TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mencari jumlah stage teoritis
2. Menghitung efisiensi overall
3. Menghitung persen recovery
B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat:
Ball filler Labu takar 25 ml
Beaker glass Labu takar 100 ml
Buret 50 ml Labu takar 250 ml
Corong kaca Pengaduk kaca
Corong pisah Pikno meter 5 ml
Erlenmeyer 100 ml Pipet ukur 5 ml
Gelas arloji Pipet tetes panjang
Gelas ukur 25 ml Spatula
2. Bahan:
Asam asetat
Asam oksalat
Aquades
Dietil eter
Indikator PP
Natrium hidroksida
C. PROSEDUR KERJA
D. DATA PENGAMATAN
E. PEMBAHASAN
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah salah satu proses pemisahan atau pemurnian
suatu senyawa dari campurannya dengan bantuan pelarut. Pelarut yang
digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material suatu bahan lainnya. Ekstraksi merupakan salah satu
metode pemisahan yang menggunakan sifat fisis, yaitu perbedaan
kelarutan komponen-komponen dalam larutan dengan menggunakan
larutan lain sebagai media pemisah. Pemisahan larutan dengan ekstraksi
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang
mempunyai perbedaan titik didih yang relatif kecil tetapi mempunyai
perbedaan kelarutan yang cukup besar dengan suatu pelarut. Ekstraksi
cair-cair menggunakan prinsip kesetimbangan dengan perpindahan massa
zat terlarut (fasa dispersi) dan larutan yang diekstraksi kelarutan yang
digunakan sebagai pelarut (fasa kontinu).
Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction) yaitu
pemisahan solute dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven
cair. Campuran diluen dan solven tersebut bersifat heterogen (immiscible,
tidak saling campur), dan jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase
diluen (rafinat) dan fase solven (ekstrak). Fase rafinat adalah fase residu,
berisi diluen dan sisa solut. Fase ekstrak adalah fase yang berisi solut dan
solven (McCabe, 1993).
Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang
memiliki sifat antara lain:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven
sedikit atau tidak melarutkan diluen.
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi.
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan
kembali.
d. Tersedia dan tidak mahal.
(McCabe, 1993).
Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak
meninggalkan pelarut yang pertarna (media pembawa) dan masuk ke
dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini,
bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam
daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang
berarti performansi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar terjadi
bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan tersebut.
Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil
(misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk) (McCabe, 1993).
Hubungan zat terlarut yang terdistribusi diantara dua pelarut
yang tidak saling bercampur dinyatakan pertama kali oleh Walter
nernst (1981) yang dikenal dengan hukum distribusi atau partisi jika
solut dilarutkan sekaligus kedalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur, maka solut akan terdistribusi diantara kedua pelarut..Pada
saat setimbang perbandingan konsentrasi solut berharga tetap pada suhu
tetap. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua
fase disebut dengan koefisien partisi (KD) dapat dituliskan (McCabe,
1993).
Dimana KD adalah sebuah tetapan yang dikenal dengan
koefisien distribusi atau partisi. Harga KD tidak bergantung pada
konsentrasi total solut pada kedua fase, tetap bergantung pada suhu, jenis
kedua pelarut dan solut. Hukum Nernst dalam bentuknya yang sederhana
hanya berlaku untuk larutan encer dan keadaan solut sama atau tidak
mengalami perubahan kedua dalam pelarut. Hukum ini tidak berlaku jika
solut yang terdistribusi mengalami asosiasi atau disosiasi pada fase
pelarut (McCabe, 1993).
Larutan baku/standar adalah larutan yang telah diketahui
normalitas atau molaritasnya dengan tepat. Normalitas menunjukkan
kepekatan dari suatu larutan yang dinyatakan dalam bentuk. Jumlah
ekuivalen zat terlarut dalam tiap liter larutan. Molaritas menunjukkan
dari suatu larutan yang dinyatakan dalam bentuk jumblah molekul zat
terlarut dalam tiap liter larutan. Cara menentukan normalitas dan
molaritas inilah yang digunakan pada suatu larutan yang disebut dengan
pembakuan/standarisasi yang dilakukan dengan cara melihat kepekaan
yang diperoleh dari hasil penimbangan zat yang diketahui kemurnianya
(Hendayana, 2010).
2. Titrasi
Titrasi merupakan suatu metode yang menggunakan analisa
kimia secara kuantitatif yang biasa digunakan dalam laboratorium untuk
menentukan konsentrasi dari reaktan. Karena pengukuran volume
memainkan peranan penting dalam titrasi, maka teknik ini juga dikenali
dengan analisa volumetrik.
Analisis titrimetri merupakan satu dari bagian utama dari kimia
analitik dan perhitungannya berdasarkan hubungan stoikiometri dari
reaksi-reaksi kimia. Analisis cara titrimetri berdasarkan reaksi kimia
seperti: aA + tT hasil dengan keterangan: (a) molekul analit A
bereaksi dengan (t) molekul pereaksi T. Pereaksi T, disebut titran,
ditambahkan secara sedikit-sedikit, biasanya dari sebuah buret, dalam
bentuk larutan dengan konsentrasi yang diketahui. Larutan yang
belakangan disebut larutan standar dan konsentrasinya ditentukan dengan
suatu proses standardisasi. Penambahan titran dilanjutkan hingga
sejumlah T yang ekivalen dengan A telah ditambahkan. Maka dikatakan
bahan titik ekivalen titran telah tercapai. Agar mengetahui bila
penambahan titran berhenti, dapat digunakan sebuah zat kimia, yang
disebut indikator, yang bertanggap terhadap adanya titran berlebih
dengan perubahan warna. Perubahan warna ini dapat atau tidak dapat
terjadi tepat pada titik ekivalen.
Titik titrasi pada saat indikator berubah warna disebut titik
akhir. Tentunya merupakan suatu harapan, bahwa titik akhir ada sedekat
mungkin dengan titik ekivalen. Memilih indikator untuk membuat kedua
titik berimpitan (atau mengadakan koreksi untuk selisih keduanya)
merupakan salah satu aspek penting dari analisa titrimetri. Istilah titrasi
menyangkut proses ntuk mengukur volume titran yang diperlukan untuk
mencapai titik ekivalen (Hendayana, 2010).
3. NaOH (Natrium Hidroksida)
Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda
kaustik, soda api, atau sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam
kaustik. Natrium Hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida
dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang
kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Ia digunakan di berbagai macam
bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses
produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen.
Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam
laboratorium kimia. Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan
tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50%
yang biasa disebut larutan Sorensen. Ia bersifat lembap cair dan secara
spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut
dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan, karena pada
proses pelarutannya dalam air bereaksi secara eksotermis. Ia juga larut
dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua
cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. Ia tidak larut dalam dietil
eter dan pelarut non-polar lainnya.
Hasil dari titrasi ini diperoleh NaOH sebesar 4.4 ml, 3.6 ml dan
3.4 ml kemudian rata-rata volume sebesar 3.8 ml. Dari data tersebut kita
memperoleh volume NaOH untuk selanjutnya dicari Normalitas NaOH
yang dibakukan menggunakan rumus pengenceran dan diperoleh hasil
0.13 N. Selanjutnya dititrasi kedua, diteteskan kembali dengan indikator
PP dan diperoleh hasil 5.2 ml, 5.9 ml, 5.53 ml dan diperoleh hasil rata-
rata sebesar 5.53.