Sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada sebuah bangunan tugu
berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa
dari Kesultanan Banten. Tugu tersebut terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang
diyakini saat ini berada di wilayah kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan
tugu tersebut disebut "tengger" atau "tetengger" yang dalam bahasa sunda berarti tanda
atau penanda.
Sesuai dengan julukannya, fungsi dari tugu tersebut memang sebagai penanda pembagian
wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC Belanda. Dimana, wilayah kesultanan
Banten berada di sebelah barat dan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai
Cisadane.
Hingga pada sekitar tahun 1652. Kala itu penguasa Banten mengangkat tiga orang
maulana, yang diberi pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang
Sultan yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara
dan Santika. Ketiganya diminta dan diutus untuk membantu perekonomian Kesultanan
Banten dengan melakukan perlawanan terhadap VOC yang semakin merugikan Kesultanan
Banten dengan sistem monopoli dagang yang diterapkannya.
Beralih ke latar belakang berubahnya istilah "Tangeran" menjadi "Tangerang". Hal ini
bermula pada tanggal 17 April 1684, pada saat ditandatanganinya perjanjian antara Sultan
Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan
Banten dengan VOC. Pada salah satu pasal perjanjian tersebut menyebutkan bahwa
wilayah yang kala itu dikenal dengan “Tangeran” sepenuhnya menjadi milik dan ditempati
oleh VOC.
Nama wilayah Tangerang menjadi nama resmi pertama kali pada masa pendudukan
Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang saat itu sempat melakukan pemindahan
pusat pemerintahan Jakarta Ken (wilayah administratif setingkat Kabupaten) ke Tangerang
yang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi. Peristiwa ini berdasarkan kepada keputusan
Gunseikanbu, yang merupakan pimpinan Departemen Militer Jepang, tanggal 9 boelan 11
hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834. Keputusan tersebut juga akhirnya menunjuk
Atik Soeardi untuk menjabat pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat dan Raden
Pandu Suradiningrat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).
Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk Kabupaten Daerah
Tingkat II mengalami perkembangan yang sangat pesat. Letaknya yang berbatasan
langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa kecamatan yang berbatasan langsung
menjadi pusat segala kegiatan baik Pemerintah, Ekonomi, industri dan Perdagangan, Politik,
Sosial Budaya.
Dalam perjalanan kurun waktu 12 Tahun Kota Administratif Tangerang kembali menunjukan
perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat disegala bidang, baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan. Dinamika kehidupan perekonomian kota ditandai dengan berkembangnya
unit-unit usaha dan perdagangan termasuk pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai
921.848 jiwa, dengan laju pertumbuhan mencapai 8,27 % yang diakibatkan derasnya arus
urbanisasi yang pada akhirnya berpengaruh bagi kehidupan sosial - politik, budaya dan
perekonomian masyarakat.
Selanjutnya Surat Keputusan Gubernur tersebut dijabarkan melalui Surat Keputusan Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Tangerang Nomor : 188.45/SK.40-HUK/1984 tanggal 17 Maret
1984 tentang Pelimpahan Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Tangerang kepada Walikota Administratif Tangerang.
Dengan perubahan struktur Pemerintah Kota Administratif tetap tidak dapat mendukung
dinamika pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Tangerang, terlebih lagi aparat
Pemerintah Kota hanya berjumlah 737 orang yang terdiri dari 331 PNS dan 406 status
magang/honor daerah. Untuk itulah dalam rangka menunjang pelaksanaan pembinaan dan
pengelolaan Kota Administratif diperlukan struktur Pemerintahan yang lebih tinggi dari
status Kota Administratif yaitu dengan membentuk daerah otonom Kotamadya Daerah
Tingkat II yang mengatur rumah tangganya sendiri.
Adapun Walikota Administratif Tangerang yang telah menjabat mulai terbentuk Kota
Administratif adalah :
Satu tahun kemudian, berdasarkan hasil pemilihan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II
Tangerang Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD terpilih sebagai Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II Tangerang yang pertama. Adapun urutan Walikotamadya Kepala Derah
Tingkat II Tangerang adalah sebagai berikut :
Demikian sejarah singkat berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang dan sejalan
dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah maka sebutan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang menjadi Kota
Tangerang.
Letak Geografis
Letak Kota Tangerang Secara gafis Kota Tangerang terletak pada posisi 106 36 - 106 42
Bujur Timur (BT) dan 6 6 - 6 Lintang Selatan (LS).
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan
Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan
Serpong dengan DKI Jakarta, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan
Cikupa Kabupaten Tangerang.
Secara administratif luas wilayah Kota Tangerang dibagi dalam 13 kecamatan, yaitu
Ciledug (8,769 Km2), Larangan (9,611 Km2), Karang Tengah (10,474Km2), Cipondoh ((17,91
Km2), Pinang (21,59 Km2), Tangerang (15,785 Km2), Karawaci (13,475 Km2), Jatiuwung
(14,406 Km2), Cibodas (9,611 Km2), Periuk (9,543 Km2), Batuceper (11,583 Km2), Neglasari
(16,077 Km2), dan Benda (5,919 Km2), serta meliputi 104 kelurahan dengan 981 rukun
warga (RW) dan 4.900 rukun tetangga (RT).
Letak Kota Tangerang tersebut sangat strategis karena berada di antara Ibukota Negara
DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun
1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota
Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI Jakarta.
Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya pesat. Pada satu sisi wilayah
Kota Tangerang menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta.
Di sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah
Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif.
Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak dari
mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial
Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai
buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di
Tangerang: ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen
Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat
ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun
menyebut diri mereka sebagai Tionghoa. Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di
Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti
Lippo Village.
Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama, Benteng Makassar, Kapling dan
Karawaci (bukan Lippo Village), dan Poris. Orang-orang dapat menemukan makanan dan
barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan
penduduknya adalah pendatang, bukan asli Cina Benteng.
Kebudayaan
Lenggang Cisadane
Tari Lenggang Cisadane sendiri merupakan perpaduan unsur budaya yang ada di Kota
Tangerang seperti budaya Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan budaya Lainnya. Selain alat
musik gamelan, didalamnya juga terdapat alat musik yang digunakan pada musik marawis,
lengkap dengan lagu-lagu marawisnya. Tari Lenggang Cisadane ini merupakan proses
pembentukan harmonisasi musik, tata busana dan gerak yang dipadukan menjadi suatu
tarian yang indah dan mencirikan budaya Kota Tangerang. Tarian ini dibawakan 13 orang
yang mencirikan jumlah kecamatan di Kota Tangerang. Seniman dan budayawan kota
Tangerang ini menghasilkan sebuah seni tradisional khas Kota Tangerang dengan
memadukan unsur musik, kostum dan tarian.
Gambang Kromong
Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang
memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan dan
kongahyan. Disebut Gambang Kromong karena diadopsi dari nama dua buah alat perkusi
yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas
dari prakarsa seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina)
bernama Nie Hoe Kong pada masa jabatan 1736-1740. Bilahan gambang yang berjumlah
18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, manggarawan atau kayu jenis lain
yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi,
berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang
kromong adalah tangga nada pentatonik Cina yang sering disebut salendro Cina atau
salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong,
gong, gendang, suling, kecrek dan sukong, tehyan atau kongahyan sebagai pembawa
melodi.
Lenong
Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan
dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia. Kesenian tradisional ini diiringi
musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong,
kendang, kempor, suling dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan,
kongahyang dan sukong. Lakon atauskenario lenong umumnya mengandung pesan moral,
yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang
digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal
tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi ataskesenian serupa
seperti komedi bangsawan dan teater stambul yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman
Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi
musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Barongsai
Kesenian yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara lain Kilin,
Peking Say, Lang Say, Samujie. Kesenian yang menampilkan Singa Batu model dari Cieh
Say ini ada bermacam macam, dimana yang utama mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara
dan Selatan yang dimaksud adalah sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang,
badannya tetap, mulutnya persegi seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran di
Beijing, sedangkan aliran selatan adalah terdapat di sebelah Selatan Sungai Yang Zi,
bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah. Aliran Selatan, pada umumnya
berada di kelenteng-kelenteng Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk
singa ini, sama sekali tidak mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari Anjing
Say yang pada waktu itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana saja, karena dianggap suci.
Silat Beksi
Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok dan Betawi yang diciptakan oleh
Lie Cheng Oek, warga keturunan Tiongkok yang tinggal di Tangerang. Silat ini bisa dikenali
dari gerakan yang cepat dan banyak permainan tangan, dan sekilas jadi mirip dengan Aikido
atau bela diri asal Jepang. Kata "Beksi" berasal dari bahasa Tiongkok, Bek berarti
pertahanan, Si berarti empat, sehingga Beksi berarti empat pertahanan.
# Bintang :
- Melambangkan keagamaan
#Roda Mesin :
# Riak Air :
- Melambangkan adanya Sungai Cisadane yang memberikan manfaat dan kesuburan bagi
masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang
- Melambangkan Tanggal, bulan dan Tahun Proklamasi Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
dengan penjelasan sebagai berikut :
Dua Lingkaran didalam Roda Besi melambangkan tahun lahirnya Kotamadya Daerah
Tingkat II Tangerang pada bulan Februari
# Jumlah Gelombang, Riak Air, Dua buah lingkaran dalam roda mesin, tanda batas
landasan dan lampu landasan :
- Melambangkan tanggal, bulan dan tahun Hari Jadi Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat
II Tangerang yaitu pada tanggal 28 Februari 1993 dengan penjelasan sebagai berikut :
Dua puluh delapan gelombak riak air melambangkan tanggal dua puluh delapan.
Sembilan tanda batas di dalam Run Way segi tiga lampu landasan melambangkan tahun
sembilan puluh tiga