Anda di halaman 1dari 58

Ulama Aceh sudah lahir dan muncul sejak Islam masuk ke Aceh pada abad pertama

hijriah. Ulama telah memainkan peranan utama dan penting ketika Kerajaan Islam
Pereulak, Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam yang
melahirkan ulama besar, terkenal dan masyhur yang mendirikan pendidikan dayah,
melahirkan karya agung yang tersebar ke seluruh Nusantara. Ulama Aceh yang
terkenal sejak dari dulu sampai kini yang dalam buku ini disusun menurut tahun
lahir atau wafanya, antaranya para ulama besar itu adalah:

1. Muhammad Amin, Teungku (Sultan Peureulak 922-946 M).

Teungku Muhammad Amin, seorang ulama yang terawal yang mengasaskan


pendidikan Islam yang disebut dengan dayah di Aceh yang di mulai pada masa kerajaan
Islam Peureulak, kemudian beliau menjadi Sultan Peureulak pada tahun 922-946 M.
Menurut sejarah, Dayah yang pertama sekali berdiri di Aceh adalah dayah Cot Kala
yang diasaskan oleh sheikh Muhammad Amin pada abad ke-10 masehi, pada masa
kerjaan Islam Peureulak sebagai pusat pendidikan Islam ia lah Dayah Cot kala kira-kira
dekat Bayeun Aceh Tmur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pengeran Teungku Chiik
Muhammad Amin pada akhir abad ke tiga hijriah ( awal abad ke X Masehi inilah pusat
pendidikan pertama.1
Dayah pertama didirikan sejak Islam masuk ke Aceh pada abad pertama hijriah,
kemudian baru berkembang dayah-dayah yang lain. Teungku Muhammad Amin
seorang ulama besar yang punya gagasan untuk membangun Kerajaan Islam Peureulak,
terutama pada mulanya punya inisiatif paling utama yaitu mengambangkan ilmu
pengetahuan dengan mendirikan perguruan tinggi “Dayah Cot Kala” di daerah Bayeun
Aceh Timur sekarang, sehingga beliau terkenal dengan Teungku Chik di Cot Kala.
Kemudian beliau membangun kerajaan Islam Peureulak dalam bidang politik dan
kekuasaan dengan diangkat beliau menjadi Sultan Peureulak dengan gelar Sultan
Makdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H/ 922-946
M). 2
Teungku Chik di Cot Kala sebagai ulama besar yang membangun Dayah Cot
Kala sebagai pendidikan Islam tertua di Aceh. Dayah Cot Kala sudah berdiri sejak abad
ketiga hijriah, sekitar tahun 800 M, menjadi pendidikan Islam pertama di Asia

1
Drs. Ismuha, Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perobahan
Sosial, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 29.
2
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, cet, 1, Jakarta, Beuna, 1983, hlm. 226.
1
Tenggara. Tenaga Pengajar didatangkan dari Arab, Parsi dan India. 3
Dayah Cot Kala
didirikan pada masa kerajaan Islam Peureulak adalah pusat pendidikan Islam pertama di
rantau Asia ini yang ternyata telah mencetak baribu-ribu rijalud Dakwah yang berhasil
menyebarkan Dakwah Islamiyah keseluruh kepulauan Nusantara. 4
Pengembangan
Islam dari Dayah Cot Kala telah melahirkan ulama besar yang kemudian mendirikan
dayah di berbagai daerah di Aceh.
Kemudian dari pendidikan dayah Tgk. Muhammad Amin berkembang dan
diikuti oleh Dayah Seureulu, Dayah Blang Peuria, Dayah Lam Peuneuen , Dayah
Simpang Kanan, Dayah Kuta Karang, Dayah Lambirah, Dayah Tanoh Abee:, dan lain-
lain. 5 Menurut A. Hasjmy, juga menyebutkan Dayah Cot Kala, Dayah yang pertama di
Aceh pendirinya Teungku Chik Muhammad Amin yang terkenal dengan Teungku Cot
Kala, yang kemudian beliau menjadi raja Peureulak.
Sejarah dayah pertama yang diyakini hingga sekarang adalah Dayah Cot Kala di
Aceh bagian timur dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Asia
Tenggara. Dayah Cot Kala didirikan pada awal perkembangan Islam di Nusantara.
Perkembangan Islam dan ilmu pengetahuan bertambah pesat kerana semua orang boleh
belajar agama di institusi Dayah Cot Kala dan budaya Islam berkembang bersama
pendidikan dayah.
Dayah merupakan institusi pendidikan Islam terawal yang tumbuh di Aceh. Di
masa kerajaan-kerajaan Islam tidak ada institusi pendidikan lain di Aceh selain dayah.
Semua petinggi kerajaan ketika itu adalah hasil didikan dayah, mulai dari petani,
pedagang, angkatan perang sampai raja sendiri hasil dari didikan dayah. 6
Dayah telah
memainkan peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat Islam di Aceh
sejak dari dulu lagi sehingga menjadi budaya belajar di dayah masa itu.
Tengku Muhammad Amin, sebagai ulama yang berprestasi, disanjung tinggi dan
punya inisiatif untuk mendirikan dayah untuk mengembangkan dan penyebarkan ilmu
Islam dengan melahirkan ulama dan pendakwah dari institusi pendidikan Islam. Ia
ulama yang unggul dan dikagumi karena mampu menjadi umara sebagai sultan yang
memerintah dan membangun kerajaan Peureulak berasaskan ajaran Islam. Teungku

3
Isportal, acehprov.go.id, Sejarah dan Perkembangan Dayah.
4
Prof. A. Hasjmy, Dari Darulharb ke Darussalam, Sinar Darussalam, No. 120\121, September\ Oktober
1981, Y.P.D, Unsyiah-IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, hlm. 364.
5
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara: Sejarah dan Perkembangannya
Hingga abad ke-19, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1990, hlm. 62.
6
Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peranan dan Responnya Terhadap Pembaruan Hukum Islam” dalam
Dody & Ismatu Ropi, et.al (eds.) Pranata Islam di Indonesia Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan
Pendidikan, cet.1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2002, hlm. 121.
2
Chik Muhmmad Amin yang tidak diketahui kapan lahir dan bila meninggal tetapi
namanya terukir dan terpahat dalam lipatan sejarah sebagai ulama pencertus pendidikan
Islam tertua di Aceh yaitu dayah pada abad ke- 9 Masehi, yang kemudian melahirkan
banyak pendakwah dan ulama yang menumbuhkan dayah baru di Aceh.

2. Sirajuddin, Teungku Chik Seuruleue (Hidup dalam tahun 1012-1059 M).

Teungku Chik Seureuleue bernama Sirajuddin seorang ulama besar yang hidup
pada masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah memerintah kerajaan Peureulak (1012-1059
M). Setelah menjadi ulama besar beliau mendapat gelar Syeikh Sirajuddin dengan nama
yang lebih terkenal Teungku Chik Seureuleue. Beliau ditunjukkan oleh sultan untuk
mengepalai suatu rombongan juru dakwah dan dikirim ke Lingga Aceh Tengah untuk
menyiarkan Islam dan membangun kerajaan Islam di sana.

3. Abdullah Lampeuneu’eun, Teungku Chik, (1012-1059 M).

Teungku Chik Abdullah lahir sekitar tahun 1012-1059 M, Ayahnya berasal dari
Kan’an Palestina. Orang tuanya datang ke Peureulak bersama ulama-ulama dari Arab
untuk menjadi juru dakwah dan menjadi guru pada pendidikan tinggi Dayah Cot Kala.
Beliau menerima pendidikan agama dari orang tuanya sejak kecil, sewaktu membesar
belajar di Dayah Cot Kala dan setelah menamatkan pelajaranya namanya menjadi
Syeikh Abdullah Kan’an. 7
Syeikh Abdullah Kan’an pindah ke Lamori Aceh Besar bersama 300 orang
lelaki dan perempuan untuk mencari daerah baru bagi menyebarkan Islam. Syeikh
Abdullah Kan’an menjadi pendakwah dan pembawa Islam pertama ke Aceh Besar
sehingga membentuk kerajaan Islam Lamori. Setelah meninggal namanya terkenal
dengan lakap Teungku Chik Lampeune’euen.

4. Syarif Hidayatullah atau Fatahillah, Teungku (1448-1570 M)

Fatahillah ulama Pasai yang terkenal dan popular sebagai pencetus dan pendiri
kota Jakarta di pulau Jawa. Ia dilahirkan di Pasai Aceh Utara di tengah kejayaan
kerajaan Islam Samudera Pasai. Ia lahir tahun 1448, anak dari Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palastina. Ia terusir dari
tanah kelahirnannya akibat Pasai jatuh ke tangang Portugis. Fatahillah dikenal juga

7
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit, 228.
3
Falatihan atau Syarif Hidayatullah, di dalam istana Denmak ia di panggil Tubagus Pasai
atau disebut juga Fadhlullah Khan. Ia seorang pemuda yang berasal dari Pasai,
melarikan diri saat Pasai direbut Portugis. Ia pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu
agama pada usia 31 tahun, belajar di Mekkah selama 3 tahun, sepulang dari Mekkah
telah menjadi ulama. 8
Pada waktu kembali ia berlayar ke tanah Jawa. Ketika ia datang ke Denmak,
sultan sedang berperang dengan Pajajaran yang dibantu Porgugis. Fatahillah mengusir
Portugis dengan membantu Denmak. Pada tahun 1527 Fatahillah bertempur mengusir
Portugis dari Bandar Sunda Kelapa dan menang maka Sunda kelapa berada di bawah
kekuasaan Fatahillah yang kemudian diganti menjadi Jayakarta seterusnya menjadi
Jakarta. 9 Fatahillah sebagai ulama pejuang yang mampu menaklukkan beberapa daerah
di Jawa. Setelah meningal dunia ia dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Fatahillah
seorang tokoh yang mempunyai banyak nama, ia disebut Falatehan Khan, Ratu Bagus
Pasai, Ratu Sunda Kelapa, dan sebagainya. 10
Namanya yang masyhur, terkenal dan
tercatat dalam lipatan sejarah, maka untuk mengenang jasanya kemudian namanya
diabadikan menjadi IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta.

5. Abdurrahim Awe Geutah, Teungku Chik (Hidup Masa Ali Mughayat Syah
Memerintah 1513-1520 M). nab h. 223

6. Hamzah Fansuri, Syeikh (Terkenal 1589-1607 M)

Hamzah seorang syiekh, ulama sufi, bapak bahasa dan sastera Melayu. Ia
adalah pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII dan penyair sufi yang tiada taranya
dan tandingan pada masanya itu. Tahun kelahiran Hamzah Fansuri tidak diketahui
dengan pasti, dari akhir namanya beliau berasal dari Fansur Singkel. 11
Syeikh
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah IV Saidil
Mukamil (1589-1604 M), pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V
(1604-1607) dan sampai permulaan pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Belum diketahui dengan tempat dan tanggal lahir ulama dan pujangga besar Syeikh
Hamzah Fansuri ini. Beliau berasal dari kampung Fansur dekat dengan Singkil Aceh.

8
M.A. Hidayat, Fatahillah, Ulama dan Panglima Perang Yang Berasal Dari Aceh, Santunan, No. 122,
Januari, 1987, Kantor Wilayah Departeman Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, hlm. 5.
9
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk, Ensiklopedi Ulama Besar Aceh, Volume, 1, Lembaga
Kesejahteraan Aceh Semata (LKAS), cet, Pertama, 2010, h. 281.
10
M.A. Hidayat, Op. Cit., hlm. 13.
11
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk, Op. Cit., hlm. 297.
4
Namanya Hamzah Fansuri, dibangsakan kepada kampung Fansur, jelas dia berasal dari
negeri Fansur. 12
Syeikh Hamzah Fansuri pernah belajar di India, Parsi dan Arab. Beliau fasih
berbahasa Melayu, Jawa, Urdu, Parsi dan Arab. Beliau menguasai ilmu fiqh, tasawuf,
mantik, sejarah, sastera, filsafat dan lain-lain. Beliau mengajar ilmunya pada beberapa
tampat di Aceh. Pada zamannya tidak ada yang mampu menandingi Hamzah Fansuri
dalam bidang kesustraan. Karyanya berpengaruh besar dalam gaya maupun tema
terhadap sastra Melayu berikutnya maka Hamzah Fansuri mendapat gelar sebagai
Bapak Bahasa dan Sastera Melayu. 13
Pada penghujung hayatnya beliau mendirikan
dayah ditempat lahirnya di suatu kampung dekat Runding Singkil dan di sanalah beliau
berkubur. Beliau menganut faham Wihdatul Wujud dan menjadi pengikut tharikat
Qadariah. Beliau sangat terpengaruh dengan ajaran filsafat Syeikh Abdul Kadir Jailani,
Al-Halladj, Al- Junaidi, Jalaluddin Rumi, Abdul Karim Jili dan Al-Ghazali. 14
Murid dan pengikut beliau yang terkenal dan besar yaitu Syeikh Syamsuddin As
Sumatrani dan musuh fahaman beliau adalah Nuruddin Ar-Raniry dan Syeikh
Abdurrauf Syiah Kuala. Karya Syeikh Hamzah Fansuri banyak sekali dalam bahasa
Aceh, Melayu, Persia dan Arab. Antara Karyanya yang diketahui adalah: 1. Syarabul
Asyiqin, Zinatul Muwahidin, yang membicarakan masalah tharikat, syariat, hakikat dan
ma’rifat. 2. Asrarul Arifin Fibayani Ilmis Suluk Wat Tauhid, yang membahas ilmu
suluk dan tauhid. 3. Al-Muntahi, yang membahas masalah-masalah Wihdatul Wujud. 4.
Rubai Fansuri, Puisi. 15
Syeikh Hamzah Fansuri sekampung dengan Syeikh Abdurrauf sebagai ulama
besar yang sangat terkenal pada masanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
Islam di daerah Aceh yang disanjung tinggi dan dikagumi di Nusantara.

7. Abdurrauf Syiah Kuala, Syeikh, (1591-1696 M).

Abdurrauf ulama Aceh yang paling terkenal dengan sebutan Syeikh Abdurrauf
As-Singkili setelah meninggal dunia di kenal dengan Teungku Syiah Kuala kerena
makamnya terdapat di Kuala Krueng Aceh. As-Singkili dinisbahkan kepada
kampungnya. Ia pertama belajar pada ayahnya Syeikh Ali al-Fansuri pendiri Dayah

12
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit, hlm. 195.
13
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk, Op. Cit., h. 301.
14
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit., h. 196.
15
Ibid., h. 196-197.
5
Suro Lipat Kajang di Simpang Kanan Aceh Singkil, kemudian belajar ke Pasai dan
belajar di Dayah Blang Peria. 16
Syeikh Abdurrauf seorang ulama besar dan terkenal
yang hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam, dilahirkan di Singkil Aceh Selatan
pada tahun 1591 M. Syeikh Abdurrauf, nama lengkapnya ialah Abdurrauf bin Ali al-
Jawi al-Fansuri al-Singkily. Beliau meninggal dunia sekitar tahun 1696 M. di
kebumikan di Kuala Kreung Aceh di Kampung Meunasah Dayah Kuala Aceh
Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh dalam usia 105 tahun sehingga beliau dikenal
dengan gelar Teungku Syiah Kuala. Pada tahun 1642 M beliau meninggalkan Kerajaan
Aceh menuju Tanah Arab untuk mencari dan mendalami limu, lebih kurang 19 tahun
lamanya untuk belajar berbagai ilmu mulai dari Yaman sampai ke Madinah terutama
ilmu tarikat dari para sufi kenamaan. 17
Di Kota Madinah, Syeikh Abdurrauf menimba ilmu tarikat pada sufi terkenal
Syeikh Burhanuddin Mula Ibrahim, ia memperoleh ijazah tanda kelulusan dalam ilmu
tarikat Syattariyah sebagai kelayakan untuk menjadi khalifah dalam tarikat ini di
kawasan Kerajaan Aceh Darussalam. Setibanya di Banda Aceh, Sultanah Safiatuddin
memintanya menulis kitab dalam hukum Islam. Untuk memenuhi permintaan tersebut,
Syiekh Abdurrauf menulis kitab Mir’ah al Thullab yang membahas tentang kedudukan
dan syarat-syarat seseorang menjadi kadhi, nikah, talak, rujuk dan hukum warisan. 18

Selain Mir’ah al Thullab terdapat terjemah al-Qur’an al Mustafid merupakan naskah


tafsir pertama tafsir al-Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu, Terjemahan Hadis
Arba’in karya imam Nawawi, Mawa’iz al- Badi, berisi sejumlah nasehat penting dalam
pembinaan akhlak, Tanbih al Masyi, kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat
penjelasan tentang mertabat tujuh. Kifayat al Muhtajin ila Masyrah al-Muwahidin al-
Qailani bi Wahdatil Wujud, memuat penjelasan tentang wahadatul wujud. Daqaiq al-
Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi. 19
Aktivitasnya mulai dari Arab, Syeikh Abdurrauf melengkapi dirinya dengan apa
yang disebut ilmu zahir dan ilmu bathin. Ia kembali ke Aceh pada masa Sultanah
Safiatuddin Syah (1641-1675 M) menggantikan Sultan Iskandar Thani. Di Aceh ia
mengembangkan ilmu keIslaman, membawa dan mengajar tarikat Syatariah di
16
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk, Op. Cit., hlm. 115.
17
Dr. Ahmad Daudy MA, Peranan Ulama Aceh Dalam Pengenalan dan Penyebaran Hukum Islam di
Nusantara, abad ke-XV1 dan XV11 Masehi, Sinar Darussalam, No.217 Mei 1996, Banda Aceh, Y.P.D.S,
Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, MUI, LAKA, MPD, h. 81.
18
Dr. Ahmad Daudy MA, Kalimah Tauhid Dalam Ajaran Syiekh Abdul Rauf dan Syiekh Nuruddin Ar-
Raniry, Sinar Darussalam, No. 215, Januari\Pebruari, 1996, Banda Aceh, Y.P.D.S. Universitas Syiah
Kuala, IAIN Ar-Raniry, MUI, LAKA, MPD, hlm. 21.
19
Media Islam Aceh, 31 Oktober 2015, Kisah Para Ulama Aceh Kharismatik, mediaislam-aceh.com\
kisah-para-ulama-aceh-kharismatik\.
6
Nusantara. 20
Syeikh Abdurrauf seorang ulama besar dan orang pertama yang telah
dapat menterjemahkan Al-Quran dalam bahasa Melayu pada abad ke 16 M dan beliau
menulis kitab ilmu figh dalam bahasa Melayu. Beliau ulama yang membawa
pembaharuan pemikiran diluar kebiasaan dalam Islam menurut Mazhab Imam Syafi’i,
beliau membolehkan wanita menjadi kepala negara dan wanita boleh menjadi hakim.
Beliau memegang jabatan Mufti pada masa Sultanah Safiatuddin Syah menjadi ratu
sebagai pemimpin negara.
Dalam kitabnya Mir’at al-Thullab, menurut Syahrizal, Syeikh Abdurrauf tidak
mencancumkan laki-laki sebagai syarat untuk menjadi Hakim. Padahal syarat seorang
hakim, Abdurrauf mengutip kitab Fath al- Wahab yang menetapkan ketentuan laki-laki
sebagai salah satu syarat jadi hakim, beliau tidak menulis syarat laki-laki. Abdurrauf
mengemukkan pendapat wanita boleh jadi hakim dan kepala negara sebagai suatu
pembaruan yang modern dalam hukum Islam pada masa itu. Menurut analisa Syahrizal,
tindakan Abdurrauf, menimbulkan dua penafsiran yaitu: tindakannya ditafsirkan hanya
untuk memuaskan penguasa yang ketika itu adalah wanita. Pendapat dan tindakannya
barang kali menjadi fakta bahwa Abdurrauf menghargai wanita lebih tinggi dari
umumnya kitab figh yang bermazhab Syafi’i sehingga mengizinkan wanita menjadi
seorang hakim. 21
Syiekh Abdurrauf sebagai ulama besar yang berani dan berpikiran progresif
yang menyokong wanita menjadi sultanah memerintah negara. Beliau telah diangkat
menjadi Mufti di Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16 M di bawah empat orang
sultanah yang memimpin kerajaan Aceh selama 59 tahun dan beliau mendapat
kedudukan yang kukuh dan tidak dapat digugat dalam kerajaan Aceh. Syeikh Abdurrauf
sebagai ulama besar, ulama penganut tarikat Syattariyah yang terkenal dan mufti yang
sangat berwibawa telah banyak berjasa pada masanya. Syeikh Abdurrauf yang terkenal
dengan nama Syiah Kuala dalam masyarakat Aceh, maka namanya telah diabadikan
menjadi nama Universitas Syiah di Banda Aceh sebagai univesitas yang bergengsi di
Aceh.

8. Syiekh Syamsuddin Sumatrani (Wafat 1630 M).

20
Syahrizal, Syiekh Abdul Rauf Syiah Kuala dan Corak Pemikiran Hukum Islam (Kajian Tehadap Kitab
Mirat al Tullab Tentang Hakim Wanita, Sinar Darussalam, No. 221, November-Desember 1997, Banda
Aceh, Y.P.D.S, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, MUI, LAKA, MPD, hlm. 110.
21
Ibid., hlm. 111.
7
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani berasal dari Sumudera Pasai, dilahirkan pada
abad ke 16, tetapi tidak diketahui tanggal dan tahun lahirnya yang pasti, hanya diketahui
ia meninggal pada 1040 H/1630 H. Nama lengkapnya Syeikh Syamsuddin bin Abdullah
As Sumatrani. Gurunya yang utama adalah Syeikh Hamzah Fansuri dan pernah belajar
pada Pangeran Bonang di Jawa. Beliau mengusai ilmu fiqh, tasawuf, sejarah, mantik,
tauhid, filasafat, bahasa Arab, ilmu tata Negara dan politik. Beliau mendapat kedudukan
yang baik dalam kerajaan pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah IV dan pada masa
Iskandar Muda, beliau diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil, orang kedua dalam
kerajaan dan menjadi ketua Balai Gading yang beranggotakan 7 orang ulama dan 8
uleebalang. Beliau juga menjadi Syeikh Jamiah Baitur Rahman (Rektor Universitas
Baitur Rahman). 22
Kealiman dan kesalehannya diakui oleh semua pihak, termasuk musuh
pahamanya Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Beliau meninggal di Banda Aceh tahun 1630
M pada zaman Iskandar Muda dengan meninggalkan banyak jasa dan karya dalam
mengembangkan Aceh, memajukan ilmu pengetahuan dan politik. Syeikh Syamsuddin
meninggalkan banyak ilmu yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab yang berjumlah
16 buah kitab. Antara tulisannya adalah: 1. Maratul Mukmin (cermin orang mukmin). 2.
Jauhar Haqaaiq (permata kebenaran). 3. Nurul Daqaaiq (cahaya yang murni). 4. Miratul
Iman (cermin keimanan). 5. Syar’ul Arifin (jalan orang yang arif). 6. Kitabul Martabah
(kitab tentang mertabat manusia). 7. Risalatul Wahhab (risalah tentang maha pemberi).
8. Miratul Muhaqqiqin (cermin ahli pembukti). 9. Tanbihul’lah (peringatan Allah). 23

Dan lain-lian lagi yang tidak dapat disebutkan di sini.


Syeikh Syamsuddin merupakan ulama besar yang berkembang maju dan terlibat
dalam menerapkan hukum Islam dalam kerjaaan sebagai bukti kerja sama antara ulama
dan umara yang diterapkan pada zaman Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh
Darussalam. Namanya masih dikenang sejak dari dulu sampai kini melalui karya yang
ditinggalkannya.

9. Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh, (Wafat 1658 M).

22
Ibid., h. 197.
23
Ibid., h. 198.
8
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry berasal dari Ranir Gujarat India, tanggal dan tahun
kelahirannya tidak diketahui dan ia meninggal tahun 1068 H/ 1658 M, di kampung
asalnya di Ranir Gujarat India. Namanya Syeikh Nuruddin bin Muhammad Jailani bin
Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri juga seorang pengarang ulung yang memiliki
gaya penulisan yang menarik. 24
Beliau berketurunan Arab Hadramaut yang menetap
di Gujarat. Nuruddin berasal dari lingkungan alim ulama yang senantiasa mengadakan
hubungan dengan negeri Arab, demikian juga mengadakan hubungan dengan Aceh.
Nuruddin Ar-Raniry datang ke Aceh pada tahun 1637 dan pada tahun 1641 ia
menyaksikan pemasangan batu nisan pada makam Sultan Iskandar Thani. 25
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, sudah datang yang pertama ke Aceh sebelum tahun
1637 pada masa Iskandar Muda memerintah (1607-1636 M), tetapi kembali ke Pahang
Tanah Melayu karena suasana di Aceh masih diliputi mistik Wujudiah maka ajaran
Nuruddin tidak mendapat tempat untuk mengajar di Aceh. Beliau kembali lagi ke Aceh
dan mendapat kedudukan yang baik sekali dalam pemerintahan Iskandar Thani (1636-
1641 M) dan dalam pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641-1675 M) menjabat Qadli
Malikul Adil, Mufti Muadhdham dan Syeikh Jamiah Baitur Rahman. 26
Nuruddin Ar-Raniry seorang ulama besar yang menduduki jabatan tertinggi dan
memainkan peranan penting dalam kerajaan Aceh. Ia menjadi Mufti di zaman Sultan
Iskandar Thani dan pada masa pemerintahan permaisuri Seri Ratu Safiatuddin Syah,
kemudian digantikan oleh Syeikh Abdurrauf. Syeikh Nuruddin ketika bermukim di
Mekkah telah berhubungan rapat dengan Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala. Karenanya
kedua ulama besar itu kemudian dapat bekerja sama dengan sangat baik untuk
memajukan Syiar Islam dan ilmu pendidikan di Aceh. 27
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry merupakan ulama besar yang mengabdi untuk Islam
di Aceh selama 17 tahun dan meninggalkan banyak karya tulisan ilmiah berjumlah 29
buah kitab. Ar-Raniry memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, ilmu kalam,
fikih, hadits, sejarah dan perbandingan agama. Selama hidupnya ia menulis banyak
kitab yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin. 28
Namanya kini diabadaikan
sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN) Banda Aceh kini Universitas Islam Negeri

24
TA Talsya, Aceh, Pintu Gerbang Nusantara, Santunan, No. 56, Juni 1981, Banda Aceh, Kantor
Wilayah Departeman Agama Daerah Istimewa Aceh, h. 17.
25
Drs. M.A. Hanafiah, Nuruddin Ar-Raniry Ulama Gujarat, Sinar Darussalam, No. 10 Januari 1969,
Banda Aceh, Yayasan Pembina Darussalam\ Studie Clup Islam, h. 54.
26
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit., h. 201.
27
T.A. Talsya, Op. Cit., h.17.
28
Media Islam Aceh, 30 Oktober 2015, Kisah Para Ulama Aceh Kharismatik. Media Islam Aceh, com\
kisah-para-ulama- aceh-kharismatik\.
9
(UIN). Ar-Raniry berperanan penting dan berhasil memimpin ulama Aceh untuk
menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat
merusakkan akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Nuruddin
dikatakan pulang ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah
Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau meninggal di
India.
Dalam tulisan ini disebutkan hanya beberapa kitab saja, antaranya: 1. Asy Shiratul
Mustaqim. 2. Daruul Faraid bi Syarhil Aqaid. 3. Bustanus Salathin fi Zikir Auwalin wal
Akhirin. 4. Akhbarul Akhirah fi Ahwali Yaumil Kiamah. 5. Hidayatul Habib fit Targhib
wat Tarhib. 6. At Tibyan fi Ma’rifatil Ad- Yan. 7. Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruhi war
Rahman. 8. Lathaiful Asrar. 9. Nubzatul fi Da’wazzil ma’a Sahibin. 10. Umdatul
I’tiqad. 11. Syafa-ul Qulub. 12. Fathul Muhil Alal Mulhidin. 13. Djawahurul Ulum fi
Kasyfil Ma’lum 14. Babun Nikah. 15. Sadyur Rasul. 16. Mu’ammidul I’tiqad. 29
Banyak lagi karyanya yang tidak disebutkan di sini.
Beliau merupakan insan yang unggul dan populer dari sejak dulu dan sampai kini.
Untuk mengenang jasanya maka namanya diabadikan sebagai nama Institut Agam Islam
Negeri Banda Aceh yaitu IAIN Ar-Raniry yang kini menjadi Universitas Islam Negeri
sebagai pendidikan tinggi kebanggaan masyarakat Aceh.

10. Bukhari Jauhari, Syiekh, (abad ke-16-17 M).

11. Habib Bugak atau Abdurrahman Al-Habsyi, Teungku, (1715-1865 M)

Habib bugak pewakaf Baitul Asyi di Mekkah. Sampai sekarang belum


diketahui banyak mengenai siapa sebenarnya Habib Bugak yang telah mewakafkan
sebahagian hartanya kepada masyarakat Aceh di Mekkah. Beliau di kenal dengan nama
aslinya Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Menurut satu sumber Habib Bugak
dilahirkan pada tahun 1715 di Mekkah. Pada usia sekitar 40 tahun diutus oleh Syarif
Mekkah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di kesultanan Aceh dengan
keputusan Syarih Mekkah tentang fatwa bahwa Sultanah wanita memimpin kerajaan
Islam di Aceh bertentangan dengan Syari’at Islam. Sejak kedatangannya ke Aceh ia
tidak lagi kembali ke Mekkah terus menetap di Aceh menjadi penasehat Sultan. Karena

29
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit., h.201.
10
keahliannya di utus oleh Sultan ke Aceh Utara sebagai Tgk. Chik untuk menggantikan
Ulee Balang. 30
Habib Bugak seorang ulama yang diutus oleh Syarif Mekkak untuk menyelesai
kan masalah agama yang berkaitan dengan sultanan yang berkuasa di Aceh, tentu Syarif
Mekkah mengutus orang yang berpengetahuan luas dalam masalah agama dan tidak
mengirim sebarang orang pasti orang ahli agama untuk menyelesaikan masalah besar di
Aceh. Kealiannya dalam bidang agama terbukti ia diangkat menjadi penasehat sultan.
Kemudian ia diutus ke Aceh Utara untuk mengurus administrasi pemerintahan,
berperanan sebagai hakim (qadhi), memutuskan perselisihan menurut hukum Islam,
menjdi imam masjid, sebagai khatib jum’at, menjadi ulama, hakim dan wali nikah. Ia
diangkat oleh sultan Aceh menjadi bentara laksamana karena memiliki kecakapan
dalam bidang kemeliteran, kelautan dan berhasil mengurus pajak naggroe dengan baik
untuk sultan. 31
Habib Abdurrahman yang berhasil menjalankan tugasnya di Aceh Utara maka
sultan Aceh memberikan tanah yang luas kepadanya dan terus menetap di Aceh Utara
yang membangun markasnya yang besar di delta sungai Krueng Tingkem Monklayu
yang sangat stategis. Habib yang menetap di sini tidak lagi balik ke Arab dengan terus
menjalankan tugas sebagai tokoh pemerintah dan ulama hingga seterusnya dilanjutkan
oleh keturunnya. Setelah lama menetap di Aceh ia dikenal dengan nama Habib Bugak
Asyi dan sudah menganggap dirinya menjadi orang Aceh, menurut suatu sumber maka
tahun 1809 ia mengutus anaknya ke Arab untuk mewakafkan hartanya di dekat Masjidil
Haram.
Habib Bugak Asyi mewakafkan hartanya di Mekkah kepada masyarakat Aceh
berupa rumah pemondokan di Qasasiah tempat di antara Marwah dan Masjidil Haram
dengan pintu Al-Fatah. Diwakafkan oleh Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-
Habsyi) yang hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam yang menghadap Mahkamah
Syariah Mekkah pada tahun 1224 H/1809 M untuk mendaftarkan harta wakaf untuk
warga Aceh yang naik haji dan belajar di Mekkah. Dari hasil rumah itu kini jama’ah
haji Aceh yang lebih kurang 3000 orang mendapat bantuan 1.200 Riyal seorang setiap
tahun musim haji. 32

12. Muhammad Khatib Langien, Teungku Chik (1727-1826 M)

30
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk, Op. Cit., h. 287.
31
Ibid.,
32
Muhammad Yamin Abduh, Baitul Asyi di Mekkah, Serambi Indonesia, Jum’at, 2 September 2016.
11
Teungku Chik Muhammad seorang ulama besar yang dilahirkan di Langien
Teupin Raya Pidie pada tahun 1727 M, dan meninggal pada tahun 1826 M dalam usia
99 tahun. Ayahnya bernama Teungku Ahmad, terkenal dengan lakap Teungku Khatib
Langien. Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad Khatib Langien, nama populer
Teungku Chik di Simpang. Teungku Chik Muhammad seorang ulama kharismatik yang
berpengaruh dan disegani pada zamannya. Beliau banyak menulis, baik dalam bahasa
Arab, Melayu maupun bahasa Aceh. Tulisannya dalam bentuk prosa dan dalam bentuk
syair (puisi). Salah satu tulisanya yang masyhur adalah Dawaul Qulub, kitab ke tujuh
dari Jawami’ul Mushannafat, kumpulan karangan ulama-ulama dan pengarang-
pengarang Aceh. 33
Teungku Chik Muhammad telah mendirikan sebuah dayah yang terkenal dengan
nama Dayah Langien yang banyak melahirkan ulama dan pendakwah di daerah Pidie.
Beliau meninggal pada malam Ahad 19 Zulhijjah 1275 M/ 1826 M, dimakamkan di
Teupin Raya Kabupaten Pidie.

13. Syiekh Jalaluddin Tursani (Wafat 1741 M).

Syeikh Jalaluddin Tursani nama lengkapnya Syeikh Jalaluddin bin Syeikh


Muhammad Kamaluddin Tursani yang hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin
Maharaja Lila Ahmad Syah dan Sultan Alaiddin Johan Syah (1147-1174 H/1735-1760
M). Beliau sebagai ulama besar yang terkenal dan diangkat menjadi Kadhi Malikul Adil
pada zaman dua Sultan yang memerintah pada masa hidupnya. Syeikh Jalaluddin
Tursani ulama kharismatik dan pengarang terkenal. Karanganya yang masyhur adalah
Safinatul Hukkam, kitab hukum pedoman untuk para hakim. Beliau meninggal tahun
1153 H/1741 M. 34

14. Dianjong, Teungku (1742 M). nab, h. 253


15. Omar di Yan (1800 M). nab
16. Di Runding Teungku (1803 m) nab h. 257

17. Teungku Chik Di Tiro Syeikh Abdussalam (Wafat 1822 M).


33
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit., h. 232.
34
Ibid., h. 233.
12
Syeikh Abdussalam seorang ulama besar ahli hukum Islam yang terkenal. Nama
lengkapnya adalah Syeikh Faqih Abdussalam Tiro bin Syeikh Faqih Abdul Wahab
Haitamy, datuk dari ulama-ulama Tiro. Tahun kelahiran Syeikh Abdussalam tidak
diketahui, beliau meninggal pada hari Isnin 1237 H/1822M. Syeikh Abdussalam ulama
kharismatik yang termasyhur di Aceh dan di Pidie. Beliau hidup pada zaman
pemerintahan Sultan Husain Alaiddin Jaharu Alam Syah (1209-1238 H/17950-1823 M).
Dari Syeikh Abdussalam Tiro telah melahirkan ulama-ulama seperti Teungku
Muhammad Amin yang bergelar Teungku Chik Dayah Cut dan Teungku Syeikh
Abdullah, ayahnya Syeikh Muhammad Saman yang lebih dikenal dengan lakap
Teungku Chik di Tiro. 35
Cucu Syeikh Abdussalam yang sangat terkenal adalah Tengku Chik di Tiro
Syeikh Muhammad Saman seorang ulama besar yang berperang melawan penjajahan
Belanda dengan perang Jihad Fisabilillah. Muhammad Saman kemudian diangkat
menjadi pahlawan nasional Indonesia dari Aceh.

18. Teungku Chik Muhammad Pantee Kulu (Lahir 1836).

Teungku Haji Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik
Pantee Kulu, beliau seorang ulama besar dan penyair yang mempersembahkan hikayat
perang sabi dengan syair-syairnya yang merangsang dan membangkitkan semangat
perang jihad melawan Belanda di mana para pejuang tidak takut mati dengan mendapat
ganjaran syurga. Teungku Chik Muhammad dilahirkan dalam tahun 1251 H/1836 M di
Desa Pantee Kulu, daerah Pidie dalam satu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat
dengan kelompok ulama Tiro. 36
Tahun beliau meninggal belum diketahui dengan
pasti.
Teungku Chik Pantee Kulu mendapat pendidikan pertama diterima di Dayah
Tiro yang dipimpin oleh Teungku Chik Muhammad Dayah Cut, bersama-sama
Muhammad Saman yang kemudian menjadi mujahid dan pahlawan dalam perang Aceh.
Setelah mendapat pendidikan ilmu agama dan bahasa Arab maka pemuda Muhammad
melanjutkan studinya ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalam ilmu agama,
bahasa dan sastera Arab. Beliau seorang yang berjiwa seni yang sangat gemar membaca
kita-kitab syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasul seperti Hasan bin
Sabit, Abdullah bin Malik dan Ka’ab bin Zubir. Syair-syair mereka itu membimbing

35
Ibid., h. 241.
36
Ibid., h. 211.
13
pemuda Muhammad untuk menjadi seorang penyair ulung dalam perang terbesar
dengan melahirkan hikayat perang Sabi. 37
Hikayat perang sabi yang dikarang oleh
Teungku Chik Panteu Kulu adalah dalam bentu puisi yang terdiri dari empat cerita atau
kisah yang sekalipun fiktif tetapi berdasarkan sejarah. Keempat kisah tersebut yaitu
kisah Ainul Mardiyah, kisah pusukan Gajah, kisah Said Salmy dan kisah Muhammad
Amin (anak mati hidup kembali). 38
Teungku Chik Muhammad tinggal di Mekkah dan Madinah lebih 10 tahun untuk
menuntut ilmu yang mencukupi, sehingga ketika pulang ke Aceh, beliau menjadi
Teungku Chik dan akhirnya namanya dikenal dengan Teungku Chik Pantee Kulu.
Dalam perjalanan pulang ke Aceh, di atas kapal antara Jeddah dengan Pulau Pinang,
beliau berhasil menulis sebuah karya sastera Hikayat Perang Sabi yang kemudian
menjadi jiwa perang Aceh melawan Belanda. Ketika sampai di Aceh terus menyerahkan
karyanya hikayat perang sabil kepada teman lamanya Teungku Chik di Tiro yang
sedang aktif memimpin parang sabil sebagai sumbangan beliau untuk membangkitkan
semangat jihad. 39
Kemudian, Teungku Chik Pantee Kulu turut terlibat dalam perang melawan
Belanda bersama ulama dan rakyat memimpin perang sabil sehingga beliau syahid dan
dikebumikan di Lam Leuet Kecamatan Indrapuri Aceh Besar. Teungku Chik Pante Kulu
dapat ditonjolkan sebagai penyair perang terbesar di dunia, di samping beliau sebagai
seorang tokoh ulama besar, pujangga, pengarang dan pejuang kemerdekaan yang
berkaliber internasional. 40
Beliau seorang ulama besar, penyair agung yang
meninggalkan hikayat Perang Sabi yang masyhur yang membangkitkan semangat jihad
yang tinggi bagi masyarakat Aceh dalam perang melawan Belanda. Untuk mengenang
jasanya, maka namanya digunakan di sebuah institusi pengajian tinggi yaitu Pengajian
Tinggi Dayah Teungku Chik Pantee Kulu Darussalam.

14. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (1836-1891 M).


37
Ibid., h. 212.
38
Media Islam Aceh, 31 Oktober 2015, Kisah Para Ulama Aceh Kharismatik, mediaislamaceh. com\
kisah-para-ulama-aceh-kharismatik
39
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit., h. 212.
40
Tgk. M. Hasballah Saleh, Tgk. Chik Pante Kulu Tokoh Penyair Perang Terbesar Dunia, Sinar
Darussalam, No. 5 Juli\Agustus 1968, Yayasan Pembina Darussalam\Studie Club Islam Darussalam, h.
76.
14
Teungku Chik Muhammad Saman dilahirkan dalam tahun 1251 H/ 1836 M,
putra dari Teungku Syeikh Abdullah bin Teungku Syeikh Ubaidillah Garot Kenegerian
Combok Lamlo Tiro Pidie. Ibunya bernama Siti Aisyah, kakak Teungku Chik
Muhammad Amin Dayah Cut binti Teungku Abdussalam Muda Tiro bin Leube Polem
Cot Rheuem. Dalam tubuh beliau mengalir darah ulama dari silsilah yang panjang dari
ulama besar Teungku Syeikh Abdul Wahab yang hidup pada zaman Ratu Safiatuddin
(1641-1675 M), Abdul Wahab dan beberapa ulama pindah ke Pidie yang bertempat
tinggal di Tiro kemudian beliau mendirikan dayah-dayah di Aceh Lhee Sagoe. 41
Ketika masih kecil, Muhammad Saman belajar pada dayah orang tuanya di
Dayah Garot. Pada usia 15 tahun, beliau belajar ke Dayah Tiro di bawah pimpinan
pamannya Teungku Chik Muhammad Amin Dayah Cut di Tiro untuk belajar ilmu
keislaman. 42
Kemudian belajar ke Dayah Teungku Chik Abdullah Meunasah Blang,
melanjutkan ke Dayah Teungku Chik di Tanjung Bungong dan melanjutkan ke Dayah
Teungku Chik Lam Krak Aceh Besar, seterusnya belajar pada Dayah Teungku Chik Ie
Leubeue di Yan Kedah Malaysia. Setelah menguasai ilmu agama dalam berbagai
bidang, atas persetujuan pamannya Teungku Muhammad Saman menunaikan ibadah
haji ke Mekkah dan tinggal di sana untuk memperdalam ilmu agama serta bertemu
dengan pemimpin-pemimpin Islam, di mana di Aceh sedang berkecamuk perang dengan
hebatnya. 43
Setelah beberapa lama tinggal di Mekkah Teungku Chik Muhammad Saman
pulang ke Aceh, setelah sampai di Tiro, beliau diangkat menjadi panglima perang untuk
melawan penjajahan Belanda. Beliau mencetuskan ide perang sabil yaitu perang jihad
di jalan Allah bila syahid mendapat ganjaran syurga. Perang sabil yang dicetuskannya
mendapat sokongan para ulama dan masyarakat sehingga perang yang dipimpinnya
memiliki kekuatan yang besar dengan semangat jihad yang sangat tinggi dan berani.
Kemudian ditambah dengan suntikan semangat dari hikayat perang sabil yang
disumbangkan oleh Teungku Chik Pante Kulu sehingga menjadi serangan yang sangat
kuat telah dapat merebut banyak benteng-benteng Belanda sekitar Banda Aceh.
Akibatnya Belanda merasa kewalahan menghadapi penyerangan Teungku Chik di Tiro.
Kemudian Belanda menjalani taktik kotor dan keji dengan meracun Teungku Chik di
Tiro sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia pada 25 Januari 1891 di Aneuk Galong
Aceh Besar.

41
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Op. Cit ., h. 207.
42
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 263.
43
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh, Op. Cit., h. 207.
15
Teungku Chik di Tiro sebagai ulama dan panglima perang, di mana aktivitas
penyerangan dan perlawannya yang hebat terhadap Belanda sebagai pahlawan yang
terkenal di Aceh. Beliau seorang ulama besar bukan hanya berijtihat tetapi berjihat di
medan pertempuran. Teungku Chik di Tiro adalah ulama pahlawan, ulama panglima
perang yang menghabiskan usianya di medan jihad dalam perang sehingga syahid.
Kemudian peperangan diteruskan oleh anak-anaknya seperti Teungku Poma Fathimah,
Muhammad Amin, Ubaidillah dan Mahyeddin, semua mereka syahid di medan
pertempuran melawan penjajahan Belanda.

15. Teungku Chik Haji Harun Alue Keutapang (1830-1905 M)

Teungku Chik di Alue Keutapang merupakan seorang ulama terkenal yang


memimpin dayah di Alue Keutapang Ulee Gle Kecamatan Bandar Dua, kini Kabupaten
Pidie Jaya. Ketika masa penjajahan Belanda, beliau melakukan penentangan dan
perlawanan sengit pantang mundur. Beliau bernama Teungku Haji Harun yang
diperkirakan lahir pada tahun 1830. Teungku Haji Harun merupakan di antara ulama
yang aktif berjihad melawan penjajahan Belanda dengan meninggalkan dayah bersama
muridnya turut bergilya dalam tahun 1900 sampai beliau syahid. Teungku Haji Harun
dan Habib Aji menentang Belanda, perang melawan Belanda telah dicetuskan
sebelumnya oleh Habib Ibrahim Alue Keutapang pada tahun 1880 yang memimpin
lebih 300 orang muslimin di Samalanga. Belanda mengirim kapal api Sambas yang
memuntahkan peluru dari laut untuk membantu pasukannya. Pasukan Aceh dipimpin
oleh Nyak Mandarsyah Batee Iliek, Haji Syiekh Masjid Baro, Habib Ibrahim Alue
Keutapang, Haji Cut Jeulanga dan Haji Bineh Blang. 44
Perang kemudiannya diteruskan oleh Teungku Haji Harun Alue Keutapang yang
dikenal cukup kuat menentang penjajah, sangat membenci kafir Belanda dan beliau taat
mengamalkan ajaran Islam. Maka tidak mengherankan jika Tgk. Haji Harun Alue
Keutapang menulis doanya, agar agama Islam terpelihara dari bencana kafir, orang-
orang muslimin terhindar dari kafir dan supaya kafir Belanda dikalahkan Tuhan.
Menurut Ibrahim Alfian, tulisan asli doa Tgk. Haji Harun, mungkin dalam tulisan Arab,
ada pada Tgk. Wahab Umar Tiro. Sebahagian dari doa Teungku Chik Alue Keutapang
adalah sebagai berikut:
Bismi ‘l-Laahi al-Rahmaani al Rahiim
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
44
Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, h. 75.
16
Ya Rabbi irhamnaa lailatan wa yaumaan
‫يارب ارحمنا ليلة و يوما‬
Ihzifi ‘l kaafira lii kai laa-yuhauwidanaa
‫احظف الكافر لكيال يهودنا‬
Nas’aluka Allaahumma an tansuranaa
‫نسألك اللهم أن تنصرنا‬
Ala’l-kuffaari ‘l-huulandaa aduwwiinaa
‫على الكفار الهلندا عدون‬
Fanasta iinu ‘l-Allaha an yu’tiyanaa
‫فنستعن هللا أن يؤتينا‬
Quwwata ‘l-jihaadl li’l-kafiriina a duwwiinaa
‫قوة الجهاد اكافرين عدون‬
Ya Rabbi I ti ‘l-muslimiina ‘l-ghaalibiinaa
‫ياربى ائت المسلمين الغالبين‬
Ala ‘l-kuffari ‘i-huulandaa maghluubiin. 45

.‫على اكفار الهلندا مغلوبين‬

Artinya:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ya Tuhanku, Kasihanilah kami siang dan malam
Usirlah orang kafir itu supaya dia tidak mengyahudikan kami
Kami mohon kepadaMu, ya Allah, supaya Engkau menolong kami
Atas orang-orang kafir Belanda musuh kami
Kemudian kami mohon pertolongan kepada Allah
Untuk memberikan pada kami kekuatan untuk memerangi orang kafir musuh kami
Ya Tuhanku, berilah kemenangan kepada orang-orang Islam atas orang-orang kafir
Belanda semuanya.
Doa yang ditulis oleh Tgk. Alue Keutapang yang dituangkan dalam gaya bahasa
sastera bernilai tinggi dan doa yang ditulisnya adalah sebagian dari doa orang-orang
muslimin yang menyingkir ke gunung dan bersembunyi hutan untuk menghindarkan
diri dari serangan kafir. Doa ini sebaiknya di baca pagi dan petang sendiri-sendiri atau
bersama-sama setelah shalat fardhu, dikala larut malam dan istimewa ketika kalut atau
mengasingkan diri. Beliau yakin bahawa doanya itu akan ustajab berdasarkan firman

45
Ibid., h. 123.
17
Allah swt yang dikutip dari surah al-Mukminun ayat 60 yang artinya: berdoalah
kepadaKu niscaya Kuperkenalkan doamu. 46

Doa yang ditulis oleh Teungku Haji Harun Alue Keutapang di amalkan oleh
para pejuang dan dia sendiri senantiasa dikejar dan dicari oleh Belanda. Beliau berjuang
dari gunung ke gunung dan hutan belantara. Pada suatu ketika Teungku Haji Harun
berada di hulu Kueng Meureudu di daerah Lhok Bukulah sebelah barat sungai, pada
saat itu beliau turun ke sungai mengambil air sembahyang, kemudian shalat Asar di atas
batu, lalu ditembak oleh Belanda, setelah kena tembakan beliau sempat naik ke atas
bukit dan syahid di sana. Belanda mencari mayatnya tetapi tidak ditemui. Pada saat
kakitangan Belanda memberitaukan pada orang Alue Keutapang bahwa Teungku Haji
Harun telah ditembak oleh Belanda di hulu Krueng Meureudu, maka masyarakat Alue
Keutapang mencarinya. Ketika masyarakat Alue Keutapang menemui mayatnya,
ternyata sebagian jasatnya telah ditutupi oleh anai-anai dengan tanah maka jenazahnya
tidak dibawa pulang, dikebumikan di tempat beliau syahid di Hulu Krueng Meureudu.47
Teungku Haji Harun yang dikenal dengan Teungku Chik di Alue Keutapang
merupakan ulama yang terkenal, dikagumi dan ulama pejuang bukan hanya berijtihad
tetapi berjihad di medan perang melawan penjajahan Belanda. Tgk. di Alue Keutapang
seorang ulama terkenal di Ulee Gle pada masanya dan masyhur dengan doanya dalam
perang sabil, Tgk. Haji Harun syahid pada 14 Agustus 1905 terkena peluru serdadu
Belanda Letnal Van Velsing di hulu Kreung Meureudu. 48
Teungku Haji Harun syahid
bersama Habib Aji dalam suasana perang melawan Belanda di Hulu Kreung Meurudu.
Perjuangan menentang Belanda diteruskan oleh Habib Musa anak dari Habib Aji, yang
kemudian Habib Musa terpaksa menyerah melalui Ampon Chik Samalanga karena
ancaman Belanda terhadap isterinya. 49
Teungku Haji Harun yang syahid dalam perang Belanda berusia lebih kurang 75
tahun dengan meninggalkan seorang anak perempuan bernama Ramlah di mana
kemudian Ramlah ini dikawinkan dengan Tgk. Muhammad Isa Meurudu dari keluarga
Tgk. Chik Pantee Geulima yang kemudian melahirkan dua orang anak perempuan yang
bernama Hamidah dan Puteh. Ketika Hamidah ini meninggal dunia, rombongan dari
kerluarga dan keturunan Tgk. Chik Pante Geulima turut melawat janazahnya termasuk
yang datang ketika itu Faisal Hasan Sufi. Rumah yang ditinggal oleh Tgk. Haji Harun di
46
Ibid., h. 124.
47
Wawancara, dengan Tgk. Abdul Gani Aji, Tokoh Masyarakat, Kini Tinggal di Peudada, 3 Januari
2016.
48 ?
Ibrahim Alfian, Op. Cit., hlm. 208.
49
Wawancara dengan Said Ali Musa, Pensiunan Pegawai Negeri, 27 Pebruari 2016.
18
Alue Keutapang dikenal dengan rumoh dayah karena tempat beliau mendirikan dayah
di masa masih hidupnya.

16. Teungku Chik Ismail Ya’kub Pantee Geulima (1839-1901 M).

Teungku Ismail Ya’kub lahir dalam tahun 1839 M di Kampung Pantee Geulima
Meurudu Kabupaten Pidie Jaya, sehingga beliau dikenal dengan lakap Teungku Chik
Pantee Geulima. Beliau belajar agama pada pusat pendidikan Islam Dayah Pantee
Geulima yang dipimpin oleh ayahnya Teungku Chik Muhammad Ya’kub. Teungku
Ismail Ya’kub, selain belajar di Dayah Pantee Geulima, juga mendapat pendidikan
meliter pada pusat pendidikan tentera Aceh yang bernama Makhad Baitul Makdis yang
menjadi bahagian dari Jami’ Batur Rahman Banda Aceh. Pada waktu perang sedang
berkecamuk dengan Belanda, Teungku Ismail Ya’kub mendidik dan melatih pemuda-
pemudi Aceh untuk menjadi tentera di Dayah Pantee Geulima yang telah menjelma
menjadi salah satu Pusat pendidikan tentera di kawasan Aceh Pidie. 50
Teungku Ismail Ya’kub pernah belajar di Aceh besar, menurut buku
ensiklopedia ulama yang mewawancara Tgk, Hasan Sufi, beliau belajar pernah pada
dayah Tanoh Abee, kemudian menjadi orang pernama mendirikan dayah Pantee
Geulima. Setelah mendapat pendidikan tentara dari Jami’ Baitur Rahman Banda Aceh,
beliau menjadikan dayah sebagai tempat belajar agama dan melatih tentera 300 pasukan
elite di dayah Pantee Gelima untuk melawan Belanda. Beliau ulama besar, ulama
pejuang yang berijtihad dan berjihad di medan perang. Beliau ulama pemberani dan
berdarah pahlawan, yang menurut keluarganya Tgk. Hasan Sufi, beliau memiliki
berhubungan nasab sampai kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau juga pernah pergi ke
Makkah, Madinah dan belajar di sana selama 10 tahun.
Teungku Islami Ya’kub sebagai ulama besar yang memiliki jiwa seni dengan
menghasilkan karya sastera yang bernilai tinggi dengan mengarang Hikayat Malem
Dagang pada tahun 1889 M, pada waktu perang sabil sedang berkecamuk. Hikayat
Malem Dagang yang mengisahkan Malem Dagang dan kegagahan Panglima Pidie
menuju ke Tanah Melayu. Karangnya telah mengelorakan semangat perang rakyat
Aceh dengan mengisahkan dan menampilkan kembali kepahlawanan Iskandar Muda
dengan Armada Cakra Donyanya yang amat mengah dan terkenal ketika mara ke Tanah
Melayu. Peranan Teungku Ismail Ya’kub sebagai ulama dalam perang Aceh cukup

A. Hasjmy, Putri Pahang Dalam Hikayat Malem Dagang, Sinar Darussalam, No. 164\165, Oktober s\d
50

Desember, 1987, Penerbit Yayasan Sinar Darussalam, Banda Aceh, hlm, 493.
19
besar, beliau pernah berperang di Aceh Besar dan tempat-tempat lain. Pernah dikirim
oleh Sultan Aceh ke Tanah Batak untuk membantu Sisingamangaraja. Beliau
ditugaskan mengantar 300 tentera Aceh untuk ikut berperang melawan Belanda di
bawah pimpinan Sisingamangaraja. 51
Menurut buku Ensiklopedia ulama itu lagi,
Teungku Islamil diutus oleh Sultan Aceh ke tanah Batak untuk mengislamkan
Sisingamangaraja. Beliau berhasil mengislamkan Sisingamangaraja yang kemudian
terbukti cap Sisingamangaraja bertulisan Arab.
Teungku Ismail Ya’kub merupakan ulama pejuang yang gagah berani di medan
tempur yang telah bertindak sebagai salah seorang panglima perang dalam pertempuran
mempertahankan benteng terkenal Kuta Gle Batee Iliek Samalanga bersama Teungku
Syiekh Abdurrahim yang terkenal dengan Teungku di Kuta Gle. Bentang Kuta Gle
Batee Iliek merupakan benteng terkuat yang dipertahankan para pejuang, termasuk
panglima Ismail Ya’kub, yang telah tiga kali diserang Belanda dibawah pimpinan
Jenderal K. Van der Heijden tidak berhasil ditaklukkan. Jenderal itu ditembak di
matanya oleh pejuang Aceh dalam perang Kuta Glee sehingga ia buta sebalah matanya,
maka kemudian disebut “kaphee buta siblah”. Kegagalan menyerang Benteng Kuta
Glee yang dipertahankan panglima Teungku Ismail Ya’kub sehingga Jenderal buta
siblah dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Mayor Jenderal Y.B. Van Heutz. 52
Untuk menyerang dan menaklukkan Benteng Kuta Gle pada 4 Februari 1901
yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Heutz mengerahkan pasukan dan kekuatan
tentara yang cukup besar dan sejata modern yang terdiri dari: 2 batalion infantri, 4
kompi marsose, l kompi marinir, 1 kompi kavalaeri (berkuda), 1 kompi artileri (pasukan
mortir), 1 kompi vesting artileri, 1 detasemen marine artileri, keasatuan administrasi dan
orang-orang hukuman. Dalam penyerangan itu Belanda lebih dulu merebut benteng-
benteng pembantu dan cadangan. Benteng Kuta Glee dipertahankan oleh 71 orang
termasuk Panglima Ismail Ya’kub dan Teungku di Kuta Gle sebagai pucuk pimpinan.
Dalam pertempuran yang sengit itu, keseluruh pejuang 71 orang semuanya syahid
sebagai syuhada. 53
Teungku Ismail Ya’kub gugur dalam pertempuran di Benteng Kuta Glee Batee
Ileik sebagai pahlawan bangsa dan pejuang agama. Beliau syahid pada hari Jum’at
dalam tahun 1901 M, dalam usia 64 tahun dan dikebumikan di Gampong Meurandeh
51
Ibid.,
52
Ibid., hlm. 495.
53
Naskah Asisten Wedana Kecamatan Samalanga, Perang Berkuah Darah di Kuta Glee, Sinar
Darussalam, No. 9, Desember, 1968, Yayasan Pembina Darussalam\ Srtudie Club Islam, Banda Aceh,
hlm. 19.
20
Alue Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie Jaya sekarang. Teungku Ismail Ya’kub
sebagai Teungku Chik Pantee Gelima, merupakan ulama kharismatik, sebagai panglima
perang, pengarang Hikayat Malem Dagang dan sastrawan yang menceritakan kisah
Sultan Iskandar Muda mengharungi Selat Malaka mara ke Semenajung Tanah Melayu.
Beliau ulama yang cukup tegas dan tetap pendirian tidak pernah goyah rela syahid
dalam menghadapi musuh Belanda di benteng Kuta Glee Batee Ilik Samalanga, beliau
hidup dalam keadaan mulia dan syahid sebagai syuhada.

17. Teungku Chik Abbas Kuta Karang (Qadhi 1870-1874 M).


Nama kecilnya Abbas, setelah mendapat ilmu agama dan alim, beliau dipanggil
Syeikh Abbas, kemudian mendirikan dayah sendiri maka namanya bergelar Teungku
Chik Kuta Karang. Beliau seorang ulama besar, diperkirakan lahir pada akhir abad ke-
18 dan tahun meninggal dunia tidak diketahui. Syeikh Abbas aktif dalam pemerintahan
Sultan Alaiddin Muhmud Syah yang memerintah 1870-1874 dan diangkat menjadi
Qadhi Malikul Adil. Pada masa Teungku Chik di Tiro mendirikan markasnya di
Muereu, Teungku Chik Kuta Karang menjadi salah seorang staf dan penasehatnya yang
utama di samping Teungku Chik Tanoh Abee dan para ulama lain. 54
Setelah Tgk. di Tiro gugur 25 junuari 1891 Tgk. Kuta Karang menggantikan
posisinya meminpin perang gerilya. Untuk meningkatkan semangat juang ia menulis
beberapa risalah kecil tentang agama dan politik, satu diantaranya Tazkirat al-Rakidin
(peringatan kepada yang tidak membuat sesuatu). Karya ini mampu membakar
semangat juang masyarakat dan beberapa hulubalang untuk melawan kolonialis
Belanda. Dengan semangat baru di bawah pimpinan Tgk. Chik Kuta Karang mampu
melawan Belanda dengan senjara yang sama. Tgk. Chik Kuta Karang sebagai ulama
pejuang mengingatkan rakyat Aceh bahwa penjajahan Belanda akan merusak kehidupan
rakyat Aceh dalam segala aspeknya. 55

Syeikh Abbas Kuta Karang adalah tokoh multitalenta, tabib dan ulama besar
yang mengarang beberapa kitab yang sangat bermanfaat, langka dan jarang dikuasai
oleh tokoh sezamannya di akhir era kesultanan Aceh dan masa penjajahan Belanda. 56

Teungku Chik Abbas Kuta Karang seorang ulama ternama, ahli hukum dan pengarang,
juga seorang tabib (dokter) yang terkenal pada zamannya dan seorang politikus yang

54
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh, Op. Cit., h. 233.
55
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 397.
56
Hermansyah, Belanda, Kuburan, dan Aceh, Serambi Indonesia, Selasa 10 November 2015.
21
sangat dihormati oleh kawan dan lawan. Di antara kitab karangannya adalah: 1. Ilmu
Falak, mengenai bintang. 2. Kitabur Rahmah, mengenai ilmu kedoktoran. Sisa dari
kitab-kitab beliau masih terdapat di Dayah Babussalam Di Lam Kunyet Kemukiman
Susu Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar. 57
Beliau seorang ulama yang terhormat,
berkedudukan dalam pemerintahan dan disegani oleh masyarakat.

18. Teungku Syeikh Abdul Wahab Tanoh Abee (wafat 1895 M).

Teungku Abdul Wahab Tanoh Abee seorang Teungku Chik, ulama terkenal,
penggagas berdirinya perpustakaan kuno Tanoh Abee. Ia berasal dari Timur Tengah,
Bagdad sekarang. Namanya Tgk. Chik Abdul Wahab Al-Bagdadi bin Nayan al-Fairusy
Al-Bagdadi. Nenek moyang Al-Fairusy Al-Bagdadi hijrah ke Aceh pada masa Iskandar
Muda (1607-1636 M). Ia berasal dari keturunan ulama. Banyak naskah dari tanah Arab
ditulis dengan tangannya sendiri, pernah menentap di Arab. Bahasa yang digunakan
dalam penulisan naskah adalah bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Aceh dengan huruf
jawi. Tulisannya cukup indah, beliau seorang kali grafer. 58
Teungku Syeikh Abdul Wahab adalah seorang ulama besar yang memimpin
Dayah Tanoh Abee. Nama lengkapnya Syeikh Abdul Wahab bin Syeikh Muhammad
Salem bin Syeikh Abdur Rahim bin Syeikh Abdul Hafidh bin Syeikh Idrus Bayan yang
berasal dari Bagdad dan terkenal dengan lakap Teungku Pante Ceureumen. Tahun
kelahiran Teungku Syeikh Abdul Wahab tidak diketahui, beliau meninggal 8 Rajab
1311 H/ 1895 M. Beliau seorang ulama kharismatik, pembina lanjutan dari Dayah
Tanoh Abee sebuah perguruan tinggi Islam yang masyhur telah banyak melahirkan para
ulama, negarawan, politikus dan pahlawan yang kemudian mendirikan daya-dayah di
seluruh Aceh. 59
Syeikh Abdul Wahab terkenal dengan lakap Teungku Chik Tanoh Abee, beliau
hidup pada pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874) dan Sultan
Muhammad Daud Syah (1874-1903 M). Beliau mempunyai anak-anak yang alim, yaitu:
Teungku Haji Muhammad Husin, pendiri Dayah Seulimum, yang kemudian terkenal
dengan lakap Teungku Chik di Seulimum. Teungku Yahya dan anak Teungku Yahya
yaitu Teungku Muhammad Ali yang terkenal dengan gelar Teungku Gampung
Teungoh, dan Teungku Hasan. 60
Syeikh Abdul Wahab merupakan ulama yang cukup

57
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh, Op. Cit, h. 233.
58
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 53.
59
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh, Op. Cit., h. 240.
60
Ibid.,
22
berjasa dan berperanan dalam pengambangan ilmu pengetahuan Islam dari Dayah
Tanoh Abee yang melahirkan pendakwah dan ulama besar yang kemudian mendirikan
dayah di seluruh Aceh.

19. Teungku Muhammad Hasan Kreung Kale, (1886-1973 M).

Teungku Haji Hasan Krueng Kale lahir pada 18 April 1886 di Meunasah
Ketembu, Sanggue Kabupaten Pidie. Meninggal 19 Januari 1973 dalam usia 87 tahun.
Nama Lengkapnya Teungku Hasan bin Teungku Haji Muhammad Hanafiah bin
Teungku Syeikh Abbas bin Teungku Muhammad Fadli. Ibunya bernama Nyak Hafsah
binti Syekh Ismail. 61
Beliau merupakan ulama besar seangkatan dengan Teungku
Muhammad Daud Beureu-eh dan Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teuku
Nyak Arif yang banyak berperanan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di
wilayah Aceh. 62
Teungku Hasan Krueng Kale putra ulama besar Aceh Teungku Haji
Muhammad Hanafiah yang merupakan sahabat Teungku Chik di Tiro Muhammad
Saman yang berperang melawan Belanda.
Beliau belajar agama pada ayahnya sendiri, kemudian melanjutkan
pendidikannya di beberapa dayah di Pidie seperti dayah Tengku Chik di Keubok
pimpinan Teungku Musannif. Pada tahun 1906, Teungku Hasan pergi ke Yan Keudah
Malaysia untuk memperdalam ilmu agama di Dayah Yan yang dipimpin oleh Teungku
Muhammad Arsyad Ie Leubeu seorang ulama besar dari kerajaan Aceh yang membuka
pendidikan Dayah di Semenanjung Tanah Melayu karena Aceh sedang dijajah Belanda.
Setelah tamat belajar di Dayah Yan, pada tahun 1910 Teungku Hasan pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di Masjidil
Haram pada ulama besar hampir 7 tahun. 63
Sekembalinya dari Mekkah ia singgah di Yan Keudah pada Dayah Gurunya
Tengku Muhammad Irsyad dan mengajar bebarapa tahun di Dayah Yan. Ia dijodohkan
oleh gurunya dengan seorang gadis keturunan Aceh bernama Nyak Sapiah binti Husein.
Atas panggilan pamannya Teungku Muhammad Said beliau pulang ke Aceh dan
mengabdi di Dayah Meunasah Baro pimpinan pamannya. Kemudian ia mendirikan
dayah sendiri di Desa Kreung Kale Kecamatan Darussalam Aceh Besar yang kemudian
terkenal namanya Teungku Hasan Krueng Kale atau Abu Krueng Kale.

61
Deddy De Gazaa, 2013, Biografi Abu Kreung Kale (Tengku Muhammad Hasan Kreung Kale) (0nline)
62
Teungku Hasan Kreung Kale- Wikipedia Bahasa Indonesia ….id, Wikipedia…\ Teungku Hasan
Krueng Kale.
63
Denyaks Van Pasee, Khamis 27 Maret 2014, Teungku Syeikh Muhammad Hasan Krueng Kale (online)
23
Dayah yang dipimpinnya berkembang maju, muridnya yang terkanal adalah
Teungku Muda Wali al Khalidi yang mendirikan Dayah di Labuhan Haji Aceh Selatan
dan Teungku Abdul Jalil Bayu Aceh Utara yang memberontak melawan Jepang,
Teungku Mahmud Blang Bladeh Bireuen, Teungku Yusuf Kruet Lintang, Teungku
Muhammad Saleh Lambhuk sebagai ulama dan imam Masjid Raya Baitul Rahman,
Teungku Sulaiman Lhokseukon dan lain-lain lagi.
Dalam bidang sosial, Teungku Hasan Kreung Kale membuka cabang partai
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Aceh pada tahun 1950 yang ditumbuhkan di
Sumatera Barat pada 5 Mai 1928. Beliau tidak memasuki organisasi Persatuan Ulam
Seluruh Aceh (PUSA) dan beliau tidak terlibat dalam pemberontah DII/TII pimpinan
Teungku Daud Beureueh. Teungku Hasan Krueng Kale ulama Ahlusunnah wal Jama’ah
yang menganut tarikat Haddadiyah yang berpangkal kepada Said Abdullah al-Hadad.
Beliau turut aktif dalam politik untuk memperjuangkan kemerdekan Indonasia di Aceh
dan mengeluarkan fatwa bahwa perlunya rakyat berperang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Pada 17 Januari 1973, malam Jum’at Abu Hasan Krueng Kale menghembuskan
nafas yang terahkir, beliau meninggalkan tiga orang isteri, Tgk. Hj. Nyak Sapiah, Tgk.
Nyak Aisyah dan Tgk. Hj. Nyak Awan. Dari ketiga isterinya itu meninggalkan 17
orang putra dan putri. Salah seorang anaknya Teungku Syech Marhaban yang menjadi
mentri muda pertanian pada masa Soekarno. 64
Karya tulis Abu Hasan Krueng Kale,
antaranya adalah: Risalah Lathifah fi Adabi al-Zikry diterbitkan pada tahun 1958,
Jawahir Al-Ulum fi Kasyafil Maklum, di tulis pada tahun 1334 H., An’amatu Al-
faidhah fi isti’mali qa’idatil al-Rabithah, ditulis pada tahun 1327 H., dan Sirajus
Salikin’ala minhajil ‘abidin, ditulis pada tahun 1332 H. Beliau meninggalkan tarikat
Haddadiyah yang masih berkembang dalam masyarakat Aceh sampai kini.

20. Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (1888-1959 M).

Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri lahir pada 3 Juni 1888, meninggal 26


April 1959 dalam usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang isteri dan sebelas orang
anak. Beliau dikebumikan di Kampung Yan Keudah Malaysia dekat makam ayahnya
Teungku Haji Umar bin Auf. Teungku Hasballah Indrapuri dilahirkan di Kampung Lam

64
Teungku Syeikh Muhammad Hasan Kreung Kalee-Mehrir, www,mehrir, Kawunganten. com.. tengku-
syei
24
U Aceh Besar. Ayahnya Teungku Haji Umar dan ibunya bermana Hajjah Sapiah.
Ahmad Hasballah belajar agama pada ayahnya, kemudian melajutkan pendidikan dari
dayah ke dayah dalam suasana perang seperti Dayah Piyeung, Dayah Samalanga, Dayah
Titeue, Dayah Lamjabat. 65
Teungku Ahmad Hasballah adalah ulama pembaruan ilmu dan amal yang
memiliki lakap Abu Indrapuri yang dinisbahkan kepada kampungnya Indrapuri. Ia
setelah belajar dibeberapa dayah di Aceh, Ahmad Hasballah berhijrah ke Tanah Melayu
dan belajar di Dayah Yan Kedah yang dipimpin ulama Aceh, banyak pelajar datang dari
Aceh karena suasana perang. Ahmad Hasballah merupakan ulama besar dan ia
mempelajari seni membaca al-Qur’an dan qari terbaik pada masanya. Ia menguasai
bahasa Arab dengan predikat Mumtaz. 66
Beberapa orang ulama Aceh termasuk Ahmad Hasballah pindah ke Tanah
Melayu adalah Teungku Muhammad Arsyad Ie Leubeu yang mendirikan dayah di Yan
Kedah kemudian terkenal dengan lakab Teungku Chik di Yan. Teungku Muhammad
Saleh yang kemudian terkenal dengan Teungku Chik di Lambhuk dan Teungku Haji
Umar bin Auf yang kemudian terkenal dengan Tengku Chik di Lam U. Pemuda Aceh
yang berlajar di Yan dan menjadi ulama besar kemudiannya adalah Ahmad Hasballah,
Hasan Krung Kale dan pemuda Muhammad Saman. Kemudian ke tiga mereka
melanjutkan pengajian ke Mekkah Mukarramah. Setelah kembali ke Aceh mereka
terkenal dengan lakab; Teungku Haji Hasan Krueng Kale, Teungku Syekh Muhammad
Saman dengan lakap Teungku Chik di Tiro dan Teungku Haji Hasballah Indrapuri. 67
Pada tahun 1912, Dayah Indrapuri dihidupkan kembali oleh Tengku Haji Ismail
yang terbengkalai akibat perang. Setelah berjalan 10 tahun belum mencapai kemajuan
maka pada tahun 1922 diadakan musyarawah yang memutuskan perlu seorang ulama
untuk mempimpin Dayah Indrapuri. Keputusan diambil untuk menjemput Teungku
Ahmad Hasballah seorang ulama muda yang baru pulang dari Mekkah yang bermukim
di Yan Kedah Tanah Melayu. Atas jemputan dari Indrapuri Teungku Hasbalah pulang
ke Aceh memimpin Dayah Indrapuri dengan melakukan pembaharuan pendidikan Islam
yaitu meningkatkan pendidikan iman dan ibadah. 68

65
Prof. A. Hasjmy, Dunia Ulama: Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Ulama Ahlusunnah
Penganjur Aliran Wahabi, Pendiri Perhimpunan Kemerdekaan Akhirat, Sinar Darussalam, No. 108\109
Mei\Juni 1980, Y.P.D. Unsyiah-IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, h. 227.
66
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 157.
67
Prof. A. Hasjmy, Dunia Ulama, Op. Cit., h. 227-228.
68
Ibid., h. 232.
25
Pembaharuan yang dilakukan oleh Teungku Ahmad Hasballah adalah
mendirikan Madrasah Hasbiyah dalam lingkungan Dayah Indrapuri yang terdiri dari
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan mendirikan Madrasah Lil Ummahat
yang khusus untuk perempuan yang menjadi bahagian dari Dayah Indrapuri. Teungku
Ahmad Hasballah Indrapuri terut terlibat dalam bidang politik dengan menceburkan diri
dalam partai Syarikat Islam. Apabila partai Syarikat Islam dilarang, ia mendirikan
pergerakan politik di bawah nama Jam’iyah Al Ataqiyah (Perhimpunan Kemerdekaan
Akhirat), beliau sendiri sebagai pengurus besar. Setelah PUSA didirikan, Teungku
Ahmad Hasballah muncul sebagai seorang tokoh utama dengan kedudukan sebagai
Ketua Majlis Syura PUSA dan setelah merdeka, beliau menjadi salah seorang tokoh
pimpinan MASYUMI di Tanah Aceh. 69
Dalam dunia kepegawaian, Teungku Ahmad Hasballah pernah memegang
jabatan antaranya : 1. Kadhi pada Teuku Panglima Polem Muhammad Daud di zaman
penjajahan Belanda. 2. Saibantyo Ku-Hoin (Ketua Pengadilan) di zaman pendudukan
Jepang. 3. Anggota Pengadilan Tentera devisi X di zaman Republik Indonesia. 4. Ketua
Bahagian Kehakiman pada Dewan Agama Keresidenan Aceh. 5. Ketua Mahkamah
Syar’iyah Keresidenan Aceh. 6. Anggota Mahkamah Islam Tinggi. 7. Ketua Majlis Ifta
pada Jawatan Agama Keresidenan Aceh. 70
Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri ikut terlibat dalam politik untuk
mendaratkan Jepang dan pengusiran Belanda di Aceh yang dimulai dengan perlawanan
rakyat di Seulimum. Beliau memainkan peranan penting dan ikut aktif dalam
perjuangan memperoleh kemerdekaan di Aceh. Sebagai pucuk pimpinan PUSA,
Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri ikut dalam pemberontakan Darul Islam/ Tentera
Islam Indonesia DII/TII tahun 1953, beliau diangkat menjadi Ketua Majlis Syura dari
Darul Islam itu. 71 Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri sebagai ulama besar telah
banyak menyumbang dalam pembaharuan pendidikan Islam di Aceh dan turut aktif
dalam perjuangan politik untuk memperoleh kemerdekaan dalam mengusir Belanda dan
pemberontakan penjajahan Jepang di Aceh.

21. Teungku Muhammad Daud Beureu-eh (1896-1987 M).

Teungku Muhammad Daud Beureu-eh lahir pada 23 September 1896, bertepatan


dengan 10 Jumadil Akhir 1316 H di kampung Beureu-eh Meunasah Dayah, Kecamatan
69
Ibid., h. 235.
70
Ibid., h. 235-236.
71
Ibid., h. 241.
26
Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Tjoet Ahmad (Keuchik Ahmad)
yang berketurunan Pattani. Ibunya Tjut Manyak seorang wanita cantik asal kampung
tersebut. 72 Ketika muda remaja, Muhammad Daud sebagai pemuda yang gagah, berani
dan cerdas ketika belajar. Beliau tidak masuk ke sekolah formal manapun, kecuali
belajar eman tahun di dayah yaitu di Dayah Titeue di bawah pimpinan Teungku
Muhammad Hamid selama satu setengah tahun dan empat tahun di Dayah Iie Leubeue
di bawah pimpinan Teungku Ahmad Harun. Beberapa tahun kemudian dalam usia
muda, ia sudah membuktikan kemantapan ilmunya dengan pandangan yang tajam,
menarik, diakui dan dikagumi oleh para gurunya sendiri. 73
Beliau semasa muda sudah
menguasai ilmu agama, berperanan sebagai ulama, menjadi pemimpin ummat dan
mengajar masyarakat di sekitar kampungnya.
Setelah belajar enam tahun di dayah, Muhammad Daud keluar sebagai ulama
muda yang tahan uji dan berani dalam berdebat. Beliau terkenal sebagai ulama yang
tegas penderiannya dalam agama Islam, keras jiwanya, keras kemahuannya. Beliau
seorang yang jago pidato, kalau berbicara ide tidak habis-habis terus mengalir dari bibir,
tegas, keras suaranya dan jarang beliau berpidato yang pendek. 74
Khutbah dan pidato-
pidato yang diucapkan di mana-mana menunjukkan beliau benar-benar ulama yang
tegas dan keras pendiriannya dalam agama Islam. 75
Dalam kurun waktu 1926-1942 Muhammad Daud mulai membangun madrasah
dan dayah untuk mendidik kader-kader Islam di seluruh Aceh. Di antara dayah yang
pernah didirikan adalah terletak di kampung Usi, Kecamatan Mutiara Timur, di Garot
Kecamatan Indrajaya, di Pekan Pidie Kecamatan Pidie, di Blang Paseh Kecamatan Kota
Sigli, di kota Bireuen dan beberapa tempat lain. 76
Pada tahun 1930 beliau membentuk
Jam’iah Diniah dan mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh Sigli.
Kehebatan dan kecerdasannya dalam menguasai ilmu agama yang mendalam telah
muncul Muhammad Daud sebagai ulama tulen dan pemimpin yang disegani sehingga
beliau dipanggil Abu Beureu-eh, asal nama dari kampungnya. Pada 5 Mai 1939 bersama
para ulama pembaharuan Muhammad Daud Beurue-eh mendirikan Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA), beliau terpilih sebagai ketua. Oganisasi ini bertujuan untuk

72
Hasanuddin Yusuf Adan, Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh, dan Perjuangan Pemberontakan di
Aceh, Banda Aceh, Adnin Fondation Bekerja Sama dengan Ar-Raniry Press, 2007, Banda Aceh, h.1.
73
S.S. Djuangga Batu Bara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di
Nusantara, Medan, GPPRIFS, 1987, h. 17.
74
M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranannya Dalam Pemberontakan di
Aceh, Jakarta, 1986, Gunung Agung, h. 230.
75
Ibid., h. 242.
76
Hasanuddin Yusuh Adan, Op. Cit., h. 3.
27
menyatukan para ulama dalam membangunkan Islam dan sarana untuk
mengembangkan politik bagi mengusir penjajah sehingga memperoleh kemerdekaan.
Organisasi PUSA yang dipimpinnya telah berhasil mengundang untuk
mendaratkan Jepang ke Aceh bagi mengusir dan mengalahkan Belanda yang puluhan
tahun menjajah Aceh. Kemudian PUSA berperanan mengakhiri penjajahan Jepang di
Aceh ketika Jepang menyerah kalah kepada sekutu dan PUSA telah berjuang
menentang agresi Belanda pertama dan kedua pada tahun 1946-1949 sehingga
Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi
Belanda, pada 26 Agustus 1947, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh diangkat
menjadi Gubernur Meliter untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan
pangkat Jenderal Mayor Tituler. Presiden Soekarno yang datang ke Aceh pada tahun
1948 telah berjanji kepada Teungku Daud Beureueh untuk menjalankan Syari’at Islam
setelah berhasil berjuang dalam perang Medan Area dari agresi Belanda pertama dan
kedua dan ia mampu mempertahankan kemedekaan. Peranannya sebagai Gubernur
Meliter dan pejuang sejati telah dapat menghadang Belanda dalam perang Medan Area
yang menyaksikan Belanda tidak mampu masuk kembali ke Aceh dan Aceh berhasil
menjadi wilayah Indonesia yang tidak dapat lagi dijajah dan setelah menang perang itu
janji tidak pernah ditepati oleh Soekarno untuk melaksanakan Syari’at Islam di Aceh.
Setelah menjadi Gubernur Militer, Aceh, Langkat dan Tanah Karo, wilayah
Aceh di naikkan status menjadi suatu provinsi, maka Teungku Muhammad Daud
Beureueh pada 30 Oktober diangkat menjadi Gubernur Aceh yang pertama dan beliau
bercita-cita untuk menjalankan syari’at Islam di Aceh dan Indonesia menjadi negara
Islam. Jabatan Gubenur berjalan selama delapan bulan karena provinsi Aceh dicabut
kembali dan dileburkan dalam provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan tidak dapat
melaksanakan Syari’at Islam dan dicabutnya provinsi Aceh, maka pada 21 September
1953 Teungku Muhammad Daud mengisytiharkan berdirinya Negara Darul Islam dan
Tentera Islam Indonesia (DI/TII) Aceh dengan melakukan perang melawan Soekarno.
Perjuangan untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh yang kemudian menjurus dengan
membentuk Republik Islam Aceh (RIA) pada 15 Agustus 1961.
Akhirnya pemberontakkan yang dilakukannya tidak mendapat hasil seperti yang
diharapkan. Pada 9 Mai 1962 Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya
turun gunung menuju kembali kepangkuan Ibu Pertiwi Republik Indonesia dengan
mendapat pengampunan. Apabila tercapainya perdamaian dan penyelesaian keamanan
antara Daud Beureueh dengan pemerintah maka telah menimbulkan kegembiraan dan

28
kesenangan di kalangan rakyat. Dengan pulihnya keamana secara menyeluruh maka
seluruh kekuatan rakyat dan pemerintah dapat dikerahkan untuk membangun daerah
Aceh yang memiliki banyak potensi ekonomi untuk kemajuan daerah Aceh maupun
kemajuan negara. 77
Setelah menyerah, Teungku Muhammad Daud Beureueh tinggal di Aceh sebagai
ulama yang disegani, pemimpin masyarakat yang dihormati, sebagai pendakwah yang
ulung dan membangun sejumlah Masjid di Beureunuen. Pada 1 Mai 1978 Teungku
Muhammad Daud Beureueh diluar kehendak sendiri dihijrahkan ke Jakarta oleh
Pemerintah Indonesia yang menimbulkan kejutan dengan alasan untuk memelihara
keamanan dan menjaga ketertiban karena pada waktu itu timbul Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang dipimpin Hasan Tiro. Dikhawatirkan beliau akan gampang terlibat dalam
gerakan tersebut dan akan memberikan restu. Setelah 4 tahun lebih di Jakarta, pada 5
September 1982 dikembalikan ke Aceh dalam keadaan uzur ditempatkan di kampung
halamannya di Beureueh Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie. 78
Pada 10 Juni 1987, Abu Beureueh menghembuskan nafas yang terakhir di
Banda Aceh yang pemergiannya ditangisi masyarakat Aceh. Janazahnya dibawa pulang
ke Beureunuen dimakamkan di belakang Masjid Bait al-a’la li al-Mujahidin yang
dibangunnya dengan meninggalkan masyarakat, isteri dan anak-anaknya untuk selama-
lamanya. Semasa hidup beliau mengawini seorang janda Halimah di Usi Meunasah
Dayah Kecamatan Mutiara pada tahun 1914 sebagai isteri pertama, dari perkawinan itu
beliau memperoleh 7 orang anak. Pada tahun 1828 beliau menikahi Hajjah Asma
seorang janda dari kampung Paleue Kabupaten Pidie sebagai isteri kedua, memperoleh
5 orang anak. Kemudian Abu Beureueh menikahi Hajjah Asiah sebagai isteri ketiga
seorang janda, memperoleh seorang putra. 79
Teungku Muhamamd Daud Beureueh seorang ulama progresif yang terkenal,
tegas, sederhana dan sebagai umara yang ulung, bijaksana, disegani oleh lawan dan
kawan. Ketokohannya sebagai pemimpin agama yang zuhud, warak dan hidup dalam
keadaan miskin walaupun penah menjadi pejabat tinggi negara karena mencitai agama
dan masyarakat mengatasi segala-galanya maka beliau tidak mengejar kemewahan.
Kehebatan dan keulamaan Teungku Muhammad Daud Beureueh tetap dikenang
sepanjang masa sampai bila-bila.

77
M.Nur El Ibrahimy, Op. Cit., h. 223.
78
Ibid., h. 244-246.
79
Hasanuddin Yusuf Adan, Op. Cit., h. 1-2.
29
22. Tgk. Abdul Wahab Seulimum (1898-1966 M)

Tgk. Abdul Wahab Seulimum seorang ulama dan pembaruan pendidikan di


Aceh, beliau seorang anak keuchil (kepala desa) Bugak Kecamatan Seulimum Aceh
Besar. Beliau lahir sekitar tahun 1898 di gampong Bugak ketika sedang berkecamuk
perang dengan Belanda. Pendidikan dasar yang ditempuh pada Governement
Inlandschool di Seulimum dari tahun 1908-1913 lulus dengan baik, kemudian
melanjutkan ke Dayah Juemala di Kecamatan Suka Makmur Aceh Besar yang sangat
terkenal dan maju ketika itu dari tahun 1913 -1925, ia belajar bahasa Arab, Figh, tauhid,
tasawuf, sejarah, hadis dan tafsir. Ia kemudian mendirikan dayah yang bernama
Madrasah Najdiah di Kenaloe Kecamatan Seulimum sebagai dayah modern dengan
kurikulum Perguruan Tawalib Sumatera Barat dengan menggunakan sistem meja dan
bangku sehingga dari tradisoanal menjadi modern. 80
Ia seorang ulama pembaharuan yang berjawa ushawan, ia tercatat dengan
mencetuskan badan usaha koperasi dayah yang kemudian mendorong Panglima Polem
untuk mendirikan usaha Baitul Mal tahun1930. Ia menjadi pengurus PUSA tahun 1939,
menjadi ketua umum PUSA Aceh Besar dan aktif dalam perjuangan menghadapi agresi
Belanda pada awal kemerdekaan. Tgk. Abdul Wahab kemudian diangkat menjdi Bupati
Pidie pada 1 Mei 1946, menjabat Kepala Jawatan Agama Sumatera Utara. Kemudian
belajar ke Mekkah selama tiga tahun dan diperbantukan pada pada kedutaan RI di Arab
Saudi. Pada tahun 1955 kembali ke Indonesia di tempatkan di Jakarta sebgai pegawai
tinggi Departemen Agama RI. Ia meningal dunia pada 6 Februari 1966. 81

23. Tgk. Amir Husin Al-Mujahid (1900-1982 M)

Amir Husin seorang Ulama pejuang, ahli ilmu mantiq dan politikus. Amir Husin
dikenal mantiqi disebuah pemberajaranya di Madrasah aliyah al-Mashirah Tanjung
Pura. 82
Tgk. Amir Husin seorang ulama dan pemimpin pejuang kemerdekaan
Indonesia. Tgk. Amir Husin Al-Mujahid lahir dalam tahun 1900 di Blang Guci, Idi
Rayek, Kabupaten Aceh Timur. Ayahnya Amir Sulaiman bin Amir Abbas bin Amir
Aminullah bin Amir Hidayah yang datang dari Persia. Ibunya Cut Manyak binti

80
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 45.
81
Ibid., h. 51.
82
Ibid., h .193.
30
Muhammad Yusuf bin Syeikh Yakub bin Syeikh Abdussalam yang datang dari Yaman.
83

Beliau belajar dasar-dasar agama pada orang tuanya, kemudian belajar pada
Sekolah Dasar (volkschool) Blang Guci dan Dayah Pulo Blang di Idi. Kemudian belajar
pada Dayah Cot Meurak Bireuen dan Dayah Blang Kabo Geudong. Selanjutnya belajar
pada Dayah Indrapuri, Aceh Besar (1924-1925) dan belajar di Madrasah Maslurah
Tanjungpura Langkat (1926-1930) yang kurikulumnya mirip dengan Al-Azhar Kairo
karena ustaznya kebanyakan alumni Universitas Al-Azhar. Beliau kemudian mengajar
di beberapa tempat antaranya: tahun 1932 mengajar di Madrasah Diniyah Kelapa Satu
Sigli, 1933 mengajar pada Madrasah Diniyah Kota Meulaboh. Tahun 1935 mengajar
pada Madrasah Islam Langsa dan Tualang Cut, 1936 mengajar di Madrasah Madani
Kampung Aceh Idi dan Madrasah Madani Blang Guci Idi, tahun 1937 mengajar pada
Madrasah Islam Blang Rambong Keude Geurebak Idi. 84
Teungku Amir Husin Al-Mujahid juga banyak terlibat dalam organisasi sosial
dan politik. Ketika organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dibentuk pada
tahun 1939 yang terpilih sebagai ketua umum Tengku Muhammad Daud Beureu-eh.
Dalam menentukan siapa yang sanggup memimpin pemuda PUSA sebagai ketua dalam
suatu kongres untuk mencari orang yang pantas. Ketika itu sebuah tangan terancung ke
atas disertai dengan suara saya sanggup, yang mengacungkan tangan itu adalah
Teungku Amir Husin Al-Mujahid dari Idi. Dengan demikian terpilihlah secara aklamasi
Teungku Amir Husin menjadi ketua Pemuda PUSA dan dengan sendirinya kantor
pemuda PUSA berkedudukan di Idi. 85
Ketika terjadi revolusi 1945 terdapat organisasi tentera resmi devisi X dan 3
buah devisi lasykar rakyat, salah satunya Devisi Teungku Chik di Paya Bakong di
bawah pimpinan Teungku Amir Husin Al-Mujahid. Selain itu, selama revolusi 1945,
Teungku Amir Husin pernah mendapat jabatan antaranya; 1. Staf umum TRI komandan
Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor kehormatan TRI dengan SK Presiden No.
20/SD, 28 September 1956. 2. Staf Wakil Menteri Pertahanan yang waktu itu dijabat
oleh Dr. A.K Gani. 3. Ketua Biro Perjuangan. 4. Anggota Panitia Pembentukan TNI
mewakili biro perjuangan dan devisi Teungku Chik di Paya Bakong. 5. Pemimpin

83
Prof. A. Hasjmy, Teungku Amir Husin Al-Mujahid, Ulama Pemimpin Pejuang Kemerdekaan, Sinar
Darussalam, No. 131 September 1982, Y.P.D Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, h. 437.
84
Ibid., h. 439.
85
Drs. H. Ismuha, Mengenang Kembali Lahirnya “ Persatuan Ulama Seluruh Aceh” 30 Tahun Yang Lalu,
Sinar Darussalam, No. 15 Juli 1969, Yayasan Pembinan Darussalam\ Studie Club Islam, Darussalam, h.
34.
31
Umum Tambang Minyak Sumatera Utara Aceh (TMSUA), dengan kelihaiannya yang
luar biasa dapat menggagalkan pengembalian tambang minyak TMSUA kepada
perusahaan minyak Belanda. 86
Teungku Amir Husin Al-Mujahid seorang ulama kharismatik yang tegas dan
berani dalam membela kebenaran demi kepentingan Islam. Beliau telah bertindak berani
dengan membentuk Tentera Keamanan Rakyat pada awal kemerdekaan untuk
mengakhiri revolusi sosial di Aceh. Teungku Amir Husin Al-Mujahid seorang ulama
dan seorang pimimpin yang hidup sederhana tidak memiliki kekayaan. Teungku Amir
Husin Al-Mujahid sebagai ulama besar dan pejuang meninggal dunia pada hari Isnin 10
Mei 1982 di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan dalam usia 82 tahun, dikebumikan
di Kampung Alue Jangat, Idi Rayek Aceh Timur. Ketika beliau menghembuskan nafas
yang terakhir meninggalkan dua orang isteri masing-masing bernama Siti Aisyah dan
Hajjah Teungku Mariani, meninggalkan 16 orang putra dan putri serta 30 orang cucu.
Beliau seorang ulama pejuang yang amat berjasa dalam perjuangan memperoleh
kemerdekaan untuk bangsa, agama dan tanah air.

24. Tgk. Abdul Hamid Samalanga (1902-1968 M)

Tgk. Abdul Hamid dilahirkan di Jeunib pada tahun 1902 di besarkan dalam
kalangan ulama. Ia seorang ulama pejuang dan perintis pembaruan sistem pendidikan di
Aceh. Ia belajar pada orang tuanya pimpinan dayah Tanjongan Samalanga. Tgk. Abdul
Hamid pada masa kecil sudah nampak cerdas, suka membaca dan bersungguh-sungguh
belajar agama. Ia belajar pada sekolah Belanda Goverment Inlandsche School
Samalanga, karena ia cerdas diangkat menjadi kepala sekolah Volkscool di Blang Me
Aceh Utara pada tahun 1921 dalam usia 19 tahun. Kermudian ia mendirikan cabang Sya
rikat Islam di Samalanga, selanjutnya ia pergi ke Mekkah belajar di Madrasah Asy-
Syatiah. Ide pembaharuan dipengaruhi oleh Jamaluddin Al-Afghany melalui majallah
Umul Qura. Pada tahun 1930 ia pulang ke Aceh dan memprakarsai pendidikan modern
dengan mendirikan pendidikan Madrasah Diniyah di Tanjongan yang dinamakan
Madarasah Masakiniah Samalanga, dua bahagian putra dan putridengan sistem baru.
Pada tahun 1933 mendirikan Perguruan Tamana Siswa, ia sebagai pimpinan dan pada
tahun 1937 mendirikan Madarasah Diniyah di Tufa Jeunib. 87

86
Prof. A. Hasjmy, Teungku Amir Husin Al-Mujahid, Op. Cit., h. 447.
87
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 41.
32
Tgk. Abdul Hamid turut berjuang melalui organisasi Syarikat Islam dan turut
bergabung dengan organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan ia seorang
komisaris PUSA dalam kongres di Sigli tahun 1940. Beliau bersama kawannya pergi ke
Pulau Pinang mengadakan kontak dengan pembesar Jepang untuk datang ke Aceh
melawan menjajahan Belanda. Pada masa kemerdekaan beliau memimpin Jawatan
agama Kabupaten Aceh Utara dan bergabung dengan partai Masyumi untuk
menyalurkan politiknya. Pada tahun 1949 Tgk. Abdul Hamid ditetapkan sebagai misi
Haji RI II yang bertugas melanjutkan perjuangan diplomasi bagi kemerdekaan
Indonesia yang berada selama tiga bulan di Arab. Beliau berhasil mengadakan
hubungan dengan pemimpin Islam dan raja Arab Abdul Aziz. Beliau meninggal dunia
pada 29 Rajab 1388 H/22 Oktober 1968 dalam usia 66 tahun dengan meninggalkan
empat orang Isteri dan 15 orang anak putra dan putri. 88

25. Tgk. Haji Abdullah Ujong Rimba (1903-1983 M).

Teungku Abdullah lebih dikenal dengan sebutan Teungku Haji Abdullah Ujong
Rimba, dilahirkan pada 1 November 1903 di Desa Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara,
Kabupaten Aceh Pidie. Meninggal 11 September 1983 pada umur 80 tahun, ia adalah
ulama kharismatik yang cukup berpengaruh di Aceh. Beliau seorang guru tarikat dan
ulama Ahlusunnah wal Jama’ah dan seorang ulama yang mempelopori berdirinya
Majlis Ulama di Aceh sekaligus menjabat ketuanya pada tahun 1975. 89
Beliau dilahirkan dengan nama Abdullah, nama Ujong Rimba dinisbahkan
kepada kampungnya yang menjadi tradisi masyarakat Aceh kepada ulama menyebut
nama daerah asalnya. Teungku Abdullah Ujong Rimba putra dari Haji Hasyim ulama
yang berpengaruh di kampungya. Pada waktu kecil Teungku Abdullah mendapat
pendidikan agama dari ayahnya. Pada usia 10 tahun, ia belajar di Dayah Ie Leubee
Meunasah Blang di bawah pimpinan Teungku Ali. Pada tahun 1922 melanjutkan
pendidikan ke Dayah Lamsi yang dipimpin Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.
Tiga tahun kemudian belajar ke Dayah Krueng Kale Seim di bawah pimpinan Teungku
Hasan Krueng Kale. Teungku Abdullah menekuni dan mengamalkan Tarekat al
Haddadiyah dari gurunya tersebut. 90
Pada tahun 1927 beliau pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan
melajutkan pendidikan di sana selama beberapa tahun. Di antara gurunya yang terkenal
88
Ibid., h. 43.
89
Wikipedia Bahasa Indonesia, Abdullah Ujong Rimba, id. Wikipedia.org\ wiki\ Abdullah Ujong Rimba.
90
NU online, Teungku Abdullah Ujong Rimba, www.nu.or.id\a, public –m. dynamic-s, detail-ids, 1…
33
adalah Syeikh Amr bin Abu Bakar Banejed dan selama di Mekkah beliau sempat belajar
kepada guru tarikat Al Haddadiyah. Setelah belajar di Mekkah, kemudian beliau pulang
ke Aceh dan membangun sebuah dayah di kampungnya di Pidie yang dikenal dengan
Dayah Ujong Rimba untuk mengembangkan ilmunya dan mengajarkan Tarikat Al-
Haddadiyah. 91
Pada masa pergerakan nasional, beliau bergabung dalam partai politik, pada
tahun 1939 dibentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), beliau termasuk salah
seorang pengurus PUSA yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureu-eh. Ketika
pemberontakan DII/TII meletus Teungku Abdullah turut bergabung dengan
pemberontakan tersebut, setelah dua tahun terlibat beliau menarik diri karena
pemberontakan tersebut dianggap sebagai bughah mazmumah (pemberontakan tercela).
Menurut ulama yang menarik diri, orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut
telah menyalahi hukum Allah dan Rasulnya. 92
Teungku Abdullah Ujong Rimba pernah mendirikan organisasi taman Jami’ah
Diniyah dan mendirikan Madarasah Sa’adah abadiayah di Blang Paseh Sigli. Ia temasuk
orang yang mendirikan PUSA dan pada masa Jepang diangkat menjadi ketua
Pengadilan Agama Kuta Raja. Ia menjdi ketua MUI 1965-1982, anggota DPA RI, tahun
1973 mendapat Bintang Maha Putra, tahun 1977-1982 terpilih anggota MPR RI utusan
Golkar. 93
Sebagai pemimpin MUI Daerah Istimewa Aceh, Teungku Abdullah berhasil
mengadakan dua seminar yang terkenal bertemakan “ Masuk dan Berkembangnya Islam
di Aceh” pada tahun 1978 dan “Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan
Nusantara” pada tahun 1980 yang menyatakan Islam masuk ke Nusantara melalui Aceh
bukan pada abad ke 13, melainkan pada abad pertama hijrah atau pada abad ke-8
Masehi.
Beliau seorang ulama kharismatik dan berwibawa telah berhasil memimpin
Majlis Ulama daerah Aceh untuk memberi masukan, sumbangan pemikiran dan nasehat
kepada pemerintah serta ulama yang telah mengadakan hubungan timbal balik antara
masyarakat dan pemerintah. Beliau meninggalkan karyannya: Pedoman Menolak Salek
Buta, Ilmu Tarekat dan Hakikat, Hakikat Islam, Masalah Talkin dan Qunut dan Sejarah
Kerajaan Islam Pase.

26. Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy (1904-1975 M).

91
NU online, ibid.,
92
Wikepedia Bahasa Indonesia, Op. Cit.,
93
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jajani Usman, OP. Cit., h. 81.
34
Prof. Dr. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqy lahir pada 10 Maret 1904 di
Lhokseumawe Aceh Utara. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi
Husein bin Muhammad Su’ud, Qadhi Uleebalang Maharaja Lhoksemawe dan seorang
ulama terkenal di kampungnya. Ibunya Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja
Abdul Aziz, seorang anak Qadhi kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi
Ash Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash Shiddiq yaitu khalifah yang pertama.
Beliau merupakan generasi ke 37 dari Abubakar ash Shiddiq maka meletakkan gelaran
ash Shiddieqy diakhir namanya. 94
Ketika kecil, beliau belajar pada orang tua sendiri dan belajar di sekolah rendah
umum. Sesudah itu beliau belajar pada ulama lain, yaitu: 1. Teungku Abdullah yang
terkenal dengan Teungku di Piyeueng, waktu Teungku ini menjadi kadhi di
Lhokseumawe menggantikan Teungku Qadli Husain. Pada beliaulah Teungku Hasbi
mulai belajar ilmu Nahwu. 2. Teungku Idris Tanjungan di Samalanga, pada Dayah
Tanjungan Teungku Hasbi paling lama belajar. 3. Belajar pada Syiekh Muhammad bin
Salim Al-Kalaly keturunan Arab di Lhokseumawe yang khusus memperdalam bahasa
Arab. 4. Syeikh Al-Kalaly mengirim Teungku Hasbi ke Surabaya untuk memasuki
Madrasah Al-Irsyad bahagian Aliyah di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati. 95

Dalam bidang politik pada awal kemerdekan, beliau aktif dalam Partai Masyumi dan
menganggotai organisasi Muhammadiyah.
Teungku Hasbi Ash Shiddiqy seorang ulama yang sangat produktif dan aktif
menulis dalam berbagai disiplin ilmu agama, menurut catatan karya tulisnya yang
dihasilkan berjumlah 73 buah buku terdiri dari 142 jilid dan 50 artikel. Sebahagian
besar karyanya adalah buku figh yang berjumlah 36 judul dalam bidang lain seperti
hadist berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, tauhid 5 judul selebihnya judul yang bersifat
umum. Antara karya Hasbi Ash Shiddiqy adalah: 1. Tafsir Al-Bayan dan An-Nur, Tafsir
Al-Qur’an 30 juz dalam bahasa Indonesia. 2. 2002 (dua ribu dua) Mutiara Hadist 3. Al-
Ahkaam, Hukum-Hukum Figh Islam. 4. Al Islam. 5. Dasar-Dasar Fiqih Islam. 6. Dasar-
Dasar Idiologi Islam. 7. Fakta-Fakta Keagungan Islam 8. Falsafah Hukum Islam.8.
Fiqhul Mawaris: Hukum Hukum Islam Warisan Dalam Syari’at Islam. 9. Fiqh Islam.
10. Hakikat Islam dan Unsur-Unsur Agama. 11. Hukum Antara Golongan Dalam Fiqh
Islam. 12. Hukum Perang Dalam Islam. 13. Idiologi Islam dan Kaedah Pemerintahan.
14. Pedoman Shalah 15. Pedoman Puasa. 16. Sejarah dan Pengantar ilmu Al-Qur’an.

94
id. Wikipedia. org\ wiki\ Muhammad Hasbi.
95
Drs. H. Ismuha SH, Mengenang Kembali, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sinar Darussalam, No.
96\97, 1978, Y.P.D. Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, h. 487.
35
17. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. 18. Pengantar Ilmu Fiqh. 96
Banyak lagi karya
DR. Hasbi As-shiddieqy yang tidak dapat disebutkan di sini.
Profesor Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama yang terkenal, banyak menulis
buku tentang Islam dan ulama ahli hadist yang terkenal. Beliau seorang ulama yang
memiliki kepakaran dalam ilmu fiqh, usul fiqh, fafsir, hadist dan ilmu kalam. Teungku
Hasbi merupakan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yokyakarta
dan bekas Dekan pertama Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Beliau telah meninggalkan karyanya yang cukup banyak untuk pedoman dan tatapan
untuk generasi yang akan datang. Beliau meninggal 9 Desember 1975 tutup usia 71
tahun dikebumikan di pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta, dengan
meninggalkan seorang isteri, dua orang putra dan dua orang putri.

27. Prof. Ali Hasjmy (1914-1998 M)

Ali Hasjmy terkenal sebagai ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan birokrat
yang paling dekat dengan semua kalangan. Ia pernah menjadi gubernur Aceh, Rektor
IAIN ar-Raniry, Ketua Majlis Ulama Aceh, Sasterawan Angkatan Pujangga Baru. Nama
lengkapnya Muhammad Ali Hasjmy, anak kedua dari delapan bersaudara. 97
Prof. Ali
Hasjmy, lebih dikenal dengan A. Hasjmy. Dilahirkan di Lampaseh Lho’ Kecamatan
Montasik Kabupaten Aceh Besar pada 28 Maret 1914. Nama lengkapnya Muhammad
Ali bin Hasyim bin Abbas. Ayahnya Teungku Hasyim seorang ulama yang pernah
menjadi pimpinan Baitul Mal pada masa Panglima Polem di Seulimum dan ibunya
Nyak Buleuen. A. Hasjmy anak tertua dari delapan bersaudara kandung dari satu ayah
lain ibu. 98 Kakek sebelah ayahnya Pang Abbas dan kakek sebelah ibunya Pang Hasein
terlibat dalam perang melawan Belanda di bawah pimpinan Teuku Panglima Polem,
mereka syahid di medan perang.
Ali Hasjmy pada usia remaja memasuki sekolah Belanda di Volk School
(sekolah rakyat tiga tahun), kemudian di Goverment Inlandsche School (sekolah
lanjutan bumi putra dua tahun). Setelah itu belajar di Dayah Montasik, selanjutnya

96
Id. Wikipedia, org\ wiki\ Muhammad Hasbi.
97
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 187.
98
Ernawati, Konsep Dakwah Ali Hasjmy, Tentang Pembinaan Da’i, Skripsi, Fakultas Dakwah Institut
Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Darussalam Banda Aceh 2000, h. 7.
36
memasuki sekolah Thawalib Padang Panjang tahun 1931 yang dipimpin Mahmud
Yunus dan lulus pada tahun 1935. Setelah taman di Tawalib Padang Panjang A.
Hasjmy kembali ke Seulimum dan mengajar di Perguruan Islam Seulimum di bawah
pimipinan Teungku Abdul Wahab Keunaloi lebih kurang selama setahun dan aktif
dalam politik dengan Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia (Peramiindo) dan
mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) dan aktif dalam organisasi PUSA. Pada
tahun 1951 sampai 1953, ia mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara (UISU) Medan.
Ali Hasjmy sebagai ulama yang aktif dalam politik pada tahun 1962 terpilih
sebagai Gubernur Provinsi Aceh ke dua pada tahun 1957 dan berhenti sebagai gubernur
pada bulan April 1964. Ketika menjadi gubenur A. Hasjmy mempelopori berdirinya
Universitas di Aceh dengan lahir Kota Pelajar Darussalam. Pembangunan kota pelajar
mahasiswa Darussalam pada umumnya nama Pak Hasjmy tidak dapat dilupakan akan
tetap terpatri selama-lamanya, karena beliaulah sebenarnya pencetus ide besar lahirnya
konsepsi pembangunan tersebut. 99
Konsep itu terbukti dengan dibentuk Universitas
Syiah Kuala dan IAIN-Ar-Raniry sebagai jantung hati rakyat Aceh. Setelah pensiun dari
Depertemen Dalam Negeri, beliau mengabdi dalam bidang pendidikan dan dakwah di
Darusalam. A. Hasjmy diangkat menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry untuk masa Jabatan
1977-1982, kemudian dipercayakan sebagai Dekan Fakultas Dakwah. Pengabdiannya
dalam dunia pendidikan ternyata membuahkan hasil melalui pengangkatan sebagai
Guru Besar (Profesor) dalam ilmu dakwah pada tahun 1976. 100
Ali Hasjmy sebagai ulama produktif, umara bijaksana, politikus ulung dan
Sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang terkenal, terlibat dalam politik di masa
perjuangan memperoleh kemerdekaan, aktif dalam pemerintahan, pencinta pendidikan
dan tokoh dakwah yang tetap dikenang sepenjang zaman. Beliau terkenal bukan saja di
Indonesia tetapi terkanal di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Pattani Thailand
sebagai tokoh ulama dan sastrawan yang sering diundang untuk pertemuan dan seminar.
Beliau seorang intelek, pendidik, ulama, tokoh adat, sastrawan, politikus dan juga
seorang yang sangat mencintai Aceh, namun nasionalis sejati. 101
Prof. A. Hasjmy merupakan ayah dari suatu keluarga besar dari Majlis Ulama
Indonesia, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh, Dewan Masjid Indonesia, Badan
99
Drs. Marzuki Nyakman, Pak Hasjmy, Pencetus Pembangunan Kopelma Darussalam, dalam
Badruzzaman Ismail et al. (ed), Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, A. Hasjmy Aset
Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, h. 83.
100
Ernawati, Op. Cit., h. 18.
101
Ameer Hamzah, Sebuah Bintang di Langit Zaman, dalam Badruzzaman Ismail, et al. (ed), h. 242.
37
Harta Agama, Majlis Pendidikan Daerah, Yayasan Ali Hasjmy, Universitas
Muhammadiyah, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. 102
Beliau cukup
berjasa dalam membina institusi di atas dan cukup berperanan dalam menyelesaikan
kemelut dan konflik pemerintah Aceh semasa DII/TII dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dengan program dakwah keamanan sehingga mencapai kedamaian yang
menyeluruh di Aceh.
Beliau diangkat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Aceh.
Perhatiannya dalam bidang pendidikan cukup besar, ditandai dengan berdirinya
Yayasan Pendidikan A. Hasjmy yang dibentuk pada 15 Januari 1991 kemudian
diwakafkan untuk masyarakat dan umat Islam di mana di dalamnya terdapat suatu
perpustakaan yang cukup berharga dan bernilai. Beliau sangat berjasa dan sebagai
bintang yang cemerlang pada zamannya yang cukup produktif dalam penulisan sebagai
sastrawan dan ulama besar yang cukup banyak meninggalkan karya tulis keilmuan yang
ditinggalkan untuk generasi masa kini dan yang akan datang. Dari produktifitas inilah
A. Hasjmy telah menulis tidak kurang dari 60 buah buku yang memuat dalam berbagai
bidang ilmu, khususnya sejarah, roman, puisi, pemikiran keagamaan, politik kenegaraan
dan konsentrasi umum. 103
Antara karya A. Hasjmy yang disebutkan di sini hanya beberapa saja: 1. Kisah
seorang Pemuda (Sajak). 2. Bermandi Cahaya Bulan (Roman). 3. Melalui Jalan Raya
Dunia (Roman Masyarakat). 4. Suara Azan dan Lonceng Gereja (Roman antara
Agama). 5. Rindu Bahagia (Kumpulan Sajak). 6. Dimana Letaknya Negara Islam
(Karya Ilmiah). 7. Sejarah Kebudayaan dan Tamadun Islam. 8. Yahudi Bangsa
Terkutuk. 9. Sejarah Hukum Islam. 10. Pemimpin dan Akhlaknya. 11. Dustur Dakwah
Menurut Al-Qur’an. 12. Sejarah Kebudayaan Islam. 13. Iskandar Muda Meukuta Alam.
14. Peranan Islam Dalam Perang Aceh. 15. Sumbangan Kesusastraan Aceh Dalam
Pembinaan Kesusastraan Indonesia. 16. Hikayat Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh
Melawan Belanda. 17. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. 18.
Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. 19. Nabi Muhammad Sebagai Panglima
Perang. 20. Pokok Pikiran Sekitar Dakwah Islamiyah. 21. Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia. 22. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. 23.
Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. 24. Sejarah Kebudayaan Islam di
Indonesia, dan masih banyak lagi karya Ali Hasjmy yang tidak dapat disebutkan di sini.

102
Drs. Sahlan Saidi, Seniman, Ayah dan Pendidik, dalam Badruzzaman Ismail, et al. (ed), h.286.
103
Ernawati, Op. Cit., h. 20.
38
Ali Hasjmy sebagai ulama besar, sastrawan yang terkenal dan umara yang
bijaksana yang berbakti kepada agama, bangsa dan negara. Beliau meninggal dunia
pada 18 Januari 1998 di Ramah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh, tutup usia 84 tahun.
Pemergiannya ditangisi masyarakat Aceh, masyarakat Indonesia dan banyak pihak
termasuk masyarakat di Malaysia, Singapura dan Brunei yang menghiasi media massa
dan elektronik karena dunia alam Melayu kehilangan seorang ulama besar dan
sastrawan terkenal. Pada masa hidupnya, beliau telah menerima banyak tanda jasa dan
penghargaan sebagai tanda baktinya pada agama, bangsa dan negara. Pemergiannya
telah meninggalkan karyanya yang cukup bernilai dan berharga untuk kemajuan dan
kebahagiaan umat manusia sepanjang masa.

28. Syeikh Muda Wali Al Khalidy (1917-1961 M)

Syeikh Muda Wali Al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh Kecamatan


Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu
dari Syeikh H. Muhmmad Salim bin Malin Palito. Ayahnya berasal dari Batu Sangkar
Sumatera Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan sebagai da’i. Tidak lama setelah Syeikh
Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan Siti Janadat,
putri seorang kepala desa yang bernama Kuchik Nyak Ujud yang berasal dari desa Kota
Palak Kecamatan Labuhan Haji Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal bersama bayinya
pada saat melahirkan adik dari Syeikh Muda Wali. 104
Syeikh Muda Wali belajar Al-Qur-an dan kitab kecil tentang tauhid, fiqh dan
dasar ilmu bahasa Arab pada ayahnya. Beliau masuk sekolah Volks-School yang
didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks-School, beliau dimasukkan ke
Dayah Jam’iyah Al-Khairiah di Labuhan Haji yang dipimpin oleh Teungku Muhammad
Ali selama 4 tahun, kemudian beliau dihantar oleh ayahnya ke Dayah Bustanul Huda di
ibu kota Blang Pidie. Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau
melanjukan pendidikan di Dayah Krueng Kale di Aceh Besar yang dipimpin oleh
Teungku Hasan Kreueng Kale. Tidak lama di Dayah Kreueng Kale, beliau pindah ke
Dayah Indrapuri yang dipimpin oleh Teungku Hasballah Indrapuri yang menonjol

104
Tgk. Mursyidi Ar Ali, Santri LPI MUDI MESRA Samalanga. Mursyidali. Blogspot. Com\2009\4\
profil-sheikh-muda-wali-al-khalidy-09-html
39
tentang ilmu Al-Qur’an yang berkaitan dengan kiraat dan lainnya di mana Teungku
Muda Wali masih kurang pengetahuan tentang Al-Qur’an. Di Dayah Indrapuri beliau
diangkat sebagai guru senior untuk mengajar karena memiliki pengetahuan yang luas.
105

Setelah beberapa lama mengajar di Dayah Indrapuri mendapat tawaran dari


Teungku Hasan Gelumpang Payong untuk belajar ke Sumatera Barat di Perguruan
Normal Islam School yang didirikan oleh Ustaz Mahmud Yunus yang pernah belajar di
Mesir. Teungku Muda Wali berangkat ke sana, sesampai di Normal Islam itu, sistem
belajar berbentuk sekolah, pelajaran agama rendah dan banyak diajarkan pelajaran
umum yang dianggap tidak sesuai bagi Teungku Muda Wali kerena ilmunya lebih tinggi
dari yang diajarkan di situ. Kemudian beliau menjadi penceramah, pendakwah dari
Masjid ke Masjid di Padang dan berdialog dengan para ulama sehingga diakui
kealimannya dan kepandaianya dalam ilmu fiqh, tasawuf dan nahu sehingga menjadi
terkenal di kalangan masyarakat Sumatera Barat yang dipanggil Angku Mudo atau
Angku Aceh. Akibat kepandaiannya seorang ulama Padang Syeikh Khatib Ali sangat
tertarik dengan Teungku Muda Wali sehingga menjodohkannya dengan famili beliau
Hajjah Rasimah, yang kemudian melahirkan Teungku Muhibuddin, sejak itu
kemasyhuran Teungku Muda Wali semakin menonjol dan tertarik di kalangan ulama-
ulama besar. 106
Kemudian Teungku Muda Wali dinikahkan dengan putri Syeikh
Muhammad Jamil Jaho yaitu Hajjah Rabi’ah yang juga alim yang melahirkan Teungku
Mawardi.
Pada tahun 1939 Teungku Muda Wali bersama isterinya Hajjah Rabi’ah
menunaikan ibadah haji ke Mekkah, beliau menetap di sana selama tiga bulan untuk
menuntut ilmu pada ulama besar Masjidil Haram yaitu Syeikh Ali Maliki. Setelah
pulang dari Mekkah, pada akhir tahun 1939, beliau pulang ke Aceh Selatan di
Kecamatan Labuhan Haji di kampungnya dan mendirikan sebuah Dayah yang kemudian
menjadi terkenal, muridnya berdatangan dari seluruh Aceh dan banyak murid-muridnya
menjadi ulama besar yang kemudian mendirikan dayah di berbagai tempat di Aceh.
Teungku Syeikh Muda Wali di samping memimpin dayah, beliau
mengembangkan tarikat Naqsyabandiyah dan berfahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
bermazhab Syafi’i. Dalam bidang politik beliau melibatkan diri dalam Partai Tarbiyah
Islamiyah (PERTI) dan beliau tidak melibatkan diri dalam organisasi PUSA. Teungku
Muda Wali juga sangat tidak setuju dengan pemberontah DII/TII yang di gerakkan oleh
105
Tgk. Mursyid Ar Ali, ibid.,
106
Ibid.,
40
Teungku Muhammad Daud Beurue-eh karena menurutnya bertetangan dengan hukum
Islam dan beliau mengharamkan perlawanan tersebut. Beliau menghasilkan beberapa
kitab, antaranya: 1. Al Fatwa dikarang dalam bahasa Indonesia tulisan jawi, isinya
berbagai fatwa tentang agama Islam. 2. Tanwirul Anwar dikarang dalam bahasa Arab,
isinya membahas masalah akidah dan syariah. 3. Ikhtisar kitab Tuhfatul Muhtaj
karangan Ibnu Hajar Haitami. 107
Di antara murid Beliau yang terkenal adalah: 1. Al-Marhum Tgk.H. Abdullah
Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, Bireuen. 2. Al-
Marhum Tgk. Abdul Aziz bin Saleh, pimpinan Dayah MUDI MESRA, Samalanga. 3.
Al-Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy, Tanjongan Samalanga. 4. Tgk. Muhammad
Amin Blang Bladeh (Abu Tumin), pimpina, Dayah Al-Madinatut Diniyah Babussalam
Blang Bladeh. 5. Tgk. Daud Zamzami, Aceh Besar. 6. Al-Marhum Tgk. Syeikh
Syahabuddin Syah, pimpinan Dayah Safinatusalamah, Medan. 7. Tgk. Adnan Mahmud,
pendiri Dayah Ashabul Yamin, Bakongan Aceh Selatan. 8. Al-Marhum Tgk. Syeikh
Marhaban Krueng Kale. 9. Al-Marhum Tgk. Muhammad Isa, Peudada. 10. Al-Marhum
Tgk. Jakfar Siddiq, Kuta Cane. 11. Al-Marhum Tgk. Abu Bakar Sabil, Aceh Barat. 12.
Al-Marhum Tgk. Usman Fauzi, Cot Iri, Aceh Besar Dan lain-lain lagi.
Syeikh Muda Wali memiliki 7 orang anak yang semuanya menjadi ulama besar,
1. Abuya. Prof. Dr. H. Muhibuddin Wali, 2. Kiyai Drs. H. Jamaluddin Wali, 3. Abuya
H. Mawardi Wali, 4. Abu H. Amran Wali, 5. Abu H. Muhammad Nasir Wali, 6. Abu
Ruslan Wali, 7. Ummi Hj. Tgk. Halimah binti Muhammad Wali. Syeikh Muda Wali
meninggal dunia pada 20 Maret 1961 hari Selasa, bertepatan 11 Syawal 1381 H masih
dalam suasana hari raya dalam usia 47 tahun, beliau meninggal dunia dengan
meninggalkan isteri, anak dan murid-muridnya untuk selama-lamanya.

29. Teungku Muhammad Yusuf Kreut Lintang (1917-1985 M)

Teungku Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan penggilan Abu Kreut Lintang.
Ia merupakan anak ke empat dari Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud bin Teungku
Silang bin Teungku Rampah Tarung bin Teungku Salahuddin. Teungku Salahuddin
lebih dikenal dengan nama panggilan Teungku Chik Keurukon. Abu Kruet Lintang lahir
pada 21 Agustus 1917 di desa Kruet Lintang, Kemukiman Rambong Payong, Peureulak
Aceh Timur. Ketika berusia 10 tahun orang tuanya meninggal dunia dan ia diasuh oleh

107
https\rumahkelana. woress. com\....\ teungku. Teungku Syiek Muda Wali al-Khalidy
41
pamannya Teungku Usman bin Mahmud. Ibunya Ummi Hamidah binti Teungku
Mahmud Julok bin Abdul Muin yang juga seorang ulama.
Abu Kreut Lintang belajar di beberapa dayah antaranya, Dayah Cot Plieng Bayu
selama delapan bulan di bawah pimpinan Teungku Cut Ahmad. Ketika Pimpinan dayah
itu meninggal Abu Kruet Lintang pindah ke Dayah Keung Kalee Aceh Besar pada tahun
1939 yang dipimpin oleh Teungku Hasan Kreung Kale. Setelah itu Abu Kruet Lintang
belajar pada Dayah Blang Batee Peurelak pada tahun 1942 di bawah pimpinan Tengku
Muhammad Ali. Di Dayah Blang Batee Abu Kreut lintang memperdalam ilmu Tauhid,
Tafsir, ilmu kalam dan lain-lain selama satu tahun. 108

30. Abu Ibrahim Woyla (1919- 18 Juli 2009 M)

Abu Ibrahim Woyla nama lengkapnya Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman
bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Kapupaten
Aceh Barat tahun 1919. Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya
sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR) kemudian menempuh pendidikan dayah
selama hampir 25 tahun, beliau pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang
ulama asal Lhoknga Aceh Besar yang mendirikan Dayah Bustanul Huda Di Kecamatan
Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Di antara murid Syeikh Mahmud adalah Ibrahim Woyla
dan murid Syeikh Muda Wali Al-Khalidy, kemudian Ibrahim Woyla belajar pada
Syeikh Muda Wali sebagai ulama tersohor di Aceh untuk memperdalam ilmu tarekat
Naqsyabandiyah. 109
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri. Isteri pertama bernama Ruliah
dan dikurniai3 orang anak, 1 lelaki, 2 perempuan bernama Salmiah, Hayatun Nufus dan
Zulkifli. Sementara isteri keduanya dinikahi di Peulantee Aceh Barat dua tahun sebelum
beliau meninggal dunia dan tidak punya anak. Bagi orang yang belum mengenalnya
bisa beranggapan Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping
penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat kamit mengucapkan zikir di mana
saja dan sambil berjalan. 110
Setelah belajar tarekat selama 3 tahun Abu Ibrahim pulang kampung
halamannya, kemudian Ibrahim Woyla mengembara di mana keluarganya tidak
mengetahui kemana ia pergi. Menurut riwayat Abu Ibrahim menghilang dari keluarga

108
Tgk. Zulfahmi Mr, Abu Kruet Lintang: Ulama Kharismatik Aceh Timur, Abu Kreut Lintang LPI
Dayah Raudhatul Ma’arif.
109
Media Dakwah Santri Dayah, 30 Maret 2013, Kisah Waliyullah Aceh, Abu Ibrahim Woyla.
110
Fahmi Ali, Teungku Ibrahim Woyla, Waliyullah Aceh, Posted on April 18, 2015.
42
selama tiga kali, pertama menghilang selama 2 bulan, kemudian 2 tahun yang terakhir
selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya. Ketika pulang selama
menghilang 4 tahun dengan rambut dan jenggot sudah penjang tidak terurus. Abu
Ibrahim setelah itu kurang mengurus keluarganya dan tidak memperdulikan
kepentingan dunia, ia asyik berzikir kepada Allah sehingga ia dianggap ulama yang
sudah mencapai tingkat waliyullah, kemana ia pergi senantiasa berjalan kaki.
Ketika meninggal pada 18 Juli 2009 dalam usia 90 tahun. Abu Ibrahim Woyla
yang dianggap keramat telah didatangi oleh ribuan orang untuk bertakziah. Selama 30
hari meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang
melawat ke kampung Pasi Aceh Kecamatan Woyla Aceh Barat sebagai tempat terakhir
peristirahatan Abu Ibrahim Woyla untuk menyampaikan duka yang mendalam. 111
Abu Ibrahim Woyla dianggap keramat oleh masyarakat dengan berbagai keanehan yang
terjadi, dikatakan ia lebih cepat sampai ke suatu tujuan dengan berjalan kaki
dibandingkan dengan orang yang menggunakan kenderaan. Oleh kerena itu ia diakui
sebagai ulama besar yang cukup lama belajar di Dayah, punya kelebihan yang luar biasa
dan sangat taat dalam beribadah.

31. Teungku Muhammad Ali Irsyad Teupin Raya (1921-2003 M)

Teungku Muhammad Ali Irsyad merupakan ulama besar yang berpengaruh di


Aceh dan pendiri Dayah Darussa’adah di Aceh. Teungku Muhammad Ali dilahirkan
pada tahun 1921 di desa Kayee Jatoe Kemukiman Teupin Raya, Kecamatan Glumpang
Tiga, Kabupaten Pidie. Ayahnya Muhammad Irsyad keturunan dari Panglima Doyen
dari Aceh Besar. Ibunya bernama Aisyah berasal dari keluarga ulama dari Lapang
Lkokseukon yang berhijrah ke Teupin Raya, dari kedua orang tuanya mengalir darah
bangsawan dan ulama. 112 Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Teupin Raya.
Beliau sejak kecil dididik langsung oleh orang tuanya dalam bidang agama
dengan ketat oleh Teungku Irsyad yang ketika itu memegang jabatan sebagai qadhi
salah seorang uleebalang Geulumpang Payong pada masa Belanda, maka sudah tentu
beliau dari lingkungan bangsawan yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan
umum dan juga belajar pendidikan agama. Kemudian beliau memutuskan untuk
meneruskan pendidikan agama. Teungku Muhammad Ali belajar agama di dayah yang
pertama pada Teungku Abdul Majid bin Abdurrahman di Desa Uteun Bayu Ulee Gle
Media Dakwah Santri Dayah 30 Maret 2013.
111

Darussa’adah Riwayat Hidup Teungku Muhammad Ali Irsyad (Teupin Raya Sigli), Darussa’adah,
112

2005, h. 1.
43
Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie Jaya. Di dayah ini beliau belajar berbagai
disiplin ilmu seperti ilmu tauhid, figh, tafsir hadits, ilmu bahasa, mantiq dan tasawuf,
khususnya dalam Madhab Syafi’i. Selanjutnya beliau belajar di Pulo Kiton dan
kemudian ke Gandapura untuk mempelajari ilmu falak pada Teungku Usman Makam
seorang ulama yang baru pulang dari Mekkah. Pada tahun 1961 beliau berangkat ke
Mesir dan diterima di Dirasah Khassah yang khusus menuntut ilmu falak. 113
Pada saat beliau belajar di Mesir dengan konsenterasi ilmu falak telah mendapat
sebutan di depan nama dengan gelar al-falaki sebuah gelar yang menunjukkan keahlian
dan kemahiran dalam ilmu falak. Keahalian dalam ilmu falak telah membuat beliau
terkenal bukan saja di Aceh tetapi juga di almamaternya di Cairo. Kemahirannya dalam
ilmu falak beliau telah menyusun sebuah kalender sepanjang masa sebagai pedoman
dalam menentukan waktu shalat dan waktu berbuka puasa.
Teungku Muhammad Ali Irsyad termasuk ulama besar yang kreatif dalam
mengambangkan dakwah Islamiyah di Aceh melalui jalur pendidikan Darussa’adah dan
penulisan. Dayah Darussa’adah telah ditumbuhkan cabangnya di Aceh dan di Malaysia.
Beliau telah menghasilkan sejumlah karya tulis yang dapat dijadikan pegangan dalam
menjalankan syariat Islam. Menurut data yang diperoleh di Dayah Darussa’adah sampai
akhir hayatnya telah merampungkan sebanyak 28 karya tulis dalam berbagai bidang
ilmu, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Gayo dan bahasa Arab. Antara Karyanya adalah
Awaluddin Makrifatullah (tauhid), Al Qaidah (nahwu), Taqwinul Al-Hijri (ilmu falak)
dan Ad-da’watul Wahabiyah (gerakan dakwah wahabi). Beliau juga telah melakukan
terobosan baru pada tahun 1984 dengan membuka sekolah umum yaitu Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan SMA, kedua sekolah itu dibuka di kampus Dayah
Darusa’adah pusat Teupin Raya. 114
Teungku Muhammad Ali Irsyad sebagai ulama besar, berpengaruh, pendiri
Dayah Darussa’adah yang kemudian bergelar Abu Teupin Raya dan Abu Falaqy. Beliau
meninggal dunia pada tahun 2003 di Teupin Raya.

31. Prof. Dr. H. Ismuha (1923-1995 M)


Prof. Dr. Ismuha dilahirkan di desa Pantee Piyeue, Matang Geulumpang Dua,
Peusangan, Aceh Utara, 20 Desember 1923. nama aslinya adalah Ismail, anak dari
pasangan suami-isteri Teungku Muhammad Syah dan Cut Afifah. Seperti kebiasaan

113
Latar Belakang Pemikiran Teungku Muhammad Ali Irsyad, Senin 2 Mei 2011, cinta zayyan, blogspot,
my\2011\05\ latar-belakang-pemikiran-teungku, html
114
Atjeh Gellary, Selasa 20 Januari 2015, Abu Teupin Raya Teungku Muhammad Ali Irsyad
44
orang Aceh dibelakang namanya selalu dicantumkan nama ayahnya maka namanya
menjadi Ismail Muhammad Syah kemudian disingkat menjadi Ismuha. 115
Ismail Muhammad Syah pada masa kanak-kanak mendapat pendidikan agama
dari ayahnya seorang ulama, imam desa yang aktif mengajar agama bagi anak desa
membaca Al-Qur’an dan kitab jawi. Ketika usia sekolah, Ismuha masuk Volkschool,
sekolah dasar di masa penjajahan Belanda. Dalam masa yang sama Ismuha memasuki
sekolah agama Al-Muslim Peusangan yang didirikan oleh Teungku Abdurrahman
Meunasah Meucap. Beliau belajar selama 7 tahun dan selesai pada tahun 1937 lulus
dengan nilai terbaik. Selanjutnya memasuki Madrasah Al-Islah di Samalanga selama
setahun. Pada tahun 1939, Ismuha memasuki Normal Islam Institut Bireuen selama 4
tahun dan selesai pada tahun 1943.
Kemudian Ismuha memasuki Universitas Islam Indonesia (UII) dan pada tahun
1957 memperoleh sarjana muda. Pada tahun 1958 memperoleh satu lagi sarjana muda
dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN) Yokyakarta. Pada tahun 1961
memperoleh sarjana lengkap dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yokyakarta.
Ketika pindah ke Aceh, Ismuha menjadi dosen dan dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ar-
Raniry serta mengambil kuliah di Fakultas Hukum Unsyiah dan mendapat gelar Sarjana
Hukum. Pada 1 September 1984, ketika usianya 61 tahun, Ismuha meraih gelar Doktor
dalam bidang hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dengan yudisium
sangat memuaskan. 116
Dalam bidang politik, Ismuha telah aktif dalam organisasi Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) sejak umur muda. Ketika masih di kampung Ismuha menjadi
sekretaris pemuda PUSA Cabang Juli Bireuen Aceh Utara. Dalam kongkes ke II PUSA,
Ismuha terpilih sebagai sekretaris II pengurus Besar PUSA dan dalam kongres di Kuala
Simpang pada tahun 1950, Ismuha terpilih untuk mewakili PUSA duduk dalam Dewan
Partai Masyumi Pusat. Pada tahun 1946, rakyat Aceh membentuk Lasykar Pesindo
Aceh dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda, Ismuha
aktif sebagai juru penerangan, dalam Lasykar Mujahidin menjadi sekretarisnya dan
dalam Tentera Pelajar Islam Aceh, Ismuha masuk staf resimen. 117
Ismuha termasuk salah seorang pendiri Majlis Ulama Aceh pada tahun 1965 dan
beliau duduk sebagai wakil ketua dan ketua Majlis Fatwa sampai akhir hayatnya.
115
Drs. M. Hasbi Amiruddin MA, In Memorium, Prof. Dr. H. Ismuha SH, Sinar Darussalam, No. 214
November\Desember 1995, Y.P.D.S. Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, MUI, LAKA, MPD
Banda Aceh, h. 93.
116
Ibid., h. 95.
117
Ibid., h. 96.
45
Ismuha juga telah menduduki jabatan Rektor IAIN Ar-Raniry mulai tahun 1965-1972,
sebagai pejabat sementara Rektor IAIN Sumatera Utara tahun 1979-1981 dan beberapa
kali menjabat Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dalam
pemerintahan, Ismuha pernah dipercayakan sebagai anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) periode 1988-1993 yang membidangi komisi Politik dan Kesra.
Dalam dunia penulisan, Ismuha telah menulis sejak usia muda pada zaman
Belanda, beliau menjadi koresponden Harian Sinar Deli dan Perwata Deli yang terbit di
Medan serta penulis pada majalah Penyuluh yang diterbitkan oleh PUSA di Bireuen.
Pada zaman Jepang, Ismuha mengcover berita untuk Surat Khabar Atjeh Sinbun di
Kutaraja dan Surat Khabar Kita Sumatra Sinbun di Medan. Pada zaman merdeka,
Ismuha aktif menulis dibeberapa surat khabar di Banda Aceh, Medan, Jokyakarta dan
Jakarta. 118 1
Ketika menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry, telah berusaha menerbitkan
Majalah Gema Ar-Raniry dan menjadi wakil pemimpin redaksi dan penanggungjawab
majalah Sinar Darussalam serta beliau aktif menulis di Majalah Santunan.
Ismuha telah menulis beberapa buah buku, antaranya menterjemahkan kitab dari
Bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yaitu Muqaranatul Mazahabi karangan Syeikh
Mahmoud Syaltout dan Syeihk Muhammad Ali As-Sayis yang dalam bahasa Indonesia
berjudul Perbandingan Mazhab, Adat Gono Gini Ditinjau Dari Sudut Hukum Islam dan
Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdana, Hukum Adat dan
Hukum Islam. Ismuha tidak banyak menulis buku tetapi banyak karya ilmiyah yang
ditulis di surat khabar dan majalah yang menunjukkan dia seorang penulis yang
produktif semasa hidupnya. Prof. Dr. Ismuha meninggal dunia pada 30 September 1995
di Banda Aceh dalam usia 72 tahun, sebagai seorang ulama terkenal yang banyak
berjasa bagi IAIN Ar-Raniry kini UIN, dan kehilangan bagi pemerintah dan masyarakat
Aceh pada umumnya.

32. Teungku Abdul Hamid Uteuen Bayu (1924-2012 M)

Teungku Abdul Hamid bin Yahya merupakan ulama besar yang menetap di
Desa Uteuen Bayu Ulee Gle Kemamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie Jaya lahir pada
tahun 1924. Abu Uteuen Bayu meninggal dunia hari Jum’at 1 Agustus 2012 tutup usia
88 tahun. Beliau merupakan pimpinan Dayah Daru Falah dan Dayah Manbaul Ulum
Ulee Gle Kecamatan Bandar Dua. 119
Menurut Abu di Kuta, Tgk Usman Ali dengan
118
Ibid., h. 102.
119
Atjehport.com, http:\\atjehpost.com\...\12 Ulama-Aceh-yang-kembali-menghadap…
1
Ibid, h. 102.
46
meninggalnya Abu Uteuen Bayu berarti di Provinsi Aceh kembali kehilangan seorang
ulama besar di bidang ilmu tauhid, yang sangat sulit akan ada pengganti selevel
almarhum pada zaman sekarang. Abu Uteuen Bayu seorang Ulama kharismatik terkenal
sangat vokal dalam memperjuangkan Islam dan kepentingan masyarakat Islam di
Provinsi Aceh. 120
Teungku Abdul Hamid seorang ulama yang istiqamah, sangat tegas dalam
menerapkan hukum Islam dan menjadi rujukan masyarakat dan pemerintah daerah.
Beliau ulama besar yang hidup sederhana tidak memiliki kekayaaan dan tidak menyukai
banyak harta. Beliau tidak melibatkan diri dalam politik dan tidak mau menerima
apapun bantuan dari pemerintah supaya bersetuju atau mempengaruhinya untuk
mendukung kebijaksaan pemerintah yang berbau politik. Teungku Abdul Hamid sosok
ulama yang tidak berhasil dirangkul dalam kepentingan politik kekuasaan, tidak mau
menerima bantuan pemerintah, tidak dekat beliau dengan pejabat pemerintah maka
tidak ada bangunan yang dibantu pemrintah. Ia tidak mengelola Pasantren secara khusus
tepapi santri masyarakat secara keseluruhannya. Sebagai ulama fiqih banyak memberi
fatwa hukum agama yang didistribusikan dalam masyarakat. 121
Beliau sangat dihormati, disanjungi dan dikagumi oleh masyarakat dan pemerintah atas
penderian yang kuat, sanga teguh terhadap hukum Islam dan pola hidup yang cukup
sederhana tanpa mengharap pertolongan dan menolak bantuan pemerintah.

33. Teungku H. Abdullah Hanafi (1926-1989 M)

Teungku Abdullah Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Tanoh Mirah
merupakan salah seorang ulama dayah yang terkenal di Aceh. Beliau dilahirkan pada
tahun 1926 di desa Tanoh Mirah Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireun Aceh.
Teungku Abdullah Hanafi terkenal di Aceh pada masanya sebagai seorang ulama sangat
menguasai ilmu usul fiqh dan beliau salah seorang murid Teungku Syeikh Muda Wali al
Khalidi. 122
Semenjak usia 11 tahun, Tengku Abdullah mulai mengaji di daerahnya di Dayah
Blang Blahdeh selama 3 tahun. Kemudian pindah ke Dayah Leupung Aceh Besar dan
ke Dayah Lancok. Setelah itu, beliau melanjutkan ke Dayah Labuhan Haji. Pase
pendidikan dayah yang ditempuh Teungku Abdullah yang terlama di Dayah Labuhan
Haji Aceh Selatan, di mana pendidikan agama yang ditempuh di dayah berlangsung
120
Selamat Jalan Tgk H. Usman Ali\ Blog Saman UI
121
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 575.
122
Kitab-kuneng.blogspot.com\2011-8-01 arch….Tgk. H. Abdullah Hanafi
47
selama 19 tahun. Sebuah waktu yang cuku lama untuk mempersiapkan diri menjadi
ulama dan pemimpin agama. Sebagai ulama dayah yang disegani, beliau memegang
jabatan sebagai ketua umum Persatuan Dayah Inshafuddin Aceh Utara, Ketua Majlis
Syura Inshafuddin Daerah Aceh dan wakil ketua Dewan Pertimbangan Majlis Ulama
(MUI) Tingkat II Aceh Utara. 123
Setelah sekian lama, belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan,
beliau pulang ke kampung halamannya mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama
Islam yang bernama Dayah Darul Ulum yang di dirikan pada tahun 1957 di desa Tanoh
Mirah Kecamatan Peusangan. Pada masa jayanya, Dayah Darul Ulum pernah sangat
terkenal sampai ke Malaysia dan berbagai provinsi di Indonesia. Banyak santri dari
Aceh dan luar daerah yang belajar di sini dan telah berhasil membangun dayah di
daerah masing-masing. 124
Abu Tanoh Mirah meningal dunia pada 20 November 1989 dalam usia 63 tahun
dan meninggalkan 8 orang putra dan putri. Beliau merupakan ulama Aceh yang sangat
teguh memegang ajaran Al-Qur’an dan Hadist dengan mengikuti mazhab Syafi-i.
Pemergianya suatu kehilangan besar bagi masyarakat Aceh, betapa tidak ulama ini
diakui bobot keilmuannya dan amat disegani di kalangan ulama dayah, pemerintah, ahli
politik dan masyarakat. Kemudian pimpinan Dayah Darul Ulum dipimpin oleh anak
kedua beliau yang bernama Teungku Muhammad Wali al-Khalidi yang diberi nama
sama dengan gurunya. Pada hari Kamis 5 September 2013 Teungku Muhammad Wali
al-Khalidi juga berpulang kerahmatullah dalam usia 50 tahun. Dikebumikan di kamplek
Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah Tanoh berdekatan dengan kubur ayahandanya Abu
Tanoh Mirah.

34. Teungku Abdul Aziz Samalanga (1930-1986 M)

Teungku Abdul Aziz merupakan seorang ulama kharismatik dan terkenal di


Aceh. Beleiau ualam ahli mantiq, nama lengkapnya Teungku Haji Abdul Aziz bin M.
Saleh. 125 Beliau lebih dikenal dengan panggilan Teungku di Mesjid Raya atau Abon
Budi Mesra. Teungku Abdul Aziz dilahirkan di Desa Kandang Samalanga Kabupaten
Bireuen pada tahun 1930, pada bulan Ramadhan tahun 1351 H. Teungku Abdul Aziz
dibesarkan di Jeunib karena ayahnya pernah menjabat Kepala Kantor Urusan Agama

123
Ulil26. Blogspot.com\2014 teungku-h-abdullah-hanafi. html
124
Kitab-kuneng.blogspot.com Op. Cit.,
125
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 11.
48
(KUA) Jeunib dan beliau pendiri Dayah Darul ‘Atiq Jeunib di mana Tengku Abdul Aziz
belajar di dayah tersebut semasa tinggal di Jeunib. 126
Teungku Abdul Aziz mulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937,
memasuki Sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan sekolah itu pada tahun 1944. setelah
itu beliau belajar pada orang tuanya selama dua tahun. Pada tahun 1946 beliau pindah
belajar ke Dayah LPI MUDI Masjid Raya Samalanga yang dipimpin oleh Tgk.H.
Hanafiah lebih kurang dua tahun. Pada tahun 1948 beliau melanjutkan ke salah satu
dayah yang dipimpin oleh Teungku Ben Tanjongan di Matangkuli Aceh Utara sampai
tahun 1949 dan pada tahun yang sama beliau kembali ke Dayah MUDI Samalanga
untuk mengabdi diri sebagai guru. Pada tahun 1951 beliau melanjutkan pendidikannya
ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang dipimpin oleh Teungku Syeikh
Muda Wali selama 7 tahun. Pada tahun 1958 Teungku Abdul Aziz kembali lagi ke
Dayah MUDI Samalanga dipimpin Teungku Hanafiah dan menikahi anak gurunya Hj.
Fatimah binti Hanafiah. Kemudian setelah pimpinan Dayah meninggal dunia maka
diangkat beliau sebagai pimpinan Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga. 127
Teungku Abdul Aziz telah menghabiskan hidupnya dalam dunia dayah dari
belajar dan mengajar sejak muda sampai tutup usia. Ketika belajar di Labuhan Haji,
beliau memfokuskan diri belajar ilmu mantik, usul fiqih, bayan, ma’ani dan ilmu lain.
Teungku Abdul Aziz menjadi murid pertama dari Bustanul Muhaqqiqin sebagai
program khusus dari Teungku Syeikh Muda Wali bagi murid yang akan menyelesaikan
proses “beut semeubeut” di dayahnya. Teungku Abdul Aziz mendapat gelar Al-Mantiki
dari gurunya Teungku Muda Wali Al-Khalidi, karena kemampuan daya serap ilmu yang
amat tinggi, khusus ilmu logika yang dikenal dengan ilmu mantik. 128
Teungku Abdul Aziz merupakan ulama yang cukup berpengaruh bagi
masyarakat dan sebagai pengkaderan ulama di Aceh. Beliau melibatkan diri dalam
partai Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) dalam berpolitik. Beliau juga telah
memainkan peranan yang cukup penting sebagai pempinan Dayah Ma’hadal Ulum
Diniyah Islamiyah (MUDI Masjid Raya) Samalanga menjadi dayah yang megah dan
terkenal di Aceh sehingga mencapai kemajuan yang amat pesat. Pimpinan Dayah MUDI
yang baru telah mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama

126
Abon Abdul Aziz Samalanga Ibm mudimesra. com, Profil Ulama Nusantara
127
Ibid.,
128
M. Adli Abdullah, Tgk Abdul Aziz Samalanga Tokoh Pengkaderan Ulama Aceh,
www.ilovesamalanga.com\2014\07tgk-abdul aziz-samalanga-tokoh-html.
49
Islam (STIA) tanpa meninggalkan pola asal pendidikan dayah yang kini memiliki santri
3000 orang. 129
Pada 17 Januari 1989 bertepatan 9 Jumadil Akhir 1409 H, Teungku Abdul Aziz
yang dipanggil Abon Samalanga dipanggil kehadirat Allah s.w.t dengan tutup usia 58
tahun di Samalanga. Jasad beliau dikebumikan di komplek putra Dayah LPI MUDI
Mesra Samalanga Kabupaten Bireuen. 130
Beliau meninggalkan seorang isteri dan 4
orang anak: Alm. Hj. Suwaibah, Hj. Shalihah, Tgk. H. Athaillah dan Hj.Masyitah.
Semasa beliau hidup telah mempimpin Dayah selama 30 tahun yang mencapai
kemajuan pesat dan beliau dikagumi sebagai ulama besar yang sangat berpengaruh di
kalangan ulama, pemerintah dan masyarakat. Kini Dayah yang ditinggalkannya
dipimpin oleh Teungku Syeikh Hasanoel Bashry yang kini dipanggil Abu Mudi telah
berusaha menjadi dayah modern sesuai dengan perkembangan zaman dan masa.

35. Prof. Dr. Tgk. Muhibuddin Wali (1936-2012 M)

Abuya Muhibuddin Wali merupakan ulama kharismatik dan ulama besar Aceh
yang merupakan guru besar Tarikat Naqsyabandiah. Ia juga pimpinan dayah
Darussalam Labuhan Haji. Dilahirkan di Simpang Haru Padang Kota Sumatera Barat.
Desember 1936, Abuya Muhibuddin Wali merupakan putra tertua dari ulama Syeikh
Muhammad Wali Al-Khalidy. Beliau sejak kecil belajar agama dan tarikat dari ayahnya.
Dalam pendidikan agama, beliau berhasil mendapat gelar Doktor dari Fakultan Syariah
Universitas Al-Azhar Kairo dengan disertasi tentang Pengantar Hukum Islam, lulus
1971. Abuya mendapat gelar Professor dari Universitas Ilmu Al-Qur’an di Jakarta dan
pernah menjadi guru besar di Universitas Islam Antar Bangsa di Malaysia. 131
Teungku Muhibuddin Wali pernah menjadi anggota DPR RI yang berakhir
2004. Beliau juga menulis buku tentang tasawuf, pengantar hukum Islam dan
menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberi judul Capita Selecta Tarekat
Shufiyah. Mengenai perkembangan tarikat dewasa ini, beliau mengatakan, saat ini ada
pengeseran nilai di kalangan pengikut tarekat Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh
orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah,

129
Biografi Syeikh Abdul Aziz bin Saleh, tgk boy, blogsport.com, ulama
130
Tgk. Wildan, Sekretaris Jurusan Syari’ah STAI Al-Aziziah Bireun, Abon Samalanga Tgk. H. Abdul
Aziz bin Shaleh, Lahir Belajar dan Berjuang Untuk Dayah, www.nu.or.id\a, public-m-dinamic-s, detail-
ids,1…
131
Republika Online, Khamis 29 Oktober 2015, Abuya Muhibuddin Waly, Guru Tarikat Naqsyabandiah
Tanah Rencong (1)
50
sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang
menemukan kebuntuan dalam hidup. 132
Beliau merupakan ulama besar yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat
Aceh dan pemerintah sebagai intelektual muslim yang memimpin dayah, tokoh ulama,
terlibat dalam negara dan mengembangkan tarekat. Kegiatan dan pengalaman kerja
Teungku Muhibuddin antara lain adalah; Pada tahun 1963-1964 menjadi pengajar di
Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Labuhan Haji Aceh Selatan. 1970-1976
Dosen Fakultan Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1971-1974 Dosen Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, 1988-1993 Professor Ilmu hukum Islam, Institut
al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Beliau menjabat wakil Dekan Bidang Akademis Fakultas
Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI)
Indonesia Jakarta, ketua Umum Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan
Ulama Islam Ahli Sunnah wal Jamaah) Indonesia di Jakarta. Pada tahun 1983-1988
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA) dan pernah menjadi pensyarah
di Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia. 133
Selama hidupnya beliau terus berkhitmah terhadap agama, bangsa dan negara
sehingga Teungku Muhibuddin Wali meninggal dunia di Rumah Sakit Fakinah Banda
Aceh Rabu malam pada 7 Maret 2012 dalam usia 75 tahun, meninggalkan seorang isteri
dan tujuh orang putra. Teungku Muhibuddin Wali merupakan ulama besar yang
berpengaruh di kalangan dayah, dalam negera dan pemimpin agama dalam masyarakat.

36. Teungku Ibrahim Ishak Lamno (1936-1997 M)

Teungku Ibrahim Ishak lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno lahir
di Mukhan Lamno Aceh Barat, sekarang Aceh Jaya pada tahun 1936. Teungku Ibrahim
Ishak pendidir Dayah Budi Lamno pada tahun 1967di daerah Meureuhom Daya atau
Lamno. Teungku Ibrahim mengecap pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR)dan
selesai pada tahun 1949. Orang tuanya melihat putranya memiliki bakat agama maka ia
dikirim ke Labuhan Haji untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya
Muda Waly lama belajar di dayah ini sampai tahun 1958. 134

132
Sultan mahesa jenar, Prof. Dr. H. Teungku Muhibuddin Waly Phd: Ulama Interlektual Tanah Rencong
Keturunan Minangkabau, arsyadal-bagdad-blogspot,my\2012\09\ prof-dr-h-teungku-muhibuddin-waly-
phd.html
133
Sumber: Tgk. Habibie, Sejarah Singkat alm. Abuya Muhibuddin Waly al-Khalidi, generasiaceh
blogspot.com\...\sejarah-singkat-alm-abu….
134
Tgk. Zulfami MR, Abu Budi Lamno, Ulama Dari Negeri Meureuhom Daya, www. Raudhatul
maarif.com\2010\05, Profil Ulama
51
Ketika Teungku Abdul Aziz Samalanga guru beliau pulang dari Labuhan Haji
pada tahun 1958, untuk memimpin Dayah Mudi Mesra maka Teungku Ibrahin Ishak
ikut ke Samalanga untuk menambah ilmu yang dianggap belum cukup dan mengajar di
Mudi Mesra sampai tahun 1963, kemudian berangkat ke Sumatera Barat untuk belajar
di sana sampai tahun 1966. Pada tahun 1967 Teungku Ibrahin Ishak pulang ke kampung
nya dan mendirikan institusi pengajian Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah yang
disingkat menjadi Dayah Budi maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi.
Dayah Budi cukup berkembang dengan kedatangan santri dari seluruh Aceh dan dari
luar Aceh dengan jumlah santri 800 orang peria dan 700 orang santri perempuan pada
tahun 1997.
Keahlian Abu Budi dalam mengupas hukum agama dengan menggunakan dalil
aqli dan naqli dalam setiap pengajian dengan gaya beliau yang khas membuat beliau
sangat terkenal sehingga ada yang menjuluki sebagai ulama mantiq. Pada tahun 1990
Abu Budi menjabat ketua MUI kecamatan Jaya dan pengurus Perstuan Dayah
Inshafuddin. Jabatan lain yang pernah dipegang beliau adalah ketua IPHI Aceh Barat,
Ketua Dewan Pengurus Cabang PERTI Aceh Barat, ketua pengurus Cabang PPP Aceh
Barat dan Teungku Ibrahim aktif berkempanye setiap pemilu untuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Teungku Ibrahim Ishak merupakan ulama kharismatik Aceh yang
cukup disegani dan dihormati. Beliau meninggal dunia pada 14 Mei 1997 dalam usia 61
tahun dan di makamkan di desa Jangeut, Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya.

37. Tgk. Usman Kuta Krueng (1937-sekarang)

Tgk. Usman Kuta Krueng lebih dikenal dengan panggilan Abu di Kuta Krueng.
Beliau ulama sufi beraliran Tarikat Syattariyyah, ulama yang saleh dan terkenal ketika
ini. Nama asli Tgk. Usman Ali dari kampung Kuta Krueng Kecamatan Bandar Dua
Kabupaten Pidie Jaya. Beliau lahir pada bulan November 1937. Ayahnya bernama
Muhammad Ali, ibunya Khatijah merupakan keluarga dihormati. Nama panggilan Abu
di Kuta Krueng sesuai dengan nama kampungnya. Belajar agama pada orang tuanya dan
belajar di Sekolah Rendah Islam (SRI) Kuta Krueng selama 6 tahun dan melanjutkan
ke Sekolah Menengah Islam (SMI) Tanjungan Samalanga selam 5 Tahun. Pendidikan
nonformal belajar di Dayah Darul Ma’arif yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Amin,
cucu Tgk, Chik di Ribee. 135

135
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 745
52
Pada tahun 1956 Tgk. Usman pindah ke Dayah Ma’had ulumu diniyyah
Islamiyah Masjid Raya Samalang dengan izin dari gurunya Tgk. Muhammad Amin,
dayah Mudi saat itui dipimpin oleh Tgk. H. Hanafiah, belajar selama 12 tahun. Setelah
tamat belajar Tgk. Usman kembali ke Kuta Krueng. Pada tahun 1964 mendirikan Dayah
dikampungya dengan nama Darul Munawwarah di di gampong Kuta Krueng. Pada
tahun 1974 dayah dipindahkan ke lokasi baru selatan Kuta Krueng karena sering dilanda
banjir. Kini dayah Munawwarah cukup terkenal dan berkembang sehingga santri dan
tanaga pengajar melebihi 900 orang. 136
Abu Usman Kuta Krueng ulama beraliran tasawuf yang kuat beribadah, sedikit
berbicara, nampak kesalehannya, berakhlak mulia, lemah lembut menjadi contoh
teladan sebagai ulama pewaris Nabi yang sangat dihormati, dikagumi dan cukup dikenal
di Aceh saat ini. Beliau sebagai tempat rujukan, meminta pendapat dan tempat bertanya
tentang agama oleh masyarakat dan pemerintah. Belaiu selalu diminta pendapat,
nasehat, fatwa dan persetujuannya dalam menjalankan hukum negara dan agama oleh
pemerintah daerah. Abu Kuta ulama yang cukup gigih dan banyak membantu
pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Aceh pada masa pemberontakan GAM.
Beliau dikenal ulama yang saleh, berpengaruh dan terkenal dalam masyarakat Aceh dan
pemerintah dengan penggilan Abu di Kuta Krueng.

38. Teungku H. Muhammad Zamzami (1938-1999 M).

Teungku Muhammad Zamzami, yang lebih dikenal dengan nama Tgk. Ahmad
Perti atau Abu Lam Ateuek. Beliau lahir di Kutabaro Aceh Besar pada tahun 1938 dari
keluarga yang taat beragama. Setelah belajar agama di tempat kelahirannya, beliau
melanjutkan pendidikannya di sebuah dayah di Kecamatan Sawang Aceh Selatan di
bawah pimpinan Tgk. Ishaq (Tgk.Jeunib), tidak lama di situ, beliau melanjutkan
pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji di bawah pimpinan Teungku Syeikh
Muda Wali Al-Khalidy. 137
Setelah memperoleh ilmu agama yang memadai, pada tahun 1960, beliau pulang
ke kampung halamanya dengan mendirikan sebuah dayah yang diberi nama Darul
Mu’arif. Dayah Darul Mu’arif kemudian muncul sebagai dayah yang sangat terkenal,
berkembang maju dan disegani di Aceh. Para pelajarnya di samping berasal dari Aceh
juga datang dari Riau, Padang, Palembang, Bengkulu dan dari Malaysia. Teungku

136
Ibid.,
137
kitab-kuneng blogspot.com\2011-03-01 archive. html
53
Muhammad Zamzami terkenal sebagai orator ulung dan tajam ulasannya. Setiap pidato,
beliau cukup bersemangat dan berapi-api. Beliau sebagai penganut mazhab Syafi’i dan
sangat anti terhadap fahaman yang tidak bermazhab. Dalam bidang politik baliau
bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan merupakan salah seorang
juru kompanye PPP yang handal dan disegani. 138
Dalam berkeluarga beliau beristerikan Mariani binti Musa dan meninggalkan 7
orang anak dan menantunya Tgk. Mahdi sebagai pimpina Dayah Darul Ma’arif
sekarang. Beliau meninggal dunia pada tahun 1999 dengan meninggalkan isteri, anak
dan banyak muridnya dan alumni. Alumni Dayah Darul Ma’arif banyak yang muncul
sebagai ulama yang berpengaruh di Aceh antaranya: 1.Tgk. Ramli, Pimpinan dayah di
Kreung Mane. 2. Tgk. Martunis Zamzami, pimpinan Dayah Darul Huda Sawang, Aceh
Selatan. 3. Tgk. Din Tsany, pimpinan dayah di Aceh Utara. 4. Tgk. Thaharuddin,
pimpinam Dayah Raudah Kuala Batee Abdya (alm). 5. Tgk, Muniruddin Jangka Buya,
pimpinan Dayah di Pidie Jaya (alm). 6. Tgk. Syarifuddin, pimpinan dayah di Bidok
Ulim Pidie Jaya. 7. Tgk. Mahdi, pimpinan Dayah Darul Ma’arif sekarang (menantu
beliau). 8. Tgk. Abdul Manan, pimpinan dayah di Alue Lhok Aceh Timur (alm). 9.
Tgk. Husnon, pimpinan dayah di Kampung Meulum Samalanga dan lain-lan lagi.
Teungku Muhammad Zamzami merupakan ulama besar yang memimpin dayah
dan telah mencetak banyak para ulama dan beliau sebagai pemimpin agama yang
berpengaruh dalam masyarakat, disegani oleh pemerintah dan dihormati dalam bidang
politik karena senantiasa membela kepentingan rakyat dan menegakkan ajaran Islam.

39. Teungku Ibrahim Bardan atau Abu Panton (1945-2013 M)

Teungku Ibrahim Bardan sering disebut Abu Panton meninggal dunia Senin 29
April 2013 di Rumah Sakit Umum Herna Medan Sumatera Utara dalam usia 68 tahun,
dikebumikan di komplek Dayah Malikussaleh yang dipimpinnya. Abu Panton Labu
merupakan ulama besar dan ulama krarismatik yang dihormati, disegani dikalangan
para ulama, disanjungi oleh masyarakat dan sarannya diikuti oleh pemerintah. Teungku
Ibrahim Bardan adalah putra Teungku Bardan dan ibunya bernama Ummi Culot. Beliau
lahir 8 Juli 1945 di Kampung Matang Jelingkat, Panton Labu Aceh Utara. Beliau
menikahi Ummi Hj. Zainabon dan beliau tidah dikurnai keturunan. 139

138
Ibid.,
139
www.santridayah.com\2013\05 abu-ibrahim-bardan-panton-labu-telah-tiada
54
Abu Ibrahim Bardan semasa kecil belajar di Sekolah Rakyat pada tahun 1953-
1956, kemudian melanjukan di sebuah dayah di Kecamatan Syamtalira Aron tahun
1960-1962, dan di Dayah Matang Geutoe, Idi Cut tahun 1962-1964. Teungku Ibrahim
kemudian melanjutkan pendidikanya ke Dayah Mudi Mesra Samalanga pada ulama
besar Aceh Abon Abdul Aziz Masjid Raya Samalanga tahun 1965-1975. Setelah
bertahun-tahun mendalami ilmu agama, Abu Panton memimpin Dayah Malikussaleh,
Rawang Itek, Panton Labu Aceh Utara. Ribuan santri tamatan dayah menjadi ulama,
pejabat pemerintah, pedagang dan tokoh masyarakat. Abu Panton seorang ulama yang
ditakuti, disegani di kalangan ulama, pejabat pemerintah dan masyarakat. Beliau sering
memberikan solusi dan memecahkan masalah khilafiyah di antara ulama Aceh dan
menyatukan persepsi ulama. Abu Panton sering memberikan terobosan, solusi dan
pemikiran cemerlang kepada pemerintah, terutama yang tidak sesuai dengan agama dan
dalam menciptakan kedamaian di masa konflik serta menulis sebuah buku Resolusi
Konflik.
Dalam bidang pendidikan dayah, meninggalkan banyak kenangan dengan
terobosan tercipta Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh (BPPD Aceh) dan
memimpin Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Beliau memberi masukan ide
untuk mengembangkan dayah secara meluas, beliau menciptakan sekolah-sekolah yang
berbasis dayah, dengan motto ‘kita dayahkan sekolah, jangan sekolahkan dayah” artinya
materi yang disampaikan di dayah diperluas hingga ke sekolah sekolah. Abu Panton
aktif dalam Majilis Permusyawaratan Ulama (MPU), menjabat sebagai Majlis Syura
MPU Aceh dan Ketua Umum Himpunsan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Semasa hidupnya Abu Panton memberi saran dan masukan kepada pemerintah
agar betul-betul memberi perhatian pada penguatan syi’ar Islam di gampong-gampong.
Pemerintah harus membuat program untuk menghidupkan shalat berjama’ah di
gampong-gampong dan sesudah shalat magrib harus pengajian kitab kepada
masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini harus ada perhatian dan intruksi dari pemerintah
yang dipimpinnya da di dukung dengan persedian dana oleh pemerintah. 140

Teungku Ibrahim Bardan sering disebut Abu Panton meninggal dunia Senin 29 April
2013 di Rumah Sakit Umum Herna Medan Sumatera Utara dalam usia 68 tahun,
dikebumikan di komplek Dayah Malikussaleh yang dipimpinnya dan didukung dengan
penyediaan dana oleh pemerintah.

140
Teuku Zulkhairi, Petua Tarakhir Abu Panton, Opini, Serambi Indonesia, Rabu 1 Mei 2013.
55
40. Teungku Ahmad Dewi (1951-1991 M)

Teungku Ahmad Dewi lahir pada 19 Januari 1951 di Duson Bantayan Gampong
Keude Idi Cut Aceh Timur. Ayahnya Teungku Muhammad Husen yang berasal dari
dari Gampong Meunasah Kumbang Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara.
Kakeknya Teungku Hasballah seorang ulama besar dari Samudera Pase yang dikenal
dengan Teungku Chik di Meunasah Kumbang. 141
Teungku Hasballah ulama yang
Alim, terkenal dan ikut berperang dalam pasukan Mujahidin di Samudera Pasai pada
masa penjajahan Belanda. Ibunya bernama Dewi kelahiran Peudagee Serdang Sumatera
Utara. Dia mengambil nama belakang dari nama ibunya Dewi, sehingga beliau lebih
dikenal dengan lengkapnya Ahmad Dewi. 142 Dari kecil ia belajar ilmu agama di Dayah
dan terakhir tercatat sebagai santri dari dayah Abu Abdul Aziz Samalanga. Ia
memimpin Dayah BTM (Balai Tempat Mengaji) di Bantayan Idi Cut Aceh Timur.
Teungku Ahmad Dewi seorang tokoh ulama pendakwah muda yang berani dan tegas
dalam melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Syariat
Islam. 143
Teungku Ahmad Dewi menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Idi Cut,
kemudian melanjutkan pendidikannya di Madarasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Matang
Geutoe Idi Cut pada tahun 1964. Kemudian belajar di Dayah Matang Kuli yang
dipimpin oleh Teungku Haji Sofyan sekitar tahun 1968 sampai 1970, dan melanjutkan
ke Dayah Darussa’adah Idi Cut di bawah pimpinan Teungku Abdul Wahab. Seterusnya
melanjutkan pengajian ke Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga di bawah pimpinan
Tengku Abdul Aziz yang disapa Abon Samalanga, dalam tahun 1971 ia yang diajak
Abon Samalanga belajar di Dayah MUDI dalam kenjungannya ke Matang Kuli setelah
mengetahui Teungku Ahmad Dewi adalah cucu Abu Meunasah Kumbang. 144
Disebabkan faktor kesulitan ekonomi, Teungku Ahmad Dewi pada usia 19
tahun mencari nafkah sebagai penjual obat di kaki lima sambil belajar di dayah bagi
mengembangkan bakat orasinya untuk menarik perhatian dan minat masyarakat.
Kesempatan menjual obat digunakan untuk media mengembangkan dakwah Islamiyah
sehingga belaiu terkenal ahli pidato yang berbakat besar dan menjadi pendakwah yang
memukau sehingga menarik perhatian ribuan masyarakat. Setelah belajar di MUDI
Mesra Samalanga, beliau kembali ke Idi mendirikan dayah tempat belajar agama yang
141
Ahmad Dewi-Wikipedia bahasa Aceh, ensiklopedia bibeueh, aceh-wikipedia, org\wiki\ ahmad dewi
142
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 149.
143
Ahmad Dewi Wikipedia-bahasa Indonesia-id ensiklopedia- Wikipedia, org\wiki\ ahmad dewi
144
Jabbar Sabil, Teungku H.F.M. Ahmad Dewi. 19 September 2010 kaum sarungan blogspot. Com\2011\
teungku-hfh-ahmad dewi html
56
diberi nama Balai Tempat Pengajian (BTM). BTM juga berarti (Balai Tahanan Meliter)
dan BTM (Barisan Tentera Merah). Barisan ini memakai seragam merah, dibekali ilmu
bela diri dan dilengkapui dengan Pedang. 2 Ketokohan Teungku Ahmad Dewi sebagai
ulama muda yang cukup berani dan terkenal dalam berpidato sehingga setiap
dakwahnya di hadiri oleh ribuan orang dan menarik perhatian banyak pihak.
Beliau ulama muda yang cukup keras dalam mengkritik tindakan pemerintah
yang bertentangan dangan Syariat Islam, sangat aktif dalam memberantas kejahatan dan
kemungkaran dalam masyarakat di sekitar daerahnya. Beliau bercita-cita dan ingin
terlaksananya Syari’at Islam di Aceh. Tengku Ahmad Dewi adalah salah seorang ulama
Aceh yang dikenal pemberani dan kerap mengkritik kebijakan pemerintah bila tidak
memihak kepada rakyat. Teungku Ahamd Dewi hilang pada saat pemerintah
menerapkan operasi meliter di Aceh. 145
Teungku Ahmad Dewi ulama yang cukup
tegas dan bersuara vokal dalam memberantas maksiat, dalan setiap ceramah, tablik ini
selalu memperlesetkan keadaan edan yang terdapat disekelilingnya seraya melakukan
kritik kritik pedas sehingga ceramahnya amat digemari oleh massa di Kabupaten Aceh
Utara dan Aceh Timur. Tgk. Ahmad Dewi sempat mengusulkan pemisahan wisata
wanita dengan wisata lelaki yang melakukan rekreasi di pantai Idi Cut Aceh Timur. 146
Teungku Ahmad Dewi ulama kharismatik Aceh yang memimpin BTM, yang
sangat sangat kritis dalam mengoreksi kebijaksanaan pemerintah orde baru dan
keberaniannya dalam memberantas kejahatan dalam masyarakat jarang dimiliki orang
lain. Sebagai ulama yang populer dalam mengkritik, Teungku Ahmad Dewi sering
masuk dan keluar penjara dengan berbagai tuduhan karena tidak disukai oleh
pemerintah. Jauh sebelum reformasi bergulir, Teungku Ahmad Dewi telah bersuara
keras perlunya perubahan di Indonesia kearah yang positif. Dari informasi yang
diperoleh Media Indonesia semasa hidupnya beliau telah mendirikan Barisan Tentara
Merah dengan 75 anggota yang dididik untuk memberantas perjudian, minuman keras,
dan pergaulan bebas di Aceh Timur dan sekitarnya. 147
Pada tahun 1983 setelah bebas dari pencara, Teungku Ahmad Dewi kembali
memimpin Dayah BTM sehingga pelajar dayah mencapai 400 orang. Pada tahun 1985
beliau berdakwah tujuh hari tujuh malam dalam rangka mendeklerasikan pemerintah
Syari’at Islam di Aceh. Dakwah ini diselanggarakan dengan mengundang para ulama
145
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, Op. Cit., h. 155.
146
Dr. M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka, Idiologi Kepimpinan dan Gerakan, Pustaka Al-Kausar, Jakarta,
2000, h. 52.
147
Amiruddin Abdullah I Media Indonesia, Minggu, 26 Juni 2011.
2
Nab Bahani As, Jabbar Sabil, Jarjani Usman, dkk. Op.Cit., h.155.
57
dari seluruh Aceh untuk mencari solusi menegakkan Syari’at Islam di Aceh. Pada tahun
1986, beliau menikah dengan Cut Khairiah binti Teungku Muhammad Thaib Paloh
Meria Lhokseumawe. Beliau menetap bersama keluarganya di Dayah BTM dan
dikurniakan putra pertama yang diberi nama Fatahillah (1987) dan ke dua Fatimah Dewi
(1989) dan Abdul Aziz (2000). Pada hari Sabtu 1 Maret tahun 1991, Teungku Ahmad
Dewi menerima surat dari abangnya Teungku Mukhsinullah untuk menjenguknya yang
ditahan oleh pasukan TNI di Tank Batre Desa Alue Ie Mirah dengan mengendari mobil
Chevrolet bersama supir yang bernama Asnawi. 148
Ketika itu sedang terjadi operasi
jaring merah di Aceh maka sejak saat itu Tengku Ahmad Dewi hilang tidak diketahui
sampai saat ini entah kemana dan di mana kuburnya kalau sudah meninggal dunia.
Ulama-ulama Aceh sejak dulu telah mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menjadi gudang muballigh di Nusantara, juga telah lahir ulama-ulama besar yang
mampu mengembangkan pelbagai ilmu pengetahuan dan mengarang pelbagai kitab
agama Islam yang dikirim ke- Nusantara sebagai pegangan umat Islam. Ulama besar
yang mengarang kitab dari Aceh.

Pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M) pernah sejumlah kitab


Islam dikirimkan ke Melaka, Kedah, Sumatera Barat terutama daerah Ulakan dan
Padang Pariaman, serta Kalimantan. Pengiriman kitab-kitab ini sangat membantu
peningkatan pengamalan dan pengembangan agama Islam bagi penduduk daerah
tersebut. Pengiriman kitab ini menunjukkan bahawa Aceh telah menaruh perhatian
besar dalam memainkan peranannya untuk mengembangkan dan menyebarkan agama
Islam serta ilmu pengetahuan bagi penduduk di seluruh kepulauan Nusantara.

148
Jabbar Sabil, Op. Cit., Teungku HFM Ahmad Dewi
58

Anda mungkin juga menyukai