Anda di halaman 1dari 235

TANGGAPAN TERHADAP KAK

TANGGAPAN TERHADAP KAK


Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY
Tahun Anggaran 2022

A. Latar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seperti semua daerah di Indonesia melaksanakan upaya
Belakang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya melalui proses
pembangunan. Pembangunan adalah sebuah proses yang direncanakan dalam rangka
mencapai kondisi yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya baik dari aspek
ekonomi, politik, budaya, sosial, maupun sarana prasarana.

Pembangunan yang dilaksanakan memerlukan perencanaan pembangunan yang memadai.


Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
bahwa Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diwajibkan menyusun
perencanaan pembangunan yang merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjenjang dari
aspek waktu yaitu meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dalam
periode 20 tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dalam
periode lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode tahunan.

RKPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang disusun tiap tahun di mana
dokumen ini mengejawantahkan visi, misi dan program kepala daerah yang ditetapkan
dalam RPJMD kedalam program dan kegiatan pembangunan tahunan daerah. RKPD yang
telah ditetapkan digunakan sebagai landasan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan
PPAS dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD) yang akhirnya menjadi dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam penyusunan dokumen RKPD membutuhkan analisis ekonomi daerah yang


dimaksudkan untuk menilai dampak realisasi pembangunan daerah dapat mempengaruhi
kinerja ekonomi dan mengetahui capaian indikator ekonomi sesuai dengan yang
diasumsikan dalam perencanaan pembangunan jangka menengah. Disamping itu, analisis
ekonomi ini akan digunakan sebagai salah satu input utama dalam membuat analisis
keuangan daerah. Dalam rangka menyediakan materi analisis ekonomi daerah tersebut,
Bappeda sebagai lembaga yang menyusun RKPD melaksanakan kajian analisis ekonomi
makro daerah.
B. Maksud Maksud
dan maksud dari pekerjaan penyusunan Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY untuk
Tujuan menyediakan data dan analisis ekonomi DIY secara makro dalam perencanaan
pembangunan.

Tujuan:
1. Mengetahui kondisi ekonomi 2017-2021, yang mencakup indikator makro ekonomi;
2. Mengetahui angka proyeksi indikator ekonomi DIY 2022-2023 dan analisis asumsi yang
digunakan (nilai PDRB, laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, ICOR (Incremental Capital
Output Ratio), ketenagakerjaan, kemiskinan,Indeks Williamson (IW), Indeks Gini);
3. Mengetahui angka proyeksi indikator makro ekonomi Kabupaten /Kota tahun 2022-
2023.
4. Mengetahui hasil analisis makro Ekonomi DIY dilengkapi dengan saran yang sebaiknya
dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

C. Sasaran Tersedianya Analisis Makro Ekonomi DIY Tahun 2017-2021 dan Proyeksi Makro Ekonomi DIY
Tahun 2022-2023
D. Lokasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kegiatan

E. Sumber Pekerjaan ini dibiayai dari sumber pendanaan APBD Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
Pendanaa Anggaran 2022.
n

F. Nama dan Nama PPK :


Organisasi Satuan Kerja : Balai Penelitian, Pengembangan, dan Statistik Daerah Bappeda DIY
PPK

G. Data Data Indikator Makro Ekonomi DIY


Dasar

H. Standar Standar teknis yang digunakan :


Teknis Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY menggunakan data sekunder serta menggunakan
metode analisis statistik.
I. Studi- Analisis ICOR, PDRB, dan Makro Ekonomi DIY Tahun Sebelumnya.
Studi
Terdahulu

J. Referensi 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik;


Huku 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
m Nasional;
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
5. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia;
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi,
dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah;
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi
Pembangunan Daerah (SIPD);
8. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2007 tentang
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta;
9. Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta;
10. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2020 tentang Satu
Data Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta;
11. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 99 Tahun 2018
tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja
Balai Penelitian, Pengembangan, dan Statistik Daerah Bappeda DIY;
12. Peraturan Gubernur DIY Nomor 73 Tahun 2021 tetang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Gubernur DIY Nomor 52 Tahun 2020 tentang Standar Harga Barang dan Jasa
Daerah Tahun Anggaran 2021.

K. Ruang Data dan analisis ekonomi DIY secara makro dalam perencanaan pembangunan :
Lingkup 1. Menganalisis kondisi ekonomi 2017-2021, yang mencakup indikator makro ekonomi;
Pekerjaan 2. Menyediakan angka proyeksi indikator ekonomi DIY 2022-2023 dan analisis asumsi
yang digunakan (nilai PDRB, laju pertumbuhan ekonomi, inflasi, ICOR (Incremental
Capital Output Ratio), ketenagakerjaan, kemiskinan, Indeks Williamson (IW), Indeks
Gini);
3. Menganalisis angka proyeksi indikator makro ekonomi Kabupaten /Kota tahun 2022-
2023.
4. Hasil analisis Makro Ekonomi DIY di lengkapi dengan saran yang sebaiknya dilakukan
untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
L. Keluaran Tersusunnya Buku Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY Tahun Anggaran 2022

M. Peralatan, -
Material,
Personel
dan
Fasilitas
dari PPK
N. Peralatan Komputer dan Seperangkatnya
dan
Material
dari
Penyedia
Jasa
Konsultasi

O. Lingkup Mengumpulkan data dan menganalisis indikator makro ekonomi DIY Tahun 2017-2021 dan
Kewenang proyeksi indikator Makro Ekonomi DIY serta kabupaten/kota di DIY tahun 2022-2023.
an
Penyedia
Jasa

P. Jangka 90 Hari Kalender


Waktu
Penyelesa
in
Kegiatan

Q. Personel Posisi Kualifikasi Jumlah Orang Bulan

Ahli Madya (Team Leader) Ahli Ekonomi Makro (S2 Ilmu 1 Orang x 3 Bulan
Ekonomi dengan Tahun
Pengalaman Pekerjaan 5 Tahun)
dengan rincian pekerjaan :
a. Mengkoordinasikan keseluruhan
pekerjaan.
b. Bertanggungjawab pada analisis
data dan kesimpulan.

Ahli Muda Ahli Ekonomi Pembangunan (S2 1 Orang x 3 Bulan


Ilmu Ekonomi dengan Tahun
Pengalaman Pekerjaan 2 Tahun)
Bertanggungjawab pada
penyusunan landasan teori dan
membantu pengumpulan data.
Ahli Muda Ahli Statistik (S1 Ilmu Statistik 1 Orang x 3 Bulan
dengan Tahun Pengalaman
Pekerjaan 5 Tahun)
Bertanggungjawab pada
pengumpulan dan analisis data.

R. Jadwal
Tahapan N Februari Maret April Mei
Keterangan
Pelaksana o 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
an Pemahaman Terhadap
Kegiatan 1 KAK
2 Studi Literatur
3 Laporan Pendahuluan
4 Pengumpulan Data
5 Pengolahan Data
6 Laporan Antara
7 Analisis Data
8 Ekspose Laporan Akhir
9 Finalisasi Laporan Akhir
S. Rapat, Rapat 6 kali (25 orang)
FGD, dan FGD 1 kali (35 orang)
Ekspose Ekspose 1 kali (75 orang)

T. Laporan Laporan Pendahuluan memuat : Jadwal Rencana Kerja, Landasan Teori, Metodologi, dan
Pendahul Rencana Data.
uan Laporan harus diserahkan selambat-lambatnya : 14 (empat belas) hari kalender sejak SPMK
diterbitkan sebanyak 3 (tiga) buku laporan.
U. Laporan Laporan Pendahuluan memuat : Pendahuluan dan Analisis Sementara.
Antara Laporan harus diserahkan selambat-lambatnya : 70 (tujuh puluh) hari kalender sejak SPMK
diterbitkan sebanyak 3 (tiga) buku laporan.
V. Laporan Laporan Akhir memuat : Hasil Analisis Makro Ekonomi DIY Tahun 2017-2021.
Akhir Laporan harus diserahkan selambat-lambatnya : 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak
SPMK diterbitkan sebanyak 4 (empat) buku laporan dan 3 (tiga) keping cakram padat
(compact disc).
W. Pedoman Pengumpulan data lapangan harus memenuhi persyaratan berikut :
Pengump Mengambil data dari publikasi resmi dari instansi yang berwenang.
ulan Data
Lapangan
X. Pendekata Secara sederhana pendekatan penelitian dan metodologi yang digunakan adalah sebagai
n dan berikut :
Metodolo 1. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara.
gi 2. Data sekunder diperoleh melalui teknik pengumpulan studi dokumen, dan kebijakan-
kebijakan program penanggulangan kemiskinan serta dokumen dan bahan lain yang
terkait dengan penelitian.

Dalam mencari, menemukan serta mengumpulkan bahan dan data yang diperlukan untuk
penelitian, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah :
BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Ekonomi hijau sebagai konsep sudah lama digulirkan oleh berbagai lembaga internasional
khususnya UNEP, dan diterapkan oleh berbagai negara dengan berbagai keragamannya. Telaah
tentang ekonomi hijau di Indonesia sudah pula dilakukan oleh berbagai pihak, dan salah satunya
adalah kajian Kementerian PPN/Bappenas yang sudah diterbitkan dalam buku singkat berjudul
Ekonomi Hijau: Sintesa dan Memulainya (2012). Ekonomi hijau dalam konteks pembangunan
berkelanjutan sudah bukan hal baru, karena Indonesia telah mempertimbangkan tentang
pentingnya pembangunan berkelanjutan sejak tahun 1972, oleh Prof. Otto Sumarwoto.Berbagai
upaya sejak itu sudah dilakukan, dan dirangkum secara komprehensif dalam Buku Overview of
1
Indonesia’s Sustainable Developmen . Sebelum mulai penjabaran tentang ekonomi
hijaupemahaman dan pelaksanannya,ada baiknya kita lihat bersama mengapa pembangunan
berkelanjutan sudah saatnya untuk diterapkan secara konkrit dan sistematis.
Pertama, pembangunan berkelanjutan diperlukan karena selama ini selalu ada benturan
kepentingan antara pemanfaatan ekonomi dengan pelestarian lingkungan, dan berbagai
permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang sudah kita alami, seperti:
1. Terkurasnya sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi. Pembangunan Indonesia
secara terencana sejak awal Repelita I, yang berpedoman pada Trilogi Pembangunan
yaitu: stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, telah menghasilkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, kepentingan ekonomi untuk kesejahteraan
sangat mendominasi pembangunan di Indonesia. Sejak tahun 1970-an pemerintah
menekankan eksploitasi minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari
migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980.
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai mencapai 80% dari total
ekspor Indonesia.
Di sektor pertanian, tahun 1969 Indonesia hanya dapat memproduksi beras sebanyak 12,2
juta ton, pada tahun 1984 Indonesia sudah dapat menghasilkan 25,8 juta ton beras, dan
pada saat ini produksi beras sudah mencapai 30 juta lebih. Ini merupakan prestasi besar,

3|Page
namun peningkatan produksi ini juga diikuti dengan masalah lingkungan yang disebabkan
oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara terus menerus dan berlebihan,
sehingga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Pemakaian bibit unggul untuk mengejar
produksi juga telah mendorong kepunahan beberapa varietas padi lokal.
2. Berkurangnya kemampuan lingkungan dalam menetralisir bahan-bahan pencemar juga
terjadi, yang antara lain ditunjukkan oleh status kualitas air sungai di Indonesia. Saat ini,
sekitar 75 persen dari jumlah titik pantau terhadap 411 sungai di Indonesia memiliki
status tercemar berat. Secara alami sungai-sungai yang ada sudah tidak dapat menetralisir
limbah yang ada di sungai, dan bahkan jenis-jenis biota yang membantu proses
penguraian limbahpun sudah mati (KLH, 2013)
3. Deforestasi hutan, laju kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat sejak era tahun
1970an. Sampai saat ini, hutan masih menjadi sasaran eksploitasi ekonomi, tidak hanya
pada hutan produksi namun juga perambahan pada hutan konservasi dan hutan lindung
yang masih terjadi. Kelemahan akurasi pemetaan dan penerapan di lapangan, lambatnya
proses penyelesaian tata ruang serta lemahnya penegakan hukum mempercepat
deforestasi hutan.
4. Eksploitasi sumber daya mineral dan laut yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan
juga terjadi.Ekosistem laut mengalami degradasi, karena penangkapan yang melebihi
daya tumbuh maupun penangkapan sumberdaya perikanan (terutama tuna, cakalang, dan
kakap laut dalam) secara ilegal oleh nelayan asing. Wilayah pesisir dan laut yang padat
penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, seperti sebagian kawasan Selat
Malaka, Pantai Utara Jawa, Ujung Pandang, dan pesisir Timika telah mengalami
degradasi/tekanan lingkungan berupa pencemaran; overfishing; degradasi fisik habitat.
Dari luas terumbu karang yang ada di Indonesia, diperkirakan hanya 7 persen terumbu
karang yang kondisinya sangat baik, 33 persen baik, 46 persen rusak dan 15 persen
lainnya kondisinya sudah kritis (KLH, 1996). Hingga tahun 2000-an, ekosistem
mangrovetelah hilang berikut keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Kedua, dalam sepuluh tahun terakhir, Pemerintah sudah menempuh strategi
pembangunan pro-growth, pro-job, pro-poor,pro-environment.Namun pelaksanaan keempat
strategi tersebut belum berjalan seimbang, dan keterpaduan terutama strategi pro-lingkungan ke
dalam strategi pertumbuhan, penurunan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja belum
terjadi. Setelah keluarnya UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
4|Page
lingkungan hidup telah terjadi banyak kemajuan dalam penetapan standar kualitas pencemaran
lingkungan namun penegakan hukum masih terkendala. Kesadaran lingkungan dalam kehidupan
sehari-hari maupun kegiatan ekonomi juga masih rendah. Masalah lingkungan masih menjadi
faktor exogenousyang harus diatasi, bukan dampak yang sebetulnya dapat dicegah dalam setiap
langkah kehidupan. Keterpaduan ini yang sangat perlu diterapkan mulai saat ini, dan bukan
mengatasi dampak yang semakin sulit dikendalikan.
Ketiga,sebagai negara yang memasuki negara berpendapatan menengah (middle income
country), Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan dari sektor sumberdaya alam
primer, namun sudah harus menginjak pada sektor sekunder yang memiliki nilai tambah
tinggi.Penekanan pada nilai tambah tinggi ini diperlukan untuk menopang tingkat pertumbuhan
yang terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat yang juga semakin
tinggi kesejahteraannya.Peningkatan nilai tambah tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tidak akan dapat dipenuhi pemanfaatan sektor primer yang semakin terbatas ruang dan
kapasitasnya. Konsumen menengah ke atas juga memerlukan barang dan jasa yang semakin
besar, semakin beragam, dan menuntut kualitas bagus. Apabila perekonomian Indonesia,
terutama sektor produksi tidak mengikuti kebutuhan konsumen, maka akan semakin banyak
kebutuhan harus dipenuhi dari negara lain/impor. Dengan demikian, apabila kita tidak dapat
membangun keseimbangan antara dinamika dan tingkat konsumsi dengan sektor produksi, maka
peningkatan status ekonomi negara tidak akan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Keempat, dengan semakin majunya tingkat kualitas masyarakat tercermin pada tingkat
pendapatan dan juga kapasitas SDM.Pada saat ini semakin tersedia tenaga terdidik yang
memerlukan jenis pekerjaan dan profesi yang berkaitan dengan sektor modern (sekunder) dan
sektor yang berbasis pengetahuan (knowledge base sector). Kondisi ini memerlukan sektor
sekunder dan tersier yang lebih “sophisticated” dan supply of services yang sesuai selera
masyarakat yang semakin tinggi. Sektor ini akan terbangun karena permintaan masyarakat yang
pendapatannya semakin tinggi. Apabila kita tidak membangun supply sektor ini, pemenuhan
kebutuhan sektor jasa ini akan dipenuhi oleh tenagaasing, dan sebagai akibatnya SDM terdidik
kita tidak mendapat tempat (menganggur). Ekonomi hijau perlu dibangun untuk memenuhi
kebutuhan konsumen akan sektor produksi, baik primer, sekunder maupun tersier dan sekaligus
menampung lulusan dan tenaga kerja yang semakin terdidik (dan sudah tidak mau bekerja di

5|Page
sektor primer).Fenomena pengangguran muda dan terdidik merupakan indikasi kearah
ketidakseimbangan ini.
Dengan keempat alasan tersebut, Indonesia sudah harus menginjak pada pembangunan
berkelanjutan secara konkrit dan mengembangkan ekonomi hijau yang mengandalkan pada
efisiensi sumberdaya dan struktur ekonomi yang lebihramah lingkungan. Dalam kaitan ini, dalam
berbagai skala dan tingkatan, Indonesia telah melakukan berbagai langkah konkrit yang
dikategorikan kepada ekonomi hijau, baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat, namun
masih lambat (berpacu dengan degradasi lingkungan hidup dan pertumbuhan kebutuhan yang
terus terjadi) serta belum merupakan langkah yang dapat memberikan hasil signifikan.

1.2. Tujuan

Penyusunan Buku Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Ekonomi Hijau (Green


Economy)bertujuan untuk: (a) Memberikan kerangka konsep ekonomi hijau yang dapat ditempuh
Indonesia secara bertahap dalam langkah jalur pembangunan berkelanjutan; (b) Memberikan
rujukan untuk pengembangan pelaksanaan ekonomi hijau disetiap sektor, dan langkah
selanjutnya.

6|Page
BAB II. EKONOMI HIJAU

2.1. Kerangka Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sesuai dengan UNEP memiliki 3 pilar utama, yaitu pilar atau
dimensi sosial, pilar ekonomi dan pilar lingkungan hidup.Di dalam ketiga pilar ini, Indonesia
sudah sangat maju tidak hanya dalam kebijakan namun juga capaian dalam pembangunan
sosial.Hal ini tercermin pada langkah panjang untuk membangun antara lain pada bidang
kependudukan, pendidikan, kesehatan. Sebagian besar capaian ini tercermin pada proses dan
capaian pembangunan milenium (MDG) Indonesia. Pada bidang ekonomi sudah terbukti dengan
capaian kemantapan Indonesia dalam mempertahankan tingkat perumbuhan ekonomi dalam
sepuluh tahun terakhir, di tengah-tengah berbagai masalah ekonomi yang terjadi di negara
maju.Pada pilar lingkungan sudah banyak langkah-langkah yang dicapai, namun masih
terkendala dan merupakan langkah terpisah dari kedua pilar lainnya. Pilar ini masih perlu
dibangun dan dipadukan (internalisasikan) ke dalam pilar sosial dan ekonomi untuk penerapan
pembangunan berkelanjutan yang seimbang. Indonesia harus menjadikan pembangunan pilar
lingkungan secara terpadu ini, dan terutama internalisasinya ke pilar ekonomi sebagai peluang
untuk meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi namun tetap berwawasan lingkungan (Gambar
2.1).
Pembangunan berkelanjutan yang dalam dokumen Our Common Futureyang diterbitkan
pada tahun 1987 didefinisikan sebagai: “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya”. Di dalam Gambar 2.1., kerangka (pilar dan komponen) pembangunan
berkelanjutan, perlu didukung dengan pilar tata kelola (governance). Tata kelola yang biasa,
tidak memberi ruang terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan, sehingga tidak akan
memfasilitasi adanya internalisasi dan keterpaduan penerapan 3 pilar pembangunan
berkelanjutan.
Pelaksanaan pilar sosial sudah tercermin pada ukuran dan indikator penilaiannya dalam
Milenium Development Goals (MDGs) yang sudah mulai dikembangkan sejak 2000. Namun
demikian intermediasi perilaku ramah lingkungan boleh terjadi pada pilar ini. Pilar ekonomi

7|Page
dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dapat diukur dari pola produksi dan konsumsi
dalam perekonomian hijau suatu negara.Sementara pilar lingkungan harusnya tercermin dalam
ukuran atau indikator lingkungan dan keanekargaman hayati. Index kualitas lingkungan bersih
selama ini masih dilakukan secara parsial. Selanjutnya, faktor-faktor enabler atau lingkungan
pendukung yang terkait dengan tata kelola juga menjadi perhatian penting. Faktor pendukung ini
meliputi: adanya lembaga yang mendukung penerapan pembangunan berkelanjutan, tata kelola
dan kapasitas baik individu maupun komunitas dan pemerintah, swasta dan seluruh pihak.
Dalam kaitan dengan kerangka tersebut di atas, Buku ini mencoba membedah komponen
dalam kerangka pengembangan pembangunan berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh berbagai pihak khususnya pada pilar ekonomi, serta
mengidentifikasi arah ke depan yang sesuai untuk Indonesia.

an internasional PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek Sosial Aspek Lingkungan Aspek Lingkungan


Aspek Ekonomi
1. Pemerataan 1. Atmosfir 1. Kerangka
1. Struktur Ekonomi
2. Kesehatan 2. Tanah Kelembagaan
2. Pola Konsumsi
3. Pendidikan 3. Pesisir dan Laut 2. Kapasitas
dan Produksi
4. Keamanan 4. Air Bersih
5. Perumahan 5. Keanekaragaman
6. Kependudukan Hayati
Ekonomi Hijau Tata Kelola

MDG

Lingkungan dan
Keanekaragaman

Kelem
Kelemahan 1: aspek lingkungan belum
berkembang seperti pilar sosial dan
ekonomiÆ ukuran dan indikator
Kelemahan 2: valuasi aspek lingkungan
dan internalisasi ke dalam pilar ekonmi
dan sosial

Gambar 2.1. Lingkaran Langkah Pembangunan Berkelanjutan

8|Page
2.2. Tinjauan Singkat Pelaksanaan 3 (tiga) Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Sejauh mana Indonesia sudah menerapkan dan mencapai aspek-aspek yang merupakan
komponen dari masing-masing pilar dapat kita bedah satu persatu.
Pilar Sosial.Pilar sosial yang meliputi antara lain pemerataan, kesehatan, pendidikan,
keamanan, perumahan dan kependudukan sudah berkembang dengan pesat, terutama pada bidang
kesehatan, pendidikan dan kependudukan.Indonesia sudah secara serius dan sistematis
melakukan pembangunan aspek-aspek ini dalam rangka membangun sumberdaya manusia
Indonesia yang sehat dan tangguh.Dalam berbagai hal, capaian pembangunan dalam dimensi
sosial ini tercermin pada pencapaian MDG yang juga sudah terefleksi dan ada di dalam rencana
pembangunan nasional.
Sesuai dengan Laporan MDG 2011, capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi
tiga.Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai.Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan
bermakna signifikan dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015.Ketiga, tujuan
yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: (i) MDG 1, yaitu proporsi penduduk
dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari; (ii) MDG 3, yaitu rasio
APM perempuan terhadap laki-laki SMA/MA/Paket C dan rasio angka melek huruf perempuan
terhadap laki-laki umur 15-24 tahun; dan (iii) MDG 6, yaitu pengendalian penyebaran dan
penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (TB). Pencapaian ini diindikasikan oleh angka
kejadian dan tingkat kematian, serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan
disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course/DOTS (Gambar 2.2.)

9|Page
•MDG 1, proporsi penduduk dengan pendapatan
kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari.
•MDG 3, Rasio perempuan terhadap laki-laki di
tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi; dan
rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki
umur 15-24 tahun.
•MDG 6, angka kejadian, prevalensi dan tingkat
kematian, serta proporsi jumlah kasus tuberkulosis
yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam
program Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS).
•MDG 8, Proporsi penduduk yang memiliki telepon
seluler

6
Sumber : Laporan MDG 2011, Kementrian PPN/ Bappenas

Gambar 2.2. Target MDG yang sudah tercapai

Selanjutnya, pencapaian tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan


dan diharapkan dapat tercapaipada tahun 2015 (on-track) adalah: (i) MDG 1, yaitu terdapat
kemajuan yang sangat besar dari indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang
berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi
balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi; (ii) MDG 2, yaitu APM SD, proporsi murid
kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek huruf penduduk usia 15-24
tahun, perempuan dan laki-laki yang semuanya sudah mendekati 100 persen; (iii) MDG 3, yaitu
rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B, dan pendidikan
tinggi yang hampir mendekati 100 persen serta kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di
sektor nonpertanian, dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR yang meningkat; (iv)
MDG 4, yaitu penurunan yang sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal, bayi, dan
balita serta proporsi anak usia 1 tahun yang mendapat imunisasi campak yang meningkat pesat;
(v) MDG 5, yaitu berupa peningkatan angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah
dengan menggunakan cara modern, penurunan angka kelahiran remaja perempuan umur 15-19
tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan penurunan
kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need); (vi) MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran
dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa peningkatan proporsi penduduk
terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV).

10 | P a g e
Seelain itu, peengendalian penyebaran dan mulai menurunkann jumlah kaasus baru maalaria
yang diiindikasikan oleh penin
ngkatan pro
oporsi anakk balita yaang tidur ddengan kelaambu
berinsekttisida belum memadai un unkan jumlahh kasus baruu malaria; (vvii) MDG 7, yaitu
ntuk menuru
berupa penurunan ko
onsumsi bah
han perusak ozon, propoorsi tangkappan ikan yanng tidak mellebihi
batas bio
ologis yang
g aman, seerta rasio lu
uas kawasaan lindung untuk mennjaga kelesttarian
keanekaragaman hay
yati terhadap
p total luas kawasan huutan dan rasiio kawasan lindung perrairan
terhadap total luas perairan
p teriitorial yang keduanya meningkat; (ix) MDG 8, yaitu beerupa
keberhasiilan pengem
mbangan sisteem keuangan
n dan perdaggangan yangg terbuka, beerbasis peratturan,
dapat dip
prediksi dan tidak diskrim
minatif yang
g diindikasikkan oleh rasiio ekspor daan impor terhhadap
PDB, rasio pinjaman
n terhadap simpanan di bank
b umum, dan rasio ppinjaman keerhadap simppanan
di BPR yang
y semuan kat pesat. Selain itu jugga keberhasiilan dalam m
nya meningk menangani uutang
untuk dap
pat mengelo
ola utang dallam jangka panjang
p yanng diindikasiikan oleh rassio pinjamann luar
negeri terrhadap PDB
B dan rasio pembayaran
p pokok utanng dan bungga utang luarr negeri terhhadap
penerimaaan hasil ek
kspor yang menurun tajam. Kebeerhasilan sellanjutnya addalah dalam
m hal
pemanfaaatan teknologi informasii dan komun
nikasi, yang diindikasikaan oleh peniingkatan prooporsi
penduduk
k yang memiliki jaringan
n telepon tettap dan teleppon seluler (G
Gambar 2.3..)

Sumber : Laporan MDG 2011, Kemeentrian PPN/ Bappenas


Gambarr 2.3. Targett MDG diperrkirakan akaan “on track”” tahun 20155
11 | P a g e
Sementara itu, pencapaian tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan
namun masih diperlukan kerja kerasuntuk mencapainya adalah: (i) MDG 1, yaitu berupa
penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
nasional; (ii) MDG 5, yaitu berupa penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup; (iii) MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah
kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom
pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang
memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan
menikah dan belum menikah; (iv) MDG 7, yaitu berupa rasio luas kawasan tertutup pepohonan,
jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah
tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar
layak di perkotaan dan perdesaan; (v) MDG 8, yaitu berupa peningkatan proporsi rumah tangga
dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai (Gambar 2.4.)

Target MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras :
• MDG 1, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, Proporsi
penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum 1400 kkal/kapita/hari
dan 2000 kkal kkal/kapita/hari

• MDG 5, angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, Angka pemakaian kontrasepsi
(CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun saat ini, cara modern, angka kelahiran
remaja perempuan umur 15-19 tahun per 1000 perempuan usia 15-19 tahun, kebutuhan KB
yang tidak terpenuhi (unmet need)
• MDG 6, prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi,
dan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang
HIV dan AIDS, dan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida
• MDG 7, rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer
per kapita, elastisitas energi, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap
sumber air minum layak di perdesaan, dan proporsi rumah tangga dengan akses
berkelanjutan terhadap sanitasi dasar layak di perdesaan.
• MDG 8, peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan
komputer pribadi.

Sumber : Laporan MDG 2011, Kementrian PPN/ Bappenas

Gambar 2.4. Target MDG memerlukan kerja keras untuk dicapai tahun 2015

Dengan pencapaian target-target tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah
menjalankan pilar sosial dengan sistematis dan berhasil dengan baik.Tantangan bagi Indonesia
adalah meningkatkan pencapaian target MDG di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang masih
12 | P a g e
sangat beragam dibanding dengan pencapaian tingkat nasional tersebut. Sehubungan dengan itu,
Indonesia juga sudah menyusun Roadmap Percepatan Pelaksanaan MDG, agar pada akhir tahun
2015 seluruh target yang direncanakan dapat dicapai dan capaian di tingkat provinsi serta
kabupaten/kota dapat ditingkatkan. Tantangan lain adalah, bagaimana pembangunan dalam
bidang ekonomi di pilar ini memperhatikan dan ikut mengatasi masalah lingkungan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pilar Ekonomi.Dalam bidang ekonomi, Indonesia sudah mengalami tingkat pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi. Sejak era tahun 70an dan 80an pertumbuhan Indonesiadapat mencapai
sekitar 8 persen per tahun, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1989 mencapai 7,46 persen
(Stephanie,2007) sementara 5 tahun terakhir yang masih menunjukkan tingkat pertumbuhan 5-6
persen per tahun. Tingkat pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir merupakan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang relatif kuat dibanding dengan pertumbuhan yang terjadi di berbagai negara maju
yang sedang mengalami resesi ekonomi.
Tingkat pertumbuhan yang kontinyu dan relatif stabil ini telah berhasil menurunkan
tingkat pengangguran dari sebesar 10,86persen pada tahun 2004, menjadi sebesar 5,9persen pada
tahun 2013. Sementara itu, tingkat kemiskinan (garis kemiskinan nasional) yang pada tahun 2004
sebesar 16,6persen, pada tahun 2013 sudah dapat menurun menjadi sebesar 11,37persen.
Meskipun, penurunan tingkat kemiskinan ini masih disertai dengan tingkat pemerataan yang
relatif tinggi yaitu sebesar 0,33, yang bahkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 0,4 (koefisien
Gini). Tingginya pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan dan perluasan kesempatan
kerja tersebut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara dalam kelompok negara G-20.
Demikian pula Indonesia juga sudah masuk dalam Negara berpendapatan menengah, meskipun
masih pada tingkat awal/bawah.
Namun demikian, prestasi ekonomi ini juga diiringi dengan degradasi lingkungan hidup,
yang ditunjukkan oleh: (i) penurunan luasan dan degradasi hutan konservasi dan hutan lindung,
yang banyak dimanfaatkan untuk perluasan pertanian terutama perkebunan, serta perkembangan
provinsi dan kabupaten baru akibat pemekaran wilayah; (ii) tumbuhnya desa menjadi kota
kecamatan dan kota-kota baru sebagai akibat urbanisasi, juga menumbuhkan banyak
permukiman serta meluasnya industri-indutri baru, yang telah menurunkan porsi kawasan hijau
dan teralihkannya fungsi lahan-lahan sawah; (ii) Penurunan kondisi dan kualitas lingkungan
hidup yang disebabkan masih terkendalanya penerapan dan penegakan hukum atas standar
kualitas lingkungan. Hal ini tercermin pada indikator lingkungan hidup IKLH yang pada tahun
13 | P a g e
2009masih pada kisaran 59,79. Indikasi lain adalah semakin banyaknya konflik yang berkaitan
dengan pengelolaan limbah yang belum tertangani dengan baik, serta adanya flora dan fauna
yang terdegradasi karena habitatnya termanfaatkan untuk pertanian dan permukiman.
Kondisi ini tentu saja tidak dapat dibiarkan terus menerus.Adanya UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah diterapkan dalam berbagai
bentuk perijinan dan peraturan.Sebagai contoh adanya sanksi terhadap orang yang melakukan
usaha/kegiatan tanpa memiliki ijin lingkungan.Namun demikian, kondisi lingkungan hidup
sebagaimana tercermin pada IKLH masih cukup rendah, sehingga nampak adanya
ketidakseimbangan antara pemanfaatan lingkungan hidup dengan pelestarian lingkungan hidup.
Apabila hal ini dibiarkan, maka akan dapat menganggu keberlanjutan fungsi lingkungan hidup
yang berarti juga keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan/pertumbuhan ekonomi.
Bahkan apabila tidak serius ditangani akan mengganggu kelangsungan daya dukung alam dan
lingkungan hidup untuk kehidupan kita semua.
Pilar Lingkungan Hidup.Dibandingkan dengan perkembangan pilar sosial dan
ekonomi,pilar lingkungan masih memiliki beberapa kelemahan/kekurangan.
Kelemahan/kekurangan pertama adalah: belum dilaksanakannyapengaturan dan penegakan
pencemaran lingkungan dengan baik. Di dalam pembangunan, pengendalian lingkungan masih
dilakukan secara “parsial” sebagai sendiri dan belum menjadi “faktor” yang dipertimbangkan
dalam membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena pembangunan lingkungan belum memiliki
ukuran dan indikator yang “established” sebagaimana pembangunan pada pilar/dimensi sosial
dan ekonomi, sehingga masih merupakan upaya “parsial” pilar lingkungan. Dalam beberapa
kurun waktu pembangunan, telah disusun berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup, namun kelengkapan instrumen penerapannya masih
banyak yang dalam proses.Selain itu, kapasitas pemantauan kualitas lingkungan belum dapat
menegakkan standar lingkungan yang sudah ditetapkan melalui berbagai peraturan. Selanjutnya,
langkah penerapan dan penegakan belum disesuaikan dengan sistem desentralisasi pembangunan,
sehingga masih perlu direvitalisasi, terutama keterkaitan antara lembaga pengelolaan dan
pengendalian di pusat dan di daerah.Hal-hal tersebut sangat penting dengan semakin
meningkatnya kompetisi penggunaan ruang serta sumberdaya air dan udara bersih.
Kelemahan/kekurangan kedua adalah, penerapan berdasar peraturan dan standar saja
tidak cukup untuk dapat memaksa pelaku ekonomi untuk mematuhi dan menginternalisasikan
urusan lingkungan hidup ke dalam kegiatan mereka.Penerapan standar lingkungan memang
14 | P a g e
memerlukan biaya tambahan bagi pelaku ekonomi, dibanding dengan biaya yang tidak
memperhatikan pengelolaan limbah yang ditetapkan dalam peraturan. Sehingga perusahaan
memilih tidak menerapkan atau tidak sepenuhnya menerapkan pengelolaan limbah yang baik;
apalagi tidak ada sanksi hukum baik perdata ataupun pidana yang berhasil dikenakan. Dengan
demikian, dampak perilaku mereka terhadap lingkungan telah berengaruh terhadap lingkungan
sekitar tempat usaha maupun aliran air dan udara, sehingga dampaknya luas. Dampak inilah
yang sudah dirasakan masyarakat, dan semakin “compact”nya ruang hidup, maka intensitas
dampak limbah semakin dirasakan. Perhitungan finansial dan ekonomi dari dampak inilah yang
belum diperhitungkan dalam biaya produksi.Dengan kata lain, perilaku dan biaya produksi
pelaku ekonomi saat ini belum memperhitungkan biaya lingkungan (dampak limbah dan
kerusakan alam) yang ditanggung pihak lain yaitu masyarakat luas.
Untuk dapat “memaksa” kegiatan ekonomi menginternalkan dampak yang ditanggung
oleh “orang lain/masyarakat” dari kegiatan mereka terhadap lingkungan hidup, maka instrumen
standar (teknis) perlu dilengkapi dengan instrumen ekonomi.Dampak kegiatan ekonomi terhadap
lingkungan hidup perlu dievaluasi nilai finansial dan keekonomiannya; dan internalisasi/mitigasi
dampak kegiatan ekonomi pada lingkungan juga perlu dibentuk dalam instrumen “finansial”
(nilai uang) ke dalam perhitungan biaya produksi dan penggunaan ruang dan sumberdaya alam.
Dengan langkah ini maka akan dapat dibandingkan antara dampak finansial (dan bahkan)
ekonomi dengan rusaknya lingkungan serta biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan (apabila
dapat) dengan manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi/keuntungan pelaku usaha dari
pemanfaatan sumberdaya alam yang merusak lingkungan tersebut.
Demikian pula, pembangunan infrastruktur juga masih belum memperhitungkan dampak
terhadap lingkungan dan akhirnya keberadaan fungsi infrastrukur itu sendiri. Berbagai jalan
dibangun dengan menempati daerah resapan air atau permukiman yang berada di sempadan
sungai. Pada waktu tertentu, infrastruktur dan permukiman tersebut terendam air, karena
memang daerah tersebut adalah resapan air. Frekuensi dan intensitas rendaman air pada akhirnya
memaksa jalan tersebut ditingkatkan menjadi jalan layang. Demikian pula, permukiman
seharusnya dipindahkan karena sudah tidak nyaman bagi masyarakatnya, meskipun ini sulit
dilakukan secara sosial dan ekonomi. Akhir-akhir ini kondisi seperti inilah yang semakin
dirasakan.
Hal-hal tersebut di atas, sebetulnya merupakan cerminan dari belumterjaganya
keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam dan ruang alam dengan pelestarian fungsinya.
15 | P a g e
Apalagi penegakan aturan dan konsekuensi hukum belum intensif ditegakkan.Sehingga
perkembangan ekonomi dan perkembangan kualitas lingkungan hidup sering berada pada ujung
yang berseberangan.Dengan tidak adanya indikator terukur dan nilai dampak lingkungan, maka
tidak ada instrumen untuk “kesepamahaman” antara bahasa kualitas lingkungan yang kualitatif
(baik atau buruk saja) dengan bahasa ekonomi yang berbicara dengan ukuran angka dan nilai
uang (berapa).

2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan dan Perkembangan


Pembangunan Pilar Lingkungan Hidup

Pembangunan berkelanjutan telah tercantum di dalam RPJPN 2005-2025 sebagai salah


satu misi pembangunan jangka panjang, yaiu visi ke-6 Indonesia Asri dan Lestari.
Misi "Mewujudkan Indonesia asri dan lestari" dilaksanakan melalui: (i) Memperbaiki
pengelolaan, pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan; (ii) Keberadaan dan kegunaan sumber daya alam
lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan dalam
kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang serasi antara
penggunaan untuk permukiman,kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi,
meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang
berkesinambungan; (iii)memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan keindahan dan kenyamanan
kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
sebagai modal dasar pembangunan."

Selanjutnya, di dalam RPJMN 2010-2014, telah dijabarkan ke dalam 2 langkah konkrit: (i)
pembangunan berkelanjutan dijadikan sebagai pengarusutamaan pembangunan; (ii) perubahan
iklim sebagai program lintas bidang. Sebagai arus utama pembangunan, maka berarti setiap
bidang pembangunan perlu menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu efisiensi
dalam penggunaan sumberdaya dan memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Namun
demikian, dengan belum adanya ukuran yang dapat menunjukkan tingkat penerapan prinsip
keberlanjutan pada suatu bidang pembangunan ini, maka proses pengarusutamaan masih belum
konkrit.
Sementara itu, program lintas bidang perubahan iklim sudah lebih jelas dan
konkrit.Sebagaimana diperkirakan, bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh adanya
pemanasan global telah dirasakan pengaruhnya terhadap perubahan cuaca dan iklim, yang

16 | P a g e
berpengaruh pada sektor pertanian, khususnya dalam rangka mengamankan produksi pangan
pokok serta pengaruhnya pada nelayan dan pada perikanan tangkap. Dampak lain adalah
semakin sering timbulnya bencana banjir dan kekeringan.
Untuk mengatasi dan menghadapi hal-hal tersebut, telah dirumuskan kegiatan yang
bersifat pencegahan (mitigasi) dan bersifat penyesuaian (adaptasi) dengan perubahan
iklim.Sehubungan dengan itu, di dalam RPJMN 2010-2014 telah terdapat matriks kegiatan lintas
bidang untuk perubahan iklim.

2.4. Tahapan Ekonomi Hijau dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan prinsip pembangunan yang berlaku jangka


panjang. Yang membedakan penerapan dari tahun tertentu ke tahun berikutnya adalah
penerapannya secara konkrit dan bertahap. Pentahapan diperlukan karena tingkat kesiapan dari
masyarakat dan juga kesiapan instrumen penerapan. Pentahapan juga diperlukan agardapat fokus
dan mengukur kemajuan hasil penerapan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan penerapan pada saat ini dan kemungkinan pelaksanaan dalam tahun-tahun
berikutnya dan ke depan, maka penerapan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan secara
bertahap, sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.5. berikut.

17 | P a g e
 






 ###### 
 
 
 !

 """"" 
  





$


 •  %


 •  

 • 
•  
 • 

  


  




  

 

&#  '&*+&& &# >? &+@


 ,-  C J% • <  C

*#  ;&*+&& *# 


 !

<=

 
 ?

!

 



%>N 
 • RightPricing
 N#

Gambar 2.5. Pentahapan penerapan Pembangunan Berkelanjutan yang dapat


ditempuh Indonesia

Bagi Indonesia, penerapan prinsip hijau/ramah lingkungan/berkelanjutanyang


disusunsecara sistematis adalah langkah penurunan emisi GRK. Berdasarkan komitmen Presiden
untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen(pada tahun 2020) yang disampaikan pada tahun
2009, sudah dijabarkan ke dalam kerangka pelaksanaan. Untuk pelaksanaan di tingkat nasional,
pada tahun 2011 telah berhasil dirumuskan penjabaran komitmen penurunan emisi dalam bentuk
Peraturan Presiden Nomor 61/2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN GRK). Perpres ini diiringi pula dengan Peraturan Presiden Nomor 71/2011 tentang
Inventarisasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.Kerangka penerapan pembangunan rendah
emisi GRK terutama identifikasi kegiatan dan langkah pengukuran penurunannya juga sudah
disusun untuk tingkat provinsi.

18 | P a g e
Pengendalian pencemaran lahan dan air juga perlu dilakukan dan melakukannya secara
sistematis sebagaimana langkah penurunan emisi GRK. Pada saat ini pencemaran air dan lahan
memiliki berbagai substansi pencemar untuk dapat dimonitor. Dengan banyaknya
substansipencemaran, sampai saat ini belum ada alat dan cara pengukuran terpadu serta
mewakili/representatifdari seluruh wilayah Indonesia. Pada masa lalu keberadaan Bapedalda
masih sangat mendukung pelaksanaan pemantauan dan pengendalian pencemaran lingkungan
hidup. Dengan adanya desentralisasi, Bapedal dan Bapedalda sudah tidak ada lagi. Pemantauan
pencemaran lingkungan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kantor
Ekoregion yang ada di 6 wilayah dan bertempat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua,
Maluku, Bali+Nusa Tenggara. Sementara itu, pengendalian pencemaran dan peningkatan
kualitas di daerah dilakukan oleh BPLH di provinsi dan BPLHD di tingkat kabupaten/kota.
Sehubungan dengan itu, BPLH/D inilah yang bertanggungjawab untuk memantau pencemaran
lingkungan di wilayahnya, apalagi dengan adanya desentralisasi, ijin investasi juga dikeluarkan
oleh Pemda. Dengan demikian, diperlukan satu kesatuan sistem pemantauan pencemaran dan
pengawasan kualitas lingkungan dan kapasitas yang memadai di daerah-daerah, agar
pengendalian pencemaran termasuk penegakan hukum bagi pelanggar dapat ditegakkan.
Untuk membiayai kegiatan ini, sudah dialokasikan DAK Lingkungan Hidup yang dapat
digunakan untuk penyediaan peralatan pemantauan pencemaran lingkungan. Namun DAK ini
tidak dapat digunakan untuk kegiatan non fisik, sehingga sejak 3(tiga) tahun lalu, mulai
dialokasikan dana dekonsentrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk melengkapi
pendanaan pemantauan kualitas lingkungan hidup. Akan tetapi upaya ini masih memerlukan
adanya sistem dan kapasitas lembaga serta kapasitasmanusianya dengan baik, sehingga sistem
pemantauan pencemaran lingkungan hidup secara sinergi dan terpadu dari seluruh wilayah
Indonesia dapat dilakukan.
Tahap berikutnya adalah membentuk ekonomi hijau. Dalam seminar “Application of
green economy strategy for sustainable forest development” tanggal 24 april 2013 lalu,
beberapa pemateri mendefinisikan green economydari UNEP (2011):

“is one that results in improved humanwell-being and social equity, while significantly
reducing environmental and ecological scarcities. It is low carbon, resourceefficient, and
socially inclusive”.

19 | P a g e
Interpretasi lebih lanjut menghasilkan pengertian ekonomi hijau adalah; “ekonomi yang terus
tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan
perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta
mengutamakan keadilan sosial.
Dalam batasan tersebut secara implisit tertuang beberapa ciri ekonomi hijau, yakni : (i)
peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapanganpekerjaan pada
sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumberdaya yang
digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dantingkat polusi per GDP yang
dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkansampah (decrease in wasteful
consumption).
Sehubungan dengan itu, selain menerapkan pola konsumsi dan produksi
berkelanjutan/SCP maka green economydisertai pula adanya struktur ekonomi yang sudah lebih
efisien dan bersih. Efisiensi yang diperoleh pada tingkat industri adalah penggunaan bahan yang
bersih dan efisien untuk menghasilkan output lebih banyak. Efisiensi dari tingkat lebih besar
yaitu ekonomi negara adalah pada semakin meningkatkan komposisi sektor sekunder atau biasa
disebut sektor pengolahan/manufaktur dan komposisi semakin menurun pada sektor-sektor
primer yang bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Unsur/komponen penting lain dari
ekonomi hijau adalah adanya peluang baru dengan terbentuknya atau berkembangnya sumber-
sumber ekonomi baru yang ramah lingkungan/hijau.

Langkah-langkah di atas tentu saja memerlukan unsur pendukung seperti adanya proses
pengadaan hijau/ramah lingkungan; pendanaan yang hijau dll. Hal tidak kalah penting adalah
masalah “right pricing” yaitu penetapan hargayang tepat, artinya dampak kegiatan terhadap
lingkungan perlu dihitung dalam proses produksi dan harga barang; dan/atau sebaliknya harga
yang tidak memperhitungkan nilai dampak negatif yang dibebankan kepada masyarakat berarti
bukan harga yang sebenarnya. Sebagai contoh: harga BBM seharusnya lebih tinggi dari harga gas
karena gas tidak menghasilkan emisi GRK sementara BBM menimbulkan emisi GRK.

Tahap berikutnya adalah penerapan proses produksi dan konsumsi secara berkelanjutan.
Ini merupakan langkah internalisasi pengendalian dampak terhadap lingkungan sejak masa
proses kegiatan. Dengan kata lain, proses konsumsi masyarakat juga harus sudah memikirkan
dan mencegah segala dampak konsumsi/limbah yang dihasilkan dari konsumsi mereka terhadap
alam. Demikian pula proses produksi yang selama ini belum secara benar dan intensif
20 | P a g e
mengendalikan dampak limbah terhadap alam dan lingkungan, harus sudah memilih bahan,
mengelola limbah dan/atau menggunakan teknologi yang efisien menggunakan bahan dan
menghasilkan limbah yang rendah.

2.5. Penurunan Emisi GRK.

Sebagai tindak lanjut dari komitmen untuk penurunan emisi GRK, dalam 2 tahun setelah
keluarnya komitmen, disusun kerangka pelaksanakan penurunan emisi. Di tingkat nasional, dapat
disepakati rumusan langkah-langkah penurunan emisi yang dituangkan dalam Perpres No.
61/2011. Di dalam Perpres tersebut dijabarkan komitmen penurunan emisi GRK ke dalam aksi-
aksi/kegiatandi 5 (lima) sektor utama yaitu: sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor pertanian,
sektor energi dan transportasi, sektor industri dan sektor (pengelolaan) limbah (Gambar 2.5).

Langkah penurunan emisi GRK ini disepakati oleh K/L penanggungjawab dan sudah
dimasukkan ke dalam RPJMN 2010-2015. Dengan kata lain, kegiatan akan dilaksanakan dalam
rencana kerja pemerintah dan masuk dalam kegiatan pembangunan dan pendanaan pembangunan
setiap tahunnya. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan penurunan emisi ini, juga dibentuk Tim
Koordinasi Perubahan Iklim yang diketuai oleh Wamen PPN/Bappenas dan beranggotakan
pejabat K/L yang menjadi pelaksana kegiatan/aksi penurunan emisi GRK. Mengingat di K/L juga
mempunyai Tim Perubahan iklim, maka Ketua Tim perubahan iklim menjadi ketua Pokja di
dalam Tim Koordinasi, dengan demikian ada keterkaitan erat pelaksanaan penurunan emisi GRK
di tingkat K/L dengan aksi keseluruhan agar ada keselarasan dan koordinasi yang baik.

21 | P a g e
Komitmen Presiden
P
Di Perttemuan G-20 Pitttsburgh and CO
OP15
Untuk Meenurunkan Emisii GRK pada tahun n 2020

26%
26
6% Dengan upaya
4
41 senddiri
% +
dukuung
Upaya
sendiri 15%

Instruksii Presiden No.


Instruksi Presiiden No. 71/201
11
611/2011
Tentang Invenntarisasi RAN GRRK
Tentan
ng RAN-GRK

Gambar 2.6
6.Komitmen Presiden M engenai RAN
AN GRK

Seelanjutnya di
d tingkat daeerah, disusun
n pula Rencaana Aksi Daaerah Penuruunan Emisi G
GRK.
Di tingkaat pusat dibeentuk Sekrettariat RAN/R
RAD GRK yyang bertuggas memfasillitasi penyussunan
RAD GR
RK di daerah
h. Pada tahu
un 2012 telah
h diselesaikaan 32 RAD GRK dan terbentuknyaa Tim
Koordinaasi di tingk
kat provinsi. RAD GR
RK dituangkkan dalam bentuk Peraturan Gubbernur
sehingga akan menjadi landasan rencana kerjja SKPD/Dinnas terkait ddi daerah. Peraturan Gubbernur
ini juga menjadi dasar untuk
k koordinasi pelaksannaan Pemdaa Provinsi dengan Pemda
Kabupateen/Kota.

Dengan
D selessainya RAN K maka kerrangka pelakksanaan mitigasi
N GRK dan RAD GRK
perubahaan iklim sudah tersedia. Tantangan selanjutnya adalah: (i) ppelaksanaann dan pengukkuran
hasil pen
nurunan emissi GRK sesu
uai target dan
n komitmenn yang sudahh dicanangkaan, dan terceermin
pada Perp
pres Nomor 71/2011; (iii) komunikassi, koordinassi dan peninggkatan kapaasitas pelaksaanaan
dan pemaantauan; (iii) melanjutkaan aksi dan memasukkaan ke dalam
m RAPJMN 22015-2019 uuntuk
menjamin
n pencapaian
n target padaa tahun 2020
0.
22 | P a g e
2.6. Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan (Sustainable Consumption and
Production/SCP)

Pengendalian pencemaran adalah langkah yang perlu ditingkatkan pelaksanaanya


sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian, yang lebih penting adalah mengurangi
produksi bahan pencemar dengan menerapkan cara berproduksi maupun berkonsumsi secara
berkelanjutan. Langkah ini dilakukan dengan menerapkan efisiensi penggunaan sumber daya dan
hidup bersih (minimum limbah) di berbagai bidang kehidupan.Penerapan rendah emisi yang
diharuskan sesuai dengan langkah-langkah dalam RAN GRK, perlu diperluas menjadi rendah
limbah (hidup bersih) baik pada pelaku produksi/produsen, maupun pola atau perilaku konsumsi
(rumah tangga,industri, dan perusahaan). Dalam berbagai literatur dan terutama istilah yang
sudah sering digunakan adalah Sustainable consumption and production (SCP).
Dalam konteks Indonesia, produksi berkelanjutan dapat dilaksanakan dalam berbagai
bidang produksi seperti produsen/produksi di bidang pertanian, energi dan pertambangan dsb.
Selanjutnya pada sisi konsumsi, para pelaku seperti individu dan rumah tangga,
perusahaan/korporasi baik perusahaan kecil, menengah dan besar dituntut memilikigaya hidup
berkelanjutan baik dalam kehidupan pribadinya maupun pada waktu di tempat publik/terbuka.
Dengan pembagian bidang-bidang seperti ini maka penerapan SCP dapat dimulai dari bidang-
bidang terutama yang sudah siap terlebih dahulu, sehingga dapat dilakukan secara bertahap
(Gambar 2.7).

23 | P a g e
 
  



 OQW<Y
&#
 O-W`<Y
*#!
  &#  q
Z#< 
 *#
^`^^
[#\ Y]
J
^ Z#>
=
Y
N^N

^_
 
=



>J"
 Y ^

Q`Y
 N


<Y 
J

<
% 
QY 

^<% 
Q 



Gambar 2.7. Komponen Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan (SCP)

Dalam kaitan dengan sektor produksi, tidak tertutup kemungkinan akan berkembangnya
usaha baru seperti: (i) Perusahaan daur ulang dan pengelolaan limbah.; (ii) perusahaan jasa
lingkungan, usaha yang berkembang dengan memanfatkan lingkungan seperti wisata lingkungan,
termasuk wisata hutan, wisata bahari, wisata biodiversity termasuk di dalamnya kombinasi
wisata lingkungan dengan budaya setempat (eco-cultural tourism); (iii) Perusahaan produksi
manfaat daribiodiversity. Selama ini sudah berkembang usaha jamu baik sebagai obat tradisional
maupun sebagai makanan/zat tambahan/suplemen, serta memanfaatkan biodiversity untuk
kosmetik dll. Usaha ini masih terbatas dan sebagian besar biodiversity bernilai tinggi masih
diekspor, sementara itu masih banyak potensi yang belum diketahui dan dimanfaatkan. Ini
merupakan sumber pendapatan hijau yang baru; dan (iv) Kemampuan atau jasa profesi yang
berkaitan dengan sektor baru tersebut, termasuk penguasaan/jasa teknologi ramah lingkungan
akan semakin berkembang, dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat dan juga
perilaku produksi berkelanjutan oleh pelaku usaha.

24 | P a g e
Perusahaan daur ulang menjadi semakin penting tidak saja untuk membersihkan
lingkungan namun juga memanfaatkan sumberdaya alam dalam rantai bahan yang optimal,
sehingga penggunaan sumberdaya menghasilkan limbah yang minimal. Daur ulang juga penting
karena ketersediaan bahan/material dari produksi primer berbasis sumberdaya alam semakin
terbatas, sehingga sisa bahan/material yang ada perlu dimanfaatkan seefisien mungkin.
Perusahaan pengelolaan limbah juga diperkirakan semakin berkembang dengan semakin
banyaknya populasi, sehingga limbah individu dan rumah tangga semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya konsumsi rumah tangga,yang mendorong perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi ini.
Perusahaan jasa lingkungan, khususnya wisata berbasis kekayaan alam dan budaya sudah
mulai berkembang di berbagai daerah dengan adanya desentralisasi dan keinginan untuk
menonjolkan keunikan wilayahnya masing-masing untuk mendapat penerimaan daerah lebih
besar. Usaha ini patut didukung dan dikembangkan lebih lanjut, sehingga lingkungan hidup dan
alam memberi nilai karena keadaan aslinya dan bukan memberi nilai karena dieksploitasi dan
kemudian meninggalkan dampak negatif terhadap masyarakatnya. Demikian pula, budaya yang
sangat beragam dan banyaknya peringatan dan upacara adat/budaya merupakan kekayaan budaya
yang dapat mendatangkan pendapatan dan masih selaras dengan pelestarian alam.
Jamu yang selama ini menjadi bagian dari pengobatan berbasis budaya lokal juga sangat
potensial dikembangkan menjadi sektor modern dan memiliki tempat dan dapat menyerap tenaga
kerja dan penghasilan baru.Pencarian kandungan bermanfaat untuk kesehatan, pangan masa
depan maupun bahan lain yang terkandung dalam kekayaan biodiversity Indonesia merupakan
potensi yang belum diketahui dan digali untuk dikembangkan.
Seiring dengan berkembangnya sektor produksi ini berarti semakin tumbuh pula
kebutuhan keahlian/jasa untuk ini, yang dapat merupakan bagian dari green jobs (pekerjaan
hijau). Dengan berkembangnya SCP ini maka akan tercipta pula peluang jenis pekerjaan baru
yang berpotensi menyediakan lapangan kerja dan profesi baru.
Selanjutnya tidak kalah penting adalah unsur pendukung. Penerapan SCP yang bersifat
mengurangi produksi limbah produksi dan konsumsi sejak awal memerlukan unsur pendukung.
Unsur pendukung dapat berupa peraturan untuk landasan pelaksanaan dan penegakan aturan bagi
pelaku yang tidak memenuhi standar perilaku dan standar kualitas lingkungan. Selain itu, adanya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pelaksanaan peningkatan efisiensi penggunaan
material dan penurunan produksi limbah sangat diperlukan. Demikian pula kapasitas bagi
25 | P a g e
individu, rumah tangga, perkantoran dan perusahaan untuk menerapkan SCP sangat penting
untuk dikembangkan. Dukungan dan kemudahan memperoleh teknologi yang lebih efisien dalam
penggunaan bahan dan ramah lingkungan/menghasilkan minimal limbah sangat penting untuk
disediakan. Penyediaan dukungan baik untuk peningkatan kapasitas SDM, maupun akses
terhadap teknologi ramah lingkungan sangat penting, sehingga masyarakat dengan mudah dapat
menerapkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang ada. Faktor penting selanjutnya
adalah adanya data dan sistem informasi untuk penerapan SCP, sehingga perkembangan
pelaksanaan dan perbaikan kualitas lingkungan dapat dipantau dengan baik.
Penerapan SCP masih pada tahap awal, yaitu pengembangan kerangka dan adanya
komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen pemerintah sudah disampaikan oleh Menteri
Lingkungan Hidup pada saat Peringatan Hari Bumi tahun 2013 di Jakarta. Tentu saja langkah
penerapan masih awal dan masih diperlukan persiapan dan penyiapan instrumen pendukung
sebagaimana digambarkan di atas. Namun demikian, salah satu langkah positif adalah telah
ditandatanganinya MOU antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan KADIN untuk
menerapkan SCP di Indonesia.

26 | P a g e
BAB III. PENERAPAN EKONOMI HIJAU DIPERTANIAN:

PERTANIAN BERKELANJUTAN

Ekonomi hijau di sektor pertanian sebagaimana tercantum dalam Green Economy Report
adalah praktek pertanian dengan rambu-rambu sebagai berikut: (i) memelihara dan meningkatkan
produktivitas usaha tani, sekaligus menjamin ketersediaan pangan dan jasa lingkungan secara
berkelanjutan; (ii) mengurangi eksternalitas negatif dan secara bertahap meningkatkan
eksternalias positif yang dapat menularkan kesejahteraan pada masyarakat; (iii) membangun dan
memulihkan kekayaan (sumberdaya ekologis) dengan cara mengurangi polusi dan efisiensi
penggunaan sumberdaya; (iv) merestorasi dan meningkatkan kesuburan lahan melalui
peningkatan penggunaan input alami, perubahan pola tanam (rotasi multicrop) dan terpadu
dengan ternak; (v) Mengurangi erosi lahan, meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara
menerapkan teknologi mínimum tillage dan teknik budidaya tanaman penutup (cover crop
cultivation techniques); (vi) Pengurangan penggunaan pestisida dan herbisida kimia melalui
penerapan pengendalian hama penyakit secara terpadu; serta (vii) mengurangi kehilangan hasil
produksi dengan cara perbaikan teknologi pengelolaan pasca panen.
Di Indonesia, pertanian merupakan sektor kegiatan ekonomi yang memiliki multifungsi,
selain memanfaatkan ekonomi sumberdaya alam, namun juga memberikan jasa lingkungan
seperti: (i) membudidayakan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk kebutuhan
manusia secara berkesinambungan; (ii) melestarikan keberadaan keanekaragaman hayati; (iii)
menyediakan serapan karbon dan landscape hijau; (iv) pendapatan dan kesempatan kerja
masyarakat serta pendapatan nasional (PDB); (v) menjadi rantai pasar bagi industri produk input
pertanian (linkages). Namun demikian, dengan semakin meningkatnya populasi dan kebutuhan
penggunaan lahan untuk berbagai keperluan seperti permukiman, industri dan infrastruktur,
termasuk kebutuhan sektor pertanian untuk memenuhi kebuthan konsumsi manusia, maka
praktek pertanian dan pemanfaatan lahan lainnya harus memperhatkan prinsip-prinsip
keberlanjutan.
Demikian pula, sektor pertanian yang sudah menyumbang swasembada beras pada tahun
1985 dan menghasilkan pertumbuhan pendapatan pertainan (PDB) sekitar 4 persen setiap
tahunnya perlu melaksanakan prinsip ramah lingkungan. Sektor pertanian selama ini juga

29 | P a g e
menyumbang sekitar 13-15 persen dari PDB nasional, dan merupakan lapangan pekerjaan bagi
sekitar 40 persen tenaga kerja Indonesia. Sektor pertanian juga menyumbang devisa sekitar USD
5.0 s/d 5.6 miliar setiap tahunnya. Dengan semakin berkembangnya produksi seiring dengan
penambahan konsumsi, serta semakin tingginya kompetisi penggunaan lahan, maka apabila
pertanian dilaksanakan secara konvensional seperti selama ini, maka tidak akan menjamin
keberlanjutan pertumbuhan dan kelangsungan sektor pertanian itu sendiri (Emil Salim (1991).
Dampak negatif pertanian konvensional antara lain: (1) Menurunkan daya dukung lingkungan
karena peningkatan erosi, pemiskinan unsur hara tanah, kerusakan struktur tanah, peningkatan
residu bahan kimia berbahaya, membunuh organisme penyubur tanah, (2) Penggunaan saprodi
semakin tidak efisien, untuk peningkatan satu unit produksi yang sama diperlukan lebih banyak
saprodi daripada sebelumnya, (3) Ketergantungan petani pada penggunaan saprodi dan pihak
industri saprodi semakin meningkat, (4) Pemiskinan keanekaragaman hayati lingkungan
pertanian.
Revolusi hijau yang telah mengantar swasembada pangan di berbagai negara, diiringi
dengan teknologi pertanian modern yang masif dan penggunaan pestisida kimia, pupuk kimia
apabila diteruskan akan merusak lahan (Soetrisno (1998) ii . Penggunaan pupuk kimia dan
pestisida kimia yang menghasilkan peningkatan produktivitas tanaman yang cukup tinggi, telah
berdampak pada buruknya pada kondisi tanah. Tanah pertanian kehilangan banyak unsur hara
sehingga menjadi cepat mengeras, kurang mampu menyimpan air dan cepat menjadi asam yang
pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tanaman. Bahkan penggunaan pupuk yang
berlebihan menyebabkan terjadinya eutrifikasi di daerah hilir. Pemakaian pestisida secara terus
menerus telah menyebabkan resurgensi yaitu terjadinya peristiwa peningkatan populasi hama
sasaran yang sangat mencolok jauh melampaui ambang ekonomi segera setelah aplikasi suatu
insektisida, dan resistensi yaitu penurunan kepekaan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
serta munculnya hama penyakit sekunder yang juga membahayakan tanaman pertanian. Dampak
yang lebih membahayakan adalah polusi tanah ini juga terserap pada komoditas yang diproduksi.
Sehubungan dengan itu, keberlanjutan harus diterapkan pula di sektor pertanian, dan
meskipun dalam tahap awal dan masih terbatas, berbagai pihak yang sudah melakukan upaya-
upaya pertanian ramah lingkungan dengan berbagai cara. Beberapa contoh adalah yaitu budidaya
tanaman yang berusaha meminimalisir dampak negatif terhadap alam sekitar yang mulai banyak
diterapkan baik oleh individu maupun komunitas dan kelompok tani, upaya pengelolaan
perkebunan yang ramah lingkungan, dll. Langkah-langkah ini harus dibingkai dalam satu
30 | P a g e
kerangka strategis pengelolaan pertanian masa depan yang dapat meningkatkan kualitas manusia,
berkeadilan serta mengurangi dampak lingkungan. Ekonomi hijau bidang pertanian harus
menjadi bingkai strategis dalam kemandirian pangan Indonesia. Uraian berikut merupakan
kerangka ekonomi hijau dalam sektor pertanian.

3.1. Kebijakan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Pertanian

Sampai saat ini belum ada dokumen legislasi perundang-undangan mengenai pertanian yang
memenuhi kriteria pertanian ramah lingkungan. Namun demikian ada beberapa regulasi yang
secara parsial terkait dengan dengan lingkungan. Misalnya, Keputusan Menteri Pertanian
Nomor:42/Permentan/SR.140/5/2007 tentang
Pengawasan Pestisida. Permen tersebut Kotak3.1. Peraturan pertanian ramah lingkungan

mengatur produksi, peredaran, penyimpanan, UU No. 41/2009


Pasal 33ayat (2): Pemerintah dan pemerintah
penggunaan serta pemusnahan. Pada Pasal 11 daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
disebutkan bahwa pengawas berkewajiban konservasi tanah dan air, yang meliputi:
a. perlindungan sumber daya lahan dan air;
untuk melakukan pengawasan dampak negatif b. pelestarian sumber daya lahan dan air;
c. pengelolaan kualitas lahan dan air; dan
terhadap lingkungan hidup akibat pengelolaan d. pengendalian pencemaran sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan berkewajiban:
pestisida; melakukan pengawasan terhadap a. memanfaatkan tanah sesuai peruntukan; dan
b. mencegah kerusakan irigasi.
kesesuaian jenis dan dosis pestisida serta Ayat (3): setiap orang berperan serta dalam:
komoditas dan organisme sasaran yang a. menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah;
b. mencegah kerusakan lahan; dan
diizinkan dalam penggunaan pestisida; c. memelihara kelestarian lingkungan.

melakukan pengawasan efikasi dan resurgensi


pestisida akibat penggunaan pestisida; melakukan pengawasan dampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat akibat pengelolaan pestisida; melakukan pengawasan terhadap residu
pestisida pada produk pertanian dan media lingkungan.
Dalam undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Berkelanjutan telah disebutkan bahwa kawasan pertanian ditetapkan sebagai kawasan pertanian
pangan berkelanjutan untuk dilakukan konservasi tanah dan air (Kotak 3.1).
Secara lebih konkrit, prinsip keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit mulai dilakukan
dengan diterapkannya Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/0t.140/3/2011 tentang “Pedoman ISPO untuk
Peruahaan Perkebunan”.Penerapan ISPO ditujukan untuk memastikan pengelolaan perkebunan

31 | P a g e
sawit memenuhi kaidah keberlanjutan. Dalam ketentuan tersebut, semua perkebunan sawit harus
sudah memiliki klasifikasi ISPO. Penerapan ISPO yang beberapa waktu lalu diterapkan secara
suka rela (volunteer), dengan dikeluarkan peraturan menteri tersebut menjadi bersifat wajib
(mandatory). Dengan dikeluarkannya ISPO maka Indonesia menyatakan keluar dari RSPO yang
merupakan kelompok pengawas praktek berkelanjutan atas perkebunan kelapa sawit yang
dikeluarkan oleh kelompok importer/konsumen minyak sawit. Dengan keluarnya ISPO maka
Indonesia secara resmi memiliki pedoman dan ketentuan resmi dan baku untuk perkebunan sawit
berkelanjutan. Langkah ini penting tidak saja untuk penerapan produksi berkelanjutan namun
merupakan awal dari diplomasi sawit Indonesia di pasar dunia.

Penurunan emisi
Tidak mengotori badan air
Industri minyak Zero waste
sawit lestari Menjaga kesuburan tanah
Memelihara keragaman hayati
dan HCV

Keselamatan dan kesehatan Efisiensi pemanfaatan


masyarakat
Pengawalan sumberdaya
Kepedulian lingkungan
lingkungan Pencapaian produktivitas tinggi
Pengelolaan bencana So Pemanfaatan limbah
(kebakaran dan banjir) sia “planet”
planet”
l-L si
ing
ku s i en
i
ng Ef
an o-
Ek

Perkembangan Pertumbuhan
Pengentasan kemiskinan sosial ekonomi Peningkatan laba
Sosial--Ekonomi

Pembangunan komunitas
“ people”
people ” “profit”
profit” Pembangunan lokal,nasional
daerah,
Pembanguann pendidikan
Menunjang pertumbuhan industri
Standar hidup yang lebih baik
Sosial

Community engagement
Kemitraan usaha
Penciptaan lapangan kerja
Pemilikan lahan

Sumber : Paparan Kementrian Pertanian


Gambar 3.1. Pola Pengelolaan Industri Sawit berkelanjutan

Langkah lain yang tidak kalah pentingnya di bidang perkebunan secara umum adalah
penerapan sistem usahatani perkebunan rakyat diversifikasi integratif/Supradin (Kotak 3.2).
Sistem ini memiliki komponen: (i) Adanya diversifikasi komoditas berbasis tanaman
perkebunan, sebagai ciri umum sekaligus syarat mutlak (profit); (ii) Adanya pola integratif,

32 | P a g e
sebagai ciri khas sekaligus faktor inti terbentuknya model pertanian tekno-ekologis (planet); (iii)
Adanya pemberdayaan petani melalui model Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) petani (people).

Kotak 3.2. SUPRADIN

Supradin adalah sistem usahatani diversifikasi berbasis tanaman perkebunan yang dilanjutkan
menjadi integratif dengan mengintegrasikan cabang usaha tani ternak sebagai langkah kunci
pada sistem perkebunan rakyat yang dimaksud, sehingga terbentuk siklus pemanfaatan zat-zat
makanan secara tertutup oleh berlangsungnya proses pemanfaatan limbah. Tahapan
pengembangan Pola SUPRA DIN:
ƒ Pengembangan usahatani diversifikasi berbasis tanaman perkebunan, sebagai gerbang
menuju terbentuknya pola integratif, kedepan dilakukan perubahan jarak tanam supaya
tersedia areal pangan secara lestari
ƒ Pengembangan cabang usahatani ternak sebagai langkah kunci menuju terbentuknya pola
integratif
ƒ Pemberdayaan petani melalui model SKE sebagai bingkai pengutuhan pola SUPRA-DIN.

Langkah implementasi pola SUPRADIN akan dijadikan pola umum pada pengembangan
perkebunan rakyat, selanjutnya dapat pula diterapkan pada perkebunan kelapa, karet, sawit,
kopi dan kakao. Melalui program ini perkebunan, khususnya sawit bisa dipadukan dengan
ternak dan tanaman lain. Model Sawit Ternak terpadu sudah diparktekan di 12 provinsi :Aceh,
Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Banten, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, dan Sulbar.
Selain itu, PTPN I, III, IV, V, VI, VIII, dan XIV juga sedang berupaya menerapkan model ini
yang digagas oleh Kementerian BUMN.

Sumber: Disarikan dari Paparan Kementerian pertanian dalam Prakarsa Strategis Green
Economy 19 September 2013

Selain itu, di bidang perkebunan juga semakin berkembang penerapan pertanian organik,
khususnya untuk komoditas “beverages” seperti kopi dan kakao. Varietas dan tempat penanaman
lokal seperti kopi Manggarai, Kopi Gayo, Kopi Toraja yang disertai dengan pengutamaan
komunitas (people) dan cara yang organik (planet) juga semakin memiliki tempat di dunia
internasional. Ini merupakan peluang yang perlu dikembangkan dan distandarkan dengan lebih
baik, sehingga dapat menjadi trade mark dan identitas Indonesia serta sejalan dengan prinsip
keberlanjutan. Ini merupakan peluang nilai “premium” yang meskipun saat ini pasarnya masih
terbatas namun memiliki nilai tambah (premium) yang tinggi.
Untuk mengatur dan menyediakan landasan pelaksanaan pertanian organik, Kementerian
Pertanian telah mengeluarkan standar pertanian organik dengan nomor SNI 01-6729-2002.
Selanjutnya, pertanian telah dilakukan pula beberapa langkah dalam skala uji coba pertanian
dengan prinsip: (i) low zero external input agriculture system (LEISA), (ii) agroforestry, (iii)
33 | P a g e
system of rice intensification(SRI) , (iv) kawasan pangan lestari, (v) model Indonesia Carbon
efisiensi Farming (ICEF), serta (vi) model pertanian zero waste,pengelolaan tanaman dan
sumberdaya terpadu. Dalam praktek budidaya lokal atau praktek pertanian tradisional, beberapa
kelompok masyarakat masih pula memelihara cara pertanian berkelanjutan di daerah Baduy
(Banten), Kasepuhan Sinaresmi, Sukabumi (Kotak 3.3), dan kampung Naga (Tasikmalaya).
Berbagai penerapan tersebut merupakan paraktek pertanian yang sesuai dengan prinsip-prinsip
green economy.

Kotak 3.3. Sistem Pertanian Masyarakat Adat Kasepuhan Kawasan Pegunungan Halimun

Penerapan usaha ekonomi ramah lingkungan atau dalam istilah di atas adalahpertanian berkelanjutan sudah dilakukan oleh
masyarakat adat. Praktek sesuai dengan dinamika dan keselarasan alam sudah menjadi bagian dari komunitas, masyarakat
adat dan masyarakat lokal yang selama ini menyandarkan hidupnya dibidang pertanian. Salah satu contoh adalah masyarakat
adat Kasepuhan di kawasan Halimun, Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat yang masih menerapkan
sistem adat dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam termasuk pertanian. Konsep tata guna lahan yang mengenal sistem
zonasi untuk mengatur peruntukan lahan sesuai dengan fungsinya membagi kawasan alam menjadi hutan (leuweung) sebagai
berikut:
a. Leuweung Titipan (leluhur), adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu oleh manusia, karena
merupakan “amanat dari leluhur (karuhun) dan Tuhan (Gusti Nu Kawasa). Leuweung Titipan biasanya berada di
daerah pegunungan atau puncak, namun tempat hidup keanekaragaman hayati yang tinggi, berfungsi sebagai daerah
reasapan air (Leuweung sirah cai) dan sebagai pusat keseimbangan ekosistem.
b. Leuweung Tutupan (diolah, dibuka dan ditutup), adalah kawasan hutan cadangan untuk suatu saat nanti digunakan
bila memang diperlukan. Masyarakat diperbolehkan masuk hanya untuk tujuan mengambil hasil hutan non kayu untuk
kebutuhan subsisten, tidak untuk dieksploitasi, namun hanya memanfaatkan kayu atau ranting yang jatuh untuk kayu
bakar, kayu untuk membangun rumah dengan izin pemimpin adat, rota, damar, buah-buahan, umbi-umbian, tanaman
obat, serat, dll. Setiap penebangan satu pohon kayu harus segera diganti dengan menanam satu atau lebih pohon baru.
c. Leuweung Garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka menjadi lahan yang dapat diusahakan oleh masyarakat,
baik untuk bersawah, berhuma/berladang atau berkebun, penentuan lokasi garapan ditentukan oleh pimpinan adat.
Pengelolaan huma/ladang dilakukan secara bergilir balik minimal 3 tahun sekali, pada daerah-daerah tertentu,
penanaman padi sawah ataupun padi huma tidak boleh dilakukan pada tempat yang sama untuk kedua kalinya, seperti
pada tempat yang dianggap suci.

Keyakinan masyarakat Kasepuhan bahwa bumi diibaratkan sebagai makhluk hidup yang mana ketika akan mengolah lahan
perlu meminta ijin terlebih dahulu melalui upacara adat. Dalam menentukan waktu untuk bercocok tanam di huma maupun
di sawah, masyarakat kasepuhan melihat peredaran bintang di langit, yang menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang
didasarkan pada kejadian di alam/musim sebagai acuan dalam mengolah lahan garapan. Masyarakat ini juga memiliki cara
untuk menyimpan stok, memelihara 148 jenis/varietas padi serta Seren Taun (syukuran) yang didahului dengan Pongokan
yaitu smacam Cacah jiwa/sensus penduduk serta penghitungan hasil panen. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak saja
memanfaatkan alam secara seimbang (selaras dengan daya tumbuh alam) dan juga mempertimbangkan kecukupan pangan
dengan menghitung produksidan kebutuhan konsumsi, serta stok pangan. Ini adalah salah satu contoh prinsip keberlanjutan
yang ada dalam wawasan adat dan kearifan lokal tradisional.

Sumber: Latifah Hendarti, 2007

Sistem pertanian yang selaras dengan konsep dan kebijakan ekonomi hijau yang cukup
pesat perkembangannya di Indonesia adalah sistem pertanian organik. Menurut data AOI
(Asosiasi Organik Indonesia), total area lahan pertanian organik di Indonesia pada 2010 seluas
238,8 ribu hektar. Jumlah luasan tersebut meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Pertanian
34 | P a g e
organik ini banyak dikembangkan oleh komunitas, LSM dan juga oleh pemerintah dan semakin
menarik perhatian konsumen, terutama yang sudah alergi atau mengalami gangguan dari produk
yang terpengaruh oleh bahan anorganik maupun pangan olahan yang memiliki bahan pengawet.
Sementara itu, sejak tahun 1999 sudah berkembang pula inovasi teknologi peningkatan
produktivitas tanaman padi dengan sistem SRI (Sistem of Rice Intensification). Sistem ini
mengkombinasikan penggunaan pupuk dan pestisida tepat serta menggunakan air secara
minimal. Dengan berkembangnya pola intensifikasi produksi, petani sudah seringkali
menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan, serta penggunaan air yang terlalu banyak.
Pertumbuhan vegetatif padi memang bagus, namun secara generatif padi yang dihasilkan sedikit.
Selain itu, dengan semakin tingginya polusi lahan dan kehilangan unsur hara yang tinggi serta
terbatasnya air, sistem SRI merupakan jawabannya. Pada awal pengembangannya, Dinas
Pengembangan Pertanian Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 berhasil mencapai
produktivitas 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha
(Uphoff, 2002 dalam Handono). Namun demikian, SRI masih kurang berkembang luas karena
memerlukan perubahan mindset dalam penggunaan bahan kimia dan memerlukan kecermatan
yang lebih tinggi. Saat ini kecermatan sulit dilakukan apalagi untuk petani berlahan terbatas,
karena mereka pada umumnya juga melakukan pekerjaan lain di luar pertanian untuk menambah
pendapatan keluarga. Dengan demikian, proses perluasan sistem ini memerlukan pendampingan
penyuluh dan upaya menggabungkan berbagai tanaman/usahatani untuk meningkatkan
pendapatan keluarga.

3.2. Penerapan Ekonomi Hijau di SektorPertanian dengan Persfektif yang Luas

Penerapan ekonomi hijau di sektor pertanian sangat memiliki prospek. Tidak hanya
adanya komitmen penurunan emisi GRK, namun juga karena di sektor pertanian juga sudah
menghadapi persoalan lingkungan seperti degradasi kualitas lahan, pencemaran tanah dan air,
krisis air, kehilangan biodiversity, pangan yang tidak sehat, ketersediaan lahan pertanian yang
sempit,dan lain-lain. Untuk itu, permasalahan penurunan pencemaran di sektor pertanian perlu
dihindarkan dari jebakan pada persoalan emisi dan pemanasan global saja (yang merupakan
tanggungjawab negara-negara industri sebagai emitter GHGutama), namun lebih diutamakan
untuk meningkatkan efisiensi dan praktek ramah lingkungan (mengembalikan kesuburan lahan).

35 | P a g e
Selain itu, bagi Indonesia ini merupakan kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai tinggi
dari berbagai varietas lokal yang lebih tahan terhadap kondisi cuaca yang semakin bervariasi.
Dari sisi konsumsi, pola konsumsi berkelanjutan juga sangat penting diterapkan pada pola
konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Pemborosan konsumsi pangan di Indonesia terjadi pada
sepanjang proses produksi dan rantai pangan, mulai saat pemananen, penanganan paska panen,
penyimpanan, pengolahan dan konsumsi. Tujuh bahan pangan yang rawan terjadi pemborosan
pada setiap rantai pangan meliputi biji-bijian, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah dan sayuran,
daging, ikan dan susu.Kehilangan tertinggi terjadi pada bahan pangan umbi-umbian yang
mencapai 40,1 persen, disusul dengan bahan pangan buah dan sayuran sebesar 36,7 persen.
Sedangkan pemborosan tertinggi sebesar 25,7 persen terjadi pada bahan pangan buah dan
sayuran disusul bahan pangan ikan sebesar 20,4 persen. Jenis biji-bijian termasuk beras dan
jagung memiliki tingkat pemborosan yang lebih tinggi dibandingbahan pangan lainya yang
mencapai 14 persen (Karyasa dan Suryana, 2012). Angka ini mengindikasikan bahwa
peningkatan ketersediaan pangan melalui penghematan konsumsi bahan pangan masih sangat
potensial. Peluang penurunan susut ini akan dapat mencegah penggunaan sumberdaya alam dan
input produksi lain secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus
meningkat. Green economy bidang pertanian harus bisa mengatasi persoalan ini.
Oleh karena itu, pelaksanaan green economy memerlukan perencanaan dengan konsep
yang jelas dan menonjolkan manfaat baru yang dapat mengatasi pentingnya produksi yang
semakin besar, sementara sumberdaya alam semakin terbatas ketersediaannya dan kompetisinya
dengan penggunaan lain. Pengembangan ekonomi hijau juga perlu digunakan sebagai peluang
untuk mengedepankan varietas lokal yang memiliki nilai tinggi dan terutama peluang untuk
mengendalikan/menurunkan biaya produksi yang semakin meningkat, agar pendapatan petani
semakin meningkat. Hal ini diperlukan mengingat pada saat ini ketersediaan benih didominasi
oleh benih impor. Pada tahun 2011 Indonesia mengimpor 12 ribu ton benih dari 21 jenis tanaman
hortikultura yang dikonsumsi sehari-hari (Direktorat Perbenihan Hortikultura, 2012). Secara
lebih luas, pelaksanaan green economy perlu dilaksanakan untuk meningkatkan identitas
pertanian Indonesia, terlaksananya pertanian yang berkelanjutan, membantu mengatasi
kemiskinan petani dan mewujudkan kedaulatan pangan.

36 | P a g e
3.3. Tantangan Penerapan Ekonomi Hijau Di Sektor Pertanian

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam memperluas penerapan green economy di sektor
pertanian adalah: (i) mengubah mindset petani; (ii) sempitnya luas kepemilikan lahan dan
pengusahaan lahan pertanian di tingkat petani; (iii) kendala kelembagaan dan politik pertanian;
dan (iv) kekuatan perusahaan multinasional.

1). Mindset Petani.


Dalam penerapan budidaya pertanian, konsep green economy dikenal dengan istilah
berusahatani sesuai agroekologi, pernah hadir dan diterapkan oleh para petani masa silam
sebelum terjadinya green revolusi (benih produktivitas tinggi/high yield variety). Beberapa
contoh penerapan agroekologi adalah yang ditemukan pada masyarakat Baduy (Banten),
Kasepuhan Sinaresmi (Sukabumi dalam Kotak 1) atau Kampung Naga (Tasikmalaya). Meskipun
Indonesia mencapai swasembada beras atas jasa green revolution, namun revolusi ini, telah
mengubah perilaku petanidari pertanian berbudaya luhur yang sarat dengan nilai-nilai berbasis
budaya lokal dan ramah lingkungan menjadi pertanian berbasis industri/intensif yang berorientasi
pada peningkatan output secara signifikan, dan kurang memperhatikan keselarasan dengan alam.
Nilai-nilai luhur warisan para nenek moyang ditinggalkan diganti dengan pertanian orientasi
industri dengan mengandalkan input-input untuk mengejar target produktifitas.
Kebiasaan memperoleh produksi dengan varietas baru telah menggantikan varietas lokal
yang bernilai tinggi, dan produktivitas yang signifikan telah menggantikan pola produksi
tradisional yang ramah lingkungan dan memprhatikan aspek ekologis. Penggunaan input non
organik yang intensif ternyata mengakibatkan rusaknya fisik tanah dan hilangnya unsur hara.
Diperlukan kesabaran untuk mengembalikanmindset industri dan kembali menghidupkan cara
yang lebih ekologis dan menggunakan varietas lokal yang ciri khas dan nilainya lebih tinggi.
Dalam skala terbatas sudah diterapkan oleh petani, namun memerlukan pendekatan dan
pendampingan yang intensif pula untuk dapat mengembalikan cara ramah lingkungan namun
dapat menghasilkan nilai produksi yang lebih tinggi. Keterbatasan produksi dengan
menggunakan varietas nilai tinggi perlu diiringi pula pengendalian konsumsi dengan diversifikasi
pangan serta tambahan output dari peningkatan pasca panen. Tantangan penerapan secara
menyeluruh inilah yang perlu ditempuh secara sistematis dan perlu meraih/ mendapat
kepercayaan petani.
37 | P a g e
2). KeterbatasanLahan
Keterbatasan lahan usahatani petani yang sempit juga merupakan tantangan untuk adanya
peruabahan teknologi. Penerapan teknologi ramah lingkungan memerlukan kesabaran dan bukti
adanya keuntungan. Dengan lahan yang terbatas, perbedaan manfaat yang diperoleh
kemungkinan tidak signifikan dalam jangka pendek. Pengelolaan secara hamparan menjadi kunci
untuk adanya perubahan yang memberi hasil signifikan. Kelemahan saat ini adalah bahwa
pengerjaan lahan secara kolektif dalam satu hamparan sulit dilakukan sebagaimana pemerintah
dulu menerapkan green revolusi. Pendampingan yang kuat dan “pemaksaan” penerapan bibit
unggul pada waktu itu dapat dilakukan. Dengan adanya desentralisasi dan UU No.
61/2006tentang Sistem Budidaya yang membebaskan petani memilih komoditas yang akan
diusahakan merupakan kendala untuk mencapai tujuan ini. Untuk itu, penerapan green economy
memerlukan dukungan “rekayasa sosial” kelembagaan petani dan diikuti dengan pendampingan
secara intensif dan diiringi dengan layanan lain, terutama jaminan/tujuan pemasaran untuk dapat
mewujudkan nilai “premium” yang dihasilkan dari penerapan green economy di sektor pertanian.

3). Kendala Politik.


Dari penjelasan di atas, kelembagaan petani menjadi kunci untuk meningkatkan skala
lahan pengusahaan pertanian agar dapat memperoleh tingkat keuntungan yang memadai dari
diterapkannya kembali metoda produksi ramah lingkungan. Selain kelembagaan, peningkatan
pendapatan dapat diperoleh pula dengan meningkatkan usaha tidak hanya produksi primer/on-
farm, namun juga off-farm dalam bentuk perdagangan pertanian dan pengolahan yang memiliki
nilai tambah usaha lebih tinggi.
Namun demikian, upaya kelembagaan mengalami kendala seperti independensi petani
saat ini lebih tinggi, desentralisasi pembangunan sudah menghilangkan adanya gerakan produksi
secara nasional sebagaimana masa lalu. Secara politik, petani sudah dilemahkan, karena berbagai
organisasi petani tidak secara murni merupakan milik dan digerakkan oleh petani dan sampai saat
ini belum terbukti mengedepankan isu-isu dan hasil yang menguntungkan petani kecil.
Desentralisasi pembangunan juga sudah melemahkan peran penyuluh pertanian yang
sebenarnya saat ini lebih diperlukan dibanding masa pembangunan yang bersifat sentralisasi
yang dulu. Dari sisi landasan peraturan desentralisasi pembangunan, pertanian adalah tugas
pilihan, sehingga meskipun dari sisi konstituen petani sangat diperlukan pada masa pemilihan
kepala daerah, namun di luar masa pemilihan daerah pertanian tidak menempati posisi penting.
38 | P a g e
Prioritas utama biasanya adalah pembangunan infrastruktur dan bukan peningkatan kesejahteraan
petani, meskipun infrastruktur secara tidak langsung mungkin berdampak pada mobilitas dan
menurunnya biaya angkut.

4). Kekuatan Perusahaan Multinasional/Transnational


Kebutuhan peningkatanproduksi dengan menggunakan high yield variety,telah
mengembangkan industri perbenihan untuk terus mencari benih baru. Pada saat yang sama,
dengan adanya desentralisasi Balai/Unit Pelaksana Teknis (UPT) perbenihan yang pada waktu
dulu menjadi tulang punggung penyebaran bibit unggul sudah banyak yang tutup dan tidak
berfungsi.Kedua keinginan yang berlawanan ini, telah mendorong tumbuhnya industri
multinasional/transnasional untuk terus tumbuh dan mengambil alih pasar yang memang
membutuhkan ketersediaan benih unggul.
Sebagai akibatnya, sistem penangkaran benih oleh masyarakat penangkat semakin
tersisihkan. Mereka dapat melayani produksi skala kecil, namun kalau untuk penerapan green
economy secara luas, memerlukan penumbuhan kembali (revitalisasi) sistem perbenihan
nasional.

39 | P a g e
40 | P a g e
BABIV. PENERAPAN EKONOMI HIJAU DI KEHUTANAN:

KEHUTANAN BERKELANJUTAN

4.1. Konsep Ekonomi Hijau di Sektor Kehutanan

Dalam meninjau pelaksanakan ekonomi hijau di sektor kehutanan, pertama-tama penting


sekali untuk memahami multi fungsi hutan dalam menjaga beragam aspek kehidupan dan
penghidupan. Cara pandang terhadap hutan yang selama ini lebih diperhitungkan sebagai sektor
berbasis lahan penghasil kayu, harus diubah dengan menempatkan hutan dalam tujuan
pembangunan lebih luas dan berkontribusi terhadap kehidupan sosial. Posisi pembangunan
kehutanan perlu dikaitkan dengan pemanfaatan untuk konservasi (keberlanjutan) dan juga
pemanfaatan tidak hanya hasil kayu (timber) namun pemanfataan konservasi dan yang terkait
dengannya, yang dapat menghasilkan nilai ekonomi masyarakat.
Selain itu, hutan juga digunakan untuk berbagai kepentingan misalnya untuk produksi
pertanian, maupun untuk keperluan non pertanian seperti pengembangan wilayah dan perkotaan
maupun pertambangan. Sehubungan dengan itu, pendekatan pengelolaan hutan berkelanjutan
selain memerlukan pendekatan lintas sektoral, juga sangat tergantung pula pada penerapan
keberlanjutan pada penggunaan ruang untuk kebutuhan non hutan serta penerapan pertanian
berkelanjutan. Tujuan akhir yang tetap harus diamankan adalah keseimbangan tujuan ekonomi,
sosial dan lingkungan dalam pengelolaan hutan.
Namun demikian, sampai saat ini hutan seluas 3,4 juta ha lahan sangat kritis
(terdegradasi) di dalam kawasan hutan harus direhabilitasi. Pengelolaan hutan dan lahan hutan
yang digunakan untuk keperluan lain mengalami hotspot setiap tahunnya dan terus mengalami
kebakaran, meskipun hotspotsudah dapat ditekan sebesar 51 persen (dibandingkan rerata 2005-
2009). Sementara itu, banyak lahan hutan yang dikonversi maupun perambahan hutan ternyata
merupakan bagian dari kawasan hutan. Kekeliruan dan/atau perambahan terjadi karena
penegakan tentang batas hutan belum akurat di lapangan dan belum disertai dengan instrumen
serta mekanisme penegakan hukum yang efektif.
Potensi daya serap tenaga kerja sektor kehutanan terutama di sektor hulu dan industri
primer kehutanan sangat tinggi. Sementara laju penyerapan tenaga kerja hanya tercatat 7,02%
dimana laju penyerapan terbesar disumbangkan oleh hutan tanaman industri (HTI).Belum
41 | P a g e
maksimalnya pemanfaatan hasil hutan kayu akibat harga log yang sangat rendah di pasar dalam
negeri. Sementara sampai saat ini masih diberlakukan pelarangan eksport log.Namun laju
investasi di sektor kehutanan sangat rendah hanya mencapai 1,25 persen per tahun sebagai akibat
besarnya ketidakpastian berusaha yang cukup besar. Selain itu, perdagangan kayu dan produk
kayu juga semakin terbatas dengan adanya peraturan perdagangan kayu yang mulai
mensyaratkan adanya sertifikasi kayu yang menunjukkan bahwa kayu yang diperdagangan
berasaldari hutan yang dikelola secara berkelanjutan.
Sementara itu, meluasnya degradasi hutan, deforestasi hutan dan penggunaan hutan untuk
keperluan lain, selain mengakibatkan konflik di masyarakat karena ketidakjelasan perpetaan
hutan di lapangan, juga pengelolaan menghilangkan habitat/tempat hidup berbagai satwa dan
kemungkinan besar flora yang merupakan asset biodiversity kita. Kesemuanya itu, mensyaratkan
bahwa sudah saatnya untuk menerapkan pengelolaan keberlanjutan dan penerapan ekonomi hijau
di sektor kehutanan.

4.2. Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Kehutanan

Ekonomi hijau sangat penting untuk diterapkan di sektor kehutanan, mengingat


pentingnya hutan agar dikelola untuk keperluan lain sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu,
hutan Indonesia juga sudah mengalami degradasi dan deforestasi. Luasan kawasan hutan yang
didasarkan pada definisi peraturan yang ada sudah sangat berbeda dengan kenyataan fisik hutan
sebagai lahan yang tertutup pertanaman (forested land). Sekitar lebih dari 48 juta orang
mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan, sektor kehutanan berkontribusi pada
peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang dihasilkan dari kayu dan non-kayu.
Kebijakan yang mencerminkan pelaksanaan ekonomi hijau di sektor kehutanan dapat
dikelompokkan dalam kebijakan terkait dengan: (i) Kontribusi sektor kehutanan dalam
perubahan iklim; (ii) Pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan; dan (iii) Penyedia jasa
lingkungan lainnya (selain emisi GRK penyebab perubahan iklim).

42 | P a g e
(1) Kontribusi Sektor Kehutanan Terkait dengan Perubahan Iklim
Kontribusi sektor kehutanan dalam hal ini dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:(i)
peran hutan dalam penyerapan karbon, (ii) pengembangan bioenergi, serta (iii) pembangunan
dan infrastruktur hijau yang terkait dengan produk hutan.

a. Peran Hutan Dalam Penyerapan Karbon.


Peran hutan terhadap kontribusi perubahan iklim sendiri sudah tercantum di dalam
Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 dan perubahannya yaitu UU No. 19/2004, termasuk
didalamnya usaha penyerapan karbon yang merupakan pemanfaatan jasa lingkungan hutan.
Secara teknis,penyerapan karbon sudah di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang dikeluarkan sebagai
peraturan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 /2007 jo PP No. 3/2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan,
dimana dalam salah satu klausal dinyatakan bahwa: “salah satu bentuk pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung adalah penyerapan dan /atau penyimpanan
karbon”.
Peraturan lebih spesifik adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-
II/2009 yang memasukkan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ke dalam
salah satu dari delapan kebijakan prioritas Pembangunan Kehutanan tahun 2009-2014. Kegiatan
dalam sektor kehutanan terkait mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk
mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau
meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi (Perpres RI No
46/2008).Kebijakan dalam rangka mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan adalah kebijakan
yang mengarah pada pengelolaan hutan lestari. Secara sederhana, peran hutan dalam mitigasi
perubahan iklim adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapan GRK melalui proses
fotosintesis (penyerapan CO2) vegetasi hutan. Atau dengan kata lain, mitigasi perubahan iklim
oleh hutan adalah melalui fungsi ekologis hutan untuk menstabilkan iklim.
Hasil fotosintesis tersimpan dalam bentuk biomassa saat pertumbuhan vegetasi
berlangsung. Penyerapan CO2 lebih banyak terjadi pada hutan yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan. Sehingga kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau
merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer. Selain
43 | P a g e
sebagai penyerap, hutan dapat dikategorikan sebagai penghasil emisi akibat konversi hutan atau
deforestasi. Sehubungan dengan itu, konversi dan deforestasi (perubahan penutupan lahan dari
hutan menjadi bukan hutan) perlu dihindari agar tidak mengurangi fungsi hutan seperti di atas.
b. Peran Hutan Dalam Penyedia Bioenergi.
Hasil hutan sebagai penyedia bioenergi sudah dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk
memanfaatkan kayu untuk digunakan sebagai kayu bakar, meskipun pembakaran ini akan
menimbulkan emisi. Dengan semakin terbatasnya sumber energi fosil, terutama minyak bumi,
maka kayu merupakan sumber bioenergi yang terbarukan. Dengan penerapan teknologi, maka
kayu bakar dapat dibentuk menjadi pellet kayu yangmemiliki daya bakar lebih tinggi, sehingga
dampak emisi dapat ditekan.Hasil olahan kayu dapat dikemas dalam bentuk pellet yang
berdiameter 6 - 10 mm dan panjang 10 - 30 mm, dengan kadar abu yang rendah sekitar 0,5
persen, woodpellet mengandung tingkat kapasitas energi hingga 4,7 kWh per kilogram atau 19,6
gigaloule per milligram.
Pengembangan bioenergi tersebut sangat menjanjikan dan menambah ragam produk hasil
hutan yang semula berpusat pada kayu log atau timber, mengingat melimpahnya hasil sampingan
(dalam skala kecil) dan hasil kayu bernilai kalori tinggi dari fast growing species (jenis cepat
tumbuh) seperti kaliandra dan sengon. Demikian pula, limbah industri kayu juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar kebutuhan pembangkit listrik dan sumber energi industri.
Penambahan ragam output ini akan meningkatkan “hasil” dari luasan hutan yang sama.
c. Hasil Hutan Sebagai Bahan Bangunan Ramah Lingkungan.
Hasil hutan merupakan produk yang secara ekonomi dan lingkungan menguntungkan,
karena dapat pula menghidupi masyarakat sekitar hutan. Menurut hasil penelitian USDA Forest
Service, rumah yang dibangun dari bahan baku kayu menghasilkan emisi yang lebih rendah
dibanding rumah dengan bahan baku baja dan beton.Hal ini terutama sekali berlaku untuk
negara-negara yang mengalami empat musim.Hasil hutan lainnya yang juga menyediakan bahan
ramah lingkungan dan mudah diproduksi adalah bambu. Bambu mampu melepas 35 persen
oksigen dan merupakan tumbuhan yang sangat berguna dalam menghijaukan tanah-tanah yang
tidak produktif atau telah terdegradasi. Perkebunan bambu juga memberikan manfaat yang luas,
tumbuh cepat, dan dapat dipanen dalam waktu singkat. Bambu dapat menjadi panel, lantai, bio-
fuel, furnitur dan kebun bambu itu sendiri dapat menjadi lokasi "carbon catchment" yang
memiliki nilai ekonomi.

44 | P a g e
(2) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
PHL merupakan bagian penting dalam green economy sektor kehutanan. Kelestarian
hutan hanya akan tercapai apabila pengelolaan hutan dilakukan secara benar. Sesuai dengan UU
Nomor 41 Tahun 1999, pasal 10 ayat 2, pengurusan (pengelolaan) hutan terdiri dari : a)
Perencanaan kehutanan; b) Pengelolaan hutan; c) Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d) Pengawasan. Pengelolaan hutan lestari
dikembangkan melalui berbagai upaya antara lain: (i) penguatan kesatuan pengelolaan hutan; (ii)
penerapan sistem sertifikasi kayu; dan (iii) reforestasi kawasan hutan, pemulihan hutan
terdegradasi serta perluasan hutan masyarakat; (iv) pembangunan hutan tanaman.
a. Penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).Untuk mewujudkan pengelolaan hutan
lestari (PHL) maka Pemerintah membuat suatu kebijakan yaitu membagi kawasan pengelolaan
hutan di Indonesia ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan, dengan rentang kendali yang
lebih memadai/terjangkau. Kesatuan Pemangkuan Hutan dapat berupa: (i) Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK); (ii) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); dan (iii)
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Pembentukan KPH secara lebih jelas tertuang Peraturan Pemerintah No. 44/2004
Tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 3/2008 tentang Tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dua (2) unsur
penting terbentuknya KPHadalah: (i) Adanya wilayah atau areal kelola KPH; dan (ii) Organisasi
KPH yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Organisasi tingkat tapak ini yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Selain itu, organisasi KPH
tersebut harus dikelola oleh SDM yang profesional di bidang Kehutanan. Penetapan wilayah
KPH yang merupakan kewenangan Menteri Kehutanan, dapat dievaluasi untuk kepentingan
efisiensi dan efektifitas, dan apabila terjadi perubahan tata ruang.
KPH, merupakan organisasi pengelola hutan yang potensial untuk menjadi unit penerapan
ekonomi hijau. Diperkirakan, seluruh kawasan hutan di Indonesia perlu dikelola oleh sekitar 600
KPH. Sampai dengan saat, baru terbangun 120 unit KPH model/percontohan yang kondisi dan
kualitasnya masih sangat beragam. Apabila penerapan ekonomi hijau serius untuk diterapkan di
sektor kehutanan, maka pembentukan KPH perlu segera difasilitasi dan difungsikan dengan baik.
b. Penerapan Sistem Sertifikasi. Penerapan sistem sertifikasi kayu dapat pula mendorong
penerapan sistem produksi hasil hutan berkelanjutan. Pada saat ini Indonesia sedang dalam
proses penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia.Pengembangan sistem ini
45 | P a g e
selain mendukung penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan, juga dapat menjadi dasar untuk
sustainable commodity dari hasil hutan.
c. Reforestasi Kawasan Hutan, Pemulihan Hutan Terdegradasi Serta Perluasan Hutan
Masyarakat, Melalui:
(c.1.). Penerapan teknologi budidaya, antara lain sistem silvikultur. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang silvika sudah sangat berkembang,
misalnya penyediaan bibit melalui pemuliaan genetik, teknik tissu jaringan, kebun
pangkas yang dapat mempercepat produksi benih dan meningkatkan kualitas benih.
Kemajuan IPTEK tersebut dapat dimanfaatkan dengan merekayasa, mengembangkan, dan
menerapkan teknik silvikultur intensif (SILIN), sistem-sistem silvikultur baru,
pengelolaan hutan hetrogen, dan multi sistem silvikultur (MSS) sesuai dengan sifat-sifat
lapangan dan sifat biofisik areal hutan serta tujuan pengelolaan hutan. Sistem silvikultur
ini memberikan harapan untuk memperbaiki kondisi hutan alam yang rusak,
meningkatkan mutu hutan, dan produktivitas hutan alam tropika.
(c.2.) Mempercepat rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis antara lain
melalui penanaman 1 miliar pohon. Realisasinya, sampai dengan 31 Desember 2010
telah ditanam 1,39 miliar batang, baik di kawasan hutan, hutan milik masyarakat,
rehabilitasi kebun, reklamasi pertambangan, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara
Pohon, CSR perusahaan BUMS/BUMN, Penanaman pohon trembesi di instansi
TNI/POLRI, dan Gerakan Kecil Menanam Dewasa Memanen di pesantren dan sekolah-
sekolah. Penanaman juga dilakukan di kawasan hutan tanaman, yang dalam periode
Januari-Desember 2010 yang mencapai luas 457.758 ha. Selain itu, juga telah dibangun
Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada 2010 sebanyak 8.016 unit. Tahun 2011 akan kembali
dibangun 10.000 unit KBR serta pembangunan persemaian permanen 23 unit di 22
propinsi yang akan memproduksi 35 juta bibit pohon/tahun. Dengan cara ini, bekal untuk
penanaman hutan terdegradasi dan terdeforestasi akan lebih besar.Kuncinya adalah
apakah bahan-bahan ini akan dapat mengkompensasi kecepatan deforestasi dan alih
fungsi serta pinjam pakai yang juga terus dilakukan.
(c.3.). Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.Hutan selama ini selalu dianggap aset
negara dan harus dikelola oleh negara atau yang diberi kuasa oleh negara (perusahaan).
Kesan ini yang terlalu kuat sehingga agak mengabaikan hal-hal yang sudah dilakukan
oleh masyarakat lokal danmasyarakat adat yang sebenarnya sudah memiliki bukti
46 | P a g e
kuat/eksistensidalam mengelola ekosistem hutan secara berkelanjutan. Kebijakan
ekstraktif hutan sejak periode 1970an telah menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat
dalam dan sekitar hutan serta masyarakat adat, selain menyisakan kerusakan hutan yang
parah di Indonesia. Kondisi tersebut mulai berubah ketika tahun 1970an dunia
Internasional juga mempromosikan forest for people.Penerapan di Indonesia dimulai
dengan pengembangan social forestry (perhutanan sosial), dan kebijakan yang memiliki
perspektif sosial sektor kehutanan menjadi semakin penting. Kesadaran ini juga didorong
dengan semakin banyaknya perambahan hutan oleh masyarakat sekitar yang semakin
meningkat, seiring dengan banyaknya kawasan hutan yang juga dikuasakan
pengelolaannya kepada perusahaan.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini meliputi Hutan Tanaman Rakyat
(HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Kebun Bibit Rakyat (KBR),
Hutan Rakyat dan Pinjaman Dana Bergulir Biaya Pembangunan Hutan yang semua itu
ditujukan dalam rangka pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari (PHL).HTR adalah
keterlibatan masyarakat untuk menghasilkan kayu di hutan produksi. Kebijakan HKm
diluncurkan untuk meningkatkan kapasitas kewirausahaan masyarakat melalui pemberian
ijin usaha pemanfaatan kayu. Sedangkan Hutan Desa dimaksudkan untuk meningkatkan
kapasitas desa setempat yang berada di sekitar kawasan hutan agar mampu menjaga,
melindungi dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pembangunan desa secara
mandiri.
Sampai saat ini, realisasi yang sudah dicapai adalah: (i) pencadangan areal HTR seluas
631.628 hektare (ha); (ii) penetapan area HKm seluas 415.153 ha dan realisasi izin usaha
HKm 107 unit, serta (iii) realisasi penetapan areal Hutan Desa seluas 113.354 ha. Selain
akses legal, rakyat setempat diberikan akses kepembiayaan melalui Badan Layanan
Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan.
Pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ini diharapkan menjadi terobosan
yang dapat lebih efektif, menggantikan pendekatan top-down yang selama ini ditempuh
dalam pengelolaan sebuah sumber daya alam. Supriatna (2011) mengungkapkan bahan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan bersama dimungkinkan karena masyarakat
mendapatkan keuntungan terhadap SDA yang dikelola bersama, yaitu: (a) Membuka
akses bagi masyarakat (lokal) dan stakeholder lain terhadap informasi dan pengelolaan;
(b) Memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup lewat pemanfaatan
47 | P a g e
sumber daya hayati yang tersedia sehingga mendorong mereka untuk terus
mempertahankan keberadaannya; dan (c) Penguatan posisi masyarakat dan stakeholder
lain dalam proses-proses pembuatan kebijakan pemerintah yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam.
Hal lain yang mendorong pemanfaatan hutan lestari adalah meningkatkan pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK yang sudah dapat dikomersilkan diantaranya
gaharu, sagu, rotan, sutera alam, madu, kayu putih, masohi, aneka tanaman hias, tanaman
obat dll. Dengan dimanfaatkannya HHBK secara lestari, selain dapat mengangkat taraf
hidup 48,8 juta orang yang bergantung pada hasil hutan, keseimbangan ekosistem dapat
terjaga karena hutan sebagai habitat kenekaragaman hayati tersebut tetap ada.

d. Pembangunan Hutan Tanaman. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan kayu dan
industri kayu berkelanjutan adalah memproduksi kayu dari hutan tanaman. Indonesia
memprioritaskan percepatan pembangunan hutan tanaman dan memiliki target 5 juta ha. Dengan
adanya hutan tanaman industri, kebutuhan industri yang terus berkembang dapat dipenuhi. Selain
itu, dengan adanya hutan tanaman, Indonesia dapat menghindari dan mencegah adanya isu
perambahan hutan konservasi dan hutan lindung, serta perusakan dan penyebab punahnya
biodiversity yang kemudian dijadikan faktor dan standar dalam perdagangan internasional.
Bentuk lain atau pengembangan dari hutan tanaman industri adalah: (i) hutan tanaman
karbon; (ii) hutan tanaman industribiodiversity; (iii) hutan konservasi.
Hutan tanaman karbon sebetulnya merupakan manfaat lain dari berbagai jenis hutan.
Manfaat sebagai penyerap karbon dan adanya penghindaran emisi merupakan “komoditas baru”
yang memiliki nilai apabila nanti jasa karbon dari hutan ini ada yang memanfaatkan. Meskipun
perkembangan pasar karbon saat ini masih lesu, namun ini merupakan potensi yang baik ke
depan. Sambil menghutankan kawasan, menghijaukan lahan, akan dapat dipetik manfaat nilai di
kemudian hari. Terdapat kemungkinan pendapat yang berbeda mengenai kualitas serapan karbon
antara hutan yang asli alam, dengan hutan buatan dengan vegetasi yang berbeda-beda. Namun
demikian, dengan informasi dari hasil penelitian, maka akurasi perbedaan serapan karbon
seharusnya dapat dibedakan, sehingga perbedaan vegetasi hanya akan membedakan volume
serapan yang kemungkinan tidak banyak perbedaan. Perbedaan justru pada isi dari
keanekaragaman hayati, dimana hutan asli alam tentu saja memiliki nilai keanekaragaman hayati

48 | P a g e
yang tertinggi dibanding hutan buatan (multikultur) apalagi apabila dibandingkan dengan hutan
monokultur.
Hutan tanaman industri biodiversity, adalah hutan tanaman industri namun dibangun
untuk membudidayakan keaneragaman hayati yang akan dimanfaatkan secara ekonomi, dengan
kata lain adalah untuk mendukung industribiodiversity. Hal ini penting karena hutan alam yang
merupakan habitat keanekaragaman hayati tidak boleh diganggu. Untuk menghasilkan bahan
keanekaragaman hayati yang akan dimanfaatkan secara komersial, maka perlu dibangun “pabrik”
primernya, dengan membudidayakannya. Ini merupakan prospek pendapatan hijau yang saat ini
dikembangkan secara tradisional. Beberapa contoh adalah industri Jamu dengan berbagai merk
(Sido Muncul, Cap Jago dll), baik yang besar maupun yang tradisional. Usaha jamu rumah
tangga merupakan industri yang memiliki kekuatan untuk pendapatan masyarakat apabila
dikembangkan dan distandarkan dengan baik. Selain itu, industri komestik nasional Indonesia,
seperti Sari Ayu dan Mustika Ratu, juga menggunakan bahan-bahan dari keanekaragaman hayati.
Selain industri ini, banyak pula industri rumah tangga yang memproduksi bedak tradisional
maupun bahan-bahan yang digunakan untuk industri“spa/perawatan tubuh” yang akhir-akhir ini
berkembang. Ini adalah potensi lain yang masih dimanfaatkan dengan terbatas dan merupakan
potensi untuk pendapatan baru dalam ekonomi hijau.
Terakhir adalah hutan konservasi yang merupakan pemeliharaan hutan untuk
mengkonservasi kehidupan dan keberadaan kenakeragaman hayati. Hutan tersebut perlu
dilindungi dari pemanfaatan eksploitasi karena hutan di wilayah tersebut merupakan wilayah
habitat flora dan fauna yang perlu dilindungi, karena potensi terkena ancaman kepunahan, atau
karena kelangkaannya harus dilestarikan.
Ketiga jenis hutan ini masih belum berkembang dengan baik, meskipun sebetulnya
merupakan sumber pendapatan masyarakat dan sumber ekonomi baru bagi daerah. Indonesia
memiliki potensi ini di berbagai pelosok tanah air yang belum dimanfaatkan, dan inilah yang
merupakan kekayaan yang masih tersembunyi yang akan menjadi sumber pertumbuhan baru,
sementara sumber pertumbuhan tradisional semakin terbatas. Sumber pertumbuhan baru ini
merupakan sumber ekonomi hijau karena dengan tetap mendapat nilai pertumbuhan, namun
memiliki cara yang tidak bertentangan dengan keberlanjutan dan kelestarian fungsi alam.

49 | P a g e
(3) Jasa Lingkungan,

Hutan juga merupakan penyedia berbagai keragaman hayati baik genetik, jenis maupun
ekosistem yang menyokong proses sosial budaya masyakat yang ada di sekitarnya. Hutan juga
merupakan habitat flora dan fauna yang perlu dilindungi keberadaannya karena merupakan harta
kekayaan hayati dunia.
Sumberdaya hutan memang memiliki manfaat langsung dan tidak langsung, serta tangible
dan intagible yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Jasa lingkungan sesuatu yang
bukan berbentuk material, yang bukan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh dari ekstraksi
alam yang akan berpotensi merusak mata air dan sumber mata air sungai, tata air, konservasi
tanah, keindahan, kesejukan, dan lain-lain. Menurut ICRAFada empat jenis jasa lingkungan yang
dikenal oleh masyarakat global yaitu: (i) jasa lingkungan mata air dan tata air; (ii) jasa
lingkungan keanekaragamanhayati; (iii) jasa lingkungan penyerapan karbon; dan (iv) jasa
lingkungan keindahan landscape.
Hutan memiliki nilai tidak tergantikan yaitu sebagai sumber awal titik mata air, terutama
sungai-sungai besar. Berbagai sungai berawal dari mata air yang hanya berupa satu titik air yang
menetes satu persatu. Sebagai contoh, hutan Harapan didalamnya terdapat titik sumber mata air
dari sungai Batanghari yang mengalir membelah kota Jambi. Hutan-hutan konservasi dan hutan
lindung yang ada di berbagai wilayah Indonesia, adalah sumber mata air dari sungai-sungai besar
yang mengalir di berbagai pulau. Aset ini perlu dikenali, diinventarisasi dengan baik serta dicari
cara untuk melindungi dari perusakan dan pemanfaatan hutan agar sumber air tetap lestari. Pada
saat ini telah diselesaikan 104 rencana DAS terpadu dari 108 DAS prioritas di Indonesia, 4
rencana selanjutnya akan diselesaikan di akhir tahun 2014. Untuk kelestarian sumber air jangka
panjang, nilai mata air ini perlu dinilai secara moneter dan dinilai pula kerugian berantai yang
dapat timbul apabila titik air sumber mata air sungai tidak dilestarikan. Ketersediaan air minum,
air untuk keperluan rumah tangga, industri dan keperluan lain sangat tergantung dari keberadaan
dan kelestarian titik mata air ini. Inilah jasa lingkungan hutan yang besar untuk eksistensi
kehidupan di planet bumi ini. Beberapa contoh akibat perusakan hutan yang kemungkinan di
dalamnya tidak hanya mengurangi daya serap air di hutan namun juga telah merusak mata air
adalah mengeringnya sungai di musim kemarau dan membanjirnya sungai di musim hujan.
Kelestarian sumber mata air yang seharusnya abadi telah rusak dan supply digantikan langsung

50 | P a g e
oleh hujan yang jatuh langsung dari langit. Pengelolaan hutan yang tidak bertanggungjawab akan
menghilangkan nilai harta sumber kehidupan di bumi ini.
Jasa lingkungan untuk biodiversity dan serapan karbon sudah digambarkan dalamsub bab
hutan tanaman industri. Jasa lingkungan lain yang berasal dari keberadaan alam dengan
keindahan landscapenya yang dapat dimanfaatkan untuk pariwisata. Landscape hutan dapat
dinikmati menjadi pusat atraksi wisata, baik wisata pemandangan semata maupun wisata ilmiah
bagi yang tertarik mempelajarinya.Beberapa taman nasional sudah menjadi pusat atraksi wisata,
namun masih banyak spot/titik atraksi lain yang sudah dikenali namun belum dikelola dengan
baik, maupun yang belum dikenali di berbagai wilayah Indonesia. Ini merupakan potensi besar
untuk usaha ekonomi masyarakat, pemerintah daerah yang secara agregat berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan dari sumber-sumber hijau/berkelanjutan.
Untuk landasan pengembangan berbagai manfaatdi atas, sudah tersedia berbagai macam
peraturan sejak tahun 1990an, namun pada saat itu, fokusnya masih pada pemanfaatan
eksploitatif yaitu penebangan kayu baik untuk diekspor maupun untuk industri kayu. Beberapa
peraturan tersebut yaitu UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Ketentuan lebih detil diatur dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Dalam peraturan ini hutan yang dapat dimanfaatkan
dan digunakan untuk jasa lingkungan adalah kawasan hutan bahwa kawasan hutan lindung (Pasal
26), hutan produksi (Pasal 27) dan kawasan pelestarian alam (Pasal 26 dan 27 UU No. 5/ 1990).
Pemanfaatan jasa lingkungan ini dapat digunakan sebagai peluang untuk reforestasi
kawasan hutan yang terdeforestasi dan rehabilitasi hutan terdegradasi. Selain itu, masih banyak
masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan yang dapat memiliki pendapatan baru dengan
berbagai pemanfaatan hutan secara berkelanjutan yang diuraikan di atas, tanpa merusak kawasan
hutan. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar kawasan hutan berjumlah kurang lebih 10,2 juta
orang, sedangkan jumlah desa yang berada di sekitar dan berinteraksi langsung dengan kawasan
konservasi berjumlah kurang lebih 1908 desa, dengan jumlah masyarakat sekitar 660,8 ribu
kepala keluarga (KK).
Sementara itu, pemanfaatan jasa hidrologis hutan juga telah ditetapkan melalui PP
Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar
Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Pengelolaan DAS terpadu dengan
dikembangkannya mekanisme jasa lingkungan diharapkan dapat memberikan keseimbangan
pada dimensi sosial-lingkungan dan ekonomi.Beberapa perhitungan sementara hasil pemanfaatan
51 | P a g e
jasa hutan adalah ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dengan nilai
USD 227,6 miliar, sejak tahun 2009. Sementara investasi pengusahaan pariwisata alam, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam senilai hampir Rp. 159 miliar, serta
pemantaatan jenis tumbuhan dan satwa liar diperkirakan senilai Rp. 47,5miliar.

4.3. Tantangan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Kehutanan

Beberapa tantangan untuk dapat mewujudkan potensi pengembangan ekonomi


berkelanjutan/hijau sebagaimana diuraikan di atas adalah: i) penataan batas kawasan hutan yang
masih rendah, dengan masih banyaknya “open access”; (ii) hamparan hutan yang harus diawasi
secara fisik dan apalagi apabila akan menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan masih terlalu
luas; (iii) masih belum lengkapnya instrumen untuk mengelola hutan secara berkelanjutan,
misalnya peta dalam skala yang mencukupi, penataan batas pengusahaan (iv) jumlah dan
kapasitas SDM, untuk mengelola dan/atau mengawasi serta melakukan penegakan hukum atas
pengelolaan kawasan agar sesuai aturan yang berlaku dan sesuai dengan kaidah berkelanjutan.

Penataan batas kawasan hutan berjalan lambat, padahal laju alih fungsi hutan dan
perambahan berjalan cepat seiring dengan kebutuhan lahan untuk berbagai kepetingan, misalnya
kepentingan permukiman, pemekaran daerah, pertanian, energi dan pertambangan dll. Pada saat
ini laju penataan batas kawasan hutan masih rendah sekitar 12.600 km/tahun.Tata batas yang
belum selesai menyebabkan ketidakjelasan status kawasan hutan yang berdampak pada
munculnya berbagai konflik lahan, baik antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat, antara
masyarakat dengan pengusaha dan antar masyarakat, yang akhirnya yang melebar ke konflik
sosial. Tata batas yang belum selesai dan definitif juga menghambat persetujuan substantif untuk
penyelesaian rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten. Diperlukan langkah terobosan
untuk mempercepat pengukuhan dan pemantapan kawasan hutan, dengan instrumen memadai
serta didukung oleh sumber daya manusia kehutanan yang mencukupi.
Diperlukan unit pengelola yang lebih “manageable” yang disebut dengan KPH.
Terbatasnya laju penataan tata batas juga masih mengakibatkan sebesar 43,9 juta ha hutan
produksi berstatus ‘open access’, karena belum dibebankan/diberikan hak pengusahaan kepada
unit pengelola tertentu sehingga rentan terhadap perambahan dan penebangan liar.Rencana
pembentukan KPH adalah untuk membuat “unit” pengawasan menjadi ukuran dalam rentang
kendali yang mencukupi. Pembentukan KPH juga dilakukan untuk membagi kewenangan
52 | P a g e
pengawasan kepada daerah. Tanpa adanya pengelola hutan di tingkat tapak melalui KPH, maka
kerusakan hutan sulit untuk dihentikan dan rehabilitasi hutan dan lahan kritis sulit untuk dipantau
kemajuan dan akuntabilitasnya. Namun demikian, kemampuan teknis baik dari sisi anggaran
pemerintah maupun kemampuan SDM yang mencukupi mengakibatkan bahwa sampai dengan
tahun 2014 baru terdapat 120 unit dari 600 unit KPH yang dibutuhkan. Diperlukan langkah
terobosan dan komitmen kuat untuk mewujudkan jumlah KPH yang memadai dan penerapan
penegakan pengelolaan hutan berkelanjutan melalui KPH ini.
Terbatasnya instrumen untuk pengelolaan hutan berkelanjutan terutama adalah peta
dengan skala yang memadai agar dapat diterapkan di tingkat tapak, disertai dengan jumlah SDM
dan peralatan yang cukup untuk menerapkannya di tingkat tapak. Memang merupakan tantangan
besar untuk menegakkan aturan tata batas sementara telah terjadi kesimpang-siuran di tingkat
peta maupun di tingkat lapangan. Namun demikian, instrumen memadai harus segera dilengkapi,
diterapkan secara bertahap terutama pada hutan konservasi dan hutan lindung. Hal lain adalah
menggunakan berbagai kombinasi cara untuk segera menutup open access di hutan produksi dan
tata batas yang belum selesai. Moratorium ijin baru di kawasan hutan dan lahan gambut perlu
diberlakukan dalam waktu mencukupi untuk dapat mengejar kelengkapan instrumen dan
penyelesaian tata batas serta open access yang ada. Apabila konitmen tidak dilakukan dengan
kuat dan tegas, maka penurunan kualitas kawasan hutan, baik melalui deforestasi maupun
degradasi hutan akan menghabiskanseluruh kawasan hutan yang ada. Ini tentu saja suatu situasi
yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Untuk mendukung ini, diperlukan pula transparansi dan kejelasan mekanisme dan
prosedur dalam perolehan ijin, adanya data base dari seluruh kawasan, ijin yang telah ada serta
hal-hal yang berkaitan dengan pengelola dan pengelolaan hutan. Tanpa data base seperti ini,
berarti kita tidak tahu betul nilai aset hutan dan isinya dan tidak dapat mengukur “nilai
kehilangan” yang akan terjadi apabila dibiarkan habis dikuras untuk kebutuhan konsumsi saat ini.
Karena tidak ada pengetahuan secara keseluruhan tentang hutan kita, tidak tertutup kemungkinan
bahwa tidak ada satu pihakpun yang mengetahui secara persis ketidaksinkronan peta atau
pengetahuan pemetaan hutan dari sisi Pemerintah Pusat dan Pemda. Sebagai akibatnya maka
pada waktu menetapkan kebijakan dan dalam pemberian ijinpun terjadi tumpang tindih dan
ketidaksinkronan. Suatu kerugian yang akan berdampak tidak hanya saat ini namun juga
mendatang. Dalam kaitan dengan pengembangan berbagai instrumen untuk pengembangan
ekonomi hijau, maka peran para ilmuwan dan pakar sangat penting untuk melakukan berbagai
53 | P a g e
perhitungan, mengembangan metoda perhitungan yang tepat dan mudah diterapkan,
mengembangkan kemampuan SDM yang sejalan dengan penerapan ekonomi hijau di kehutanan.
Hal lain berkaitan dengan instrumen serta proses perijinan hutan adalah sistem dan
mekanisme pasar yang dapat mendudukkan dan memposisikan agar penilaian/valuasi
berbagai pemanfaatan hutan sejalan dengan tujuan pengelolaan hutan
berkelanjutan.Sebagai contoh, apabila hutan konservasi dan hutan lindung sangat penting
dipertahankan eksistensinya, maka nilai hutan “dalam bentuk aslinya” harus lebih tinggi dari
pada kalau ditebang/dirambah.Ketinggian nilai dicerminkan pada adanya insentif untuk
“membiarkan” hutan konservasi dan hutan lindung, adanya disinsentif apabila ada pihak yang
merusak, baik dalam bentuk sanksi hukum pidana maupun hukum perdata maupun sanksi
finansial yang sangat besar.Ketinggian nilai juga dicerminkan pada kemudahan eksistensi untuk
dinikmati manfaatnya, serta pengkayaan manfaat lain yang dapat timbul karena eksistensi
tersebut. Untuk itu, berbagai pasar untuk “komoditas/manfaat” hutan berkelanjutan sebagaimana
diuraikan di atas perlu diciptakan pemerintah sebelum pasar dengan mekansime swasta
berkembang. Sebagai contoh, selama ini insentif dan kemudahan lebih difokuskan pada hutan
hasil kayu, penggunaan hutan untuk pertambangan, perkebunan dll. Sementara insentif dan nilai
berbagai manfaat yang sejalan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan tidak berkembang dan
tidak dikembangkan dengan jelas. Dengan semangat pengembangan ekonomi hijau yang seiring
dan selaras dengan pengelolaan hutan berkelanjutan, maka sudah saatnya apresiasi, penilaian
manfaat yang timbul dari pengelolaan hutan berkelanjutan harus dimaksimalkan.

54 | P a g e
BAB V. PENERAPAN EKONOMI HIJAU DI SEKTOR

PERIKANAN DAN KELAUTAN

Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara didunia, yang berciri kepulauan,
dengan jumlah pulau yang dimiliki lebih dari 17.000 buah. Luas laut Indonesia termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah sekitar 5,8 juta km2, dengan garis pantai sepanjang
95,200 km atau terpanjang kedua didunia, menjadikan Indonesia negara yang kaya dengan
kekayaan hayati laut. Namun demikian, komoditas/hasil laut yang selama ini dimanfaatkan masih
berfokus pada perikanan tangkap di laut dengan produksi sekitar 6,5 juta ton/ tahun; budidaya
laut (marine culture) 47 juta ton/ trahun; dan budidaya tambak (perairan payau) 5 juta ton/
tahun;. Total seluruh potensi sektor perikanan dan kelautan diperkirakan mencapai 1 triliun dolar
AS atau Rp. 9.300 triliun per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2013 (Rokhmin Dahuri,
2013).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkendali di beberapa wilayah perairan
Indonesia telah mengakibatkan beberapa WPP mengalami gejala penangkapan berlebih (over
fishing), karena jumlah tangkapannya sudah melebihi maximum sustainable yield (MSY).
Disamping persoalan tersebut, terdapat pula persoalan terkait masalah keberlanjutan lingkungan
yang dihadapi oleh perikanan budidaya, khususnya di perairan umum. Adanya kasus kematian
massal ikan dikarenakan up welling air dan terlampauinya batas carrying capacity lingkungan
karena kegiatan budidaya yang tidak terkendali, mengakibatkan menurunnya kualitas ekosistem
perairan. Kondisi ini akan terus terjadi,jika pemanfaatan perairan umum untuk kegiatan produksi
perikananbudidaya tidak mengadopsi prinsip-prinsip berkelanjutan. Padahal permintaan produk
perikanan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
meningkatnya keperluan asupan protein hewani sejalan dengan perbaikan kesadaran nilai gizi
untuk peningkatan kualitas SDM.
Selanjutnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan,masih dihadapkan pada
beberapa kendala dan tantangan terkait penguatan aspek manajemen, keterpaduan lintas sektor,
dukungan iptek dan lainnya. Potensi perikanan laut di perairan Indonesia masih banyak
dimanfaatkan oleh pihak asing, baik secara legal dan lebih banyak secara illegal karena
ketidakjelasan dan kelemahan dalam hal penegakan peraturan di laut kita. Ketentuan bahwa
nelayan dengan kapal berbendera asingtidak boleh memanfaatkan perairan Indonesia sudah
55 | P a g e
diterapkan, namun karena tidak mencukupinya pengawasan dan penegakan terhadap para
pelanggar, maka banyak armada ikan asing yang beroperasi di perairan Indonesia. Sebagai
akibatnya, nelayan domestik yang terbatas daya jangkau armadanya, mengalami kesulitan untuk
menangkap ikan.

Berikutnyaterkait dengan masalah polusi perairan, ketidakmampuan kita dalam


mengendalikan polusi dan menegakkan hukum bagi pencemaran perairan Indonesia, telah
mengakibatkan terkontaminasi nya perairan oleh polusi, yang berdampak pada keamanan ikan
yang dikonsumsi.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya diterapkan prinsip-prinsip


berkelanjutan secara konkrit, didalam pemanfaatan ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan.
Hal ini sangat penting karena sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi penting karena: (a) kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan
terus meningkat; (b) produkdapat diekspor, melalui input sumberdayayangberasal dari lokal; (c)
dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar, sehingga menyerap tenaga kerja cukup
banyak; dan (d) industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui
(renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

5.1. Ekonomi Hijau Penting untuk Eksistensi Sektor Kelautan dan Perikanan
Sebelum membahas mengenai pentingnya ekonomi hijau bagi sektor pertanian, perlu
disampaikan bahwa ekonomi hijau atau biru, bukan isu yang perlu diperdebatkan. Perlu dipahami
bersama bahwa ekonomi hijau yang dimaksud dalam Buku ini bukan ekonomi berkelanjutan
berbasis lahan saja, sehingga sering ditandingkan dengan ekonomi biru yang lebih berbasis laut.
Pertentangan mengenai pemahaman dari sisi definisi ilmiah dapat mengikuti pendapat dari
seorang pakar perikanan dan kelautan (Kotak 5.1.).

Pada saat yang sama, terdapat pula pemahaman ekonomi biru yang dipahami dalam
komunitas global tertentu khususnya dalam forum APEC, memandang bahwa ekonomi biru
merupakan agenda strategis ke depan karena sebagaian besar adalah berupa samudera dan laut
(Pasifik), yang menghubungkan negara-negara anggota APEC. Dengan demikian, ini merupakan
aset yang sangat potensial. Sementara itu, pemanfaatan dan pengelolaan aset yang ada di negara-
negara kawasan ini masih “land oriented” sehingga aset dan potensi di dalam laut belum
56 | P a g e
dimanfaatkan secara optimal. Pada saat ini pemanfaatan aset laut masih terbatas pada hasil ikan
dan tambang (migas), padahal masih banyak nilai/value yang terkandung di dalamnya (maritime
services). Selain itu, selama ini pengembangan ekonomi masih berorientasi darat dan aset serta
potensi laut belum dikembangkan dengan optimal khususnya ocean economy (fishery and and
marine economy), sehingga pelaku di sektor kelautan masih sangat tergantung pada hasil ikan
saja. Untuk itu, ocean economy menempakan pembangunan berorientasi laut (perikanan dan
kelautan) dalam proporsi yang lebih besar, dan perlu dikembangkan sebagai bagian integral dan
signifikan dalam perekonomian negara dan kawasan APEC.

Kotak 5.1. Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru

Ekonomi Hijau:

x EH mendorong tranformasi ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan dengan karbon rendah,
efisiensi SD, dan kesejahteraan sosial serta mendorong pola konsumsi dan pertumbuhan produksi
secara berkelanjutan.
x EH dipengaruhi oleh aliran modernisasi teknologi (aliran yang menyinergikan ekonomi dan
lingkungan dengan pendekatan cenderung positivisme), seolah proses sosial ekonomi adalah linier
dan universal.
x Pendekatan ini banyak dianut meskipun mengandung kelemahan seperti menghasilkan prosuk yang
mahal (ekolabel) shg tidak terjangkau oleh orang miskin, perdagangan karbon yg tidak adil untuk
dunia ketiga dan sering hanya menyentuh permukaan.
x Pengembangan wisata bahari menyisakan konflik dengan nelayan Æ sehingga EH digolongkan
sebagai bagian dari ekologi-dangkal (shallow ecology)-Boockin, 1991.

Ekonomi Biru:

x EB: mengoreksi EH dan mengembangkannya untuk menciptakan langit dan laut biru (simbol
lingkungan bersih) dan menyejahterakan.
x EB: terinspirasi oleh aliran ekologi dalam (deep ecology) yang diperkenalkan oleh Arne Maess,
1970an.
x EB menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak
menempatkan alam sebagai obyek. EB menekankan pentingnya memahami prinsip alam bekerja
(back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan non linier sehingga kehasan lokasi sangat
diperhatikan.
x Prinsip EB: (i) nirlimbah (zero waste) dan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi
sehingga tercipta sistem produksi bersih; (ii) inklusi sosial, berarti pemerataan sosial dan kesempatan
kerja yang banyak untuk orang miskin,; (iii) inovasi dan adaptasi yang memperhatikan hukum
fisika dan sifat alam yang adaptif; (iv) efek ekonomi pengganda, yang berarti aktivitas ekonomi
yagn dilakukan akan memiliki dampak luas dan tidak rentan terhadap gejolak pasar, karena EB
menekankan produk ganda shg tidak tergantung pada satu produk (core business)

Sumber: disarikan dari artikel artikel Arif Satria, Kompas 15 Desember 2012

57 | P a g e
Tanpa membedakan keduanya, buku ini mengambil pengertian bahwa ekonomi hijau dan
biru memiliki prinsip dan definisi sederhana yaitu keduanya menganut prinsip dasar efisiensi
sumberdaya dan ramah lingkungan (minimum limbah atau nir limbah) untuk adanya
keberlanjutan. Dengan prinsip ini maka keduanya memiliki esensi dan cakupan yang sama.
Dalam Buku Sustainable Development (Kemen.PPN/Bappenas dan Kemen.Lingkungan Hidup,
2012), ekonomi hijau mencakup penerapan keberlanjutan dalam ekonomi berbasis lahan
(landbase economy) dan ekonomi berbasis laut (marine base economy). Pengertian inilah yang
akan digunakan secara keseluruhan dan terutama dalam Bab ini.

Selanjutnya, Ekonomi hijau penting untuk diterapkan di sektor perikanan dan kelautan
karena dua (2) hal yaitu Pertama, bahwa keberlanjutan produksi perikanan dan hasil laut lainnya
sangat tergantung pada kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan yang buruk akan berdampak
pada aliran air baik di sungai, perairan umum maupun di laut. Kedua, bahwa masih banyak
manfaat lain yang belum dikembangkan dari sektor perikanan dan kelautan. Dengan demikian,
keberlanjutan eksistensi dan fungsi perairan umum dan laut akan sangat memperluas
pemanfaatan dan kontribusi sektor perikanan dan kelautan. Apabila sektor perikanan dan
kelautan tidak dapat dijaga/rusak, maka akan mengganggu kontribusi perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat yang tergantung di dalamnya.

5.1.1 Eksistensi Sektor Kelautan Perikanan dan Kelautan Tergantung pada Kualitas Air
dan Ekosistem

Sesuai dengan RPJPN 2005-2025, pengembagan industri kelautan perlu dilakukan


secara secara sinergi karena mencakup aspek yang sangat luas. Besarnya potensi wilayah laut
yang mencapai sekitar 70 persen luas wilayah Indonesia, memerlukan adanya pemanfaaftan
secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Dengan adanya salilng ketergantungan antara kualiats
air dan eksistensi perekonomian dan kehidupan yang ada di laut, maka pemanfaatan
berkelanjutan sangat penting. Beberapa aspek yang dimandatkan dalam RPJPN 2005-2025
meliputi: (i) perhubungan laut; (ii) industri maritim; (iii) perikanan; (iv) wisata bahari; (v) energi
dan sumberdaya mineral; (vi) bangunan laut; dan (vii) jasa kelautan. Aspek-aspek di bidang
kelautan (dan perikanan di dalamnya) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab pencemaran laut
dan perairan, yaitu perhubungan laut, industri maritim, bangunan laut dan energi serta
sumberdaya mineral. Kelompok kedua adalah pengguna dan pemanfaatan ekonomi perairan
58 | P a g e
umum dan laut yang mendapat dampak dari buruknya kualitas air, dan sekaligus dapat pula
menjadi penyebab pencemaran air.

1) Kegiatan Di Sektor Kelautan yang Berpengaruh Kualitas Air dan Ekosistem

Pemanfaatan laut dan perairan umum yang berdampak langsung terhadap pencemaran air
perlu dikendalikan untuk menjaga kualitas perairan. Perhubungan laut paling berpengaruh dalam
memanfaatkan laut sebagai media pembangunan. Oleh sebab itu,keduanya memanfaatkan
permukaan laut untuk beroperasi, sehingga pengelolaan perhubungan dan industri maritim yang
ramah lingkungan akan berdampak besar pada keberlanjutan fungsi laut secara luas. Aktivitas
perhubungan laut, akan sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan yang berimplikasi pada
kemampuan perairan laut, tidak saja untuk produksi perikanan, namun juga kehidupan seluruh
biodiversity di dalamnya. Sehubungan dengan itu, pengaturan mengenai limbah yang
ditimbulkan oleh perhubungan laut, baik yang dilakukan oleh armada domestik/nasional, maupun
pelayaran internasional yang melintas jalur ALKI sangat penting. Peraturan tersebut sejalan
dengan pelaksanaan UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun demikian,
diperlukan instrumen dan penegakannya oleh Kementerian Perhubungan. Bidang lainnya yang
dapat mempengaruhi kondisi perairan umum adalah bangunan laut, terutama dalam bentuk
pelabuhan kapal maupun pelabuhan ikan, yang berpotensi menimbulkan pencemaran peraian
yang akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan laut.

Aspek lain yang juga berpotensi meningkatkan polusi perairan laut adalah penambangan sumber
daya energi, mineral serta pertambangan. Pengelolaan pertambagan yang ramah lingkungan
sangat penting diperhatikan karena pada umumnya limbah minyak, mineral dan hasil tambang
tidak hanya membahayakan kualiats lahan, namun juga perairan terbula (sungai dan danau) dan
pada akhirnya ke laut. Penambangan minyak dan gas di laut lepas juga sangat berpotensi
mencemari laut, dan pemantauan kualitas laut lepas belum dapat dijangkau dengan adanya
keterbatasan sumberdaya (Kotak 5.2).

59 | P a g e
Kotak 5.2. Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut

Pencemaran akibat tumpahan minyak di laut kemungkinan besar terjadi di kawasan-kawasan padat lalu lintas
laut dan terdapat aktivitas perminyakan, seperti di Selat Malaka, Selat Makasar maupun di Laut Jawa.
Diperkirakan 7 juta barel per hari minyak mentah (27% dari sejumlah wilayah yang ditransportasikan di
dunia) melewati Selat Malaka, 14% menuju Singapura dan sisanya melewati Laut Cina Selatan menuju
Jepang dan Korea Selatan, dan sebanyak 0,3 juta barel per hari (sekitar 1%) melalui Selatan Pulau Sumatera
dan sebanyak 5 sampai 6 kapal tanker raksasa yang bermuatan lebih dari 250.000 ton melewati Selat Lombok
dan Makasar.

Selama tahun 1982-1993 tercatat adanya peningkatan lalu lintas perkapalan yang melalui Selat Malaka. Pada
tahun 1982 tercatat 119 kapal yang melewati selat tersebut setiap harinya, sedangkan pada tahun 1993
mencapai 274 kapal per hari atau rata-rata per tahun lebih dari seratus ribu kapal yang melewati Selat Malaka.
Kapal tanker yang melalui selat tersebut mencapai 18.130 kapal pada tahun 1987 dan pada tahun 1993 telah
meningkat menjadi 32.863 kapal tanker. Selama periode tahun 1975 – 1997 telah terjadi kecelakaan kapal
sebanyak 104 buah, yang menyebabkan terjadinya tumpahan minyak ke laut diantaranya :1. Kandasnya kapal
tanker Showa Maru dan tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace pada bulan Januari 1975;2.
Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada tanggal 20 Desember 1979 di pelabuhan Bulebag Bali;3. Kapal
tanker Golden Win bocor di pelabuhan Lhokseumawe pada tanggal 8 Pebruari 1979;4. Kapal Nagasaki Spirit
bertabrakan dengan kapal tanker Ocean Blessing di Selat Malaka pada tanggal 20 September 1992 yang
menumpahkan minyak sebanyak 13.000 ton;5. Kapal tanker Maersk Navigator pada bulan Januari 1993
kandas di pintu masuk Selat Malaka;6. Kapal tanker MV Bandar Ayu bertabrakan dengan kapal ikan Tanjung
Permata III di Pelabuhan Cilacap pada tanggal 4 April 1994;7. Kapal pengangkut minyak bumi Thai, Orapin
Global bertabrakan dengan kapal tanker Evoikos di Selat Singapore pada tanggal 13 Oktober 1997.

2) sektor Kelautan dan Perikanan Adalah Penerima Dampak Pencemaran Perairan


Umum dan Laut.

Aspek perikanan yang merupakan pemanfaat dari perairan yang bersih, selain
akan mendapat dampak buruk dari pencemaran laut dan perairan umum, juga dapat
menjadi penyebab pencemaran air. Beberapa penyebab pengelolaan perikanan yang tidak
ramah lingkungan antara lain: (i) penggunaan bahan berbahaya pada saat melaut atau
menangkap ikan; (ii) pengelolaan budidaya ikan yang tidak memperhatikan daya dukung
perairan; (iii) pengelolaan limbah pengolahan ikan, baik limbah padat maupun cair, baik
di tingkat pengelolaan ikan mentah maupun di tingkat industri; dan (iv) pengembangan
tambak yang mengganggu hutan kualitas pesisir dan hutan mangrove.

60 | P a g e
a). Wisata Bahari Sebagai Sumber Pendapatan Baru dari Ekonomi
Hijau/Ramah Lingkungan.

Wisata bahari merupakan sub bidang lain yang memanfaatkan keberadaan


biodiversity dan pesisir yang bersih dan indah yang ada di perairan nasional. Berbagai
lokasi wisata bahari yang sudah sering dikunjungi turis adalah pantai Kuta, Sanur serta
pantai di perairan laut selatan. Lokasi lain yang lebih mengandung biodiversity laut dan
dikenal sebagai lokasi diving adalah Raja Ampat, Wakatobi, dan sekitar perairan pulau
Komodo di Labuhan Bajo (Kotak 5.3). Pemanfaatan untuk wisata bahari yang menjadi
sumber pendapatan daerah dan masyarakat ini mengandalkan kebersihan pantai dan
peraian laut. Dengan demikian, pencemaran laut dan pesisir akan sangat mempengaruhi
nilai pemanfaatan dan keberlanjutan pemanfaatan ini.

Kotak 5.3 Wisata Bahari Indonesia

Sebagian negara maritim Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan utama wisata bahari. Indonesia
mempunyai beberapa obyek wisata berupa Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Alam Laut dan
Suaka Margasatwa Laut, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Obyek-obyek wisata bahari yang
dimiliki Indonesia antara lain:
a. 7 (tujuh) Taman Nasional Laut, yaitu : Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), kepulauan Karimunjawa (Jawa
Tengah), Kepulauan Takabonarate (Sulawesi Selatan), Pulau Bunaken (Sulawesi Utara), Kepulauan
Wakatobi/Tukang Besi (Sulawesi Tenggara) dan Teluk Cendrawasih (Irian Jaya), dengan luas total
mencapai 4,0 juta ha
b. 14 (empatbelas) Taman Wisata Laut tersebar di & propinsi, yaitu : D.I. Aceh(P.Weh dan P. Banyak);
Kalimantan Tengah (Tanjung Keluang);Kalimantan Timur (P. Sangalaki);NUsa Tenggara Barat (P.Moyo,
P.Gilli Air/Terawangan/Meno);Nusa tenggara Timur (Teluk Maumere, P.Tujuhbelas dan Teluk
Kupang);Sulawesi Selatan (P.Kapoposang);Maluku(P.Pombo, P.Kasa dan P.Banda), dengan luas total
mencapai 0,5 juta ha
c. 11(sebelas) suaka alam laut dan suaka margasatwa laut, dengan luas total mencapai 0,15 juta ha.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2003

Selanjutnya, wisata bahari ini perlu pula dikelola secara ramah


lingkungan.Kualitas dan kebersihan kapal turis ini serta daya tampung suatu lokasi wisata
terhadap jumlah wisatawan yang berkunjung dan daya dukung terhadap fasilitas (kapal,
resort dan fasilitasnya) perlu dihitung dengan baik. Pemanfaatan yang berlebihan akan
mengganggu kualitas dan kehidupan biodiversity yang menjadi daya tarik wisata.
Pengelolaan sampah dan limbah dari usaha wisata ini juga berpengaruh tidak saja

61 | P a g e
terhadap kualitas wisata namun juga peraian yang menjadi daya tarik utama wisata
bahari.

Pencemaran perairan juga terjadi di wilayah wisata perairan umum, yaitu wisata
sungai dan danau. Pembuangan limbah industri dan limbah masyarakat akan berpengaruh
terhadap keindahan dan kualitas air yang menjadi bagian dari wisata air ini. Pemanfaatan
perairan umum untuk keramba yang berlebihan juga terbukti sudah mengakibatkan tidak
saja bau namun juga kualitas air yang berpengaruh terhadap daya hidup ikan yang berada
di peraian tersebut. Dampak lain yang merugikan adalah: (i) terganggunya kualitas air
bersih yang bersumber dari danau dan perairan umum tersebut; (ii) wisata air juga dapat
terganggu, misalnya wisata air di Danau Toba, dan Danau Maninjau (Kotak 5.4)

Kotak 5.4. Ikan Di Danau Maninjau Sumatera Barat Mati Karena Kebanyakan Pakan

KEMATIAN ikan di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat,
dua hari lalu, disebabkan pakan. Kematian puluhan ton ikan itu disebabkan masuknya mikroskopis
yang mengambang di permukaan air ke insang ikan di dalam keramba. “Lima belas persen pakan ikan
terbuang ke dalam air setiap petani memberi makanan kepada ikan yang ada di keramba. Itu yang
membentuk unsur nitrogen dan fosfor,” Sebelumnya diduga, kematian ribuan ikan Danau Maninjau
akibat naiknya balerang ke atas permukaan danau.

Kerugian akibat bencana tersebut mencapai Rp1,2 miliar, dengan estimasi 1 kg ikan seharga Rp18
ribu. Namun menurut Badan Pengelola Kelestarian Danau Maninjau (BPKDM) Kasman, ikan yang
mati di Danau Maninjau mencapai 130 ton.Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam, Ir.
Ermanto, M.Si, mengakui kalau angin darek merupakan penyebab utama mengapungnya racun dari
dasar danau. Racun tersebut antara lain berasal dari belerang, residu pakan ikan, dan kotoran
ikan.Diperkirakan, setidaknya 60 ton pakan ditebar ke perairan Danau Maninjau. Pakan ikan tersebut
untuk konsumsi sekitar 12.000 unit KJA yang tersebar di Danau Maninjau.Untuk mengantisipasi
kerugian lebih parah, Bupati Agam H. Indra Catri Dt. Malako Nan Putiah, telah mengeluarkan
himbauan agar petani ikan KJA mengurangi jumlah bibit ikan ke dalam KJA. Kondisi Oktober 2011-
Pebruari 2012, cuaca kurang bersahabat. Pengendalian pertumbuhan keramba jala apung (KJA) di
perairan Danau Maninjau harus diatur dengan Perda, dan dilaksanakan dengan tegas dan konsekuen.
Perkembangan jumlah pembudidaya dan KJA tidak terencana dengan baik, sehingga jumlah dan tata
letak KJA tidak mempertimbangkan daya dukung dan kondisi lingkungan.

Sumber: www//pelaminanminang.wordpress (online)

Selanjutnya, jasa kelautan lain yang belum dimanfafatkan dan berpotensi menjadi
sumber ekonomi adalah: pemanfaatan bioresources laut, sumberdaya non hayati kelautan
dan energi laut.
62 | P a g e
b). Sumber Daya Hayati di Sektor Kelautan, Bioresources yang Belum
Dimanfaatkan Secara Optimal.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya


hayati yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagai energi baru,
Beberapa contoh tersebut adalah pembuatan elektrolit baterai dari polimer chitosan.
Baterai merupakan sumber energi utama yang paling praktis dan murah digunakan pada
masyarakat dunia saat ini. Pasaran baterai dunia pada tahun 2007 telah mencapai 50
milyar US$ dan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 74 milyar US$. Pemakai
ponsel merupakan pengguna terbesar sumber energi ini. Perkembangan baru teknologi
baterai telah mengarah pula pada baterai dalam bentuk tipis serupa kertas (Li-ion
nanocomposite paper). Selain itu contoh lain adalah pembuatan biofuel baik dari bahan
mikro ataupun makro. Potensi pengembangan bioteknolgi menjadi salah satu sumber
penting, menurut Dahuri (2013) potensi bioteknologi mencapai 82 milyar per tahun.
Disamping itu potensi sumber daya hayati adalah sumber daya yang mudah diperbaharui
(renewable) maka nilai ekonomi tersebut dapat dinikmati setiap tahun secara terus
menerus.
Sumber daya non hayati. Sumber daya non hayati yang bisa di manfaatkan
sebagai alternatif bahan energy adalah pemanfaatan arus, gelombang, dan Ocean Thermal
Energy Conversion (OTEC), seperti yang bisa dilihat di Tabel 5.1. Potensi energi yang
dihasilkan dari pemanfaatan OTEC mampu: (i) menghasilkan dan menambah sumber
daya listrik untuk memenuhi kekurangan pasokan yang ada; (ii) dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan lokal terutama yang tidak mendapat layanan listrik dari grid.
Ketiadaan sumber listrik dari grid menjadikan bahwa sumberdaya lokal tersebut memiliki
keunggulan tidak hanya teknis namun juga biaya. Sumberdaya ini juga merupakan
sumberdaya ramah lingkungan. Penambahan sumberdaya ramah lingkungan dan sesuai
potensi lokal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan layanan listrik nasional,
mendukung sasaran pembangunan untuk memenuhi 100% layanan listrik dan sekaligus
sebagai alat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

63 | P a g e
Tabel 5.1. Kontribusi laut sebagai sumber non hayati

No Jenis Energi Lokasi Potensi


1 Arus laut* (1). Selat Alas; (2). Selat Sape; (3). Selat Masing-masing: @ 300
Linta; (4). Selat Molo; (5). Selat Flores; Mwatt.
(6). Selat Boleng; (7). Selat Lamakera; dan
(8). Selat Pantar; (9) Selat Alor.

2 Gelombang** Perairan sebelah barat pantai Sumatera dan Masing-masing @ 40 kW


pantai Selatan Jawa per meter
Sebelah selatan pantai NTB dan NTT Masing-masing @ 10-20
kW per meter
Sebelah selatan pantai Bali, Maluku, dan Masing-masing @ 70 kW
Selatan Papua per meter
3 OTEC*** 1. Barat Sumatera (Gugus Mentawai dan Belum terdeteksi
Samudera Hindia); (2) Sisi selatan Selat
Sunda(Pulau Pamulang); (3). Timur
Selayar; (4). Maluku; (5) Buton; (6)
Sangir; (7)Talaud; (8) Morotai; dan (9)
Utara Sorong
(Balitbang KP, 2012)
5.1.2 Sektor Perikanan Berpotensi Mencemari dan Sekaligus Penerima Dampak
Pencemaran Air dan Pengelolaan Perikanan yang Tidak Ramah Lingkungan

Bagian penting dari kelautan adalah industri perikanan secara luas, dari
penangkapan dan budidaya sampai ke pengolahan serta industri terkaitnya. Dengan
menggunakan definisi ini, maka keseluruhan sektor perikanan dapat digambarkan dalam
Gambar 5.1 sebagaimana berikut :

Sumber : Paparan Direktur Sumber Daya Ikan,Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap


Gambar 5.1. Keterkaitan antara Industri Primer, Sekunder dan Tersier dalam Industri Per
Perikanan
64 | P a g e
Dalam kaitan dengan itu, maka penerapan prinsip ramah lingkungan dan
berkelanjutan perlu dilakukan pada setiap jenis dan tingkatan usaha dari: (i) penangkapan
dan budidaya ikan; (ii) pendaratan/pelabuhan perikanan; (iii) pengolahan; (iv) pemasaran
dan pelelangan. Sementara itu di sisi keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang
merupakan sektor pendukung, maka prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan dapat
pula diterapkan dalam galangan, spare parts, BBM, dan umpan/pakan.
1). Penangkapan dan budidaya ikan ramah lingkungan.
Penerapan usaha penangkapan ikan secara ramah lingkungan perlu menerapkan
penggunaan bahan-bahan yang tidak mencemari laut dan aman terhadap konsumsi ikan
dalam proses penangkapan ikan. Penggunaan bahan yang berpotensi mencemari air laut
misalnya adalah penggunaan potassium untuk poison fishing. Selain itu, penggunaan
formalin dan bahan pengawet ikan (selain alat pendingin) juga sangat berbahaya terhadap
keamanan ikan untuk dikonsumsi. Ketiadaan fasilitas pendingin pada kapal nelayan dan
juga di tempat pengolahan ikan skala kecil mendorong nelayan dan penangkap ikan
menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan. Hal ini perlu dicegah dan ditegakkan
pengaturan yang ada agar ikan yang dihasilkan benar-benar aman dikonsumsi. Demikian
pula dalam budidaya ikan, pemanfaatan perairan terbuka untuk keramba/jaring apung
yang melebihi daya dukung dan daya tampung ekosistemnya akan merugikan tidak saja
penduduk sekitranya, namun juga hasil ikan serta usaha wisata air/perairan yang ada,
sebagaimana dijelaskan di atas.
2). Penangkapan ikan berkelanjutan.
Proses penangkatan ikan perlu memperhatikan daya tumbuh/reproduksi ikan agar
penangkapan ikan sesuai dengan maximum sustainable yield (MSY). Penertiban
penangkapan ikan produktif perlu ditingkatkan agar kesinambungan ketersediaan ikan
tangkap dapat dilakukan. Tidak kalah pentingnya adalah pengawasan terhadap armada
perikanan besar yang menggunakan alat-alat yang tidak membatasi penangkapan ikan,
sehingga merusak produktivitas ikan dan merugikan nelayan setempat.
3). Pengelolaan tempat pendaratan, pemasaran dan pelelangan ikan ramah
lingkungan dan berkelanjutan.

Tempat pendaratan dan pelabuhan ikan, di berbagai tempat di Indonesia juga


masih belum bersih dan masih berbau.Kebersihan lingkungan TPI, ketersediaan air bersih

65 | P a g e
serta pengelolaan limbah di TPI perlu dipebaiki agar hasil perikanan dapat memenuhi
persyaratan Sanitary and Phitosanitary (SPS) yang diterapkan di pasar global maupun
negara pengimpor. Limbah ikan yang dihasilkan dapat dikelola agar tidak mencemari
produk ikan dan untuk dijadikan pupuk organik, dan sekaligus mengurangi bau yang
timbul di TPI. Selain tempat pendaratan, tempat pemasaran/pelelangan ikan juga perlu
menggunakan alat yang bersih dan menjaga kebersihan tempat pelelangan.
Protensi penerapan prinsip berkelanjutan lain adalah penggunaan sumber energi
untuk menjalankan fasilitas yang ada. Penggunaan sumber listrik tenaga matahari untuk
menjalankan tempat pendaratan/pelabuhan ikan seoptimal mungkin akan dapat
mengurangi penggunaan BBM untuk diesel penerangan. Demikian pula, penggunaan
biodiesel dan gas misalnya untuk menjalankan kapal nelayan baik besar maupun kecil,
sesuai ketersediaan setempat merupakan penerapan prinsip berkelanjutan dan akan
meningkatkan kualitas pengelolaan.
4) Penggunaan bahan ramah lingkungan dan aman untuk pengolahan ikan.
Pengolahan ikan, perlu ditegakkan peraturan tentang penggunaan bahan
berbahaya dan yang tidak digunakan untuk makanan. Pengembangan penggunaan bahan
pengawet dari sumber herbal atau bodiversity lain akan menjamin keamanan makanan
dan ramah lingkungan. Sementara itu, pengelolaan limbah pengolahan ikan perlu
dilakukan agar terjaga kebersihan dan keamanan hasil perikanan.
5). Penurunan susut dengan penyajian dan penjualan dalam bentuk fillet.
Pengolahan ikan bisanya masih menghasilkan “susut” yang cukup besar. Ikan
yang dijual dan dikonsumsi utuh juga: (i) membutuhkan ruang untuk penyimpanan dan
pengangkutan; dan (ii) tidak ekonomis karena nilainya rendah (masih mengandung tulang
dll yang akhirnya dibuang); (iii) mengangkut sampah dan akhirnya akan menjadi buangan
yang mencemari lingkungan di tempat konsumsi. Sehubungan dengan itu, perlu diperluas
penerapan pengolahan ikan menjadi bentuk “fillet”. Proses pengolahan ikan menjadi fillet
akan meningkatkan nilai ikan karena: (i) nilai bersih lebih banyak per satuan beratnya; (ii)
mudah untuk dimasak dan dikonsumsi. Hal ini penting untuk konsumen skala menengah
yang sudah ingin praktis mengolah ikan; (iii) ikan dengan jenis kualitas biasa akan
nampak lebih “bernilai” karena penyajian menjadi lebih baik. Langkah ini penting untuk
mendukung pula peningkatan konsumsi ikan sebagai sumber protein untuk berbagai
tingkat pendapatan konsumen/segmen masyarakat.
66 | P a g e
5.2. Regulasi dan Landasan Kebijakan dalam Penerapan Ekonomi Hijau Pada Bidang
Kelautan dan Perikanan

Pemerintah menyadari betul pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan


secara berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, berbagai peraturan yang mendukung penerapan
aspek-aspek. Pembangunan Hijau terkait dengan aktifitas di Kelautan dan Perikanan, diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan (revisi Undang-Undang Nomor
31 tahun 2004); UU No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for theImplementation of
the Provisions of the United Nations Convention onthe Law of the Sea of 10 December 1982
Relating to the Conservationand Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
FishStocks. Sebagai langkah pelaksanaan dari peraturan tersebut telah ditetapkan Peraturan
Presiden No. 122/2012 tentang Reklamasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
tentang Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Dalam PP tersebut diamanatkan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi perairan diatur melalui sistem zonasi. Terdapat empat zona
dalam kawasan konservasi perairan yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan (budidaya dan
penangkapan ramah lingkungan), zona pemanfaatan (antara lain untuk pariwisata bahari) dan
zona lainnya (misalnya untuk situs budaya dan agama).

Selain itu terdapat pula beberapa perundangan lainnya yang terkait Kelautan dan
Perikanan yang berhubungan dengan lingkungan, dintaranya: (i). UU No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (ii). UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya; (iii).UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.

5.3. Penerapan Ekonomi Hijau dalam Pembangunan Kelautan Perikanan Saat Ini

1). Pengelolaan dan Konservasi Terumbu Karang

Penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dalam kegiatan Kelautan dan


Perikanan telah mulai dikembangkan, diantaranya adalah melalui program konservasi
ekosistem pesisir.Kegiatan Coral Reef Rehabilitation dan Managemen Program
(COREMAP) di 8 provinsi di peruntukan untuk melindungi dan melestarikan ekosistem
terumbu karang dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, serta
meningkatan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dengan tepeliharanya
ekosistem pesisir, maka sumber daya perikanan dan pendapatan masyarakat dari wisata
67 | P a g e
bahari dapat terjaga keberlanjutannya. Hal ini perlu didukung dengan pengawasan
pemanfaatan sumber daya kelautan yang terus dilakukan dengan memperkuat kelompok
masyarakat pengawas (pokmaswas) dan polisi khusus (polsus).
Mengingat ekosistem laut dan pesisir bersifat transboundary, kerja sama
pengelolaan eksosistem laut dan pesisir antar negara juga telah dilakukan secara terus
menerus untuk menjaga keberlanjutan ekosistem. Indonesia berpartisipasi dalam
pengelolaan Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion dan menjadi penggagas dalam Coral
Triangle Initiative (CTI). Negara anggota CTI bersepakat untuk menerapkan prinsip
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem, pengelolaan marine protected
area secara efektif, menerapkan langkah adaptasi perubahan iklim, dan meningkatkan
status spesies laut yang terancam, serta menetapkan daerah prioritas bentang laut.
Pengelolaan ekosistem pesisir dilakukan pula dengan gerakan “Ayo tanam
mangrove” dan pengembangan sekolah pantai bekerjasama dengan BMKG, DNPI dan
UNESCO untuk merestorasi hutan mangrove di kawasan pesisir. Selain itu, dilakukan
pula program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang bertujuan untuk: (i)
meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana sosial ekonomi; (ii) meningkatkan kualitas
lingkungan hidup; (iii) meningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan Pemda dalam
pengambilan keputusan partisipatif dan kapasitas kesiapsiagaan terhadap bencana dan
perubahan iklim. Aspek perubahan iklim ditambahkan di sini karena dengan semakin
meningkatnya pemanasan global, maka masyarakat pesisir paling rentan terkena dampak
naiknya muka air laut. Selain itu, dikembangkan pula Sistem Informasi Mitigasi Bencana,
Adaptasi Iklim dan Lingkungan (SI-MAIL) untuk menyebarluaskan informasi sehingga
PDPT dapat terlaksana dengan baik.
2). Rencana Pengelolaan Perikanan
Dalam bidang Perikanan, Pemerintah telah melakukan inisiasi penerapan
manajemen sumberdaya perikanan yang lebih baik, bertanggungjawab dan berkelanjutan,
melalui launching Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
718 (RPP WPP 718) untuk mewujudkan sustainable fisheries.Peluncuran RPP WPP 718
mencakup laut Arafura, laut Aru dan laut Timordilakukansebagai komitmen pemerintah
dan seluruh pemangku kepentingan perikanan untuk merevitalisasi pengelolaan perikanan
tangkap di Laut Arafura dan sekitarnya sebagai salah satu kawasan perikanan tersubur di
dunia. Peluncuran RPP WPP 718 ini diharapkan dapat meningkatkan produksi udang
68 | P a g e
hingga 45 persen dan ikan demersal hingga 20 persen. Adanya sistem buka tutup dan
area-area zona inti, sebagai tempat pemijahan ikan dan nursery ground sangat dibutuhkan
untuk mencegah ikan teraksploitasi tanpa kendali. Penyusunan RPP WPP 718 dilakukan
dengan pendekatan Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem atau Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM).
Penerapan RPP WPP ini sebagai model manajemen bersama yang melibatkan
beberapa Pemerintah Daerah terkait (Gubernur Maluku, Papua, dan Papua Barat, delapan
Bupati Kepala Daerah sekitar WPP 718. Mengingat karakteristik ikan sebagai species
yang bersifat transboundary dan migratory species, maka sekat-sekat administrasi yang
seringkali membatasi kapasitas manajemen perlu untuk diubah dengan pendekatan
pengelolaan bersama seperti ini.
Untuk mewujudkan koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan, sekaligus sebagai
wadah komunikasi antar pelaku perikanan, pemerintah telah membentuk sebuah wadah
bagi seluruh pemangku kepentingan bidang kelautan dan perikanan berupa suatu Forum
Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya ikan yang kemudian disingkat FKPPS.
Secara umum, pembentukan forum ini dimaksudkan untuk membahas hasil
inventarisasi/masukan data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan serta
permasalahan/kasus yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut, memberi
pertimbangan pendapat maupun saran pemecahan dalam upaya menyelesaikan
permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang terjadi dalam masyarakat dan
untuk memberi masukan dalam upaya menetapkan kebijaksanaan pengelolaan
sumberdaya ikan laut untuk menciptakan sinergi dalam melakukan pengelolaan perikanan
secara bertanggung jawab. Anggota forum ini berasal kalangan pemerintah, asosiasi
nelayan, peneliti, akademisi, dan asosiasi pengusaha dari sejumlah daerah di Indonesia
3). Pengembangan Indikator EAFM
Ekosistem perairan Indonesia baik perairan laut maupun perairan umum daratan
adalah perairan tropis yang dicirikan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan
demikian keragaman jenis spesies tinggi, namun volume stok relatif tidak banyak.
Keragaman jenis berasosiasi dengan konektivitas antar spesies. Sementara itu, di sisi lain,
sumberdaya ikan masih masih menjadi sumber kehidupan dari sebagian besar masyarakat
baik dalam konteks mata pencaharian maupun sumber protein (ketahanan pangan).
Dengan demikian, dalam realitasnya,pengelolaan perikanan merupakan sebuah
69 | P a g e
kompleksitas sistem sosial-ekologis (social-ecological system). Dalam konteks ini lah
Indonesia memerlukan EAFM dalam penyempurnaan pengelolaan perikanan. Hal-hal
yang menyebabkan indonesia membutuhkan penerapan EAFM :
x Indonesia memiliki posisi penting dalam perikanan global baik dalam konteks
geografis (negara kepulauan terbesar) maupun dalam konteks produksi perikanan.
Indonesia adalah produser perikanan terbesar nomor 2 atau 3 di dunia bersama
China dan Peru. Dalam konteks ini maka pengelolaan perikanan yang lebih baik
di Indonesia dapat menjadi barometer bagi pengelolaan perikanan global.
x Indonesia telah memiliki unit pengelolaan perikanan dalam bentuk Wilayah
Pengelolaan Perikanan
x Indonesia telah memiliki sistem tata kelola perikanan dengan pendekatan
teknokratik-administratif berbasis pada hubungan pusat dan daerah melalui sistem
perencanaan pembangunan nasional, pembangunan sektoral, dan pembangunan
daerah. Dalam konteks EAFM, sistem ini dapat disempurnakan dengan
penyusunan Rencana Pengelolan Perikanan yang bersifat spasial, temporal dan
resources based dan menitikberatkan pada fungsi manajemen bukan administratif.
x Indonesia memiliki modal sosial pelaku perikanan dari semua level yaitu dari
small scale fisheries hingga industrial fisheries. Hal ini ditambah dengan adanya
pengetahuan lokal yang beragam namun mendorong implementasi EAFM di
Indonesia.
Inisiasi EAFM dimulai pada tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2011-2012,
sistem indikator mulai diuji pendahuluan terhadap WPP di Indonesia dan dilanjutkan
dengan pengujian di beberapa lokasi serta diikuti dengan peningkatan kapasitas SDM
terkait dengan sistem indikator tersebut. Proses berikutnya adalah pengembangan
pengujian ke arah implementasi dan analisis indikator untuk beberapa unit perikanan
seperti WPP dan unit perikanan menurut jenis pada tahun 2013. Pada saat yang sama
proses adopsi legal dilakukan dengan menyusun Naskah Akademik Implementasi EAFM
di Indonesia. Pada tahun 2014 adopsi legal EAFM dan penyusunan review RPP bagi
seluruh WPP dengan menggunakan kerangka EAFM juga dapat dilakukan.

70 | P a g e
4). Penerapan Prinsip dan Good Aquaculture Practices dan Good Handling
Practices

Penerapan prinsip Cara Budidaya Ikan yang Baik (Good Aquaculture Practices)
dan Cara Penanganan Ikan yang Baik (Good Handling Practices) telah diperkenalkan dan
dikembangkan secara bertahap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini
didorong dengan semangat untuk menjadikan proses produksi budidaya maupun
perikanan tangkap berjalan lebih efisien, berdayasaing dan mengtindahkan prinsip-prinsip
kepentingan lingkungan.
Cara Budidaya Ikan yang Baik adalah sistem atau metoda cara budidaya ikan
dengan mengendalikan faktor-faktor eksternal yang dapat bersifat merugikan dengan
penerapan cara budidaya dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan termasuk
proses pemanenannya agar dihasilkan kualitas mutu produk ikan hasil budidaya dengan
kualitas yang baik. Kunci utama dalam pengendalian hama dan penyakit ikan adalah
melalui penerapan biosecuritydisamping aspek keamanan pangan (food safety) dan ramah
lingkungan (enviromental friendly). Keamanan biologi (biosecurity) merupakan upaya
mencegah atau mengurangi peluang masuknya penyakit ikan ke suatu sistem budidaya
dan mencegah penyebaran dari satu tempat ke tempat lain yang masih bebas. Namun
demikian secara umum pada kenyataannya prinsip biosecurity belum sepenuhnya
diterapkan pada kegiatan budidaya ikan. Kondisi ini berbanding terbalik jika
dibandingkan pola manajemen budidaya ikan yang dilakukan di negara asing yang
teknologi budidaya ikannya sudah sangat maju seperti; Thailand, China dan
Jepang.Prinsip biosecurity menjadi pertimbangan utama sebagai penentu keberhasilan
budidaya ikan. Pembudidaya seringkali belum menyadari bahwa pengelolaan air bukan
hanya dilakukan pada air yang masuk, namun pengelolaan air buangan budidayapun yang
sangat penting untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit ikan terhadap lokasi
budidaya disekitarnya. Mempertimbangkan fenomena di atas maka upaya public
awareness terus digalakan kepada para pembudidaya ikan, sehingga timbul kesadaran,
komitmen dan tanggungjawab bersama dalam mewujudkan cara budidaya ikan yang lebih
bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Cara Penanganan Ikan yang Baik (Good Handling Practices) meliputi cara
penanganan paska penangkapan yang baik yang berkaitan dengan penerapan teknologi
serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana yang digunakan dengan memperhatikan
71 | P a g e
asas-asas sanitasi lingkungan, kebersihan produk, tahapan penanganan, dan lainnya Good
Handling Practices (GHP) meliputi pelaksanaan kegiatan penanganan pasca panen
produk perikanan secara baik dan benar, sehingga mutu produk dapat dipertahankan,
menekan kehilangan karena penyusutan, kerusakan dan memperpanjang daya simpan
dengan tetap menjaga status produk yang ditangani. Dalam kompetisi global, hasil
tangkapan perikanan Indonesia kerap kalah bersaing di pasaran internasional, karena
mutu hasil rendah yang disebabkan terkontaminasi dengan kotoran dan bahan asing,
pengeringan kurang sempurna sehingga distribusi sampai konsumen sering berbau dan
berjamur. Maka hal ini mengindikasikan bahwa penanganan pasca penangkapan belum
dilaksanakan dengan baik dan benar.
Teknik penangkapan ikan tergantung pada alat tangkap yang digunakan, untuk
menjaga kualitas ikan yang baik dan menjaga kelestarian lingkungan, alat tangkap yang
digunakan sebaiknya adalah alat tangkap yang ramah lingkungan.Ciri – ciri alat tangkap
yang ramah lingkungan harus memenuhi kriteria: selektivitas yang tinggi, tidak merusak
habitat,menghasilkan ikan berkualitas tinggi,tidak membahayakan nelayan, produksi ikan
tidak membahayakan konsumen.Dampak biodiversity rendah sertatidak membahayakan
ikan-ikan yang dilindungi.
Penanganan dan penempatan ikan secara higienis merupakan prasyarat dalam
menjaga ikan dari kemunduran mutu karena baik buruknya penanganan akan berpengaruh
langsung terhadap mutu ikan sebagai bahan makanan atau bahan baku untuk pengolahan
lebih lanjut. Demikian juga penempatan ikan pada tempat yang tidak sesuai, misalnya
pada tempat yang bersuhu panas, terkena sinar matahari langsung, tempat yang kotor dan
lain sebagainya akan berperan mempercepat mundurnya mutu ikan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses penanganan di atas kapal diantaranya adalah alat
penanganan, media pendingin, teknik penanganan, dan keterampilan pekerja. Penggunaan
alat-alat penanganan yang lengkap, bersih, dan baik dapat memperkecil kerusakan fisik,
kimia, mikrobiologi dan bikimia. Media pendingin yang memberikan hasil terbaik adalah
media pendingin yang dapat memperlambat proses biokimia dan pertumbuhan mikroba
daging ikan.Hal-hal tersebut telah diatur dalam peraturan tata cara budidaya dan
penangkapan ikan yang baik (Tabel 5.2).

72 | P a g e
Tabel 5.2. Peraturan tentang budidaya yang ikan yang baik

No Peraturan Tentang

1 KEP.02/MEN/2007 Cara Budidaya Ikan yang Baik

Per Dirjen PT No. 84/Per- Tata Cara Penanganan Ikan yang Baik pada Kapal
2 DJPT/2013 Penangkap Ikas dan/atau Kapal Pengangkut Ikan

5). Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative)

Indonesia memelopori Inisiatif pembentukan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle


Initiative). yang melibatkan : Malaysia, Filipina,Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan
Solomon dan Timor Leste. Sebagaimana diketahui bahwa daerah segitiga terumbukarang adalah
megadiversity dengan keragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, yang hanya terbandingkan
dengan keragaman hayati Hutan Amazon di Brasil. Oleh sebab itu daerah inidinamakan juga
“Amazon of the Ocean”.
2012 Lima tujuan utama dari gagasan CTI adalah:(i) Menetapkan daerah prioritas bentang laut
(seascape) yang dikelolasecara efektif;(ii) Penerapan prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan
dansumberdaya kelautan kelautan lainnya berbasis ekosistem; (iii) Penetapan “Marine Protected
Area” yang dikelola secara efektif; (iv) Menerapkan langkah-langkah adaptasi perubahan iklim,
dan (v) Meningkatkan status species di laut yang terancam.
Menyadari kepentingan bersama yang lebih besar guna menyelamatkan lingkungan
ekosistem laut yang terdapat di sekitar wilayah CTI, maka penerapan prinsip keberlanjutan
Ekonomi Hijau terus digalakkan untuk menghindari eksploitasi ekonomi dan kegiatan-kegiatan
yang merusak lingkungan.

5.4. Permasalahan dan Tantangan dalam Pelaksanaan Ekonomi Hijau Bidang Kelautan
dan Perikanan

Permasalahan yang dihadapi untuk dapat menerapkan hal-hal di atas adalah: (i) masih
adanya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di daerah, sehingga penerapan aturan
menjadi sulit; (ii) sulitnya pengawasan dan penegakan hukum sehingga terjadi penurunan
produksi akibat illegal fishing dan overfishing, kerusakan lingkungan, penurunan produktivitas
dan kebijakan importasi. Tantangan yang dihadapi untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di
73 | P a g e
sektor perikanan antara lain adalah: (i) belum selesainya Rencana Strategis/Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil baik Provinsi /Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam
RTRW; (ii) Nelayan banyak yang berskala kecil, sehingga sulit menerapkan pembaruan dan
penegakan hukum.
Dalam kerangka kelembagaan, masing-masing WPP diwajibkan oleh UU No 31/2004 j.o.
UU No 45/2009 untuk memiliki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Dalam konteks ini lah
maka arsitektur pengelolaan perikanan diharapkan dapat mengubah Forum Koordinasi
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan (FKPPS) yang selama ini menjadi instrument
bagi konsultasi nasional pengelolaan perikanan menjadi sebuah “Fisheries Management
Authority” yang berbasis WPP.

74 | P a g e
BAB VI.PENERAPAN EKONOMI HIJAU
DI SEKTOR ENERGI DAN PERTAMBANGAN

Ketergantungan energi pada saat ini masih dominan tergantung pada sumber energi fosil
(minyak, batubara, dll.), yang baik dalam proses penambangan/eksploitasi, pengolahan menjadi
bahan bakar maupun penggunaannya memberikan dampak polusi. Sementara Indonesia juga
memiliki berbagai sumber energi lain yang ramah lingkungan seperti: panas bumi dan gas,
maupun yang terbarukan seperti tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, maupun bahan bakar
dari tanaman/hasil pertanian namun belum banyak dimanfaatkan.
Berkaitan dengan itu, penyediaan energi masih tidak dapat dihindarkandari penggunaan
sumber energi fossil yang menghasilkan polusi, namun apabila ketergantungan terus dibiarkan
akan memberatkan dari sisi subsidi, rentan terhadap ketahanan energi dan tidak ramah
lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka penerapan konsep energi berkelanjutan (green
energy) dapat dilakukan melalui: (a)Aspek Penyedian/pasokan dan proses: (i) penggunaan
teknologi bersih; (ii) meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan (diversifikasi
energi); (b) Aspek Penggunaan/Konsumsi melalui: (i) efisiensi energi; (ii) mengurangi konsumsi
energi (hemat energi);
Di bidang pertambangan, sebagaimana diketahui, proses penambangan mineral dan hasil
tambang sangat tidak bernuansa keberlanjutan. Pengambilan mineral dan hasil tambang akan
merubah permukaan tanah dan menghilangkan top soil yang bermanfaatan untuk pertanian
secara luas. Proses pertambangan biasanya juga menghasilkan buangan/tailing yang mencemari
wilayah disekitarnya atau daerah hilir apabila terkena/masuk ke aliran sungai. Meskipun
demikian, masih dapat dilakukan langkah-langkah untuk “menghijaukan” upaya pertambangan
ini agar lebih berkelanjutan.

6.1. Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Energi


1). Penyediaan/PasokanEnergi Masih Bertumpu Pada Sumber Energi Primer
Tidak Terbarukan Dan Kurang Ramah Lingkungan.
Penyediaan energi di Indonesia masih menghadapi kendala besar karena adanya
peningkatan jumlah konsumsi yang jauh lebih besar dibanding peningkatan penyediaan

75 | P a g e
energi. Peningkatan konsumsi sangat didorong oleh adanya peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang meningkatkan kebutuhan energi pada sektor usaha dan industri, serta
adanya peningkatan konsumsi di tingkat rumah tangga. Dengan dominasi pasokan energi
yang bersumber pada energi fosil maka ketergantungan pasokan energi primer pada
sumberdaya fosil masih cukup tinggi. Pada tahun 2011, pasokan energi nasional
didominasi oleh minyak bumi, yaitu sebesar 594 juta barel setara minyak (BSM) atau
sebesar 39% dari total konsumsi energi nasional. Batu bara menyediakan sebesar 334
juta BSM atau 22%, dan biomassa sebesar 280 juta BSM atau 18%. Sementara itu, gas
alam menyediakan pasokan sebesar 261 juta BSM atau 17%, tenaga air 31 juta SBM atau
2%, dan panas bumi sebesar 15 juta SBM atau 1(Gambar 6.1).

Gambar 6.1Pangsa Energi Primer Menurut Jenis

Sumber: Pusdatin ESDM, 2011

Konsumsi masih didominasi oleh minyak dan batubara karena energi bersih yaitu
gas lebih banyak diekspor. Sementara itu, ketersediaan gas dan panas bumi untuk
pasokan konsumsi energi dalam negeri masih terbatas oleh harga yang tidak kondusif dan
masih cenderung menguntungkan pada konsumsi minyak bumi karena adanya subsidi
harga. Perhatian juga masih belum diberikan pada sumber energi primer terbarukan lain
seperti air, tenaga angin dan tenaga matahari, yang jumlahnya cukup untuk dapat
memenuhi kebutuhan lokal (off grid), termasuk sumber energi nabati seperti minyak sait,
ethanol dll.

76 | P a g e
Sementara itu, penggunaan energi juga masih belum efisien. Industri dan usaha
komersial masih terbatas menerapkan teknologi efisiensi energi, sehingga hasilnya belum
signifikan secara nasional. Beberapa jenis usaha komersial dan industri telah melakukan
usaha-usaha penghematan energi dan revitalisasi, namun secara nasional hasilnya masih
belum cukup untuk mampu meredam laju konsumsi energi yang cukup tinggi. Konsumsi
energi final Indonesia pada periode tahun 2000 hingga 2010 telah melonjak hampir dua
kalinya, dari 777,9 juta SBM (508,9 juta SBM, tanpa biomasa) menjadi 1182,1 juta SBM
(902,1 juta SBM, tanpa biomasa). Dengan penghematan energi di sisi konsumsi (hilir),
akan membantu kecukupan energi ditengah-tengah keterbatasan pasokan.
Pemanfaatan energi di Indonesia yang masih boros ini juga terefleksi di tingkat
makro. Intensitas energi Indonesia masih relatif tinggi dibanding negara lain. Pada tahun
2009, intensitas energi Indonesia berkisar 0,24 KTOE/USD PDB (harga konstan 2005).
Sementara, pada tahun yang sama, Jepang, Jerman, Thailand, dan Malaysia memiliki
intensitas energi berturut-turut adalah 0,12; 0,12; 0,23; dan 0,22 KTOE per USD PDB
(International Energy Agency/IEA, 2010). Artinya Indonesia dua kali lebih boros dari
pada Jepang dan Jerman, dan sedikit lebih boros dibanding Thailand dan Malaysia.
Dengan gambaran di atas, Indonesia memiliki peluang dan potensi untuk mencukupi
kebutuhan energi dan menggunakan sumber-sumber teknologi ramah lingkungan agar
ketahanan energi dapat lebih berkelanjutan.
Beberapa langkah yang mulai dilakukan untuk “membenahi” adalah melakukan:
(i) penyesuaian pertarif-an listrik (Tarif Dasar Listrik/TDL), dengan melakukan
perhitungan tarif keekonomian berdasarkan allowable cost (oleh regulator), dan
kemudian diterapkan (setelah ada persetujuan DPR) penyesuaian TDL secara bertahap
dan transparan untuk mencapai harga keekonomian tersebut. Pola subsidi listrik mulai
dilakukan Pola Subsidi Terarah bagi konsumen tidak mampu untuk pelanggan yang
tersambung ke grid. Untuk pengguna off grid dan atau yang tinggal di daerah terpencil
dilakukan dengan memprioritaskan energi terbarukan yang tersebut dengan menerapkan
Pola Universal Service Obligation dalam TDL seperti yang telah berhasil diterapkan pada
Sektor Telekomunikasi untuk menyediakan jasa layanan telekomunikasi di daerah
terpencil. Selanjutnya, untuk menurunkan potensi emisi, dilakukan penerapan

77 | P a g e
inisiatifenergi bersih dengan mengurangi emisi dari pembakaran energi fosil secara
terpadu (REFF-Burn), dengan mengutamakan energi terbarukan.
2). Konservasi dan Efisiensi Energi
Konservasi energi dilakukan untuk meningkatkan penggunaan energi secara
efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas energi yang memang benar- benar
diperlukan. Upaya konservasi energi dapat diterapkan pada seluruh tahap mulai dari
pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir, dengan menggunakan
teknologi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi. Pelaksanaan
konservasi energi diatur dalam undang-undang dan secara lebih teknis dalam Peraturan
Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi (Kotak .6.1).

78 | P a g e
Kotak 6.1 Peraturan tentang Konservasi energi 70/200

Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi
dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. Efisiensi merupakan salah satu langkah dalam
pelaksanaan konservasi energi. Efisiensi energi adalah istilah umum yang mengacu pada penggunaan energi
lebih sedikit untuk menghasilkan jumlah layanan atau output berguna yang sama.Dari sisi kebijakan, dapat
dilihat dari kebijakan Energi Nasional jangka panjang telah memberikan target penurunan intensitas energi
paling tidak 1% per tahun hingga tahun 2025 (RIKEN) dan elastisitas energi menjadi kurang dari 1 pada tahun
2025. Menurut perhitungan untuk menurunkan nilai elastisitas energi di bawah satu, berarti penurunan
konsumsi energi total pada 2025 mendekati 50% dengan skenario konservasi energi, bila dibandingkan pola
konsumsi seperti saat ini atau “bussiness as usual”. Target pemerintah untuk menurunkan elastisitas konsumsi
energi kurang dari satu, hanya akan bisa dicapai melalui penerapan sistem manajemen dan teknologi efisiensi
energi secara menyeluruh dan terintegrasi.

Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi guna mengatasi permasalahan inefisiensi
pemanfaatan energi tersebut. Kebijakan tersebut dapat dijabarkan mulai dari Undang-undang No 30/2007
tentang Energi, pada pasal 25 dicantumkan aturan mengenai konservasi energi, di ataranya, dinyatakan
bahwa:
(1) konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha, dan
masyarakat.
(2) Pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi energi diberi
kemudahan dan/atau insentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Pengguna sumber energi dan pengguna energi yang tidak melaksanakan konservasi energi diberi
disinsentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(4) Peraturan lebih lanjut tentang konservasi energi akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Instruksi Presiden No 2/2008 menjadi acuan bagi langkah-langkah penghematan energi, dimana instruksi
tersebut ditujukan kepada para pimpinan aparatur negara di pusat dan daerah, untuk:
(1) Melakukan langkah-langkah dan inovasi penghematan energi dan air di lingkungan instansi masing-
masing dan/atau di lingkungan BUMN dan BUMD sesuai kewenangan masing-masing dengan
berpedoman pada Kebijakan Penghematan Energi dan Air,
(2) Melaksanakan program dan kegiatan penghematan energi dan air sesuai Kebijakan Penghematan Energi
dan Air yang telah ditetapkan,
(3) Melakukan sosialisasi dan mendorong masyarakat yang berada di wilayah masing-masing untuk
melaksanakan penghematan energi dan air,
(4) Membentuk gugus tugas di lingkungan masing-masing untuk mengawasi pelaksanaan penghematan
energi dan air.

Peraturan Pemerintah No. 70/2009 tentang Konservasi Energi juga diatur tentang tanggung jawab para
pemangku kepentingan, pelaksanaan konservasi energi, standar dan label untuk peralatan hemat energi,
pemberian kemudahan, insentif dan disinsentif di bidang konservasi energi serta pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan konservasi energi.

Dalam pelaksanaannya, konservasi energi mencakup seluruh tahap pengelolaan


energi meliputi penyediaan energi, pengusahaan energi, pemanfaatan energi dan
konservasi sumber daya energi. Di sisi pemanfaatan energi, pelaksanaan konservasi

79 | P a g e
energi oleh para pengguna dilakukan melalui penerapan manajemen energi dan
penggunaan teknologi yang hemat energi. Dalam penerapan manajemen energi,
khususnya bagi pengguna energi dalam jumlah besar atau minimal 6000 TOE per tahun,
dalam pelaksanaanya antara lain harus menunjuk manajer energi, menyusun program
konservasi energi, melaksanakan audit energi secara berkala, melaksanakan rekomendasi
hasil audit energi, dan melaporkan pelaksanaan konservasi energi setiap tahun. Sektor
bangunan gedung dan industri sebagai pengguna energi besar terbukti masih boros dalam
menggunakan energi, yang ditunjukkan oleh intensitas energinya yang masih tergolong
tinggi. Walaupun disadari pada sektor tersebut mulai tumbuh kesadaran untuk melakukan
penghematan energi terkait dengan tingginya harga energi akhir, namun dana
pelaksanaannya masih sangat terbatas.
Untuk melakukan penghematan lebih konkrit, secara khusus pada awal tahun
2011, Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi
dan Air, kepada semua lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah, termasuk
BMN/D untuk melakukan langkah-langkah dan inovasi penghematan energi dan air di
lingkungan instansi masing-masing.Beberapa instruksi penting tersebut antara lain:(i)
Penghematan listrik sebesar 20% dan penghematan air sebesar 10%, yang dihitung dari
rata-rata penggunaan istrik dan air di lingkungan masing-masing dalam kurun waktu 6
(enam) bulan sebelum dikeluarkannya Inpres; dan (ii) Penghematan pemakaian BBM
Bersubsidi sebesar 10%, melalui pengaturan pembatasan penggunaan BBM Bersubsidi
bagi kendaraan di lingkungan instansi masing-masing, dan di lingkungan BUMN dan
BUMD, yang dilakukan sepanjang BBM Non Subsidi tersedia di wilayah masing-masing.
Pelaksanaan konservasi energi dan efisiensi energi selama ini meliputi beberapa
program di rumah tangga, industri dan sektor komersial.
a. Sektor Rumah Tangga, upaya efiensi dan konservasi dilakukan dengan penerapan
teknologi hemat energi untuk memasak dari mulai kompor hemat energi dan alat
masak lainnya. Sektor rumah tangga juga dapat menggunakan penggunaan lampu
hemat energi (misalnya LED)untuk menerapkan hemat energi di rumah tangga.
Teknologi hemat energi juga mulai diberlakukan pada produk-produk rumah
tangga seperti lemari pendingin, pendingin ruangan (AC), peralatan elektronik
lain di rumah tangga seperti televisi juga menjadi salah satu target upaya efisiensi

80 | P a g e
energi. Hasil kajian dari BPPT menginformasikan bahwa penerapan teknologi
hemat energi di sektor rumah tangga, melalui substitusi minyak tanah ke elpiji,
gas dan listrik yang mempunyai efisiensi lebih tinggi, penghapusan minyak tanah
dan lampu pijar, penggunaan lampu dan peralatan hemat energy seperti CFL,
LED, AC dan refrigerator inverter dan TV LCD dan LED di Indonesia dapat
berpotensi menghemat energi hingga sebesar 25%pada tahun 2030 (dibandingkan
dengan BAU).
b. Sektor Industri, upaya efisiensi energi dapat dilakukan dengan pengembangan
teknologi peralatan industri yang hemat energi. Penghematan di sektor industri
yang direncanakan dan dikelola oleh manajer industri juga akan membantu
perencanaan konsumsi energi secara jangka menengah panjangsehingga industri
akan dapat melakukan bauran energi di tingkat industri untuk: menghemat,
memilih teknologi yang lebih efisien dan menggunakan sumber yang lebih ramah
lingkungan.
c. Sektor komersial, kantor swasta, hotel, rumah sakit, pusat pembelanjaan
umumnya mengkonsumsi energi yang cukup tinggi. Sektor ini dapat menerapkan
cara yang sama dengan yang dilakukan untuk menghemat energi di industri.

3). PemanfaatanEnergi Baru dan Terbarukan


Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup tinggi.
Demikian pula sumber air, serta panas bumi dan gas.Namun demikianpemanfaatan energi
terbarukan seperti panas bumi, surya, angin dan biomas masih terbatas.Dalam kaitan
dengan upaya memperkuat ketersediaan/pasokan serta meningkatkan bauran energi, maka
ditetapkan target untuk meningkatkan porsi gas, panas bumi dan energi terbarukan
sampai tahun 2025 (Gambar 6.2).

81 | P a g e
2011 2025
Perpres 5/2006

• Elastisitas energi kurang dari 1 pada


Elastisitas Energi = 1,65
2025
Pangsa Energi Non Fosil | 5%
• Mengoptimalkan Sumber Energi Baru
dan Energi Terbarukan

Sumber : Paparan Kementrian ESDM

Gambar 6.2Target Bauran Energi Primer Nasional

Bauran energi tidak saja untuk meningkatkan ketahanan penyediaan namun juga
untuk memanfaatkan dan menyediakan pasokan energi sesuai kondisi lokal serta
meningkatkan energi bersih. Penyediaan pasokan energi sesuai kondisi lokal akan dapat
mempercepat penyediaan dan akses energi pada masyrakat dan sekaligus untuk efisiensi,
karena energi tidak perlu dikirim dari daerah produsen di L Jawa, ke pulau Jawa untuk
diproduksi/diolah, untuk kemudian dikirim ke Luar Jawa untuk dikonsumsi. Inefisiensi
masih kita hadapi pada tingkat konsumsi, namun pemusatan pengolahan energi primer
menjadi energi bahan bakar dan listrik di Jawa juga mengakibatkan inefisiensi pada
proses dan pemborosan pada pengangkutannya. Untuk merubah ini dan menghijaukan
sektor energi diperlukan langkah pengaturan yang dapat “membebaskan”/mempermudah
pengolahan sumber energi primer menjadi energi final di lokasi produksi, dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk konsumsi lokal. Dengan demikian, rasio
ketersediaan energi, baik listrik maupun bahan bakar akan semakin seimbang dan
peningkatan efiensi juga terjadi lebih signifikan.
Selain itu beberapa langkah yang dilakukan untuk memperbesar sumber energi
terbarukan dan sekaligus meningkatkan akses energi bagi masyarakat terutama yang sulit
dijangkau layanan grid adalah sebagai berikut.

82 | P a g e
a. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dan Air (Hidro)
Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW Tahap II (PLTPanas
Bumi dengan kapasitas 3.967 MW dan PLTA (Hidro) berkapasitas 1.174 MW). Program
ini dapat mengurangi bahan bakar fosil (BBM, Batubara, dll) sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik. Penggunaan bahan bakar fosil akan menghasilkan pencemaran
lingkungan karena menghasilkan emisi dari pembakaran yang besar. Sementara
pemanfaatan EBT sebagai bahan bakar pembangkit listrik tidak menyebabkan
pencemaran lingkungan karena emisi yang rendah bahkan nol. Program ini ditunjang
dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Peraturan Menteri ESDM No.
22/2012 tentang Penugasan Kepada PT. PLN (Persero) untuk Melakukan Pembelian
Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan penentuan patokan
pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit listrik tenaga panas
bumi.
b. Pengembangan PLT Skala Kecil Berbasis Energi Baru Terbarukan Untuk
Daerah Terpencil Dan Pulau Kecil Terluar dilakukan dengan pengembangan
pembangkit listrik skala kecil berbasis tenaga air, sinar matahari dan angin.
c. Program Pengembangan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN)
sebagai Pengganti BBM.Pemanfaatan BBN akan mengurangi ketergantungan terhadap
BBM danmengurangi pencemaran lingkungan karena merupakan energi bersih dan
rendah emisi. Pemanfaatan BBN akan dilakukan pada: campuran biodiesel sebesar 10%
(B-10) pada transportasi PSO, sebesar 3% (B-3) pada transportasi Non-PSO, sebesar
5%/B-5 pada industri, dan 7,5% (B-7,5) untuk Pembangkit Tenaga Listrik (Permen
ESDM No. 25 Tahun 2013). Pemanfaatan BBN telah dimulai sejak tahun 2006 dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006. Sejak tahun 2009, Pemerintah
telah memberlakukan kebijakan mandatori pemanfaatan BBN pada sektor transportasi,
industri dan pembangkit listrik melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008
tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain. Saat ini, kapasitas terpasang biodiesel telah mencapai 5,6 juta
kL/tahun dari 25 produsen biodiesel yang telah memiliki izin usaha niaga BBN. Sebesar
4,5 juta kL/tahun diantaranya telah siap berproduksi. Sementara itu, kapasitas produksi

83 | P a g e
bioetanol tercatat sebesar 416 ribu KL/tahun dari 8 produsen bioetanol yang telah
memiliki izin usaha niaga BBN, dan yang siap berproduksi mencapai 200 ribu Kl/tahun.
Pemanfaatan biodiesel di dalam negeri masih sangat kecil dan perlu didorong dengan
memperbaiki Harga Indeks Pasar (HIP) bioethanol agar lebih menarik bagi produsen
bioethanol.

d. Program Pengembangan dan Pemanfaatan Limbah yang Diolah Menjadi


Sumber Energi (Waste to Energy).Untuk mendorong pengembangan PLT Bioenergi
maka Pemerintah telah menetapkan feed-in tariff melalui Peraturan Menteri ESDM No. 4
Tahun 2012 yang mengatur harga pembelian listrik oleh PT. PLN dari PLT Biomassa dan
Biogas, dan Peraturan Menteri ESDM No. 19 Tahun 2013 mengatur harga pembelian
listrik oleh PT. PLN (Persero) dari PLT Sampah Kota.
Salah satu contoh penerapan pemanfaatan sampah untuk energi listrik dilakukan di Bali.
Pemerintah KotaDenpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan (wilayah
SARBAGITA) bersama PT NOEI (Navigat Organic Energy Indonesia) membangun IPST
(Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu) guna mengubah sampah menjadi energi listrik 9-
10 MW. IPST dibangun di TPA Suwung, Denpasar di atas tanah seluas 10 Ha. Jumlah
sampah dari kawasan SARBAGITA yang diperkirakan sekitar 800 ton/hari diubah
menjadi energi listrik menggunakan teknologi GALFAD. Sampah sekitar 165 ton di
Bengkala, Singaraja di TPST diolah menjadi gas metan (PLTG) guna menggerakkan
generator menjadi listrik dengan sasaran hingga 2 MW.
Contoh pemanfaatan limbah lainnya adalah pelet kayu/limbah kayu. Beberapa
perusahaan telah memanfaatkan limbah industri kayu untuk membuat pelet kayu seperti
PT Indoco Group membangun HTI seluas 200,000 Ha di Sulawesi Barat yang sudah
menanam 89,595 Ha kayu di HTI atau 45% nya untuk dijadikan bahan baku pelet.
Sebelumnya, perusahaan ini telah membangun pabrik pelet kayu (berdiameter 6-10 mm
dan panjang 10-30 mm, dengan energi setara 4,7 kWh/kg) di Wonosobo, Jateng dengan
kapasitas 200 ribu ton/tahun yang menggunakan kayu hutan rakyat dan limbah industri
gergaji, limbah.
Contoh lain adalah Biogas. Koperasi SAE Pujon (beranggotakan 7000 orang peternak
sapi) yang bermitra dengan HIVOS (LSM Belanda)di Kabupaten Malang telah

84 | P a g e
membangun reaktor Biogas Rumah Tangga (BIRU) sebanyak 2000 unit sampai tahun
2012, serta daerah lain seperti di Malang sekitar 2609 unit. Seekor sapi dewasa
menghasilkan sekitar 25 kg kotoran/hari, setiap 20 ekor sapi menghasilkan 20 m3
biogas/hari yang setara dengan energi listrik 12 kWh yang cocok untuk 6 rumah selama
10 jam dengan daya 100-200 Watt/rumah.
e. Desa Mandiri Energi (DME). Pengembangan Desa Mandiri Energi, dilakukan
untuk memberikan keleluasaan desa memproduksi dan menggunakan sumber energi
terbarukan untuk skala penggunaan mereka sendiri. Pada tahun 2009 telah mencapai 633
desa, dimana 244 desa memanfaatkan tenaga air, 237 desa memanfaatkan bahan bakar
nabati, 125 desa dengan tenaga surya, biogas 14 desa, tenaga angin 12 desa, serta
biomassa 1 desa. Bahkan di tahun 2011, pemerintah telah mengembangkan Desa
Mandiri Energi berbasis non bahan bakar nabati yaitu dengan memanfaatkanarus laut dan
hibrid.Penggunaan energi terbarukan tersebut sudah berkembang meskipun masih
terbatas. Beberapa peraturan sudah disusun untuk terus mendorong penggunaan energi
baru terbarukan (Kotak 6.2) namun masih perlu didukung secara konkrit dalam: (i)
Penetapan harga dibandingkan dengan BBM yang bersubsidi, dengan perbandingan yang
tepat dan sesuai nilai keekonomiannya; (ii) sumber energi bersih perlu diperhitungkan
pula faktor emisinya yang lebih bersih atau bahkan nol; (iii) sistem pengaturan dan
perijinan yang terkesan berlapis-lapis dan lambat prosesnya. Sistem perijinan yang
berlapis/bertahap mengakibatkan ketidakpastian dalam setiap lapis untuk ke lapis
berikutnya, sehingga memperbesar resiko yang sulit diperhitungkan oleh
perusahaan.Perluasan energi bersih untuk mendukung ekonomi hijau memerlukan
dukungan yang lebih konkrit, menyeluruh, namun simple dan tingkat kepastian regulasi
yang tinggi.

85 | P a g e
Kotak 6.2 Kebijakan Dan Regulasi Terkait Pengembangan EBTKE

1. Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi


2. Undang-Undang No. 30 Tahun2009 Tentang Ketenagalistrikan
3. Peraturan Pemertintah No. 70 Tahun 2009 Tentang Konservasi Energi
4. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan bakar Nabati
(Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
5. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2006 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Batubara Yang
Dicairkan (Liquefied Coal) Sebagai Bahan Bakar Lain.
6. Instruksi Presiden No. 13 Tahun 2011 Tentang Penghematan Energi Dan Air
7. Permen ESDM No. 17 Tahun 2013 Tentang Pembelian Tenaga Listrik Oleh Pt. Pln (Persero) Dari
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik.
8. Permen ESDM No. 19 Tahun 2013 Tentang Pembelian Tenaga Listrik Oleh Pt. Pln (Persero) Dari
Pembangkit Tenaga Listrik Berbasis Sampah Kota.
9. Peraturan Menteri ESDM No.25 Tahun 2013Tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
10. Peraturan Menteri ESDM No. 6 Tahun 2011 Tentang Pembubuhan Label Tanda Hemat Energi
11. Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2012 Tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh Pt Pln
(Persero) Dari Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil Dan
Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik.
12. Peraturan Menteri ESDM No. 01 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Daftar Proyek Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara Dan Gas
Bumi Serta Transmisi Terkait
13. Peraturan Menteri ESDM No. 22 Tahun 2012 Tentang Penugasan Kepada Pt. Pln (Persero) Untuk
Melakukan Pembelian Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dan Harga
Patokan Pembelian Tenaga Listrik Oleh Pt. Pln (Persero) Dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi.
14. Peraturan Menteri ESDM No. 13 Tahun 2012 Tentang Penghematan Pemakaiantenaga Listrik.
15. Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Energi.
16. Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar
Minyak.

4). Kebijakan Ekonomi Hijau di Sektor Pertambangan

Kebijakan untuk penambangan berkelanjutan. Konsep green economy di


bidang pertambangan masih menjadi perdebatan, namun beberapa konsep seperti green
mining yang didasarkan pada beberapa tolak ukur antara lain: (i) penggunaan teknologi
bersih di pertambangan; (ii) keberhasilan revegetasi; (iii) integrasi perencanaan
reklamasi, termasuk revegetasi, dengan seluruh tahapan kegiatan penambangan akan
menjamin keberhasilan reklamasi; (iv) reklamasi pada lahan bekas tambang berperan
dalam mengurangi pemanasan global; (v) mekanisme dalam mengurangi pemanasan
global yang dimanfaatkan untuk menjaga kelangsungan revegetasi pada lahan bekas
tambang dan meningkatkan nilai tambah baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial;

86 | P a g e
(vi) pemberdayaan masyarakat yang mendorong peningkatan ekonomi dan kondisi sosial
masyarakat di pertambangan yang berkelanjutan.
Kebijakan pertambangan di Indonesia yang mendorong rendah karbon, dilakukan
mulai proses awal perizinan, proses dan pasca penambangan. Sesuai dengan Undang-
undang No. 4/2009 tentang Pengelolaan Pertambangan menuntut pertambangan di
Indonesia harus menerapkan asas manfaat yang berkeadilan dan keseimbangan; asas
partisipatif dan transparasi serta akuntabilitas; asas keberpihakan kepada kepentingan
bangsa; dan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kegiatan tambang juga
harus bertujuan untuk : (i) berdaya guna, berhasil guna dan berdaya saing;
(ii)meningkatkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat regional dan
international; dan (iii)sebagai bahan baku dan atau sumber energi untuk kebutuhan dalam
negeri.

Sumber : Paparan Kementrian ESDM

Gambar6.3 Undang-undang yang mengatur Pertambangan berkelanjutan

Terkait pasca penambangan upaya pertambangan hijau (green mining) menurut


UU 4/2009 dalam Pasal 99, dinyatakan : (i) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan
permohonan IUP Operasi Produksi; dan (ii) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan
pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. Aturan
pengelolaan pasca tambang juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 78/2010
tentang Reklamasi dan Pascatambang, dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup

87 | P a g e
mewarnai kebijakan sehngga pada pasca penambangan harus dapat menjamin: (i)
Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta
udara; (ii) Perlindungan keanekaragaman hayati; (iii) Stabilitas dan keamanan timbunan
batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang serta struktur buatan (man-made
structure) lainnya; (iv) Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
dan (v) Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya setempat, danperlindungan
terhadapkuantitas air tanah.
Beberapa penerapan di lapangan.Beberapa kawasan pertambangan seperti PT
Adaro dan PT KPC di Kalimantan, telah berupaya mengembangkan berbagai upaya untuk
mengatasi dampak dari pertambangan dengan menyimpan lapisan atas permukaan tanah
yang disimpan dan dikembalikan pada saat lokasi selesai di tambang (paska tambang),
menanam jenis-jenis yang dapat segera memulihkan kesuburan lahan dengan terlebih
dahulu melakukan kajian dan uji coba di lokasi. PT KPC di Kalimantan Timur, telah
mengolah sebagian lahan tambangnya menjadi lahan hijau produktif yang diawali dengan
pertanian terpadu dan penanaman pohon-pohon lokal.
Sementara PT Silo di Kalimatan Selatan yang bergerak di pertambangan bijih
besi, telah berupaya memulihkan keanekaragaman hayati di wilayah bekas tambang
secara langsung, dan menanam jenis-jenis padi lokal tadah hujan, disamping melakukan
proses mengolah limbah air dari proses penambangan yang kemudian dapat dimanfaatkan
untuk pertanian dan kebutuhan perusahaan maupun masyarakat.v
Beberapa perusahaan dalam mengurangi upaya emisi dari proses
pertambangannya melalui program CSR lingkungan telah mengembangkan program-
program yang mendorong mitigasi perubahan iklim, disamping berupaya memperbaiki
teknologi tambang yang ramah lingkungan. Program CSR lingkungan yang selama ini
hanya bertumpu pada penguatan ekonomi dan sosial, mulai mendorong penerapan
lingkungan seperti penamaman, pembibitan untuk penghijauan lahan, mengolah sampah
anorganik menjadi bahan baku sehingga menurunkan emisi.

88 | P a g e
6.2 Permasalahan dan Tantangan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Energi dan
Pertambangan

Penerapan Green Economy sektor energi di Indonesia menghadapi persoalan antara


lain:(i) Konsumsi energi masih terus meningkat dan pola konsumsi masyarakat masih boros; (ii)
Ketergantungan pada minyak bumi dan batubara masih tinggi karena beum berkembangnya
sumber energi baru dan terbarukan yang lebih bersih; (iii) Infrastruktur energi masih terbatas dan
masih terbatas pada minyak bumi sehingga proses pergeseran konsumsi sulit diukung pula dari
sisi pasokan dan distribusinya; (iv) Akses masyarakat terhadap energi disamping kurang juga
masih tidak merata sehingga memperlambat peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peningkatan pasokan energi sebetulnya merupakan kesempatan baik tidak hanya untuk
menambah pasokan energi namun juga sekaligus meningkatkan bauran untuk mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi dan batu bara; dan sekaligus meningkatkan energi
yang lebih ramah lingkungan.Namun demikian, pengembangan energi ramah lingkungan untuk
mendukung pengembangan ekonomi hijau masih mengahadapi beberapa tantangan, seperti: (i)
Penetapan harga energi yang kurang transparan, masih terlalu terkotak-kotak dan tidak kondusif
terhadap sumber energi primer lain. Masih beratnya subsidi kepada minyak bumi merupakan
salah satu tantangan untuk dapat memberi peluang pada sumber energi primer lain yang lebih
bersih; (ii) Adanya tumpang tindih lahan dan proses investasi energi dan perijinan yang tidak
transparan dan penuh ketidakpastian mengakibatkan lambatnya pelaksanaan investasi; (iii)
Pengelolaan energi yang kurang terdesentralisasi, mengakibatkan penanganan energi selalu
berkaitan dengan investasi yang besar, sulit dan mahal. Padahal banyak sumber energi lain yang
dapat digunakan memenuhi permintaan yang besar dan proses ke on grid yang sulit, namun
dapat memenuhi kebutuhan lokal. Partisipasi masyarakat untuk dapat mengusahakan dan
memanfaatkan energi terbarukan dari berbagai sumber, dalam skala lokal dan komunitas
sebetulnya merupakan peluang besar untuk meningkatkan pemerataan layanan energi (listrik dan
bahan bakar), namun tidak mendapatkan “tempat” dalam pemenuhan energi nasional. Beberapa
tantangan lain disampaikan dalam Kotak 6.3

89 | P a g e
Kotak 6.3• Beberapa perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan EBTKE

• • Harga listrik dihasilkan dari sumber energi terbarukan dianggap masih memiliki harga yang
Harga.
tinggi dan dibeli dengan harga yang belum mencerminkan keekonomiannya serta tidak mampu
• dengan bbm yang disubsidi.
bersaing
• Pendanaan dan investasi. Biaya investasi awal untuk implementasi teknologi energi terbarukan dan

konservasi energi dinilai masih tinggi. minat swasta khususnya di bidang bisnis teknologi energi
terbarukan dan konservasi energi masih sangat kurang karena pasarnya masih terbatas.

• Tumpang tindih lahan. Kegiatan energi terbarukan sebagian besar dalam kawasan hutan yang sering

menghadapi masalah tumpang tindih, baik karena undang-undang dan peraturan penggunaan lahan.
• Sumber daya manusia. Kemampuan sumberdaya manusia relatif rendah terutama untuk energi

terbarukan yang belum komersial dan pemanfaat energi yang efisien.
• Subsidi BBM. Subsidi yang terlalu lama untuk BBM mengakibatkan peningkatan pemanfaatan energi

terbarukan dan konservasi energi semakin sulit.
• •
Infrastruktur. Pengembangan infrastruktur pendukung yang masih kurang.
• Sosial budaya. Masyarakat masih lebih tertarik untuk menggunakan energi konvensional (karena
• disubsidi) serta kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengembangan EBT dan
masih
penggunaan energi secara efisien.
• •
Memperhatikan dimensi spatial dalam penyediaan energi/tenaga listrik dengan memanfaatkan energi
terbarukan yang tersedia setempatbaik dengan pola On-grid maupun pola Off-Grid.

• Memberlakukan Feed-in Tariff (FiT) untuk Listrik Berbasis Energi Terbarukan;
• Menerapkan a. Pola Universal Service Obligation (USO) untuk melistriki daerah terpencil/wilayah
perbatasan melalui Pola Off-Grid yang berbasis energi yang tersedia setempat/terbarukan
b.
• Memberlakukan (kembali) Pola Subsidi Terarah bagi pelanggan tidak mampu ( s.d 450 VA) yang
tersambung ke Grid.

Selain itu, tantangan lain adalah di sisi pengguna: (i) Transportasi masih sangat
mengandalkan kendaraan (mobil dan motor) pribadi, sehingga dengan naiknya populasi dan
pendapatan masyarakat, langsung menaikkan konsumsi energi. Transportasi massal lain tidak
dikembangkan dengan baik, baik untuk transportasi dalam kota maupun antar kota (kereta api).
Dengan ketersediaan lebih banyak pada transportasi darat dan mobil pribadi maka kebutuhan
lahan untuk jalan darat, jalan tol terutama sangat pesat. Hal ini mengakibatkan banyaknya
wilayah hijau termasuk lahan pertanian yang akan dibuka untuk jalan transportasi darat; (ii)
Pengelolaan energi kurang memperhatian penggunaan sumber lokal untuk pemenuhan kebuhan
energi lokal, sehingga distribusi sumber energi primer dan energi final tidak efisien/boros dan
menghabiskan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk masyarakat dan sektor produksi.
Di sisi konsumen, kemudahan kredit kendaraan bermotor dan relatif cepatnya
perkembangan industri otomatif dibanding dengan industri lainnya, semakin memperberat beban
untuk menyediakan energi yang lebih bersih dalam waktu cepat. Selain itu, tidak adanya batasan

90 | P a g e
atau “kesulitan”dalam kepemilikan kendaraan bermotor juga semakin memperberat penyediaan
energi. Hal ini juga tidak diikuti dengan keharusan pengembangan industri kendaraan berbahan
gas atau kendaraan yang dapat toleran terhadap penggunaan bahan bakar lain (gas, bodisel dll).
Dengan kata lain, pengembangan energi hijau tidak saja terkait dengan supply management
namun sangat pula dipengaruhi oleh demand management. Tanpa adanya pengaturan di sisi
penggunaan untuk beralih ke non minyak bumi dan sumber energi terbarukan maka
perkembangan energi hijau akan sangat lambat di Indonesia.

91 | P a g e
92 | P a g e
BAB VII.GREEN JOBS:
PEKERJAAN LAYAK DAN RAMAH LINGKUNGAN

7.1. Konsep dan Inisiatif Green Jobs

Pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan atau green jobs telah memberi peluang
untuk perluasan lapangan kerja di negara-negara yang perekonomian dan masyarakatnyasudah
menerapkan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan laporan yang disusun Program
Lingkungan Hidup PBB tentang Prakarsa Green Jobs yang disusun bersama dengan Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO), semakin banyak green jobs yang dapat tercipta sebagai manfaat
dari upaya menciptakan perekonomian yang rendah karbon dan lebih berkelanjutan.
Perubahan dari perekonomian saat ini ke perekonomian yang lebih hijau sering
mengkhawatirkan masyarakat umum karena akan mengurangi pekerjaan-pekerjaan pada
sektor/kegiatan yang selama ini dianggap tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang
berakibat padapeningkatan harga barang akibat penerapan standar lingkungan yang lebih ketat
dan penerapan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Pendapat ini tidak seluruhnya salah
karena perubahan kepada pertumbuhan dan perekomian hijau tersebut akan mengakibatkan: (i)
tergantikannya/hilangnya kegiatan yang selama ini tidak ramah lingkungan; (ii) penurunan
standar kualitas lingkungan akan menambah biaya produksi; (iii) penerapan teknologi baru akan
membutuhkan investasi baru bagi perusahaan sehingga akan meningkatkan biaya produksi.
Namun pendapat ini tidak seluruhnya benar karena: (i) biaya produksi dan harga yang
selama ini diterapkan “bukan merupakan biaya dan harga yang benar” karena selama ini biaya
dampak terhadap lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya produksi, namun dibebankan
kepada masyarakat (pihak lain); (ii) penerapan ekonomi hijau belum tentu menghilangkan suatu
industri seluruhnya, kemungkinan hanya mengganti cara kerja atau beberapa jenis
pekerjaan/pekerja tertentu; (iii) terdapat peluang timbulnya pekerjaan baru dalam industri yang
sama atau peluang produk baru yang dapat dikembangkan.
Dengan demikian, secara konseptual, pekerjaan hijau/green jobsdapat dipengaruhi oleh
empat (4) hal berikut :

1). Pekerjaan baru akan tercipta/dapat diciptakan – seperti di bidang pembuatan alat
pengontrol polusi yang akan dipasang pada peralatan produksi yang sudah ada. Beberapa

93 | P a g e
contoh yang dapat diberikan adalah: (i) pekerjaan yang dapat membantu melindungi
ekosistem termasuk di dalamnya keragaman jenis dan keragaman genetika; (ii) pekerjaan
yang berkaitan dengan peningkatan efisiensi/penghematan energi, penghematan
materi/bahan, dan konsumsi air yang efisien tinggi; (iii) pekerjaan terkait dengan upaya
penurunan emisi karbon dalam ekonomi; serta (iv) pekerjaan yang berkaitan
denganpengurangan atau pencegahan pembuatan segala bentuk limbah dan polusi.
2). Sebagian pekerjaan akan diganti/terganti dengan pekerjaan baru – seperti peralihan
dari bahan bakar fosil menjadi bahan bakar terbarukan, atau dari produksi truk menjadi
pembuatan trem (rail car), atau dari penimbunan sampah dan pembakaran limbah menjadi
daur ulang.
3). Beberapa pekerjaan tertentu mungkin hilang tanpa langsung diganti karena teknologi
yang digunakan sudah tidak memenuhi syarat, bahan produksi tertentu/kemasan sudah
tidak boleh digunakan/dilarang di proses/pembuatannya dihentikan.
4). Banyak profesi yang ada akan ditransformasikan(seperti tukang pipa, elektrisi, tukang
logam, dan pekerja konstruksi) dan ditetapkan kembali kriteria/kompetensi baru karena
keterampilan yang bersangkutan atau metoda kerja sudah “dihijaukan”.

Dengan definisi di atas, maka proses perubahan dari pekerjaan yang ada saat ini ke
pekerjaan yang ramah lingkungan/hijau dapat menghasilkan hasil positif berupa peluasan
kesempatan kerja atau negatif berupa pengurangan kesempatan tergantung dari kesiapan kita
untuk mempersiapkan kegiatan sektor untuk menerapkan kegiatan-kegiatan hijau. Untuk itu,
dengan berbagai perubahan kegiatan yang ada di berbagai sektor, sebetulnya telah terjadi
penciptaan pekerjaan hijau. Berbagai peraturan mengenai standar lingkungan dan penerapannya
di berbagai perusahaan akan mengembangkan kebutuhan perusahaan untuk lebih memperhatikan
dampak dari kegiatan mereka terhadap lingkungan (Gambar 7.1). Dengan demikian, perusahaan
akan merekrut dan mempekerjakan pegawai dan bahkan membuat unit kerja yang menangani
penggunaan bahan yang ramah lingkungan, proses produksi yang ramah lingkungan dan
pengelolaan limbah agar tidak membahayakan lingkungan.
Pada waktu yang bersamaan, green jobs juga dapat memberikan kualitas pekerjaan yang
lebih baik kepada pekerja, karena kesadaran lingkungan akan dapat meningkatkan pula
keamanan dalam pekerjaan. Meningkatnya keamanan dalam pekerjaan akan meningkatkan

94 | P a g e
kualitas pekerjaan dan sehingga dapat pula menarik angkatan kerja muda untuk menggeluti
pekerjaan-pekerjaan yang semula dinilai kotor, membahayakan dan tidak memberikan
“prestige”. Sehubungan dengan itu, penegakan peraturan lingkungan akan memiliki 3 (tiga)
manfaat yaitu: (i) menghasilkan kualitas lingkungan yang lebih baik; (ii) menambah lapangan
pekerjaan baru yaitu pekerjaan hijau; dan (iii)menghasilkan pekerjaan yang lebih aman dan
berkualitas (decent job). Ketiga hal ini saling berkaitan dan memiliki saling ketergantungan
(Gambar 7.1).

KEGIATAN/USAHA
HIJAU (GREEN
BUSINESS)

PEKERJAAN AMAN
PEKERJAAN HIJAU
DAN BERKUALITAS
(GREEN JOBS)
(DECENT JOBS)

Gambar 7.1 Keterkaitan Green business-green jobs dan decent jobs

Sebagai contoh, produksi pertanian yang semakin ditinggalkan oleh generasi muda, akan
dapat membuat generasi muda kembali ke pertanian dengan adanya penerapan pertanian
berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan penggunaan input produksi ramah lingkungan,
namun juga menggunakan varietas lokal yang memiliki nilai (karena rasa dan ciri khas) premium
serta menerapkan social network dengan masyarakat setempat. Dalam pekerjaan seperti ini,
maka generasi muda akan memiliki tempat dalam rantai pertanian berkelanjutan, karena ada
celah pekerjaan yang tidak hanya mencangkul dan menanam, namun menerapkan unsur
teknologi dan proses ramah lingkungan serta pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
keseluruhannya memberikan posisi tertentu pada profesidan pekerjaan tersebut. Ini peluang
yang dapat dimanfaatkan untuk perluasan jumlah dan jenis lapangan kerja baru.

95 | P a g e
Menurut catatan ILO-REGIONAL/UNEP, hasil identifikasi secara global terdapat delapan
(8) sektor kunci dalam ekonomi hijau yaitu: pertanian, kehutanan, perikanan, energi, manufaktur,
daur ulang, properti dan transportasi.Beberapa catatan tentang praktik-praktik terbaik yang sudah
dilakukan di beberapa negara disajikan dalam Tabel 7.1 berikut.

Tabel 7.1 Identifikasi Green Jobs di beberapa negara

No NEGARA AKSI YANG DILAKUKAN DAMPAK TERHADAP KK

Pekerjaan hijau dilihat sebagai salah satu


cara yang paling efektif untuk menjaga
Amerika 3 juta penduduk bekerja di bidang
1 pemulihan ekonomi terutama melalui
Serikat produk dan jasa lingkungan
rencana stimulus yang disebut hijau,
(berupa insentif pajak untuk produsen)

Jumlah tenaga kerja hijau mencapai


2 Spanyol Stimulus fiskal
lebih dari 500.000 pekerja.
menciptakan 14,6 juta lapangan kerja
Melindungi hutan dan keanekaragaman
3 Uni Eropa langsung dan tidak langsung di sektor
hayati,
ramah lingkungan.

Kolombia Meningkatkan kesejahteraan sosial,


Dengan membentuk organisasi profesi,
4 dan negara- ekonomi sekaligus meningkatkan peran
sebanyak 15-20 juta pemulung.
negara dalam melestarikan lingkungan.

7.2. Kebijakan dan Inisiasi Green Jobs di Indonesia

Bagi Indonesia, green jobs memiliki potensi dan sehingga berpeluang untuk berkembang,
karena beberapa penyebab.
Penyebab pertama adalah, Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.
Sebagai contoh, hutan kita menjadi habitat flora dan fauna yang unik dan hanya ada di Indonesia
sehingga perlu dipelihara. Dengan kekayaan yang unik ini, maka pemeliharaan dapat diiringi
dengan pemanfaatan yang tidak merusak yaitu dijadikan sebagai biodiversitybased tourism.
Pemanfaatan ekonomi untuk pariwisata ini justru mengambil manfaat dari eksistensi dan
terpeliharanyabiodiversity, sehingga tidak ada pertentangan antara pelestarian dan pemanfataan
ekonomi. Ini merupakan peluang ekonomi dan pendapatan baru yang perlu dikembangkan
menjadi sumber ekonomi hijau. Ini bukan hal baru, namun pemanfaatan masih terbatas dan

96 | P a g e
belum didukung dengan infrastruktur baik infrastruktur, fisik maupun non fisik yang
memudahkan wisatawan menikmati kekayaan ini.
Kedua, adalah kegiatan ekonomi yang berbasis pada budaya yangdapat dikelola menjadi
wisata yang berbasis: (i) Pemandangan, misalnya karena masyarakat ini memiliki rumah dengan
arsitektur tertentu atau cara hidup tertentu yang tercermin pada penataan permukiman; (ii)
Kerajinan tangan baik berupa kriya (patung, logam, kayu, keramik) maupun berupa tenun, batik,
lurik songket dll: (iii) basis performing arts yaitu tari-tarian, drama, pertunjukan musik
tradisional dll. Keseluruhan paket ini perlu dikemas dan diiringi dengan narasi serta sejarah
yang baik dan benar sehingga tidak hanya memberikan nilai hiburan namun juga pengetahuan
sejarah. Manfaat dari pengelolaan ini adalah juga pelestarian budaya.
Ketiga, adalah kekayaan budaya yang terkait antara keanekaragaman hayati dan budaya
atau creative knowledge, yaitu jamu tradisional, baik yang bersifat kuratif, suplemen maupun
bahan kosmetik. Sudah bukan rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia memiliki berbagai
jenis jamu. Jamu ada yang berasal dari masyarakat Jawa, ada yang berasal dari masyarakat
Madura, Kalimantan dst. Berbagai resep jamu tradisional ini perlu dikelola sebagai obat
tradisional, atau bahan kesehatan dan kebugaran berupa minuman atau campuran
makanan/suplemen, atau resep jamu untuk kecantikan berupa bedak, lulur dan bahan spa lainnya.
Kita memiliki perusahaan jamu terkenal seperti Sido Muncul, Jamu Cap Jago, Nyonya Meneer,
Cap Orang Tua dll. Namun kita juga memiliki perusahaan kostmetik seperti Sari Ayu dan
Mustika Ratu. Selanjutnya kita juga memiliki berbagai pabrik suplemen seperti untuk produk
tablet kulit manggis dan sejenisnya. Ini baru sebagian kecil pelaku usaha, namun masih banyak
pelaku usaha yang berskala mikro dan rumah tangga yang juga mengusahakan produk serupa.
Potensi ini perlu dikelola dengan baik untuk menghasilkan industri hijau berbasis
keanekaragaman hayati.
Keempat, dengan kekayaan tersebut, maka banyak profesi yang terlibat dalam produksi
dan komoditas hijau tersebut termasuk industri jasa yang mendukung pemasaran dan distribusi
perdagangannya.Indonesia didukung oleh GIZ, Jerman dan ILO pada tahun 2010-2011 sudah
melakukan identifikasi awal untuk mendefinisikan dan mendalami keberadaan green jobs ini.
Gambaran yang diperoleh adalah bahwa pada saat ini terdapat7,2 juta pekerja di pertanian; 12
ribu di pertambangan dan 32 ribu di pariwisata serta 1,4 juta di industrimanufaktur dan 2,2 juta
di transportasi. Jumlah ini masih terbatas apabila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja

97 | P a g e
sebesar 121 juta yang ada, karena dalam melakukan identifikasi masih dihadapi beberapa
tantangan. Pertama tidak adanya data yang tersedia karena belum ada klasifikasi data untuk
pekerjaan hijau. Kedua, kegiatan hijau dalam sektor informal masih sangat banyak dan ini
belum dapat diidentifikasi dan dihitung, karena sektor informal tidak/belummasuk dalam
penghitungan data statistiksecara lebih detil (masih dalam satu kelompok sektor informal).Dari
Tabel 7.2 tentang persebaran angkatan kerja, belum dpat diketahui secara keseluruhan berapa
pekerja dalam berbagai sektor tersebut yang sudah memiliki kategori hijau atau sektoryang sudah
hijau. Dengan kata lain, apabila sektor-sektor tersebut sudah hijau, maka seluruh jumlah
pekerjaan sudah akan menjadi pekerjaan hijau dan akan terdapat penambahan lain dari
penambahan karena pertumbuhan sektortersebut dan penambahan karena adanya profesi baru.
Secara nasional inilah yang perlu diketahui lebih lanjut dan dikelola dengan sistematis.

Tabel 7.2 Persebaran komposisi tenaga kerja


dalam berbagai sektor tahun 2012

Sektor Persentase (%)


Pertanian (termasuk kehutanan,
35
perikanan, perkebunan)
Industri 14
Konstruksi 6
Perdagangan 21
Energi and Transportasi 5
Jasa Keuangan 2.5
Jasa Sosial dan jasa lainnya 16.5
Sumber: Webisite BPS, www.bps.go.id

Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, green jobs di Indonesia kita meliputi berbagai
sektor, terutama untuk energi terbarukan, konservasi energi, pengurangan sampah dan daur
ulang, kehutanan/hutan tanaman, perikanan, pertanian, transportasi, penambangan dan
pemanfaatan jasa lingkungan.
Konservasi Energi.Dibidang konservasi energi seperti penghematan bahan bakar fosil
umumnya membutuhkan teknologi, peluang green jobs di bidang ini tentunya akan semakin
terbuka untuk mengembangkan dan menemukan inovasi teknologi baru yang dibuat dan
diterapkan dengan ramah lingkungan.

98 | P a g e
Energi terbarukan. Inovator-inovator muda yang ada di Indonesia merupakan aset bagi
pengembangan green jobs, misalkan saja beberapa anak muda Indonesia sudah mulai
menerapkan pemanfaatan buah maja untuk bioetanol, kulit buah nangka yang dijadikan sebagai
air accu untuk energi listrik, ataupun rumput laut yang digunakan sebagai bahan pengganti
karbon batu batere, merupakan alternatif yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Disamping kebutuhan tenaga kerja dibidang panel surya, mikro hidro, yang tentunya semakin
berkembang seiring dengan kebijakan energi alternatif terbarukan yang terus ditingkatkan. Salah
satu contoh Kab. Bandung menyediakan 14 hektar lahan untuk pabrik panel surya yang
berpeluang menyerah kurang lebih 2.550 pekerja (Gunawan, Hendra, 2012).
Kehutanan. Sektor kehutanan di Indonesia berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja
langsung sekitar 2,35 juta yaitu dari: industri kayu lapis (492.500 orang); meubel (472.000
orang); woodworking (370.000 orang); pulp dan kertas (178.624 orang); hutan tanaman
industri/HTI (185.000 orang); hutan yang dikelola oleh pengusaha HPH (576.521 orang);
kerajinan (70.000 orang). Kegiatan di sektor kehutanan yang akan berkembang di kemudian hari
dan menyediakan lapangan kerja baru adalah pemanfaatan limbah industri kehutanan untuk
bahan baku pellet (bahan bakar alternatif). Selain tenaga kerja langsung dalam industri, sektor
kehutanan juga berpotensi menyerap tenagajasa seperti: tenaga-tenaga assesor kehutanan untuk
melakukan assessment pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forestry) dan ahli perbibitan
yang lebih besar lagi, disamping pekerja pertanaman.
Pengurangan Limbah dan Daur Ulang, ragam usaha daur ulang sudah menyebar di Indonesia
dari berbagai skala mulai dari komunitas, usaha rumahan, sampai ke industri. Di skala industri salah satu
industri di Bandung mengolah limbah garmen dari sekitar 100 perusahaan dengan menggunakan mesin-
mesin dari luar (Perancis, Swiss) menjadi produk yang bermanfaat sekaligus menciptakan nilai ekonomi.
Limbah tekstil tersebut diolah menjadi menjadi bahan utama yang digunakan sebagai isi bantal, kasur,
jok sepeda motor dan roda empat, isi boneka pengganti dakron, sarung, penghapus billboard, dan aneka
produk yang ekonomis. Salah satu contoh pengolahan limbah pertanian agroindustri pengrajin eceng
gondok (Kotak 7.1).
Pemanfaatan Jasa Lingkungan termasuk Pariwisata. Ranah baru yang akan
berkembang adalah ekonomi jasa lingkungan. Jasa lingkungan selama ini masih hanya dihargai
dari sisi supply yaitu konservasi alam dan ekosistem, dan belum memperhitungkan pemanfaatan
ekonomi dari jasa lingkungan yang timbul. Para pembuat kebijakan saat ini mulai
mempertimbangkan manfaat ekonomi dari terpeliharanya kualitas ekossistem termasuk

99 | P a g e
lingkungan dalam jangka panjang. Manfaat ganda yang timbul dari pemeliharaan persawahan
oleh petani, pemeliharaan hutan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini sudah banyak
diperbincangkan, namun belum dinilai dan dimanfaatkan secara “tangible” nilai ekonominya.
Padahal hasil dari upaya rehabilitasi, restorasi dan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan
termasuk sungai dapat diwujudkan dalam bentuk pendapatan masyarat dan negara. Dalam kaitan
ini pembayaran jasa lingkungan/payment for environmenal services berupa potensi perdagangan
karbon, pengelolaan keanekaragaman hayati yang dikaitkan pula dengan wisata alam, wisata
bahari dll akan membutuhkan keahlian dan tenaga kerja/profesi baru. Kebutuhan tenaga-tenaga
ahli muda dalam bidang konservasi dan memahami jasa lingkungan serta pemasaran untuk
mendapatkan nilai ekonomi saat ini sudah mulai ada namun masih terbatas dan belum mendapat
pengakuan sebagai salah satu profesi baru. Selain itu, keahlian para scientist yang selama ini
hanya meneliti saja dan secara terbatas sudah mulai mengembangkan hasil penelitiannya menjadi
produk belum terwadahi dan dikelola dengan baik; terutama keterkaitannya dengan pengusaha
yang mengembangkan hasil riset dalam skala industri.

100 | P a g e
;#&Agroindustri Pengrajin Eceng Gondok

!  Eichhornia crassipes    


 
^ 
 J^ J 
#
! N
  



  
 

^ ^   #\


 ^
 N 
 
   

#     N 


  % 

#
<

   [;N%
 
 
  *+++# < 


   
   N   

 &  &
     # > 

     
  



N
  #
N

#


 , J"   \J q
^    
 
 
 
#N
  " N;'^#ZZ#Q
   [#w++^  
N

N   Z#['[#*w+

,N
  
N  
  


N    
^ 
 
 ^   ^ ^ ^  

#   J   *#+++

 
 # q  N 



    
 '++  
 
 J
N< 


x 
#
 
"

  
  

  [+z  '+z# q  
  
  

" 
^N
  N
  
     finishing# q  N 
  
"
  J
%
% 


   *{#+++#\
N



^ ^ laundry  
"
# \  
 "   N
  w+ ^ 

;++^laundry*++^   w+bowelw+#\ 


 

  #

 ]>
^*+&Z

Pengembangan green jobs tentu saja tidak hanya pada sektor-sektor publik saja, namun
juga sektor usaha termasuk usaha kecil. Pada saat ini dengan berkembangnya teknologi
informasi, banyak usaha-usaha tidak dimulai dengan produksi secara besar-besaran.Banyak
tenaga muda mengembangkan kreativitas mereka termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan untuk pendapatan mereka serta memasarkan melalui internet (on line).
Menyadari hal ini, maka jiwa kewirausahaan sangat berkaitan dengan pengembangnan ekonomi
hijau dan lapangan pekerjaan hijau. Salah satu cabang dari kewirausahaan yang sedang
berkembang adalah dan dikaji adalah ecopreneurship. Kewirausahaan ini terkait dengan isu-isu
permasalahan lingkungan, permintaan yang meningkat akan produk-produk ramah lingkungan
serta kesadaran masyarakat dan pemerintah yang meningkat akan keberlanjutan dalam ekosistem
dan pembangunan. Kewirausahaan merupakan kunci dalam menciptakan inovasi (Casson et al

101 | P a g e
2006; Porter 1990 dalamSuprihatin 2011), termasuk di dalamnya inovasi yang terkait dengan
pemanfaatan ekonomi dari alam dan eksosistem di dalamnya (Kotak 7.2).

Kotak 7.2 Ecoentrepenurship

Ecopreneur adalah wirausaha yang peduli dengan masalah lingkungan atau kelestarian lingkungan. Dengan
demikian dalam menjalankan kegiatan usahanya, mereka juga selalu memperhatikan daya dukung lingkungan
dan berusaha meminimalisasikan dampak kegiatannya terhadap lingkungan.Ecopreneurship menyangkut tiga
dimensi penting yaitu masyarakat dan sosial (society/social), ekonomi (economy) dan ekologi/lingkungan
(ecology/environmental) (Dixon dan Clifford 2006 dalam Suprihatin 2011).

Berdasarkan tujuannya, ecopreneurs dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu social ecopreneur
dan commercial entrepreneurs (Pastakia 1998 dalam Suprehatin 2011). Social ecopreneur adalah individu
yang bertujuan mempromoskan ide/produk/teknologi ramah lingkungan (eco-friendly) baik melalui pasar
maupun nonpasar, sedangkan sebuah organisasi yang memiliki tujuan yang sama dikenal dengan social
ecopreneurial organization. Commercial ecopreneurs atau ecopreneurial corporations yaitu
individu/kelompok atau perusahaan yang bertujuan memaksimumkan keuntungan pribadi (organisasi untuk
perusahaan) dengan mengidentifikasi peluang green business (produk dan proses yang ramah lingkungan)
dan mengubahnya ke bisnis yang menguntungkan.

Di dalam konsep ecopreneurship dikenal beberapa jenis yaitu green entrepreneurship, sustainable
entrepreneurship dan environmental entrepreneurship. Schal tegger (2002) secara singkat mendefinisikan
ecopreneurship sebagai entrepreneurship through an environmental lens. Menurut Walley dan Taylor (2002)
ecopreneurship dapat diacu pada pengertian green concept yaitu moving towards environmental or ecological
sustainability baik pada produk maupun proses. Ecopreneurship dapat dilihat pada aspek individu maupun
perusahaan (organisasi). Individu wirausaha ekologi (atau Eco-Entrepreneur yang disingkat Ecopreneur)
adalah seseorang yang mempertunjukkan “semangat kewirausahaan dalam mempromosikan dan mendukung
proyek inovatif yang membantu melindungi lingkungan alam, ekosistem dan spesies yang terancam punah di
dunia."

Contoh sektor yang berkembang terkait dengan ecopreneurship adalah agribisnis. Kesadaran masyarakat
mulai mendorong produsen pangan untuk menghasilkan produk yang diinginkan oleh konsumen seperti aman
dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah
lingkungan (eco-labelling attributes). Salah satu contoh produk pangan yang memiliki ketiga atribut tersebut
adalah produk pertanian organik. Masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya ketiga atribut tersebut (green
consumer) akan rela membayar lebih tinggi untuk produk-produk organik.

 ]>
^*+&Z

Untuk mengembangkan kewirausahaan ini, telah ada Inpres No.4/1995 tentang Gerakan
Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dan merupakan salah satu
prioritas dalam pembangunan nasional Indonesia.

102 | P a g e
Keseluruhan pengembangan ekonomi hijau tersebut di atas dan termasuk tenaga kerja
hijau (green jobs) memerlukan kebijakan yang tepat. Dalam kaitan ini, langkah-langkah yang
perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah menyusun kerangka pengembangan dan
pengelolaan green jobs yang terdiri dari: (i) Menciptakan kerangka pengembangan dan kebijakan
untuk berkembangnya pekerjaan hijau; (ii) Menghijaukan atau menginternalisasikan kebijakan
pengendalian lingkungan ke dalam proses usaha/kegiatan ekonomi serta mengembangkan sektor
hijau lainnya (eko-budaya wisata); (iii) Melakukan pembinaan di tingkat nasional dan wilayah
serta daerah; dan (iv) Mengembangkan kriteria/standar kompetensi pekerjaan hijau seiring
dengan penerapan dan pengawasan,
Kotak7.3 Peraturan mengarah ke Pekerjaan hijau*
pengendalian dan pengelolaan lingkungan
1. Undang-undang No. 9/2009 tentang Pengendalian
Lingkungan Hidup pada berbagai bidang usaha/ekonomi.
2. Perpres RAN GRK
3. Undang-undang No 17/2007 tentang Rencana Dari sisi peraturan, sudah banyak
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 yang fokus pada
pembangunan energi terbaharukan, khususnya energi peraturan yang mendukung ke arah
panas bumi, mikrohidro, energi surya menjadi landasan
dalam pelaksaan green job di Indonesia. berkembangnya kegiatan ekonomi hijau,
4. UU No. 30/2007 tentang energi lebih lanjut menetapkan
bahwa ditingkat nasional maupun lokal fokus pada terutama adalah UU No.32/2009 tentang
penyediaan energi di daerah terpencil dan miskin untuk
memaksimumkan pemanfaatan energi terbarukan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan
5. Undang-undang lain yang terkait adalah UU No. 18/2008
tentang Pengelolaan Sampah serta peraturan tentang 3R
berbagai peraturan turunannya. Beberapa
(Reduce, Reuse, Recyle) merupakan kebijakan yang peraturan lain yang dapat diidentifikasi
berpeluang dalam green job, serta sistem Bank Sampah
yang diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup adalah sebagaimana dalam Kotak
(KLH), Bank Sampah yang ada di Indonesia saat ini ada
sekitar 1,195 yang tersebar di 58 Kabupaten/Kota dengan 7.3Penegakan penerapan peraturan
menyerap 106,000 tenaga keraja dan mampu menghasilkan
uang mencapai Rp15,7 miliar per bulan.
tersebut akan menghasilkan 3 manfaat
*Kompilasi dari berbagai sumber besar sebagaimana disampaikan dalam
Gambar 7.1 diatas.

7.3. Tantangan dan Kendala Green Job di Indonesia

Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan green jobs adalah belum berkembangnya
penerapan usaha ekonomi hijau di Indonesia, yang berkaitan dengan masih rendahnya penegakan
peraturan pencemaran dan pengendalian kualitas lingkungan serta berbagai standar kualitas lingkungan
lainnya.Hal ini mengakibatkan bahwa kegiatan yang ramah lingkungan dan upaya untuk memperhatikan
standar kualitas lingkungan masih dinilai sebagai kegiatan yang mahal dan membawa dampak pada
mahalnya produk yang ramah lingkungan/hijau.

103 | P a g e
Tantangan lain adalah kekhawatiran banyaknya pemangkasan pekerjaan, karena harus
mengganti cara kerja, yang menuntut pendidikan dan pelatihan kembali. Langkah ini
memerlukan transisi yang baik dan tersedianya infrastruktur pengembangan kompetensi
sumberdaya manusia (instruktur/asesor/guru; sarana/prasarana pendidikan/pelatihan, bahan
ajar/kurikulum yang baru) yang memadai.

Tantangan lainnya adalah banyak pekerjaan yang berhubungan dengan lingkungan


merupakan pekerjaan yang “kotor, berbahaya, dan sulit” (ILO, 2010). Pekerjaan di sektor
industri daur ulang dan pengolahan limbah, energi biomass, dan konstruksi cenderung berbahaya
dan berupah kecil.Pekerjaan yang dikategorikan dalam green jobs sudah sepatutnya
memperhatikan aspek kelayakan dan keamanan dalam bekerja. Sehingga, green jobs tidak hanya
menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru, tetapi dapat memberikan pekerjaan yang layak
untuk masyarakat sekaligus meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelesatarian
lingkungan.
Namun demikian, dengan belum berkembangnya usaha ekonomi hijau tersebut, tidak
berarti bahwa keahlian mengenai pengendalian kualitas lingkungan dan yang terkait di dalamnya
tidak ada. Keahlian ini ada, namun tidak banyak dimanfaatkan sehingga tidak dihargai, tidak
berkembang dan tidak termanfaatkan untuk membangun lingkungan lebih bersih dan ekonomi
yang lebih hijau. Beberapa hal yang menjadi kendala green jobs di Indonesia antara lain: (i)
Upah dan kesejahteraan rendah; (ii) Jaminan sosial dan kesehatan minim; (iii) Kontrak kerja
pendek dan sistem sub-contract (labor supplier); dan (v) Pekerjaan musiman.
Seiring dengan proses peralihan/transisi ke ekonomi hijau maka pemerintah perlu
mendorong melalui: (i) Mempromosikan dan menerapkan pola produksi yang berkelanjutan
terutama di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di delapan sektor usaha “ramah
lingkungan"; (ii) Memperbaiki jaminan sosial, meningkatkan pendapatan dan keahlian pekerja
agar mereka bisa mengambil peluang dan manfaat dari peralihan ke ekonomi hijau; (iii)
Menerapkan standar kerja internasional dan menghargai hak-hak pekerja; dan (iv) Menjalin
dialog dengan pengusaha dan serikat pekerja yang menjadi kunci tata kelola pembangunan yang
berkelanjutan (Gambar 7.2)

104 | P a g e
•Mempromosikan dan menerapkan pola

1 produksi yang berkelanjutan terutama


di sektor UKM di delapan sektor usaha
tamah lingkungan
8 sektor kunci
•Memperbaiki sistem jaminan sosial,
dalam ekonomi
meningkatkan pendapatan dan keahlian hijau adalah:
2 pekerja agar mereka bisa mengambil
peluang dan manfaat dari peralihan ke
a. pertanian
b. kehutanan
ekonomi hijau. c. perikanan
d. energi
• Menerapkan standar kerja e. manufaktur
3 internasional dan menghargai
hak-hak pekerja
f. daur ulang
g. properti
h. transportasi
•menjalin dialog dengan pengusaha
dan serikat pekerja yang menjadi
4 kunci tata kelola pembangunan yang
berkelanjutan

Jka dikelola dengan baik, peralihan dari kegiatan ekonomi saat ini ke
ekonomi hijau dapat mencipatakan lapangan kerja lebih besar, luas dan
lebih baik.

Gambar 7.2. Kerangka pengembangan pekerjaan hijau/green jobs

105 | P a g e
106 | P a g e
BAB VIII. PENERAPAN EKONOMI HIJAU DI SEKTOR INDUSTRI

8.1. Konsep Ekonomi Hijau di Sektor Industri

Dalam kerangka ekonomi hijau, Asia sudah memulai green industry initiatives sejak
tahun 2005 di Seoul yang merupakan pertemuan pertama di Asia yang mensinergikan antara
keberlanjutan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus pertemuan
mengenai green industry dilaksanakan pada tahun 2009 di Manila dan difasilitasi oleh UNIDO
melahirkan Green Industry Initiatives in Asia. Inisiatif ini merupakan kerjasama pemerintah dan
industri untukmenyediakan bantuan/assistance kepada perusahaan dan pengusaha dalam segala
aspek berkaitan dengan green industry. Dalam inisiatif tersebut Tema jangka panjang yang
adalah: Environment and Energy, yang menginginkan adanya perubahan fundamental pada
disain dan teknologi yang menyediakan resource sustainability. Visi jangka panjang untuk
resource sustainabilitymencakup 4 tahap yaitu: (i). penurunan penggunaan materia dan energi
secara berlanjut melalui proses produksi lebih bersih untuk meningkatkan efisiensi dan
menurunkan limbah berbahaya dan beracun secara berlebihan (affluent); (ii). perubahan ke arah
siklus penggunaan bahan/material dengan meningkatkan re-use dan re-cycling secara terus
menerus; (iii) perubahan/shifting dari non-renewable ke renewable sumber energi; dan (iv)
perubahan dari penjualan produk ke penjualan jasa (manfaat barang).
Dari perkembangan di atas dan keterlibatan di berbagai forum, maka di Indoneia industri
hijau yang diterjemakan sebagai: “industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu
menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberi manfaat bagi masyarakat”. Berkaitan dengan itu, secara umum industri hijau
didefinisikan sebagai:
a. Industri Hijau mengubah sektor manufaktur dan jenis industri lainnya untuk berkontribusi
lebih efektif dalam pembangunan industri yang berkelanjutan, dan merupakan sektor
strategis untuk merealisasikan ekonomi hijau dan pertumbuhan hijau di sektor industri.

107 | P a g e
8.2. Kebijakan dan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Industri

Penerapan prinsip berkelanjutan untuk membentuk industri hijau sangat penting untuk
mendukung penerapan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan secara lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh sumbangan sektor industri yang cukup signifikan dalam perekonomian
Indonesia. Sektor industri, selama ini memberikan sumbangan kepada PDB Indonesia dalam
jumlah yang cukup signifikan, yaitu sekitar 25-28 persen. Hal ini semakin penting dalam dua
dekade terakhir, seiring dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan porsi pendapatan dari
sektor non-migas.Untuk itu, pertumbuhan sektor industri di segala bidang didorong hingga
mencapai 8,5 persen pada tahun 2014 dan diharapkan akan terus naik hingga rata-rata sebesar
9,75 persen pada periode 2020-2025.
Kebijakan lain yang mendorong penerapan ekonomi hijau pada sektor industri adalah
Perpres No, 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yang menetapkan visi pembangunan
di bidang industri yaitu:
“Menjadikan Indonesia sebagai negara Industri Tangguh di Dunia pada Tahun 2025.
Sasaran jangka pendek tahun 2014 yaitu pemantapan daya saing basis industri
manufaktur yang berkelanjutan serta terbangunnya pilar industri andalan masa depan”

Dalam Pepres No 28 tahun 2008 disebutkan bahwa sejalan dengan 3 pilar pembangunan
berkelanjutan, maka fokus pembangunan industri dalam masing-masing pilar tersebut adalah: (i)
Pilar ekonomi bagaimana pembangunan industri yang mampu menghasilkan barang yang
dibutuhkan pasar secara kontinyu, memberikan kontribusi terhadap PDB Nasional, dan
menyerap tenaga kerja; (ii) Lingkungan bagaimana pembangunan industri yang mampu menjaga
keseimbangan ekosistem, memelihara sumberdaya yang berkelanjutan, menghindari eksploitasi
sumberdaya alam dan menjaga fungsi pelestarian lingkungan); dan (iii) Sosial bagaimana
pembangunan industri yang mampu berkontribusi pada masyarakat, seperti peningkatan
pendidikan, kesehatan dan keamanan).
Selanjutnya, arah kebijakan Umum Pembangunan Industri Indonesia adalah :
a. Pertumbuhan Industri, melalui pengembangan dan penguatan 35 klaster industri
prioritas (pro growth)
b. Pemerataan Industri, melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah
(pro growth danpro job)

109 | P a g e
c. Persebaran Industri, melalui pengembangan industry unggulan di 33 provinsi dan
Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota (pro job dan pro poor).
d. Menjaga Keseimbangan Lingkungan, melalui pengembangan industri hijau (pro
environment)

Gambar 8.2. Bagan Tujuan Industri Nasional Jangka Panjang

Berdasarkan pada tujuan pembangunan industri tersebut, maka Indonesia ikut


menandatangani Manila Declaration onGreen Industry pada acara Green Asian Industry
Summit tahun 2009 di Filipina. Dalam deklarasi tersebut, Indonesia menyatakan tekad untuk:
“Menetapkan kebijakan, kerangka peraturan dan kelembagaan yang mendorong pergeseran ke
arah industri yang efisien dan rendah karbon atau dikenal dengan istilah industri hijau”.

110 | P a g e
Sebagai langkah untuk melaksanakan komimen pembangunan industri hijau tersebut,
pada tahun 2010 Kementerian Perindustrian membentuk Pusat Pengkajian Industri Hijau dan
Lingkungan Hidup. Beberapa program yang dilaksanakan untuk terwujudnya industri hijau
adalah:
a. Menyusun rencana induk pengembangan industri hijau. Rencana induk merupakan
arahan kebijakan dan panduan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
mengembangkan industri hijau di Indonesia. Dokumen ini memuat visi, misi, roadmap
dan rencana aksi pengembangan industri hijau sampai tahun 2030.
b. Konservasi energi dan pengurangan emisi CO2 di sektor industri. Sektor industri
merupakan pengguna energi terbesar, dimana ± 47% energi nasional dikonsumsi oleh
kegiatan industri. Kebutuhan energi terus meningkat, sementara cadangan sumber energi
semakin menipis. sehingga harus ditingkatkan upaya konservasi dan diversifikasi energi
sehingga dapat terjaga keberlanjutan sektor industri, disamping untuk memenuhi
komitmen pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
c. Penggunaan mesin ramah lingkungan. Program ini telah dimulai dengan melakukan
restrukturisasi permesinan untuk industri tekstil dan produk tekstil, alas kaki, dan gula.
Kondisi permesinan di beberapa jenis industri seperti tekstil, alas kaki, dan gula sudah tua
sehingga boros dalam penggunaan sumber daya dan menurunkan tingkat efisiensi
produksi. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, Kementerian Perindustrian
melakukan program restrukturisasi permesinan dengan memberi bantuan pembiayaan
kepada industri untuk pembelian mesin-mesin baru. Program yang dimulai sejak tahun
2007 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas,
efisiensi penggunaan sumber daya (bahan baku, energi dan air) serta mampu
meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
d. Menyiapkan standar industri hijau. Penyusunan standar industri hijau bertujuan untuk
melindungi kepentingan perusahaan industri dan konsumen serta meningkatkan daya
saing industri nasional dalam persaingan global. Kegiatan ini telah dimulai pada tahun
2012 dengan menyusun standar industri hijau untuk komoditi industri keramik dan
industri tekstil. Penyusunan standar ini akan dilakukan secara bertahap untuk semua
komoditi industri. Standar industri hijau pada awalnya akan bersifat sukarela (voluntary),

111 | P a g e
tetapi seiring dengan berkembangnya tuntutan pasar di masa depan dapat juga
diberlakukan secara wajib (mandatory).
e. Menyiapkan lembaga sertifikasi industri hijau. Bagi perusahaan industri yang telah
memenuhi standar industri hijau akan diberikan sertifikat oleh suatu lembaga sertifikasi
yang telah terakreditasi. Saat ini Kementerian Perindustrian sedang dalam proses
penyiapan mekanisme dan lembaga sertifikasi yang nantinya dapat diakui baik secara
nasional maupun internasional.
f. Menyiapkan insentif bagi industri hijau. Salah satu aspek penting dalam mendorong
pengembangan industri hijau adalah perlunya pemberian stimulus berupa insentif (fiskal
dan non fiskal) bagi pelaku industri untuk mendorong dan mempromosikan iklim
investasi bagi pengembangan industri hijau. Investasi untuk industri hijau sangat besar,
salah satunya adalah karena diperlukan penggantian mesin produksi dengan teknologi
yang ramah lingkungan, oleh sebab itu diperlukan insentif dari pemerintah agar industri
tetap bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tanpa dukungan insentif, dikhawatirkan
industri bakal kalah bersaing, khususnya di pasar dalam negeri.
g. Penerapan produksi bersih. Penerapan industri hijau dilakukan melalui konsep
produksi bersih (cleaner production) melalui aplikasi 4R, yaitu Reduce (pengurangan
limbah pada sumbernya), Reuse (penggunaan kembali limbah), dan Recycle (daur ulang
limbah), dan Recovery (pemisahan suatu bahan atau energi dari suatu limbah). Untuk
lebih mengefektifkan aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip Rethink (konsep
pemikiran pada awal operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi 5R.
Disamping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan
produksi. Dengan menerapkan konsep produksi bersih, diharapkan sumber daya alam
dapat lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Secara singkat, produksi
bersih memberikan dua keuntungan, pertama efisiensi dalam proses produksi; dan kedua
adalah meminimisasi terbentuknya limbah, sehingga dapat melindungi kelestarian
lingkungan hidup.
Produksi bersih juga menghendaki adanya perubahan dalam pola produksi dan konsumsi,
baik pada proses maupun produk yang dihasilkan. Selain itu perlu dilakukan perubahan
pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak agar menerapkan aplikasi teknologi

112 | P a g e
ramah lingkungan, manajemen dan prosedur standar operasi sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan. Berdasarkan hasil implementasi, produksi bersih ini teruji mampu
mengurangi terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan sekaligus meningkatkan
daya saing sektor industri karena selain mengurangi biaya produksi dan biaya pengolahan
limbah juga akan memperbaiki efisiensi industri.
Penerapan produksi bersih di sektor industri telah dimulai sejak tahun 1990an. Berbagai
program telah dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian untuk mendorong pelaku
industri menerapkan produksi bersih, terutama untuk mendorong pelaku IKM agar
menerapkan produksi bersih. Program-program yang telah dilakukan diantaranya adalah
menyusun pedoman teknis produksi bersih untuk beberapa komoditi industri dan
memberikan bantuan teknis kepada beberapa industri.
h. Penyusunan katalog material input ramah lingkungan. Penyusunan katalog ini
bertujuan untuk menyediakan informasi bagi pelaku industri dalam memilih bahan baku
dan bahan penolong yang lebih ramah lingkungan. Pada tahun 2012 telah disusun katalog
untuk komoditi industri tekstil, keramik dan makanan. Penyusunan katalog ini akan terus
dilakukan dalam rangka mendorong pelaku industri menuju industri hijau.Industri Hijau
adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu
menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
dapat memberi manfaat bagi masyarakat.
i. Pengembangan Sektor Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT)
melalui penguasaan teknologi pada masing-masing sektor IUBTT.

Sejalan dengan upaya di Kementerian Perindustrian, di Kementerian Lingkungan Hidup


juga telah dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong tercapainya industri hijau di sektor
industri, diantaranya adalah: (i) Penerapan Proper bagi perusahaan termasuk industri; (ii)
Program yang tidak mengikat perusahaan tapi mendorong industri untuk melakukan
perbaikan dan peningkatan kondisi lingkungan salah satunya melalui CSR bidang lingkungan
dengan salah satu menu program yang didorong adalah produksi bersih, kantor ramah
lingkungan dan energi terbarukan yang diterapkan lebih luas di industri masing-masing. Secara

113 | P a g e
lebih komprehensif, pada saat ini Kementerian Lingkungan Hidup sudah hampir menyelesaikan
strategi nasional untuk Sustainable Consumption and Production (SCP).

8.3. Permasalahan dan Tantangan Penerapan Ekonomi Hijau di Sektor Industri

Permasalahan industri nasional dalam penerapan ekonomi hijau di Indonesia antara lain
adalah bahwa sebagian teknologi dan mesin sudah ketinggalan jaman/obsolate sehingga memiliki
efisiensi sangat rendah dan tingkat emisi tinggi serta adanya ketergantungan terhadap bahan baku
impor sangat tinggi. Selanjutnya, persebaran industri yang >60 persen di pulau Jawa
mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan dan beban emisi serta pembuangan limbah
semakin tinggi, mempersulit pengelolaan industri yang berkelanjutan karena ruang sudah tidak
memadai. Selain itu, sumberdaya berada di luar pulau Jawa memerlukan pengangkutan sehingga
menciptakan inefisiensi dari sisi logistik dan menjadi mahal.Di tingkat global, tuntutan agar
diterapkannya standar industri yang menitikberatkan pada upaya efisiensi bahan baku, air dan
energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi rendah karbon dengan sasaran peningkatan
produktivitas dan minimalisasi limbah, semakin tinggi.
Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu kriteria teknis untuk menghambat perdagangan
(barriers to trade) untuk penetrasi pasar suatu negara. Barrier tersebut dilaksanakan dengan cara
menerapkan berbagai macam standar, baik itu standar international (ISO, ekolabel) maupun
persyaratan pembeli (buyers requirement). Oleh karena itu, dunia usaha perlu mengantisipasi
hambatan yang diterapkan oleh beberapa negara tujuan ekspor produk Indonesia.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi untuk mengembangkan sektor industri adalah
bahwa hampir 80% produk industri nasional telah berhasil menembus pasar global khususnya
negara maju yaitu Eropa , USA, Jepang dan lain-lain, dan hanya sekitar 20% berorientasi ke
pasar dalam negeri dan ekspor ke negara berkembang. Dengan meningkatnya penerapan
standarproduk yang ramah lingkungan (eco product), maka apabila perubahan ke industri hijau
tidak dilakukan, maka Indonesia akan kehilangan nilai ekspor yang signifikan. Beberapa
kendala yang dihadapi dalam pengembangan industri hijau adalah:
a. Kebutuhan teknologi dan penelitian dan pengembangan/litbang yang dapat diterapkan
sesuai dengan kebutuhan industri nasional.

114 | P a g e
b. Masih banyaknya industri yang menggunakan teknologi obsolete sehingga dibutuhkan
restrukturisasi proses dan permesinan untuk meningkatkan efisiensi produksi.
c. Suku bunga bank komersil masih tinggi dan terbatasnya industri permesinan nasional
untuk mendukung pengembangan industri hijau.
d. Terbatasnya SDM yang kompeten dalam penerapan industri hijau. Sebagai informasi,
pertumbuhan sektor industri juga diperkirakan mencapai 6,7 persen dengan penyerapan
tenaga kerja sebanyak 15,4 juta atau 13,9 persen dari total tenaga kerja nasional.
e. Belum adanya insentif yang mendukung pengembangan industri hijau.

115 | P a g e
116 | P a g e
BAB IX. PENERAPAN PRINSIP HIJAU/BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN

9.1. Perkotaan Yang Hijau/Berkelanjutan Sudah Menjadi Tuntutan.

Seiring dengan peningkatan pendapatan, kebutuhan akan kualitas kehidupan di perkotaan


tidak hanya cukup dari terpenuhinya jumlah, jenis dan kualitas konsumsi barang-barang saja,
namun juga kualitas kehidupan di perkotaan yang meliputi kenyamanan, keindahan,
kebersihan,kesegaran, dan kesehatannya.Kenyamanan dapat dicerminkan kemudahan
masyarakat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, kemudahan untuk mendapatkan barang dan
kebutuhan, serta keterjangkauannya. Hal ini terkait dengan tata kota dan tata letak berbagai
tempat pemenuhan kebutuhan, misalnya tempat tinggal dengan sekolah, tempat tinggal dengan
tempat berbelanja (pasar), tempat tinggal dengan tempat rekreasi dsb.Keindahan juga dituntut
karena dalam melakukan pergerakan masyarakat ingin memiliki pemandangan yang enak dan
nyaman dilihat. Hal ini dijawab dengan adanya perkembangan gedung-gedung dengan arsitektur
indah, tata letak antara satu gedung dengan gedung lain dan keserasiannya.
Sejalan dengan itu, kebersihan juga dituntut karena dengan semakin meningkatnya selera
mereka, masyarakat juga menginginkan lingkungan yang bersih, sampah yang terkelola dengan
baik dan wilayah yang tidak tergenang dsb. Kesegaran mulai dirasakan sebagai kebutuhan
ketika semua anggota masyarakat ingin tinggal di tempat dekat dengan tempat bekerja, sekolah
dll yang mengakibatkan hunian menumpuk di suatu lokasi, sehingga kepadatan penduduk di
suatu wilayah akan semakin mampat dan udara tidak segar lagi. Berbagai penyebabnya adalah,
ruang penuh dengan hunian, pengelolaan sampah meskipun sementara sudah dekat dengan
tempat huni, udara tidak segar lagi karena sudah terlalu padat penduduk dan mobilitas tidak
nyaman karena wilayah cenderung padat dengan mobilitas warga disekitar hunian. Dengan tidak
segarnya wilayah maka kesehatan masyarakat menjadi kurang, tidak saja gangguan kesehatan
karena udara tidak segar namun juga berkurangnya ruang terbuka dan hijausehingga masyarakat
memilih tinggal di dalam ruangan dengan penyejuk ruangan. Untuk sekelompok masyarakat hal
ini dapat dilakukan, namun untuk masyarakat umum, udara tak segarmenjadi konsumsi sehari-
hari yang dalam jangka menengah panjang dapat mengganggu kesehatan mereka.

117 | P a g e
Sejalan dengan perkembangan ini maka, hunian di kota menjadi tidak nyaman. Kota hanya
menjadi tempat mencari nafkah namun tidak menjadi tempat hunian yang nyaman. Fenomena
ini sudah terjadi di Jakarta sebagaimana di kota –kota besar lain. Kota seperti Jakarta misalnya
tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah
hampir 10 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang me”nglaju”/commute
dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak. Kedekatan jangkauan
terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian
penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat
terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang
terbatas, menjadi semakin meluas. Ruang publik menjadi hilang.Sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi diperlukan lahan bagi pengembangan dan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya,
ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut
harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya, dan yang kerap dikorbankan adalah
ruang-ruang publik. Kemacetan merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para
pengambil kebijakan perkotaan. Masalah lainnya adalah masalah pemenuhan air bersih yang
semakin berkurang. Kenyamanan bukan lagi miliki kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8
Mei 2000).
Fenonema seperti Jakarta juga semakin meluas, karena urbanisasi yang semula hanya
berarti perpindahan masyarakat dari desa ke kota, sudah mengarah ke perubahan perdesaan
menjadi perkotaan. Perubahan ini terjadi karena penduduk juga semakin menginginkan kualitas
kehidupan kota ada di kediaman mereka. Dengan tuntutan ini, seiring dengan peningkatan
kualitas kehidupan, maka pertumbuhan kota-kota juga semakin tinggi. Hal-hal inilah yang mulai
ditakutkan, karena pertumbuhan urbanisasisudah semakin pesat di berbagai belahan dunia. PBB
memperkirakan persentase jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan akan
meningkat dari sekitar 45% pada tahun 2005, menjadi 60,3% pada 2025. Angka tersebut tenyata
lebih besar dibandingkan Filipina (53,9%) dan Thailand (40,8%), namun masih lebih rendah
dibanding Malaysia (79,6%) dan Tiongkok (65,4%). Laju urbanisasi di Indonesia memang
memiliki angka pertumbuhan yang pesat dengan rata-rata mencapai 4.2%/tahun. Fenomena
tersebut melahirkan ide terbentuknya konsep green city (kota hijau) yang menjadi jargon saat
ini.Di seluruh dunia agar masing-masing kota memberi kontribusi terhadap penurunan emisi
karbon, meningkatkan kualitas lingkungan yang memberikan kenyaman dan kesehatan.

118 | P a g e
Kota hijau atau sering disebut kota yang ramah lingkungan, merupakan konsep kota yang
mengefektifkan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah,
menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan
kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial,
dan ekonomi).
Kota besar akan menjadi tempat yang penting dalam penerapan ekonomi hijau dengan tiga
alasan utama yaitu : (1) Kedekatan dan kepadatan, di perkotaan bermanfaat bagi produktivitas
perusahaan dan membantu merangsang inovasi baru; (2) Kegiatan industri hijau didominasi oleh
kegiatan pelayanan, seperti angkutan umum, penyediaan energi, instalasi dan perbaikan yang
cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan yang menjadi konsumen terbesar.; (3) Beberapa
kota juga akan mengembangkan teknologi tinggi yang terpusat, dimana laboratorium penelitian
umumnya berpusat di perkotaan.

9.2. Kebijakan Dan Inisiasi Penerapan “Prinsip Hijau/Berkelanjutan” Di Perkotaan

Untuk menghadapi perkembangan perkotaan yang semakin meningkat, dan dalam rangka
mendukung penurunan emisi di perkotaan, Pemerintah Indonesia mengembangkan konsep kota
hijau. Terdapat delapan (8) atribut yang ditetapkan untuk terwujudnya kota hijau, yaitu: (i)
perencanaan dan rancangan kota hijau; (ii) ruang terbuka; (iii) pembuangan limbah; (iv) alat
transportasi; (v) air bersih; (vi) sumber energi, serta (vii) bangunan dan (viii) masyarakat peduli
lingkungan. Konsep dan kriteria mengenai kota hijau penting untuk diterapkan di Indonesia
karena padasaat ini sekitar 52,03 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan
diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai sekitar 68 persen. Pertumbuhan kota secara cepat
tersebut secara langsung akan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan
seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kemiskinan, serta menurunnya luasan ruang
terbuka hijau.

Berkaitan dengan perencanaan dan rancangan kota hijau, telah dilandasi dengan Undang-
undang No. 26/ 2007 tentang Tentang Penataan Ruang. Didalam aturan tata ruang tersebut, telah
diatur mengenai keharusan pengaturan zona dalam suatu wilayah. Selain itu, di dalam UU ini
telah dimanatkan pula mengenai ruang terbuka. Dalam UU ini diatur bahwa setiap

119 | P a g e
Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
diwajibkan untuk memiliki proporsi 30% untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan minimal 20%
untuk wilayah kota. Pengaturan ini dimaksudkan agar penataan ruang dapat “mewujudkan
penataan ruang yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutan”. Selanjutnya, berkaitan
dengan air bersih, perkotaan juga paling banyak menggunakan air, tidak saja untuk air minum,
namun juga untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan semakin banyaknya perumahan, gedung-
gedung perkantoran dll, maka area terbuka untuk resapan air semakin berkurang, padahal
kebutuhan air semakin meningkat. Untuk itu, pengelolaan air dan sumber daya air sudah diatur
di dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Khusus untuk Jakarta,
penggunaan air dan optimalisasi penampungan air hujan di bawah tanah telah diatur dalam Perda
Nomor 68 Tahun 2003. Demikian pula keberadaan dan pengaturan tentang gedung ramah
lingkungan juga telah diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2002.

Pengelolaan kota yang bersih dan nyaman juga sudah diapresiasi melalui pemberian
penghargaan Adipura. Penghargaan Adipura diberikan kepada kota yang telah memenuhi
kriterian penilaian untuk: (i) pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau; (ii) pengendalian
pencemaran air; dan (iii) pengendalian pencemaran udara. Penilaian dilakukan secara fisik
(peninjauan) dan non fisik. Dengan penghargaan ini diharapkan kota-kota akan membenahi diri
agar nyaman dan sehat untuk masyarakat penghuninya (Kotak 9.1).

Kotak 9.1 Kriteria Penilaian Adipura

Penilaian untuk Adipura meliputi: (i) pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau; (ii) pengendalian
pencemaran air; dan (iii) pengendalian pencemaran udara.

Penilaian untuk pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau terdiri atas: (a) Penilaian non fisik yang
meliputi: (i) data umum; (ii) institusi yang meliputi kelembagaan,produk hukum,anggaran, sarana dan
prasarana/fasilitas, tingkat pelayanan; (iii) manajemen; (iv) partisipasi masyarakat; dan (v) peta. (b)
Pemantauan fisik, meliputi: pengelolaan sampah; dan pengelolaan ruang terbuka hijau.

Penilaian pengendalian pencemaran air terdiri atas: (a) penilaian non fisik, meliputi: (i) pelaksanaan
pengendalian pencemaran air; (ii) ketersediaan air bersih; (iii) pemantauan kualitas air; (iv) ketersediaan
sarana pengelolaan air limbah domestik; dan (v) dukungan Sumber Daya Manusia, sarana, dan fasilitas
dalam ͒pelaksanaan pengendalian pencemaran air;selanjutnya (b) pemantauan fisik, meliputi: (i) Kualitas
air permukaan; (ii) Ketersediaan pengelolaan air limbah domestik dengan sistem terpusat ͒atau komunal;
dan (iii) Ketersediaan pengelolaan air limbah dari usaha skala kecil dengan ͒sistem terpusat atau
komunal.

120 | P a g e
Pengendalian pencemaran udara terdiri atas: (a) penilaian non fisik, meliputi: (i) kegiatan pemantauan
kualitas udara dari emisi sumber bergerak; (ii) kegiatan mereduksi tingkat pencemaran udara dari emisi
sumber ͒bergerak; dan (iii) kegiatan terkait dengan awareness terhadap isu pencemaran ͒udara/kualitas
udara.(b)Pemantauan fisik, meliputi: (i) pengukuran pencemaran udara jalan raya (roadside); (ii) kinerja
lalu lintas perkotaan; (iii) uji emisi dan kebisingan kendaraan bermotor; (iv) kualitas bahan bakar ramah
lingkungan; (v) fasilitas pengujian kendaraan bermotor; (vi) monitoring udara ambien; (vii) manajemen
transportasi (keberadaan transportasi umum, fasilitas, intermoda, pelayanan); (viii) pemantauan
kebisingan kawasan (pelabuhan, bandara, stasiun, terminal); (ix) pemantauan kualitas udara kawasan
(pelabuhan, bandara, stasiun, terminal); dan ( x) pengolahan dan tabulasi data.

Sumber: website KLH

Namun demikian, perkembangan kota-kota masih diwarnai dengan berbagai


permasalahan yang tidak sejalan dengan kriteria dan wujud kota hijau yang diinginkan. Untuk
itu pembinaan untuk pengembangan kota hijau terus ditingkatkan melalui program
Pengembangan Kota Hijau. Sejalan dengan itu, kesadaran masyarakat juga terus ditingkatkan.
Berbagai inisiatif masyarakat untuk mengembangkan biopori dalam meningkatkan daya serap
lahan juga mulai berkembang. Selanjutnya, pengembangan ruang terbuka hijau terus dilakukan
di berbagai kota. Jakarta dalam 3 (tiga) tahun terakhir memperbaiki taman kota menjadi ruang
terbuka hijau yang nyaman bagi masyarakat. Selanjutnya, beberapa situ/danau di dalam kota
juga sedang direklamasi untuk meningkatkan serapan dan daya tampung air di perkotaan.
Prestasi terbesar adalah pembangunan kanal banjir timur yang telah mengurangi wilayah banjir
di kota Jakarta.

Selanjutnya, kota hijau yang patut dicontoh juga adalah kota Surabaya yang terus
membangun dan membersihkan kotanya dari sampah, dan dari papan iklan yang berlebihan.
Selain itu, kota Surabaya juga sedang membangun berbagai Taman kota untuk ruang terbuka
hijau dan berekreasi warga. Kota Surabaya juga mendapatkan predikat sebagai kota terbersih
(Kotak 9.2).
Kotak 9.2 Kota Surabaya paling Bersih

Memasuki usia ke-718, Kota Surabaya kembali memperoleh penghargaan Adipura sebagai kota paling
bersih kategori metropolitan. Piala Adipura keenam itu pun diarak dari Bandara Internasional Juanda ke
Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Rabu (8/6/2011).Setibanya di Taman Surya, Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini mengatakan, penghargaan tersebut adalah bukti kerja keras warga dan seluruh elemen yang
menghargai lingkungannya.Tahun ini Surabaya, selain menerima Adipura, juga Kalpataru kepada Lulut
Sri Yuliani dan lima sekolah menerima Adiwiyata, serta penghargaan taman terbaik. "Baru tahun ini
Surabaya benar-benar nomor satu soal kebersihan, meski sudah enam kali memperoleh Adipura," kata Tri
Rismaharini di depan sekitar 2 .000 pasukan kuning, pasukan hijau dan pasukan merah yang khusus
membersihkan pematusan. Risma juga mengingatkan agar Adipura bisa kembali diterima pada 2012.

121 | P a g e
Warga Surabaya pun diingatkan bila menginginkan Piala Adipura kembali pada 2012, sebaiknya warga
Surabaya harus bekerja lebih keras. "Warga Surabaya harus kerja lebih keras daerah lain juga ingin
menjadi yang terbaik," katanya.

Dalam kesempatan itu Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Hidayat Syah
mengatakan, penilaian tertinggi syarat untuk bisa meraih Adipura adalah partisipasi masyarakat.
"Keterlibatan warga harus nyata, sehingga perlu terus diberi pengertian agar seluruh warga dengan
sukarela menjaga lingkungannya," katanya.Salah satu faktor keberhasilan Surabaya menjaga lingkungan,
kata dia, dengan kehadiran sekitar 26.000 kader lingkungan hingga tingkat rukun tetangga
(RT).Keberadaan kader lingkungan bisa memotivasi warga di sekitarnya untuk bersama-sama menjaga
lingkungan, sehingga bersih dan hijau. Faktor pendukung lain banyak perusahaan dan instansi juga
terlibat dalam program menanam pohon, termasuk fasilitas perawatan taman. (Sumber Kompas.com, 8
Juni 2011). Untuk ke 8 kalinya Kota Surabaya menerima Adipura Kencana pada tahun 2013.

Sumber: website KLH

Dari contoh di atas, nampak bahwa pembangunan atau pengembalian suatu kota menjadi
kota hijau bukan pekerjaan mudah dan memerlukan penanganan secara tegas dan terpadu.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua dari UN Habitat dalam pertemuan OWG di NY tahun
2013, bahwa sustainable city development memerlukan 3 hal: pertama adalah penegakan hukum
dan aturan; kedua, perencanaan yang baik, dan ketiga adalah pendanaan. Tanpa penegakan
hukum dan aturan tidak akan tercipta sistem perkotaan yang sesuai kriteria yang ada dan
keseimbangan berbagai kebutuhan masyarakatnya. Disampaikan pula bahwa sesuai dengan
pengalamannya sebagai Walikota Barcelona, bahwa untuk penegakan hukum, hal pertama yang
dilakukan adalah mengubah alur dan moda transportasi, dengan meruntuhkan banyak flyover dan
mengubah kebiasaan mobilitas dengan transportasi pribadi yang mahal. Pengalaman
hidupnyaserupa diterapkan di Surabaya untuk menegakkan aturan tentang “kebersihan” dan
menerapkan dan mengawal sampai di tingkat masyarakat. Selanjutnya adalah penyediaan dan
menyediakan kenyamanan di ruang terbuka hijau sehingga mendorong masyarakat untuk
menyukai kehidupan di luar, sehingga akan tercipta cinta lingkungan dan menjaga
kebersihannya. Hal lain yang akan dilakukan adalah membangun prasarana transportasi lingkar
luar untuk mengurai kemacetan di dalam kota, dibanding pembangunan jalan layang, yang akan
tetap mengkonsentrasikan mobilitas masyarakat di tengah kota.
Pemerintah Jakarta melakukan perbaikan sungai dan saluran drainase utama yang dapat
mengurangi banjir dan genangan di dalam kota. Selanjutnya, penegakkan hukum untuk daerah
resapan air khususnya dana yang juga dijadikan ruang terbuka. Peningkatan transportasi publik
juga dilakukan, namun nampaknya masih memerlukan upaya yang lebih masif dengan besarnya

122 | P a g e
skala mobilitas masyarakat dari wilayah sekeliling Jakarta ke dan dari Jakarta setiap
harinya.Dengan berbagai upaya tersebut dan skala pelaksanaan yang masih terbatas, nampaknya
perwujudan kota hijau masih jauh dari harapan. Diperlukan Pemda yang kuat dan masyarakat
yang disiplin dan sadar serta cinta lingkungan untuk mewujudkan kota sebagai hunian yang
nyaman, sehat dan indah.

9.3. Permasalahan dan Tantangan Perkotaan Hijau

Sampai saat ini sebagian besar kota-kota di Indonesia belum dapat memenuhi
syarat/kriteria kota hijau. Kota-kota besar masih belum memiliki tata ruang yang baik, sehingga
alur mobilitas masyarakat tidak terkelola dengan baik. Hal ini dipersulit dengan sistem
transporasi umum yang belum tertata dan belum ada sistem antar moda yang seimbang dalam
menangani mobilitas masyarakat dan distribusi barang. Selain itu, kepadatan hunian di perkotaan
juga mengakibatkan wilayah terbuka semakin berkurang.
Beberapa tantangan yang masih dihadapi :
a. Penegakan hukum tata ruang yang masih sangat lemah dan belum adanya perencanaan
fasilitas dasar perkotaan masih lemah. Sinergi antara mobilitas, ruang terbuka dan
pengelolaan sampah dan limbah masih perlu dilakukan.
b. Perencanaan dan pendanaan infrastruktur publik (prasarana dan sarana transportasi
publik, pengelolaan limbah, dll) yang kurang kuat dan jelas sejak awal sehingga
perkembangan kota tidak cukup kuat untuk “melawan” perkembangan kota yang
dimotori oleh perkembangan pasar.
c. Kebiasaan masyarakat yang masih belum memperhatikan lingkungan dan penghargaan
terhadap kualitas lingkungan masih rendah. Kebutuhan akan kualitas kebersihan sudah
tinggi namun perilaku masyarakat masih belum sejalan dengan itu. Dengan disipilin
yang rendah, lemahnya aturan dan rendahnya penegakkan hukum publik terhadap
perilaku sosial ini makin mempersulit pengendalian kualitas lingkungan.
d. Penghargaan masyarakat terhadap lingkungan masih tidak seimbang dengan penghargaan
terhadap barang, jasa dan kebutuhan lainnya. Kebijakan juga masih tidak pro-lingkungan
sehingga penegakan hukum terhadap pelanggaran terhadap kualitas lingkungan masih
sangat kurang.

123 | P a g e
124 | P a g e
BAB X. PENGEMBANGAN SISTEM INDIKATOR DAN PENDATAAN

Data mengenai kualitas lingkungan yang tersedia saat ini masih sangat terbatas dan
terfragmentasi. Beberapa data tersebut antara lain meliputi: data kualitas udara; data kualitas
air/air sungai yang masih dikumpulkan oleh K/L terkait sebagai bagian dari pelaksanaan
kebijakan dan program mereka. Langkah pengumpulan data terpadu untuk sektor-sektor lain
dalam pilar sosial dan pilar ekonomi sudah dilakukan. Sebagai contoh, pengumpulan data untuk
pembangunan manusia sudah dilakukan secara rutin, terutama untuk data pendidikan, kesehatan
dan kependudukan. Demikian pula data konsumsi rumah tangga yang menjadi dasar untuk
mengukur kesejahteraan keluarga juga sudah dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas).Susenas sudah dilakukan sejak tahun 1983 dan mengalami penyempurnaan
secara berkala dan rutin. Data untuk mengukur pengangguran juga sudah dilakukan dengan
pelaksanaan Survei Tenaga kerja Nasional (Sakernas).
Demikian pula data produksi pertanian sudah dilakukan melalui perkiraan produksi setiap
semester dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan di lapangan. Selanjutnya, data untuk
potensi desa (PODES) juga sudah dilakukan secara rutin. Data ekonomi makro juga dipantau
setiap triwulan dengan adanya data pertumbuhan PDB dan PDB setiap triwulan. Sementara itu,
data lingkungan belum dilakukan secara terstruktur oleh BPS.
Selama ini data yang tersedia untuk lingkungan hidup antara lain data Sox dan Nox untuk
mengukur kualitas udara. Pengumpulan data dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
BMKG. Selanjutnya, data pencemaran air sungai, dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Perkembangan yang terbaru adalah, Kementerian Lingkungan Hidup dalam 3 tahun terakhir
sudah mengumpulkan data untuk mengukur Indeks Kualitas Lingkungan Hidup/IKLH.
Pengumpulan data ini akan terus disempurnakan, namun demikian menyongsong akan
diterapkannya pembangunan berkelanjutan secara lebih komprehensif dan mengupayakan
adanya internalisasi kualitas lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi dan sosial, maka
sistem data untuk mengukur kualitas lingkungan hidup perlu dilakukan dengan lebih baik.

127 | P a g e
10.1. Data Kualitas Lingkungan Dan Pencatatannya

Manfaat Data dan Informasi Lingkungan Hidup. Pengembangan data dan indikator
untuk kualitas lingkungan hidup berguna untuk:
a. Memahami secara mudah dan terukur kondisi/perbedaan antara ekonomi yang belum hijau
dengan yang hijau, sehingga dapat menjadi pedoman untuk merubah perilaku.Dengan
mengetahui ukuran bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pelaku usaha
berdampak buruk terhadap lingkungan, maka akan dapat dipantau perilaku mereka dan
dampaknya terhadap lingkungan.
b. Data dan indikator hijau juga dapat mengukur internalisasi perilaku ramah lingkungan dan
penerapan prinsip berkelanjutan ke dalam berbagai sektor.Dengan tersedianya ukuran dan
indikator serta terkumpulnya data maka pelaku kegiatan akan dapat melakukan upaya
untuk mencegah dan mengatur agar kegiatan mereka tidak memberikan dampak buruk
terhadap lingkungan hidup.Dengan demikian, maka pencegahan dapat dilakukan oleh
masing-masing pelaku usaha dan anggota masyarakat.
c. Dengan adanya data dan indikator yang sama untuk semua pelaku, maka dapat dilakukan
penjumlahan, sehingga secara agregat kualitas lingkungan hidup dapat diketahui dan
dipantau secara total. Apabila terdapat perbedaan ukuran dan cara mengukur kualitas
lingkungan hidup maka akan mempersulit untuk melakukan pengendalian dan penanganan
kualitas lingkungan hidup secara menyeluruh.
d. Adanya data dan indikator yangdikumpulkan secara rutin, akan membantu pemantauan
perkembangan pelaksanaan pengelolaan kualitas lingkungan hidup. Data dan informasi
yang dikumpulkan akan dapat digunakan untuk memberikan masukan (feed back) untuk
perbaikan kebijakan dan program,serta dianalisa untuk menemukan cara yang lebih efektif
dan efisien dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Dengan data dan informasi
lingkungan hidup maka perkembangan/kemajuan pembangunan lingkungan hidup dapat
diukur, kekurangan dapat diketahui dan dianalisa untuk perbaikan. Dengan demikian, akan
membantu merencanakan langkah-langkah untuk mewujudkan ekonomi hijau.
e. Adanya data yang terukur, dapat pula digunakan sebagai dasar untuk melakukan
perhitungan dampak ekonomi dari memburuknya kualitas lingkungan dan mengukur
dampak yang ditimbulkan oleh pelaku.Dengan demikian, maka akan membantu

128 | P a g e
pengembangan pola insentif/disinsentif untuk perbaikan lingkungan hidup dan menuju
terbentuknya ekonomi hijau. Dengan cara ini upaya peningkatan kesadaran lingkungan
dan termasuk penindakan hukum dapat dilakukan dengan jelas dan transparan.
f. Dengan tersedianya data dan informasi yang konsisten dan kontinyu, maka komunikasi dan
penyadaran masyarakat akan pentingnya kualitas lingkungan hidup bagi kehidupan saat ini
dan keberlanjutan kehidupan ke depan akan dapat dikomunikasikan dengan konkrit
sehingga lebih mudah dipahami dan dimengerti masyarakat.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Lingkungan Hidup.Dalam rangka melakukan
pengembangan sistem pendataan, BPS pada tahun 2013sudah melakukan survei persepsi
masyarakat terhadap lingkungan. Survei persepsi dibutuhkan untuk mengetahui pemahaman
masyarakat terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui faktor-faktor dan kegiatan apa saja
yang menurut masyarakat baik untuk kualitas lingkungan.Langkah ini sangat penting karena
berdasarkan IPCC tahun 2007, perilaku manusia juga merupakan penyumbang terjadinya
perubahan iklim. Dari hasil survei persepsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan serta kepedulian mereka masih beragam.Secara
lengkap gambaran mengenai survei lingkungan disampaikan dalam Kotak 10.1.
Langkah lain untuk mengetahui kebutuhan data dan informasi lingkungan adalah dengan
melakukan penyederhanaan data kualitas lingkungan yang perlu dikumpulkan, mudah
dikumpulkan dan mudah pula dipahami masyarakat karena mewakili kualitas lingkungan yang
terpapar dan dirasakan masyarakat. Hal ini penting, karena selama ini sudah tersedia berbagai
standar kualitas lingkungan yang dikeluarkan melalui berbagai Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup, namun tidak pernah diketahui masyarakat awam.
Terdapat kemungkinan bahwa standar kualitas lingkungan tersebut diketahui oleh pelaku
usaha, namun pengukuran baik/buruknya kualitas lingkungan sulit dipantau oleh petugas
pemantau lingkungan, atau kapasitas Pemda dan aparatnya tidak memiliki kemampuan yang
cukup untuk memantau. Hal ini penting diperhatikan karena dengan adanya desentralisasi, tidak
seluruh kewenangan pemantauan dan penindakan berada di tangan Pemerintah Pusat. Sebagian
dari kewenangan sudah didelegasikan kepada Pemda. Demikian pula, berbagai perijinan
investasi dan usaha juga sudah didelegasikan ke Pemda sehingga mereka pulalah yang memiliki
landasan hukum dan otoritas untuk melakukan tindakan terhadap pemilik ijin usaha dan
investasi.

129 | P a g e
Sehubungan dengan itu, beberapa langkah yang dilakukan adalah: Pertama, mengambil
“wakil substansi polusi” yang penting untuk dipantau dan memudahkan bagi semua pihak untuk
mengetahui dan mengukur (bagi yang berwenang). Sebagai contoh, selama ini terdapat beberapa
substansi yang perlu diketahui ambang/tingkat polusinya. Namun demikian, tidak terlalu dikenal
dan tidak secara mudah dapat digunakan mengetahui tingkat polusi. Dalam beberapa tahun,
setelah karbon dikenal karena memiliki dampak lintas batas dan menjadi penyebab perubahan
iklim, maka karbon “seolah-olah “menjadi wakil” untuk mengetahui kualitas udara.
Keterwakilan seperti ini yang perlu dikembangkan untuk polusi air dan tanah/lahan.
Kedua,mengembangkan metodologi pengukuran yang mudah dan baik untuk mengukur
data yang dapat menunjukkan/menjadi ukuran agar mudah memantau perkembangan kualitas
lingkungan dan membandingkan antar waktu, antar pelaku, antar area/wilayah.
Ketiga, mengembangan jaringan untuk memantau kualitas lingkungan dari pusat sampai ke
daerah. Pengembangan jaringan ini penting karena dengan adanya desentralisasi maka
kewenangan pemantauan kualitas lingkungan hidup ada di daerah. Berkaitan dengan ini maka
dalam 3 (tiga) tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup sudah memberikan dana
dekonsentrasi kepada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat
provinsi, untuk dapat melakukan pemantauan kualitas lingkungan di wilayahnya. Dalam
melakukan pemantauan kualitas lingkungan, BPLHD dapat bekerjasama dengan Kantor Eko-
Region yang merupakan Kantor Wilayah Pemantauan Lingkungan yang berada langsung di
bawah Kementerian Lingkungan Hidup. Kantor Eko Region di Indonesia ada di 6 kota yang
mencakup wilayah-wilayah yang ada dalam jangkauannya, yaitu: (i) Pekanbaru untuk wilyah
Sumatra (ii) Balikpapan untuk wilayah Kalimantan (iii) Jogyakarta untuk wilayah Jawa (iv) Biak
untuk wilayah Papua (v) Denpasar untuk wilayah Bali dan Nusa tenggara (vi) Makassar untuk
Wilayah Sulawesi dan Maluku (Bagan 10.1)

131 | P a g e
KEM
MENTER
RIAN
LINGKU
UNGANN HIDUP

Kanttor Eco- Region 1 K


Kantor E
Eco-Regiion 2

BPL
LHD BPLHD
D BP
PLHD BPL
LHD

Bagan
B 10.1 Kerangka
K Keerja Pemantaauan Kualitaas Nasional

10.2. IK
KLH dan Peluang Untuk Menerapk
kan

Dalam 3 tahun
n terakhir, Kementerian
K n Lingkungaan Hidup m
mengembanggkan pengguunaan
Indeks Kualitas
K Ling
gkungan Hidup untuk mengukur
m tiingkat kualiitas lingkunggan hidup ssecara
terpadu. IKLH merrupakan ind
dikator gabun
ngan dari tiingkat kualitas lingkunggan dari 3 m
matra
lingkung
gan yaitu kuaalitas air (IPA
A), udara(IP
PU) dan lahann (ITH).

‫ ܣܲܫ‬൅ ‫ ܷܲܫ‬൅ ‫ܪܶܫ‬


INDEKS
S KUALITAAS = ---------------------------------------
LINGKU
UNGAN HID DUP 3
PROVIN
NSI (IKLHprrov)

ܲ‫݋‬‫݋ݎ̴ܲ݅ݏ݈ܽݑ݌݋‬ ‫݅ݏ݊݅ݒ݋‬
INDEKS
S KUALITA
AS = σଷ଴
ூୀଵ ‫ܮܭܫ‬
‫ݒ݋ݎ݌ܪܮ‬x--- ---------------
-----------
LINGKU
UNGAN HIDDUP (IKLH)) P
Populasi_inddonesia

IKL
LH baru dik
kembangkan
n dalam 3 tahun
t terakhhir sehinggaa belum diguunakan di ddalam
RPJMN 2010-2014. Mengingat tidak ada ukuran
u lain untuk kualiitas llingkunngan hidup yang
sudah meewakili 3 matra
m lingkun
ngan dan ujii coba sudahh dilakukan selama 3 taahun, maka uuntuk

132 | P a g e
RPJMN 2015-2019 IKLH dapat digunakan untuk indikator outcome kualitas lingkungan hidup
meskipun masih terus dalam proses penyempurnaan.

Langkah lain yang lebih lanjut adalah kemungkinan penggunaan IKLH sebagai indikator
gabungan pembangungan berkelanjutan. Dari kajian yang dilakukan oleh Kementerian
PPN/Bappenas didukung oleh JICA 2013 IKLH dapat digunakan sebagai indikator gabungan
untuk pembangunan berkelanjutan. IKLH dapat dikombinasikan dengan IPM untuk mewakili
tingkat pembangunan berkelanjutan, dengan pembobotan tertentu. Dalam kajian tersebut,
terdapat 2 opsi bobot yang digunakan.

Kesesuaian bobot dilihat terhadap dampaknya atas ranking daerah untuk IPM. Opsi dan
dampaknya terhadap nilai sebelum dan setelah penggabungan disampaikan dalam Tabel 9.1 dan
9.2.

133 | P a g e
Tabel 9.1. Nilai IPB dengan bobot sama dan dampak terhadap peringkat IPB Provinsi

Nilai IPB Peringkat IPB


Provinsi
2009 2010 2011 2009 2010 2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 63.61 65.92 63.34 13 14 20
12. Sumatera Utara 68.26 77.96 74.78 8 2 5
13. Sumatera Barat 73.40 72.69 72.68 4 8 8
14. Riau 64.79 66.86 68.66 11 11 13
15. Jambi 60.57 57.19 58.82 21 27 27
16. Sumatera Selatan 63.45 66.66 68.77 15 12 12
17. Bengkulu 61.49 67.98 68.87 17 10 11
18. Lampung 59.31 64.58 65.48 23 16 18
19. Bangka Belitung 64.03 69.07 70.26 12 9 9
20. Kepulauan Riau 75.40 76.64 77.34 2 3 2
31. DKI Jakarta 73.03 73.14 73.09 5 6 6
32. Jawa Barat 58.22 60.60 61.08 24 26 25
33. Jawa Tengah 54.78 54.19 55.13 28 31 29
34. Yogyakarta 57.35 64.33 64.36 25 18 19
35. Jawa Timur 66.07 64.58 68.35 10 17 14
36. Banten 61.41 61.67 62.87 18 23 21
51. Bali 70.71 76.44 72.92 6 4 7
52. Nusa Tenggara Barat 55.64 61.95 59.84 26 22 26
53. Nusa Tenggara Timur 48.93 44.09 47.35 32 33 33
61. Kalimantan Barat 63.58 66.06 66.68 14 13 16
62. Kalimantan Tengah 61.31 64.07 70.15 19 19 10
63. Kalimantan Selatan 60.20 64.60 66.66 22 15 17
64. Kalimantan Timur 81.25 79.26 82.32 1 1 1
71. Sulawesi Utara 74.44 74.56 76.46 3 5 3
72. Sulawesi Tengah 61.76 72.82 74.83 16 7 4
73. Sulawesi Selatan 60.87 60.76 62.20 20 25 24
74. Sulawesi Tenggara 54.93 56.53 54.68 27 28 30
75. Gorontalo 61.22 62.22 - 24 23
76. Sulawesi Barat 53.64 53.22 56.04 31 32 28
81. Maluku 54.66 55.40 53.65 29 29 31
82. Maluku Utara 54.21 55.09 53.42 30 30 32
91. Papua Barat 67.12 63.08 67.90 9 20 15
94. Papua 69.34 62.04 62.77 7 21 22
Nasional 65.81 67.64 69.02
Sumber: Background Study RPJMN 2015-2019 “Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup”

134 | P a g e
Tabel 9.2 Nilai IPB dengan bobot BERBEDA dan
Dampak terhadap peringkat IPB Provinsi

Nilai IPB Peringkat IPB


Provinsi
2009 2010 2011 2009 2010 2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 67.66 69.74 66.84 11 12 21
12. Sumatera Utara 69.14 78.24 74.31 7 2 6
13. Sumatera Barat 75.69 74.52 73.93 3 6 7
14. Riau 66.20 67.93 69.21 16 17 15
15. Jambi 66.94 63.31 64.66 13 26 24
16. Sumatera Selatan 67.48 70.26 71.78 12 11 9
17. Bengkulu 68.19 74.44 75.03 10 7 4
18. Lampung 65.57 70.59 71.15 18 9 11
19. Bangka Belitung 64.89 69.64 70.42 20 13 13
20. Kepulauan Riau 71.15 72.49 73.30 5 8 8
31. DKI Jakarta 69.26 69.40 69.42 6 15 14
32. Jawa Barat 61.27 63.30 63.27 27 27 26
33. Jawa Tengah 60.66 59.67 60.18 31 32 31
34. Yogyakarta 62.67 69.41 69.10 24 14 16
35. Jawa Timur 66.56 64.41 67.32 15 24 19
36. Banten 62.53 62.49 63.25 25 29 27
51. Bali 73.45 78.92 74.96 4 1 5
52. Nusa Tenggara Barat 61.65 67.73 66.04 26 18 22
53. Nusa Tenggara Timur 57.77 52.92 56.09 32 33 33
61. Kalimantan Barat 66.71 68.81 68.94 14 16 17
62. Kalimantan Tengah 63.06 65.31 70.76 23 19 12
63. Kalimantan Selatan 61.24 65.31 66.86 28 20 20
64. Kalimantan Timur 77.10 75.19 78.36 2 5 1
71. Sulawesi Utara 77.15 76.67 77.84 1 3 2
72. Sulawesi Tengah 65.86 76.39 77.71 17 4 3
73. Sulawesi Selatan 65.35 64.74 65.59 19 22 23
74. Sulawesi Tenggara 60.73 61.97 59.66 30 30 32
75. Gorontalo 70.36 71.20 - 10 10
76. Sulawesi Barat 61.15 60.31 62.70 29 31 29
81. Maluku 64.12 64.79 62.96 21 21 28
82. Maluku Utara 63.12 63.84 62.05 22 25 30
91. Papua Barat 68.97 64.52 68.58 8 23 18
94. Papua 68.73 62.59 64.59 9 28 25
Nasional 66.79 68.09 68.81
Sumber: Background Study RPJMN 2015-2019 ”IndeksPembangunan Lingkungan Hidup”

135 | P a g e
10.3. Sistem Data Pembangunan Berkelanjutan Secara Terpadu

Salah satu langkah lain yang sedang dikembangkan oleh UKP4 didukung oleh UNDP
adalah pengembangan satu data pembangunan berkelanjutan. Pengembangan data ini terdiri dari
2 langkah: (i) menghimpun seluruh data yang ada di K/L untuk menghimpun sistem data tunggal
(One Data) pembangunan berkelanjutan.; (ii) menyusun data dalam sistem pendataan dan
informasii (Pusdatin) yang ada di masing-masing K/L, sehingga data akan dapat terkumpulkan
dan terhubungan dengan baik.
Pengumpulan data ini baik dan terpadu, namun demikian masih perlu perlu diselaraskan
dengan upaya pendataan di atas terutama contentdan jenis (data statitik, peta) datanya sehingga
akan tepat dan selaras dengan kegiatan saat ini, kegunaan data dan penggunaannya untuk
perubahan kegiatan yang mengarah ke kegiatan hijau. Dengan demikian sistem pendataan
terpadu/tunggal akan sejalan dengan kebijakan pembangunan lingkungan di pusat dan daerah
serta alur pengumpulan yang ada selama ini dan alur data yang akan dikembangkan dari daerah
ke pusat.

136 | P a g e
BAB XI. MENGHIJAUKAN MODEL MAKRO EKONOMI

Langkah lain yang dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas lingkungan adalah
mengetahui dampak perbaikan kualitas lingkungan maupun penurunan kualitas lingkungan
terhadap pendapatan nasional. Ukuran pendapatan nasional yang selama ini digunakan adalah
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun demikian, sering dikatakan bahwa PDB saat ini
belum merupakan PDB hijau karena belum memperhitungkan penyusutan aset dan dampak
negatif dari pertumbuhan terhadap kualitas lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, maka
perlu dilakukan perhitungan penyusutan nilai fisik sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk
mengetahui nilai PDB hijau.

Selanjutnya, selain penurunan kualitas lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam


mengakibatkan penyusutan nilai sumberdaya alam dan lingkungan hidup, maka di sisi lain,
apabila ada perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, akan dapat pula diukur
dampaknya terhadap perbaikan pendapatan nasional. Untuk dapat mengetahui hal ini, maka
perlu disusun suatu model pendapatan makro yang sudah dapat digunakan untuk merefleksikan
kondisi sumberdaya alam, membaik atau menurun. Langkah-langkah tersebut di atas diuraikan
pada bagian berikut.

11.1. Data Deplesi

Penghitungan deplesi untuk menghitung PDB hijau sebetulnya bukan merupakan hal baru.
Rumus dan metoda penghitungan sudah sering dilakukan oleh berbagai pihak dan lembaga.
Kementerian PPN/Bappenas sendiri juga sudah melakukan penghitungan ini namun masih dalam
bentuk kajian. Padahal untuk dapat dilakukan penghitungan “PDB yang sudah di”bersihkan”
dari nilai penyusunan/deplesi sumberdaya alam dari adanya eksploitasi maupun dari menurunnya
kualitas lingkungan hidup sebaiknya ada data deplesi yang dikumpulkan setiap tahunnya.
Sehubungan dengan itu, agar semua pihak dapat melakukan penghitungan deplesi ini BPS
perlu melakukan pendataan dengan metodologi yang baku, untuk mengukur/mengumpulkan data
dan menghitung deplesi ini secara rutin. Dengan demikian akan tersedia data deplesi secara rutin
dan terdokumentasi sehingga masyarakat dapat menghitung PDB hijau Indonesia secara mudah.

137 | P a g e
Langkah ini sudah dimulai dengan bergabungnya Indonesia dalam kelompok WAVES (Wealth
Assessment and Valuation of Environmental Services), agar penghitungan dapat dimulai dengan
menggunakan data yang sudah ada dan selaras dengan kaidah global.

11.2. Model Pertumbuhan Hijau

Sebagaimana dijelaskan di atas, model pertumbuhan hijau ingin disusun karena diinginkan
adanya sebuah model yang dapat mengukur dampak suatu perbaikan dan langkah ke ekonomi
hijau terhadap PDB, baik secara total maupun sektoral. Sebagaimana diketahui, pada saat ini
Kementerian PPN/Bappenas memiliki model ekonomi makro yang digunakan untuk
memperkirakan nilai PDB setiap periode. Model ini digunakan sebagai alat untuk perkiraan
maupun alat untuk memantau perkembangan PDB apabila terdapat perubahan yang berdampak
pada variabel yang ada di dalam model tersebut.
Dengan adanya model ini dan upaya untuk menghijaukan perekonomian maka perlu
diketahui bagaimana caranya apabila suatu sektor dihijaukan, bagaimana dampaknya terhadap
PDB sektor tersebut dan PDB secara keseluruhan. Perubahan ke arah hijau di suatu sektor
kemungkinan akan berakibat pada sektor lain, negatif atau posistif. Selanjutnya, perubahan ke
arah hijau akan membawa dampak yang berbeda antar sektor. Suatu sektor kemungkinan akan
lebih cepat, sektor lain akan lebih lambat. Ada suatu sektor yang apabila dihijaukan akan
membawa dampak ikutan secara positif kepada sektor tersebut, dan mungkin sektor lain.
Pada saat ini sedang dicoba dilakukan identifikasi bagaimana langkah-langkah untuk
menghijaukan sektor industri, transportasi, energi dan sektor berbasis lahan (pertanian dan
kehutanan). Dalam upaya ini akan didiskusikan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk
“menghijaukan” keempat sektor tersebut dan dampaknya terhadap PDB mereka dan PDB secara
total.
Terdapat beberapa keterbatasan yang masih dimiliki di dalam upaya ini: pertama,
identifikasi, langkah untuk menghijaukan masih belum dipahami apalagi disepakati sebagian
besar pihak yang membuat keputusan. Kedua, belum ada data yang dapat digunakan untuk
mengukur perbaikan langkah “menghijaukan” dan menghitung dampaknya terhadap PDB sektor.
Ketiga, data yang diperoleh dari simulasi ini (y) kemungkinan tidak ada di dalam model ekonomi
makro sehingga perlu dilakukan langkah “tidak langsung” (z) untuk dapat mencari variable yang

138 | P a g e
dapat menjadi penghubung (z), sehingga perubahan ke dalam model makro dapat dilakukan dan
dapat diukur (Gambar 11.1).

1. EKONOMI BERBASIS LAHAN


(PERTANIAN, KEHUTANAN)
2. ENERGI
3. TRANSPORTASI MODEL EKONOMI
4. INDUSTRI
MAKRO

1. EKONOMI BERBASIS
(CGE MODEL)
LAHAN (PERTANIAN,
KEHUTANAN) XY MODEL SBG
2. ENERGI
JEMBATAN Y Z
3. TRANSPORTASI

Gambar 11.1. Proses “Menghijaukan” Model Makro Ekonomi

139 | P a g e
BAB XII. STRUKTUR EKONOMI “LEBIH” HIJAU DAN BERKELANJUTAN

Sebagaimana dijelaskan dalam Bagan 2.1, struktur ekonomi merupakan salah satu
komponen dari ekonomi hijau, disamping pola/sistem produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan. Berkembangnya ekonomi yang lebih hijau sebagaimana secara awal dilakukan di
berbagai sektor yang dijelaskan di atas, akan mengubah karakteristik beberapa sektor. Beberapa
karakteristik yang dapat dijadikan penanda adalah:
12.1. Tingkat Makro
Di tingkat makro/agregat, peningkatan struktur ekonomi lebih berkelanjutan dapat
ditandai dengan:
a. Skor IKLH meningkat.Skor IKLH yang meningkat menunjukkan adanya peningkatan
kualitas lingkungan hidup baik kualitas udara, air amupun lahan.
b. Deplesi menurun (GDP hijau naik), yaitu penurunan kerusakan ekosistem dan
lingkungan hidup yang tercermin dari penurunan kerusakan lingkungan dan
ekosistem. Nilai deplesi lingkungan dapat dihitung setiap tahun, namun pada saat ini
sedang dihitung dan dibakukan agar ada data yang dikumpulkan secara kontinyu.
Dengan dukungan WAVES (wealth accounting and valuation of ecosystem services)
sedang dilakukan pembakuan deplesi dan penyediaan datanya secara kontinyu.
c. Komposisi sektor sekunder dan tersier (non sektor keuangan) meningkat, yang akan
dijelaskan lebih lanjut dalam Bab ini.
d. Jumlah konflik tentang limbah/kualitas lingkungan menurun. Ukuran ini dapat
dijadikan indikator dampak, karena dengan peningkatan kualitas lingkungan maka
konflik yang berkaitan dengan lingkungan akan menurun.
12.2. Tingkat Mikro
Peningkatan praktek berkelanjutan di tingkat mikro/kegiatan secara langsung dapat
diukur pada sisi produksi, sisi konsumsi/perilaku konsumsi masyarakat secara
keseluruhan, baik rumah tangga, perilaku korporasi dalam pengelolaan perkantorannya
maupun perilaku masyarakat di ranah publik.

140 | P a g e
a. Pola Produksi lebih berkelanjutan yang dapat ditandai dengan:
i. Penurunan emisi GRK di sektor riil: manufaktur, transportasi dan produksi
energi, pertanian
ii. Konservasi energi di industri meningkat
iii. Jumlah perusahaan yang memenuhi standar baku mutu limbah.
b. Pola konsumsi yang lebih berkelanjutan yang dapat ditandai dengan:
i. Peningkatan kebersihan lingkungan/pengelolaan sampah (rumah tangga dan
usaha/korporasi maupun di tempat umum (publik)
ii. Efisiensi energi di rumah tangga, korporasi.

12.3. Struktur Ekonomi.

Perubahan struktur ekonomi merupakan dampak dari perubahan perilaku seluruh


komponen masyarakat, baik perilaku dalam berproduksi/usaha ekonomi maupun perilaku
dalam berkonsumsi dan bergaya hidup. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut
maka sektor produksi akan merespon dalam proses produksi mereka, sehingga struktur
ekonomi yang semula bertumpu pada sektor primer, akan bergeser ke sektor primer yang
lebih bersih, berkembangnya sektor sekunder serta berkembangnya usaha/kegiatan
ekonomi yang berkaitan dengan lingkungan dan pemanfaatan jasa yang timbul dari
lingkungan atau berkaitan dengan terpeliharanya lingkungan hidup.

Sebagai hasil dari itu, maka perubahan struktur ekonomi yang semula komposisinya
lebih besar di sektor primer akan bergeser ke sektor sekunder dan tersier (Gambar 12.1):
i. Peningkatan komposisi sektor sekunder sebab rantai proses produksi di dalam
negeri lebih panjang karena penggunaan semua bahan dalam rantai bahan
tersebut dilakukan sehingga mendorong berkembangnya industri turunan sesuai
dengan proses penggunaan bahan secara optimal;
ii. Berkembangnya sektor yang berkaitan dengan lingkungan dan ekosistem
sebagai dampak dari peningkatan kualitas pengendalian pencemaran dan proses
produksi yang lebih ramah lingkungan dan efisien, seperti: (a) usaha

141 | P a g e
peng
gelolaan bahan (R3); (b) usaha pengeelolaan limbbah; (c) profe
fesi/jasa di biidang
lingk
kungan.
iii. Berk
kembangnyaa usaha yan
ng berkaitann dengan peemanfaatan jasa lingkuungan
kaitan dengann alam dan llingkungan yyang bersih (eco-
seperti: (a) wisatta yang berk
wisaata); (b) usaaha yang beerkaitan denngan pemannfaatan bioddiversity (farrmasi
herbal, dll).

Dengan
D adaanya beberaapa indikattor untuk menggambarkan ciri ekonomi yang
or untuk mennginternalisasikan pemeeliharaan kuualitas
berkelanjjutan, maka upaya di beerbagai sekto
lingkung
gan dan perillaku hemat dan ramah lingkungan
l maka damppak negatif bberbagai keggiatan
usaha dan
n kegiatan masyarakat
m gkungan akann dapat dikeendalikan. Inndikator ini dapat
teerhadap ling
digunakaan sebagai pedoman
p peerubahan peerilaku di ssektor usahaa dan kegiaatan masyarrakat,
sehinggaa langkah-lan
ngkah merek
ka lebih teraarah. Dengann demikian, akan dapat lebih jelas uuntuk
dilakukan
n.

Selanjutnya, pengembang
p gan data dan
n indikator juuga dapat m
mengarah keppada pengukkuran-
pengukurran ini sehin
ngga dapat perbaikan perilaku
p seccara keseluruuhan akan ddapat diukurr dan
dipantau perkembang gannya.

Gambar 12.1. Pergeseran struktur ekon


nomi ke arah struktur ekonnomi yang lebbih hijau

142 | P a g e
6
BENTUK JADWAL
PELAKSANAAN PEKERJAAN
JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN

Minggu Ke
NO Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Penyamaan Persepsi

2 Penyusunan Lap Pendahuluan

3 Presentasi Laporan Pendahuluan

4 Pengumpulan data primer dan sekunder

5 Penyusunan Laporan Antara

6 Presentasi Laporan Antara

7 Analisis

8 Penyusunan Laporan Pendahuluan

9 Presentasi Draf Laporan Akhir

10 Finalisasi Laporan Akhir

2
7
BENTUK KOMPOSISI
TIM DAN PENUGASAN TENAGA
AHLI
KOMPOSISI TIM DAN PENUGASAN
(DAFTAR PERSONIL)
Tenaga
Jumlah
Nama Ahli
No Perusahaan Lingkup Keahlian Posisi Diusulkan Uraian Pekerjaan Orang
Personil Lokal /
Bulan
Asing
TENAGA AHLI (PERSONIL INTI)
1. Tenaga Ahli
1. Dr. Duddy PT ALAM Lokal Team Leader Team Leader / Ahli a. Mengoordinasi tenaga 3
Roesmara MATARAM Ekonomi Makro ahli dan tenaga
Donna, M.Si SEJAHTRA pendukung dalam
pelaksanaan kegiatan
b. Bertanggung jawab atas
terlaksananya penelitian
c. Bertanggung jawab atas
ketepatan waktu dalam
penyampaikan Laporan
Pendahuluan,
Penyusunan Laporan
Antara, dan Penyusunan
Laporan Akhir, Laporan
Penelitian, Naskah
Akademik, dan Draf
Raperda
d.
2 Dr. Rini PT ALAM Lokal Ahli Ekonomi Ahli Ekonomi a. Melakukan studi pustaka 3
Setyastuti, SE, MATARAM Pembangunan Perencanaan b. Melakukan studi
M.Si SEJAHTRA Pembangunan Daerah pendahuluan mengenai

BENTUK KOMPOSISI TIM DAN PENUGASAN TENAGA AHLI 2


Tenaga
Jumlah
Nama Ahli
No Perusahaan Lingkup Keahlian Posisi Diusulkan Uraian Pekerjaan Orang
Personil Lokal /
Bulan
Asing
kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan
c. Melaksanakan kegiatan
penelitian bersama Tim
untuk basis penyusunan
Naskah Akademik dan
Raperda.
3 Budhi PT ALAM Lokal Ahli Statistik Ahli Statistik d. Melakukan studi pustaka 3
Handoyo MATARAM e. Melakukan studi
SEJAHTRA pendahuluan mengenai
Nugroho, S.Si, kekuatan, kelemahan,
MBA peluang dan tantangan
a. Melaksanakan kegiatan
penelitian bersama Tim
untuk basis penyusunan
Naskah Akademik dan
Raperda.
TENAGA PENDUKUNG
1 Dwi Utami, SE PT ALAM Lokal Administrasi Administrasi Administrasi 3
MATARAM
SEJAHTRA

BENTUK KOMPOSISI TIM DAN PENUGASAN TENAGA AHLI 3


8
BENTUK JADWAL
PENUGASAN TENAGA AHLI
JADWAL PENUGASAN TENAGA AHLI

Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV Bulan V


No Nama Personil
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1 Dr. Duddy Roesmara Donna, M.Si

2 Dr. Rini Setyastuti, SE, M.Si

3 Budi Handoyo Nugroho, S.Si, M.BA

4 Dwi Utami, SE

2
Posisi yang diusulkan : Team Leader
Nama Perusahaan : PT. Alam Mataram Sejahtera
Nama Tenaga Ahli : Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si
Kontak Person : 08122770680
Tempat / Tanggal Lahir : Surakarta, 25 November 1979
Pendidikan Formal : S2, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Program Magister Sains,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun
lulus 2006
S1, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan , Fakultas Ekonomi, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta tahun lulus 2003

Pendidikan Non Formal : -


Penguasaan Bahasa : Bahasa Indonesia : Sangat Baik
Inggris Bahasa Inggris : Sangat Baik

Pengalaman Kerja :

A. PENGALAMAN KERJA PENELITIAN:

Tahun 2014

1. Tahun : 2014
a Nama Proyek : Pendampingan Pasar Dan Pemasaran
b Lokasi Proyek : Kabupaten Kapuas
c Pengguna jasa : Dinas Transmigrasi
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera.
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat

- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang


keahlian kemudian membuat rekomendasi yang

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 1


diperlukan sesuai tujuan kegiatan

f Waktu Pelaksanaan : 2 juni 2014 - 30 Agustus 2014


g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn
i Referensi : Ada

Tahun 2013
a. Nama proyek : Kegiatan Dinamika Sosial dan Potensi Konflik DIY
b. Lokasi Proyek : D.I. Yogyakarta
c. Pengguna Jasa : Badan Kesbanglinmas DIY
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian tugas : - Analisa Kondisi Kependudukan
- Perencanaan Strategi Kependudukan
- Melakukan analisa pembangunan
kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : Oktober 2013 - Desember 2013
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap
i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2013
a. Nama proyek : Penjaringan Aspirasi Masyarakat Kota Yogyakarta
b. Lokasi Proyek : Kota Yogyakarta
c. Pengguna Jasa : Bappeda Kota Yogyakarta
d. Nama Perusahaan : PSKK UGM
e. Uraian tugas : Analisa Kondisi Kependudukan
Perencanaan Strategi Kependudukan
Melakukan analisa pembangunan kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : 26 Agustus 2013 - 26 Oktober 2013
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 2


i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2013
a. Nama proyek : Penyusunan Rencana Strategi kemiskinan Kota
Yogyakarta 2013 - 2016
b. Lokasi Proyek : Kota Yogyakarta
c. Pengguna Jasa : Bappeda Kota Yogyakarta
d. Nama Perusahaan : PSKK UGM
e. Uraian tugas : Analisa Kondisi Kependudukan
Perencanaan Strategi Kependudukan
Melakukan analisa pembangunan kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : 26 Januari 2013 - 23 Agustus 2013
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap
i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2012
a. Nama proyek : Analisis Dampak Kependudukan DIY
b. Lokasi Proyek : DIY
c. Pengguna Jasa : BKKBN
d. Nama Perusahaan : PSKK UGM
e. Uraian tugas : Analisa Kondisi Kependudukan
Perencanaan Strategi Kependudukan
Melakukan analisa pembangunan kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : September 2012 - Desember 2012
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap
i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2012
a. Nama proyek : Penyusunan Grand Design Kependudukan 2011 -
2035
b. Lokasi Proyek : Jakarta
c. Pengguna Jasa : MENKOKESRA – RI
d. Nama Perusahaan : PSKK UGM

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 3


e. Uraian tugas : Analisa Kondisi Kependudukan
Perencanaan Strategi Kependudukan
Melakukan analisa pembangunan kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : 6 Juli 2012 - 17 Oktober 2012
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap
i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2012
a. Nama proyek : Survei Demografi dan Kesehatan Masyarakat
b. Lokasi Proyek : Jakarta
c. Pengguna Jasa : MENKOKESRA – RI
d. Nama Perusahaan : PSKK UGM
e. Uraian tugas : Analisa Kondisi Kependudukan
Perencanaan Strategi Kependudukan
Melakukan analisa pembangunan kependudukan
f. Waktu Pelaksanaan : 8 Januari 2012 - 5 Juli 2012
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h. Status Kepegawaian : Tetap
i. Surat Referensi : Ada

Tahun 2011

2. Tahun : 2011
a Nama Proyek : Penyusunan Evaluasi Pelaksanaan Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS)
b Lokasi Proyek : Kota Yogyakarta
c Pengguna jasa : Bappeda Kota Yogyakarta
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 4


-
f Waktu Pelaksanaan : Maret – Juni Tahun 2011.
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn

Tahun 2011

3. Tahun : 2011
a Nama Proyek : Analisis Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap
Kesehatan Masyarakat Daerah Kota Yogyakarta
b Lokasi Proyek : Kota Yogyakarta
c Pengguna jasa : Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 21 Juli 2011 – 15 Oktober 2011.
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn

Tahun 2010

4. Tahun : 2010
a Nama Proyek : Jasa Konsultansi Penyusunan Rencana Aksi Daerah
(RAD) Penanggulangan Kemiskinan Daerah
Propinsi Nusa Tenggara Barat.
b Lokasi Proyek : Prov NTB
c Pengguna jasa : Bappeda prov NTB
d Nama Perusahaan : PT. Cipta Mulia Jaya
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 5


- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat
- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 28 April 2010 – 24 November 2010.
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn

Tahun 2009

5. Tahun : 2009
a Nama Proyek : Analisi Sosial Di Kawasan Kumuh Kabupaten
Bulungan
b Lokasi Proyek : Kabupaten Bulungan
c Pengguna jasa : Bappeda kabupaten Bulungan
d Nama Perusahaan :
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 4 Mei 2009 – 1 November 2009
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn

Tahun 2008

6. Tahun : 2008
a Nama Proyek : Analisis Dampak Kesehatan Masyarakat Terhadap
Kenaikan Jumlah Penduduk
b Lokasi Proyek : Kabupaten Damasraya
c Pengguna jasa : Bappeda kabupaten Damasraya

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 6


d Nama Perusahaan :
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 3 Maret 2008 - 28 September 2008
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : ada
Prshn

Tahun 2007

7. Tahun : 2007
a Nama Proyek : Survei Kelauarga Miskin Kabupaten Halmahera
Selatan
b Lokasi Proyek : Kab. Halmahera Selatan
c Pengguna jasa : Bappeda dan PM Kab. Halmahera Selatan
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 17 Juni 2007 – 10 Desember 2007
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn
Tahun 2006

8. Tahun : 2006
a Nama Proyek : Penyusunan Perencanaan Penanggulangan

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 7


Kemiskinan Daerah
b Lokasi Proyek : Kab. Gunung kidul
c Pengguna jasa : Bappeda Kab. Gunung kidul
d Nama Perusahaan :
e Uraian Tugas : - Mempersiapkan rencana kerja, termasuk
metodologi, jadwal pelaksanaan kegiatan, jadwal
penugasan personal

- Membuat analisi kondisi kesehatan masyarakat


- Melakukan analisis data sesuai dengan bidang
keahlian kemudian membuat rekomendasi yang
diperlukan sesuai tujuan kegiatan

-
f Waktu Pelaksanaan : 01 Mei 2006 - 30 September 2006
g Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Ekonomi Pembangunan
h Status Kepegawaian pada : Kontrak
Prshn

Daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab. Jika terdapat pengungkapan keterangan yang tidak benar secara sengaja atau
sepatutnya diduga maka saya siap untuk digugurkan dari proses Penunjukan Langsung atau
dikeluarkan jika sudah dipekerjakan.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

(Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si)


Mengetahui
PT. Alam Mataram Sejahtera

Iswahyuli, S.Pi
Direktur

_______________________Daftar Riwayat Hidup Duddy Roesmara Donna, SE,.M.Si 8


Identitas Diri
Nama : Rini Setyastuti
NIP/NIK : 09.95.560
Tempat dan Tanggal Lahir : Yogyakarta, 18 Februari 1972
Jenis Kelamin : □ Laki-laki √□ Perempuan
Status Perkawinan : √□ Kawin □ Belum Kawin □ Duda/Janda
Agama : Katolik
Golongan / Pangkat : IIIc
Jabatan Akademik : Lektor
Perguruan Tinggi : Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Alamat : Jl. Babarsari 43 Yogyakarta 55281
Telp./Faks. : +62-274-487711/+62-274-485227
Alamat Rumah : Jl. RE. Martadinata 75 Yogyakarta 55252
Telp./Faks. : +62-274-389392
Alamat e-mail : rsetyastuti@gmail.com

Riwayat Pendidikan Perguruan Tinggi

Tahun Program Pendidikan (diploma, sarjana, Jurusan/


Perguruan Tinggi
Lulus magister, spesialis, dan doctor) Bidang Studi
Universitas Gadjah Ilmu Ekonomi
2018 Program Doktor Ilmu Ekonomi
Mada Yogyakarta
2001 Program Magister Sains Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Ilmu Ekonomi
Mada Yogyakarta
1995 Sarjana Ekonomi Universitas Gadjah Ilmu Ekonomi
Mada Yogyakarta dan Studi
Pembangunan

Pengalaman Penelitian

Ketua/anggota Sumber Dana


Tahun Judul Penelitian
Tim
1998 Studi Efektivitas Dampak Inpres Anggota Tim BAPPEDA
Desa Tertinggal terhadap Gunungkidul
Masyarakat Petani di Kabupaten
Dati II Gunung Kidul Pasca IDT
2000 Studi Kemampuan Survival Petani Anggota APTIK dan
di Masa Krisis, Studi Kasus : UAJY
Kabupaten DATI II Gunungkidul,
Grand Penelitian APTIK
2001 Dampak Liberalisasi Perdagangan Ketua Ditjen DIKTI
terhadap Kinerja Perekonomian
Makro Indonesia, Penelitian Dosen
Muda
2001 Hubungan Dinamis antara Indeks Ketua UAJY
Harga Saham dan Nilai Tukar
2001 Children Abuse in Indonesia Asisten Peneliti IFCU
Lapangan (International
Federation of
Catholic
Universities)
2002 Dampak Terkonsentrasinya Ketua Grand Penelitian
Industri Barang Manufaktur Kompetitif UAJY
Terhadap Fluktuasi Harga di
Indonesia
2002 Dampak Liberalisasi Perdagangan Anggota UAJY
Industri Tekstil dan Pakaian
terhadap Kinerja Perekonomian
Negara-negara Kawasan Asia
2003 Evaluasi Dampak Fluktuasi Nilai Ketua UAJY
Tukar terhadap Aktivitas Pasar
Modal (Pendekatan Model Koreksi
Kesalahan)
2003 Krisis Ekonomi dan Kointegrasi Anggota Kementrian Riset
Pasar Modal : Perbandingan dan Teknologi
Negara Sedang Berkembang dan
Negara Maju (Penelitian RUKK
Tahun I)
2003 Peran Pemerintah Daerah dalam Asisten Peneliti Komite
Pelaksanaan RASKIN sebagai Lapangan Penanggulangan
Upaya Mendukung Program Kemiskinan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dan Pemantapan Ketahanan Pangan
2004 Krisis Ekonomi dan Kointegrasi Anggota Kementrian Riset
Pasar Modal : Perbandingan dan Teknologi
Negara Sedang Berkembang dan
Negara Maju (Penelitian RUKK
Tahun II)
2004 Krisis Ekonomi dan Kausalitas Ketua Ditjen DIKTI
antara Nilai Tukar, Tingkat Suku
Bunga dan Harga Saham di
Indonesia, Penelitian Dosen Muda
2005 Dampak Krisis Moneter dan Ketua UAJY
Menurunnya Kondisi Internal Bank
Terhadap Tingkat Monetisasi
Masyarakat
2005 Krisis Ekonomi dan Kointegrasi Anggota Kementrian Riset
Pasar Modal : Perbandingan dan Teknologi
Negara Sedang Berkembang dan
Negara Maju (Penelitian RUKK
Tahun III)
2005 Studi Empiris Permintaan Ekspor Ketua UAJY
Tradisional dan Ketidakstabilan
Parameter
2006 Ketahanan Pangan Indonesia di Era Ketua UAJY
Pasar Global
2006 Sensitifitas Kinerja Pasar Modal Ketua Ditjen DIKTI
Indonesia dan Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Penyebaran Krisis Asia,
Penelitian Dosen Muda
2010 Manajemen Terpadu Kawasan Anggota Kementrian
Strategis Nasional Candi Kebudayaan dan
Borobudur Pariwisata
2015 Model Kewirausahaan Berbasis Anggota Ditjen DIKTI
Kearifan Lokal dan Modal Sosial
dalam Peningkatan Daya Saing
Pelaku Bisnis Sektor Industri
Kreatif di Yogyakarta
2015 Studi Kelayakan Pengolahan Anggota Kerjasama PPEB
Sampah TPA Bakung Bandar FE UAJY dan PT
Lampung Central Daya
Energi Jakarta
2015 Studi Kelayakan Pengolahan Anggota Kerjasama PPEB
Sampah TPA Manggar Balikpapan FE UAJY dan PT
Central Daya
Energi Jakarta
2016 Kajian Ekonomi Regional Kota Anggota BRI
Yogyakarta

Karya Ilmiah*

A. Buku/Bab Buku/Jurnal
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2001 Price Discovery Among The Asia Pacific Proceeding pada Pan Pacific
Stock Exchanges (ditulis bersama Business Conference,
Sukmawati Sukamulja) University of Bangkok
Thailand, 29-31 Mei 2002,
ISBN : 1-931649-18-9
2002 Dampak Kesepakatan Putaran Uruguay Jurnal Ekonomi dan Bisnis
terhadap Kinerja Perekonomian Makro VISI, Vol X, Agustus 2002,
Indonesia ISSN : 0853-1821, Unika
Sugiyapranata Semarang
2002 Pengujian Ekonometri Model Pendapatan Jurnal KINERJA, Jurnal Bisnis
Nasional Indonesia dan Ekonomi, Vol.6 No.2
Desember 2002, ISSN : 0853-
82627, UAJY
2003 Liberalisasi Perdagangan : MODUS, Jurnal Ekonomi dan
menguntungkan atau Merugikan Bisnis Vol.15(1), Maret 2003
(Bersama Y. Sri Susilo dan ISSN: 0852-1875
Nurcahyaningtyas)
2003 Evaluasi Dampak Liberalisasi Jurnal KINERJA, Jurnal Bisnis
Perdagangan terhadap Indikator dan Ekonomi, Vol.7 No.1 Juni
Perekonomian Makro Indonesia : 2003, ISSN : 0853-82627,
Pendekatan Model Keseimbangan Umum UAJY
Terapan
2003 Dampak Terkonsentrasinya Industri Jurnal Riset Ekonomi dan
Barang Manufaktur Terhadap Fluktuasi Manajemen, Vol. 3, No.3
September 2003, ISSN : 1412-
Harga di Indonesia (Bersama 1824, Ikatan Sarjana Ekonomi
Nurcahyaningtyas) Indonesia (ISEI) Cabang
Surabaya
2004 Krisis Ekonomi dan Kausalitas antara Proceeding Seminar
Fluktuasi Nilai Tukar, Tingkat Suku Akademik Tahunan ISEI
Bunga dan Indeks Harga Saham di tanggal 8-9 Desember 2004 di
Indonesia, Hotel Niko Jakarta.
2007 Sensitifitas Kinerja Pasar Modal Jurnal KINERJA, Jurnal Bisnis
Indonesia dan Nilai Tukar Rupiah dan Ekonomi, Vol.11 No.1
Terhadap Penyebaran Krisis Asia Agustus 2007, ISSN : 0853-
82627, UAJY Terakreditasi
SK No. 108/DIKTI/KEP/2007
2012 Financial Effect on Corporate Social Proceeding University Industry
responsibility Disclosure by Institutional Business Linkage International
Ownership as Moderator Variable Conference 2012, 22-23
(Bersama M. Budiantara) February 2012. ISBN: 978-
979-99488-2-3

2013 Pengaruh Hutang Luar Negeri dan Ekspor Jurnal Akuntansi dan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Manajemen, Vol.24, No 1,
Indonesia Periode 2000.1-2008.4 April 2013. ISSN:0853-1259,
(Bersama Y. Sri Susilo) Terakreditasi SK No.
64a/DIKTI/Kep/2010
2014 Pola Rumah Tangga Miskin Indonesia Proceeding Call For Paper dan
Keluar dari Kemiskinan Seminar Nasional , Business
and Society : Towards Asean
Era?, FEB Universitas Sebelas
Maret Surakarta, 18-19 Maret
2014.
2014 Peranan Modal Sosial dalam Peningkatan Proceeding 3rd Economics &
Pengeluaran Konsumsi Perkapita Rumah Business Research Festival
Tangga FEB UKSW
2015 Keterkaitan antara Nilai Tukar, Tingkat Jurnal Ekonomi dan Studi
Suku Bunga dan Indeks harga Saham di Pembangunan, Volume 16,
Indonesia No. 1, April 2015
2016 Apakah Migrasi merupakan Salah Satu Jurnal Binis Ekonomi dan
Cara Keluar dari Kemiskinan? Sosial Vol. 8. No. 1, Mei 2016

B. Makalah/Poster
Tahun Judul Penyelenggara
2001 Studi Kemampuan Survival Petani di Masa APTIK
Krisis, Studi Kasus : Kabupaten DATI II
Gunungkidul
2001 Price Discovery Among The Asia Pacific Pan Pacific Business
Stock Exchanges (ditulis bersama Sukmawati Conference, University of
Sukamulja) Bangkok Thailand
2001 Dampak Terkonsentrasinya Industri Barang ISEI Cabang Surabaya
Manufaktur Terhadap Fluktuasi Harga di
Indonesia (Bersama Nurcahyaningtyas)
2001 Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Ditjen DIKTI
Kinerja Perekonomian Makro Indonesia

2005 Krisis Ekonomi dan Kausalitas antara Ditjen DIKTI


Fluktuasi Nilai Tukar, Tingkat Suku Bunga
dan Indeks Harga Saham di Indonesia
2006 Sensitifitas Kinerja Pasar Modal Indonesia LPPM UAJY
dan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Penyebaran
Krisis Asia
2012 Pengaruh Hutang Luar Negeri dan Ekspor FE-UAJY
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Periode 2000.1-2008.4
2019 The Role of Governance Quality in SIBR 2019 (Osaka)
Increasing Indonesia's Exports to East Asian Conference on
Countries Interdisciplinary
Business and Economics
Research, 4th – 5th, July ,
2019, Osaka, Japan.
2020 The Impact of The ASEAN-China Free 30th EBES Conference
Trade Agreement : Trade Creation and Trade Kuala Lumpur
Diversion in Indonesia

C. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2005 Dari Nasionalisme ke Indonesia 2020 Jurnal Kinerja, Vol.9
(Resensi Buku : Meneropong Indonesia 2020 No.1, Juni th 2005,
: Pemikiran dan Masalah Kebijakan, Penulis : ISSN : 0853-82627
Soegeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Terakreditasi SK no :
Penerbit : PT Meta Adi Citrakreasi, Terbit : 49/DIKTI/KEP/2003,
Januari 2004) hal. 85-86

Jabatan Dalam Pengelolaan Institusi

Institusi (Univ,Fak,Jurusan,Lab,Studio, Tahun ... s.d. ...


Peran/Jabatan
Manajemen Sistem Informasi Akademik dll)
Sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas 2003 -2006
Program Studi Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas 2006 – 2010
Program Studi Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Organisasi Profesi/Ilmiah
Jabatan/jenjang
Tahun Jenis/Nama Organisasi
keanggotaan
2010 - ISEI Cabang Yogyakarta Pengurus Bidang
sekarang Penunjang Aktivitas
ISEI DIY
: --;_.:;::i::=H
x

i.
I:=

oa /tl
ll=
d
z
d \ l:
s3
oL=
-dt
O
Lo
ri
o * '€
dN=
=
z
s-Vo\
HN
R
O+Jri
S
Fof A .!-<
F
r'{
o
\il -
s,o?
U)E
i R
U-=
S>s f 'o

h{
*{ 6 t*t .p, i s
l-!
R .EE;ETEsre
R o, i'EH o H ..s E

U
a
!=tet$i Et
E? FlF8e * $
g { B? .E
'$S^t€ E4; E
H E T
t-{
ct) { g
ilII] :;Et
c AE
E6',r
g
* j{
I'E
;
Ir{
z 8,e*
g
as-H
S
€o E s(55
P
o-
) i r

B€
o
d.o
=(J
FU
q H
o
o \Zo ,J
UJ
*d =
o =
o
s- oL
C')
o
s-
t+-
o
6- L
o-
1. Nama Perusahaan : PT. Alam Mataram Sejahtra
2. Posisi yang diusulkan : Tenaga Ahli Statistik
3. Nama Personil : Budhi Handoyo Nugroho, MSi, MBA
4. Tempat / Tanggal Lahir
5. Pendidikan (Lembaga pendidikan, : Semarang, 31 Mei 1979
tempat dan tahun tamat belajar, : S1, Ilmu Statistik FMIPA UGM 2003
dilampirkan fotocopy ijazah) S2, Statistik Business Administration, Konsentrasi
Statistik Model,National Cheng Kung University
6. Pendidikan Non Formal
: -(NCKU) Taiwan 2007
7. Penguasaan Bahasa Inggris : Sangat Baik
8. Pengalaman Kerja
Tahun 2015
a. Nama Proyek : Survei Pendahuluan TORCH
b. Lokasi Proyek : DIY
c. Pengguna Jasa : Dinas Kesehatan DIY
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 10 September 2015 - 8 Desember 2015
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2015
a. Nama Proyek : Survei Rumah Tangga Ber – PHBS
b. Lokasi Proyek : DIY
c. Pengguna Jasa : Dinas Kesehatan DIY
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang

PT. ALam Mataram Sejahtera 1-10


mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 29 Juni 2015 - 26 September 2015
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2014

a. Nama Proyek : Survei Pendataan Tenaga Kesehatan Yang


Bermutu Di DIY
b. Lokasi Proyek : DIY
c. Pengguna Jasa : Dinas Kesehatan DIY
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahetra
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 24 September 2014 - 8 Desember 2014
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2014

PT. ALam Mataram Sejahtera 2-10


a. Nama Proyek : Analisis Perencanaan, Pelaksanaan dan
Pelaporan Bidang Kesehatan di DIY
b. Lokasi Proyek : DIY
c. Pengguna Jasa : Setda Biro Administrasi Pembangunan
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 30 April 2014 - 28 Juli 2014
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2013
a. Nama Proyek : Analisis Kebijakan Keluarga Berencana
(KB)
b. Lokasi Proyek : Indonesia
c. Pengguna Jasa : Menkokesra – RI
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 15 Maret 2013 - 10 September 2013
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian : Tidak Tetap

PT. ALam Mataram Sejahtera 3-10


Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2012
a. Nama Proyek : Analisis Kebijakan Keluarga Berencana
(KB) menyikapi Hasil Survei Demografi dan
Kesehatan (SDKI)
b. Lokasi Proyek : Indonesia
c. Pengguna Jasa : MENKOKESRA - RI
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana
jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 10 Februari 2012 - 10 Agustus 2012
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2012
a. Nama Proyek : Survey Pemantauan Pasangan Usia Subur
Keluarga Berencana (PUS KB)
b. Lokasi Proyek : Indonesia
c. Pengguna Jasa : BKKBN
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian tugas :  Merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan dalam pekerjaan
perencanaan teknis jembatan yang
mencakup pelaksanaan survey,
pemilihan tipe bangunan atas dan
bawah, perencanaan geometrik, dan
bangunan pelengkap yang diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana

PT. ALam Mataram Sejahtera 4-10


jembatan yang dihasilkan adalah pilihan
yang paling ekonomis dan sesuai
dengan standar teknis yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : September - Desember 2012
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian Pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna : Ada
Jasa

Tahun 2011
a. Nama Pekerjaan : Penyusunan Evaluasi Pelaksanaan Program
Jaring Pengaman Sosial (JPS)
b. Lokasi Pekerjaan : Kota Yogyakarta
c. Pengguna Jasa : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : maret – Agustus 2011
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

Tahun 2010
a. Nama Pekerjaan : Kontribusi Pemakaian Kontrasepsi Terhadap
Penurunan TFR (Analisis Lanjut SDKI 2007)
b. Lokasi Pekerjaan : Indonesia
c. Pengguna Jasa : BKKBN
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua

PT. ALam Mataram Sejahtera 5-10


kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : Juli – Desember 2010
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

Tahun 2009 - 2010


a. Nama Pekerjaan : Sensus Sosial Ekonomi dan Kesehatan Di
Daerah DAV dan Non DAV.
b. Lokasi Pekerjaan :
c. Pengguna Jasa : BP Indonesia
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : Juli 2009 – Agustus 2010
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

Tahun 2008
a. Nama Pekerjaan : Penyusunan Masterplan Kesehatan dan
citizer charter Kota Blitar

PT. ALam Mataram Sejahtera 6-10


b. Lokasi Pekerjaan : Kota Blitar
c. Pengguna Jasa : Bappeda Kota Blitar
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : Juni – Desember 2008
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

Tahun 2007
a. Nama Pekerjaan : Survei Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
(SPKP) – Conditional Cash Transfer (CCT)
b. Lokasi Pekerjaan : Indonesia
c. Pengguna Jasa : Worldbank
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : Januari – Juni 2008
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

PT. ALam Mataram Sejahtera 7-10


Tahun 2006
a. Nama Pekerjaan : Survei Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
(SPKP) – Conditional Cash Transfer (CCT)
b. Lokasi Pekerjaan : Indonesia
c. Pengguna Jasa : WorldBank
d. Nama Perusahaan : PSKK
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : Mei – November 2007
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik
h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

Tahun 2006
a. Nama Pekerjaan : Perencanaan Kebutuhan Sarana Prasarana
dan SDM RSUD, Puskesmas Dan Pustu
b. Lokasi Pekerjaan : Kabupaten Halmahera Selatan
c. Pengguna Jasa : Bappeda kabupaten Halmahera selatan
d. Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e. Uraian Tugas  Merencanakan dan melaksanakan semua
kegiatan dalam pekerjaan perencanaan
teknis jembatan yang mencakup
pelaksanaan survey, pemilihan tipe
bangunan atas dan bawah, perencanaan
geometrik, dan bangunan pelengkap yang
diperlukan.
 Dapat menjamin bahwa rencana jembatan
yang dihasilkan adalah pilihan yang paling
ekonomis dan sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga.
f. Waktu Pelaksanaan : 10 Juni 2006 – 5 Desember 2006
g. Posisi Penugasan : Tenaga Ahli Statistik

PT. ALam Mataram Sejahtera 8-10


h. Status Kepegawaian pada : Tidak Tetap
Perusahaan
i. Surat Referensi dari Pengguna Jasa : Ada

PT. ALam Mataram Sejahtera 9-10


Daftar Riwayat Hidup ini Saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab.Jika terdapat pengungkapan keterangan yang tidak benar secara sengaja atau
sepatutnya diduga maka saya siap untuk digugurkan dari proses seleksi atau dikeluarkan
jika sudah dipekerjakan.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

(Budhi Handoyo Nugroho, MSi, MBA)

PT. ALam Mataram Sejahtera 10-10


CURRICULUM VITAE

A. DATA PERSONAL

Nama : Dwi Utami


Posisi Yang diusulkan : Administrasi
Perusahaan : PT. ALAM MATARAM SEJAHTRA
Tempat, Tanggal Lahir : Bantul, 26 – 05 - 1984
Kebangsaan : Indonesia.
Alamat tempat tinggal : Panggang AM VII, RT 003 Argomulyo, Sedayu,
Bantul
Agama : Islam.

Pendidikan : - S1, Akutansi, Universitas Negeri


Yogyakarta, Tahun 2008

Bahasa yang Dikuasai : Bahasa Jawa : Bahasa Ibu


Bahasa Indonesia : Sangat Baik
Bahasa Inggris : Sangat Baik

B. PENGALAMAN KERJA PENELITIAN:

Tahun 2014

1. Tahun : 2014
a Nama Proyek : Jasa Konsultansi Survey Pendataan Tenaga
Kesehatan Yang Bermutu di DIY
b Lokasi Proyek : DIY
c Pengguna jasa : Dinas Kesehatan DIY
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera.
e Uraian Tugas : - Mengali data primer

- Wawancara

- Pendataan data

_______________________Daftar Riwayat Hidup Administrasi 1


f Waktu Pelaksanaan : 20 September 2014 - 18 November 2014
g Posisi Penugasan : Administrasi
h Status Kepegawaian pada : Tetap
Prshn
i Referensi : Ada

2. Tahun : 2014
a Nama Proyek : Jasa Konsultansi Penelitian Survey Pemustaka
b Lokasi Proyek : DIY
c Pengguna jasa : BPAD DIY
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera.
e Uraian Tugas : - Mengali data primer

- Wawancara

- Pendataan data

f Waktu Pelaksanaan : 14 Oktober 2014 - 12 Desember 2014


g Posisi Penugasan : Administrasi
h Status Kepegawaian pada : Tetap
Prshn
i Referensi : Ada

Tahun 2013

3. Tahun : 2013
a Nama Proyek : Studi Potensi Ijin Gangguan (HO) Kota Yogyakarta
b Lokasi Proyek : Kota Yogykarta
c Pengguna jasa : P3ADK
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e Uraian Tugas : - Mengali data primer

- Wawancara

- Pendataan data

f Waktu Pelaksanaan : 17 Juni 2013 - 18 November 2013.


g Posisi Penugasan : Administrasi
h Status Kepegawaian pada : Tetap

_______________________Daftar Riwayat Hidup Administrasi 2


Prshn

Tahun 2012

4. Tahun : 2012
a Nama Proyek : Jasa Konsultansi Evaluasi SMD Nasional
b Lokasi Proyek : Jakarta
c Pengguna jasa : Kementrian Pertanian
d Nama Perusahaan : CV. Alam Mataram Sejahtera
e Uraian Tugas : - Mengali data primer

- Wawancara

- Pendataan data
f Waktu Pelaksanaan : 5 Agustus 2012 – 13 Desember 2012
g Posisi Penugasan : Administrasi
h Status Kepegawaian pada : Tetap
Prshn

Daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab. Jika terdapat pengungkapan keterangan yang tidak benar secara sengaja atau
sepatutnya diduga maka saya siap untuk digugurkan dari proses Penunjukan Langsung atau
dikeluarkan jika sudah dipekerjakan.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

(Dwi Utami SE)


Mengetahui
PT. ALAM MATARAM SEJAHTRA

Ir. Yusuf Wibisana


Direktur

_______________________Daftar Riwayat Hidup Administrasi 3


10
BENTUK SURAT PERNYATAAN
KESEDIAAN UNTUK DITUGASKAN
PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK DITUGASKAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dr. Duddy Roesmara Donna, M.Si


Alamat : Yogyakarta

Dengan ini menyatakan bahwa saya bersedia untuk melaksanakan Pekerjaan Belanja Jasa
Konsultansi Berorientasi Bidang-Keuangan DIY Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY Sub
Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Pengumpulan, Pengolahan, Analisis dan Diseminasi

Data Statistik Sektoral untuk Penyedia Jasa PT Alam Mataram Sejahtra sesuai dengan usulan
jadwal penugasan saya dari Bulan Februari tahun 2022 sampai dengan bulan Mei tahun 2022
dengan posisi sebagai Team Leader (Ahli Ekonomi Pembangunan).

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

Yang membuat pernyataan,

Dr. Duddy Roesmara Donna, M.Si.


Menyetujui:

PT. Alam Mataram Sejahtra

Ir. Yusuf Wibisana.


Direktur
PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK DITUGASKAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dr. Rini Setyastuti, SE, M.Si


Alamat : Yogyakarta

Dengan ini menyatakan bahwa saya bersedia untuk melaksanakan Pekerjaan Belanja Jasa
Konsultansi Berorientasi Bidang-Keuangan DIY Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY Sub
Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Pengumpulan, Pengolahan, Analisis dan Diseminasi

Data Statistik Sektoral untuk Penyedia Jasa PT Alam Mataram Sejahtra sesuai dengan usulan
jadwal penugasan saya dari Bulan Februari tahun 2022 sampai dengan bulan Mei tahun 2022
dengan posisi sebagai Ahli Ekonomi Pembangunan

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

Yang membuat pernyataan,

Dr. Rini Setyastuti, SE, M.Si

Menyetujui:

PT. Alam Mataram Sejahtra

Ir. Yusuf Wibisana.


Direktur
PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK DITUGASKAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Budhi Handoyo Nugroho, S.Si, MBA


Alamat : Yogyakarta

Dengan ini menyatakan bahwa saya bersedia untuk melaksanakan Pekerjaan Belanja Jasa
Konsultansi Berorientasi Bidang-Keuangan DIY Penyusunan Analisis Makro Ekonomi DIY Sub
Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Pengumpulan, Pengolahan, Analisis dan Diseminasi

Data Statistik Sektoral untuk Penyedia Jasa PT Alam Mataram Sejahtra sesuai dengan usulan
jadwal penugasan saya dari Bulan Februari tahun 2022 sampai dengan bulan Mei tahun 2022
dengan posisi sebagai Ahli Statistik.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh rasa tanggung
jawab.

Yogyakarta, 4 Februari 2022

Yang membuat pernyataan,

Budhi Handoyo Nugroho, S.Si, MBA

Menyetujui:
PT. Alam Mataram Sejahtra

Ir. Yusuf Wibisana.


Direktur

Anda mungkin juga menyukai