Anda di halaman 1dari 4

Tegal 

(bahasa Jawa: Hanacaraka: ꦠꦼꦒꦭ꧀, Pegon ‫ ٓتڮل‬, Hanzi: 直葛, Belanda: Tagal) adalah


salah satu kota di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini pernah menjadi cikal-bakal
berdirinya Korps Marinir seperti tercatat dalam Pangkalan IV ALRI Tegal dengan nama Corps
Mariniers, pada 15 November 1945. Kota Tegal berbatasan dengan Kabupaten Brebes di
sebelah barat, Laut Jawa di sebelah utara, serta Kabupaten Tegal di sebelah selatan dan timur.
Hari jadi Kota Tegal adalah 12 April 1580.

Etimologi[sunting | sunting sumber]
Penggunaan nama/kata Tegal mengacu kepada istilah tegalan, tetegil (ladang), atau nama
sebuah desa yang pada mulanya adalah merupakan bagian dari Kabupaten Pemalang yang
setia kepada trah Kerajaan Pajang.[5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Masa awal[sunting | sunting sumber]

Kawasan Pelabuhan Muara Bacin pada tahun 1895.

Pada masa lalu, Tegal adalah desa kecil yang terletak di tepi muara Kali Gung, dengan
nama Tetegal. Tetegal merupakan bandar yang mengeluarkan hasil bumi, yang semula
perairannya diatur oleh Ki Gede Sebayu saat berdiam di Danawarih. Karena pada saat itu
daerah yang luas umumnya merupakan daerah ladang (Tetegalan), maka oleh Ki Gede Sebayu
dinamakan Tegal[6]. Versi lain mengatakan bahwa istilah Tegal berawal dari kedatangan Tome
Pires, pedagang asal Portugis ke sebuah pelabuhan tua di muara Kali Gung pada abad ke-15,
dimana dia menyebut pelabuhan tersebut dengan nama Teteguall.
Setelah daerah itu maju, Ki Gede Sebayu diangkat menjadi Jurudemung (demang) atau sesepuh
oleh Bupati Pemalang. Saat itu Tetegal merupakan bagian dari Kabupaten Pemalang.
Pengangkatan Ki Gede Sebayu menjadi Jurudemung tersebut terjadi pada 15 Sapar tahun Jawa
988, atau 12 April 1580 Masehi. Oleh karenanya, setiap tanggal 12 April diperingati sebagai Hari
Jadi Kota Tegal. Tak lama Ki Gede Sebayu pun meninggal dunia, dan putranya yakni Ki Gede
Hanggawana ditunjuk sebagai penggantinya. [6]
Semakin lama, Hasil bumi menjadi berlipat, Tegal banyak menimbun hasil bumi yang dikirim ke
luar daerah dan penduduknya makin banyak, akhirnya berubah menjadi kota yang cukup bisa
diharapkan di kemudian hari. Pada saat itu, Tegal memiliki Pelabuhan yang ramai di muara Kali
Gung sebelah barat kota Tegal, kini bernama Muaratua (Tegalsari), kemudian pindah ke Muara
bagian timur atau Muara Bacin. [6]

Masa kekuasaan Mataram dan Hindia Belanda[sunting | sunting


sumber]
Lambang gemeente Tegal pada masa Hindia Belanda, ditetapkan pada tahun 1927.

Kota Tegal dilihat dari udara.

Pada masa Kerajaan Mataram, wilayah Tegal menjadi bagian dari kekuasaannya. Dengan
demikian maka kepala daerahnya diangkat oleh kerajaan dengan surat ketetapan raja. Pada
masa pemerintahan kolonial, surat ketetapan itu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial di Batavia.
Tegal juga menjadi daerah yang ditunjuk Sultan Agung sebagai tempat untuk membawa beras
dengan perahu yang diperlukan bagi persediaan pangan tentara Mataram Saat berperang
melawan VOC di Batavia. [7]
Pada tahun 1677 ketika Amangkurat II menandatangani kontrak dengan VOC, daerah Jepara
dan Tegal merupakan suatu tempat yang tersisa di sepanjang pesisir utara Jawa yang belum
dikuasai oleh Pasukan Trunojoyo. Perbatasan wilayah antara kompeni dan Mataram
menggunakan patokan sungai Tjilosari (Ci Sanggarung). Berkat jasa VOC terhadap Mataram
pada waktu membantu pemberontakan Trunojoyo, maka sekitar tahun 1680 VOC mengangkat
dirinya sebagai penguasa di pesisir Jawa, termasuk di Tegal. [7]
Di tempat inilah VOC membangun benteng yang kuat dan membangun pos perdagangan. Pada
awalnya sekitar tahun 1680 masyarakat Eropa tinggal dan membangun benteng, sehingga
keberadaan mereka cukup ekslusif. Keberadaan orang Eropa di benteng sejalan dengan
kebijakan antara VOC dan Bupati Tegal untuk mengelompokkan pedagang Eropa dan tentara
Eropa terpisah dari penduduk Jawa. Mereka tinggal dibenteng dan tidak seorangpun dapat
masuk ke lokasi itu tanpa seijin VOC dan bupati. Dalam perkembangannya, orang Eropa kurang
menyukai tinggal di dalam benteng, sehingga mereka pindah ke rumah yang dibuat permanen di
kota. Adapun orang-orang Jawa tinggal di sebelah timur kampung kota dan orang-orang Cina
tinggal di sebelah selatan yakni Patjinan (kini menjadi kampung Paweden di
kelurahan Mintaragen). Sedangkan orang-orang Arab mulai berdatangan dan menetap di Tegal
pada abad ke-18. [7]
Tahun 1729, Tegal ditetapkan sebagai gewest (Pemerintah Daerah Tegal) dengan dipimpin oleh
seorang Belanda. Kota Tegal ditetapkan sebagai ibukota gewest Tegal, dengan wilayah meliputi
Pemalang, Tegal, dan Brebes. Sebagai Kepala gewest, diangkat J. Thierens sebagai Residen.
Residen terakhir untuk gewest Tegal ialah G.J.P. Vallete. Pusat pemerintahan gewest Tegal saat
itu berada Gedung Residen, yang sekarang menjadi Kantor DPRD Kota Tegal.[8]
Pada tahun 1906, Tegal mendapatkan status sebagai gemeente berdasar Ordonantie tanggal 21
Februari 1906 dan Staatsblad 1906 No. 123 yang berlaku sampai tanggal 1 April 1906, dengan
penduduk berjumlah 32.000 jiwa terdiri dari 27.700 jiwa penduduk asli yakni etnis Jawa, 2.700
jiwa etnis Cina, 1.000 jiwa etnis Arab dan Asia yang lain, serta 600 jiwa etnis Belanda (Eropa).
Dalam pelaksanaan pemerintahan, dibentuk Dewan Kota (Gemunteraad), sedangkan yang
menjadi kepala daerah adalah asisten residen yang membawahi Kabupaten Tegal.[9]

Masa pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]


Pada tanggal 17 Maret 1942, Jepang tiba di Karesidenan Pekalongan, dimana saat itu wilayah
Pekalongan belum pulih dari pergolakan sosial dan jatuhnya pemerintah kolonial. Tatkala terjadi
pendaratan Jepang di Jawa, penguasa kolonial berusaha melaksanakan rencana sabotase yang
dipersiapkan secara tergesa-gesa atas gedung, jembatan, dan instalasi di sekitar Tegal dan
Brebes, termasuk tangki penyulingan minyak juga dihancurkan. [6]
Di Tegal, setelah Jepang mendarat maka pemerintahan di dalam kota diserahkan kepada
pemerintah kota. Mr. Besar Martokoesoemo yang tadinya menjabat advocaat dan procureer di
Tegal diangkat menjadi kepala kota (sityo). Kemudian, ia diganti oleh R. Sungeb Reksoatmodjo,
yang sebelumnya menjabat sebagai Patih Pekalongan. [6]

Masa setelah Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]


Kota Tegal menjadi salah satu daerah yang mengalami pergolakan revolusi pasca
kemerdekaan, bersama dengan Brebes, Kabupaten Tegal, dan Pemalang. Keinginan utama
masyarakat saat itu adalah mengganti pemerintahan yang tunduk pada Jepang dan Belanda
dengan sistem pemerintahan yang baru dan merakyat oleh golongan islam, sosialis, dan
komunis.
Hal tersebut didasari oleh keadaan masyarakat yang semakin miskin dari pemerintahan yang
satu ke pemerintahan lainnya. Padahal, wilayah Tegal Raya menjadi bagian penting dalam
pertumbuhan ekonomi Keresidenan Pekalongan dikarenakan banyaknya pabrik gula di wilayah
ini. Selain itu, wilayah Tegal Raya juga dianggap sebagai wilayah steril dan terbebas dari
pengaruh Jepang maupun Belanda pada saat itu, sehingga bisa digunakan untuk mengambil
alih kekuasaan dari tangan Jepang atau Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada Oktober hingga
Desember 1945 dan lebih dikenal dengan nama Peristiwa Tiga Daerah. [10]
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah
Kota Besar dalam lingkungan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa
Yogyakarta menetapkan tentang pembentukan pemerintahan daerah di Provinsi Jawa Tengah,
termasuk Tegal. Dalam undang-undang tersebut, Kota Tegal ditetapkan menjadi Kotamadya
sekaligus Ibukota Kabupaten Tegal, yang dimana pemerintahan Kabupaten berada di Kompleks
Alun-alun, sedangkan pemerintahan Kotamadya menempati eks gedung gewest Tegal di Jalan
Pemuda.
Tahun 1984, Pemerintah Republik Indonesia menginstruksikan pembentukan Kota Slawi sebagai
ibukota baru Kabupaten Tegal, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2
Tahun 1984. Dengan ditetapkannya peraturan tersebut, beberapa fasilitas pemerintahan milik
Kabupaten Tegal secara bertahap dipindahkan ke Slawi, membuat Kota Tegal memiliki
pemerintahan yang berdiri sendiri. Pusat pemerintahan Kotamadya Tegal pun juga dipindahkan
dari Jalan Pemuda ke eks Kantor Bupati Tegal di Kompleks Alun-alun di tahun 1987.
Dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 4 Februari 1986, Pemerintah Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 7 tahun 1986, yang berisi tentang
perubahan batas wilayah Daerah Tingkat II Kota Tegal dan Daerah Tingkat II Kabupaten Tegal.
Dengan berlakunya peraturan ini, wilayah kota Tegal diperluas menjadi 4 kelurahan dan 27
kecamatan, dengan memasukkan seluruh wilayah Kecamatan Sumurpanggang dan beberapa
desa di Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, untuk bergabung dalam wilayah kota Tegal. 8
dari 15 wilayah desa di Kecamatan Sumurpanggang dilebur menjadi Kecamatan baru,
yakni Margadana, sebagian sisanya tersebar di kecamatan Tegal Barat (Muarareja, Debong Lor
dan Pesurungan Kidul) dan kecamatan Tegal Selatan (Keturen, Tunon, Kalinyamat Wetan,
Debong Kidul dan Debong Kulon). sedangkan beberapa desa dari Kecamatan Dukuhturi
(Bandung dan Debong Tengah) dimasukkan kedalam Kecamatan Tegal Selatan.[11]

Geografi[sunting | sunting sumber]
Kota Tegal terletak 165 km sebelah barat Kota Semarang atau 329 km sebelah timur Jakarta.
terletak di antara 109°08’ - 109°10’ Bujur Timur dan 6°50’ - 6°53’ Lintang selatan, dengan
wilayah seluas 39,68 Km² atau kurang lebih 3.968 Hektar. Dilihat dari letak geografis, posisi
Tegal sangat strategis sebagai penghubung jalur perekonomian lintas nasional dan regional di
utara Pulau Jawa yaitu dari barat ke timur (Jakarta - Tegal - Semarang - Surabaya) dengan
wilayah tengah dan selatan Pulau Jawa (Jakarta - Tegal - Purwokerto - Yogyakarta - Surabaya)
maupun sebaliknya.

Batas wilayah[sunting | sunting sumber]


Utara Laut Jawa

Timur Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal

Selatan Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal

Barat Kabupaten Brebes

Anda mungkin juga menyukai