Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERILAKU

2.1.1 Definisi

Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus,

organisme, dan respon sehingga teori skinner disebut “S-O-R” (Stimulus-

Organisme-Respons). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku

manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Perilaku tertutup (Cover Behaviour) Perilaku tertutup terjadi bila

respons stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari

luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk

perhatian, perasaan, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus

bersangkutan.

b. Perilaku Terbuka (Overt Behaviour) Perilaku terbuka ini terjadi bila

respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik

ini dapat diamati orang lain dari luar “observe able behaviour) Menurut

Green Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor

pokok yaitu, factor perilaku (behavior causes) dan factor diluar

8
9

perilaku (non behavior causes). Perilaku sendiri ditentukan atau

terbentuk dari 3 faktor, yaitu:

1) Faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi ; Pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2) Faktor pendukung (enabling factor), meliputi : Lingkungan fisik,

fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,

obat-obatan, alat-alat, kontrasepsi, jamban dan sebagainya.

3) Faktor pendorong ( renforcing factor), meliputi: Sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.1.2. Bentuk Perilaku

Bentukperilaku Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi

pendidikan, membedakan adanya tiga ranah perilaku, yaitu kognitif

(cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam

perkembangan selanjutnya berdasarkan pembagian domain oleh

Bloom ini, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan

menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut : Pengetahuan

(knowledge), sikap (attitude), tindakan (practice) (Notoatmodjo,

2010).
10

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah melakukan

penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau cognitive

merupakan domain yang sangat penting dalam bentuk tindakan

seseorang (overt behavior).

b. Sikap

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berprestasi dan merasa

dalam menghadapi, obek, iide, situasi atau nilai. Sikap bukan

perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan

cara-cara tertentu terhadap objek. Sikap adalah respon tertutup

seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah

melibatkan faktor pendapat, dan emosi yang bersangkutan senang

tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik, dan sebagainya.

c. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap, menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Setelah seseorang

mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan


11

penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses

selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan

apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). (Notoatmodjo,

2010).

2.1.3. Faktor - faktor Perilaku

Menurut teori WHO, faktor-faktor perilaku dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :

a. Faktor-faktor Internal yaitu faktor-faktor yang ada di dalam diri

individu itu sendiri, misalnya : karakteristik (umur, jenis kelamin,

pendidikan, sikap, dan sebagainya) yang dimiliki seseorang. Selain

itu juga dapat berupa pengalaman akan keberhasilan mencapai

sesuatu, pengakuan yang diperoleh, rasa tanggung jawab,

pertumbuhan professional dan intelektual yang dialami seseorang.

Sebaliknya, apabila seseorang merasa tidak puas dengan hasil dari

pekerjaan yang telah dilakukannya, dapat dikaitkan dengan faktor-

faktor yang sifatnya dari luar diri individu.

b.Faktor-faktor Eksternal yaitu faktor-faktor yang ada di luar

individu yang bersangkutan. Faktor ini mempengaruhi, sehingga di

dalam diri individu timbul unsur-unsur dan dorongan/motif untuk

berbuat sesuatu, misalnya pengalaman, fasilitas, sumber informasi,

penyuluhan dan pembinaan. Dari uraian di atas dapat dirumuskan


12

bahwa perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan

aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama antara berbagai

faktor, baik faktor internal dan eksternal (USU, 2014)

2.1.4. Faktor Perilaku yang Mempengaruhi Kebersihan Alat Kelamin

Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok,yaitu:

1)Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) adalah

perilaku atau usaha usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga

kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila mana

sakit.

2) Perilaku pencarian atau penggunaan fasilitas kesehatan atau perilaku

pencairan pengobatan (health seeking behavior) Perilaku ini adalah

menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita

penyakit dan atau kecelakaan.

3)Perilaku kesehatan lingkungan apabila seseorang merespon

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun social budaya, dan

sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi

kesehatannya. (Eliya,dkk, 2013).

2.1.5. Cara Pengukuran Perilaku

Menurut (Suparyanto, 2014), pengukuran perilaku yang berisi

pernyataan-pernyataan terpilih dan telah diuji reabilitas dan validitasnya


13

maka dapat digunakan untuk mengungkapkan perilaku kelompok

responden. Kriteria pengukuran perilaku yaitu:

a. Perilaku positif jika nilai Total skor yang diperoleh responden dari

kuesioner > Total mean

b. Perilaku negatif jika nilai Total skor yang diperoleh responden dari

kuesioner < Total mean

1) Nilai > 50, berarti subjek berperilaku positif

2) Nilai < 50 berarti subjek berperilaku negatif

2.2. MENSTRUASI

2.2.1 Pengertian Menstruasi

Menstruasi ialah pengeluaran darah, mukus dan debris sel dari

mukosa uterus secara berkala. Menstruasi terjadi dalam interval-

interval kurang lebih teratur, siklis dan dapat diperkirakan sewaktu-

waktunya, sejak menarche sampai menapause kecuali saat hamil,

menyusui, anovulasi, atau mengalami intervensi farmakologis

(Cunningham, 2005).

2.2.2 Siklus Menstruasi

1. Siklus Endomtrium

Menurut Ganong (2001), Cunningham et al (2005), dan Sherwood

(2001), siklus menstruasi endometrium terdiri dari dua fase, yaitu fase

proliferatif dan fase sekretorik (Cunningham, 2005).


14

Pada fase proliferatif, dibawah pengaruh estrogendari folikel yang

sedang tumbuh, ketebalan endometrium cepat meningkat dari hari

kelima sampai keempat belas siklus menstruasi. Seiring dengan

peningkatan ketebalan, kelenjar-kelenjar uterus tertarik keluar

sehingga memanjang tetapi kelenjar-kelenjar tersebut belum

berkelok-kelok atau mengeluarkan sekresi. Fase ini juga disebut fase

praovulasi atau folikular (Cunningham, 2005).

Pada fase sekretorik, setelah terjadinya ovulasi, vaskularisasi

endometrium menjadi sangat meningkat dan endometrium menjadi

agak sembab di bawah pengaruh estrogen dan progesteron dari

korpus luteum. Kelenjar-kelenjar mulai bergelung-gelung dan

mengumpar, lalu mulai menyekresikan cairan jernih. Endometrium

diperdarahi oleh dua jenis arteri. Stratum fungsional dipasok oleh

arteri spiralis yang panjang dan berkelok-kelok dan stratum basale

diperdarahi oleh arteri basilaris yang pendek dan lurus (Cunningham,

2005).

Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang

menyekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan

kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi

spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terjadi dan


15

terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan

basal dan perdarahan menstruasi dimulai (Cunningham, 2005).

2. Peran Aksis Hipotalamus – Hipofisis Anterior – Ovarium

Ovarium memiliki dua unit endokrin terkait yaitu penghasil estrogen

selama paruh pertama siklus, dan korpus luteum, yang mengeluarkan

progesteron dan estrogen selama paruh akhir siklus. Unit - unit ini

secara sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis yang rumit

antara hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin

ovarium. Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh

hormon-hormon gonadrotopik hipofisis anterior, yaitu folikel

stimulation hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua

hormon ini pada gilirannya diatur oleh gonadrotopin-releasing

hormone (GnRH) dari hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta

efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Selama fase folikel, folikel

ovarium mengeluarkan estrogen dibawah pengaruh FSH, LH dan

estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang rendah tetapi tetap terus

meningkat tersebut pertama menghambat sekresi FSH, yang menurun

selama bagian terakhir fase folikel, dan kedua secara inkomplit

menekan sekresi LH, yang terus meningkat selama fase folikel. Pada

saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang

tinggi itu akan memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus.


16

Lonjakan LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi

estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi. Sel-sel folikel

lama diubah menjadi korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron

serta estrogen selama fase luteal. Progesteron sangat menghambat

FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum

bergenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang

dikeluarkan tidak dibuahi atau tertanam di uterus. Kadar progesteron

dan estrogen menurun secara tajam pada saat korpus luteum

berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan

LH lenyap. Kadar kedua hormon hipofisis anterior ini kembali

meningkat dan merangsang berkembangnya folikel-folikel baru

seiring dengan dimulainya fase folikel. Fase-fase di uterus yang

terjadi pada saat yang bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-

hormon ovarium pada uterus. Pada awal fase folikel, lapisan

endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah terlepas.

Pelepasan ini terjadi akibat merosotnya estrogen dan progesteron

ketika korpus luteum tua dan berdegenerasi pada akhir fase luteal

sebelumnya. Pada akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat

menyebabkan endometrium menebal. Setelah ovulasi, progesteron

dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik

di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk

menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu


17

korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid

uterus yang baru (Sherwood, 2001)

2.3 HUBUNGAN PEMANFAATAN SUMBER INFORMASI DENGAN

PERILAKUMENSTRUAL HYGIENE

Idris dalam Wahyulisasni (2006), menyatakan pengetahuan seseorang

dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal.

Pengetahuan dari pendidikan formal adalah yang diperoleh dari jenjang

pendidikan formal, sedangkan pengetahuan dari pendidikan informal adalah

yang diperoleh dari pengalaman dan informasi dari sumber-sumber seperti

media massa, media elektronik, maupun dari penyuluhan. Umumnya remaja

putri mendapatkan pengetahuan tentang menstruasi dari ibunya. Akan tetapi

tidak semua ibu atau orangtua memberikan informai yang memadai kepada

putrinya dan sebagian bahkan beranggapan tabu membicarakan hal tersebut.

Akibatnya, remaja putrid menjadi cemas dan berkeyakinan bahwa menstruasi

adalah sesuatu yang tidak menyenangkan menjelang dan selama keadaan

menstruasi seperti tidak enak badan, pusing-pusing, perut kembung, letih,

dan mudah tersinggung, sebaiknya orangtua memberikan pendidikan

kesehatan reproduksi sedini mungkin, agar remaja mempunyai pemahaman

yang baik terutama dalam menghadapi menstruasi (UNAN, 2009).

Pemahaman seseorang terhadap sistem maupun fungsi reproduksinya

sangatlah penting. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang


18

kesehatan reproduksi yang cukup, akan cenderung mengabaikan kesehatan

reproduksinya dan pada akhirnya ia akan melakukan tindakan yang

membahayakan bagi dirinya sendiri. Pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku higienis

perempuan pada saat menstruasi. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan

reproduki akan memungkinkan perempuan tidak berperilaku higienis pada

saat menstruasi (USU,2010).

D. KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA PUTRI


1. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan

sosial secara utuh, yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau

kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta

fungsi dan prosesnya (Widyastuti,2009). Pada dasarnya, kesehatan

reproduksi merupakan unsur yang intrinsik dan penting dalam kesehatan

umum, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Selain itu kesehatan

reproduksi juga merupakan syarat yang esensial bagi kesehatan bayi, anak-

anak, remaja dan orang dewasa bahkan orang-orang yang berusia setelah

masa reproduksi (Saefudin, 1999).

a. Tujuan Kesehatan Reproduksi

Tujuan kesehatan reproduksi untuk meningkatkan pengetahuan,

kesadaran sikap dan perilaku remaja dan orang tua agar peduli dan
19

bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga, serta pemberian pelayanan

kepada remaja yang memiliki permasalahn khusus (Saefuddin, 2002)

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Buruk Terhadap Derajat Kesehatan

Reproduksi

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap derajat

kesehatan reproduksi diantaranya kemiskinan, kedudukan perempuan dalam

keluarga dan masyarakat, akses kefasilitasan kesehatan yang memberikan

pelayanan kesehatan reproduksi yang kurang memadai di Indonesia, secara

nasional telah disepakati ada empat komponen prioritas kesehatan reproduksi

yaitu kesehatan ibu dan bayi baru lahir, keluarga berencana, kesehatan

reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan penyakit menular seksual

termasuk HIV/AIDS (Depkes RI, 2001).

2. Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan reproduksi remaja ialah suatu kondisi sehat yang

menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja.

Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas

dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Fauzi,

2008).
20

E. KERANGKA TEORI

Faktor
Predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Kepercayaan
Keyakinan
Nilai-nilai
21

Faktor Perilaku kebersihan


Pendukung alat kelamin pada
menstruasi
Sarana
Prasarana

Faktor
Pendorong

Sikap dan
perilaku
kesehatan

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori Lawrence Green (2007)

Anda mungkin juga menyukai