Anda di halaman 1dari 9

Di masa kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada awalnya

melalui pusat-pusat pengaji-an di mneunasah atau rumah-rumah, lalu berkembang


hingga berlangsung di 'rangkang' (semacam balai-balai -red). Pengajaran paling awal
dimulai dengan pengajian al-Qur'an dengan lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti
aturan-aturan ilmu tajwid.

Pada setiap kampung di Aceh terdapat satu rneunasah yang di sana diadakan pendidikan
dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum meunasah yang bersangkutan,
dibantu beberapa orang lainnya. Di rumah teungku imum pun diadakan pendidikan bagi
anak-anak perempuan dan yang menjadi gurunya adalah istri dari sang teungku imum.

Selain mengajarkan al-Qur'an, sebagian teungku imum juga mengajarkan kitab-kitab


Jawa (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk tingkat pemula diajarkan
seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem tanya jawab, yang dimulai dari masalah
tauhid, hukum yang terkait dengan masalah ibadah seperti salat dan puasa).

Selanjutnya diajarkan pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul
Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu'. Bagi yang sudaah pandai
membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem Jawo.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah, biasanya terdapat di dekat
masjid. Tetapi ada juga yang beada di dekat rumah teungku yang memiliki dayah itu
sendiri. Pelajarannya tentu sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai mempelajari
pelajaran sharaf; yakni tentang pembahasan kata dari satu kata menjadi kata sesuai
kaidah-kaidah yang sudah disusun rapi dan menghafalnya sekaligus. Pelajaran sharaf
umumnya berguna untuk mengetahui asal kata agar dapat menyempurnakan kamus.

Setelah itu baru dilanjutkan mempelajari nahu, yaitu tata bahasa Arab. Orang yang
sudah menguasai ilmu ini disebut malem nahu. Kitab yang dipakai untuk itu dimulai
dengan kitab Ajrumiyah, Mukhtasar, Muthmainnah, hingga akhirnya Alfiyah. Setelah
itu diajarkan fikih --- yakni pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat --- yang dimulai
dengan kitab Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin,
Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah. Baru setelah itu diajarkan
pelajaran tafsir al-Qur'an dan al-Hadits.

Lembaga pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kerajaan Islam di
Nusantara. Dayah-dayah tersebut tersebar di berbagai wilayah dan sangat memegang
peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara.

Sebelum Belanda masuk, Aceh merupaka daerah kerajaan. Kerajaan tersebut menganut


sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya
adalah pendidikan yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di
meunasah, rangkang, dan dayah.

Dayah-dayah yang tersebar di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak


keislaman yang kemudian berkembang.

Pada masa itu, Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan
tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam menyebarkan
Islam dengan banyak ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam
sampai ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan hingga seberang selat
Malaka. Dakwah yang mereka lakukan merangsang lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di
daerah. Sebut saja seumpama Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua,
Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya.

Berbagai kerajaan akhirnya melebur atau disatukan menjadi satu kerajaan besar pada
awal abad ke XVI dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang
bergelar Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan (raja) pertama.  Ia
memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.

Karena segala sumber hukum bagi Kerajaan Aceh Darussalam adalah al-Qur'an dan al-
Hadits, maka dengan sendirinya Islam menjadi dasar pendidikan di wilayah ini.  Jadi,
kalau Islam telah menjadi dasar pendidikan, maka pendidikan itu tentu saja bertujuan
untuk membina manusia-manusia yang menjalankan ajaran Islam. Qanun Meukuta Alam
(disebut juga Adat Meukuta Alam dan kadang-kadang disebut Adat Aceh) adalah
sebuah undang-undang dasar kera-jaan sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan
yang telah dibuat sebelumnya. Dalam Qanun Meukuta Alam ini diatur tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan negara secara garis besar, baik sistem dasar negara,
sistem pemerintahan, pemerintahan dalam negara, dan lembaga-lembaga negara.

Pada masa Ratu Safiatuddin menjadi sulthanah, Qanun Meukuta Alam disempurnakan
lagi. Dalam undang-undang tersebut di antaranya tertulis ulama dan raja tidak boleh
jauh atau tercerai, karena kalau ada jarak di antara mereka nis-caya binasalah
negara. Itu berarti raja dan ulama harus bersama-sama menjadi pimpinan.  Dengan kata
lain, hal ini dapat ditamsilkan pula bahwa dalam diri seorang penguasa harus ada
bersamanya unsur kekuasaan dan keilmuan.

Dalam Qanun Meukuta Alam edisi "revisi", dibuat juga persyaratan-persyaratan untuk
menjadi sultan. setidaknya ada 21 syarat, diantaranya adil mengajar hukum Allah dan
hukum rasul, serta memelihara seluruh perintah agama Islam. Terdapat pula 10 syarat
untuk menjadi wazir (menteri kerajaan). Syarat itu, misalnya, adalah "alim (paham)
pada ilmu dunia dan ilmu akhirat, dapat memegang amanah, tiada khianat".  Untuk
menjadi qadhi pun ditetapkan dalam qanun ini. Di antara syaratnya adalah "adil, alim
pada pekerjaan dunia dan akhirat dan mengetahui ia atas pekerjaan yang diberikan oleh
kerajaan kepadanya dan dapat ia lakukan dengan adil".

Kerajaan Aceh Darussalam sangat mementingkan ilmu pengetahuan bagi setiap orang,
terutama bagi pejabat-pejabat (sultan, menteri, qadhi). Itu sebabnya maka tidak akan
menjadi suatu hal yang aneh jika Kerajaan Aceh Darussalam kemudian melahirkan
ulama-ulama dan sarjana-sarjana bertaraf internasional Aceh menjadi terkenal terutama
pada masa Sultan Iskandar Muda. Banyak orang dari luar datang ke Aceh untuk belajar
di sini.

Ketika Malaka ditaklukkan Portugis, ulama-ulama dan muballigh Islam dari Malaka
pindah ke Aeeh, lalu bersama-sama dengan kalangan terdidik kerajaan menyiarkan
agama Islam dan mendidik calon ulama di dayah-dayah.

Pada masa itu, tingkat pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam terdiri atas:

- Meunasah atau madrasah yaitu sekolah asal yang terdapat di tiap-tiap gampong
(kampung). Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca
huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.
- Rangkang, yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama.  Di sana
diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab.  Buku-buku
pelajarannya terdiri dan bahasa Melayu dan bahasa Arab.

- Dayah, terdapat dalam tiap-tiap daerah, tetapi ada juga yang berpusat pada mesjid
bersamang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan mesjid dan menyediakan
sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan salat suhu
berjamaah. Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan penggunaan
kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata ajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat,
tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab.  Terdapat pula
dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan,
dan ilmu perniagaan (ekonomi).

- Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang disebut
juga Dayah Manyang. Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran
antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum
perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu
manthiq, tauhid, Filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.

- Jami'ah Baiturrahman. Jami'ah ini terletak di ibukota negara yang merupakan satu


kesatuan mesjid Jami' Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai bermacam-
macam "Daar" yang kira-kira kalau disetarakan dengan arsitektur.  Ada 17 “Daar” yang
di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar
al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-Kimya ( Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5)
Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal),
( 8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah
(Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al- -Wizaraah (Ilmu Pemerintahan),
(13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14) Daar
al-Ardhi (Pertambangan),

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam
Syah berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M), guru-guru besar jami'ah tersebut selain
terdiri dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki ,
Persia, dan India. catatan Berdasarkan yang dapat diperoleh, tak kurang dari 44 orang
guru yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu.

Demikian gambaran pendidikan di Aceh yang dilaksanakan oleh orang-orang


terdahulu. Dalam hal ini, ulama dan sultan memegang peranan penting untuk
memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk dayah.  Guru-guru
besar dari luar tingkat pendidikan pun mencapai kemajuan bahkan berhasil melahirkan
cendekiawan-cendekiawan yang diperhitungkan dunia luar.

Era Belanda

Belanda menyatakan perang kepada kerajaan Aceh pada hari Rabu tanggal 26 Maret
1873. Belanda yang mengusai Aceh sejak dekade kedua abad ke-20 tersebut tidak
melanjutkan sistem pendidikan dayah di Aceh. Kepada masyarakat pribumi, mereka
menerapkan pendidikan sistem sekolah seperti yang telah dilakukan di daerah-daerah
sebelumnya.
Belanda mulai mengembangkan sekolah di Indonesia pada pertengahan abad ke-
19. Untuk pertama kalinya mereka mendirikan sekolah dasar tiga tahun pada tahun 1849
dan sekolah guru pada tahun 1892. Pada tahun 1854 Belanda menyediakan pendidikan
bagi anak-anak pribumi. Lalu pada tahun 1867 didirikanlah Departemen
Pendidikan. Maka sejak itu, jumlah sekolah dasar untuk anak-anak Indonesia bertambah
dengan cepat.

Pada tahun 1892 jumlah anak-anak Indonesia pada sekolah tersebut sudah mencapai
tujuh ribu orang. Lalu, Belanda memperkenalkan dua macam sekolah lagi; yakni
sekolah kelas I (eerste klasse) untuk anak-anak golongan aristokrat dan orang kaya, dan
sekolah kelas II (tweede klasse) untuk anak-anak orang biasa. Pada tahun 1907 Belanda
mendirikan sekolah desa yang diberi nama volkschool.

Pendidikan model Barat pertama sekali diterapkan Belanda di Tapanuli dan Singkil.

Setelah kekuasaannya diperbesar dan kekuatan pun bertambah, sekolah-sekolah Belanda


pun mulai dibangun di Aceh. Pada tingkat dasar meliputi volk-school (sekolah desa),
Inlandsche vervolgschool (sekolah bumiputera lanjutan), Meisjesschool (sekolah
puteri), vervolgschool-met Nederlandsche school (sekolah dasar Belanda untuk
bumiputera), Europeesche lagere school (sekolah dasar untuk anak-anak Eropa ),
Hollandsche Chinese school (sekolah Belanda untuk Cina), dan jenis lainnya.  tingkat
menengah Belanda sekolah MULO di Kutaraja (Banda Aceh sekarang --- red) yang
merupa-kan satu-satunya sekolah menengah pada waktu itu.

Dengan peristiwa perang Aceh-Belanda pada masa ini, dapat dibayangkan gambaran
pendidikan di Aceh pada tahun-tahun tersebut. Sebelum Sultan Muhammad Daud
menyerah pada tahun 1903, kaum ulama, ulee balang, dan rakyat berjuang, bergerilya di
daerah-daerah pedalaman dan menguasai daerah tersebut pada waktu malam
hari. Sedangkan Belanda menguasai bagian pesisir dan tempat-tempat tertentu yang kuat
bentengnya serta daerah-daerah kekuasaan uleebalang yang sudah ada kontrak
"verklaring" (perjanjian pendek dengan Belanda).

Pengaruh dan kekuasaan Belanda semakin meluas, baik dalam pemerintahan,


pendidikan, dan lainnya. Kebanyakan kaum ulama yang sebelum perang memimpin
pendidikan rakyat dengan mengadakan da-yah dan ceramah-ceramah keagamaan, kini
terjun langsung ke medan jihad. Ada juga yang terus melaksanakan pendidikan di
samping memimpin perjuangan dengan senjata seperti Teungku Chik di Tiro Dayah Cut
(Teungku Chik Muhammad Amin) di Aceh Pidie, paman dan Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman.

Ada yang menjadi tempat bertanya para pejuang tidak berhubungan dengan Belanda dan
tetap membuka dayah tidak pada tempatnya, jauh di pedalaman seperti Teungku Chik
Tanoh Abeue (Teungku Chik Abdul Wahab) Tanoh Abeue, Aceh Besar. Kedua
kelompok ulama ini tetap mendidik dan mengajar banyak melahirkan ulama Aceh yang
belajar dalam hutan perjuangan. Di antaranya Teungku H. Muhammad Hasbullah
Indrapuri dan Teungku H. Abdullah Lam U yang sangat terkenal pada masa kebangkitan
dan pembangunan Aceh. Ulama tersebut bergelar "Teungku di Rimba". Berbeda dengan
daerah lain, kalau di "rimba'" itu gelar 'harimau', tapi kalau di Aceh benar-benar 'ulama'
yang me-mang alim di rimba.
Dengan berkuasanya Belanda di kota-kota dan sekitarnya, mereka pun membuka tempat
pendidikan berupa sekolahan. Para ulama sendiri memantau sistem pendidikannya
dengan dayah-dayah, di desa yang terpencil, jauh dari kota.

Pada garis besarnya corak pendidikan di Aceh, sejak datangnya pendidikan yang dibawa
Belanda, menjadi dua; yaitu corak pendidikan asli dari rakyat Aceh yang disebut dayah,
dan corak pendidikan baru yang dibawa Belanda dalam bentuk sekolah.

Kedua macam pendidikan itu sangat bertentangan satu sama lain dalam hal tujuan dan
prinsip. Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang sudah berjalan lama --- dayah ---
selain perjuangan pendidikan umat, kini bertambah lagi dengan tujuan baru yaitu
mempertahankan semangat juang rakyat agar tidak melumpuhkan sehingga mental dan
keyakinannya dapat dipengaruhi oleh Belanda.

Berbeda dengan itu, tujuan pendidikan yang dibawa oleh Belanda pada dasarnya adalah
alat untuk menundukkan rakyat Aceh dan mencerdaskannya untuk kepentingan
keamanan (keamanan) Belanda.

Dengan sebutan lain, pendidikan yang dibawa Belanda bertujuan menanam pengaruh
dan mencari simpati rakyat. Ini tampak jelas dengan cara-cara yang sangat menonjol
yang dilakukan Belanda, seperti berfokus pada pelajaran yang bertujuan untuk memuji
Belanda dengan lagu Wilhelmus.

Untuk memuluskan tujuan, Belanda guru-guru dari luar Aceh yang dianggap loyal
kepada Belanda. Pada masa ini, seorang guru telah dilihat cakap kalau sudah pandai
bernyanyi dan sedikit berhitung, lalu diberikan fasilitas yang lebih seperti dibebaskan
untuk segala bidang. Pemeriksa sekolah atau (school opziener) mendapat kehormatan
dari Belanda. Murid-murid selalu senang mendapat hadiah dan bebas dari segala
pungutan asal mau saja.

Untuk putra-putra ulee balang dan tokoh masyarakat diadakan didikan khusus yang
pendidiknya terdiri dari orang Belanda. Tujuannya tentu saja ingin membentuk watak
mereka agar benar-benar pro kepada Belanda. Tetapi, sebenarnya, tujuan ini kurang
berhasil. Di samping Belanda melakukan politik pendidikan yang demikian, rakyat
Aceh dan kaum pejuangnya dengan bimbingan para ulama, mengecam pendidikan
tersebut, sehingga timbullah slogan bahwa siapa yang menyerahkan anaknya ke sekolah
Belanda, ia akan menjadi kafir dan haram hukumnya.

Meskipun demikian Belanda dapat juga menyekolahkan beberapa anak ulama dan orang
terkemuka lainnya, seperti Teungku Bujang Krueng Geukueh di "Sekolah Raja"
(Kweekschool) di Bukittinggi, yang diangkat menjadi Zelfbestuurder Negeri Nizam
yang beribukota Krueng Geukueh. Karena tidak menurut kehendak Belanda, ia dibuang
ke Meulaboh, lalu ke Ulelheu. Tak juga mau patuh, ia kemudian dibuang lagi ke Digul.

Teungku Chik Thayeb Peureulak mendapatkan perlakuan yang sama, dibuang ke


Betawi, karena tidak patuh juga kepada Belanda sebelum ia disekolahkan. Begitu pula
yang dialami oleh Teuku Nyak Arif.

Begitulah Belanda menjalankan keinginannya, walupun tujuannya tidak seperti yang


diharapkan ada juga satu doa orang dan pemuka dan ulee balang yang
dimanfaatkannya. Tetapi meskipun secara lahiriah dipercaya oleh Belanda, namun
mereka dapat memanfaatkannya untuk kepentingan banyak orang.

Belanda memang menyadari bahwa dayah yang didirikan oleh para ulama bertujuan
antara menanamkan rasa benci terhadap mereka. Oleh karena itu pemerintah Belanda
berusaha untuk menggantinya dengan pendidikan barat (Belanda).

Dengan menolak semua pendidikan dan kebudayaan yang dibawa Belanda, para ulama
Aceh memugar kembali dayah yang lama terbengkala akibat perang yang terlalu
lama. Adapun mata pelajaran yang dipelajari hampir tidak berbeda dari satu dayah
dengan dayah yang lain. Semua mata pelajaran terdiri dari ilmu-ilmu agama saja seperti
bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis, tasawuf, tauhid, usul fikih, dan lain-lain.

Seperti disebut tadi, dalam pandangan Belanda, pendidikan di dayah bertujuan untuk
menanam rasa kebencian rakyat Aceh terhadap Belanda. Itu sebabnya Belanda mati-
matian berusaha agar pendidikan dayah diganti dengan pendi-dikan barat (Belanda).

Pada masa ini Snouk Hurgrounje hadir sebagai perhatian pemerintah Hindia Belanda
dan mengajukan opsi untuk menjalankan politik terkait dengan kaum pribumi; semacam
sikap politik untuk mempererat antara negeri jajahan dengan negara-negara yang
dipengaruhi oleh kebudayaan.

Tapi apa lacur, politik asosiasi ini tidak berhasil dijalankan terutama karena daya tarik
pendidikan dayah memang lebih besar terhadap rakyatnya dibandingkan dengan
pendidikan Belanda. Kebanyakan rakyat Aceh tidak memiliki kepercayaan sama sekali
terhadap Belanda, apalagi menurut anggapan bahwa Belanda adalah pemintahan kafir
yang ingin menghilangkan agama rakyat Aceh.

Jadi, inilah perbedaan yang tegas dan mencolok antara tujuan dayah pada masa
kesultanan dan pada masa kolonial Belanda. Tujuan dayah pada masa kesultanan adalah
untuk mempelajari, mengembangkan, serta mengamalkan ilmu dan akidah agama
Islam. Sedangkan tujuan dayah pada masa kolonial Belanda selain seperti itu di atas
juga untuk membuat kembali kepribadian, kekuatan, serta menciptakan untuk
mematahkan tekanan yang dipaksakan Belanda terhadap rakyat Aceh.

pendudukan jepang

Kebencian rakyat terhadapan Belanda telah sampai di ubun-ubun. Karena itu, ketika


Jepang memaklumkan perang terhadap sekutu, termasuk di antaranya Belanda, pada
tanggal 8 Desember 1942, rakyat Aceh dengan gembira menyambut maklumat tersebut
dengan harapan Belanda dapat segera mengangkat kaki.

Maka, sewaktu koloni kelima Jepang dengan nama Fujiwarakikan tiba di Aceh, para
ulama yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) menerimanya
secara rahasia. Tapi ketika rakyat mengetahuinya maka rakyatnya pun menerima dengan
gembira. Penerimaan kedatangan Jepang oleh para ulama dan rakyat tersebut tidak
diberitahukan kepada kaum ulee balang karena khawatir akan terjadi kebocoran dan
oleh Belanda karena masa itu sebagian ulee balang memiliki hubungan yang karib
dengan Belanda.
Di Aceh Besar, ulee balang seperti Panglima Polem Muhammad Ali yang tidak rapat
dengan Belanda, diberi tahu. Teungku Abdul Wahab Keunaloe Seulimum sebagai wakil
ketua II pengurus besar PUSA, berani mendatangkan kedatangan Jepang
kepadanya. Oleh karena memang para ulee balang di Aceh Besar sebelumnya
bersumpah untuk memberontak terhadap Belanda, jadi mereka berpendapat bahwa
inilah saat yang tepat untuk berjuang bersama dengan para ulama.  Usaha ini
berhasil. Belanda meninggalkan Aceh Besar membawa diri menuju Takengon. Ketika
Jepang memasuki Kutaraja pada tanggal 12 Maret 1942, batang hidung Belanda sudah
tak ditemui la-gi di Aceh Besar.

Saat baru beberapa hari Jepang menduduki Kutaraja, dibentuklah suatu komite untuk
membentuk pemerintahan baru. Orang-orang yang aktif dalam gerakan "F"
(Fujiwarakikan) dilibatkan dalam pemerintahan. Seperti T Nyak Arief diangkat menjadi
guntyo (wedana) Kutaraja, TMA Panglima Polem menjadi guntyo Seulimum, dan Haji
Abu Bakar Ibrahim Bireuen menjadi guntyo Bireuen. Ulee balang-ulee balang lainnya
menjadi sontyo (camat). Nantinya, pada giliran-nya jabatan-jabatan itu ditentukan oleh
orang lain seiring dengan pergantian pergantian daerah Aceh (tyokan Aceh syu).

Walaupun pada masa ini rakyat, ulama, dan komponen masyarakat dapat berbaur
dengan Jepang, seperti dengan memasuki tentara (gyu gun), polisi (takubetsu), namun
para ulama tetap tidak menolerir kekejaman tentara Jepang dan untuk itu mereka
mengadakan pemberontakan. Pertama kali pada tahun 1944 di Bayu, di bawah pimpinan
se-orang ulama pemimpin dayah bernama Teungku Abdul Jalil yang berhasil
melumpuhkan satu kompi tent‡ra Jepang. Kedua kali terjadi di Pandrah, Kecamatan
Jeunieb.

Kemerdekaan

Pada masa revolusi fisik (1945-1949), pusat-pusat pendidikan dayah di Aceh banyak
yang memiliki pondok (asrama). Pondok ini merupakan tempat tinggal bagi para murib
yang belajar di dayah tersebut. Biasanya pondok-pondok yang terbuat dari papan kayu
atau bambu.

Lembaga pendidikan dayah pada umunmya bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat


usia murid atau santri. Ketika masih kecil, seorang anak biasanya belajar di meunasah-
rneunasah atau rangkang. Setelah berumur tujuh atau delapan tahun, mulai belajar
membaca alfabet Arab dan secara bertahap membaca al-Qur'an. Program pengajaran
dianggap selesai setelah si anak dapat membaca sendiri al-Qur'an dengan lancar dan
benar. Bagi beberapa anak dan keluarga tertentu, dapat melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi.

Pelajaran berikutnya adalah mendidik anak agar dapat membaca dan menerjemahkan
buku-buku Islam klasik yang elementer yang ditulis dalam bahasa Arab.

Sebagian dari mereka memiliki cita-cita menjadi ulama, setelah berkenalan dengan
unsur kitab-kitab, memperdalam bahasa Arab sebagai alat untuk dapat mendalami buku-
buku tentang fikih (hukum Islam), usul fikih (pengetahuan tentang sumber-sumber dan
sistem yurisprudensi Islam). ), hadis adab (sastra Arab), tafsir tauhid (teologi Islam),
tarikh (sejarah Islam), tasawuf dan akhlak (etika Islam).
Posisi dominan yang dipegang oleh lembaga pendidikan dayah ini disebabkan oleh
suksesnya lembaga tersebut sejumlah besar ulama berkualitas tinggi yang dijiwai oleh
semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan arah orang-orang Islam, terutama
di pedesaan di Aceh.

Sebagai pusat pendidikan Islam tingkat menengah, dayah juga mendidik guru-guru
agama, lembaga pengajian dan para khatib Jum'at. Keberhasilan pemimpin-pemimpin
dayah dalam jumlah sejumlah ulama yang berkualitas tinggi tidak terlepas dari metode
pendidikan yang dikembangkan oleh para teungku dayah.

Di dayah, tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk pikiran murid dengan penjelasan-
penjelas, tetapi juga untuk meningkatkan moral, melatih, dan bersemangat, menghargai
niai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap perilaku laku yang serta
bermoral, dan mempersiapkan para murid untuk bersih hati maupun hidup
sederhana. Setiap santri diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.

Tujuan pendidikanh adalah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan


keagungan duniawi, tetapi yang ditanamkan bahwa belajar semata-mata kewajiban dan
pengabdian kepada Tuhan.

Di antara cita-cita pendidikan dayah adalah latihan agar dapat berdiri sendiri dan
membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada
Tuhan. Para teungku dayah selalu memperhatikan dan mengembangkan watak
pendidikan individu. Murid dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
dirinya. Anak-anak yang cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan dibandingkan
dengan yang lain, diberi perhatian istimewa dan selalu menghargai untuk
mengembangkan diri. Santri-santri juga diperhatikan tingkah laku dan moralnya secara
teliti.

Kepandaian berpidato dan berdebat juga mendapat perhatian dari para guru.  Kepada
para murid juga ditanamkan untuk memiliki rasa bertanggung jawab yang tinggi karena
dan menyebarkan pengetahuan tentang Islam kepada orang lain, waktu dan tenaga untuk
belajar terus-menerus sepanjang waktu.

Menurut tradisi dayah, pengetahuan seseorang diukur dengan jumlah buku yang telah
dipelajari dan kepada teungku dayah mana ia telah berguru. Jumlah buku-buku standar
dalam tulisan Arab yang dikarang oleh ulama terkenal yang harus dibacakan oleh
lembaga-lembaga dayah.

Walaupun jumlah cabang pengetahuan yang sangat terbatas, tetapi bukan berarti
pendidikan di dayah membatasi cara berfikir dan perhatian terhadap santri.  Dalam
tradisi dayah juga dikenal adanya pemberian ijazah, tetapi ben-tuknya berbeda dengan
ijazah dalam sistem modern. Hubungan antara guru dan murid adalah sedemikian rupa,
sehingga dianjurkan-anjuran yang diberikan sang guru lazimnya dianggap oleh murid
sebagai perintah yang mutlak harus dikerjakan.

Dengan bergulirnya waktu dan eksisnya lembaga dayah dalam pranata sosial masyarakat
Aceh, akhirnya dayah terpola menjadi lembaga tradisional yang merupakan ciri khas
pendidikan Islam di Aceh. Pola pendidikan ini mengendap men-jadi konsepsi dan
kemudian sebagai watak sosial dari masyarakat atau tempat kedudukan dayah itu
sendiri. Misalnya: sistem pendidikan yang masih mengutamakan kitab-kitab kuning atau
gundul, juga adanya pemisahan antara murid perempuan dan murid laki-laki.

Pendidikan Islam yang berkembang di dayah-dayah di Aceh pada masa revolusi telah
berhasil mencetak kader-kader ulama, pendidik, dan pemimpin-pemimpin yang mampu
menggerakkan rakyatnya untuk berjuang bersama-sama mempertahankan kemerdekaan
dari agresi militer Belanda.

Dalam tahun empat puluhan, para ulama Aceh terbagi dalam dua kelompok yaitu ulama
Ahlussunnah wal jama'ah kaum tua dan ulama Ahlussunnah wal jama'ah kaum muda.
Dalam dasar-dasar akidah tidak ada, hanya berbeda pen-dapat dalam masalah-masalah
furu 'iyah. Di luar ketentuan yang asli ini, kadang-kadang terjadi perbedaan tajam antara
ulama kaum muda dan ulama kaum tua dalam menghadapi masalah keduniaan, politik,
ekonomi dan sosial budaya," ungkap A. Hasjmy, suatu ketika.

Penuturan A. Hasjmy dengan jelas menggambarkan bahwa dayah-dayah yang berada di


Aceh kebanyakan menganut faham Ahlussunnah wal jama'ah yang banyak dianut oleh
golongan tua. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya dayah Darussalam
Labuhan Haji Aceh Selatan, Darul Ihsan Aceh Selatan, Dayah Tgk Fakinah dan Dayah
Tanoh Abee di Aceh Besar. Namun dalam perkembangan selanjutnya, sistem
pendidikan dayah secara bertahap walaupun lambat, mengalami perubahan.

Di sisi lain, walaupun pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan, namun masih


tertinggal dari sistem pendidikan yang berkembang di negara Barat.  Pendidikan di
Indonesia dianggap masih belum mampu menjawab problema yang ada karena masih
terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Karena itu, keberadaan dayah
dapat menjadi pilihan untuk mengembangkan SDM yang tangguh menghadapi masa
depan. []

Anda mungkin juga menyukai