Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi adalah proses pencarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan bagian
tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan
begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu
untuk mengekstraksinya (Brown, 1978).

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction) yaitu pemisahan solute


dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan
solven tersebut bersifat heterogen (immiscible, tidak saling campur), dan jika
dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase rafinat dan fase ekstrak. Fase rafinat adalah
fase residu, berisi diluen dan sisa solut. Sedangkan fase ekstrak adalah fase yang
berisi solut dan solven (Cabe, 1989).

Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran
dipisahkan dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara teknis dalam skala
besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan penyedap,
produk-produk minyak bumi dan garam-garam logam. Proses ini digunakan untuk
membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi padat cair (Brown,
1978).

Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang memiliki sifat antara
lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit atau
tidak melarutkan diluen.
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi.
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali.
d. Tersedia dan tidak mahal
(Cabe, 1989).
Ekstraksi cair-cair dilakukan dengan cara pemisahan komponen kimia diantara 2
fase pelarut yang tidak saling bercampur. Dimana sebagian komponen larut pada
fase pertama, dan sebagian larut pada fase kedua. Lalu kedua fase yang
mengandung zat terdispersi dikocok, dan didiamkan sampai terjadi pemisahan
sempurna dan terbentuk dua lapisan. Yakni fase cair dan komponen kimia yang
terpisah (Geankoplis, 2003).

Ekstraksi cair-cair bertujuan untuk memisahkan analit yang dituju dari pengganggu
dengan cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang tidak saling campur.
Salah satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain adalah pelarut organik.
Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan ditemukan di dalam fase air, sementara
senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik akan masuk pada pelarut organik,
begitupula dengan ekstraksi padat cair akan tetapi sampel yang digunakan tidak
larut air (Geankoplis, 2003).

Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas
zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui,
asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Adapun faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya koefisien distribusi diantaranya adalah:
a. Temperatur yang digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
b. Jenis pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan
sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan
nilai k.
c. Jenis terlarut
Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau
higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut),
akibatnya mempengaruhi harga k.
d. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k. Harga K
berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga k tergantung jenis
pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya
berlaku bila zat terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas
hanya berlaku untuk komponen yang sama
(Perry, 1999).

Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan
tetapan kesetimbangan. Hukum Distribusi Nernst ini menyatakan bahwa solut akan
mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga
setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam
kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu tetapan, yang disebut
koefisien distribusi (Kd), jika di dalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi
apapun. Akan tetapi, jika solut di dalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi
tertentu seperti assosiasi, dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan
besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam
tiap tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D) (Perry, 1999).

Tetapan distribusi atau koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus:

.................................................2.2
Dengan,
Kd = Koefisien distribusi,
Co = konsentrasi larutan pada pelarut organik,
Ca = konsentrasi larutan pada pelarut air.
(Perry, 1999).

Larutan baku /standar adalah larutan yang telah diketahui normalitas atau
molaritasnya dengan tepat. Normalitas menunjukkan kepekatan dari suatu larutan
yang dinyatakan dalam bentuk. Jumlah ekuivalen zat terlarut dalam tiap liter
larutan. Molaritas menunjukkan dari suatu larutan yang dinyatakan dalam bentuk
jumblah molekul zat terlarut dalam tiap liter larutan. Cara menentukan normalitas
dan molaritas inilah yang digunakan pada suatu larutan yang disebut dengan
pembakuan/standarisasi yang dilakukan dengan cara melihat kepekaan yang
diperoleh dari hasil penimbangan zat yang diketahui kemurnianya (Brown, 1978).

Titrasi merupakan suatu metode yang menggunakan analisa kimia secara


kuantitatif yang biasa digunakan dalam laboratorium untuk menentukan
konsentrasi dari reaktan. Karena pengukuran volum memainkan peranan penting
dalam titrasi, maka teknik ini juga dikenali dengan analisa volumetrik. Analisis
titrimetri merupakan satu dari bagian utama dari kimia analitik dan perhitungannya
berdasarkan hubungan stoikhiometri dari reaksi-reaksi kimia. Analisis cara
titrimetri berdasarkan reaksi kimia seperti: aA + tT → hasil dengan keterangan: (a)
molekul analit A bereaksi dengan (t) molekul pereaksi T. Pereaksi T, disebut titran,
ditambahkan secara sedikit-sedikit, biasanya dari sebuah buret, dalam bentuk
larutan dengan konsentrasi yang diketahui. Larutan yang disebut belakangan
disebut larutan standar dan konsentrasinya ditentukan dengan suatu proses
standardisasi. Penambahan titran dilanjutkan hingga sejumlah T yang ekivalen
dengan A telah ditambahkan. Maka dikatakan bahan titik ekivalen titran telah
tercapai. Agar mengetahui bila penambahan titran berhenti, kimiawan dapat
menggunakan sebuah zat kimia, yang disebut indikator, yang bertanggap terhadap
adanya titran berlebih dengan perubahan warna. Perubahan warna ini dapat atau
tidak dapat trejadi tepat pada titik ekivalen. Titik titrasi pada saat indikator berubah
warna disebut titik akhir (Brown, 1978).

Larutan baku (standar) adalah larutan yang telah diketahui konsentrasinya secara
teliti, dan konsentrasinya biasa dinyatakan dalam satuan N (normalitas) atau M
(molaritas). Senyawa yang digunakan untuk membuat larutan baku dinamakan
senyawa baku. Senyawa baku dibedakan menjadi dua, yaitu baku primer adalah
bahan dengan kemurnian tinggi yang digunakan untuk membakukan larutan standar
dan untuk membuat larutan baku yang konsentrasi larutannya dapat dihitung dari
hasil penimbangan senyawanya dan volume larutan yang dibuat. Contohnya :
H₂C₂O₄ . 2H₂O, Asam Benzoat (C₆H₅COOH), Na₂CO₃, K₂Cr₂O₇, As₂O₃, KBrO₃,
KIO₃, NaCl, dll (Perry, 1999).

Syarat-syarat baku primer:


a. Diketahui dengan pasti rumus molekulnya.
b. Mudah didapat dalam keadaan murni dan mudah dimurnikan.
c. Stabil, tidak mudah bereaksi dengan CO₂, cahaya dan uap air.
d. Mempunyai BM yang tinggi
(Perry, 1999).

Baku sekunder adalah bahan yang telah dibakukan sebelumnya oleh baku primer
kareana sifatnya yang tidak stabil, dan kemudian digunakan untuk membakukan
larutan standar. Contoh : larutan natrium tiosulfat pada pembakuan larutan iodium
(Perry, 1999).

Gambar 2.1 Skema operasi multi tahap dengan aliran cross-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran cross-current berdasarkan pada


prinsip neraca massa sebagai berikut :
a. Neraca massa total : Rn-1 + Sn = En + Rn
b. Neraca massa zat terlarut : Rn-1 Xn-1 + Sn Ys = En Yn + Rn Xn
(Geankoplis, 2003).

Operasi multi stage dengan aliran lawan arah (counter-current) merupakan proses
ekstraksi dimana kontak antara zat dan pelarut (solvent) dilakukan lebih dari satu
kali. Prinsip ekstraksi multi stage counter-current adalah zat “baru” dikontakkan
dengan pelarut yang telah banyak mengandung solut yaitu ekstrak sebagai hasil
kontak pada tahap-tahap berikutnya, sedangkan zat yang solutnya telah menipis
dikontakkan dengan pelarut segar pada tahap berikutnya. Operasi ekstraksi counter-
current banyak diterapkan dalam industri karena menghasilkan perolehan (yield)
yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kontak antara ekstrak dengan zat baru
dan antara rafinat dengan pelarut baru memberikan driving force berupa perbedaan
konsentrasi dan kelarutan dalam setiap tahapnya sehingga akan selalu terjadi
perpindahan solut dari zat ke pelarut. Operasi ekstraksi kontinu countercurrent
dapat disimulasikan dengan operasi batch antara umpan dan pelarut, tetapi harus
mengikuti skema operasi ekstraksi multi tahap counter-current secara kontinu
sampai mencapai steady state (Geankoplis, 2003).

Gambar 2.2 Skema operasi multi tahap dengan aliran counter-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran counter-current berdasarkan pada


prinsip neraca massa sebagai berikut:
a. Neraca massa total: F + S = E1 + Rn atau Ro + En+1 = E1 + Rn
b. Neraca massa zat terlarut:
F. XF + S. Ys = E1. Y1 + Rn. Xn
atau
Ro. Xo + En+1. Yn+1 = E1. Y1 + Rn. Xn
(Geankoplis, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Brown, G. G., 1978. Unit Operation 3rd edition. Tokyo: McGraw-Hill International
Book Company.
Geankoplis, C, J. 2003. Transport Processes and Unit Operations, Ed 2nd. Allyn
and Bacon, Inc: London.
Mc.cabe.W.L. smith J.C unit operation of chemical engineering. Third edition.
1989 Mc Graw-Hill international Book company. Sidney, Tokyo.
Perry’s. 1999. Chemichal Engginers Handbook, Ed 4th. Mc Graw Hill Book
Company: London.

Anda mungkin juga menyukai