Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek legalitas
Aspek ini membahas mengenai peraturan-peraturan maupun kebijakan
pemerintah dalam pelaksanaan dan hal perencanaan serta pembangunan lalu
lintas, baik pada ruas jalan maupun pada persimpangan.
1. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Manajemen dan rekayasa lalu lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan
penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu-lintas dalam rangka
menjamin keamanan,keselamatan,ketertiban dan kelancaran lalu – lintas
dan angkutan jalan. (Pasal 93 (1) UU no 22 Tahun 2009, Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan)
2. Perlengkapan Jalan
Setiap Jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi
dengan perlengkapan jalan berupa:
a. Rambu Lalu lintas;
b.Marka jalan;
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas;
d.Alat penerangan jalan;
e. Alat pengendali dan pengaman pengguna jalan; (Pasal 25 UU no 22
tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
sebagimana dimaksud meliputi :
a. Alat pemberi isyarat lalu lintas ;
b.Rambu lalu lintas ;
c. Marka jalan ;
d.Alat penerangan;
e. Alat pengendali pemakai jalan,terdiri atas:
1.Alat pembatas kecepatan; dan
2.Alat pembatas tinggi dan lebar kendaraan
f. Alat pengaman pemakai jalan,terdiri atas;
1.Pagar pengaman;
2.Cermin tikungan;
3.Tanda patok tikungan (delineator);

6
4.Pulau –pulau lalu lintas; dan
5.Pita penggaduh
g.Fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang
berada dijalan maupun diluar badan jalan;dan/atau
h.Fasilitas pendukung penyelengaraan lalu lintas dan angkutan jalan.

(Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang


Manajemen dan Rekayasa , Analisis Dampak, serta Manajemen
Kebutuhan Lalu Lintas)

3. Perekayasaan
Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 meliputi
a) Perbaikan geometrik ruas jalan dan atau persimpangan serta
perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan.
b) Penggadaan, pemasangan, perbaikan dan pemeliharaan
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna
jalan.
c) Optimalisasi operasional rekayasa lalu-lintas dalam rangka
meningkatkan ketertiban, kelancaran dan efektIIitas dan penegakan
hukum. (Pasal 94 UU no 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan).

Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29


Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen
dan Rekayasa , Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan
Lalu Lintas meliputi

a) Perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta


perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 huruf a
meliputi perbaikan terhadap bentuk dan dimensi jalan.
b) Perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta
perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh menteri yang bertanggung jawab dibidang

7
jalan,gubernur,bupati atau walikota sesuai dngan
kewenanganya. (pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa , Analisis
Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas meliputi)

4. Pengendalian

“mengendalikan lalu lintas di ruas jalan tertentu dan persimpangan antara


lain dilakukan mealui penerapan alat pemberi isyarat lalu lintas, sistem
alat pemberi isyarat lalu lintas terkoordinasi (Area Traffic Control
System), Bundaran dan pemnafaaatan teknologi untuk kepentingan lalu
lintas (intellegent Transport System)” (pasal 61 Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen dan Rekayasa , Analisis
Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas meliputi)

5. Pejalan Kaki
1) Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas dan pendukung yang
berupa troroar,tempat penyebrangan dan fasilitas lain
2) Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyebrang
jalan ditempat penyebrangan.
3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),pejalan kaki berhak menyebrang ditempat yang dipilih dengan
memperhatikan keselamatan dirinya (Pasal 31 UU no 22 Tahun
2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan )

6. Rambu

Rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf a terdiri


atas:

a. Rambu peringatan;
Rambu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
digunakan untuk memberi peringatan kemungkinan ada bahaya di
jalan atau tempat berbahaya pada jalan dan menginformasikan
tentang sifat bahaya.

b. Rambu larangan;

8
Rambu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurf b
digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan
oleh pengguna jalan.
c. Rambu perintah;dan
Rambu perintah sebagaimana dimakasud pada ayat (1) huruf c
digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh
pengguna jalan.
d. Rambu petunjuk;
Rambu petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
digunakan untuk memanda pengguna jalan saat melakukan
perjalanan atau untuk memberikan informasi lain kepada pengguna
jalan.
(Pasal 29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79
tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)
7. Marka

Marka jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf b berfungsi


untuk mengatur lalu lintas,memperingatkan, atau menuntun pengguna
jalan dalam berlalu lintas berupa:

a. Peralatan;atau
Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
a. Paku jalan;
b. Alat pegarah lalu lintas;dan
c. Pembagi lajur atau jalur.
b. Tanda.
Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. Marka membujur;
b. Marka melintang;
c. Marka serong;
d. Marka lambang;
e. Marka kotak kuning;dan
f. Marka lainya.
g. Marka jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
bagi lalu lintas sesuai arah lalu lintas

9
h. Pada kondisi tertentu,maka jalan yang dinyatakan dengan
garis-garis pada permukaan jalan dapat dilengkapi dengan
paku jalan.

(Pasal 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79


tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

8. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas

Prinsip Dasar

1.Tujuan pemasangan APILL pada suatu perismpangan adalah untuk


mengatur arus lalu lintas ;

2. Persimpangan dengan APILL merupakan peningkatan dari


persimpangan biasa (tanpa APILL) dimana berlaku suatu aturan
prioritas tertentu yaitu mendahulukan lalu lintas dari arah lain.

Kriteria Pemasangan

1. Kriteria bagi perismpangan yang sudah harus menggunakan


APILL adalah arus minimal lalu lintas yang menggunakan rata-
rata diatas 750 kendaraan/jam dalam sehari;
2. Atau bila waktu menunggu/tundaan rata-rata kendaraan di
persimpangan telah melampaui 30 detik;
3. Atau persimpangan digunakan oleh rata-rata lebih dari 175
pejalan kaki/jam selama 8 jam dalam sehari;
4. Atau sering terjadi kecelakaan pada persimpangan yang
bersangkutan;
5. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab yang disebutkan
diatas
Fungsi APILL
1. Mengatur pemakaian ruang persimpangan;
2. Meningkatkan keteraturan arus lalu lintas;
3. Meningkatkan kapasitas dari persimpangan;
4. Mengurangi kecelakaan dalam arah tegak lurus;

(Keputusan Direktur Jendral perhubungan darat Nomor


237/HK.105/DRDJ/96 Tentang pengaturan Lalu Lintas di

10
Persimpangan berdiri Sendiri dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu
Lintas.)

B. Aspek Teknis
Batasan Pengertian
Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam analisis untuk
memudahkan dalam penelitian diambil dari sumber buku. Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI) yang diterbitkan oleh Bina Marga tahun 1997 meliputi.
a. Masalah
Sesuatu atau persoalan yang harus diselesaikan atau dipecahkan.
b. Panjang Antrian
Panjang antrian didefiniskan sebagai banyaknya kendaraan yang antri pada
mulut persimpangan pada saat lampu lalu lintas dalam keadaan merah.
Semakin panjang antrian yang terjadi dapat dikatakan kinerja persimpangan
makin buruk.
c. Tundaan
Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlakukan untuk melewati
suatu persimpangan dibandingkan terhadap situasi bila tidak terdapat
persimpangan dibandingkan terhadap situasi bila tidak terdapat
persimpangan. Semakin lama waktu tundaan rata-rata tiap kendaraan kinerja
persimpangan semakin buruk.
d. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan adalah perbandingan antara arus aktual dengan arus jenuh
persimpangan atau rasio lalu litas terhadap kapasitas untuk suatu pendekat.
Semakin mendekati angka 1,0 maka kinerja persimpangan semakin buruk.
e. Fase
Fase adalah suatu kondisi dari alat pemberi isyarat lalu lintas dalam satu
waktu siklus yang memberikan hak jalan pada satu atau lebih gerakan lalu
lintas tertentu.
f. Waktu Siklus
Waktu siklus adalah waktu yang diperlukan untuk suatu urutan lengkap dari
perintah-perintah lampu lalu lintas atau merupakan penjumlahan waktu dari
keseluruhan tahap atau waktu yang dibutuhkan pada suatu fase dari saat

11
lampu lalu lintas mulai menunjukkan warna hijau sampai kewarna hijau
kembali.
g. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL)
APILL adalah perangkat peralatan lalu lintas yang menggunakan isyarat
lampu untuk mengatur lalu lintas orang atau kendaraan di persimpangan atau
ruas jalan.
h. Arus Berangkat Terlawan ( Tipe O)
Arus berangkat terlindung adalah keberangkatan tanpa konflik antara gerak
belok kanan dan gerak lurus/belok kiri dari bagian pendekat dengan lampu
hijau pada fase yang sama.
i. Arus Berangkat Terlindung (Tipe P)
Arus berangkat terlindung adalah keberangkatan tanpa konflik antara gerakan
lalu lintas belok kanan dan lurus.
j. Arus Jenuh (Saturation Flow)
Arus jenuh adalah jumlah maksimum dari arus lalu lintas pada saat lampu
lalu lintas menunjukan warna hijau.
k. Belok Kiri langsung (LTOR)
Belok kiri langsung adalah indeks untuk lalu lintas belok kiri yang di ijinkan
lewat pada saat sinyal merah.
l. Kapasitas (C)
Kapasitas adalah banyaknya kendaraan maksimum yang dapat melewati
suatu ruas jalan dalam periode waktu tertentu.
m. Persimpangan
Persimpangan adalah simpul pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu
dan lintasan kendaraan berpotongan (PP No. 43,1993).
n. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan mobil penumpang adalah satuan untuk arus lalu lintas dimana arus
berbagai tipe kendaraan diubah menjadi arus kendaraan ringan termasuk
mobil penumpang dengan menggunakan satuan mobil penumpang.
o. Titik Konflik
Titik konflik adalah titik pertemuan antara gerakan kendaraan dari kaki
persimpangan yang satu dengan gerakan kendaraan dari persimpangan
lainya.
p. Volume Lalu Lintas

12
Volume lalu lintas adalah banyaknya kendaraa yang melewati suatu titik
yang tetap dalam satuan waktu tertentu. Volume dihitung kendaran/hari atau
kendaraan/jam.
q. Waktu Hijau Antara (Intergreen)
Waktu hijau antara adalah waktu antara berakhirnya isyarat hijau pada salah
satu tahap dan dimulainya waktu hijau pada tahap berikutnya (terdiri dari
waktu kuning ditambah dengan waktu merah bersama)

r. Waktu Hijau Efektif


Waktu hijau efektif adalah waktu hijau ditambah waktu kuning dikurangi
waktu hilang
s. Waktu Hilang (Lostime)
Waktu hilang adalah jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang
lengkap. Waktu hilang dapat juga diperoleh dari beda waktu siklus dengan
jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan.
t. Siklus,Fase,Tahap
Suatu rencana waktu signal dignakan untuk mengatur dan memisahkan arus-
arus lalu lintas yang membelok dan mendekati persimpangan. Dengan begitu
saat rencana periode waktu spesifik dapat didefinisikan.
C. Aspek Teoritis
1. Persimpangan
Persimpangan atau simpang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
semua sistem jalan. Ketika berkedaran didalam kota,orang dapat melihat
bahwa kebanyakan jalan didaerah perkotaan biasanya memiliki
persimpangan,dimana pengemudi dapat memutuskan utnuk jalan terus atau
membelok dan pindah jalan. Persimpangan dapat diartikan sebagai
pertemuan dua atau lebih ruas jalan dapat berupa simpang atau simpang apill
atau bundaran atau simpang tak sebidang (PKJI,2014)
Menutur soedirdjo (2002), simpang merupakan pertemuan dari ruas-ruas
jalan yang fungsinya untuk melakukan perubahan arah arus lalu lintas.
Simpang bersinyal adalah simpang yang dikendalikan oleh sinyal lalu lintas.
Sinyal lalu lintas adalah semua peralatan pengatur lalu lintas yang
menggunakan tenaga listrik, rambu dan marka jalan untuk mengarahkan atau
memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda atau
pejalan kaki (oglebsy dan Hick,1982)

13
Simpang dapat bervariasi dari simpang sederhana yang terdiri dari pertemuan
dua ruas jalan sampai simpang kompleks yang terdiri dari pertemuan
beberapa ruas jalan. Simpang sebagai bagian dari suatu jaringan jalan
merupakan daerah yang kritis dalam melayani arus lalu lintas.
Secara umum, persimpangan dibedakan atas persimpangan sebidang dan
persimpangan tidak sebidang. Persimpangan sebidang (intersection at grade)
adalah persimpangan di mana dua jalan raya atau lebih bergabung, dengan
tiap jalan raya mengaruh keluar dari sebuah persimpangan dan membentuk
bagian darinya. Persimpangan tidak sebidang adalah suatu bentuk khusus dari
pertemuan jalan yang bertujuan untuk mengurangi titik konflik atau bahaya
belok kanan yang menghambat lalu lintas dan lain-lain, perencanaan
persimpangan ini memerlukan lahan yang luas yang cukup besar dan
perencanaan yang cukup teliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Ada empat elemen dasar yang umumnya dipertimbangkan dalam merancang
persimpangan sebidang :
1.Faktor manusia , seperti kebiasaan mengemudi, dan waktuk pengembilan
keputusan dalam waktu reaksi.
2.Pertimbangan lalu lintas, sperti kapasitas dan pergerakan
membelok,kecepatan kendaraan dan ukuran sera penyebaran kendaraan.
3.Elemen-elemen fisik,sperti karakteristik dan penggunaan dua fasilitas yang
saling berdampingan, jarak pandang dan aspek geometris.
4.Faktor ekonomi,seperti biaya dan manfaat dan konsumsi energi.

Untuk persimpangan tidak sebidang, jenis dan desainya dipengaruhi oleh


banyak faktor seperti klasifikasi jalan raya, karakter dan komposisi lalu-
lintas,kecepatan desain, dan tingkat pengendalian akses. Interchange
merupakan fasilitas yang mahal, dan karena begitu bervariasinya kondisi
lokas,volume lalu linas dan tata letak inter-change, hal-hal yang enentukan
dibuatnya interchange bisa berbeda-beda di tiap lokasi.

2. Simpang Tak Bersinyal


Jenis simpang jalan yang paling banyak dijumpai di perkotaan adalah
simpang jalan tak bersinyal. Jenis ini cocok diterapkan apabila arus lalulintas
di jalan minor dan pergerakan membelok sedikit. Namun apabila arus
lalulintas di jalan utama sangat tinggi sehingga resiko kecelakaan bagi
pengendara di jalan minor meningkat (akibat terlalu berani mengambil gap

14
yang kecil), maka dipertimbangkan adanya sinyal lalulintas, (Ahmad
Munawar, 2006).
Simpang tak bersinyal secara formil dikendalikan oleh aturan dasar lalulintas
Indonesia yaitu memberikan jalan kepada kendaraan dari kiri. Ukuran-ukuran
yang menjadi dasar kinerja simpang tak bersinyal adalah kapasitas, derajat
kejenuhan, tundaan dan peluang antrian, (MKJI, 1997).
3. Simpang Bersinyal
Simpang bersinyal adalah simpang yang dikendalikan oleh sinyal lalulintas.
Sinyal lalulintas adalah semua peralatan pengatur lalulintas yang
menggunakan tenaga listrik, rambu dan marka jalan untuk mengarahkan atau
memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor, pengendara sepeda, atau
pejalan kaki (Oglesby dan Hick, 1982).
a. Fungsi Sinyal Lalu lintas
Setiap pemasangan lampu lalulintas menurut Oglesby dan Hick (1982)
untuk memenuhi satu atau lebih fungsi-fungsi berikut :
1.Mendapatkan gerakan lalulintas yang teratur.
2.Mengurangi frekuensi kecelakaan.
3.Mengkoordinasikan lalulintas dibawah kondisi jarak sinyal yang cukup
baik, sehingga arus lalulintas tetap berjalan menerus pada kecepatan
tertentu.
4.Memutuskan arus lalulintas tinggi agar memungkinkan adanya
penyeberangan kendaraan lain atau pejalan kaki.
5.Mengatur penggunaan jalur lalulintas.
6.Sebagai pengendali pertemuan pada jalan masuk menuju jalan bebas
hambatan.
7.Memutuskan arus lalulintas bagi lewatnya kendaraan darurat
(ambulance)
4. Ruas Jalan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997 ruas jalan kadang-
kadang juga disebut juga jalan raya atau daerah milik jalan (right of way)
pengertian jalan meliputi badan jalan,trotoar,drainase dan penerangan, marka
jalan,median dan lain-lain.
5. Pengendalian Simpang
Tujuan pengendalian persimpangan dimaksudkan untuk memanfaatkan
sepenuhnya kapasitas persimpangan,mengurangi dan menghindari terjadinya

15
kecelakaan dengan mengurangi jumlah konflik serta melindungi jalan utama
dari gangguan sehingga hirarki jalan tetap terjamin dan lalu lintas berjalan
dengan lancer.
Menurut Abubakar (1995), dalam upaya meminimalkan konflik dan
melancarkan arus lalu lintas , ada beberapa metode pengendalian
persimpangan yang dapat dilakukan yaitu dengan :

a. Persimpangan prioritas
Metode pengendalian simpang ini adalah dengan memberikan prioritas
yang lebih tinggi kepada kendaraan yang datang dari jalan utama (mayor)
dari semua kendaraan yang bergerak dari jalan minor.
b. Persimpangan dengan lampu Pengatur Lalu Lintas
Metode ini mengendalikan persimpangan dengan suatu alat yang
sederhana (manual,mekanis dan elektris) dengan memberikan prioritas
bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara berurutan untuk
memerintahkan pengemudi berhenti atau berjalan.
c. Persimpangan dengan Bundaran Lalu Lintas
Metode ini mengendalikan persimpangan dengan cara membatasi alih
gerak kendaraan menjadi pergerakan berpencar (dIIerging),bergabung
(merging),berpotongan (crossing dan bersilangan (weaving) sehingga
dapat memperlambat kecepatan kendaraan.
d. Persimpangan Tidak Sebidang
Metode ini mengendalikan komflik dan hambatan dipersimpangan
dengan cara menaikkan lajur alur lintas atau dijalan diatas jalan lain
melalui penggunaan jembatan atau terowongan.

Dalam MKJI 1997, pemilihan jenis pengendalian simpang didasarkan


pada arus lalu lintas total masuk simpang dalam satuan kendaraan per
hari (vehicle per day). Penentuan jenis pengendalian tersebut dapat
dilihat pada Gambar berikut

16
Gambar II.1 Pemilihan Jenis Pengendalian Simpang

6. Tingkat Pelayanan
Tingkat pelayanan jalan adalah suatu ukuran yang dapat digunakan untuk
mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas
yang melewatinya.
Penetapan tingkat pelayanan yang diinginkan merupakan kegiatan penentuan
tingkat pelayanan ruas jalan dan/atau persimpangan berdasarkan indikator
tingkat pelayanan, yang meliputi :
a. Kecepatan rata-rata
b. V/C ratio
c. Kepadatan lalu lintas
d. Antrian dan Tundaan
7.Kondisi Simpang
a. Umum
Sistem lampu lalu lintas ini berfungsi untuk meningkatkan kualitas dan
efesiensi pergerakan lalu lintas. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan
koordinasi lampu lalu lintas pada setiap pertemuan jalan. Pertemuan jalan
ini dapat meliputi pertemuan jalan terisolasi (isolated junction), pertemuan
jalan yang berdampingan atau kumpulan jalan yang membentuk jaringan.
Koordinasi lampu ini akan menghasilkan sistem pengaturan yang optimal
dengan mengatur jumlah fase, interval, dan waktu hijau tiap fase.
b. Sinyal atau pengatur lalu lintas
Menurut buku Menuju Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang Tertib tahun
1996, Lampu pengatur lalu lintas merupakan suatu alat yang sederhana
(manual,mekanis atau elektris) melalui pemberian prioritas bagi masing-

17
masing pergerakan lalu lintas secara berurutan ( untuk memerintahkan
pengemudi untuk berhenti aatu berjalan. Alat ini memberikan prioritas
bergantian) dalam satu periode waktu. Alat pengatur ini menggunakan
indikasi lampu hijau,amber dan merah. Tujuan dari pemisahan ini adalah
untuk menghindarkan terjadinya pergerakan yang saling berpotongan
melalui titik-titik konflik pada saat bersamaan.
c. Koordinasi sinyal antar simpang
Bila beberapa persimpangan yang berdekatan menggunakan alat pemberi
isyarat lalu lintas maka akan sangat bermanfaat bila alat pemberi isyarat
lalu litas pada persimpangan-persimpangan tersebut di koordinasikan
sedimikian rupa sehingga hambatan total pada semua persimpangan yang
dikoordinasikan menjadi berkurang.
8. Kinerja Suatu Simpang
Kinerja suatu simpang menurut MKJI 1997 didefenisikan sebagai ukuran
kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang, pada
umumnya dinyatakan dalam kapasitas, derajat kejenuhan, kecepatan rata-rata,
waktu tempuh, tundaan, peluang antrian, panjang antrian atau rasio
kendaraan berhenti. Berdasarkan tinjauan pustaka dari penelitian-penelitian
yang sudah ada, dengan mencoba menghitung kinerja simpang dengan
menggunakan metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.
Apabila dari hasil penelitian simpang tersebut sudah tidak layak lagi, maka
perlu adanya alternatif pemecahan masalah salah satunya yaitu mengubah
simpang tak bersinyal menjadi simpang bersinyal.
9. Perilaku Lalulintas
Perilaku lalulintas menyatakan ukuran kuantitas yang menerangkan kondisi
yang dinilai oleh pembina jalan. Perilaku lalulintas pada simpang bersinyal
meliputi waktu sinyal, kapasitas, derajat kejenuhan, panjang antrian dan
tundaan rata-rata (MKJI 1997).
a. Kapasitas
Kapasitas dapat didefinisikan sebagai arus lalulintas yang dapat
dipertahankan dari suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu, dalam
kendaraan/ jam atau smp/jam (MKJI 1997).
Menurut Ahmad Munawar (2006), pengertian kapasitas adalah jumlah
maksimum kendaraan yang melewati suatu persimpangan atau ruas jalan
selama waktu tertentu pada kondisi jalan dan lalulintas dengan tingkat

18
kepadatan yang ditetapkan, kapasitas suatu ruas jalan dapat dilakukan
dua pengukuran yaitu :
1.Pengukuran kuantitas, yaitu pengukuran mengenai kemampuan
maksimum suatu ruas jalan atau jalur jalan dalam melayani lalu lintas
ditinjau dari volume kendaraan yang dapat ditampung oleh jalan
tersebut pada kondisi tertentu. Pengukuran kuantitas dibagi tiga,
meliputi :
a..Kapasitas Dasar (Basic Capacity), yaitu jumlah kendaraan
maksimum yang dapat melintasi suatu penampang jalan atau ruas
jalan selama satu jam pada kondisi jalan dan lalulintas yang paling
mendekati ideal.
b..Kapasitas yang mungkin (Possible Capacity), yaitu jumlah
kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang jalan
atau ruas jalan selama satu jam pada kondisi arus lalulintas yang
sedang berlaku pada jalan tersebut.
c. Kapasitas Praktis (Practical Capacity), yaitu jumlah kendaraan
maksimum yang dapat melintasi suatu penempang jalan atau ruas
jalan selama satu jam dengan kepadatan lalulintas yang cukup besar,
yang menyebabkan perlambatan yang berarti bagi kebebasan
pengemudi kendaraan melakukan gerakan pada kondisi jalan dan
lalulintas yang berlaku saat ini.

2. Pengukuran kualitas yaitu pengukuran mengenai kemampuan


maksimum suatu jalan dalam melayani lalulintas yang dicerminkan
oleh kecepatan yang dapat ditempuh serta besarnya tingkat gangguan
arus dijalan tersebut. Pengukuran kuantitas melibatkan beberapa faktor,
yaitu

a. Kecepatan dan waktu perjalanan


b. Gangguan lalulintas.
c. Keleluasaan bergerak.
d. Keamanan pengemudi terhadap kecelakaan / keselamatan.
e. Kenyamanan.
f. Biaya operasi kendaraan.
10. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

19
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 1 no 29, disebutkan bahwa manajemen
dan rekayasa lalu lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan pengunaan
jaringan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin
keamanan,keselamatan, ketertiban dan kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas , yang dimaksud manajemen dan rekayasa lalu
lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan meliputi perencaaan,
pengadaan, pemasangan ,pengaturan dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan
Jalan dalam rangka mewujudkan,mendukung dan memelihara
keamanan,keselamatan,ketertiban dan kelancaran lalu lintas.
Prinsip yang paling penting dalam manajemen lalu lintas adalah fakta bahwa
masing masing tujuan skema manajemen lalu lintas sangat dipengaruhi oleh
volume, komposisi dan kecepatan lalu lintas yang terjadi baik diseluruh
jaringan jalan maupun salah satu atau lebih spesifik pada bagian jaringan
(Graber dan Hoel,2008).
Manajemen dan rekayasa lalu lintas merupakan salah satu strategi pengaturan
lalu lintas yang memanfaatkan semaksimal mungkin prasarana dan sarana
transportasi yang ada. Pembagunan jalan baru bukan merupakan bagian dan
manajemen lalu lintas. Pembangunan yang termasuk di dalam manajemen
lalu lintas. manajemen lalu lintas hanya terbatas pada penyempurnaan
fasilitas yang ada akibat diterapkanya suatu strategi dan instrument (taktik)
manajemen lalu lintas dilapangan. Secara umum yang dimaksud dengan
manajemen lalu lintas adalah memanfaatkan semaksimal mungkin sistem
jaringan jalan yang ada ,atau :
a. Menampung lalu lintas sebanyak mungkin
b. Menampung penumpang sebanyak mungkin
c. Dengan memperhatikan keterbatasan lingkungan kapasitas lingkungan
d. Dengan memberikan prioritas untuk kelompok yang sangat
membutuhkan, melakukan penyesuaian kebutuhan terhadap pemakai
jalan lainya.

Secara umum manajemen lalu lintas bertujuan untuk :

20
a. Mendapatkan tingkat efesiensi dari pergerakan lalu lintas secara
menyeluruh dengan tingkat aksesbilitas yang tinggi dengan
menyeimbangkan permintaan dengan sarana penunjang yang ada.
b.Meningkatkan tingkat keselanatab dari tingkat pengguna yang dapat
diterima oleh semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut
sebaik mungkin.
c. Melindungi dan memperbarui keadaan kondisi lingkungan dimana arus lalu
lintas tersebut berada.
11. Penentuan pengaturan persimpangan
Pergerakan lalu lintas disuatu persimpangan dapat dikendalikan dengan cara
menentukan jenis pengaturan persimpangan,dalam menentukan jenis
pengaturan pada persimpangan dapat digunakan pedoman diagram yang
menentukan jenis pengaturan pada persimpangan. Diagram persimpangan ini
digunakan berdasarkan volume arus lalu lintas pada kaki-kaki persimpangan.
Arus lalu lintas yang melalui kaki persimpangan mempunyai arus yang lebih
besar dari kaki persimpangan lainya disebut arus(utama), sedangkan arus lalu
lintas pada kaki persimpangan yang mempnyai arus lebih kecil disebut arus
minor.
Dalam sistem pengendalian persimpangan dapat menggunakan pedoman
pada gambar penentuan pengendalian persimpangan yang digunakan
berdasarkan volume lalu lintas pada masing-masing kaki simpangnya.
Perhitungan dilakukan persatuan waktu (jam) untuk satu waktu lebih
periode,misalkan pada arus lalu lintnas jam sibuk pagi,siang dan sore.
Jika hanya arus lalu lintas harian (LHR) saja yang ada tanpa diketahui
distribusi lalu lintas pada setiap jamnya,maka arus rencan per jam dapat
diperkirakan sebagi suatu persentase dari LHR dalam tabel berikut:

Tabel II.1: Hubungan LHR dan Volume Jam tersibuk

Tipe kota dan jalan Faktor persen K


K x LHR = VJP
Kota-kota > 1 juta penduduk
1. Jalan-jalan pada daerah 7-8%
komersial dan jalan arteri.
2. Jalan jalan pada daerah 8-9%
pemukiman

21
Kota-kota < 1 juta penduduk
1. Jalan –jalan pada daerah 8-10%
komersial dan jalan arteri
2. Jalan-jalan pada daerah 9-12%
pemukiman
Sumber: Ditjen Bina Marga,1997
Jika distribusi gerakan membelok tidak diketahui dan tidak dapat
diperkirakan,15% belok kanan dan 15% belok kiri dari arus pendekat total
yang dapat dipergunakan (kecuali jika ada gerakan membelok tersebut akan
dilaran). Besarnya LHR dapat diperoleh dengan rumus di bawah ini.

LHR= VJP/K
Sumber: MKJI 1997............................(II.1)

12. Teori Perhitungan Simpang Prioritas (Tidak Bersinyal)


Perhitungan kapasitas persimpangan prioritas berdasarkan MKJI
menggunakan rumus berikut:
C=COxFWxFMxFCSxFRSUxFLTxFRTxFMI
Sumber: MKJI 1997............................(II.2)

Dimana:
C :Kapasitas
Co :Kapasitas Dasar
Fw :Faktor koreksi lebar mulut simpang
FM :Faktor koreksi median jalan utama
FCS :Faktor koreksi ukuran kota
FRSU :Faktor koreksi tipe lingkungan,hambatan samping dan
kendaraan tidak bermotor
FLT :Faktor Koreksi Kendaraan Belok Kiri
FRT :Faktor koreksi kendaraan Belok Kanan
FMI :Faktor kendaraan rasio arus jalan minor

a) Kapasitas dasar
Kapasitas dasar dihitung atas dasar ditetapkan tabel berikut :
Tabel II.2 Kapasitas Dasar Persimpangan

Tipe Simpang Kapasitas dasar

22
(smp/jam)
322 2700
342 2900
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber: ditjen Bina Marga 1997
b) Faktor koreksi lebar mulut persimpangan
Untuk faktor koreksi lebar mulut persimpangan dihitung dengan rumus
berikut:

FW =0,36 +0,0760 W1
Sumber : MKJI 1997.....................(II.3)
Faktor koreksi lebar mulut persimpangan apabila semakin besar akan
menurunkan nilai tundaan dan antrian pada sebuah simpang.

c) Faktor koreksi median pada jalan utama


Faktor koreksi median pada jalan utama,nilai ini hanya digunakan untuk
jalan utama yang terdiri dari 4 lajur. Faktor koreksi median pada jalan
utama dihitung atas dasar ditetapkan berdasarkan Tabel II.3
Tabel II.3: Faktor Median Pada Jalan Utama

Uraian Tipe Median Faktor penyesuaian


median (FM)

Tidak ada median Tidak ada 1.00


lebar < 3 m Sempit 1.05
Lebar ≤ 3 m Lebar 1.20

Sumber:MKJI 1997

Faktor koreksi median pada jalan utama apabila semakin besar akan
menambah tundaan dan antrian pada sebuah simpang.
d) Faktor Koreksi ukuran kota
Faktor koreksi ukuran kota dapat diperoleh dari daftar berikut
Tabel II.4: Faktor Koreksi Ukuran Kota

23
Ukuran kota Penduduk Faktor Koreksi
CS (Juta) ukuran kota FCS
Sangat kecil < 0.1 0.82
Kecil 0.1-0.5 0.88
Sedang 0.5-1.0 0.94
Besar 1.0-3.0 1.00
Sangat besar >3.0 1.05
Sumber:MKJI 1997

Faktor koreksi ukuran kota apabila semakin besar akan menambah


tundaan dan antrian pada sebuah simpang.

e) Faktor Koreksi Lingkungan,hambatan samping dan kendaraan tidak


bermotor
Tabel.II.5: Faktor Koreksi Lingkungan dan Gesekan Samping dan
Kendaraan Tidak Bermotor

Sumber : MKJI 1997


Faktor koreksi lingkungan dan gesekan samping dan kendaraan tidak
bermotor apabila semakin besar akan mengurangi tundaan dan antrian
pada sebuah simpang.
f) Faktor Koreksi kendaraan belok kanan
Menentukan faktor penyesuaian belok akanan ditentukan dengan rumus:

24
Sumber : MKJI 1997

Prt=rt(smp/jam)
Q(smp/jam)
Sumber : MKJI 1997............................(II.4)

Keterangan:
Prt :Jumlah belok kanan dibagi jumlah total volume pada kaki yang
sama
Dari rumus diatas maka dapat diperoleh faktor koreksi belk kanan
dengan rumus berikut
Frt:1.09-0.92Prt
Sumber : MKJI 1997...................................(II.5)

Faktor koreksi kendaraan belok kanan apabila semakin besar akan


menambah tundaan dan antrian pada sebuah simpang.
g) Faktor koreksi kendaraan belok kiri
Untuk mencari faktor penyesuaian belok kiri menggunakan rumus

25
Sumber : MKJI 1997

Plt = lt (smp/jam)
Q(smp/jam)
Sumber : MKJI 1997................................(II.6)

Keterangan:
Plt : jumlah yang belok kiri dibagi jumlah total volume pada
kaki yang sama
Dari rumus di atas maka dapat diperoleh faktor koreksi belok kiri
dengan rumus berikut ini
Flt= 0,84 +1,61 Plt
Sumber : MKJI 1997..............................(II.7)

Faktor koreksi kendaraan belok kiri apabila semakin besar akan


menambah tundaan antrian sebuah simpang.
h) Faktor koreksi rasio jalan minor
Untuk mencari faktor koreksi rasio jalan arus minor menggunakan
rumus:
Fmi=1,91xPmi2-1,19xPmi+1,19
Sumber : MKJI 1997.............(II.8)

Faktor koreksi jalan arus minor apabila semakin besar akan semakin
menambah tundaan dan antrian sebuah simpang.
i) Derajat kejenuhan (DS)
Derajat kejenuhan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
DS= Qtot / c
Sumber : MKJI 1997...................(II.9)

j) Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang


Besarnya waktu tundaan detik/smp tergantung pada besarnya derajat
jenuh.
Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Untuk DS>0,6
D=1,0504/(0,2743-0,2042 DS)-(1-DS)2
Sumber : MKJI 1997............................................... .......(II.10)

Untuk DS≤0,6

26
D= 2 + 8,2078-(1-DS)2
Sumber : MKJI 1997.................................................(II.11)

k) Tundaan rata-rata untuk jalan mayor


Tundaan rata-rata untuk jalan mayor dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Untuk DS>0,6
Dma=1,05034/(0,345-0,2406xDS)-(1-DS)1,8
Sumber : MKJI 1997................................................................(II.12)

Untuk DS ≤ 0,6
Dma=1,8+5,8234DS-1(1-DS)1,8)
Sumber : MKJI 1997............................................................... ...........(II.13)

l) Tundaan rata-rata untuk jalan Minor


Tundaan rata –rata untuk jalan minor dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Dmi=(QTOTxDT1-QMAxDTMA)/QMI
Sumber : MKJI 1997................................................................... (II.14)

m) Peluang antrian
Peluang antrian dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

QP%=9,02xDS+20.66x DS2+10,49XDS3
Sumber : MKJI 1997......................................................................(II.15)
13. Teori Perhitungan Simpang bersinyal
a) Fase
Biasanya pengaturan dua fase dicoba sebagai kejadian dasar,
karena biasanya menghasilkan kapasitas yang lebih besar dan
tundaan rata-rata lebih rendah daripada tipe fase sinyal lain dengan
pengatur fase yang biasa dengan pengatur fase konvensional. Arus
berangkat belok-kanan pada fase yang berbeda dari gerakan lurus-
langsung memerlukan lajur (-lajur RT) terpisah.
Pengaturan terpisah gerakan belok kanan biasanya hanya dilakukan
berdasarkan pertimbangan kapasitas jika arus melebihi 200
smp/jam. Walau demikian, mungkin diperlukan demi keselamatan
lalu-lintas dalam keadaan tertentu.
1) Satuan mobil penumpang simpang bersinyal

27
Smp simpang bersinyal terbagi dua yaitu terlindung dan
terlawan untuk terlindung 0,2 pada MC , 1 pada LV dan
1,3 pada HV. Untuk terlawan 0,4 pada MC, 1 pada LV dan
1,3 pada HV.
2) Fase (dan lajur) terpisah untuk lalu-lintas belok kanan
disarankan terutama pada keadaan-keadaan berikut:
Pada jalan-jalan arteri dengan batas kecepatan diatas 50
km/jam, kecuali bila jumlah kendaran belok kanan kecil
sekali (kurang dari 50 kendaraan/jam per arah).
Bila terdapat lebih dari satu lajur terpisah untuk lalu-lintas
belok kanan pada salah satu pendekat.
Bila arus belok kanan selama jam puncak melehihi 200
kendaraan/jam dan keadaan-keadaan berikut dijumpai:
Jumlah lajur mencukupi kebutuhan kapasitas untuk lalu-
lintas lurus dan belok kiri sehingga lajur khusus lalu-lintas
belok kanan tidak diperlukan
Jumlah kecelakaan untuk kendaraan belok kanan diatas
normal dan usaha-usaha keselamatan lainnya tidak dapat
diterapkan
3) Belok kiri langsung sedapat mungkin digunakan bila ruang
jalan yang tersedia mencukupi untuk kendaraan belok kiri
melewati antrian lalu-lintas lurus dari pendekat yang sama,
dan dengan aman bersatu dengan lalu-lintas lurus dari fase
lainnya yang masuk ke lengan simpang yang sama.
b) Satuan mobil penumpang (SMP) simpang bersinyal
Tabel II.6 faktor emp simpang bersinyal

Sumber : MKJI 1997


c) Clearance Time & Lost Time (det)

28
Waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan persimpangan dari
kendaraan yang dibebaskan dari suatu fase.
Terdiri dari waktu Kuning + All Red (Intergreen)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu-lintas perkotaan di Indonesia
biasanya adalah 3,0 detik.
Waktu All Red dapat diperoleh dari tabel berikut
Tabel II.7 Nilai normal waktu antar-hijau

Sumber : MKJI 1997


Untuk mencari waktu siklus :
LTI = ∑(Merah Semua + Kuning)i = ∑IG
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.16)

Waktu all red juga dapat secara rinci dihitung dengan menggunakan
formula berikut
Titik Konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang
menghasilkan waktu merah semua terbesar :

.
Sumber : MKJI 1997....................................(II.17)

Dimana :

LEV,LAV = jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing


untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m)

IEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m)

VEV,VAV = Kecepatan Masing-masing untuk kendaraan yang


berangkat dan yang datang (m/det)

29
d) We

Gambar II.
e) So : Arus Jenuh Dasar
Untuk pendekat tipe terlindung (P)
So=780 x We

30
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.18)

Untuk pendekat tipe terlawan (O)


Lihat MKJI Hal 73 gambar C-3:3
f) Faktor Penyesuaian
1) Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)
Tabel.II.8 Faktor penyesuaian ukuran kota

Penduduk Kota ( juta Faktor penyesuaian


jiwa) ukuran kota (FCS)
>3,0 1,05
1,0-3,0 1,00
0,5-1,0 0,94
0,1-0,5 0,83
<0,1 0,82
Sumber : MKJI 1997

2) Faktor penyesuaian Hambatan Samping (FSF)


Tabel.II.9 Faktor penyesuaian Hambatan Samping

Sumber : MKJI 1997


3) Faktor Gradien atau kelandaian (Fg)

31
Sumber : MKJI 1997
4) Faktor Parkir (Fp)
Fp=[Lp/3-(WA-2)×(Lp/3-g)/WA]/g
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.19)

di mana:
Lp = Jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir
pertama (m) (atau panjang dari lajur pendek).
WA = Lebar pendekat (m).
G = Waktu hijau pada pendekat (nilai normal 26 det).

Sumber : MKJI 1997


5) Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) ditentukan sebagai fungsi
dari rasio kendaraan belok kanan PRT . Hanya untuk pendekat tipe P;
Tanpa median; jalan dua arah; lebar efektif ditentukan oleh lebar
masuk:
FRT = 1,0 + PRT ×0,26

32
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.20)

Hitung atau dapatkan nilainya dari Gambar II. Dibawah

Sumber : MKJI 1997


6) Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
ditentukan sebagai fungsi dari rasio belok kiri PLT seperti
tercatat pada kolom 5 pada Formulir SIG-II, dan hasilnya
dimasukkan ke dalam kolom 16.
Perhatikan : Hanya untuk pendekat tipe P tanpa LTOR, lebar efektif
ditentukan oleh
lebar masuk: Hitung
FLT = 1,0 - PLT ×0,16
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.21)

g) S : Arus Jenuh (smp/jam)

33
S = So x Fcs x Fsf x Fg x Fp x Frt x Flt
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.22)

Dimana :
Fcs : Faktor koreksi ukuran kota

Fsf : Hambatn samping

Fg : Gradien atau kelandaian

Fp : Parkir

Frt : Belok kanan

Flt : Belok kiri


h) FR, IFR, dan PR
Hitung Rasio Arus (FR)
FR = Q / S
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.23)

Beri tanda rasio arus kritis (FRcrit) (=tertinggi) pada masing-masing fase
dengan melingkarinya
Hitung rasio arus simpang (IFR) sebagai jumlah dari nilai-nilai FR yang
dilingkari (=kritis)
IFR = E (FRcrit)
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.24)

Hitung Rasio Fase(PR) masing-masing fase sebagai rasio antara FRcrit


dan IFR,
PR = FRcrit / IFR
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.25)

i) Waktu Siklus
Waktu siklus optimum, yang akan menghasilkan tundaan terkecil
cua = (1,5 × LTI + 5) / (1 - IFR)
Sumber : MKJI 1997................................ ..........................(II.26)

j) Waktu siklus setelah penyesuaian


C = Σg + LTI
Sumber : MKJI 1997................................ ..........................(II.27)

34
k) Waktu Hijau
Hitungwaktu hijau (g) untuk masing-masing fase:
gi = (cua - LTI) × Pri
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.28)

di mana:
gi = Tampilan waktu hijau pada fase i (det)
cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian (det)
LTI = Waktu hilang total per siklus (bagian terbawah Kolom
4) PRi = Rasio fase FRcrit / FRcrit
l) Kapasitas
C= S x g/c
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.29)

m) Derajat Kejenuhan (DS)


DS = Q/C
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.30)

n) Panjang Antrian(NQ)
NQ = NQ1 + NQ2
NQ1 : Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
NQ2 : Jumlah smp yang datang selama fase merah
NQ1, untuk DS > 0,5:

Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.31)

Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.32)

35
o) NQmax

Sumber : MKJI 1997


Untuk perancangan dan perencanaan disarankan POL ≤ 5 %, untuk
operasi suatu nilai POL = 5 - 10 % mungkin dapat diterima.

p) QL (Panjang Antrian (m))


NQ max x 20
QL=
Wmasuk
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.33)

q) Kendaraan Terhenti (Nsv)


1) Rasio Kendaraan stop/smp (NS)

Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.34)

2) NSV (Jumlah Kendaraan terhenti)


NSV= Q × NS (smp/jam)
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.35)

36
r) Tundaan/D (det/smp)
D = DT (tundaan lalin) + DG (tundaan geometrik)
Sumber : MKJI 1997................................ ..........................(II.36)

Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.37)

s) Tundaan/D (det/smp)
DGj = (1 – PSV) × PT × 6 + ( PSV × 4)
Sumber : MKJI 1997................................ ..........................(II.38)

dimana:

DGj = Tundaan geometri rata-rata pendekat j (det/smp)

PSV = Rasio kendaraan terhenti pada pendekat (Nsvj/Qtot)

PT = Rasio kendaraan berbelok pada pendekat dari Formulir SIG-II

14. Teori Perhitungan Jalinan


Perhitungan kapasitas persimpangan prioritas berdasarkan MKJI menggunakan
rumus berikut:

C=135 x Ww 1,3 x (1 +WE/WW)1,5 x (1-Pw/3)0,5 x (1 + Ww /Lw)-1,5 x Fcs x FRSU


Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.39)
Dimana :

Ww : Lebar Jalinan
WE : Lebar masuk rata-rata
Pw : Rasio Jalinan
Lw : Panjang Jalinan

37
Fcs : Kelas ukuran kota
FRSU : Tipe lingkungan Jalan, hambatan samping, rasio
kendaraan tidak bermotor
a) Faktor lebar jalinan (Ww)

Sumber : MKJI 1997

b) Faktor We/Ww

Sumber : MKJI 1997


c) Rasio Jalinan

38
Sumber : MKJI 1997
d) Faktor Lw/ WW

Sumber : MKJI 1997


e) Faktor Penyesuaian ukuran Kota
Tabel II.10 Faktor Penyesuaian ukuran Kota

Sumber : MKJI 1997


f) Faktor Penyesuaian tipe lingkungan jalan, Hambatan Samping dan
kendaraan tidak bermotor
Tabel.II.11 Faktor Penyesuaian tipe lingkungan jalan, Hambatan
Samping dan kendaraan tidak bermotor

39
Sumber : MKJI 1997
g) Tundaan Lalu Lintas Bagian Jalinan
Besarnya waktu tundaan detik/smp tergantung pada besarnya derajat
jenuh.
Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Untuk DS>0,6
D=1 / ( 0,59186-0,52525 x DS) – (1-DS) x 2
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.40)

Untuk DS≤0,6
D= 2 + 2,68982 x DS – (1-DS) x 2
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.41)

h) Tundaan Lalu Lintas Bundaran


DTR = ∑ (Qi x DTi ) / QMASUK
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.42)

Dimana :
I : Bagian jalinan dalam bundaran
N : Jumlah bagian jalinan dalam bundaran
Qi : Arus total bagian Jalinan i (smp/jam)
DTi : tundaan lalu lintas rata-rata pada bagian jalinan i
(det/smp)
QMASUK : jumlah arus yang masuk bundaran (smp/jam)
i) Tundaan Bundaran
DR = DTR + 4 (det/smp)
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.43)

j) Peluang antrian bagian jalinan

40
Sumber : MKJI 1997
QP % = 26,65 x DS – 65,55 x DS x 2 – 108,57 x DS3
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.44)

QP % = 9,41 x DS + 29,987 x DS x 4,619


Sumber : MKJI 1997................................ ..........................(II.45)

k) Peluang antrian bundaran


QPR%= maks dari Qpi%
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.46)

l) Kecepatan tempuh
VO = 43 × (1-PW/3)
Sumber : MKJI 1997..........................................................(II.47)

Sumber: ditjen Bina Marga 1997


15. Geometrik Simpang

41
1) Jarak Pandang
Persimpangan harus mempunyai kemudahan pandang ke arah
memanjang dan menyamping sesuai dengan jarak padang masuk
dan jarak pandang untuk keselamatan.
a) Jarak pandang masuk diperlukan untuk pengendara di jalan
minor masuk ke jalan utama, didasarkan pada asumsi
kendaraan pada jalan utama tidak mengurangi kecepatan.
b) Jarak pandang aman persimpangan disediakan untuk kendaraan
jalan minor agar dapat berhenti sebelum persimpangan
c) Gradien alinyemen vertikal diusahakan serendah
mungkin/datar
d) Kelandaian relatif belokan persimpangan tidak lebih dari 2%
fungsi utama kelandaian untuk mengalirkan air
permukaan(run-off drainage)
e) Persimpangan pada daerah tikungan harus dihindarkan sejauh
mungkin,minimal lebih besar dari jarak pandang henti,yaitu
dimulai dari titik peralihan tangen ke lengkung sampai ke
daerah persimpangan
Jarak pandang pada persimpangan dapat dilihat pada tabel
II.12 berikut

Tabel II.12 : Jarak Pandang Pada Persimpangan

Kecepatan Rencana Jarak Pandang


(Km/jam) Masuk Aman(meter)
(meter)
40 100 60
50 125 80
60 160 105
70 220 130
80 305 165
Sumber: Ditjen Bina Marga,2002

Tabel II.13: Jarak Pandang Henti Minimum

42
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Ditjen Bina Marga,1997

16. Lajur
Lajur merupakan bagian dari lajur yang memanjang,memiliki lebar yang
cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan selain sepeda
motor. Lebar lajur tergantung kepada kecepatan rencana dan kendaraan
rencana,terutama dalam melakukan manuver pergerakan membelok.
Kebutuhan lajur membelok ditetapkan dengan mengacu pada MKJI.
Lebar lajur yang sesuai,seperti pada tabel berikut
Tabel II.14 Lebar Jalur Persimpangan

Kelas Lebar Lajur


Jalan Tanpa Lajur Menerus Tambahan
Tambahan Sejajar Lajur
Tambahan
I 3,5 3,25-3,0 3,25
II 3,25 3,0-2,75 3,0
II 3,25-3,0 3,0-2,75 2,75(2,50)

Sumber: Ditjen Bina Marga,2002

Pulau lalu lintas mempunyai fungsi:


a) Mengatur lalu lintas
b) Memperlancar arus lalu lintas
c) Bisa dimanfaatka sebagi tempat berlindung bagi pejalan kaki yang
melakukan penyebrangan jalan.
ruang pada pulau lalu lintas dapat dimanfaatkan untuk penempatan
fasilatas jalan seperti:
a) Rambu lalu lintas
b) Tiang lampu penerang
c) Landscape dengan catatan tidak menganggu pandangan pemakai
jalan.
Tipe pulau lalu lintas

43
A= Hanya pemisah lalu lintas
B= Untuk Pemisah lalu lintas dan untuk pejalan kaki
C= Penempatan fasilitas pada pulau
Dimensi untuk pulau lalu lintas dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel II.15 Dimensi minimum pulau lalu lintas

Tipe Elemen Panjang (m)

A Wa 1
La 3
Ra 0,5
B Wb 1,5
Lb Wp+q
Rb 0,5
Luas daerah 5 mm
C Wc D+1
Lc 5
D Wd 1
Sumber: Ditjen Bina Marga,2002
Keterangan:
D =Lebar bagian dari fasilitas jalan
Wp =Lebar jalur penyebrang jalan

17. Teori Perhitungan Pejalan kaki


1) fasilitas pejalan kaki
Fasilitas pejalan kaki dibutuhkan pada daerah atau lokasi tertentu
yaitu:
a) Pada daerah-daerah pertokoan secara umum jumlah
penduduknya tinggi.
b) Pada jalan-jalan yang mempunyai rute angkutan yang tetap
c) Pada daerah-daerah yang memiliki aktIIitas tinggi seperti
pasar,terminal,sekolah dll

44
d) Pada lokasi-lokasi yang memiliki kebutuhan /permentiaan yang
tinggi dengan periode yang pendek,seperti misalnya kereta api
dan terminal.
e) Pada lokasi yang mempunyai permintaan tinggi untuk hari-hari
tertentu,misalnya lapangan atau gelanggang olah raga,masjid
2) Fungsi fasilitas pejalan kaki
Fungsi fasilitas pejalan kaki dapat ditinjau dari :
a) Pejalan kaki
Untuk memberi kesempatan bagi lalu lintas orang,sehingga dapat
berpapasan pada masing-masing arah atau menyiap dengan rasa
aman dan nyaman.
b) Lalu lintas
Untuk menghindari bercampurnya atau terjadinya konflik pejalan
kaki dengan kendaraan
3) Faktor – faktor yang dipertimbangkan untuk menyediakan fasilitas
pejalan kaki
Penyediaan fasilitas pejalan kaki dapat dipertimbangkan melalu
faktor-faktor berikut :
a) Arus pejalan kaki
b) Arus kendaraan
c) Tingkat kecelakaan
Dalam merencanakan fasilitas pejalan kaki yang harus diperhatikan
adalah:
a) Menerus
Fasilitas pejalan kaki harus menerus, langsung dan menerus
ketujuan.
b) Aman
Pejalan kaki harus merasa aman selama berjalan kaki,baik pada
jalurnya sendiri maupan dalam hubunganya dengan suatu sistem
jaringan lalu lintas lainya nyaman.
c) Nyaman
Permukaan fasilitas pejalan kaki harus rata,kering dantidak licin
pada waktu hujan,cukup lebar,kemiringan sekecil mungkin,jika
diperlukan boleh diberi bertangga dengan nyaman.
d) Mudah dan jelas

45
Fasilitas pejalan kaki harus mudah dan cepat dikenali
Permasalahan pergerakan pejalan kaki dapat dibagi menjadi
pergerakan-pergerakan:
1. Menyusuri jalan
2. Menyebrang jalan
3. Persimpangan
3) Pergerakan menyusuri jalan
Fasilitas bagi pemakai jalan yang menyusuri jalan adalah berupa
trotoar disisi kiri dan disisi kanan jalan.
a) Lebar trotoar
Untuk lebar trotoar berdasarkan tata guna lahan suseuai dengan
pengguna lainya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Berdasarkan jumlah pejalan kaki,dengan menggunakan rumus
WD=(P/35)+N
Sumber :Tanam 2013 ............................(II.48)
Keterangan:
WD = Lebar trotoar yang dibutuhkan (m)
P = Arus Pejalan Kaki permenit
35 = Arus Maksimum pejalan kaki peremeter lebar permenit
N = Kostanta
Nilai “N” tergantung pada aktIIitas daerah sekitarnya sesuai
dengan tabel II.16

Tabel II.16 : Konstanta untuk nilai N

N(meter Jenis Jalan

1,5 Jalan didaerah pertokoan dengan kios dan etalase


Jalan didaerah pertokoan tanpa etalase
1,0 Semua jalan selain diatas
0,5
Sumber:Tanam,2013

46
b) Tinggi trotoar
Tinggi trotoar maksimum 25 cm dan dianjurkan 15 cm dan pada
penyebrangan pejalan kaki dipersimpangan,jalan masuk dengan atau
tanpa jalan fasilitas dilandaikan
c) Konstruksi trotoar
Untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pejalan
kaki,trotoar harus diperkeras diberi batasan fisik berupa kurb. Bahan
perkerasan trotoar dapat berupa blok terkunci.kurb yang digunakan
pada trotoar adalah kurb penghalang,yaitu kurb yang direncanakan
untuk menghalangi atau mencegah kendaraan keluar jalur lalu lintas
Persyaratan ruang bebas:
(1) Kebebasan vertical minimum 2,50 m dari permukaan trotoar.
(2) Kebebasan minimum 0,3 m harus diberikan bila ada penghalang
tetap
(3) Bilatrotoar diberi lindungan (beratap) maka pemasanganya tidak
menganggu ruang bebas pandang,terutama pada persimpangan
4) Menyebrang jalan
18. Fasilitas bagi pejalan kaki
Fasilitas bagi pejalan kaki
1. Zebra cross
a. Zebra cross tanpa pelindung
b. Zebra cross dengan pelindung
2. Pelikan
a. Pelikan dengan perlindungan
b. Pelikan tanpa perlindungan
(1 dan 2 merupakan penyebrangan sebidang)
3. Penyebrangan tidak sebidang
a. Jembatan
b. Terowongan
a) Syarat penempatan penyebrangan sebidang Zebra cross
(1) Penempatan tidak di atas pulau maya ataupun mulut
persimpangan
(2) Pada jalan minor harus ditempatkan 15 m di belekang garis
henti dan sedapat mungkin lalu lintas kendaraan

47
(3) Memperhatikan interaksi dari sistem prioritas ,yaitu volume
yang membelok
(4) Pada jalan dengan lebar lebih dari 10 m atau dari 4 lajur
diperlukan pelindung
b) Kriteria fasilitas penyebrangan
Untuk menentukan fasilitas penyebrangan maka ketentuanya
dapat dilihat dari tabel II.17
Tabel II.17 kriteria fasilitas penyebrangan

PV2 P V Rekomendasi Awal


>108 50-1100 300-500 Zebra cross
2 x 108 400-1100 400-750 Zebra cross dengan pelikan
Pelikan

>108 50-1100 >500 pelikan


>108 >1100 >300

>2 x 108 50-1100 >750 Pelikan dengan pelindung


>2 x 108 >1100 >400
Sumber: Tanam 2013

Dari tabel tersebut dapat dibaca batasan-batasan pemilihan fasilitas


penyebrangan yang dianjurkan berdasarkan rata-rata jumlah pejalan
kaki yang menyebrang pada 4 jam sibuk dengan jumlah arus.

Pada tabel, PxV>108 sedangkan P = 50-1100 dan V= 300-500 maka


akan didapatkan nilai 1 x 108 dan 2 x108 dengan batasan 1100 pejalan
kaki yang menyebrang dan 500 untuk volume lalu lintas. Hasilnya
berupa zebra cross. Pada angka> 1100 pejalan kaki dan >750 arus
kendaraan maka dianjurkan untuk menggunakan penyebrangan kaki
tidak sebidang Kelengkapan .
1) Penyebrangan sebidang dilengkapi dengan rambu dan garis
henti.
2) Penempatan rambu peringatan tentang adanya tempat
penyebrangan disesuaikan dengan kecepatan rencan suatu ruas
jalan.
19. Tingkat Pelayanan Simpang

48
Tabel II.18 Tingkat Pelayanan Simpang

Tingkat Pelayanan Kondisi Arus Derajat Kejenuhan


A Kondisi arus bebas 0,00 – 0,20
dengan kecepatan
tinggi pengemudi
dapat memilih
kecepatan yang
diinginkan tanpa
hambatan
B Arus stabil tapi 0,20-0,44
kecepatan operasi
mulai dibatasi oleh
kondisi lalu lintas
pengemudi memiliki
kebebasan yang cukup
untuk memilih
kecepatan
C Arus stabil tetapi 0,45-0,74
kecepatan dan gerak
kendaraan
dikendalikan oleh
pengemudi dibatasi
dalam memilih
kecepatan
D Arus mendekati tidak 0,75-0,84
stabil kecepatan masih
dikendalikan DS
masih dapat ditorelir
E Volume lalu lintas 0,85 – 1,00
mendekati atau berada
pada kapasitas arus
tidak stabil kecepatan
terkadang terhenti
F Arus yang dipaksakan >1,00
atau macet , kecepatan

49
rendah volume
dibawah kapasitas,
antrian panjang dan
terjadi hambatan-
hambatan besar
Sumber : Morlok 1991

50

Anda mungkin juga menyukai