Anda di halaman 1dari 62

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Demam sejak 4 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

OS mengeluh demam sejak 4 hari SMRS. Demam dirasakan mendadak dan tinggi.
Demam dirasakan terus menerus. Demam timbul baik siang maupun malam hari.
Keluhan mimisan, BAB darah, ataupun gusi berdarah disangkal.

Selain itu OS merasa nyeri perut sejak 2 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan
terutama di daerah ulu hati. Keluhan mual dan muntah disangkal. Sebelum perut terasa
sakit OS hanya makan makanan di rumah seperti biasa.

OS juga mengaku perut mulai membesar sejak 3 minggu SMRS. Semakin hari dirasakan
semakin membesar sehingga OS merasa begah dan cepat kenyang saat makan. Sejak perut
mulai membesar OS juga merasa lebih cepat lelah dan sesak. Sebelumnya OS juga
mengaku kedua kaki juga membengkak dan jika ditekan kulit tampak cekung dan lama
untuk kembali lagi. Tetapi saat ini kaki OS sudah tidak bengkak sehabis meminum obat

1
dari dokter penyakit dalam. Sebelumnya perut OS pernah membesar seperti ini 1 tahun
yang lalu dan dirawat dengan sirosis ec. hepatitis C.

OS bekerja sebagai satpam, bekerja sebagian besar di waktu sore hingga pagi hari. OS
mengaku sering mengkonsumsi alkohol sejak usia 15 tahun. OS mengkonsumsi alkohol
lebih dari 5 botol dalam sehari. OS berhenti minum minuman keras sejak dinyatakan sakit
1 tahun yang lalu. Riwayat menggunakan narkoba dengan jarum suntik, berganti pasangan,
maupun transfusi darah disangkal. Di keluarga OS juga tidak ada yang menderita penyakit
seperti ini.

Saat ini BAK dirasakan normal seperti biasa, 4-5x/hari. Urine berwarna coklat tua seperti
teh. Keluhan nyeri pada saat BAK disangkal. Urin juga dirasakan tidak berpasir, tidak
berdarah, dan tidak keruh. BAB juga dirasakan normal seperti biasa, 1x/hari berwarna agak
pucat. Riwayat BAB berwarna hitam disangkal.

Sebelumnya OS sering kontrol ke dokter penyakit dalam dan diberikan obat sehingga
bengkak pada kaki berkurang. Tetapi dirasakan demam tinggi sehingga dibawa ke RS.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat Asma, TB Paru,DM, Hipertensi, dan Penyakit Jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:

Di keluarga OS tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Riwayat penyakit
Asma,, Penyakit Jantung, DM, Hipertensi dan TB Paru di keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan:

OS sedang tidak mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama

Riwayat Alergi:

Alergi debu, makanan dan obat disangkal

Riwayat Psikososial :

Kebiasaan minum kopi dan konsumsi narkoba disangkal

2
III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : composmentis

Tanda vital:

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 102x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 38,5 oC

Antropometri

BB : 88 kg

TB : 170 cm

IMT : 19,44 (Gizi lebih)

Status generalis:

Kepala : Normocephal,

Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor

Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (+/+)

3
Hidung : Mukosa edema (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka inferior eutrofi

Telinga : CAE edema (-/-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), MT intak/intak

Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-), JVP 5-2 cm

Thorax :

Pulmo :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Vokal fremitus mengeras di paru kiri

Perkusi : Paru kiri bagian tengah redup

Paru kanan sonor

Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),Wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra

Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:

Inspeksi: perut supel

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba adanya benjolan, hepar dan lien tidak
teraba

Perkusi : timpani

4
Ascites : Shifting dullnes (+)

Auskultasi : Bising usus 6x/m

Ekstremitas :

Ekstr. Atas : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-), sianosis (-)

Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-), sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. USG

Hepar: Mengecil, tepi tumpul, permukaan irreguler

Struktur echoparenchym; kasar; heterogen

Tidak tampak lesi fokal

KE : Dinding; double layer; batu (-)

Tampak ascites

Lien membesar, SOL (-)

Buli-buli normal

Kesan: Sirosis Hepatis dengan ascites dan splenomegali

2. Laboratorium

Anti HCV (+)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Hemoglobin 12,8 13,8-17,0 g/dl
Leukosit 9,500 4,5-10,8 103 /uL

5
Hitung Jenis
Basofil %
0% 0-0,3
Eosinofil %
0% 2-4
Netrofil batang %
2% 1-5
Netrofil segmen %
65% 51-67
Limfosit %
30% 20-30
Monosit %
3% 2-6
LED 62 0-20 mm/jam
Trombosit 96 185-402 103 /uL
Hematokrit 37,6 % 42,0-50 %
GDS 104 mg/dl < 120 103 /uL
Enzym
SGOT 78 0-37 U/L
SGPT 47 0-40 U/L
Faal Ginjal
Ur 28 20-40 mg/dl
CR 1,0 0,6-1,2 mg/dl
Elektrolit
Natrium 133 134-146 mEq/L
Kalium 3,7 3,4-4,5 mEq/L
Chlorida 96 96-108 mEq/L
Faal Hati
Bil Direct 0,9 mg/dl mg/dl
< 0,3
Bil. Total 4,7 g/dl g/dl
6,0-7,8
Bil. Indirect 0,6 mg/dl mg/dl
< 0,7
Albumin 2,9 g/dl g/dl
3,2-4,5
Globulin 1,8

Resume

6
Laki-laki 40 tahun dengan febris sejak 2 hari SMRS. Febris mendadak dan terus menerus. OS
juga nyeri perut terutama daerah epigastrium sejak 2 hari SMRS. OS juga mengaku perut
membesar sejak 3 minggu SMRS. Semakin hari dirasakan semakin membesar sehingga OS
merasa begah dan cepat kenyang saat makan dan merasa lebih cepat lelah dan sesak.1 tahun yang
lalu OS pernah mengalami keluhan serupa dan dirawat dengan sirosis ec. hepatitis C. OS
mengkonsumsi alkohol ± 35 tahun dan dikonsumsi lebih dari 5 botol dalam sehari. Urin
berwarna coklat tua seperti the dan feses berwarna agak pucat.

Pemfis:

Suhu: 38,5 ˚C
Sklera: ikterik +/+
Palmar eritema +/+

Abdomen
Inspeksi: Inspeksi: perut tampak cembung
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi : timpani
Ascites: Shifting dullnes (+)
Auskultasi : Bising usus 10x/m

Pemeriksaan penunjang:
• USG Sirosis Hepatis dengan ascites dan splenomegali
• Laboratorium Anti HCV (+)
– Hemoglobin = 12,8 g/dl
– LED= 62 mm/jam
– Trombosit= 96 ribu/mm3
– Hematokrit= 37,6 %
– SGOT= 78 U/L
– SGPT= 47 U/L
– Natrium= 133 mEq/l
– Billirubin direct= 0,9 mg/dl

7
– Billirubin total= 4,7 g/dl
– Albumin= 2,9 g/dl
– Globulin= 1,8

Daftar masalah:

1. Susp. SBP

2. Asites masif pada sirosis hepatis ec. Hepatitis C

Assesment

1. Susp. SBP

OS mengeluh demam sejak 4 hari SMRS. Demam dirasakan mendadak dan tinggi.
Demam dirasakan terus menerus. Demam timbul baik siang maupun malam hari. Selain
itu OS merasa nyeri perut sejak 4 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan
terutama di daerah ulu hati. OS riw. Sirosis hepatis ec. Hepatitis C

PF: Suhu= 38,5 oC

Abdomen:

Inspeksi: Inspeksi: perut tampak cembung

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi : timpani

Ascites: Shifting dullnes (+)

Auskultasi : Bising usus 10x/m

Lab: Leukosit= 9,500 sel/mm3

8
LED= 62 mm/jam

DD:
1. Dengue Fever

2. Dengue Haemmorhagic Fever

Planing:

1. Diagnostik: Laboratorium (Darah Lengkap, Elektrolit)

Rontgen thorax

2. Medikamentosa: IVFD asering/ 12 jam


Paracetamol 500 mg 3x1
Cefotaxim 3x1 gr
Ciprofloxacin inj. 2x400 mg

2. Asites masif pada sirosis hepatis ec. Hepatitis C

OS juga mengaku perut mulai membesar sejak 3 minggu SMRS. Semakin hari dirasakan
semakin membesar sehingga OS merasa begah dan cepat kenyang saat makan. Sejak perut
mulai membesar OS juga merasa lebih cepat lelah dan sesak. Sebelumnya OS juga mengaku
kedua kaki juga membengkak dan jika ditekan kulit tampak cekung dan lama untuk kembali
lagi. Tetapi saat ini kaki OS sudah tidak bengkak sehabis meminum obat dari dokter penyakit
dalam. Sebelumnya perut OS pernah bengkak seperti ini 1 tahun yang lalu dan dirawat
dengan sirosis ec. hepatitis C

PF:

Sklera: ikterik +/+

Palmar eritema +/+

9
Abdomen :

Inspeksi: Inspeksi: perut tampak cembung

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi : timpani

Ascites: Shifting dullnes (+)

Auskultasi : Bising usus 10x/m

Planing:
1. Diagnostik: Laboratorium: Darah Lengkap, Elektrolit
USG Abdomen
2. Medikamentosa: Spironolakton 1x100 mg
Propanolol 1x10 mg
Lasix 1x2 amp
3. Non-Medikamentosa: Diet lunak hepatitis 1900 kkal

Follow Up

Pemeriksaan
S O A P
penunjang
26/1 /2013
Demam (+), sesak Suhu : 38,5˚ C
Febris susp. IVFD Asering/ 12 jam
(+), batuk (-), nyeri Nadi : 86 x/m SBP O2 2-3 l/m GDS= 188 mg/dl
Asites masif Diet lunak hepatitis 1
perut (+) RR : 18 x/m
pada sirosis 1900 kkal
TD: 130/80 hepatis ec. Cefotaxim 3x 1 gr
Hepatitis B Ciprofloxacin inj.
Nyeri tekan
2x400 mg
epigastrium (+) Lasix 1x2 amp
Sumagesic 4x600 mg
Aldactone 1x100 mg
Propanolol 1x10 mg
SS/6 jam

10
Rdx. Darah lengkap
Elektrolit
Ro. Thorax PA
27/1 /2013
Febris susp. IVFD Asering/ 12 jam
Demam (-), sesak Suhu : 36˚ C SS:
SBP O2 2-3 l/m
(-), batuk (-), nyeri Nadi : 86 x/m perbaikan Diet lunak hepatitis 1 18.00 216 mg/dl
Asites masif 1900 kkal
perut (-), Perut RR : 18 x/m 24.00 178 mg/dl
pada sirosis Cefotaxim 3x 1 gr
terasa begah, BAB TD: 130/70 hepatis ec. Ciprofloxacin inj. 06.00 115 mg/dl
Hepatitis B 2x400 mg
cair berwarna mmHg 12.00 128 mg/dl
Lasix 1x2 amp
hitam Nyeri tekan Sumagesic 4x600 mg 18.00 130 mg/dl
Aldactone 1x100 mg
epigastrium (+) H2TL=
Propanolol 1x10 mg
SS ganti CH 12,0/6400/63.000/
36,4
28/1 /2013
Febris susp. IVFD Asering/ 12 jam
Cepat lelah saat Suhu : 36˚ C CH:
SBP O2 2-3 l/m
berjalan, demam Nadi : 89 x/m perbaikan Diet lunak hepatitis 1 24.00 140 mg/dl
Asites masif 1900 kkal
(-), BAB (-), badan RR : 18 x/m 06.00 105mg/dl
pada sirosis Cefotaxim 3x 1 gr
terasa pegal-pegal TD: 130/90 hepatis ec. Ciprofloxacin inj. 12.00 1135mg/dl
Hepatitis B 2x400 mg
mmHg 18.00 195mg/dl
Lasix 1x2 amp
Sumagesic 4x600 mg Hb= 12,2 g/dl
Aldactone 1x100 mg
Leukosit= 6900
Propanolol 1x10 mg
Rdx. DPL/ 24 jam sel/mm3
Tampung urine/24 jam
Hematokrit= 37%
→ min. 200cc
Timbang BB/ 24 jam Trombosit=
Lingkar perut/ 24 jam
74.000/ mm3
29/1 /2013
Febris susp. IVFD stop
Perut terasa begah, Suhu : 36,4˚ C H2TL
SBP Diet lunak hepatitis 1
BAB cair berwarna Nadi : 68 x/m perbaikan 1900 kkal 12,2/6900/37/74.0
Asites masif Cefotaxim 3x 1
hitam 2x, demam RR : 16 x/m 00
pada sirosis Ciprofloxacin 2x500
(-), pegal-pegal TD: 120/90 hepatis ec. mg H2TL
Hepatitis B Lasix 1x2 amp
mmHg 12,0/6400/36,4/63.
Sumagesic 4x600 mg
BB= 88,5 kg Aldactone 1x100 mg 000

11
LP= 112 cm Propanolol 1x10 mg CH:
Vit. K tab 3x1
06.00 134 mg/dl
Lactulac syr. 3x15 cc
Rdx. DPL/ 24 jam 11.00 134 mg/dl
Analisa Feses
16.00 108 mg/dl
Endoscopy
USG
Dengue Blood
30/1 /2013
BAB cair berwarna Suhu : 36,6˚ C
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
hitam 2x, demam Nadi : 92 x/m SBP 1900 kkal USG:
perbaikan Cefotaxim 3x1 gr
(-), Perut terasa RR : 18 x/m Sirosis hepatis
Asites masif Ciprofloxacin inj.
lebih begah, kaki TD: 120/70 pada sirosis 2x400 mg Ascites
hepatis ec. Lasix 2x2 amp
bengkak mmHg Hb= 12,3 g/dl
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
BB= 89 kg Aldactone 2x100 mg Leukosit= 7000
Propanolol 1x10 mg
LP= 115 cm sel/mm3
KSR 3x1
Ekstremitas Lactulac syr. 3x15 cc Hematokrit=
CH stop
bawah= 37,5%
Rdx. USG
edema/edema Trombosit=
86.000/ mm3
31/1 /2013
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
BAB (-), demam Suhu : 36,42 C
SBP 1900 kkal
(-), Perut begah Nadi : 86 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1
Asites masif Ciprofloxacin 2x500
terasa berkurang, RR : 18 x/m
pada sirosis mg
bengkak pada kaki TD: 100/70 hepatis ec. Lasix 3x2 amp
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
berkurang mmHg
Aldactone 3x100 mg
BB= 88 kg Propanolol 1x10 mg
Vit. K tab 3x1
LP= 111 cm
Lactulac syr. 3x15 cc
Dulcolax supp. 1x1
Transfusi Trombosit 5
kantong
Rdx. DPL post
transfusi
Albumin, globulin
Elektrolit
Dengue Blood

12
01/102/2013
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
BAK sering, Perut Suhu : 36,4˚ C EGD:
SBP 1900 kkal
terasa lebih enak Nadi : 88 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1 gr 1. Varises esofagus
Asites masif Ciprofloxacin inj. gr. II
RR : 18 x/m
pada sirosis 2x400 mg 2. Gastropati portal
TD: 100/60 hepatis ec. Lasix 3x2 amp hipertensi sedang
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
mmHg Natrium= 141
Aldactone 2x100 mg
BB= 89 kg Propanolol 1x10 mg mEq/l
KSR 3x1 Kalium= 4,2
LP= 110 cm mEq/l
Lactulac syr. 3x15 cc
Transfusi Trombosit 5 Chlorida= 106
kantong mEq/l
Transfusi albumin 1x1 Albumin= 1,6 g/dl
(100 cc) 2x Globulin 4,5
Rdx. EGD
02/02/2013
demam (-), Perut Suhu : 36,42 C
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
begah terasa lebih Nadi : 86 x/m SBP 1900 kkal Hb= 12,2 g/dl
perbaikan Cefotaxim 3x 1
enak RR : 18 x/m Leukosit= 7100
Asites masif Ciprofloxacin 2x500
TD: 110/70 pada sirosis mg sel/mm3
hepatis ec. Lasix 3x2 amp
mmHg Hematokrit=
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
BB= 84 kg Aldactone 3x100 mg 36,9%
Propanolol 1x10 mg
LP= 109 cm Trombosit=
Vit. K tab 3x1
Lactulac syr. 3x15 cc 97.000/ mm3
Dulcolax supp. 1x1
Transfusi albumin 1x1
(100 cc) 2x
Rdx. EGD + ligasi
03/102/2013
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
Demam (-), nyeri Suhu : 36,4˚ C
SBP 1900 kkal
perut (-), bab cair Nadi : 86 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1 gr
Asites masif Ciprofloxacin inj.
(-) RR : 18 x/m
pada sirosis 2x400 mg
TD: 110/70 hepatis ec. Lasix 3x2 amp
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
mmHg
Aldactone 2x100 mg
BB= 81 kg Propanolol 1x10 mg
KSR 3x1
LP= 107 cm
Lactulac syr. 3x15 cc

13
Pro Ligasi
04/02/2013
Febris susp. Diet tinggi putih telur
Demam (-), nyeri Suhu : 36 ˚ C Hb= 12,2 g/dl
SBP + ikan gabus
perut (-), bab cair Nadi : 84 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1 Leukosit= 7100
Asites masif Ciprofloxacin 2x500
(-), pilek (+) RR : 18 x/m sel/mm3
pada sirosis mg
TD: 100/70 hepatis ec. Lasix 3x2 amp Hematokrit=
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
mmHg 36,9%
Aldactone 3x100 mg
BB= 80 kg Propanolol 1x10 mg Trombosit=
Vit. K tab 3x1
LP= 99 cm 97.000/ mm3
Lactulac syr. 3x15 cc
Dulcolax supp. 1x1
Rhinofed 3x1
Pro EGD + ligasi
05/102/2013
Febris susp. Diet lunak hepatitis 1
Demam (-), nyeri Suhu : 36,4˚ C
SBP 1900 kkal
perut (-), bab cair Nadi : 86 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1 gr
Asites masif Ciprofloxacin inj.
(-), pilek (+) RR : 18 x/m
pada sirosis 2x400 mg
TD: 110/70 hepatis ec. Lasix 2x2 amp
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
mmHg
Aldactone 2x100 mg
BB= 79 kg Propanolol 1x10 mg
KSR 3x1
LP= 100 cm
Lactulac syr. 3x15 cc
Pro Ligasi + EGD
06/02/2013
Febris susp. Diet tinggi putih telur
Demam (-), nyeri Suhu : 36 ˚ C Hb= 13,4 g/dl
SBP + ikan gabus
perut (-), bab cair Nadi : 84 x/m perbaikan Cefotaxim 3x 1 Leukosit= 6700
Asites masif Ciprofloxacin 2x500
(-), pilek (+) RR : 18 x/m sel/mm3
pada sirosis mg
TD: 100/70 hepatis ec. Lasix 2x2 amp Hematokrit=
Hepatitis B Sumagesic 4x600 mg
mmHg 40,6%
Aldactone 3x100 mg
BB= 79 kg Propanolol 1x10 mg Trombosit=
Vit. K tab 3x1
LP= 104 cm 93.000/ mm3
Lactulac syr. 3x15 cc
Dulcolax supp. 1x1
Rhinofed 3x1
Pro EGD + ligasi

14
USG (30 Januari 2013)

Hepar: Mengecil

Struktur echoparenchym; kasar; heterogen

Tidak tampak lesi fokal

Vena portae dan vena hepatica baik

KE : Dinding licin; batu (-), sludge (-)

Tampak ascites

Kedua ginja, Lien, dan pankreas baik

Buli-buli dan prostat baik

Kesan: Sirosis Hepatis

Ascites

15
EGD (2 Februari 2013)

Telah dilakukan EGD total:

Esofagus : Tampak varises esofagus gr. II pada distal esofagus

Gaster : Fundus dan kardia mukosa udem, hiperemis, mosaic pattern (+).

Korpus mukosa udem, hiperemis. Antrum hiperemis sedang, pilorus normal

Duodenum : bulbus s/d pars desendens mukosa nrmal

Kesan : 1. Varises esofagus gr. II

2. Gastropati portal hipertensi sedang

Saran : Ligasi VE

16
Laboratorium (3 Februari 2013)

Analisa Tinja
I. Karakteristik
A. Makroskopik
Warna Kuning
Konsistensi Lunak -
Darah - -
Lendir - -
Pus -
-
Busa -
B. Mikroskopik
Leukosit 1-2 /LPB
Eritrosit 0-1 /LPB -
Bakteri Pos 2 -
Epitel -
-
Lemak -
Amilum -
-
Serat otot - -
Serat tumbuhan - -
Jamur + -
Telur cacing - -
Parasit - -

17
Pemeriksaan Terinoi
1. Kimia
pH 8.0
Glukosa - -
Lemak - -

2. Pewarnaan
Gram Negatif batang
Spora -
Jamur -
Diagnosa Kerja
WD/ Diagnosa Kerja
pH feses basa

Elektrokardiografi

18
BAB II

19
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. DEFINISI

Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirrosyang
berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-nodulyang terbentuk.
Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang
difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan
mengalami fibrosis.

Secara lengkap Sirosis hati adalah Kemunduran fungsi liver yang permanen yang
ditandai dengan perubahan histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hati yang merangsang
proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga menyebabkan terbentuknya
jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah
mati. Akibatnya, terbentuk sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules)
dalam jaringan parut.

II. 2. INSIDENS

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan
dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 –
59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.

II. 3. ETIOLOGI

1. Alkohol
adalah suatu penyebab yang paling umum dari cirrhosis, terutama didunia barat.
Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keteraturan dari konsumsi alkohol.
Konsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis melukai sel-sel hati. Tiga
puluh persen dari individu-individu yang meminum setiap harinya paling sedikit 8
sampai 16 ounces minuman keras (hard liquor) atau atau yang sama dengannya untuk 15
tahun atau lebih akan mengembangkan sirosis. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari

20
penyakit-penyakit hati; dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis), ke
hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic
hepatitis), ke sirosis. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merujuk pada suatu
spektrum yang lebar dari penyakit hati yang, seperti penyakit hati alkoholik (alcoholic
liver disease), mencakup dari steatosis sederhana (simple steatosis), ke nonalcoholic
Steatohepatitis (NASH), ke sirosis. Semua tingkatan-tingkatan dari NAFLD mempunyai
bersama-sama akumulasi lemak dalam sel-sel hati. Istilah nonalkoholik digunakan karena
NAFLD terjadi pada individu-individu yang tidak mengkonsumsi jumlah-jumlah alkohol
yang berlebihan, namun, dalam banyak aspek-aspek, gambaran mikroskopik dari NAFLD
adalah serupa dengan apa yang dapat terlihat pada penyakit hati yang disebabkan oleh
alkohol yang berlebihan. NAFLD dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut resistensi
insulin, yang pada gilirannya dihubungkan dengan sindrom metabolisme dan diabetes
mellitus tipe 2. Kegemukan adalah penyebab yang paling penting dari resistensi insulin,
sindrom metabolisme, dan diabetes tipe 2. NAFLD adalah penyakit hati yang paling
umum di Amerika dan adalah bertanggung jawab untuk 24% dari semua penyakit hati.

2. Sirosis Kriptogenik,
Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang tidak
teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum untuk pencangkokan hati. Di-istilahkan
sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis) karena bertahun-tahun para dokter telah tidak
mampu untuk menerangkan mengapa sebagian dari pasien-pasien mengembangkan
sirosis. Dipercaya bahwa sirosis kriptogenik disebabkan oleh NASH (nonalcoholic
steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan, diabetes tipe 2, dan resistensi insulin
yang tetap bertahan lama. Lemak dalam hati dari pasien-pasien dengan NASH
diperkirakan menghilang dengan timbulnya sirosis, dan ini telah membuatnya sulit untuk
para dokter membuat hubungan antara NASH dan sirosis kriptogenik untuk suatu waktu
yang lama. Satu petunjuk yang penting bahwa NASH menjurus pada sirosis kriptogenik
adalah penemuan dari suatu kejadian yang tinggi dari NASH pada hati-hati yang baru
dari pasien-pasien yang menjalankan pencangkokan hati untuk sirosis kriptogenik.
Akhirnya, suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-pasien dengan NASH
mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang serupa seperti pasien-pasien

21
dengan infeksi virus hepatitis C yang tetap bertahan lama. Bagaimanapun, kemajuan ke
sirosis dari NASH diperkirakan lambat dan diagnosis dari sirosis secara khas dibuat pada
pasien-pasien pada umur kurang lebih 60 tahun.

3. Hepatitis Virus Yang Kronis


adalah suatu kondisi dimana hepatitis B atau hepatitis C virus menginfeksi hati
bertahun-tahun. Kebanyakan pasien-pasien dengan hepatitis virus tidak akan
mengembangkan hepatitis kronis dan sirosis. Contohnya, mayoritas dari pasien-pasien
yang terinfeksi dengan hepatitis A sembuh secara penuh dalam waktu berminggu-
minggu, tanpa mengembangkan infeksi yang kronis. Berlawanan dengannya, beberapa
pasien-pasien yang terinfeksi dengan virus hepatitis B dan kebanyakan pasien-pasien
terinfeksi dengan virus hepatitis C mengembangkan hepatitis yang kronis, yang pada
gilirannya menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dan
adakalanya kanker-kanker hati.

4. Kelainan-Kelainan Genetik Yang Diturunkan/Diwariskan


berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada
kerusakkan jaringan dan sirosis. Contoh-contoh termasuk akumulasi besi yang abnormal
(hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada hemochromatosis, pasien-
pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan
dari makanan. Melalui waktu, akumulasi besi pada organ-organ yang berbeda diseluruh
tubuh menyebabkan sirosis, arthritis, kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal
jantung, dan disfungsi (kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan
rangsangan seksual. Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada organ-organ
dengan mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah. Pada penyakit Wilson,
ada suatu kelainan yang diwariskan pada satu dari protein-protein yang mengontrol
tembaga dalam tubuh. Melalui waktu yang lama, tembaga berakumulasi dalam hati, mata,
dan otak. Sirosis, gemetaran, gangguan-gangguan psikiatris (kejiwaan) dan kesulitan-
kesulitan syaraf lainnya terjadi jika kondisi ini tidak dirawat secara dini. Perawatan
adalah dengan obat-obat oral yang meningkatkan jumlah tembaga yang dieliminasi dari
tubuh didalam urin.

22
5. Primary biliary cirrhosis (PBC)
adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistim imun yang
ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan imunitas pada PBC
menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil
empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam hati yang
dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hati
yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak
dalam usus, dan juga campuran-campuran lain yang adalah produk-produk sisa, seperti
pigmen bilirubin. (Bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-
sel darah merah yang tua). Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-pembuluh
empedu membuat saluran empedu. Pada PBC, kerusakkan dari pembuluh-pembuluh kecil
empedu menghalangi aliran yang normal dari empedu kedalam usus. Ketika peradangan
terus menerus menghancurkan lebih banyak pembuluh-pembuluh empedu, ia juga
menyebar untuk menghancurkan sel-sel hati yang berdekatan. Ketika penghancuran dari
hepatocytes menerus, jaringan parut (fibrosis) terbentuk dan menyebar keseluruh area
kerusakkan. Efek-efek yang digabungkan dari peradangan yang progresif, luka parut, dan
efek-efek keracunan dari akumulasi produk-produk sisa memuncak pada sirosis.

6. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)


adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada pasien-
pasien dengan radang borok usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang
besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran
empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice (kulit
yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis. Pada beberapa pasien-pasien, luka
pada pembuluh-pembuluh empedu (biasanya sebagai suatu akibat dari operasi) juga dapat
menyebabkan rintangan dan sirosis pada hati.

7. Hepatitis Autoimun

23
adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistim imun yang
ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas imun yang abnromal pada hepatitis
autoimun menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang
progresif, menjurus akhirnya pada sirosis.

8. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia) dan


akhirnya mengembangkan sirosis. Bayi-bayi lain dilahirkan dengan kekurangan enzim-
enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada akumulasi gula-gula dan
sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik
dapat menyebabkan sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).

9. Lain-lain
Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi yang tidak
umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-racun, dan juga gagal
jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian tertentu dari dunia (terutama
Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu parasit (schistosomiasis) adalah penyebab
yang paling umum dari penyakit hati dan sirosis.

II. 4. PATOFISIOLOGI

Pada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Meskipun sel-sel hati yang
selamat atau dibentuk baru mungkin mampu untuk menghasilkan dan mengeluarkan unsur-unsur
dari darah, mereka tidak mempunyai hubungan yang normal dan intim dengan darah, dan ini
mengganggu kemampuan sel-sel hati untuk menambah atau mengeluarkan unsur-unsur dari
darah. Sebagai tambahan, luka parut dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui
hati dan ke sel-sel hati. Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati, darah
tersendat pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu kondisi yang disebut
hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal,
darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir kembali ke jantung, vena-vena
dengan tekanan-tekanan yang lebih rendah yang membypass hati. Hati tidak mampu untuk
menambah atau mengeluarkan unbsur-unsur dari darah yang membypassnya. Merupakan

24
kombinasi dari jumlah-jumlah sel-sel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara
darah yang melewati hati dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang menjurus pada
banyaknya manifestasi-manifestasi dari sirosis.
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan
peningkatan resistensi vena portal. Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena
porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi
umumnya sekitar 7 mmHg. Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya
hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi
aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-
cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi
dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau
postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik).
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan penyakit hati
kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan portal normal berkisar
antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal
yang sifatnya menetap di atas harga normal. Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra
hepatik, dan supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70%
hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui,
sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak menyerang anak-
anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai riwayat penyakit hati
sebelumnya.
Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati dan saluran-
saluran melalui mana empedu mengalir. Pada sirosis, canaliculi adalah abnormal dan hubungan
antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak, tepat seperti hubungan antara sel-sel hati dan darah
dalam sinusoid-sinusoid. Sebagai akibatnya, hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur
beracun secara normal, dan mereka dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu tingkat yang
kecil, pencernaan dalam usus juga berkurang.

II. 3. 5. KLASIFIKASI

25
A. Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :

1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil yang merata. Sirosis mikronodular besar nodulnya
sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah menjadi makronodular
sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. Makronodular
sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar didalamnya ada daerah
luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

B. Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :

1. Sirosis hati kompensata. Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan
pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini
Biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya : ascites, edema dan ikterus.

C. Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh :


Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time
> 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Min. – sedang
Asites 0 Banyak (+++)
(+) – (++)
Hepatic
Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4
Encephalopathy

II. 3. 6. MANIFESTASI KLINIS


26
Gejala yang timbul tergantung pada tingkat berat sirosis hati yang terjadi. Sirosis Hati
dibagi dalam tiga tingkatan yakni Sirosis Hati yang paling rendah Child A, Child B, hingga pada
sirosis hati yang paling berat yakni Child C. Gejala yang biasa dialami penderita sirosis dari yang
paling ringan yakni lemah tidak nafsu makan, hingga yang paling berat yakni bengkak pada
perut, tungkai, dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik pada tubuh penderita terdapat
palmar eritem, spider nevi.

Palmar Eritem Spider Naevi

Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis yang lebih umum termasuk:
1. Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah
2. Asites, edema pada tungkai
3. Hipertensi portal
4. Kelelahan
5. Kelemahan
6. Kehilangan nafsu makan
7. Gatal
8. Mudah memar dari pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh hati yang
sakit.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai
cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi
(kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam

27
hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati
mempunyai massa otot yang baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan
cadangan energi lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak
mudah jatuh pada keadaan koma.
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan
dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah
konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam.

II. 7. KOMPLIKASI

1. Edema dan ascites


Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk menahan
garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam
jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya
berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema.
(Pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada
suatu pergelangan atau kaki dengan edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang
berlangsung untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis
memburuk dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin
berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi
cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut,
dan berat badan yang meningkat.

28
Patogenesis

sirosis

Tahanan portal meningkat

Hipertensi Portal

Dilatasi Splanknikus

Tekanan kapiler splanknik Pengisisan arteri


meningkat menurun

Akumulasi cairan di
abdomen

asites

Retensi garam dan Ekskresi air Vasokonstriksi


air terganggu ginjal

Volume plasma Hiponatremi Sindrom


meningkat dilusional hepatorenal

Pemeriksaan umum

1. Fungsi hati

- Tes fungsi hati dan tes koagulan

- Tes standar hematologi

- USG abdomen dan CT scan abdomen

29
Endoskopi traktus gastrointestinal bagian atas

2. Fungsi renal dan fungsi sirkulasi, saat pasien tidak mendapat terapi diuretik

- Pengukuran kreatinin serum dan elektrolit

- Pengukuran natrium urin ( terutama dari urin 24 jam yang telah dikumpul)

- Tekanan darah arteri

3. Pemeriksaan cairan asites (untuk menyingkirkan kemungkinan peritoneal bakteria spontan)

- Hitung jenis sel

- Kultur bakteri

- Pengukuran protein total

- Tes lainnya ( albumin, glukosa, laktat dehidrogenase, amylase, dan trigliserida)

Terapi

o Terapi umum, berupa pengaturan diet, meliputi:

- Pembatasan asupan Natrium.

Dilakukan terutama pada pasien retensi Na yang berat, yang tidak berespon atau respon

minimal terhadap diuretik. Asupan natrium yang dianjurkan adalah 1500-2000 mg/hari

- Pembatasan cairan

Hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hiponatremi dilusional yang disebabkan

oleh ekskresi air dan ginjal yang rendah. Asupan cairan yang dianjurkan adalah 1000

ml/hari

o Terapi khusus

 Volume asites sedikit

30
Akumulasi cairan asites dalam jumlah yang sedikit sudah dapat menimbulkan rasa tidak

nyaman yang ringan pada beberapa pasien. Pada pasien ini, ekskresi natrium ginjal tidak terlalu

terganggu, tapi pasien sudah memiliki keseimbangan natrium yang positif. Terapi bisa dilakukan

dengan rawat jalan jika tidak terdapt komplikasi sirosis hepatis yang lainnya.

Obat pilihan pada asites dengan jumlah cairan yang masih sedikit adalah spironolakton

(50-200 mg/hari) dan amiloride (5-10 mg/hari), bisa juga ditambah dengan furosemide dosis

rendah (20-40 mg/ hari) bila terdapat udem perifer.

Terapi dievaluasi dengan pengukuran berat badan dan pemeriksaan fisik. Penurunan berat

badan yang dianjurkan adalah 300-500 gram/hari (jika tanpa udem perifer) atau 800-1000

gram/hari (jika disertai udem perifer)

 Volume asites banyak

Banyaknya cairan yang terakumulasi menyebabkan rasa tidak nyaman yang hebat sampai

mengganggu aktifitas sehari-hari. Biasanya sudah terjadi retensi natrium yang hebat sehingga

peningkatan akumulasi cairan asites terjadi dengan cepat walaupun asupan natrium dibatasi.

Strategi terapi yang dianjurkan:

a. Parasentesis dalam jumlah yang banyak

Berhubungan dengan perubahan fungsi sirkulasi yaitu penurunan volume arteri

efektif , aktivasi vasokontriktor dan aktivasi natiuretik faktor jika tidak disertai

dengan plasma expanders.

b. Diuresis dengan dosis yang ditingkatkan sampai dosis maksimal spironolakton: 400

mg/hari atau furosemide: 160 mg/hari

 Asites yang refrakter

Strategi terapi yang saat ini digunakan:

31
- Parasentesis dalam jumlah banya yang berulang dengan plasma expander setiap 2-4

minggu

- Shunt porto-sistemik transjugular

Tujuannya untuk menurunkan retensi natrium dan meningkatkan respon ginjal terhadap diuretik.

Kekuranga dari cara terapi ini adalah tingginya angka kejajian stenosis shunt yang bisa

mengakibatkan asites yang berulang, ensefalopati hepatik, tingginya biaya dan tida bisa

dilakukan di beberapa tempat.

2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Definisi

Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) adalah komplikasi serius pada pasien sirosis dengan

asites. PBS didefinisikan sebagai infeksi cairan asites tanpa dapat ditemukan penyebab dari

intraabdominal yang dapat diterapi secara bedah. Disebut PBS bila didapatkan peningkatan

sel polimorfonuklear PMN melebihi 250/mm3 dengan atau tanpa bakteriemia yang diisolasi

dari dalam cairan asites.1 Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) adalah komplikasi serius pada

pasien sirosis dengan asites

Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk bakteri-bakteri

berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan

yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut

(biasanya dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati

dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu

untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri

32
menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut

dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan terjadi.

SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP

tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit

perut dan kelembutan perut, diare, dan memburuknya ascites.

Epidemiologi
Diera diagnosis dini dan pemberian terapi antibiotika segera, prevalensi PBS masih

berkisar antara 10-30%, dan yang lebih meresahkan adalah angka kematian yang masih

cukup tinggi sekitar 20-40%. Sedang harapan hidup 1 tahun 67%.2,3 Di Indonesia angka

kejadian PBS pada sirosis hati yang dirawat di Rumah Sakit berkisar antara 10-30%, kurang

lebih separuh kejadian PBS terjadi selama perawatan.4 Dari jumlah sampel penelitian 62

pasien, yang mengalami PBS adalah 19 orang (30,6%), sedang yang bukan PBS adalah 43

orang (69,4%).

Etiologi

Pada pasien-pasien dengan kultur positif monomikrobial tersebut 10 (77%)

diantaranya disebabkan oleh kuman aerob Gram negatif, sedang 3 (23%) pasien disebabkan

kuman aerob Gram positif.

Suatu penelitian skala besar di Perancis melaporkan dari dokumentasi klinis dan

laboratories pasien PBS di satu pusat Hepatogastroenterologi selama 20 tahun yang dibagi

menjadi 5 periode. Penyebab infeksi PBS terbanyak adalah Enterobacteriacheae 78,7%

(Escherichia coli 51%, sisanya Citrobacter feundi, Enterobacter cloacae dan Serratia

marcescens,) sedang 19% coccus gram positif (Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

coagulase negatif). Hal ini tidak berbeda selama 5 periode tersebut.12 Hasil penelitian ini

33
tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, didapatkan kuman penyebab PBS

terbanyak adalah kuman aerob gram negatif (77%), dominan Escherichia coli (15,4%) dan

Acinettobacter baumanii (15,4%). Sedang sisanya oleh kuman aerob Gram positif (23%).

Patofisisologi

Perkembangan penyakit PBS pada sirosis hati dipengaruhi oleh respon imun cairan asites,

yang tergantung pada mekanisme pertahanan dalam rongga peritoneal yaitu opsonisasi dan

bakterisidal cairan asites yang sangat ditentukan oleh kadar protein cairan asites.

Dalam penelitian oleh Llovet,dkk.16 megenai translokasi bakteri usus penyebab PBS

pada tikus sirosis, dilaporkan bahwa terjadinya infeksi cairan asites dipengaruhi oleh, galur

kuman penyebab dan sistem pertahanan tubuh host yang terdiri dari: respon imun sistemik

(sistem retikuloendotelial) serta respon imun lokal (kemampuan eradikasi organism penyebab

oleh makrofag peritoneum dan netrofil). PBS terjadi apabila terdapat kombinasi keduanya, yaitu

adanya galur kuman yang lebih virulen dari kumankuman lain yang dapat dibunuh oleh sistem

imun pertahanan tubuh host, serta menurunnya sistem imun pertahanan tubuh host.

Hitung trombosit yang rendah pada pasien sirosis dengan asites adalah akibat

hipersplenisme sesuai derajat sirosis dan hipertensi portal. Derajat sirosis yang berat memilki

hubungan independen sebagai faktor risiko PBS.7 Kemungkinan hitung trombosit yang rendah

tidak memiliki efek langsung pada patogenesis PBS, hanya merupakan petanda adanya hipertensi

portal. Belum ada bukti penelitian yang melaporkan hitung trombosit yang rendah dengan PBS

secara terpisah dengan faktorfaktor risiko lain.

Dari 62 pasien sirosis hati dengan asites, pasien Child C lebih banyak mengalami PBS

dibanding Child B dan tidak ada pasien dengan Child A. Derajat sirosis hati adalah kategori
34
beratnya gangguan fungsi hati. Pada pasien sirosis terutama dengan derajat berat (Child C) akan

terjadi penurunan fungsi sel Kupfer, penurunan jumlah serta fungsi sel leukosit terutama PMN

akibat hipersplenisme serta penurunan sintesis komplemen (C3) oleh hati, mengakibatkan

penurunan aktifitas opsonisasi dan fagositosis yang memudahkan terjadinya PBS.

Gejala klinis

Karakteristik pasien berdasarkan manifestasi klinis yang meliputi demam, keluhan nyeri

perut, muntah, diare, gangguan kesadaran, abdominal tenderness, ileus paralitik, hipotensi, dan

hipotermi. Dari pemeriksaan laboratorium didapat pasien dengan HbsAg positif 28 (45,2%) dan

Anti HCV positif 14 (23%). Sedang hasil pemeriksaan lab lain meliputi AST, ALT, albumin,

globulin, bilirubin total serum, urea dan kreatinin serum, INR serta protein dan PMN cairan

asites.

Terapi

Antibiotika yang sensitif adalah yang dapat mengeliminasi kuman golongan tersebut diatas.

Cefotaxim merupakan antibiotika yang banyak diteliti pada pasien PBS. Penelitian oleh Ricart

dkk.13 mendapatkan bahwa Amoxicilin-asam klavulanik sama efektifnya dengan Cefotaxim

untuk terapi infeksi pasien sirosis dengan asites. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

penelitian- penelitian terdahulu, didapatkan Cefotaxim dan Amoxicilin masih sensitif untuk

pasien PBS. Dengan demikian hasil penelitian ini masih relevan dengan rekomendasi

antibiotika terapi dan profilaksis PBS sesuai konsensus dan pedoman dari PPHI.

35
3. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal Varices)

Defenisi

Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah buang air besar berdarah

seperti aspal, umumnya disebabkan perdarahan saluran makan bagian atas (SMBA) mulai

dari esofagus sampai duodenum.

Etiologi

Penyebab-penyebab dari perdarahan saluran makan bagian alas antara lain :

- Kelainan pada esofagus: varises, esofagitis, ulkus, sindroma Mallory-Weiss,

keganasan.

- Kelainan pada lambung dan doudenum: gastritis hemoragika, ulkus peptikum

ventrikuli dan duodeni, keganasan,polip.

- Penyakit darah: leukemia, DIC, trombositopeni.

- Penyakit sistemik: uremia.

Penyebab perdarahan SMBA yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah :

- pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 40 - 55%

- gastritis hemoragika dengan20 - 25%

- ulkus peptikum dengan 15 - 20%

- sisanya oleh keganasan, uremia dan sebagainya.

Umumnya perdarahan SMBA termasuk penyakit gawat darurat yang memerlukan

tindakan medik intensif yang segera di rumah-sakit/puskesmas karena angka kematiannya yang

tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus yang dahulu berkisar antara 40 - 85%.

36
Diagnosis

Diagnosa perdarahan SMBA ditegakkan melalui :

i. Anamnesis

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan penderita lemah atau kesadarannya

menurun dapat diambil alloanamnesa dari pengantarnya.

Beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain :

o Apakah penderita pernah menderita atau sedang dalam perawatan karena penyakit hati

seperti hepatitis kronis, sirosis hati, penyakit lambung atau penyakit lain?

o Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah mengalami sebelumnya?

o Apakah penderita minum obat-obat analgetik antipiretik atau kortison? Apakah minum

alkohol atau jamu-jamuan?

o Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual atau muntah?

o Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa banyaknya atau terjadi terus

menerus tetapi sedikit-sedikit?

o Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena atau hanya melena saja?

ii. Pemeriksaan fisik

1. Penderita perlu segera diperiksa keadaan umumnya yaitu derajat kesadaran,tekanan

darah, nadi, pernapasan, suhu badan dan apakah ada tanda-tanda syok, anemi, payah

jantung, kegagalan ginjal atau kegagalan fungsi hati berupa koma. Penderita dalam

keadaan umum yang buruk atau syok perlu segera ditolong dan diatasi dahulu syoknya

Pemeriksaan penunjang diagnosis ditunda dahulu sampai keadaan umum membaik

37
2. Bila dugaan penyebab perdarahan SMBA adalah pecahnya varises esofagus, perlu dicari

tanda-tanda sirosis hati dengan hipertensi portal seperti: hepatosplenomegali, ikterus,

asites, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi

dinding perut. Bila pada palpasi ditemukan massa yang padat di daerah epigastrium, perlu

dipikirkan kemungkinan keganasan lambung atau keganasan hati lobus kiri.

iii. Pemeriksaan penunjang diagnosis

1. Pemeriksaan laboratorik

 Golongan darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit, trombosit,waktu

perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi dan fibrinogen.

 Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gama GT

kolinesterase, protein total, albumin, globulin,HBSAg, AntiHBS .

 Pemeriksaan yang diperlukan pada komplikasi kegagalan fungsi ginjal, koma atau

syok adalah kreatinin, ureum, elektrolit, analisa gas darah, gula darah sewaktu,

amoniak.

2. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan radiologik dilakukan sedini mungkin bila perdarahan telah berhenti. Mula-

mula dilakukan pemeriksaan esofagus dengan menelan bubur barium, diikuti dengan

pemeriksaan lambung dan doudenum, sebaiknya dengan kontras ganda. Pemeriksaan

dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada tidaknya varises di daerah 1/3 distal

esofagus, atau apakah terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung, doudenum.

3. Pemeriksaan endoskopik

Pemeriksaan endoskopik ini sangat penting untuk menentukan dengan tepat

sumberperdarahan SMBA. Tergantung keetrampilan dokternya, endoskopi dapat

38
dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah

hematemesis berhenti. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat

dilakukan pengambilan foto slide, film atau video untuk dokumentasi, juga dapat

dilakukan aspirasi serta biopsi untuk pemeriksaan sitologi.

4. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati

Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjang diagnosa hematemesis/melena bila diduga

penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus, karena secara tidak langsung memberi

informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal,

keganasan hati dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah

perdarahan akut berhenti.

Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop mutakhir dengan transducer

ultrasonografi yang berputar di ujung endoskop, maka keganasan pada lambung dan

pankreas juga dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning hati diagnosa sirosis hati dengan

hipertensi portal atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan.

Terapi

a. Tindakan Umum

1. Resusitasi

a. Infus/Transfusi darah

 Penderita dengan perdarahan 500 -- 1000cc perlu diberi infus Dextrose 5%,

Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada penderita sirosis hati dengan asites/edema

tungkai sebaiknya diberi infus Dextrose 5%.

 Penderita dengan perdarahan yang masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang

dari 8g%, perlu segera ditransfusi.

39
 Pada hipovolemik ringan diberi transfusi sebesar 25% dari volume normal,

sebaiknya dalam bentuk darah segar.

 Pada hipovolemik berat/syok, kadang kala diperlukan transfusi sampai 40 - 50%

dari volume normal. Kecepatan transfusi berkisar pada 80 - 100 tetes atau dapat

lebih cepat bila perdarahan masih terus berlangsung, sebaiknya di bawah

pengawasan tekanan vena sentral.

 Pada perdarahan yang tidak berhenti perlu dipikirkan adanya DIC, defisiensi

faktor pembekuan path sirosis hati yang lanjut atau fibrinolisis primer.

 Bilamana darah belum tersedia, dapat diberi infus plasma ekspander maksimal

1000 cc, selang seling dengan Dextrose 5%, karena plasma ekspander dapat

mempengaruhi agregasi trombosit.

 Setiap pemberian 1000 cc darah perlu diberi 10 cc kalsium glukonas i.v. untuk

mencegah terjadinya keracunan asam sitrat

2. Lavas lambung dengan air es

Setelah keadaan umum penderita stabil, dipasang pipa nasogastrik untuk aspirasi isi

lambung dan lavas air es, mula-mula setiap 30 menit1 jam. Bila air kurasan lambung

tetap merah, penderita terus dipuasakan. Sesudah air kurasan menjadi merah muda atau

jernih, maka disarankan dilakukan pemeriksaan endoskopi yang dapat menentukan lokasi

perdarahannya. Pada perdarahan varises esofagus yang tidak berhenti setelah lavas air es,

diperlukan tindakan medik intensif yang akan dibicarakan kemudian. Sedangkan pada

perdarahan ulkus peptikum, gastritis hemoragika dan lainnya, setelah perdarahan berhenti

dapat mulai diberi susu + aqua calcis 50 -- 100 cc/jam, dan secara bertahap ditingkatkan

pada diit makanan lunak/bubur saring dalam porsi kecil setiap 1 -- 2 jam.

40
3. Hemostatika

Yang dianjurkan adalah pemberian Vitamin K dalam dosis 10 - 40 mg sehari parenteral,

karena bermanfaat untuk memperbaiki defisiensi kompleks protrombin. Pemberian asam

traneksamat dan karbazokrom dapat pula diberikan.

b. Tindakan khusus

1. Medik Intensif

a. Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik

Bila perdarahan tetap berlangsung, dicoba lavas lambung dengan air es ditambah 2

ampul Noradrenalin atau Aramine 2 - 4 mg dalam 50 cc air. Dapat pula diberikan

bubuk trombin (Topostasin) misalnya 1 bungkus tiap 2 jam melalui pipa nasogastrik.

Ada ahli yang menyemprotkan larutan trombin melalui saluran endoskop tepat di

daerah perdarahan di lam-bung, sehingga di bawah pengawasan endoskopik dapat

mengikuti langsung apakah perdarahannya berhenti dan apakah terbentuk gumpalan

darah yang agak besar yang perlu aspirasi dengan endoskop.

b. Sterilisasi usus dan lavement usus

Terutama pada penderita sirosis hati dengan perdarahan varises esofagus perlu

dilakukan tindakan pencegahan terjadinya koma hepatikum/ensefalopati hepatik yang

disebabkan antara lain oleh peningkatan produksi amoniak pada pemecahan protein

darah oleh bakteri usus.

Hal ini dapat dilakukan dengan jalan :

41
o Sterilisasi usus dengan antibiotika yang tidak dapat diserap misalnya Neomisin 4 x 1

gram atau Kanamycin 4 x 1 gram/hari, sehingga pembuatan amoniak oleh bakteri

usus berkurang.

o Dapat diberikan pula laktulosa atau sorbitol 200 gram/hari dalam bentuk larutan 400

cc yang bersifat laksansia ringan atau magnesiumsulfat 15g/400cc melalui pipa

nasogastrik.Selain itu perlu dilakukan lavement usus dengan air biasa setiap 12 -- 24

jam. Untuk pencegahan ensefalopati hepatik dapat diberi infus Aminofusin Hepar

1000 -- 1500 cc per hari. Bila penderita telah berada dalam keadaan prekoma atau

koma hepatikum, dianjurkan pemberian infus Comafusin Hepar 1000 -- 1500 cc per

hari.

c. Beta Bloker

Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif seperti propanolol, oksprenolol,

alprenolol ternyata dapat menurunkan tekanan vena porta pada penderita sirosis hati,akibat

penurunan curah jantung sehingga aliran darah kehati dan gastrointestinal akan berkurang.

Obat golongan betabloker ini tidak dapat diberikan pada penderita syok atau payah jantung,

juga pada penderita asma dan penderita gangguan irama jantung seperti bradikardi/AV Blok.

d. Infus Vasopresin

Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos seluruh sistem baskuler sehingga

terjadi penurunan aliran darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan

penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri gastrika dan mesenterika ikut

mengalami kontraksi, maka selain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum

juga ikut berhenti.Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan varises esofagus

yang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavas lambung dengan air es. Cara pemberian

42
vasopresin ialah 20 unit dilartkan dalam 100 -- 200 cc Dextrose 5%, diberikan dalam 10 -- 20

menit intravena. Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah dilaporkan

adalah angina pektoris, infark miokard, fibrilasi ventrikel dan kardiak arest pada penderita

penderita jantung koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi dari vasopresin pada

arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang mengeluh tentang kolik abdomen, rasa

mual, diare. Beberapa ahli lain menganjurkan pemberian infus vasopresin dengan dosis

rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 16 jam pertama dan bila perdarahan

berhenti setelah itu, dosis diturunkan 0,1 unit per menit untuk 8 jam berikutnya. Pada cara

pemberian infus vasopresin dosis rendah lebih sedikit efek sampingyang ditemukan.Efek

vasopresin dalam menghentikan perdarahan SMBA berkisar antara 35 - 100%, perdarahan

ulang timbul pada 21 - 100% dan mortalitas berkisar pada 21 - 80%. Balontamponade

Tamponade dengan balon jenis Sengstaken Blakemore Tube atau Linton Nachlas Tube

diperlukan pada penderita –penderita varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung

setelah lavas lambung dan pemberian infus vasopresin. Tindakan pemasangan balon ini

merupakan pilihan pertama pada penderita jantung koroner dan usia lanjut, yang tidak dapat

diberikan infus vasopresin. Prinsip bekerjanya SB atau LN Tube adalah mengembangkan

balon di daerah kardia dan esofagus yang akan menekan, dan dengan demikian

menghentikan perdarahan di esofagusdan kardia. SB Tube terdiri dari 2 balon, masing-

masing untuk lambung dan esofagus, sedangkan LN Tube terdiri hanya dari 1 balon yang

mengkompresi daerah distal esofagus dan kardia.

e. Koagulasi laser endoskopik

Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan sklerosis varises endiskopik gagal

dalam menghentikan perdarahan varises esofagus, mungkin dapat diterapkan terapi koagulasi

43
dengan Argon/Neodym Yag Laser secara endoskopik. Ada ahli yang melaporkan

keberhasilan sampai 91,3% (116 dari 127 penderita). Hanya alat ini sangat mahal.Demikian

juga perdarahan SMBA lainnya seperti pada ulkus peptikum dan keganasan ternyata dapat

dihentikan dengan koagulasi laser endoskopik.

f. Embolisasi varises transhepatik

Caranya, dengan tuntunan ultrasonografi dimasukkan jarum ke dalam hati sampai mencapai

vena porta yang melebar, kemudian disorong kateter melalui mandrin tersebut sepanjang

vena porta sampai mencapai vena koronaria gastrika dan disuntikkan kontras angiografin.

Pada transhepatik portalvenografi ini akan terlihat vena-vena kolateral utama termasuk

varises esofagus.Selanjutnya sebanyak 30 -- 50 cc Dextrose 50% disuntikkan melalui kateter

diikuti dengan suntikan trombin, ditambah gel foam atau otolein. Perdarahan varises esofagus

umumnya segera berhenti. Metoda ini belum banyak laporannya dalam kepustakaan, karena

tekniknya sukar dan sering mengalami kegagalan yang disebabkan trombosis vena porta atau

adanya asites. Komplikasi yang membahayakan adalah perdarahan intraperitoneal dari bekas

tusukan jarum tersebut. Seorang peneliti melaporkan bahwa 5 bulan sesudah embolisasi

timbul varises esofagus yang baru.

2. Tindakan Bedah

Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami kegagalan dan perdarahan masih

berlangsung, maka perlu dilakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan portosistemik

atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus.Perdarahan dari ulkus peptikum

ventrikuli atau duodeni serta keganasan SMBA yang tidak berhenti dalam 48 jam juga

memerlukan tindakan bedah. Bila tidak diperlukan tindakan bedah darurat, setelah keadaan

44
umum penderita membaik dan pemeriksaan diagnostik telah selesai dilakukan, dapat

dilakukan tindakan bedah elektif setelah 6 minggu.

4. Hepatic encephalopathy
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan
penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus. Ketika
menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-
unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam
tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek
beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal
ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihilangkan racunnya).
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak
terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu siang hari
daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah diantara gejala-
gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain termasuk sifat lekas marah,
ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan perhitungan-perhitungan, kehilangan
memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic
encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian.

5. Hepatorenal syndrome

Definisi

Sindroma Hepato Renal adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati

kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi

ginja dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system vasoactive

endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus

45
rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi arteriol yang luas menyebabkan

penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.

Patofisiologi

Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang reversible dan

hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata pada penderita SHR telah

ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk arteriografi ginjal, klirens para

aminohipuric acid dan yang terbaru ultrasonografi Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini

mendapatkan beberapa perubahan dalam perfusi ginjal yang berkesinambungan pada

penderita sirosis dengan ascites, dan SHR adalah akhir dari spectrum ini. Penyebab utama dari

vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak

factor antara lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,

peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di

ginjal. Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan pengisian

sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik. Pengurangan pengisian

arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin

angiotension dan system saraf simpatis).

1. Faktor Vasokonstriktor

Sistem rennin – angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari system

utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal berperan sebagai mediator

utama vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal. Aktifitas dari system

vasokonstruksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascites, terutama penderita

dengan sindroma hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju

46
filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretic atau vasopressin meninggi pada penderita

SHR karena stimulasi non osmolar, walaupun sering timbul hiponatremia.

Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endothelin adalah substansi

vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kemungkinan karena penambahan

produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi splandik yang hubungannya dengan

vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dkk melaporkan pada tiga penderita SHR

memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor

endhothelin –A. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan produksi cysteinyl

leukotrienes sebagai vasokonstriksi ginjal yang kuat pada penderita SHR.

Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin, F2 – isoprostanes dapat juga sebagai

factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme

yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga

berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan SHR timbul setelah

infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi

bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam

disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdebatan.

2. Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang

memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal memaikan peran yang

penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek

yang merusak dari factor vasokonstriktor. Mekanisme vasodilator ginjal yang paling

penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sitem yang unik dimana ginjal

47
mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi

sitemiknya. Bukti yang paling kuat menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan

perfusi ginjal pada sirosis dengan ascietes diperoleh dari penelitian yang menggunakan

obat non steroid anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal.

Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan

ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan

aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita dengan

aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit atau sedikit efek pada

penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin

berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika

produksi nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidak langsung dalam percobaan sirosis

dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin

mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretic peptide. Gulberg

dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita

sirosis dan gagal ginjal fungsional, selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara

CNP di urin dengan ekskresi natrium urin,CNP ini berperan dalam pengaturan

keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan

aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi

ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari mekanisme vasokonstriktor ginjal.

3. Sistem saraf simpatis

Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan

menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini telah

48
diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh

darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi pada arteiol afferent

ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan

air dan natrium di tubulus.

Patogenesis

Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul pada

penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal berhubungan dengan penyakit hati

itu sendiri tanpa ada patogenetik yang berhubungan dengan gangguan system hemodinamik.

Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua

mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal

dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang dapat

menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang diperlihatkan bahwa hati

mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua menerangkan bahwa hipoperfusi

ginjal berhubungan dengan perubahan patogenetik dalam system hemodinamik dan SHR adalah

bentuk terakhir dari pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa

kekurangan pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang bukan

sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar biasa terjadi

terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi yang progresif dari mediator

baroreseptor system vasokonstriktor, yang mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya

pada sirkulasi ginjal tetapi juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek

vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena adanya rangsangan

vasodilator local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat

49
terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat

dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi

vasokonstriktor ginjal atau keduanya.

SIROSIS HATI

Vasodilatasi arteri splanknik

Arterial underfiling

Sintesa faktor Baroreseptor Sintesa faktor


vasodilator aktifitas faktor vasokontriktor
intrarenal vasokontiktor intrarenal
sistemik

Vasokontriksi renal

Sindrom hepato renal

50
Gambaran Klinis

Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal,

gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan

biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema dan dilutional

hyponatremia, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan

buang air (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan

arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah

sistemik. Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan analisa urin dalam

keadaan normal.

Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:

1. Sindroma Hepatorenal tipe I

Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea

nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens

dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal

ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi natrium dan

hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan

tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis

alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non

alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang

diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat

dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan

gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum

51
dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul

SHR tipe I. SHR Tipe I adalah komplikasi dengan prognostic yang sangat buruk pada penderita

sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata wktu harapan hidup penderita ini kurang dari

dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup disbanding dengan gagal ginjal akut dengan

penyebab lainnya.

2. Sindroma Hepatorenal Tipe II

Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi

glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR,

tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada

penderita dengan ascites resisten diuretic. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini

lebih panjang dari pada SHR tipe I.

Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang dianut sekarang

adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome:

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.

2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.

3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat

nefrotoksik.

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretic

(penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi >

40 ml/mnt)

52
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit parenkim ginjal

secara ultrasonografi.

Kriteria tambahan :

1. Volume urin < 500 ml / hari

2. Natrium urin < 10 meg/liter

3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma

4. Eritrosit urin < 50 /lpb

5. Natrium serum <130 meg / liter

Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR, sedangkan criteria

tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR. Beberapa faktor prediktor timbulnya

SHR pada sirosis dengan ascites :

- Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum

- Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan

- Ekskresi natrium urin yang rendah

- Hipotensi arterial

- Aktifitas plasma rennin meninggi

- Kadar norepinefrin plasma tinggi

- Refrakter ascites

- Tidak ada hepatomegali

- Peningkatan vascular resistive index ginjal

53
Terapi

Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis

dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian

plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi

insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotik untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati

dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada

beberapa modalitas terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit

atau tidak ada sama sekali.

1) Vasodilator

Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan

SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena

atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati

dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor

juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus

dopamine selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah

ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis

endhothelin spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan

SHR.

2) Vasokonstriktor

Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan pengurangan

pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi

ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor

54
sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada

pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana

meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis

yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang

singkat, hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginjal

meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin

berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang

menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin,

norepenephrine) dan vasodilator ginjal (dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki

fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin

dengan penambahan volume plasma dengan albumin memperbaiki fungsi ginjal dan

menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari

pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan

dari rennin – angiot natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal.

Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan

peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan

dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena

komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita

SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin,

vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan

transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati 16.

3) Peritoneovenous shunt

55
Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lalu di dalam

pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan aliran yang

terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan

dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler.

Efek hemodinamik dari peritoneovenousshunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata

dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus

memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan

rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

4) Portosystemic shunt

Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar

dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung memperlihatkan

bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang

tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa

TIPS. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS

dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan system saraf

simpatis.

5) Dialisa

Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita

dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal.

Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari sialisa pada

kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk,

56
karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek

samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap

digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

6) Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat

menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transpalntasi ini

merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang

lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati,

kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi

glomerulus mulai mengalami perbaikan.

6. Hepatopulmonary syndrome
Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat mengembangkan
hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat mengalami kesulitan bernapas karena
hormon-hormon tertentu yang dilepas pada sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-
paru berfungsi secara abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan
dengan alveoli (kantung-kantung udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-
paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam
alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan
tenaga.

7. Hyperspleenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter) untuk
mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan platelet-platelet
(partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah) yang lebih tua. Darah yang
mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika

57
tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi aliran darah dari
limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam
ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu
bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut.
Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan
platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu behubungan dengan suatu
jumlah sel darah merah yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih yang rendah
(leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat
menyebabkan kelemahan, leucopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan
thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang
diperpanjang (lama).

8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)


Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker hati
utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta bahwa tumor
berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana saja didalam
tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati.

II. 3. 8. DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN

A. Pemeriksaan Diagnostik
a. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati,
b. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang
mungkin sebagai faktor predisposisi.
c. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
d. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi system vena
portal,
e. Pemeriksaan Laboratorium :

Bilirubin serum, AST(SGOT)/ALT(SPGT),LDH, Alkalin fosfotase, Albumin


serum, Globulin, Darh lengkap, masa prototrombin, Fibrinogen, BUN, Amonia

58
serum, Glukosa serum, Elektrolit, kalsium, Pemeriksaan nutrient, Urobilinogen
urin, dan Urobilinogen fekal.

B. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :

1. Simtomatis

2. Supportif, yaitu :

a. Istirahat yang cukup

b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;

misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin

c. Pengobatan berdasarkan etiologi

Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN
seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis
IFN tiap hari.

A) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu
dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000mg untuk berat
badan kurang dari 75kg) yang diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.

B) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih
tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta
unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.

C) Terapi dosis interferon setiap hari.

Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-
RNA negatif di serum dan jaringan hati.

59
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi
seperti

1. Asites

2. Spontaneous bacterial peritonitis

3. Hepatorenal syndrome

4. Ensefalophaty hepatic

III. 9. PROGNOSIS

Prognosis sirosis hepatis menjadi buruk apabila:

 Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%


 Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
 Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
 Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
 Hati mengecil
 Perdarahan akibat varises esofagus
 Komplikasi neurologis
 Kadar protrombin rendah
 Kadar natriumn darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

60
BAB III

KESIMPULAN

Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati


penyulit, maka prognosa Sirosis Hepatis bisa buruk. Umumnya menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sirosis hepatis tersebut.
Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh
karena itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan sirosis hati.

61
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases

2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung

3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sistim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell

1997

4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatis

5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta

1987

6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm

7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian Ilmu

Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo

8. Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam USU.

9. Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

10. Stephen J. McPhee, dkk. 2013. Current Medical Diagnosis and Treatment. California: Lange.

62

Anda mungkin juga menyukai