.
6. Referensi
1. BPWC. Report on Water Quality Monitoring Result of Cirata Reservoir III Quarter. Research
Center for Natural Resources and Environment Institute for Research and Community Service
Padjadjaran University Bandung, 2012.
2. Nurhayati A et al. Resource Managemnet Analysis of Aquaculture Sustainability (The Case
Studies Floating Net Cages Reservoir at Cirata). Proceeding International Seminar
Sustainability Science. Unpad, West Java Indonesia, 2015.
3. Irzal Effendie et al. Water quality fluctuations under floating net cages for fish culture in Lake
Cirata and its impact on fish survival. Fisheries Science. 2005; 71:972-977.
4. Yazdi SK, Shakouri. The effect of climate change on aquaculture. International journal of
environmental science and development. 2010, 378-382.
5. Nurhayati A et al. Analysis Adaptation Strategies Fish Farmers Floating Net Cages in The
Cirata Reservoir. International Journal of Current Research. 2014; 6(12):10913-10917.
6. Nurhayati A. Observe the Economic Value of floating net cage management. Aquaculture
Info. 2017, 35 / year III / December 2017.
7. Nurhayati A et al. A Blue Economy Lesson from Cirata, Indonesia. Applied Ecology
and Environmental Sciences, 2018; 6(2):57-62.
8. Gowing JW, Tuong TP, Hoanh CT. Land and water management in coastal zones:
dealing with agriculture–aquaculture–fishery conflicts. CAB International.
Environment and Livelihoods in Tropical Coastal Zones, 2006.
9. Holling CS. Understanding the complexity of economic, ecological, and social
systems. Ecosystems. 2001. (4):390-405.
10. Langridge R. Changing legal regimes and the allocation of water between two
northern California rivers. Nat Resources J. 2002; 42(2):283-330.
11. Gunderson LH. Resilience in Theory and Practice. Ann Rev Ecol System. 2000;
31:425-439.
12. Dharmawan AH. Rural Socio-Ecology Dynamics: Perspectives and linkages of
human ecology, environmental sociology and Political Ecology. Sodaliti. Trans J
Socio Comm Human Eco. 2007; 1:140.
13. Anderies JM, Janssen MA, Ostrom E. A Framework to Analyze The Robustness of
Social-Ecological Systems from An Institutional Perspective. Ecology and Society.
2004; 9(1):18 [online] URL http:// www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/ art18/
14. Ostrom E. General framework for analyzing sustainability of social-ecological
systems. Science. 2009; 325:419–422. http://dx.doi. org/10.1126/science.1172133
Ostrom, E. 2009. General framework for analyzing sustainability
15. Holling. of economic, ecological, and social systems. Ecosystems Understanding the
complexity 2000; 4(5):390-405.
16. Walker BH, Salt DA. Resilience Thinking: Sustaining Ecosystems and People in A
Changing World. IslandPress, Washington, D.C.,USA, 2006.
17. Perrings C. Resilience and sustainable development. Cambridge University Press.
Environment and Development Economics. 2006; 11:417-427.
18. Singarimbun M, Effendi E. Survey Research Methods. LP3ES. Jakarta, 1989.
19. Nisak Z. SWOT Analysis to Determine Competitive Strategies, 2004, 1-8.
20. Chapin FS, Peterson G, Berkes F, Callaghan TV, Anglestam P, Apps M et al.
Resilience and Vulnerability of Northern Regions to Social and Environmental
Change. Ambio. 2004; 33:344-349.
21. Gunderson LH, Holling CS. Editors. Panarchy : Underst anding Transformations In
Human and Natural Systems. Island Press, Washington DC. USA, 2002.

Anda mungkin juga menyukai