Anda di halaman 1dari 34

BUKU PETUNJUK

PRAKTIKUM FITOKIMIA

Disusun Oleh :
Tim Laboratorium Biologi Farmasi

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI FAKULTAS FARMASI


INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Petunjuk praktikum ini memuat segala yang berkaitan dengan praktikum fitokimia
mulai dari tata tertib, petunjuk pembuatan laporan praktikum, format laporan praktikum,
kontrak perkuliahan, penilaian, dll.
Petunjuk praktikum ini disusun dengan harapan agar mahasiswa bisa mempelajari
terlebih dahulu segala peraturan dan materi pada praktikum ini, sehingga bisa menyusun
strategi mencapai hasil yang optimal.
Kegiatan praktikum ini akan dilakukan secara berkelompok, oleh karena itu akan
terjadi pula proses pendidikan dalam hal sikap kerjasama, kejujuran, serta rasa tanggung
jawab terhadap data hasil praktikum yang akan dipakai oleh seluruh anggota kelompok.
Demikian petunjuk praktikum ini kami buat agar bisa membantu mempermudah
proses belajar mengajar di laboratorium. Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi
mahasiswa sebagai acuan untuk menelusuri pustaka referensi.

Kediri, Maret 2021

Tim Penyusun
TATA TERTIB LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI

1. Mahasiswa masuk sesuai jadwal yang sudah ditentukan, toleransi keterlambatan


waktu 10 menit.
2. Mahasiswa diwajibkan mengikuti seluruh acara praktikum hingga selesai.
3. Mahasiswa diwajibkan memakai jas praktikum beserta kelengkapannya
(masker,sarung tangan,topi praktikum) sewaktu bekerja di laboratorium.
4. Mahasiswa diwajibkan memakai baju sesuai ketentuan dan sepatu tertutup, bagi
mahasiswa yang berambut panjang diwajibkan menguncir rambut dengan rapi dan
dimasukkan ke dalam jas praktikum, sedangkan bagi mahasiswa yang berjilbab,
jilbab dimasukkan ke dalam jas praktikum.
5. Mahasiswa tidak diperkenankan memanjangkan dan mengecat kuku.
6. Mahasiswa yang keluar dari laboratorium saat praktikum berlangsung diwajibkan
untuk meminta ijin kepada dosen pengampu praktikum.
7. Mahasiswa yang tidak mengikuti praktikum dikarenakan sakit harus melampirkan
surat keterangan dari dokter yang ber SIP dan wajib mengganti praktikum dengan
seijin dosen pengampu.
8. Mahasiswa yang tidak mengikuti praktikum lebih dari dua kali tanpa keterangan
tidak diperkenankan mengikuti ujian akhir praktikum.
9. Mahasiswa diperbolehkan mengikuti praktikum apabila yang bersangkutan sudah
melakukan diskusi dan acc dengan asisten/dosen yang bertugas serta sudah
mendapatkan acc laporan sementara
10. Mahasiswa yang praktikum diwajibkan membawa laporan praktikum sementara
beserta jurnal acuan yang sudah di acc oleh asisten/dosen yang bertugas, serta
perlengkapanperlengkapan lain yang diperlukan selama praktikum
11. Mahasiswa diwajibkan untuk memelihara kebersihan laboratorium, alat-alat
laboratorium, menghemat zat-zat kimia dan sediaan uji.
12. Pergunakan alat-alat laboratorium yang disediakan sesuai dengan cara kerjanya.
Peminjaman dan pengembalian alat-alat laboratorium harus di acc oleh
asisten/dosen yang bertugas dan ditulis pada buku peminjaman alat.
13. Mahasiswa diwajibkan mengganti alat-alat laboratorium yang pecah, rusak, atau
hilang. Penggantian harus disertai dengan nota pembelian yang di acc oleh
asisten/dosen yang bertugas.
14. Mahasiswa yang praktikum diwajibkan membawa laporan praktikum sementara
beserta jurnal acuan yang sudah di acc oleh asisten/dosen yang bertugas, serta
perlengkapanperlengkapan lain yang diperlukan selama praktikum
15. Mahasiswa dilarang menghisap pipet dengan mulut untuk asam dan basa kuat, bila
terjadi kontak dengan bahan-bahan berbahaya, korosif, atau beracun segera bilas
dengan air sebanyak-banyaknya.
16. Gunakan lemari asam untuk mereaksikan zat-zat berbahaya dan segera tutup
kembali bahan kimia yang disediakan dalam botol tertutup untuk mencegah
inhalasi bahan-bahan tersebut.
17. Jangan sampai menumpahkan bahan-bahan kimia di meja kerja atau pada lantai
terutama untuk asam dan basa pekat.
18. Laporan praktikum resmi disusun sesuai dengan format yang telah ditentukan dan
dikumpulkan maksimal 7 (tujuh) hari sesudah praktikum, apabila ketentuan
tersebut tidak dipenuhi maka jurnal praktikum tersebut tidak diterima.
19. Selesai praktikum alat-alat yang digunakan, meja, kursi, lantai, dan ruangan harus
dalam keadaan bersih.
20. Mahasiswa wajib menjaga kebersihan dan kerapian laboratorium
21. Asisten/dosen berhak mendiskualifikasi mahasiswa yang dianggap tidak mematuhi
ketentuan praktikum.

Tim Laboratorium Biologi Farmasi


ALAT – ALAT GELAS YANG DIGUNAKAN DALAM PRAKTIKUM FITOKIMIA

NO NAMA ALAT FUNGSI UKURAN GAMBAR


1. Corong Untuk Menyaring endapan
Penyaring yang terdapat dalam larutan Diameter =
- 25 mm
- 50 mm
- 75 mm
- 100 mm

2. Erlenmeyer Untuk tempat menampung - 50 ml


hasil ekstraksi - 100 ml
- 250 ml
- 500 ml
- 1000 ml

3. Gelas Arloji Untuk menimbang bahan


berbentuk padat, dan Diameter =
kristal. - 7,5 mm
- 10 mm

4.
Beaker glass Untuk melarutkan suatu - 50 ml
padatan, mencampurkan - 100 ml
cairan, memanaskan - 250 ml
larutan, mengukur volume - 500 ml
secara kasar suatu zat cair - 1000 ml
atau larutan tertentu.
- 2000 ml

5. Gelas Ukur - 10 ml
Untuk mengukur suatu - 100 ml
larutan dengan volume
tertentu yang tidak
memerlukan ketelitian
tingkat tinggi
6. Labu ukur Untuk mengencerkan
larutan sampai dengan - 50 ml
volume yang tertera di labu - 100 ml
ukur - 250 ml
- 500 ml
- 1000 ml

7. Pipet Tetes
Untuk mengambil dan
menambahkan larutan tetes
demi tetes

8. Pipet Volume Untuk mengambil dan


memindahkan cairan - 1 ml
dengan volume yang - 2 ml
tertera di pipet volume - 5 ml
- 10 ml
- 25 ml

9. Pipet Ukur Untuk mengambil dan - 0,1 ml


memindahkan cairan - 0,2 ml
pekat dengan volume - 0,5 ml
tertentu yang dapat - 1 ml
dilihat dari skala yang - 2 ml
tertera. - 5 ml
- 10 ml
- 25 ml
- 50 ml

10. Batang
Pengaduk Untuk melakukan
pengadukan pada larutan
agar homogen

11. Tabung Reaksi


Untuk mereaksikan
larutan atau cairan
12. Termometer Untuk mengukur suhu 1000 C

13. Lampu Spiritus


Untuk memanaskan larutan

14. Chamber dan


tutup Untuk tempat mengelusi
pada proses KLT
ALAT – ALAT NON GELAS
YANG DIGUNAKAN
DALAM PRAKTIKUM
FITOKIMIA

NO NAMA ALAT FUNGSI GAMBAR


1. Kawat Kassa Asbes
Untuk alas beaker
glass pada saat
pemanasan
menggunakan
lampu spiritus

2. Klem
Untuk menjepit alat
ekstraksi atau
menggantungkan
termometer

3. Statif
Untuk menegakkan
alat ekstraksi

4. Penjepit kayu
Untuk menjepit
tabung reaksi saat
dilakukan
pemanasan

5. Rak tabung reaksi


Untuk tempat
tabung reaksi saat
melakukan uji

6. Kaki Tiga
Untuk penyangga
dalam proses
pemanasan
7. Push Ball
Untuk membantu
mengambil larutan
atau cairan pekat
ke dalam pipet

8. Kawat Sikat
Tabung Reaksi Untuk
membersihkan
tabung reaksi
setelah digunakan

PERALATAN UKUR DAN EKSTRAKSI YANG DIGUNAKAN DALAM PRAKTIKUM


FITOKIMIA

NO NAMA FUNGSI GAMBAR


Neraca Analitis Digital Untuk menimbang
1. dengan ketelitian yang
tinggi

Magnetic Stirer Untuk membantu proses


2. pengadukan pada
ekstraksi maserasi
3. Soxhlet
Alat untuk ekstraksi
dengan metode soxhletasi

4. Refluks
Alat untuk ekstraksi
dengan metode refluks

5. Perkolator Alat untuk ekstraksi


dengan metode perkolasi

6. Corong pisah Alat yang digunakan


untuk fraksinasi atau
metode pemisahan cair
cair.

7. Destilator Alat yang digunakan pada


proses destilasi
(penyulingan)
PERHITUNGAN PENGENCERAN DAN PEMBUATAN REAGEN

A. Pengenceran Alkohol
Misal : Pada suatu ekstraksi diperlukan etanol 70% sebanyak 300 ml, alkohol yang
tersedia di laboratorium 96 %. Maka berapa banyak alkohol 96% yang diambil?
Diketahui = V1 = Volume cairan yang diencerkan
V2 = Volume pengenceran yang diinginkan = 300 ml
N1 = Normalitas / kadar cairan yang tersedia = 96%
N2 = Normalitas / kadar cairan yang diinginkan = 70 %
Jawab = V1 x N1 = V2 x N2
= V1 x 96% = 300 ml x 70%

V1 = 218, 75 ml
Volume aquadest = 300 ml – 218, 75 ml = 81, 25 ml
B. Pembuatan Reagen Iodium
Dilakukan dengan cara menimbang 1g I2 di gelas arloji, disisihkan. Menimbang 2g KI
dilarutkan dengan 2ml aquadest di beaker glass, I2 dimasukkan ke dalam larutan KI
pekat diaduk ad homogen, tambahkan aquadest ad 100 ml
C. Pembuatan Reagen Molisch
Larutkan α naftol 25g dalam alkohol 96% ad 500 ml
D. Pembuatan Reagen Benedict
Larutkan CuSO4. 5H2O 17g, Na2Co3. OH2O 100g, Na Citrat 170 g dalam 1000 ml
aquadest.
E. Pembuatan Reagen Barfoed
Larutkan Cu Asetat 13,3 g, 5ml CH3COOH 3%, dalam 200 ml aquadest.
F. Pembuatan Reagen Dragendorf
Pereaksi Dragendorf dibuat dengan cara mencampurkan 20 ml Bismut nitrat 40% b/v
dalam HNO3 P dengan 50 ml KI 54,4% b/v, campuran ini didiamkan sampai memisah
sempurna, selanjutnya diambil cairan yang berwarna jernih dan diencerkan dengan air
hingga volume 100 ml
G. Pembuatan Reagen Mayer
Pereaksi mayer dibuat dengan cara mencampurkan 60 ml HgCl2 2,266% b/v
dengan 10 ml larutan KI 50% b/v, kemudian ditambah air hingga volume 100 ml.
H. Pembuatan Reagen Wagner
Pereaksi Wagner dibuat dengan cara melarutkan 1,27 g I2 dalam larutan KI 2%
hingga diperoleh volume 100 ml.
KONTRAK PERKULIAHAN

PERTEMUAN TOPIK KETERANGAN

1 Pendahuluan

2 Pembuatan Simplisia

3
Metode Ekstraksi

3
Fraksinasi

4 Isolasi Kandungan Kimia

5
Standarisasi Simplisia dan Ekstrak

BAB I
TINJAUAN PEMBUATAN SIMPLISIA

TINJAUAN PUSTAKA
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan
dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari
60oC (BPOM, 2014).
Jenis-jenis simplisia:
1. Simplisia nabati: simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat
tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan
atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa
senyawa kimia murni
2. Simplisia hewani
3. Simplisia pelikan (mineral)
Simplisia yang aman dan berkhasiat adalah simplisia yang tidak mengandung bahaya
kimia, mikrobiologis, dan bahaya fisik, serta mengandung zat aktif yang berkhasiat. Ciri
simplisia yang baik adalah dalam kondisi kering (kadar air < 10%), untuk simplisia daun, bila
diremas bergemerisik dan berubah menjadi serpihan, simplisia bunga bila diremas bergemerisik
dan berubah menjadi serpihan atau mudah dipatahkan, dan simplisia buah dan rimpang (irisan)
bila diremas mudah dipatahkan. Ciri lain simplisia yang baik adalah tidak berjamur, dan berbau
khas menyerupai bahan segarnya (Herawati, Nuraida, dan Sumarto, 2012).
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang menentukan mutu
simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontminasi dan stabilitas
bahan. Namun demikian simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat di
perkecil, diatur atau dikonstankan (Depkes RI, 2000).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku dan produk siap konsumsi langsung dapat
dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar umum:
1. Simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu umum
suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari
kontaminasi kimia dan biologis) serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan
transportasi). 8
2. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan
memenuhi 3 paradigma produk kefarmasian, yaitu Quality–Safety-Efficacy
(mutuaman-manfaat).
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap
respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis
dan kadar ) senyawa kandungan. (Depkes RI, 2000).
Standarisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan
penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang ditetapkan sebelumnya. Standarisasi
simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan yang tercantum dalam
monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan
sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi
persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Depkes RI, 2000).
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut:
1. Pengumpulan bahan baku: kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa
faktor, seperti : umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, bagian
tumbuhan, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh.
2. Sortasi basah: Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan
asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan perajangan.
3. Pencucian: dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat
pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih.
4. Perajangan
5. Pengeringan: mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan
dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
6. Sortasi kering: tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering.
7. Pengepakan
8. Penyimpanan dan pemeriksaan mutu (Depkes, 1985).

CARA KERJA
1. Tiap kelompok melakukan pengumpulan tanaman yang akan dijadikan sebagai bahan
baku simplisia
2. Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran dari tanaman
3. Tanaman dicuci bersih dengan air mengalir
4. Tanaman yang telah bersih dirajang ± 1mm
5. Setelah dirajang, tanaman dikeringkan menggunakan wadah

BAB II
TINJAUAN TENTANG EKSTRAKSI

Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hamper semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh massa kental atau serbuk. Ekstraksi
adalah kegiatan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu bahan simplisia sehingga terpisah
dari bahan yang tidak larut. Di dalam suatu simplisia ada senyawayang dapat larut dalam cairan
penyari da nada yang tidak dapat larut, seperti serat, karrbohidrat, protein dan lain-lain.
A. Proses Pembuatan Ekstrak
Proses pembuatan ekstrak dilakukan dalam 5 tahap, yaitu :
1. Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya

Proses awal pembuatan ekstrak adalah pembuatan serbuk simplisia kering dengan peralatan
tertentu hingga diperoleh derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu
ekstrak karena :
(1) Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efisien, namun semakin rumit secara
teknologi peralatan untuk tahap filtrasi.
(2) Selama penggunaan peralatan penyerbukan, adanya gerakan dan interaksi dengan benda
keras (logam dll) akan menimbulkan panas (kalori) yang dapat berpengaruh pada senyawa
kandungan. Namun hal ini dapat dikomprensasi dengan penggunaan nitrogen cair.
2. Cairan Penyari

Pemilihan pencairan penyari sangat tergantung dengan tujuan ekstraksi. Berdasarkan tujuan
ekstrak dibagi menjadi 2, yaitu ekstrak parsial dan ekstrak total. Ekstrak parsial adalah ekstrak
yang hanya mengandung senyawa kandungan yang berkasiat atau mengandung sebagaian besar
senyawa kandungan lainnya. Cairan penyari dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut
yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian
senyawa tersebut dapat terpisah dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya. Sedangkan
pada ekstrak total, maka caian pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder
yang terkandung.

Faktor utama yang dipertimbangkan pada pemilihan cairan penyari adalah seleksifitas,
kemudahan bekerja dan proses dengan caira tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan aman.
Namun demikian, kebijakan dan peraturan pemerintah dalam hal ini juga ikut membatasi cairan
pelarut apa yang diperolehkan dan mana yang dilarang. Pada prinsipnya, cairan pelarut harus
memenuhi syarat kefarmasian atau dalam perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi
“pharmaceutical grade”. Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperoleh adalah air
dan alkohol (etanol) serta campurannya, jenis pelarut lain, seperti methanol dll (alkohol
aturannya), heksana dll (hidrokarbol alifatik), toluene dll (hidrokarbon aromatik), kloroform (dan
segolongannya), aseton, umunya digunakan sebagai pelarut untuk tahap sparasi dan tahap
pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari penggunaannya karena bersifat toksik.
Namun demikian, jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan, maka metanol
sebenarnya pelarut yang lebih baik daripada etanol.
3. Separasi dan Pemurnian

Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak
dikehendaki semaksilah mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang
dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Sebagai contoh adalah senyawa tanin,
pigmen-pigmen dan senyawa-senyawa lain yang akan berpengaruh pada stabilitas senyawa
kandungan, termasuk juga dalam hal ini adalah sisa pelarut yang tidak dikehendaki. Proses-
proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi,
dekantasi filtrasi serta proses adsorbs dan penukar ion.
4. Pemekatan/ Penguapan (Vaporasi dan Evaporasi)

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikal solute (senyawa yang larut) secara
penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering. Ekstrak hanya menjadi kental/pekat.
5. Pengeringan

Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan serbuk, masa
kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan. Ada berbagi tipe pengeringan
ekstrak, yaitu dengan cara :
(1) Pengeringan Evaporasi
Bahhan dikeringkan pada suhu dibawa titik didih cairan penyari akan dihilangkan. Cairan
yang hilang akibat proses evaporasi.
(2) Pengeringan Vaporasi
Bahan dikeringkan pada suhu titik didih atau diatas titik didih cairan penyari yang akan
dihilangkan. Cairan yang hilang akibat proses vaporasi.
(3) Pengeringan Sublimasi

Cairan penyari yang akan dihilangkan dalam bentuk padat dan dihilangkan dengan prinsip
sublimasi.
(4) Pengeringan Konveksi

Bahan yang akan dikeringkan dialiri dengan uap panas

Rendemen

Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal.

B. Metode Ekstraksi

1. Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut

(1) Cara Dingin

Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa


kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya.
Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya
terdiri dari tahapan (penetasan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahya 1-5 kali bahan.

(2) Cara panas


Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstanta dengan adanya pendingin
balik. Pada umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5
kali hingga terjadi ekstraksi sempurna.
Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengaduan kontinu) pada temperature yang
lebih tinggi dari temperatur dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50 °C
Infus

Infus adalah entraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana insfus
tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur (96-98°C)selama waktu
tertentu (15-20menit)). Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30°C) dan temperature sampai titik
didih air.
2. Destilasi Uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan
(segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan persial senyawa
kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu sampai sempurna dan
diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguap ikut
terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna
atau memisah sebagaian. Pada destilasi uap, bahan (simplisida) benar-benar tidak
tercelup ke dalam air yang mendidih, namun dilewati uap air, sehigga senyawa
kandungan menguap ikut terdestilasi. Sedangkan pada destilasi uap dan air, sehingga
senyawa kandungan menguap tetap kontinu terdestilasi.
3. Cara Ekstraksi lainnya
(1) Ekstraksi Berkesinambungan

Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau
resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali. Proses
ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk
bahan jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.
(2) Superkritikal Karbondioksida

Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, pada umumnya


digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan temperatur akan
diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan
golongan senyawa e kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut dengan
mudah dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga
hampir langsung diperoleh ekstrak.
(3) Ekstraksi Ultrasonik

Getaran ultrasonik (>200.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak dengan
prinsip meningkatkan permeabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung
spontan (cavitation) sebagai stress dinamik serta menimbulkan fraksi intefase.
Hasil ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama
ultrasonic.
(4) Ekstraksi Energi Listrik

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta
“electricdiscanges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil
dengan prinsip menimbulkan spontan dan menyebarkan gelombang tekanan
berkecepatan ultrasonik.

BAB III
TINJAUAN TENTANG FRAKSINASI
Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan
senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara
pelarut air dan pelarut organik (Soebagio, 2005). Teknik pemisahan ekstraksi cair-cair ini
biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pisah (separatory funnel). Kedua pelarut yang
saling tidak bercampur tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian digojok dan
didiamkan. Solut atau senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing
bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk dua lapisan,
yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka kunci pipa corong
pisah (Odugbemi, 2008). Ekstrak dipartisi dengan menggunakan peningkatan polaritas pelarut
seperti petroleum eter, n-heksana, kloroform, dietil eter, etilasetat dan etanol
Pemilihan pelarut pada ekstraksi umumnya bergantung pada sifat analitnya dimana
pelarut dan analit harus memiliki sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya
tinggi akan terekstraksi pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-heksana sedangkan analit
yang semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar seperti etilasetat atau diklorometana (Venn,
2008).
Aglikon umumnya terekstraksi pada fraksi nonpolar seperti terpenoid dan steroid
sedangkan flavonoid, glikosida, saponin dan gula ester ditemukan pada fraksi yang lebih polar
dan fraksi air. Petroleum eter dan n-heksana juga dapat digunakan untuk menghilangkan lipid,
wax dan senyawa lemak (Dey, 2012). Pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi ada banyak,
namun beberapatidak dapat digunakan karena tidak memenuhi syarat.
Pertama, pelarut harus tidak bercampur dengan air, mempunyai titik didih yang rendah
(jika digunakan untuk evaporasi) dan sebaiknya memiliki densitas yang lebih rendah daripada air
(untuk membentuk lapisan atas sehingga pemisahan lebih mudah dilakukan).
Kedua, pelarut harus aman dan tidak merusak lingkungan jika digunakan. Banyak
pelarut yang tidak aman digunakan karena berbagai alasan seperti dietil eter (mudah terbakar),
toluen (memiliki titik didih yang tinggi), benzen (keamanan) dan pelarut klorida seperti
diklorometana (berbahaya bagi lingkungan). Praktisnya, hanya ada beberapa pelarut saja yang
biasa digunakan untuk ekstraksi seperti n-heksana, metil tertier butil eter (MTBE) dan etilasetat
(Venn, 2008). Etanol (CH3CH2OH) merupakan pelarut polar yang baik bila dibandingkan
dengan pelarut alkohol lainnya untuk proses ekstraksi. Hal ini dikarenakan etanol memiliki
gugus –OH yang sifat polarnya tinggi dan gugus hidrokarbon yang bersifat nonpolar. Berbeda
dengan etanol, etilasetat (CH3COOCH2CH3) tidak memiliki gugus –OH sehingga menyebabkan
etilasetat bersifat kurang polar karena tidak dapat membentuk ikatan hidrogen. n-Heksana
(C6H14) merupakan golongan alkana dan termasuk ke dalam pelarut nonpolar. Adanya ikatan
antara C-H menyebabkan n-heksana bersifat nonpolar. Karbon dan hidrogen memiliki
elektronegativitas yang sangat dekat, sehingga pasangan elektron pada ikatan kovalen antara
karbon dan hidrogen saling berbagi sehingga menyebabkan polaritas antara ikatan C-H sedikit.
Pasangan elektron antara ikatan C-C pada nheksana juga saling berbagi sehingga ikatan ini juga
nonpolar (Hill, 2000).
BAB IV
ISOLASI
GLIKOSIDA FLAVONOID DARI DAUN KETELA POHON (Monihut utillissima Pohl)

Tujuan: Pada akhir praktikum diharapkan mahasiswa dapat memahami dan dapat melakukan
isolasi flavonoid dari daun ketela pohon berikut analisis kualitatif golongan senyawa
tersebut dengan metode kromatografi lapisan tipis.
Bahan : Simplisia Manihot utilissima Pohl
Cara Kerja :
a. Isolasi :
Timbang 40 gram serbuk bahan, masukkan dalam panci infus dan tambahkan 240 ml air.
Didihkan selama 30 menit. Saring campuran melalui corong Buchner sehingga diperoleh
filtrat yang jernih dan pindahkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang bersih. Simpan dalam
lemari es selama 1 minggu sehingga terbentuk kristal amorf putih kekuningan. Tuangkan
sebagian besar larutan jernih dengan hati-hati agar kristal tidak ikut tertuang, kemudian
saring kristal yang ada pada dasar erlenmeyer melalui kertas saring yang telah ditara. Jika
masih ada kristal yang menempel pada dasar erlenmeyer bilas dengan air suling dan tuangkan
bilasan ke kertas saring, cuci kristal dengan 10 ml air es. Keringkan kertas saring bersama
endapan pada suhu 50o C, sampai kering kemudian ditimbang untuk memperoleh rendemen
dari hasil yang didapat.
b. Identifikasi Ambil sedikit padatan dengan ujung spatel kecil, larutkan dalam 2 ml campuran
metanol air sama banyak, vorteks hingga larut. Larutan siap dianalisis secara kualitatif
dengan kromatografi lapis tipis dengan kondisi sebagai berikut:
a. Fase diam : Silika gel GF 254
b. Fase gerak : asam asetat 15 %
c. Cupilkan : larutan sampel dan pembanding larutan rutin dalam metanol 50 % masing-
masing sebanyak 10 totolan
d. Deteksi : Uap amoniak, dibawah sinar tampak dan UV 366 Setiap kali deteksi, tandai
bercak flavonoaid yang terlihat dengan sebuah titik di sebelah kanan dan kirinya.
Catat harga Rf dan warna yang terbentuk
ISOLASI KAFEIN DARI DAUN TEH

Tujuan : Mahasiswa mengetahui langkah-langkah isolasi, mampu melakukan isolasi kafein dari
daun teh dan mengidentifikasi isolat yang diperoleh
Bahan : Simplisia Camelia sinensis
Cara Kerja :
a. Isolasi : Sebanyak 20 gram daun teh yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam beaker glass
500 ml, kemudian tambahkan 100 ml aquades dan 5 gram Natrium Karbonat. Campuran
tersebut selanjutnya dipanaskan selama 20 menit sambil diaduk-aduk (apabila volume
berkurang tambahkan air). Campuran tersebut kemudian disaring dalam keadaan panas.
Filtrat yang diperoleh dibiarkan dingin, setelah dingin tambahkan larutan asam sulfat 10%
hingga pH netral. Filtrat netral yang diperoleh selanjutnya dimasukkan dalam corong pisah
dan ditambah dengan kloroform (CHCl3) sama banyak. Kocok dan diamkan beberapa saat
hingga diperoleh dua fase. Fase diklorematan (bagian bawah) dikumpulkan sedangkan fase
air ditambahkan diklormetan seperti pada prosedur diatas. Fase kloroform yang diperoleh
dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap putar (rotavapour) hingga volume kurang
lebih 10 ml. Hasil rotavapor dikumpulkan dan ditambah air panas sedikit (± 1 ml), dan
simpan dalam lemari es hingga terbentuk kristal kafein ((±1 minggu).
b. Pemurnian(cara sublimasi) : Masukkan kafein ke dalam cawan porselin kecil, tutuplah dengan
kertas saring yang diberi lubang, dan terakhir ditutup dengan corong gelas terbalik yang
lubangnya disumbat dengan kapas dan dilengkapi dengan kertas saring berbentuk kerucut.
Kemudian cawan dipanasi dengan api kecil (lampu spiritus) pelan-pelan selama 10 menit,
dan didinginkan selama 15 menit. Bukalah corong, maka akan didapatkan kristal kofein
berbentuk jarum yang akan menempel dibawah kertas saring dalam cawan. Timbang hasil
dan diidentifikasi dengan KLT.
c. Identifikasi: Ambil sedikit padatan dengan ujung spatel kecil, larutkan dalam kloroform.
Larutan siap dianalisis secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis dengan kondisi
sebagai berikut:
a. Fase diam : Silika gel GF 254
b. Fase gerak : CHCl3 : Etanol (9.5:0.5)
c. Cupilkan : larutan sampel dan pembanding larutan kafein dalam metanol masing-masing
sebanyak 10 totolan
d. Deteksi : UV 254 Catat harga Rf dan bandingkan dengan harga Rf standar Kafein
BAB V

TINJAUAN TENTANG STANDARISASI EKSTRAK

STANDARISASI Serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya


merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi
standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk
kefarmasian umumnya. Proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau produk ekstrak)
mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula)
terlebih dahulu. TUJUAN STANDARISASI: agar diperoleh bentuk bahan baku atau produk
kefarmasian yang bermutu, aman serta bermanfaat.
EKSTRAK adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian
hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. STANDARDISASI EKSTRAK tidak lain adalah
serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai
dengan persyaratan yang berlaku.
EKSTRAK TERSTANDAR berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap
batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan
kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan volume
permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui
kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara
mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.
STANDARISASI OBAT HERBAL

Standarisasi obat herbal merupakan proses melibatkan berbagai metode analisis kimia
berdasarkan data farmakologis, melibatkan analaisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan criteria
umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tumbuhan obat herbal (Saifudin
et al, 2011). Dengan kata lain, pengertian standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa
produk akhir obat (Obat, ekstrak atau produk herbal) mempunyai nilai parameter tertentu yang
konstan dan sudah ditetapkan. Dua Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi
dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standarisasi
ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Depkes RI,
2000)
METODE STANDARISASI EKSTRAK

1. Parameter Non Spesifik


Parameter Non Spesifik adalah segala aspek yang tidak terkait dengan aktifitas farmakologis
secara langsung namun mempengaruhi aspek keamanan dan stabilitas ekstrak dan sediaan
yang dihasilkan
a. Susut Pengeringan

Prinsip : Prinsip: Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105°C selama
30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan dalam nilai prosen (Depkes RI, 2000)
Tujuan : Memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang
pada proses pengeringan (Depkes RI, 2000)
b. Bobot Jenis

Prinsip : Massa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25°C) yang ditentukan
dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya.
Tujuan : Memberikan batasan tentang besarnya massa per satuan volume yang merupakan
parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang.
(Depkes RI, 2000).

c. Kadar Air

Prinsip : Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan

Tujuan : Memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air di dalam
bahan.
d. Kadar Abu
Prinsip : Bahan dipanaskan pada tempertur dimana senyawa organik dan turunannya
terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik (Depkes RI,
2000) Tujuan : Memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang
berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Depkes RI,2000)
e. Sisa Pelarut
Prinsip : Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang
secara umum dengan kromatografi gas (Depkes RI, 2000)
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang
memang seharusnya tidak boleh ada (Depkes RI, 2000)
f. Residu Pestisida

Prinsip : Menentukan sisa kandungan pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan
atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuatan ekstrak (Depkes RI, 2000)
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai
yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
g. Cemaran Logam Berat

Prinsip : Menetukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau
lainnya yang lebih valid.
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu
(Hg, Pb, Cu dll.) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.
h. Cemaran Mikroba
Prinsip : Menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang patogen secara analisis
mikrobiologis ( Depkes RI, 2000)
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung mikroba patogen dan
tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes
RI, 2000)
i. Cemaran kapang, khamir dan aflatoksin

Prinsip : Menentukan adanya jamur secara mikrobiologis dan adanya aflatoksin dengan
KLT (Depkes RI, 2000)
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi
batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin yang
berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
2. Parameter Spesifik
Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar
senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktifitas Farmakologis tertentu.
a. Identitas Ekstrak
Parameter ini meliputi :

• Diskripsi tata nama antara lain : nama ekstrak, nama latin, bagian tumbuhan yang
digunakan dan nama Indonesia tumbuhan.
• Senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan
metode tertentu.
Tujuan: Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
b. Organoleptik Ekstrak

Parameter ini meliputi penggunaan panca indera dalam mendiskripsikan bentuk, warna,
bau, dan rasa.
Tujuan: Pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin

c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Parameter senyawa terlarut yaitu melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air)
untuk ditentukan jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara
gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya
heksana, diklorometan, metanol.
Tujuan: Memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

d. Uji Kandungan Kimia Ekstrak

• Parameter pola kromatogram

Melakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas.


Tujuannya yaitu untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia
berdasarkan pola kromatogram (Kromatografi Lapis Tipis, Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi, dan Kromatografi Gas).
• Kadar Total Golongan Kandungan Kimia
Pengertian dan prinsip: dg penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri,
gravimetri atau lainnya,dpt ditetapkan kdr gol kandungan kimia. metode hrs sdh diuji
validitasnya,tu selektivitas dan batas linearitas.
Tujuan : memberikan informasi kadar gol kand kimia sbg parameter mutu ekstrak
dlm kaitannya dg efek farmakologis
- Skrining Fitokimia dan Uji KLT Flavonoid

PROSEDUR KERJA

1. Uji Kualitatif
Sampel dicampur dengan aquadest yang dipanaskan 5 menit dan kemudian
disaring. Filtrat kemudian ditambahkan serbuk Mg, Hcl : etanol (1:1) dan amil
alkohol sampai terbentuk lapisan amil alkohol, jika lapisan tersebut berwarna
jingga maka dalam sampel tersebut komponen flavonoid.

2. KLT

Sampel ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2cm) yang telah diaktivasi
dengan pemanasan di oven selama 30 menit dalam suhu 100° C. Plat yang telah
disiapkan kemudiam dimasukkan dalam chamber berisi etil asetat : asam
format : asam asetat : air = 5 : 0,55 : 0,55 : 1,3 yang telah dijenuhkan terlebih
dahulu. Hasil plat dibiarkan sampai kering, kemudian plat difoto dengan sinar
UV 366nm

- Skrining Fitokimia dan Uji KLT tanin

PROSEDUR KERJA

1. Penapisan fitokimia tanin


10 ml sampel ditambahkan 10 ml air panas, didihkan, selama 5 menit dan
disaring, sebagian filtrat yang diperoleh ditambah larutan FeCl3 1%. Hasil
positif ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau.
2. Pengujian KLT Tanin
Sampel ditotolkan memakai fase atas pengembang butanol asam asetat : air
(14:1:5) diikuti dengan asam asetat 6%. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV
pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi
fenol baku

- Skrining Fitokimia dan Uji KLT Saponin

PROSEDUR KERJA
1. Penapisan fitokimia
saponin Uji ini dilakukan dengan menambahkan sampel dengan aquadest
dipanaskan 5 menit dan kemudian disaring. Filtrat yang telah dihasilkan
kemudiandikocok dengan kuat sampai terbentuk buih, jika buih yang terbentuk
stabil dalam5 menit maka sampel tersebut mengandung saponin.
2. Pengujian KLT Saponin
Sampel ditambah dengan HCl 2M, diaduk, direfluks 6 jam diatas waterbath,
kemudian didinginkan. Setelah itu dinetralkan dengan amonia, diuapkan diatas
waterbath, ditambah n-heksana kemudian disaring. Filtratnya kemudian
diuapkan diatas waterbath, ditambah 5 tetes kloroform, dan ditotolkan pada plat
silika gel G60. Elusi dilakukan dengan kloroform : aseton = 4 : 1. Plat
dikeringkan dan diamati pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm.
Kemudian plat disemprot dengan SbCl3 dioven pada suhu 110oC selama 10
menit, dan diamati pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm

- Skrining Fitokimia dan Uji KLT alkaloid

PROSEDUR KERJA

1. Penapisan Fitokimia Alkaloid


Sampel ditambah beberapa tetes NH3 kemudian ditambah 5ml kloroform dan
disaring. Filtrat ditambah dengan H2SO4 2M sampai terbentuk lapisan asam,
beberapa tetes lapisan asam tersebut diambil dan direaksikan dengan pereaksi
Dragendorf, Mayer, dan Wagner, jika terbentuk endapan jingga pada reagen
Dragendorf, endapan putih pada reagen Mayer dan endapan coklat pada reagen
Wagner berarti sampel mengandung komponen alkaloid.
2. Uji KLT Alkaloid

Sampel pada skrining fitokimia ditambahkan ammonia 25 % hingga pH 8-9.


Kemudian ditambahkan kloroform, dan dipekatkan diatas waterbath. Fase
kloroform ditotolkan pada plat silica gel G60. Elusi dilakukan dengan
methanol: NH4OH pekat = 200:3. Plat dikeringkan dan diamati pada cahaya
tampak, UV 254 nm dan 366 nm. Kemudian plat disemprot dengan preaksi
Dragendorff, dikeringkan dan diamati pada cahaya tampak, UV 254 nm dan
366 nm.

- Skrining Fitokimia dan Uji KLT Terpenoid

PROSEDUR KERJA

1. Penapisan Fitokimia Terpenoid


Sampel ditambah 5ml larutan eter. Residu ditambah asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat (2:1). Warna merah hijau atau violet biru menunjukkan
hasil positif.
2. Uji KLT terpenoid
Fase diam : silika gel F254
Fase gerak : toluen : etil asetat (93 : 7)
Penampak noda : vanilin dan asam sulfat
• Kadar Kandungan Kimia Tertentu

Dengan tersedianya kandungan kimia yg berupa senyawa identitas/senyawa marker/


kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan
penetapan kadar kand kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan: KLT
Densitometer, Kromatografi Gas, HPLC atau instumen lain yg sesuai. Metode
penetapan kadar hrs diuji validitasnya yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas,
ketelitian, ketepatan dll.
Tujuan: Memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa
identitas/senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi. Contoh:
penetapan kadar andrografolid dlm ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan
kadar kuersetin dalam ekstrak daun jambu biji secara KLT Densitometri.
PUSTAKA ACUAN :
1. BPOM, 2014, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional, Bpom: Jakarta.
2. Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 9-16.
3. Depkes RI, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Depkes: Jakarta.
4. Herawati, Nuraida, dan Sumarto, 2012, Cara Produksi Simplisia Yang Baik, Seafast Center,
Bogor, 10-11. 5. MenKes, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan RI No 261 tentang
Farmakope Herbal edisi pertama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai