Anda di halaman 1dari 31

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan

A. Batasan Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau

makhluk hidup yang bersangkutan. Dari sudut pandang biologis semua

makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan

manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-

masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada

hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, bebicara,

menangis, tertawa, bekerja kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku

(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang

dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak

luar (Notoatmodjo, 2011 :114)

Jika dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih


11

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dal;am bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain. (Notoatmodjo, 2011 : 115)

Seperti yang telah disebutkan diatas, sebagian besar perilaku

manusia adalah operant response. Oleh sebab itu untuk membentuk

jenis respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu

yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku

dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat

atau reinforcer berupa hadiah-hadiah arau rewards bagi perilaku

yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-

komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki.

Kemudian komponen-komponen tersebut disusu7n dalam urutan

yang tepat untuk menuju terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai

tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah

untuk masing-masing komponen tersebut.


12

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan

komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama

telah dilakukan, maka hadiahnya akan diberikan. Hal ini akan

mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut

cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk

maka dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang akan

kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan

hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua

terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga,

keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang

diharapkan terbentuk. (Notoatmodjo, 2011 :116)

B. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme)

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,

sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.

Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat di klasifikasikan menjadi 3

kelompok :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)

Perilaku pemeliharaan adalah perilaku atau usaha-usaha

seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak

sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas

pelayanan kesehatan (health seeking behavior)


13

Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas

pelayanan kesehatan adalah perilaku menyangkut upaya atau

tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau

kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati

sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang

merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial

budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

mempengaruhi kesehatannya. Dengan kata lain, bagaimana

seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu

kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya.

(Notoatmodjo, 2011 :117).

C. Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam

memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-

faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa

meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-

tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap

stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.


14

Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat

kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor

lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai

perilaku seseorang . (Notoatmodjo, 2011 : 120-121)

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) Perilaku

kesehatan merupakan suatu analisis perilaku manusia dan masalah

kesehatannya. Faktor perilaku kesehatan menurut teori Lawrence Green

adalah faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini mencakup

pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, persepsi

seseorang, sosial budaya dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010 : 75)

b. Faktor pemungkin

Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan pra

sarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan seperti

ketersediaan alat-alat kontrasepsi, adanya fasilitas pelayanan


15

kesehatan puskesmas ataupun klinik swasta, ketersediaan obat-obatan

dan sebagainya (Notoatmodjo 2010: 75)

c. Faktor penguat

Faktor yang mendorong memperkuat terjadinya perilaku meskipun

seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat. Misalnya

dukungan suami, dukungan keluarga maupun dukungan teman,

petugas kesehatan dan tokoh masyarakat sekitar (Notoatmodjo,

2010:75)

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses usaha belajar yang dilakukan

seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tikah laku dan pemikiran

yang baru secara keseluruhan dengan cara bertambahnya ilmu, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

(Slameto, 2013)

Pendidikan adalah suatu proses ilmiah yang terjadi pada manusia.

Menurut Crow, pendidikan adalah suatu proses dimana pengalaman natau

informasi diperoleh sebagai hasil dari proses belajar. Menurut Dictionary

of Education, Pendidikan dapat diartikan suatu proses dimana seseorang

mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk tingkah laku lainnya dalam

masyarakat dan kebudayaan. (Padila, 2014 :104)


16

Menurut Suparlan (2006) dalam Padila (2014) Pendidikan dalam

arti luas yaitu segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang

zaman dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan dalam arti sempit yaitu

segala kegiatan pembelajaran yang direncanakan dengan materi

terorganisasi dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan dan

diberikan evaluasi berdasarkan pada tujuan yang telah ditentukan. Tingkat

pendidikan individu dapat berpengaruh terhadap penerimaan pendidikan

kesehatan. (Padila, 2014 :105)

Menurut Budioro (2002) dalam Padila (2014) Pendidikan adalah

proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk

tingkah laku lainnya didalam masyarakat tempat ia hidup, proses yakni

orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol

(khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau

mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu

yang optimal. Proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan

penyempurnaan hidup dengan demikian pendidikan sangat besar

pengaruhnya terhadap tingkah laku yang berpendidikan tinggi akan

berbeda tingkah lakunya dengan orang yang hanya berpendidikan dasar.

(Padila, 2014 :105)

Menurut Maulani (1999) dalam Padila (2014) Wanita yang

berpendidikan tinggi akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan

perubahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang proposional


17

karena manfaat pelayanan akan mereka sadari sepenuhnya. (Padila,

2014 :105)

Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan masyarakat,

bangsa, dan Negara.

Jenjang pendidikan merupakan tahapan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat pengembangan peserta didik, tujuan yang akan

dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jalur pendidikan yang

terstruktur dan berjenjang yang terdiri pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan tinggi yang merupakan pendidikan formal.

1) Pendidikan Dasar

Pendiidkan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang mendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar

(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain sederajat serta

sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah

(MTs) atau bentuk yang sederajat.

2) Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan

dasar, terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan


18

menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah

Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan

(MAK), atau bentuk lainnya yang sederajat.

3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah

pendidikan menengah yang mecakup program pendidikan diploma,

sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh

perguruan tinggi. (UU No.20 tahun 2003).

Menurut Rukmini (2005) dalam Padila (2014) Ibu yang

mempunyai pendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal mempunyai

akses yang lebih baik terhadap informasi tentang kesehatan, lebih aktif

menentukan sikap dan lebih mandiri mengambil tindakan perawatan.

Rendahnya pendidikan ibu berdampak terhadap rendahnya pengetahuan

ibu. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan makin rendah pengetahuan

ibu makin sedikit keinginan memanfaatkan pelayanan kesehatan. (Padila,

2014 : 147-148)

Tingkat Pendidikan mempengaruhi penggunaan jenis dan metode

kontrasepsi. Beberapa studi memperlihatkan bahwa metode kalender lebih

banyak digunakan oleh pasangan yang lebih berpendidikan.

Dihipotesiskan bahwa pasangan suami istri yang berpendidikan


19

menginginkan KB yang efektif dengan efek samping yang sedikit. (Marmi.

2016 : 66)

Menurut Notoatmodjo dalam Padila (2014), Pada umumnya

semakin tinggi pendidikan semakin baik pula tingkat pengetahuannya.

Selain itu, dalam penelitian Mahmudah & Fitri (2015) yang berjudul

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Metode

Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada Akseptor Kb Wanita Di

Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang dikatakan bahwa kurangnya

pengetahuan dan komunikasi dengan akseptor lain maupun petugas KB

menjadikan akseptor kurang informasi tentang MKJP. Jika seseorang telah

mendapat informasi KB sebelumnya, pasti mereka tidak akan mengalami

kesulitan di dalam pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.

Selain itu mereka juga dapat benar-benar mengerti jenis kontrasepsi apa

yang nantinya sesuai untuk digunakan. Pengetahuan akseptor KB sangat

erat kaitannya terhadap pemilihan alat kontrasepsi, karena dengan adanya

pengetahuan yang baik terhadap metode kontrasepsi tertentu akan merubah

cara pandang akseptor dalam menentukan kontrasepsi yang paling sesuai

dan efektif digunakan, sehingga membuat pengguna KB lebih nyaman dan

dapat menghindari kesalahan dalam pemilihan alat kontrasepsi yang paling

sesuai bagi pengguna itu sendiri.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Farid dan Felita (2017)

yang berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Metode


20

Kontrasepsi Pada Wanita Usia Subur (WUS) Di Desa Salasae Kecamatan

Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan menjelaskan

bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi

dengan hasil p value <0,05 yaitu 0,042. Berdasarkan hasil penelitian

Monica dan Felita, responden dengan pendidikan Perguruan Tinggi paling

banyak menggunakan AKDR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, maka cenderung memilih metode

kontrasepsi jangka panjang (MKJP), seperti AKDR. Sementara bagi

responden dengan pendidikan rendah cenderung menggunakan suntik dan

pil. Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan lebih

rendah cenderung menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek.

Dari hasil penelitian Lontoan dkk. (2014) yang berjudul Faktor-

Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Kontrasepsi Pasangan Usia

Subur di Puskesmas Damau Kabupaten Talaud menunjukkan bahwa

responden tingkat pendidikan tinggi lebih banyak memilih Metode

Kontrasepsi Jangka Panjang dibandingkan dengan responden tingkat

pendidikan dasar dengan nilai ρ= 0.000 (ρ < 0,05) artinya ada hubungan

antara tingkat pendidikan dengan Pemilihan Kontrasepsi . Hubungan

antara pendidikan dengan persepsi, pola pikir, sikap, dan perilaku

masyarakat memang sangat signifikan. Hal ini berarti semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, semakin rasional orang tersebut dalam

mengambil keputusan termasuk dalam memilih metode kontrasepsi.


21

Dari hasil penelitian Dewi & Notobroto (2014) yang berjudul

Rendahnya Keikutsertaan Pengguna Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

pada Pasangan usia Subur terdapat pengaruh tingkat pendidikan

responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP

yang dapat dilihat dari hasil uji logistik menunjukkan nilai p= 0,015 < α=

0,05. Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan bertindak

lebih rasional dan lebih mudah menerima gagasan baru, termasuk dalam

menentukan pola perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi serta

peningkatan kesejahteraan keluarga.

3. Pekerjaan

Pekerjaan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas

manusia, pekerjaan memberikan kesenjangan antara informasi kesehatan

dan praktek yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi

dan berbuat sesuatu untuk menghindari masalah kesehatan. Adanya

tuntutan pekerjaan menumbuhkan motivasi untuk mengatur kelahiran

dengan mempertimbangkan beban ketergantungan (dependedncy ratio)

seorang anak. Akseptor keluarga berencana memiliki pendapatan yang

tinggi, memiliki pandangan bahwa menjadi akseptor keluarga

berencana semata-mata untuk membentuk keluarga kecil yang bahagia.

(Notoadtmodjo, 2010).
22

Menurut penelitian Lestari (2015) yang berjudul Motivasi

Pasangan Usia Subur (PUS) Menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka

Panjang (MKJP) di Kecamatan Martapura responden dengan memiliki

pekerjaan sampingan kehidupan akan lebih sejahtera, semakin tinggi

tingkat perekonomian maka pemikiran untuk lebih menyehatkan

reproduksi akan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat perekonomian

rendah. Peran suami yang bertanggung jawab mencegah penyakit

komplikasi KB istri didukung dengan adanya tingkat perekonomian

yang tinggi. Dapat disimpulkan bahwa dikecamatan martapura

motivasi Ekstrinsik memiliki jumlah yang lebih besar yaitu 90,82%

dengan tingkat perekonomian yang tinggi.

Menurut Penelitian Christiani, dkk (2014) yang berjudul Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka

Panjang (MKJP) Provinsi Jawa Tengah menghasilkan analisis bahwa

wanita PUS yang bekerja atau mempunyai pekerjaan yang mantap

akan memilih alat kontrasepsi MKJP karena alasan praktis dan aman,

mereka cenderung untuk membatasi jumlah anak agar tidak

mengganggu karier dan pekerjaannya. Sebaliknya wanita PUS yang

tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga biasanya

cenderung memakai alat kontrasepsi non MKJP.

Wanita yang bekerja, terutama pekerjaan yang melibatkan aktivitas

fisik yang tinggi seperti bersepeda, berjalan, naik turun tangga atau
23

sejenisnya, kemungkinan salah akan persepsi untuk menggunakan metode

IUD dengan alasan takut lepas (ekspulsi). Pekerjaan formal kadang-

kadang dijadikan alasan sesesorang untuk tidak menggunakan kontrasepsi,

karena tidak sempat atau tidak ada waktu ke pusat pelayanan kontrasepsi.

(Marmi. 2016 : 282).

Menurut Budiarti dkk (2017) dalam penelitiannya yang berjudul

Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

Pada Akseptor KB menunjukan hasil uji statistik yang diperoleh p-

value=0,000 yang berarti p<0,05, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan penggunaan

metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) artinya responden yang tidak

bekerja berpeluang 11,371 kali lebih besar untuk menggunakan metode

kontrasepsi jangka panjang (MKJP) dibandingkan dengan responden yang

bekerja.

4. Tingkat Ekonomi

Sosial ekonomi adalah pengetahuan yang mempelajari tingkah laku

manusia dalam kehidupan masyarakat khususnya denga usaha memenuhi

kebutuhan dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dalam

hidup (Abdulsyani, 2012)

Menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Diater Ever (1982) dalan

Padila (2014) Pendapatan yaitu seluruh penerimaan baik berupa uang

maupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri. Jadi yang
24

dimaksud pendapatan adalah suatu tingkat penghasilan yang diperoleh dari

pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota

keluarga lainnya. Menurut Budioro (2002) dalam Padila (2014)

menyatakan bahwa keterbatasan sarana dan sumber daya, rendahnya

penghasilan, adanya peraturan atau perundangan yang menjadi

penghambat akan membatasi keberdayaan orang perorang maupun

masyarakat untuk merubah perilakunya. (Padila, 2014 : 107)

Menurut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah 2017, Upah

Minimum Kabupaten / Kota Temanggung tahun 2018 adalah sebesar

Rp.1.557.000. (SK Gubernur Jateng. 2017)

Tinggi rendahnya status sosial dan keadaan ekonomi penduduk di

Indonesia akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan program KB

di Indonesia. Kemajuan program KB tidak bisa lepas dari tingkat ekonomi

masyarakat karena berkaitan erat dengan kemampuan untuk membeli alat

kontrasepsi yang digunakan. Contoh : keluarga dengan penghasilan cukup

akan lebih mampu mengikuti program KB dari pada keluarga yang tidak

mampu, karena bagi keluarga yang kurang mampu KB bukan merupakan

kebutuhan pokok. Dengan suksesnya program KB maka perekonomian

suatau negara akan lebih baik karena dengan anggota keluarga yang sedikit

kebutuhan dapat lebih tercukupi dan kesejahteraan dapat terjamin.

(Marmi, 2016)
25

Menurut penelitian Mahmudah & Fitri (2015) yang berjudul

Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Metode

Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada Akseptor Kb Wanita Di

Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang menunjukan hasil bahwa

akseptor dalam kelompok keluarga miskin memiliki peluang untuk

memilih metode kontrasepsi non-MKJP sebesar 1,474 kali lebih besar

dibandingkan dengan akseptor dalam kelompok bukan keluarga miskin.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosmadewi

(2015) yang berjudul Hubungan Pengetahuan Dan Tingkat Ekonomi

Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Di Wilayah Puskesmas Sekampung

Kabupaten Lampung Timur menunjukkan hasil bahwa responden dengan

penghasilan yang tinggi lebih banyak memilih penggunaan alat kontrasepsi

jangka panjang, sedangkan responden dengan tingkat penghasilan rendah

lebih banyak memilih alat kontrasepsi jangka pendek.

5. Teori dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan sistem pendukung utama untuk

memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit.

Kepala keluarga adalah seorang dari sekelompok anggota keluarga yang

bertanggungjawab atas krbutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang

yang dianggap atau ditunjuk sebagai kepala rumah tangga. Adapun

dukungan keluarga yang dimaksud disinin adalah dukungan dalam moril

atau materil kepada anggota keluarga. (Padila, 2014 : 88)


26

Menurut Cohen & Syme dalam Prasetyawati (2011) Keluarga

merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui

pertalian darah, adopsi, atau perkawinan dukungan keluarga merupakan

suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang

lain yang dapat dipercaya sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang

lain yang memperhatikan, mengharagai dan mencintainya. (Prasetyawati,

2011).

Notoatmodjo (2011) menjelaskan bahwa suatu sikap belum

ototmatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap

diperlukan faktor pendukung seperti fasilitas. Di samping faktor fasilitas

juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami,

orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung praktek keluarga

berencana. Dukungan keluarga mengacu pada suatu dukungan yang

dipandang oleh angggota keluarga lain sebagai suatu hal yang dapat

bermanfaat baik dalam hal pemecahan masalah, pemberian keamanan dan

peningkatan harga diri. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor

penguat (reinforcing factor) yang sangat berpengaruh terhadap seseorang

untuk berperilaku positif yang akan mempengaruhi perkembangan dan

kemajuan program KB di Indonesia (Puspita & Siti. 2014)

Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat


27

mendukung selalu ssiap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan. Keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:

a. Dukungan informasi

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseinator informassi

tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian, saran, sugesti,

informasi, yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.

Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu

sensor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi

sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini

adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.

b. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan

validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support,

penghargaan, perhatian

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan

konkrit diantaranya : kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan

dan minum, isirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

d. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai u ntuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek

dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam


28

bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan

didengarkan. (Handayani & Wahyu, 2016 :27)

Dalam penelitian Dwi Puspita & Siti Nurunniyah (2014) yang

berjudul Hubungan Dukungan Keluarga dengan Keikutsertaan PUS

dalam ber-KB membuktikan bahwa terdapat hubungan antara

Dukungan Keluarga dengan Keiuktsertaan KB dengan hasi uji Chi

Square p<0,05 (p=0,000). Hal ini berarti semakin tinggi dukungan

keluarga semakin tinggi keikutsertaan KB.


29

3. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

a. Pengertian MKJP

Menurut BBKBN, Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) adalah

alat kontrasepsi untuk menunda, menjarangkan kehamilan serta

menghentikan kesuburan yang digunakan dalam jangka panjang. Selain itu,

MKJP lebih rasional dan memiliki efek samping sedikit.

b. Jenis-jenis MKJP

MKJP ( Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yang termasuk dalam kategori

ini adalah Susuk (Implant), IUD, MOW dan MOP

1. IMPLAN / SUSUK KB

Implan adalah alat kontrasepsi berupa kapsul kecil karet terbuat

dari silikon, berisi levonorgestrel, terdiri 6 kapsul kecil dan panjang 3 cm

sebesar batang korek api yang di susukkan dibawah kulit lengan atas

bagian dalam oleh dokter atau bidan yang sudah terlatih. Lengan yang

dipasang implan biasanya lengan dari tangan yang tidak banyak digunaka

beraktifitas.

Implan adalah metode kontrasepsi yang hanya mengandung

progestin dengan masa kerja panjang, dosis rendah, reversible untuk

wanita. Obat yang terdapat dalam setiap batang itu akan berdifusi secara

teratur masuk ke dalam peredaran darah.setelah obat steroid dalam setiap

batang itu habis, maka semua batang tersebut harus dikeluarkan dengan

jalan pembedahan kecil, atau kalau wanita yang bersangkutan ingin

berhenti pemakaiannya. (Marmi 2016 : 235)


30

1. Indikasi

a) Usia reproduksi

b) Tidak memiliki anak atau pun belum memiliki anak

c) Menghendaki kontrasepsi yang memiliki efektifitas tinggi dan

menghendaki pencegahan kehamilan jangka panjang

d) Menyusui dan belum membutuhkan kontrasepsi

e) Pasca persalinan dan tidak menyusui

f) Pasca keguguran

g) Tidak meninginkan anak lagi, tetapi menolak strerilisasi

h) Riwayat kehamilan ektopik

i) Tekanan darah < 180/100 mmHg, dengan masalah pembekuan

darah atau anemia bulan sabit (Sickle cell)

j) Tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal yang

mengandung estrogen

k) Sering lupa menggunakan pil

2. Kontraindikasi

a) Hamil dan atau dicurigai adanay kehamilan

b) Perdarahan abnormal dari utrus yang tidak ddiketahui

diagnosisnya

c) Benjolan/kanker payudara atau riwayat kanker payudara

d) Diabetes mellitus / penyakit endokrin lainnya

e) Psikosis. Neurosis

f) Ada riwayat molahidatidosa


31

g) Varises berat

h) Tidak dapat menrima perubahan pola haid yang terjadi

i) Mioma uterus da kanker payudara

j) Gangguan toleransi glukosa

k) Penyakit jantung dan hipertensi (kardiovaskuler)

(Marmi. 2016 : 241)

2. AKDR (IUD)

A. Pengertian AKDR

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) adalah satu alat

kontrasepsi modern yang telah dirancang sedemikian rupa

(baik bentuk, ukuran, bahan dan masa aktif fungsi

kontrasepsinya) yang dimasukan kedalam rahim yang sangat

efektif, reversibel dan berjangka panjang, dan dapat dipakai

oleh semua perempuan usia reproduktif sebagai suatu usaha

pencegahan kehamilan. (Marmi 2016 : 256)

B. Indikasi penggunaan AKDR

1. Usia produktisi

2. Keadaan nulipara

3. Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang.

4. Perempuan menyusui yang menginginkan kontrassepsi.

5. Setelah menyusui yang menginginkan kontrasepsi.

6. Setelah abortus dan tidak terlihat adanya infeksi.


32

7. Perempuan dengan risiko rendah IMS

8. Tidak menghendaki metode hormonal.

9. Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap

hari.

10. Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari senggama.

11. Gemuk atau pun kurus.

12. Perokok

13. Sedang memakai obat antibiotik dan anti kejang.

14. Penderita tumor jinak maupun ganas payudara.

15. Pusing-pusing atau nyeri kepala.

16. Varises kaki dan vulva.

17. Pernah menderita penyakit seperti stroke, DM, liver dan

empedu.

18. Menderita hipertensi, jantung, malaria, skistomiasis (tanpa

anemia), penyakit tiroid, epilepsi, atau TBC non pelvis.

19. Paska KET.

C. Kontra Indikasi AKDR :

1. Kontra indikasi absolut :

a. Infeksi pelvis yang aktif (akut atau sub-akut),

terutama persangkaan Gonorhoe atau chlamydia.

b. Kehamilan atau persangkutan kehamilan.

2. Kontra indikasi relatif kuat

a. Partner seksual yang banyak


33

b. Pernah mengalami infeksi pelvis atau infeksi pelvis

yang rekuren, post-partum endometritis atau abortus

febritis dalam 3 bulan terakhir.

c. Kesukaran memperoleh pertolongan gawat darurat

apabila terjadi komplikasi.

d. Cervitis akut purulent.

e. Kelainan darah yang tidak xiketahui penyebabnya.

f. Riwayat kehamilan ektopik atau keadaan-keadaan

yang menyebabkan predisposisi untuk terjadinya

kehamilan ektopik.

g. Pernah mengalami infeksi pelvis satu kali dan masih

menginginkan kehamilan sselanjutnya.

h. Kelainan pembekuan darah. Sedang mendapat terapi

koagulan. Pemakaian spiral dari tembaga bisa

memperparah keadaan, yang cocok untuk penderita

penyakit ini adalah (spiral) LNG-IUS. (Marmi. 2016

: 276)
34

3. TUBEKTOMI (MOW)

1. Definisi

Sterilisasi pada wanita atau tubektomi adalah metode

pengikatan dan pemotongan tuba falopi agar ovum tidak dapat

dibuahi oleh sperma (Lucky & Titik. 2015)

Kontrasepsi mantap adalah satu metode kontrasepsi yang

dilakukan dengan cara mengikat atau memotong saluran telur (pada

peremuan). Tubektomi ialah tindakan yang dilakukan pada kedua

tuba fakopi wanita yang mengakibatkan seseorang tidak dapat

hamil lagi. MOW (metode operasi wanita / tubektomi adalah

tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri,

yang menyebabkan sel telur tidak dapat melewati sel telur, dengan

demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma laki-laki

sehingga tidak terjadi kehamilan.

Dalam pembedahan tubektomi, kedua saluran tuba falopi

yang menghubungkan ovarium dan rahim dipotong dan ujung-

ujungnya ditutup dengan cincin atau dibakar (kauter). Metode lain

yang tidak melakukan pemotongan adalah dengan mengikat atau

menjepit saluran tuba falopi (tubal ring / tubal clip). Hal ini

menyebabkan sel telur tidak dapat terjangkau sperma. (Marmi.

2016 : 305-306).
35

2. Indikasi

Seminar kuldoskopi Inonesia pertama di Jakarta (18-19 Desember

1972) mengambil kessimpulan, sebaiknya tubektomi sukarela

dilakukan pada wanita yang memenuhi syarat-yarat berikut :

a. Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup

b. Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup

c. Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup

Pada konferensi khusus perkumpulan untuk sterilisasi sukarela di

Indonesia di Medan (3-5 Juni 1976) dianjurkan paad umur antara

25-40 tahun dengan jumlah anak sebagai berikut :

a. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih

b. Umur antara 30-35 tahun dengan anak 2 atau lebih

c. Umur antara 35-40 tahun dengan anak 1 atau lebih

3. Kontra indikasi

a. Hamil

b. Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan

c. Infeksi sistemik atau pelvik yang akut

d. Belum memberikan persetujuan tertulis

e. Tidak boleh menjalani proses pembedahan.

f. Usia dibawah 30 tahun yang belum dan masih ingin

memiliki anak. Sterilisasi seharusnya ditawarkan pada


36

wanita ibawah 30 tahun hanya dalam keadaan yang sangat

khusus.
37

4. VASEKTOMI (MOP)

1. Pengertian Vasektomi

Vasektomi adalah tindakan memotong dan menutup saluran

sperma (vaseferens) yang menyalurkan sperma keluar dari testis.

Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas

reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vas deferens,

sehingga menghambat perjalanan spermatozoa dan tidak

didapatkan spermatozoa didalam semen / ejakulat (tidak ada

penghantaran spermatozoa dari testis ke penis). (Marmi. 2016 :

334)

2. Kontra indikasi

a. Infeksi kulit lokal, misalnya scabies (penyakit kulit menular

akibat tuma gatal)

b. Infeksi traktus genetalia

c. Penyakit sistemik :

1) Penyakit-penyakit perdarahan

2) Diabetes mellitus

d. Kelainan skortum dan sekitarnya :

1) Varicocele (varikositas pleksus pampiniformis

korda spermatika, yang membentuk benjolan

skortum yang terassa seperti “kantong cacing”

2) Hydrocele besar
38

3) Filariasis

4) Hernia inguinalis

5) Orchiopexy (fiksasi testis yang tidak turun pada

skortum)

6) Luka parut bekas operasi hernia

7) Skortum yang sangat tebal

e. Riwayat perkawinan, psikologis atau seksual yang tidak

stabil.

3. Efektifitas vasektomi

Angka kegagalan biasanya kurang dari 0,1% - 0,15% pada tahun

pertama pemakaian prosedur vasektomi tanpa pisau (VTP)

dilakukan dengan anestesi lokal dan akses terhadapap vas mudah

diperoleh, maka prosedur ini lebih aman dibandingkan teknik

kontrasepsi mantap wanita. Adapun efektifitas vasektomi antara

lain :

a. Angka kegagalan : 0-2,2% umumnya < 1%

b. Kegagalan vasektomi umumnya disebabkan oleh:

1) Sangga yang tidak terlindung sebelum semen /

ejakulat bebas sama sekali dari spermatozoa.

2) Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya

terjadi setelah pembentukan granuloma

spermatozoa.
39

3) Pemotongan dan okulasi struktur jaringan lain

selama operasi.

4) Jarang : duplikasi kongenital dari vas deferens

(terdapat lebih dari satu vas deferens pada satu sisi)

(Marmi. 2016 : 334-340)

4. Komplikasi vasektomi

Infeksi pada sayatan, rasa nyeri / sakit, terjadinya hematoma oleh

karena perdarahan kapiler, epididimitis, terbentuknya granuloma.

(Sarwono. 2011 : 462)


40

B. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi perilaku

Faktor Pemungkin Faktor Predisposisi Faktor Pendorong

Sarana
Prasarana P P P S T P D D
e er e o i e u u
n s k s n n k k
d e e o g g u u
i p rj a k e n n
d s a l a t g g
i i a t a a a
k n B h n n
a u E u
n d k a S K
a o n u e
y n a l
a o m u
m i a
i r
g
a

Pendidikan yang PUS yang bekerja Berkaitan dengan Sistem


tinggi memuat memilih MKJP kemampuan untuk pendukung
seseorang lebih karena praktis dan membeli alat kontrasepsi utama Faktor
terbuka terhadap aman dan yang digunakan. Semakin penguat untuk
ide-ide baru & cenderung untuk tinggi tingkat berperilaku
perubahan untuk membatasi jumlah perekonomian maka positif dan.
mendapatkan anak agar tidak pemikiran untuk
pelayanan kesehatan mengganggu karir menyehatkaan reproduksi
yang proporsional. dan pekerjaan. akan lebih tinggi.

Pemilihan kontrasepsi MKJP


- Implan
- IUD
- MOW
- MOP

Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti

Sumber : Modifikasi dari teori Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo 2011 dan teori
Marmi (2016).

Anda mungkin juga menyukai