Anda di halaman 1dari 6

Malam itu, Lyan hampir-hampir tidak bisa tidur.

Kenangan akan Rima yang dipanggulnya


terus mengganggu fikirannya. Bolak-balik ia memandang foto profil Rima di Whatsapp.

Cewek cantik ini yang tungkai kakinya memberi kehangatan pada lehernya hingga kini.
Darah mudanya bergejolak. Sekarang ia merindukan Rima lebih dari yang kemarin-kemarin.

Apakah Rima naksir padaku? ujarnya dalam hati. Kalau iya, kenapa secepat itu? Bisakah kita
menganggap seorang cewek telah jatuh cinta pada kita hanya karena dia minta digendong?

Atau apakah Rima mencoba memberi pesan pada dirinya? Apakah dengan meminta
digendong itu seolah Rima menyiratkan kalimat “Aku cinta padamu Lyan. Mengertilah!”

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Lyan tersenyum. Diketuknya sekali lagi foto


profil Rima. Dilebarkannya foto itu dengan jari hingga mata tersenyum Rima terlihat lebih
jelas.

Tiba-tiba terlintas pikiran lain di benaknya. Jangan-jangan Rima itu anak nakal. Mereka baru
saja kenal. Bagaimana bisa Rima dengan santainya minta dipanggul?

Kalau dengan teman yang baru akrab saja ia sudah seberani itu, pasti dia melakukan sesuatu
yang lebih dengan pacarnya.

Rasa sesak memenuhi dada Lyan. Pikiran-pikiran itu berselang-seling memenuhi benaknya.

Rima cinta padanya diam-diam. Tidak, Rima pasti jenis cewek yang menganggap apa yang
dilakukannya tadi adalah hal biasa saja. Mungkinkah Rima cewek nakal?

Kembali ia membuka Whatsapp-nya. Mengetuk lagi foto profil Rima. Dan ketika terbuka,
ternyata foto profil Rima telah berubah. Foto kunang-kunang yang tadi diambilnya.

Diketuknya pesan WA Rima. Dia aktif sepuluh menit lalu. Digulirnya layar HP-nya sampai
ke bagian about.

Tertulis di sana “It’s dim, but it’s light”


Apa maksudnya ini? Kembali gejolak pikiran memenuhi kepala Lyan. Rima memakai foto
kunang-kunang yang dipotretnya dari atas pundak Lyan.

Lalu Rima menulis kalimat itu; “It’s dim, but it’s light”. “Redup tetapi tetaplah cahaya”

Apakah dengan menulis itu Rima seolah ingin memberitahunya bahwa ia mencintai Lyan
meski cinta itu masih samar-samar saja?

Lyan terus saja menimbang-nimbang kemungkinannya sampai tanpa sadar ia tertidur.

“Azan subuh sudah lima belas menit lalu, Lyan. Bangunlah!” kata ibu Lyan mencoba
membangunkannya.

Bergegas ia ke kamar mandi. Tak berapa lama berselang, Lyan sudah terlihat berlari di
jalanan. Jogging sendirian.

Biasanya ia hanya berlari sampai ke perempatan Sudirman saja lalu berbalik arah pulang. Itu
sudah 2,5 kilo jauhnya.

Tapi pagi itu Lyan meneruskan larinya ke lapangan tepi kali. Berhenti di bawah pohon
tabebuya yang menguning. Ditengadahkannya wajahnya dan mengenang hangat kaki Rima di
lehernya.

Kembali jiwa lelakinya bergolak. Rima…. Jeritnya dalam hati. Ia menunduk dan melihat
rumput. Jika masih ada jejak kaki Rima. Tapi tidak. Jejak tadi malam sudah hilang diguyur
embun.

Ia berbalik dan kembali berlari menuju rumah. Beberapa menit lagi ia harus sudah berada di
sekolah.

Pagi itu, Lyan bersikap senatural mungkin. Ia telah memikirkan kemungkinan bila bertemu
Rima di lorong, toilet atau kantin sekolah. Ia berusaha agar air mukanya tidak berubah.

Ia telah semakin cinta dengan Rima. Tapi ia tidak ingin ada yang tahu.
Ia menyapukan pandangannya ke setiap sudut sekolah. Sewajar mungkin. Ia berharap bisa
menangkap Rima dengan sudut matanya. Tapi nihil. Kemana Rima?

Tak mungkin ia akan berseliweran di sekitar kelas Rima. Terlalu mencolok. Di tengah
pelajaran, ia sempat minta izin ke toilet. Berharap ketemu Rima di sana. Tapi tidak ada Rima.

“Lyan, bagaimana menurutmu? Apa nilai moral yang bisa kamu dapatkan dari cerita itu?”
tanya bu Diana, guru bahasa Indonesia.

Lyan tergagap. Bu Diana menugaskan siswa untuk membaca cerita pendek. Dan meminta
mereka untuk menentukan nilai-nilai kehidupan yang bisa ditarik dari cerita itu.

Bukannya membaca, Lyan malah melamunkan Rima. Tentu saja ia tidak bisa menjawab
pertanyaan gurunya.

“Ada apa denganmu Lyan. Soal seperti itu pun kau tak tahu jawabannya. Fitri, bagaimana
menurutmu.”

Lyan mendengus kesal. Ia sadar kini hidupnya dikuasai Rima. Ia tidak bisa fokus lagi ke
pelajaran.

Bel pulang berdering. Lunglai Lyan berjalan menuju tempat parkir. Dikayuhnya sepeda
perlahan. Sesekali berhenti agar tidak menabrak temannya yang berjalan kaki menyeberangi
halaman sekolah.

Di tengah-tengah halaman, tiba-tiba terdengar tawa Rima berlatar belakang deru motor Rio.
Ketika sepeda motor Rio dan sepeda Lyan sejajar, Rima menyapanya, “Hei, Yan. Duluan.”

Rio melirik sekilas kepadanya. Rima mengepalkan tangan kirinya ke arah Lyan sambil
tersenyum. Lalu ia kembali berbincang dengan Rio.

Nampak jelas tangan kanannya memeluk pinggang Rio.


Panas siang itu menambah panas hatinya. Dikayuhnya sepeda dengan enggan. Dan tiba-tiba
ia ingin sekali membentak seorang anak yang motor berisiknya mendahului sepedanya.

Ia ingin sekali memaki anak SD yang tiba-tiba menyeberang jalan hingga hampir saja
tertabrak sepedanya.

Benar-benar hari sial. Begitu pikir Lyan. Tapi masih tersisa akal sehat pada dirinya. Ia tidak
ingin membawa amarah itu pulang ke rumah bersamanya.

Maka ia tidak langsung pulang. Dibelokkannya sepeda menuju lapangan pinggir kali. Di
bawah pohon trembesi yang rindang, disandarkannya sepedanya.

Ia duduk bersandar pada pokok trembesi itu. Dipandanginya pohon tabebuya itu dari
kejauhan. Ia masih saja bersungut-sungut.

Direbahkannya dirinya di rerumputan. Dirasakannya dingin rumput menusuk-nusuk lehernya.


Semalam hangat kaki Rima membuatnya nyaman. Sekarang dingin rerumputan.

Tidak. Sedikitpun tidak membuatnya nyaman. Tapi kesalnya lambat laun reda. Ia bangun.
Memeriksa HP-nya. Foto profil Rima masih sama. Foto kunang-kunang. Masih juga Lyan
baca “It’s dim, but it’s light”

Lyan menarik nafas dalam-dalam. Dikeluarkannya buku sketsanya. Digambarnya pohon


tabebuya itu dengan pensil. Lalu disapunya dengan warna-warna cerah memakai cat air.

Belum juga selesai ia mewarnai gambarnya, segerombolan anak-anak usia SD berteriak-


teriak menuju lapangan. Sebuah bola plastik dibawa salah satu dari mereka.

Diletakkannya buku sketsa dan kuasnya. Ia mulai memperhatikan anak-anak itu bermain
bola. Seru juga.

Mereka girang bukan main. Menggiring bola, mengoper dan mencoba menembakkan bola ke
gawang lawan. Tiap kali bola meleset, selalu saja terdengar cemooh dari teman-teman yang
lain.
Tapi ketika bola itu bisa membobol gawang lawan, pembobol gawang itu akan bergaya bak
pemain profesional. Berlari kencang ke pinggir lapangan, melepas kaos dan menari sambil
berteriak-teriak.

Teman-temannya yang lain mengerubutinya sambil berteriak-teriak juga.

Bahagianya mereka. Pikir Lyan. Olok-olok tidak membuat mereka membenci temannya.
Mereka terus saja bermain dengan suka cita.

Mereka bermain untuk bergembira ria. Saling cela bahkan menjadi bagian dari keriangan
mereka.

Tiba-tiba, Lyan merasa yang menghimpit dadanya terangkat. Apa yang telah dilakukan Rima
padanya, seharusnya membuatnya bahagia.

Perkara Rima cinta padanya atau tidak, seharusnya tidak terlalu merisaukannya. Ia mencintai
Rima.

Rima mungkin tidak mencintainya. Tapi ketika Rima meminta Lyan untuk memanggulnya,
berarti Rima percaya padanya.

“Aku cinta padanya. Dan kalau ia membalas cintaku dengan percaya. Bukan dengan cinta.
Nampaknya itu sudah cukup.”

Ada kehangatan mampir di dada Lyan. Ia mengemas barang-barangnya dan mengayuh


sepedanya pulang.

Anda mungkin juga menyukai