Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau
cairan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan proses pemisahan satu atau
lebihkomponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven)
sebagaiseparating agen. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda
dari komponen-komponen dalam campuran.

Di antara berbagai jenis metode pemisahan, ekstraksi pelarut atau disebut juga
ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer, alasan
utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro
maupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan
perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, seperti benzene,
karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer
pada jumlah yang berbeda dalam keadaan dua fase pelarut. Teknik ini dapat digunakan
untuk kegunaan preparatif, pemurnian, pemisahan serta analisis pada semua skala
kerja.

Oleh karena itu, dilakukannya praktikum ekstraksi cair-cair ini agar praktikan
mengetahui prinsip kerja ekstraksi cair-cair, mampu memahami metode yang
digunakan pada praktikum ekstraksi cair-cair dan dapat mengaplikasikannya di dunia
industry dan kehidupan sehari-hari.

1.2 Tujuan
a. Mengetahui perubahan volume raffinat sisa dan massa piknometer + raffinat pada
setiap stage.
b. Mengetahui nilai N teoritis pada setiap stage.
c. Mengetahui besarnya koefisien distribusi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction) yaitu pemisahan solute dari cairan
pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven tersebut bersifat
heterogen (immiscible, tidak saling campur), dan jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase
rafinat dan fase ekstrak. Fase rafinat adalah fase residu, berisi diluen dan sisa solut.
Sedangkan fase ekstrak adalah fase yang berisi solut dan solven (Cabe, 1989).

Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang memiliki sifat antara lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit atau tidak
melarutkan diluen.
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi.
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali.
d. Tersedia dan tidak mahal
(Cabe, 1989).

Ekstraksi cair-cair terutama digunakan bila pemisahan campuran dengan cara distilasi tidak
mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya
terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu
terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan
pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin. Pada saat pencampuran
terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media
pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi
ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang
sempit). Agar terjadi perpindahan massa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang
besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua
cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (misalnya
dengan bantuan perkakas pengaduk) (Perry, 1999).
Ekstraksi cair-cair bertujuan untuk memisahkan analit yang dituju dari pengganggu dengan
cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang tidak saling campur. Salah satu fasenya
seringkali berupa air dan fase yang lain adalah pelarut organik. Senyawa-senyawa yang
bersifat polar akan ditemukan di dalam fase air, sementara senyawa-senyawa yang bersifat
hidrofobik akan masuk pada pelarut organik, begitupula dengan ekstraksi padat cair akan
tetapi sampel yang digunakan tidak larut air (Geankoplis, 2003).

Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas zat
terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan
kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya koefisien distribusi diantaranya adalah :
a. Temperatur yang digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil,
akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
b. Jenis pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan sangat
mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.
c. Jenis terlarut
Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higroskopis,
maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya
mempengaruhi harga k.
d. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k. Harga K berubah
dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga k tergantung jenis pelarutnya dan
zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya berlaku bila zat terlarut tidak
mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku untuk komponen yang
sama
(Perry, 1999).
Pada operasi ekstraksi terjadi kontak antara zat dan pelarut (solvent) yang dilakukan dalam
beberapa tahap dimana rafinat yang diperoleh dari tahap yang satu dikontakkan dengan
pelarut baru pada tahap berikutnya. Operasi ini dapat menggunakan pelarut baru (solvent)
dalam jumlah yang bervariasi. Semakin banyak tahap yang digunakan pada operasi ini
berarti semakin banyak solvent yang digunakan untuk menghasilkan rafinat akhir sehingga
total solvent yang digunakan bisa lebih besar daripada feed dan menjadi tidak ekonomis.
Pemberian pelarut baru pada setiap tahap akan menghasilkan driving force lebih besar yaitu
kadar solut dalam larutan menjadi lebih banyak (Geankoplis, 2003).

Gambar 2.1 Skema operasi multi tahap dengan aliran cross-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran cross-current berdasarkan pada prinsip
neraca massa sebagai berikut :
a. Neraca massa total : Rn-1 + Sn = En + Rn
b. Neraca massa zat terlarut : Rn-1 Xn-1 + Sn Ys = En Yn + Rn Xn
(Geankoplis, 2003).

Operasi multi stage dengan aliran lawan arah (counter-current) merupakan proses ekstraksi
dimana kontak antara zat dan pelarut (solvent) dilakukan lebih dari satu kali. Prinsip
ekstraksi multi stage counter-current adalah zat “baru” dikontakkan dengan pelarut yang
telah banyak mengandung solut yaitu ekstrak sebagai hasil kontak pada tahap-tahap
berikutnya, sedangkan zat yang solutnya telah menipis dikontakkan dengan pelarut segar
pada tahap berikutnya. Operasi ekstraksi counter-current banyak diterapkan dalam industri
karena menghasilkan perolehan (yield) yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kontak
antara ekstrak dengan zat baru dan antara rafinat dengan pelarut baru memberikan driving
force berupa perbedaan konsentrasi dan kelarutan dalam setiap tahapnya sehingga akan
selalu terjadi perpindahan solut dari zat ke pelarut. Operasi ekstraksi kontinu
countercurrent dapat disimulasikan dengan operasi batch antara umpan dan pelarut, tetapi
harus mengikuti skema operasi ekstraksi multi tahap counter-current secara kontinu sampai
mencapai steady state (Geankoplis, 2003).

Gambar 2.2 Skema operasi multi tahap dengan aliran counter-current

Perhitungan operasi multi tahap dengan aliran counter-current berdasarkan pada prinsip
neraca massa sebagai berikut :
a. Neraca massa total : F + S = E1 + Rn atau Ro + En+1 = E1 + Rn
b. Neraca massa zat terlarut :
F . XF + S . Ys = E1 . Y1 + Rn . Xn
atau
Ro . Xo + En+1 . Yn+1 = E1 . Y1 + Rn . Xn
(Geankoplis, 2003).
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat-alat
a. Corong pisah (500 mL/1)
b. Labu ukur (250 mL/3)
c. Erlenmeyer (250 mL/3)
d. Gelas kimia (100 mL/2)
e. Piknometer
f. Pipet volume
g. Bulp
h. Buret (50 mL/1)
i. Klem dan statif
j. Gelas beker
k. Pipet tetes
l. Botol semprot
m. Neraca analitik
n. Stopwatch

3.2 Bahan-bahan
a. Asam asetat pekat
b. Larutan NaOH 0,05 N
c. Kerosin
d. H2C2O4
e. Indikator PP
f. Akuades
3.3 Prosedur Percobaan
a. Dibuat larutan CH3COOH, NaOH dan C2H2O4 dengan konsentrasi 0,1 N.
b. Diukur densitas akuades, kerosin dan larutan CH3COOH dengan piknometer
menggunakan neraca analitik.
c. Dilakukan titrasi 5 mL larutan H2C2O4 dengan NaOH sebanyak 3 kali.
d. Dilakukan titrasi 5 mL larutan CH3COOH dengan NaOH sebanyak 3 kali.
e. Dimasukkan larutan asam asetat 100 ml ke dalam corong pisah dan tambahkan
100 ml kerosin. Kocok dengan kecepatan konstan dan searah sampai terjadi
kesetimbangan ± 20 menit).
f. Dipisahkan kedua lapisan yang terbentuk.
g. Dilakuakan titrasi sebanyak 5 ml raffinat yang terbentuk dengan larutan NaOH
sebanyak 3 kali.
h. Diukur densitas raffinat menggunakan piknometer.
i. Dimasukkan kembali sisa raffinat ke corong pisah dan dimasukkan pula kerosin
yang baru dengan volume yang sama dengan sisa rafinat lalu kocok lagi sampai
terjadi kesetimbangan ±20 menit.
j. Dilakukan kembali langkah ke f dan g sebanyak 3 kali untuk stage kedua dan
stage ketiga
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa :
a. Dari stage 1, 2, dan 3 diperoleh hasil raffinat sisa sebesar 97 ml, 80 ml dan 60 ml
serta massa picnometer dan raffinat yag ditimbang sebesar 48,6267 gram, 48.6556
gram, dan 48,6200gram.
b. Nilai N teoritis pada setiap stage yaitu pada stage 1 nilai N1 adalah 1,0128, pada
stage 2 nilai N2 adalah 1,0086 dan pada stage 3 nilai N3 adalah 0.9758.Nilai N total
dari ketiga stage adalah 2,9973.
c. Koefesien distribusi didapat dari slope grafik hasil perhitungan yaitu 0.0125.

5.2 Saran
Sebaiknya dalam percobaan ekstraksi cair-cair asam asetat selanjutnya dapat
menggunakan solvent selain kerosin contohnya seperti solvent dari thinner. Tujuannya,
untuk melihat perbedaan grafik yang didapat bila menggunakan solvent lain.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, G.G. 1978.Unit Operations. New York: John Wiley and sons, Inc.
Cabe, Mc. 1989.Operasi Teknik KimiaJilid 1. Jakarta: Erlangga.
Geankoplis, C.J., 2003, Transport Process and Separation Process Principles,
4thEdition. New Jersey: Prentice Hall.
Perry, R.H. and Green. 1999.Perry’s Chemical Engineers Handbook, 7th Edition. New
York: Mc. Graw Hill Book Company.

Anda mungkin juga menyukai