TEGANGAN-TEGANGAN IZIN
Kekuatan Kayu digolongkan dalam klas kuat I, II, III, IV dan V. Tegangan-tegangan izin
untuk kayu mutu A dengan klas kuat tertentu dapat dilihat pada daftar Iia PKKI 1961.
Untuk kayu mutu B tegangan-tegangan ijin dalam daftar Iia harus dikalikan dengan faktor
reduksi sebesar 0,75. Apabila diketahui berat-jenis kayu, maka tegangan-tegangan ijin
kayu mutu A dapat langsung dihitung dengan rumus seperti terdapat pada daftar IIb PKKI
1961, sbb :
lt 170.g (kg/cm2 )
ds // tr // 150.g ((kg/cm 2 )
ds 40.g ((kg/cm 2 )
// 20.g ((kg/cm2 )
Untuk kayu mutu B rumus tersebut di atas harus diberi faktor reduksi sebesar 0,75. Jika
suatu kayu diketahui jenisnya maka dengan menggunakan lampiran I PKKI 1961 dapat
diketahui berat jenisnya. Dari lampiran I tersebut untuk perhitungan tegangan ijin sebagai
berat jenis kayu diambil angka rata-rata dengan catatan bahwa perbedaan antara berat
jenis maksimum dengan berat jeins minimum tidak boleh lebih dari 100 % berat jenis
minimum, atau
Jika perbedaan tersebut lebih dari 100 % harus digunakan berat jenis yang minimum,
misalnya kayu keruing dari lampiran I PKKI 1961 no. 22 mempunyai Bjmaks = 1,01 dan Bjmin =
0,51, maka Bjmaks Bjmin 1,01 0,51 0,5 Bjmin 0,51 sehingga dapat digunakan Bj rata-
rata = 0,76.
Kelas kuat kayu juga digunakan untuk menentukan medulus kenyal (elastisitas) kayu
sejajar serat (E), yang dapat dilihat pada daftar I PKKI 1961. Jadi apabila telah diketahui
berat jenis kayu, maka untuk menentukan modulus kenyal kayu harus diketahui pula klas
kuat kayu. Untuk itu hubungan antara klas kuat dan berat jenis kayu didapat sbb :
1. 2 FAKTOR REDUKSI
Harga tegangan-tegangan ijin dalam daftar IIa PKKI 1961 maupun rumus tegangan yang
telah diberikan di atas adalah untuk pembebanan pada konstruksi yang bersifat tetap dan
permanen, serta untuk konstruksi yang terlindung, jadi :
Untuk sifat pembebanan tetap, faktor reduksi = 1
Untuk konstruksi terlindung, faktor reduksi = 1
Apabila pembebanan bersifat sementara atau khusus dan konstruksi tidak terlindung, maka
harga tegangan ijin tersebut harus dikalikan dengan faktor reduksi sbb :
Untuk konstruksi tidak terlindung, faktor reduksi = 5/6
Untuk konstruksi yang selalu basah (terendam air), faktor reduksi = 2/3
Untuk pembebanan yang bersifat sementara, faktor reduksi = 5/4
Untuk pembebanan yang bersifat khusus (getaran, dll) , faktor reduksi = 3/2
Faktor reduksi tersebut di atas juga berlaku untuk mereduksi kekuatan alat-alat sambung.
ds // ds // ds . sin
2. ELEMEN-ELEMEN
KONSTRUKSI
2. 1 BATANG TARIK
Didalam menentukan luas tampang batang yang mengalami tarikan harus diperhitungkan
berkurangnya luas tampang akibat adanya alat-alat sambung. Untuk itu dalam hitungan
selalu digunakan luas tampang netto (Fnt). Besarnya nilai Fnt yakni :
Fnt c . Fbr
2. 2 BATANG DESAK
Dimana : ltk = panjang tekuk yang tergantung dari sifat-sifat ujung batang yakni sbb :
Untuk jepit – sendi : l tk 1/ 2 . l . 2
Untuk jepit – bebas : l tk 2 . l
Untuk sendi – sendi : l tk l
Untuk konstruksi rangka : l tk l
Imin
imin = jari-jari inersia minimum
Fbr
Hubungan antara dan dapat dilihat pada daftar III PKKI 1961, selanjutnya tegangan
desak yang terjadi tidak boleh melampaui tegangan desak yang diijinkan.
P.
ds ds //
Fbr
Untuk merencanakan dimensi batang desak tunggal, sebagai pedoman awal dapat
digunakan rumus-rumus sbb :
Untuk kayu klas kuat I Imin 40 . Ptk . l tk 2
Untuk kayu klas kuat II Imin 50 . Ptk . l tk 2
Untuk kayu klas kuat III Imin 60 . Ptk . l tk 2
Untuk kayu klas kuat IV Imin 80 . Ptk . l tk 2
Besarnya momen inersia terhadap sumbu bebas bahan dalam hal ini sumbu Y (lihat Gambar
2.1) harus diberi faktor reduksi sehingga besarnya dihitung sbb :
I y 1/ 4 . ( It 3 . Ig )
Disyaratkan bahwa a ≤ 2.b, jika a > 2.b, maka untuk menghitung It tetap diambil a = 2.b
2. 3 BALOK LENTUR
Pada sebuah balok yang dibebani momen lentur harus dipenuhi syarat batas tegangan
lentur dan lendutan. Tengangan lentur yang terjadi tidak boleh melampaui tengangan
lentur yang diijinkan.
M max
lt lt
Wn
Dimana : Wn = c.W
c = adalah faktor perlemahan seperti batang tarik
W = Momen tahanan = 1/6 . b . h2
Lendutan yang terjadi tidak boleh lebih besar dari lendutan yang diijinkan seperti yang
disyaratkan pada PKKI 1961 pasal 12.5. Sedangkan syarat panjang bentang balok yang
efektif dapat dilihat pada PKKI 1961 pasal 12.1
Pada konstruksi yang mengalami lenturan dan tarikan, tegangan yang terjadi tidak
diijinkan lebih besar dari tegangan tarik yang disyaratkan, yakni :
P M max
tot . tr //
Fnt Wn
tr //
Dimana :
lt
Pada konstruksi yang mengalami lenturan dan desakan, tegangan yang terjadi tidak
diijinkan lebih besar dari tegangan desak yang disyaratkan, yakni :
P M
tot . . max ds //
Fbr Wn
ds //
Dimana :
lt
Dimana :
P = kekuatan ijin baut dalam kg yang diambil yang terkecil;
= sudut penyimpangan arah gaya terhadap arah serat kayu;
l = tebal kayu tepi dalam cm;
m = tebal kayu tengah dalam cm;
d = garis tengah (diameter) baut dalam cm;
Hasil kekuatan ijin baut yang diambil harus dikalikan dengan faktor reduksi seperti dalam
pembahasan sub bab 1.2 diatas, yakni :
Pr P..
Dengan demikian dapat dihitung jumlah baut (n) yang akan direncanakan dengan
persamaan :
P
n
Pr
Untuk kayu klas kuat di bawah III jarang digunakan sehingga tidak diberikan perumusannya.
Perencanaan sambungan dengan alat sambung baut harus memperhatikan syarat-syarat
yang berlaku sesuai dengan PKKI 1961. Penempatan baut-baut dapat di lihat pada gambar
dibawah ini :
Arah gaya membentuk sudut (0 o 90 o ) dengan arah serat kayu seperti gambar
diatas, maka antara sumbu baut dan tepi kayu yang dibebani dalam arah gaya ditentukan
dengan meninterpolasi linier diantara harga 5.d dan 6.d.
Panjang paku untuk sambungan tampang satu biasanya diambil sebagai berikut :
Dari daftar Va tampak bahwa tebal kayu muka tempat awal paku masuk dibatasi 2 – 4 cm.
Sehingga apabila tebal kayu lebih dari 4 cm, maka kekuatan paku tidak dapat dihitung
berdasarkan daftar Va tersebut. Jadi apabila tidak menggunakan daftar V, kekuatan paku
dapat juga dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Harga kd (kokoh desak kayu) dapta dilihat pada daftar Va sesuai dengan Bj kayu yang
bersangkutan. Dalam perencanaan, sambungan dengan alat sambung paku harus
memperhatikan syarat-syarat dalam PKKI 1961.
Tegangan tekan yang diijinkan untuk kayu di dalam sambungan ini dapat diambil dari
daftar II (PKKI 1961, hal. 6) dengan mengigat jenis muatannya, kemudian tegangan tekan
yang diijinkan tersebut harus dikalikan dengan faktor direduksi.
Antara masing-masing pasak demikian juga antara pasak dan ujug kayu harus diberi baut
pelengkap dengan garis tengah (diameter) baut 1,27 cm (1/2”).
.
Gambar 3.3 Penempatan Jarak Pasak Kayu Persegi
Untuk Bj lainnya maka angka-angak pada tabel diatas harus diberi faktor pengkali
sebanding dengan Bj-nya, yaitu Bj/0,6.
Apabila arah gaya membentuk sudut terhadap arah serat kayu, maka kekuatan pasak
berkurang sebagai berikut :
Cara memilih ukuran pasak dengan memperhatikan ukuran kayu minimum, misalkan pasak
akan diletakkan setangkup dengan lebar kayu 14 cm, maka dapat diambil pasak 10 cm
atau yang lebih kecil lagi sesuai dengan kebutuhan kekuatan pasak. Pada prinsipnya jumlah
pasak yang terpasang / digunakan semakin sedikit akan semakin baik karena menghemat
panjang plat sambung.
Apabila arah gaya yang membentuk sudut terhadap arah serat kayu maka kekuatan
cincin belah berkurang sebagai berikut :
Cara memilih cincin belah tersbut berturut-turut dengan memperhatikan lebar kayu
minimum, tebal kayu tengah minimum, tebal kayu tepi minimum dan jarak kayu muka yang
direncanakan.
Penempatan jarak sambungan dengan cincin belah kreugers sama halnya dengan
Penempatan Jarak Pasak Kayu Bulat Kubler hanya saja sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku.
Cara memilih kokot bulldog tersebut dengan memperhatikan lebar kayu minimum dan
tebal kayu muka minimum, serta diameter baut yang direncanakan.
Cincin tutup 65 65 65 65 65 65 75 75 75
65 x 6 65 x 6 65 x 6 65 x 6 65 x 6 65 x 6 75 x 9 75 x 9 75 x 9
P per pasang
cincin belah
dengan kayu muka
Dengan gigi
Bulldog Ukuran Bulat 2” Bulat 2,5” Bulat 3”
tinggi 2,5”
Standard (4,8 cm) (6,2 cm) (7,5 cm)
(6,2 cm)
Tinggi/tebal, mm 12 16 16 19
Lubang Baut, mm 17 21 21 23
Diameter Baut, in 3/8 1/2 5/8 3/8 1/2 5/8 3/8 1/2 5/8 3/4 3/8 1/2 5/8
mm 10 12 16 10 12 16 10 12 16 20 10 12 16
Tabel Sambungan
Diameter Baut, in 1/2 5/8 3/4 3/4 1 1/2 5/8 3/4 3/4 7/8 1 3/4 7/8 1
mm 12 16 20 20 26 12 16 20 20 22 26 20 22 26
4. 1 SAMBUNGAN GIGI
Sambungan gigi berfungsi untuk meneruskan gaya-gaya desak, sambungan ini dapat dibuat
dalam 3 (tiga) keadaan, yakni :
1. Gigi tegak lurus pada batang mendatar;
2. Gigi tegak lurus pada batang diagonal;
3. Gigi menurut garis bagi sudut luar;
P . Cos
Keadaan 1 tv
b .
P . Cos 2 1/2 .
Keadaan 3 tv
b . 1/ 2.
Dari ketiga keadaan tersebut yang paling baik dan sering dipakai adalah keadaan 3. Apabila
20 o 60 o maka untuk menghitung t v pada keadaan 3 dapat menggunakan rumus
praktis sebagai berikut :
P
Kayu klas kuat I : tv
112 . b
P
Kayu Jati : tv
93 . b
P
Kayu klas kuat II : tv
73 . b
P
Kayu klas kuat III : tv
50 . b
P
Kayu klas kuat IV : tv
37 . b
Untuk ketiga keadaan tersebut juga harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Kedalaman gigi ( t v )
50 o t v 1/ 4 . h
o
50 t v 1/ 6 . h
50 o 60 o t v harus diinterpolasi linier
Kayu muka ( l v )
H
lv dimana : H = P . cos
b . //
l v 15 cm
Apabila terdapat t v atau l v yang terlalu besar sehingga tidak memungkinkan untuk
menyambung di tempat yang bersangkutan, maka ada beberapa cara untuk mengatasinya :