Anda di halaman 1dari 14

Inovasi Kegiatan Taman Baca Sebagai Sarana Meningkatkan Literasi Santri PP.

Ar
Roudloh Kota Kediri

Oleh:

Anisatul Qusna (933410518)

Abstrak

Pengembangan literasi informasi bagi masyarakat merupakan salah satu peluang dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh sebab itu, munculnya gagasan untuk membangun
suatu wadah literasi melalui taman baca adalah upaya yang dirasa tepat, mengingat wadah
tersebut bertujuan untuk meningkatkan literasi santri di ponpes PP ar Roudloh Kota Kediri.
Adapun metode yang dipakai dalam membangun kegiatan taman baca dengan melalui
pendekatan ABCD (Assed Based Community Development), dengan memfungsikan aset dan
modal yang ada di pondok pesantren sebagai instrumen pembangunan sosial berbasis literasi.
Dalam menjalankan kegiatan ini juga mengadopsi teori praktik sosial besutan Pierre Bourdieu,
melalui rumusan generatifnya Habitus, Modal, dan Arena yang menjadi akan munculkan sebuah
praktik sosial dalam kegiatan taman baca. Hasilnya menunjukan bahwa santri di Ponpes Ar
Roudloh sangat responsif terhadap upaya pemberdayaan melalui kegiatan taman baca, dan
menunjukkan hasil yang konkrit, antara lain; santri dapat mengelola wadah taman baca secara
intensif, santri dapat mudah mencari dan berbagai referensi dalam berbagai bidang keilmuan, dan
santri dapat menghidupi wadah taman baca melalui program yang sudah terencana.

Kata kunci: Taman baca, literasi, santri

PENDAHULUAN

Literasi adalah kemampuan berbahasa seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan


menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Mengutip
pengertian dari Grabe & Kaplan (1992), Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (able
to read and write).1 Kemampuan keduanya sangat di perlukan untuk membangun sikap kritis dan
kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan yang mampu menumbuhkan kehalusan budi,
kesetia kawanan dan sebagai bentuk upaya melestarikan budaya bangsa.
1
Grabe, W. & Kaplan, Introduction to Applied Linguistics, Wesley Publishing , New York:1992 , hlm: 76
Sementara itu membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada
pada peringkat ke-45 dari dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA,
2021). Sementara, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta Indonesia berada
pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), (OECD, 2013). Sebanyak 65
negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam
keterampilan memahami bacaan, menunjukan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia
tergolong rendah.2

Dari hal tersebut dapat dipahami tingkat literasi peserta didik di Indonesia masih sangat
minim. Kemampuan dalam memahami konteks pembelajaran yang dilakukan di ranah sekolah
dirasa kurang mampu dalam meningkatkan literasi peserta didik di Indonesia, karena praktik
dalam pendidikan di Indonesia masih belum bisa menjalankan jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan secara simultan. Jalur pendidikan adalah wahana yang perlu dilalui oleh peserta didik
untuk mengembangkan potensi dirinya dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan
pendidikan. Terdapat tiga jalur pendidikan yaitu, jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinnggi. Pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal, artinya tidak memiliki jenjang dan tersruktur,
acapkali pendidikan model ini mengarah ke pengembangan potensi softskill dan hardskill.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan yang berbasis lingkungan dan keluarga.

Dalam konteks pengembangan keilmuan, pondok pesantren merupakan wadah


pendidikan yang paling relevan dalam mengembangkan keilmuan keagamaan. Apalagi
kebutuhan masyarakat muslim dalam mencetak cendekiawan muslim sangat diperlukan di setiap
zamannya. Harapan tersebut menjadi jawaban pengubung antara ajaran islam (wahyu) dengan
peradaban-peradaban (terutama khazanah intelektual). Amin Abdullah berpendapat apabila
generasi muslim tidak memiliki tradisi literasi (baca-tulis), tidak akan mampu mempelajari
prestasi bangsa-bangsa lain di sekitar, untuk selanjutnya menciptakan peradaban baru yang lebih
unggul dan bermanfaat. Peradaban Islam berkembang seiring dengan maraknya kesadaran

2
Ansyori H R, Menumbuhkan Minat Baca Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia, 2016,
http://imadiklus.com/menumbuhkan -minat-baca-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-sumber-daya-manusia/.
Diunduh tanggal 09 Agustus 2021.
masyarakat muslim untuk membaca sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang bisa
dijumpai, serta mendokumentasikan hasil-hasil temuan dalam bentuk catatan yag rapi.3

Pendidikan di pesantren juga memiliki jalur pendidikan dari mulai pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Maka dapat dilihat banyak pondok pesantren di Indonesia yang
mengadopsi beberapa model pendidikan tersebut, khususnya di pondok pesantren Ar-Roudloh
Kota Kediri. Pondok pesantren yang dihuni oleh kalangan putri ini menjadi destinasi mahasiswa
dalam mengenyam pendidikan islam secara komperhensif. Pondok Pesantren Ar-Roudloh
merupakan pondok pesantren yang mendidik para santrinya dalam menimba ilmu agama, moral,
dan akhlak dalam berperilaku di masyarakat. Dalam cara mendidik Pondok Pesantren Ar-
Roudloh Kota Kediri memiliki beragam model pendidikan, dari mulai pendidikan formal yang
berupa Madrasah Diniyah, non formal yang berupa kegiatan santri dalam pengembangan skill
maupun hardskill (Banjari, Qira’at, dll), dan informal yang berupa kegiatan rutinan pondok
(musyawarah, pembacaan tahlil, dll).

Namun seiring perkembangannya, pendidikan yang dijalankan di PP Ar-Roudloh


berfungsi dalam satu sektor dan disfungsi dalam sektor lain. Artinya model pendidikan yang
dijalankan selama ini lebih intens ke arah model pendidikan formal, namun tidak di barengi
dengan intensitas pendidikan informal. Dalam konteks permasalahannya, realitas yang terjadi
menunjukan bahwa santri memiliki tingkat literasi yang minim. Hal tersebut bisa di buktikan dari
belum adanya bentuk kegiatan pembelajaran yang bersifat informal dalam pengembangan
literasi. Dalam upaya untuk mengembangan literasi memang banyak bentuk cara, dari mulai
upaya bentuk perubahan sistem, iklim, sampai budaya. Hal tersebut memantik fasilitator untuk
menemukan jalan keluar yang tepat untuk memberikan sebuah perubahan ke arah yang baik.
Maka dari hal tersebut fasilitator memunculkan gagasan berupa pemberdayaan santri melalui
pengadaan kegiatan taman baca di PP Ar-Roudloh.

Kegiatan taman baca adalah media untuk mengembangan literasi para santri di PP Ar-
Roudloh. Kegiatan ini merupakan langkah baru dari fasilitator untuk menghidupi pendidikan
informal bagi para santriwati di pondok. Maka dalam upaya untuk merealisasikan pemberdayaan

3
M. Amin Abdullah, ”Penerjemah Karya Klasik” Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan
Peradaban, (Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:2002), hlm: 15
sosial perlu suatu perencanaan yang terstruktur dan sistematis agar kegiatan tersebut dapat
berkelanjutan.

Kajian Pustaka

Setelah menentukan fokus pemberdayaan, maka yang dilakukan adalah meninjau kembali
pemberdayaan yang pernah dilakukan oleh fasilitator sebelumnya. Adapun hasil dari proses
kajian pustaka menunjukan adanya beberapa literatur yang mengkaji tentang pemberdayaan
masyarakat melalui taman baca.

Jurnal yang pertama adalah karya Yaris Yulianto yang berjudul Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Taman Baca Masyarakat (TBM): Studi Kasus di Desa Pledokan Kecamatan
Sumowono Kabupaten Semarang. Konteks dalam jurnal tersebut memaparkan adanya TBM
adalah sarana atau lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan
dan memberikan layanan di bidang bahan bacaan berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik,
dan multimedia lain yang dilengkapi dengan ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku,
menulis, dan kegiatan literasi lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai
motivator.4

Persamaan dalam konteks pemberdayaan sosial yang dilakukan adalah upaya untuk
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca, mendorong terwujudnya masyarakat
pembelajar, dan mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan. Impllikasi dari tujuan tersebut
memiliki arah gerak yang sama dengan pemberdayaan yang dilakukan di PP Ar Roudloh.

Adapun perbedaannya dalam jurnal tersebut terletak dalam konteks ranah pemberdayaan.
Peran TBM yang di lakukan berfokus pada masyarakat makro di pedesaan di Desa Pledokan
Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Masyarakat desa menjadi basis dalam merancang,
merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui aksi
kolektif. Sehinngga pada akhirnnya mereka kemampuan dan kemandirian secara ekonomi,
ekologi, dan sosial. Namun pada pemberdayaan yang dilakukan oleh fasilitator berfokus pada
pemberdayaan santri dalam sektor pendidikan. Kegiatan ini mengacu pada kebutuhan santri

4
Yaris Yulianto, Pemberdayaan Melalui Taman Baca Masyarakat (TBM): Studi Kasus di Desa Pledokan Kecamatan
Sumowono Kabupaten Semarang, Jurnal ANUVA Vol. 3 No.4. 2019, hlm:379,
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/anuva/article/view/6510/3379, Diakses pada tanggal 21 Agustus 2021
dalam upaya peningkatan literasi, oleh sebab itu fasilitator meletakkan fokus kebutuhan literasi
sebagai instrumen dalam mengembangkan proses pendidikan di PP Ar Roudloh.

Jurnal yang kedua berjudul Pendampingan santri untuk membangun tradisi literasi di
pondok pesantren Al-Mubarok Mranggen Demak karya Taslim Syahlan, Ali Imron, Laila
Ngindana Zulfa, Ma’as Shobirin. Konteks dalam jurnal ini memaparkan adanya program literasi
bagi santri ponpes Ar Roudloh melalui pendampingan secara intens dari pihak pengurus. Di
samping itu, program yang dilaksanakan oleh pengurus adalah juga memiliki beberapa agenda
pokok, antara lain; Seminar literasi, Pelatihan santri munulis, pembuatan buku bunga rampai, dan
membentuk komunitas penulis pondok pesantren Al-Mubarok.

Kesamaan konteks dalam jurnal ini adalah adanya upaya untuk menyemai tradisi literasi
(membaca dan menulis) dalam tubuh pesantren. Santri tidak hanya dituntut untuk menguasai
pengetahuan agama, melainkan juga perlu upaya dalam mengabadikan pengetahuaanya dalam
bentuk tulisan. Dengan demikian, santri perlu di didik dengan proses membaca dan menuangkan
ke tulisan, hingga daya nalar dan ke kritisannya dapat teruji dan dapat diukur oleh masyarakat.

Namun yang membedakan dari jurnal ini adalah praktik pengembangan literasi dilakukan
oleh pihak jajaran pengurus pihak pesantren. Artinya, dalam proses upaya pemberdayaan santri
pondok pesantren haruslah meletakkan santri sebagai bagian dari perencanaan dan mitra kerja
dalam melakukan kegiatan. Hal inilah yang menjadi landasan fasilitator dalam melakukan
pengembangan literasi di ponpes Ar-Roudloh dengan meletakkan santri sebagai mitra kerja.

Dari paparan penelitian terdahulu, dapat diketahui adanya persamaan fokus


pemberdayaan yang dilakukan yaitu melalui pengembangan literasi. Oleh karena itu, melihat
kebutuhan yang dirasakan oleh santri di ponpes Ar-Roudloh, maka fasilitator melakukan praktik
sosial yang dinamai dengan wadah keguiatan Taman Baca.

LANDASAN TEORI

Dalam sebuah kegiatan pemberdayaan perlu suatu pendekatan dan teori yang menjadi
landasan. Mengingat pemberdayaan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan cara mengolah,
menganalisis serta merancang secara sistematis. Dalam pemberdayaan dituntut untuk
menghasilkan perubahan yang sesuai dengan perencanaan serta kebenaran dari fenomena yang
ada. Maka dari itu dalam sebuah kegiatan pemberdayaan harus menggunakan metode untuk
dijadikan landasan. Dalam hal ini landasan yang digunakan sebagai berikut;

A. Landasan Metode

Pengembangan masyarakat merupakan upaya yang terencana untuk menghasilkan asset


yang mampu meningkatkan kualitas hidup mereka. Pendekatan berbasis asset bertujuan untuk
mengidentifikasi dan memanfaatkan asset yang berwujud dan tak berwujud yang tersedia bagi
masyarakat daripada mencari kekurangan. Oleh sebab itu fasilitator mengadopsi metode Asset
Based Community Development (ABCD) sebagai upaya pendekatan di dalam melakukan
pemberdayaan.

Asumsi dari pengembangan berbasis asset adalah bahwa yang dapat menjawab suatu
masalah masyarakat adalah masyarakat itu sendiri dan segala usaha perbaikan ini harus dimulai
dari perbaikan modal sosial. McKnicght dan Kretzman percaya bahwwa salah satu masalah
sentral dalam masayarakat kita adalah bahwa modal sosial telah rusak dan profesionalisasi
kepedulian dalam perencanaan dan layanan sistem. Lingkungan dan penduduk hanya dipanndang
sebagai obyek yang membutuhkan dan dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan. 5

Dalam metode ABCD terdapat lima langkah kunci untuk melakukan riset pendampingan
diantaranya adalah discovery (menemukan), dream (impian), design (merancang), define
(menentukan), dan destiny (lakukan). Strategi dalam pendekatan ini diawali dengan observasi
tempat dan aset yang ada untuk menemukan kebutuhan, kemudian melihat secara kolektif
harapan dan impian masyarakat terhadap aset yang ada, setelah itu merancang sebuah kegiatan
untuk mewujudkan harapan masyarakat, kemudian menentukan perubahan melalui pembentukan
program, setelah itu tindakan atau pelaksanaan program yang disusun. 6

Diagaram Asset Baset Community Development.

5
Fuadillah, Annisa Rizqika, Pemanfaatan Aset Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Oleh Masyarakat Kampung
Banjarsari, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Univ Padjadjaran: 2015, hlm: 8
6
Muh. Aniar Hari Swasono, dkk, November, Membangun Kebiasaan Membaca Pada Anak Di Masa Pandemi Covid-
19 Melalui Program Satu Jam Tanpa Gawai Di Grita Baca Desa Karangrejo, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
Vol.1, No 2,2020, File:///C:/Users/User/Downloads/236-Article%20Text-1126-1-10-20201103.Pdf , Diakses Pada
Tanggal 15 Agustus 2021.
Discovery Dream Design Define Destiny

B. Landasan teori

Untuk menunjang metode yang sudah di paparkan, maka perlu suatu landasan teoritik
untuk menjelaskan realitas secara konkret. Maka teori yang akan dipakai adalah teori yang
bersifat terapan. Fasilitator mengadopsi teori Praktik sosial besutan Pierre Bourdieu. Teori
praktik sosial merupakan teori tentang praktik sosial yang mampu menjalankan secara simultan
antara agen dengan struktur. Dunia sosial merupakan bentuk praktik sosial. Bourdieu
menyodorkan rumus generatif tentang praktik sosial dengan persamaan:

(Habitus x Modal) + Arena = Praktik

Habitus

Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang berhubungan
dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka
gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui
skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya 7. Maka
dapat kita katakan bahwa habitus merupakan produk dari internalisasi struktur dunia sosial,
secara sederhana habitus adalah ‘kebiasaan’ yang terbangun dari dunia sosial.

Modal

Dalam ranah pertarungan sosial selalu terjadi. Siapa saja yang memiliki modal dan
habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan
mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki
modal. Artinya, modal disini menjadi instrumen penting dalam membangun praktis sosial.

Adapun bentuk-bentuk modal menurut Bourdieu antara lain;

1. Modal ekonomi

7
Ritzer & Goodman, Teori sosiologi; dari klasik - postmodern, terj: Nurhadi, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008),
hlm: 581
Modal ekonomi adalah sumber daya yang bissa menjadi sarana produksi dan
sarana finansial. Modal ekonomi ini merupakan jenis modal yang mudah di konversikan
ke dalam bentuk-bentuk modal lainnya. Modal ekonomi ini mencakup alat-alat prosuksi
(mesin, tanah, tenaga kerja), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang. Semua jenis
modal ini mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari generasi ke
generasi selanjutnya.
2. Modal kultural
Modal kultural adalah modal yang berkaitan dengan kempetensi. Keseluruhan
kualifikasi intelektual yang bisa di produksi melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga, seperti kemampuan menampilkan diri di depan publik, kepemillikan benda-
benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu hasil pendidikan formal
(termasuk gelar sarjana).
3. Modal sosial
Modal sosial adalah segala jenis hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan
kedudukan sosial. menurut Bourdieu modal sosial ini sejatinya merupakan hubungan
sosial bernilai antar orang. Hal tersebut bisa di contohkan sebagian masyarakat yang ber
interaksi antar kelas dalam lapisan sosial masyarakat.
4. Modal simbolik
Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan
pengenalan. Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang
memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan
fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus mobilisasi.

Arena

Menurut Bourdieu, Arena adalah ‘jaringan relasi antar posisi objektif didalamnya’.
Keberadaan arena disini sebagai sebuah arena pertempuran; suatu struktur yang menopang dan
mengarahakan strategi yang digunakan oleh oraang-orang yang menduduki posisi sosial, baik
individu maupun kolektif. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang didalamnya berbagai jenis
modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis)digunakan dan dimanfaatkan. Namun, adalah arena
kekuasaan (politik) yang paling penting; hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik
berfungsi menstrukturkan semua arena yang lain.8

Dari hasil skematik pola diatas, memunculkan sebuah bentuk praktik sosial. Sebagai
sebuah dialektika, ia merupakan suatu upaya untuk keluar dari kebuntuan perdebatan struktur
dan agensi dalam ilmu sosial. inti metode ini adalah proses internalisasi eksternalitas dan
eksternalisasi internalitas”. Praktik individu atau kelompok sosial, karenanya harus dianalisis
sebagai hasil analisis habitus dengan ranah9.

PEMBAHASAN

Upaya untuk melakukan perubahan sosial di dalam pondok pesantren adalah dengan
melakukan pola adaptasi terhadap budaya baru. Namun untuk melakukan hal tersebut perlu suatu
pendekatan secara intens terhadap santri pondok pesantren. Karena di dalam melakukan suatu
perubahan tidaklah secara cepat, perlu tahap-tahap dalam proses pelaksanaanya. Tahap tersebut
dinamanakan sebagai proses perencanaan. Adapun proses perencanaan sosial dari mulai proses
pendekatan, pengenalan diri, melakukan proses analisa, dan yang terakhir adalah melakukan
gerakan partisipatif bersama santri pondok pesantren. Hal tersebut terwujud melalui tahap-tahap
dalam metode ABCD.

a. Discovery (menemukan kebutuhan yang ada di Pondok Pesantren)

Pendampingan yang dilakukan fasilitator di lokasi pondok pesantren Ar-Roudloh dimulai


drngan melakukan observasi kepada para santri-santri yang menetap di lokasi. Observasi tersebut
guna menemukan data terkait gambaran dan kondisi yang ada di pondok pesantren. Dari hasil
yang di dapat oleh fasilitator menunjukkan adanya gambaran kondisi pendidikan yang berjalan di
pondok pesantren memiliki suatu ciri khas yang unik dalam proses pembelajaran. Adapun jenis
pendidikan di ponpes Ar-Roudloh di bagi menjadi 3 jenis, antara lain; pendidikan formal,
pendidikan pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal berupa adanya
madrasah diniyah dan non formal yang berupa rutinan banjari. Namun setelah diketahui
pendidikan informal yang sudah terbangun belum mampu berjalan sesuai harapan, dikarenakan
belum adanya kegiatan yang mampu membangun kemampuan kognitif para santri dalam ranah

8
Nanang Krisdianto, “Pierre Bourdieu sang juru damai”, Jurnal KANAL, Vol. 2 No. 2 (Maret 2014), 194
9
Ibid
informal. Oleh sebab itu, fasilitator menempatkan kegiatan taman baca sebagai kebutuhan
kolektif para santri.

b. Dream (melihat impian dari para santri)

Dari hasil observasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa di dalam pendidikan
yang ada di pesantren perlu suatu terobosan dalam upaya mengembangkan pendidikan di ranah
informal mel alui taman baca. Maka fasilitator memiliki suatu harapan besar munculnya
semangat baru dalam mengenyam proses pendidikan di pondok pesantren. Kegiatan taman baca
dijadikan destinasi belajar bagi para santri untuk meningkatkan literasi, yang mana kegiatan
taman baca menyuguhkan banyak macam buku yang bisa bebas memilih dan meminjam.
Pengetahuan yang di peroleh tidak hanya berkutat pada wilayah kajian ke agamaan, akan tetapi
ruang kajiannya melingkupi berbagai macam keilmuan. Oleh karena itu, taman baca adalah
ruang bermain yang menyenangkan dan mendidik bagi seluruh satri di ponpes Ar-Roudloh.

c. Design (merancang sistem di Taman Baca)

Taman baca di rancang dengan sistem kegiatan yang menarik para santri untuk
berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator. Adapun sistem yang dibangun
adalah melalui pengorganisiran sumber daya di dalam pondok pesantren. Sumber daya yang
dimaksud melingkupi ruang dan materi yang ada di sekitar pondok. Dalam merancang ruang,
fasilitator menggunakan ruang di area pondok yang memiliki potensi untuk dijadian taman baca.
Dalam hal ini, kegiatan tersebut dilakukan di wilayah ruang teras pondok pesantren. Selanjutnya,
dalam proses pengembangan kegiatan, maka dalam praktiknya fasilitator membuat perencanaan
kegiatan dalamnya, yaitu kegiatan reading book, diskusi, dan menulis. Dalam konsep reading
book, para santri diharuskan untuk wajib membaca salah satu buku yang sudah disediakan.
Selanjutnya dari hasil membaca akan didiskusikan bersama, apa yang diketahui dari membaca di
presentasikan ulang dan berdiskusi saling mengisi. Yang terakhir adalah menulis, kegiatan ini
merupakan hasil terakhir dari proses membaca dan berdiskusi. Dengan melalui instrumen
menulis para santri dapat menuangkan pemikirannya kedalam tulisan.

d. Define (menentukan perubahan melalui program)


Perubahan yang diharapkan setelah adanya program ini adalah menumbuhkan minat dan
kegemaran membaca, menambahkan wawasan tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan
mampu cakap dalam ranah literasi. Di samping itu, terdapat manfaat-manfaaat dari munculnya
kegiatan taman baca anatra lain; 1. Santri dapat terwadahi dalam proses pendidika informal, 2.
Santri dapat belajar secara inklusif di dalam forum, 3. Santri dapat mendapat wawasan luas
pengetahuan baik umum maupun tentang ke agamaan.

e. Destiny (melakukan)

Serangkaian tindakan inspiratif yang mendukung proses belajar terus menerus dan
inovasi tentang “apa yang akan terjadi.” Hal ini merupakan fase akhir yang secara khusus fokus
pada cara-cara personal dan kelompok untuk melangkah maju. Langkah yang terakhir adalah
melaksanakan kegiatan yang sudah disepakati untuk memenuhi impian masyarakat dari
pemanfaatan aset. Dalam konteks ini para santri dengan fasilitator melakukan aksi bersama
dalam proses membangun kegiatan taman baca.

Selanjutnya, untuk membangun praktik kegiatan ini agar dapat berkelanjutan perlu suatu
landasan teoritik sebagai upaya membangun kegiatan taman baca secara berkelanjutan. Dalam
konteks ini teori yang di pakai adalah praktik sosial melalui skema Habitus, modal, dan arena.

Habitus

Habitus adalah proses internalisasi-eksternalisasi dari realitas sosial. Dalam arti


sederhana, habitus adalah proses kebiasaan yang dilakukan oleh agen. Habitus memiliki dua
konsep yang menjadi dasar yaitu habitus lama dan habitus baru. Dalam konteks santri yang ada
di dalam pondok, pada mulanya santri di pondok memiliki habitus lama yaitu kebiasaan belajar
yang hanya dalam ranah formal saja, santri hanya menganyam proses belajar di ruang kelas,
setelah itu berkegiatan secara biasa. Namun, setelah adanya pengadaan kegiatan di taman baca,
santri di pondok dapat merasakan adanya perubahan dalam proses belajar, hal inilah yang
memunculkan adanya habitus baru. Habitus baru ini menunjukan adanya kebiasaan santri yang
mampu belajar secara intens dan menyenangkan di dalam kegiatan taman baca, hal ini bisa lihat
dari adanya selera santri dalam mengikuti forum menunjukan kesukaan diskusi saling mengisi
dan ber komunikasi.
Modal

Modal dalam hal ini menjadi instrumen yang fundamental di dalam upaya membangun
kegiatan di taman baca, adapun modal dalam praktik ini antara lain;

a. Modal kultural

Modal kultural adalah modal yang berkaitan dengan kempetensi. Dalan konteks kegiatan taman
baca modal kultural yang di aplikasikan adalah bentuk kompetensi dari fasilitator dan para santri
pondok. Kompetensi yang gunakan fasilitator yaitu pengetahuan yang di dapat di ranah sekolah,
lalu modal kultural dari para santri yaitu adanya upaya proses saling mengisi dalam forum
diskusi. Dengan modal kultural tersebut dapat memunculkan integrasi pengetahuan di dalam
kegiatan taman baca.

b. Modal sosial

Modal sosial ini sejatinya merupakan hubungan sosial bernilai antar orang. Modal sosial
memunculkan adanya bentuk solidaritas antar sesame. Dalam konteks ini modal sosial yang di
aplikasikan adalah hubungan solidaritas mekanik santri dalam upaya membangun kegiatan taman
baca. Solidaritas dilandasi adanya suatu kebutuhan kolektif yaitu kebutuhan proses
pengembangan literasi.

c. Modal ekonomi

Modal ekonomi adalah sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan sarana
finansial. Dalam hal ini modal yang di pakai bukanlah modal materi dalam perspektif
kapitalisme. Akan tetapi modal yang bersifat mampu membangun suatu arena yang menjadi
kebutuhan bersama. Dalam konteks ini adalah modal materil yang di pakai untuk kegiatan taman
baca, antara lain; modal buku-buku keilmuan, tempat rak buku, papan tulis, dan ATK.
Disamping itu, santri juga memakai handphone sebagai alat untuk mencari referensi di internet.

d. Modal simbolik

Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang
memungkinkan untuk melakukan praktik sosial. Modal simbolik seringkali memiliki label
prestise atau kehormatan dari tubuh subyek. Dalam konteks ini symbol yang di pakai adalah
label santri. Istilah santri merepresentasikan adanya suatu kelompok yang sedang mengenyam
pendidikan di ranah pondok pesantren. Berbeda dengan pelajar di sekolah umum, santri memiliki
kelebihan dalam semangat belajar mencari ilmu. Symbol inilah yang menjadi spirit untuk
mebangun kegiatan taman belajar.

Ranah

Ranah adalah arena kompetitif yang didalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi,
kultural, sosial, simbolis) yang digunakan dan dimanfaatkan. Dalam konteks ini ranah yang
menjadi suatu bentuk akumulasi dari modal-modal adalah ranah proses pengembangan literasi.
Melalui konsep kegiatan taman baca yang sudah terstruktur, santri dapat mampu menghidupi
wadah tersebut sebagai media pengembangan literasi di pondok pesantren.

Dari proses skema Habitus, modal, dan arena tersebut, menghasilkan sebuah praktik
sosial yaitu kegiatan taman baca. Dari hasil pola-pola yang sudah terbangun, maka perlu di
pelihara dan di kelola dengan kesadaran kolektif santri di pondok pesantren. Dengan hal tersebut
yang menjadi hasil dari proses pemberdayaan adalah kesadaran santri di ponpes Ar-Roudloh
dalam upaya membangun kegiatan taman.

KESIMPULAN

Dari hasil yang sudah di paparkan, dapat ditarik kesimpulan kegiatan taman baca
merupakan kegiatan bagi para santri untuk mengembangkan literasi di dalam pondok pesantren.
Adapun metode yang dilakukan untuk kegiatan tersebut adalah melalui pendekatan PAR
(Participatory Action Research). Di dalam metode PAR terdapat tahapan dalam melakukan
pemberdayaan, antara lain; a) Discovery, b) Dream, c) Design, d) Define, e) Destiny. Lebih
lanjut, untuk teori yang dipakai adalah teori praktik sosial, teori ini memilik skema generatif,
antara lain; Habitus, Modal, Ranah dan akhirnya menjadi Praktik Sosial. Adapun bentuk hasil
dari kegiatan yang sudah dilakukan, santri mendapatkan manfaat berupa adanya keilmuan serta
dapat mengelola wadah dalam kegiatan taman baca.
Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, 2002, ”Penerjemah Karya Klasik” Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia
Islam Pemikiran Dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Fuadillah, Annisa Rizqika, 2015, Pemanfaatan Aset Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Oleh
Masyarakat Kampung Banjarsari, Univ Padjadjaran: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik

George, Ritzer & Goodman, 2008, Teori sosiologi; dari klasik - postmodern, terj: Nurhadi,
Yogyakarta:Kreasi Wacana

H R Ansyori, Menumbuhkan Minat Baca Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia, 2016, http://imadiklus.com/menumbuhkan -minat-baca-sebagai-upaya-
meningkatkan-kualitas-sumber-daya-manusia/. Diunduh tanggal 09 Agustus 2021

Krisdianto, Nanang, 2014, “Pierre Bourdieu sang juru damai”, Jurnal KANAL, Vol. 2 No. 2
Swasono, Muh. Aniar Hari, dkk, 2020, Membangun Kebiasaan Membaca Pada Anak Di Masa
Pandemi Covid-19 Melalui Program Satu Jam Tanpa Gawai Di Grita Baca Desa
Karangrejo, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol.1, No 2,
File:///C:/Users/User/Downloads/236-Article%20Text-1126-1-10-20201103.Pdf ,
Diakses Pada Tanggal 15 Agustus 2021.

W. Grabe & Kaplan, 1992, Introduction to Applied Linguistics, New York: Wesley Publishing

Yulianto, Yaris, 2019, Pemberdayaan Melalui Taman Baca Masyarakat (TBM): Studi Kasus di
Desa Pledokan Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, Jurnal ANUVA Vol. 3
No.4, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/anuva/article/view/6510/3379, Diakses pada
tanggal 21 Agustus 2021

Anda mungkin juga menyukai