Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction) yaitu pemisahan solute dari
cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven
tersebut bersifat heterogen (immiscible, tidak saling campur), dan jika dipisahkan
terdapat 2 fase, yaitu fase rafinat dan fase ekstrak. Fase rafinat adalah fase residu, berisi
diluen dan sisa solute. Sedangkan fase ekstrak adalah fase yang berisi solut dan solven
(Mc Cabe, 2005).

Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang memiliki karakteristik
antara lain:
a. Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam campuran.
b. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali, sehingga dapat dipergunakan kembali.
c. Perbedaan berat jenis antara ekstrak dan rafinat lebih besar.
d. Pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur.
e. Tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi.
f. Tidak merusak alat secara korosi.
g. Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah.
h. Tersedia dan tidak mahal.
(McCabe,2005).

Ekstraksi cair-cair bertujuan untuk memisahkan analit yang dituju dari pengganggu
dengan cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang tidak saling campur. Salah
satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain adalah pelarut organik. Senyawa-
senyawa yang bersifat polar akan ditemukan di dalam fase air, sementara senyawa-
senyawa yang bersifat hidrofobik akan masuk pada pelarut organik, begitupula dengan
ekstraksi padat cair akan tetapi sampel yang digunakan tidak larut air (Geankoplis,
2003).
Pada dasarnya, prinsip pencampuran bahan berasal dari prinsip mekanika fluida dan
perpindahan bahan. Pencampuran bahan akan terjadi bila adanya gerakan dari bahan
yang akan dicampur, baik secara horizontal atau pun vertical. Terdapat dua jenis
pencampuran yaitu pencampuran sebagai proses terminal, dan pencampuran sebagai
proses pelengkap yang mempercepat proses lainnya seperti pemanasan, pendinginan
atau reaksi kimia, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam proses
pencampuran diantaranya adalah ukuran dan bentuk partikel, kadar air berikut dengan
karakteristik dari bahan yang akan diaduk. Pengidentifikasian ini akan memudahkan
dalam pemilihan mesin pencampur yang tepat (Saputra, 2010).

Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas zat
terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan
kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Adapun faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya koefisien distribusi diantaranya adalah :
a. Temperatur yang digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi
kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
b. Jenis pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan sangat
mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.
c. Jenis terlarut
Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higoskopis,
maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya
mempengaruhi harga k.
d. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k. Harga K berubah
dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga k tergantung jenis pelarutnya
dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya berlaku bila zat
terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku untuk
komponen yang sama.
(Perry, 1997).
Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan tetapan
kesetimbangan. Hukum Distribusi Nerst ini menyatakan bahwa solute akan
mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga
setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam
kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu tetapan, yang disebut
koefisien distribusi (Kd), jika di dalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi
apapun. Akan tetapi, jika solut di dalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi
tertentu seperti assosiasi, dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan
besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap
tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D) (Perry, 1997).

Tetapan distribusi atau koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus:

.................................................2.2
Dengan,
Kd = Koefisien distribusi,
Co = konsentrasi larutan pada pelarut organik,
Ca = konsentrasi larutan pada pelarut air.
(Perry, 1997).

Asam asetat merupakan senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa
asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C 2H4O2. Rumus
ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni
(disebut juga dengan asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan
memiliki titik beku 16.7oC, rumus molekul: CH3COOH; Massa molar: 60.05 g.mol-1,
densitas: 1.049 g.cm-3 cairan dan 1.266 g.cm-3 padatan, titik didih: 118.1oC (391.2 ± 0.6
K) (244.5 oF). Asam asetat (CH3COOH) berbahaya jika terkena kulit, mata, tertelan,
terhirup. Jika terkena gas tersebut dapat mengakibatkan kerusakan jaringan terutama
pada selaput lendir mata, mulut dan saluran pernapasan. Tersentuh dengan kulit dapat
menghasilkan luka bakar. Terhirup gas tersebut akan menghasilkan iritasi pada saluran
pernapasan, yang ditandai dengan batuk, tersedak, atau sesak napas. Radang pada mata
ditandai dengan mata kemerahan, penyiraman, dan gatal. Radang kulit yang ditandai
dengan gatal, merah pada kulit (Brown, 1978).

Pada operasi ekstraksi terjadi kontak antara zat dan pelarut (solvent) yang dilakukan
dalam beberapa tahap dimana rafinat yang diperoleh dari tahap yang satu dikontakkan
dengan pelarut baru pada tahap berikutnya. Operasi ini dapat menggunakan pelarut baru
(solvent) dalam jumlah yang bervariasi. Semakin banyak tahap yang digunakan pada
operasi ini berarti semakin banyak solvent yang digunakan untuk menghasilkan rafinat
akhir sehingga total solvent yang digunakan bisa lebih besar daripada feed dan menjadi
tidak ekonomis. Pemberian pelarut baru pada setiap tahap akan menghasilkan driving
force lebih besar yaitu kadar solute dalam larutan menjadi lebih banyak (Geankoplis,
2003).

Gambar 2.1 Skema operasi multi tahap dengan aliran cross-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran cross-current berdasarkan pada prinsip
neraca massa sebagai berikut :
a. Neraca massa total : Rn-1 + Sn = En + Rn
b. Neraca massa zat terlarut : Rn-1 Xn-1 + Sn Ys = En Yn + Rn Xn
(Geankoplis, 2003).

Operasi multi stage dengan aliran lawan arah (counter-current) merupakan proses
ekstraksi dimana kontak antara zat dan pelarut (solvent) dilakukan lebih dari satu kali.
Prinsip ekstraksi multi stage counter-current adalah zat “baru” dikontakkan dengan
pelarut yang telah banyak mengandung solut yaitu ekstrak sebagai hasil kontak pada
tahap-tahap berikutnya, sedangkan zat yang solutnya telah menipis dikontakkan dengan
pelarut segar pada tahap berikutnya (Geankoplis, 2003).

Operasi ekstraksi counter-current banyak diterapkan dalam industri karena


menghasilkan perolehan (yield) yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kontak
antara ekstrak dengan zat baru dan antara rafinat dengan pelarut baru memberikan
driving force berupa perbedaan konsentrasi dan kelarutan dalam setiap tahapnya
sehingga akan selalu terjadi perpindahan solut dari zat ke pelarut. Operasi ekstraksi
kontinu countercurrent dapat disimulasikan dengan operasi batch antara umpan dan
pelarut, tetapi harus mengikuti skema operasi ekstraksi multi tahap counter-current
secara kontinu sampai mencapai steady state (Geankoplis, 2003).

Gambar 2.2 Skema operasi multi tahap dengan aliran counter-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran counter-current berdasarkan pada prinsip
neraca massa sebagai berikut :
a. Neraca massa total : F + S = E1 + Rn atau Ro + En+1 = E1 + Rn
b. Neraca massa zat terlarut :
F . XF + S . Ys = E1 . Y1 + Rn . Xn
atau
Ro . Xo + En+1 . Yn+1 = E1 . Y1 + Rn . Xn
(Geankoplis, 2003).

Anda mungkin juga menyukai