Anda di halaman 1dari 6

Tata Laksana

Tujuan dari pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhna-
keluhan, mencegah komplikasi dan menceah rekurensi polip (Endang, 2016)
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Kortikosteroid dapat diberikan secara topical atau
sistemik. Pada polip tipe eosinofilik memberikan respon terhadap kortikosteroid lebih
bagus dibandingkan polip tipe neutrofilik (Endang, 2016).
Pada kasus polip yang tidak respond dengan terapi medikamentosa, dapat
dipertimbangkan dengan Tindakan bedah berupa ekstraksi polip (polipektomi)
mengginakan senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intranasal
untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maxilla. Yang terbaik ialah bila
tersedia fasilitas endoskop maka dilakukan Tindakan BSEF (Bedah Sinus Ekstrasi
Fungsional) (Endang, 2016).
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.
Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik.
yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-obatan
lain tidak memberikan dampak yang berarti.Selain itu, terapi medika mentosa juga
bertujuan untuk menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah
pembedahan dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan.
(Gulati,2015;Newton 2018)
a. Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal
adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi non- spesifik ini
secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala
lain secara cepat. Tetapi masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali
dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan
(Gulati,2015;Newton 2018).
b. Kortikosteroid topikal hidung atau nasal spray
Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid
intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan
sampai polip atau gejalanya hilang.Respon anti-inflamasi non-spesifiknya secara
teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah tumbuhnya polip kembali jika
digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid yang efektif dan relatif
aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek seperti fluticson,
mometason, budesonid dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid
intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien,
sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral.
(Gulati,2015;Newton 2018).
c. Kortikosteriod sistemik
Pengunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode
alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan
steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan
sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki
penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid sistemik juga
dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal dimana
pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal sehingga
pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan dari
kortikosteroid intranasal, maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Dosis
kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara
empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama seminggu
dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu. Menurut van Camp dan
Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk polip dapat diberikan
prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis, yaitu
60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari.
Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam
setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan
lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli
(Gulati,2015;Newton 2018).
d. Antibiotik
Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat
timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah
perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama
pembedahan. Pemililihan antibbiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya
bunuh dan hambat terhadap species staphylococcus dan golongan anaerob yang
merupakan mikroorganisme mikroorganisme tersering yang ditemukan pada
sinusitis kronik. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik.
Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang- kurangnya
selama 10-14 hari (Gulati,2015;Newton 2018).
Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat popular dan diadopsi dengan
cepat oleh para ahli bedah THT diseluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya,
muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya.
Karenanya para ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin
terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan
mengobatinya. Pamahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus akan
mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapatr
dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital/orbital, vaskular dan
sistemik. (Gulati,2015;Newton 2018).
a. Komplikasi intranasal
1. Sinekia
Masalah yang timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang
saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral
hidung. Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu 8% namun
hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan. Disfungsi
pemciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia
konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidakstabilan konka
media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus
dipertahankan. 7,8
2. Stenosis ostium sinus maksila
Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2%.
Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat
menghasilkan drainase fisiologik. Metode terbaik memeperlebar ostium
adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke
anterior, posterior dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan
timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan
(Gulati,2015;Newton 2018).
3. Kerusakan duktus lakrimalis
Komplikasi ini jarang karena duktus nasolakrimalis berada disepanjang
kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini
dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan
Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan
duktus nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis
atau epifora. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan
pelebaran ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan / inferior
(Gulati,2015;Newton 2018).

b. Komplikasi periorbital/orbital
1. Edema kelopak mata/ekinmosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis
dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma
pada lamina papirasea. Proyeksi medial lemina papirasea pada rongga hidung
dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah
trauma selama prosedur bedah dilakukan. Pada umumnya akan sembuh
sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan pengobatan khusus
(Gulati,2015;Newton 2018).
2. Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang
berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai
edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi dan
proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina
terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan defek pupil.
Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam
pandangan operator (Gulati,2015;Newton 2018).
3. Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah
dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat
pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman
mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.
Optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan (Gulati,2015;Newton
2018).
4. Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat
menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus
superior mata serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya
(Gulati,2015;Newton 2018).

c. Komplikasi intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
pemula. Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan
tembus di CT scan preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi
ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur beda merupakan
komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi komplikasi ini dilaporkan sebanyak
0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan
menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika
terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup
sendiri (Gulati,2015;Newton 2018).

d. Komplikasi sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus
adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome
(TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu tinggi dari 39,5 ⁰C,
deskuamasi dan hipotensi ortostatik. 7,8

Prognosis
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kematian dengan kejadian polip
nasi. Morbiditas berhubungan dengan perubahan kualitas hidup, obstruksi nasal,
anosmia, sinusitis kronik, sakit kepala, suara mengorok, dan post nasal drip. Pada
situasu tertentu, polip nasal dapat merubah tulang craniofacial karena polip yang
tidak diterapi atau gagal terapi dapat meluas ke intracranial dan intraorbital
(Endang,2016).
Pada poliposis rekuren pada umumnya diikuti terapi medikamentosa atau
terapi operasi jika terdapat multiple benign polip. Operasi dengan endoskopi mampu
meningkatkan quality of life dan indra penciuman pada rhinosinusitis kronik pada
pasien polip nasal pada Sebuah study pada 58 pasien dengan polip antrokoanal yang
diterapi dengan FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery)
Sebuah systematic review yang dilakukan oleh Galluzi et all (N= 285)
mendapatkan persentase rekurensi setiap metode operasi yang dilakukan untuk polip
antrokanal seperti
semua tipe operasi sekitar 15%
FESS 17,7%
Kombinasi 0%
Caldwell-Luc procedure 9,1%
Simple Polypectomy 50%

Daftar Pustaka
Endang, Mangunkusumo. 2016. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorokan “Polip
Hidung”. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
S. P. Gulati, Anshu, R. Wadhera & A. Deeo.2015. Efficacy of Functional Endoscopic
Sinus Surgery in the treatment of Ethmoidal polyps . The Internet Journal of
Otorhinolaryngology. Vol 7(1)
Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis.2018 Therapeutics and
Clinical Risk Management. Vol :4(2) 507–512

Anda mungkin juga menyukai