Anda di halaman 1dari 17

Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 17

MENINGKATKAN BUDAYA LITERASI SANTRI PADA PESANTREN


TERPADU DI ACEH

Muhammad Iqbal, M.Pd.


IAIN Lhokseumawe
iqbal@iainlhokseumawe.ac.id

Abstrak

Kemampuan membaca masyarakat Indonesia sangat tinggi, tetapi daya membaca


begitu rendah. Sebab itulah, kualitas literasi Indonesia semakin menurun. Hasil
PISA tahun 2000 sampai 2012 menempatkan literasi Indonesia di bawah rata-rata
skor internasional. Keberhasilan santri berbanding lurus dengan kualitas dan
budaya literasi. Penelitian ini bertujuan untuk menakar budaya literasi santri pada
pesantren di Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
dengan pendekatan deskriptif. Sumber data terdiri dari 5 pesantren modern di
Aceh. Dua jenis alat pengumpulan data yang digunakan, yaitu angket dan
wawancara. Analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa budaya literasi santri pada pesantren modern
meningkat dari nilai awal 50 menjadi 83 setelah pesantren tersebut
memberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 23 tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti melalui gerakan literasi. Peningkatan itu
dilihat melalui tiga indikator penilaian, yaitu (1) perencanaan disusun dalam
bentuk program literasi dalam sarana perencanaan, yaitu kurikulum; (2)
pelaksanaan literasi dilaksanakan dalam dua model kegiatan, yaitu (a) kegiatan
inkurikuler meliputi presetasi, praktik terstruktur, dan praktik terbimbing dan (b)
kegiatan ekstrakurikuler; dan (3) evaluasi literasi dimonitoring melalui
pengamatan, evaluasi data, dan evaluasi lanjutan melalui test.

Kata Kunci: Budaya Literasi, Pesantren Terpadu, Santri

Abstract

The reading ability of Indonesian people is very high, but the reading power is so
low. For this reason, the quality of Indonesian literacy is declining. PISA results
from 2000 to 2012 place Indonesian literacy below the average international score.
The success of santri is directly proportional to the quality and culture of literacy.
This study aims to measure the culture of santri literacy in Islamic boarding
schools in Aceh. The research method used is a qualitative method with a
descriptive approach. Data sources consist of 5 modern pesantren in Aceh. Two
types of data collection tools are used, namely questionnaires and interviews. Data
analysis uses descriptive qualitative analysis techniques. The results of this study
indicate that the culture of santri literacy in modern pesantren increased from an
initial value of 50 to 83 after the pesantren imposed Minister of Education and
Culture Regulation number 23 of 2015 concerning Growth of Character through
the literacy movement. The improvement was seen through three assessment
indicators, namely (1) planning was arranged in the form of a literacy program in
planning facilities, namely the curriculum; (2) literacy is carried out in two models
of activities, namely (a) incuricular activities including presets, structured
practices, and guided practices and (b) extracurricular activities; and (3) literacy

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 18

evaluation is monitored through observation, data evaluation, and further


evaluation through tests.

Keywords: Literacy Culture, Integrated Islamic Boarding Schools, Santri

PENDAHULUAN
“(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan
Tuhanmu adalah Maha Pemurah (4) Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran qalam (alat tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq)”

Surat Al ‘Alaq di atas menegaskan bahwa betapa pentingnya literasi.


Literasi merupakan keterampilan yang dimiliki seseorang dari hasil
berpikir, berbicara, membaca, dan menulis (Gee, 1990:42). Literasi juga
disebut sebagai kemampuan yang dipakai untuk mengakses, memahami,
dan menggunakan informasi secara cerdas. Oleh karena itu, sebuah upaya
yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan
pesantren sebagai organisasi pendidikan yang warganya literat sepanjang
hayat melalui pelibatan publik merupakan implementasi perintah Allah
Swt. melalui surat Al ‘Alaq.
Implementasi literasi pada pesantren modern di Aceh belum
membudaya secara maksimal. Ini terungkap pada saat peneliti melakukan
survei awal pada beberapa pesantren modern di Aceh. Indikator
keberhasilan literasi yang disurvei meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi Gerakan Literasi Pesantren (GLP) yang diadobsi dari Gerakan
Literasi Sekolah (GLS) pada Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015.
Dari ketiga aspek penilaian inilah, peneliti menyimpulkan bahwa budaya
literasi pada sebagian pesantren di Aceh belum baik.
Fakta membaca masyarakat di Indonesia masih galabah karena
idealnya 1 buku dibaca 10 orang, tetapi di Indonesia 1 buku dibaca oleh 45
orang, bahkan kalah dengan Srilangka, 1 buku dibaca oleh 38 orang dan di
Filipina 1 buku dibaca oleh 30 orang. Sebab itulah, kondisi literasi
masyarakat Indonesia masih memprihatinkan.

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 19

Dinyatakan oleh Taufik Ismail bahwa masyarakat Indonesia masih


rabun membaca dan lumpuh menulis. Data statistik UNESCO 2006
menyebutkan bahwa indeks daya baca di Indonesia baru mencapai 0,001.
Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang baik daya
bacanya. Hasil temuan UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf
orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja, sedangkan Malaysia
sudah 86,4 persen. PISA juga menempatkan posisi membaca Indonesia di
urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti.
Rendahnya tingkat literasi mencerminkan bahwa proses pendidikan
belum mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap
pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan selama ini juga
menunjukkan bahwa lembaga pendidikan belum berfungsi sebagai
organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya sebagai
pembelajar sepanjang hayat.
Mencermati hal ini, pemerintah meluncurkan GLS. Gerakan ini
diatur dalam Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015 yang betujuan
untuk meningkatkan daya membaca masyarakat. Hal mendasar yang
dilakukan GLS adalah pembiasaan literasi melalui kegiatan membaca 15
menit pertama sebelum pembelajaran dimulai. Program GLS ini sangat
penting karena dapat mendorong keingitahuan dan mendongkrak daya
membaca siswa (baca: santri) melalui membaca sehingga tingkat literasi
Indonesia pun ikut meningkat (Ibrahim, 2016).
Kecakapan literasi adalah sebuah modal awal bagi santri untuk
menghadapi tantangan abad XXI. Sudah sangat banyak bukti yang
menguatkan bahwa kecakapan literasi menjadi modal utama dalam
kesuksesan seseorang atau bangsa. Mengambil contoh dari bangsa sendiri.
Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sosrokartono adalah orang-orang yang
memiliki daya kuat dan kehidupannya pun diisi dengan kegiatan literasi.
Eistein juga besar dan terkenal serta fenomenal karena dibesarkan oleh
ibunya melalui literasi. Fisikawan itu dibacakan buku cerita saat masih

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 20

kecil dan sampai besar ia tetap menjadi pembaca buku yang baik sepanjang
hidupnya.
Islam pernah berjaya selama 500 tahun (abad ke-8 s/d ke-13) karena
menempatkan literasi pada poros utama pembangunan. Bahkan, Nabi
Muhammad Saw. pun akan membebaskan tawanan Perang Badar apabila
mereka dapat mengajarkan literasi kepada umat Islam. Nabi menganggap
literasi adalah modal awal untuk kebangkitan Islam. Jepang, Arab, dan
negara-negara di Eropa maju karena intensitas membacanya sudah cukup
tinggi. Di Jepang, 40 buku dibaca oleh pekerja biasa setiap tahunnya; di
Arab, sepersepuluh dari jumlah halaman buku dibaca dalam kurun waktu
setahun; dan di Eropa, minimal 10 buku dibaca oleh masyarakat Eropa
dalam jangka waktu setahun.
Didasari pada fakta, masalah, dan harapan yang telah diuraikan di
atas, maka peneliti akan fokus mengkaji tentang budaya literasi santri pada
pesantren modern di Aceh. Tujuan kajian ini adalah untuk menakar dan
mendeskripsikan budaya literasi pada pesantren modern di Aceh sehingga
tergambar dengan jelas program literasi yang telah diterapkan oleh
beberapa pesantren modern di Aceh dan menjadi pedoman bagi pesantren
dan lembaga pendidikan lain untuk implementasi literasi.

1. Konsep Literasi
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa Latin, yaitu
littera yang bermakna huruf (letter) dan diturunkan dari akar kata literatus
yang bermakna memiliki pengetahuan tentang huruf dan dapat dimaknai
pula sebagai berpendidikan (educated) atau terpelajar (learned) (Sange,
2010:210). Literasi erat kaitannya dengan pendidikan dan pengetahuan
yang berkembang dalam pemahaman keaksaraan dengan empat
keterampilan bahasa.
Lebih spresifik, literasi lebih mengarah pada keterampilan membaca
dan menulis(Fransman, 2006:24). Literasi mengacu pada aspek membaca
dan menulis (Fransman, 2006:23). Dengan demikian, literasi fokus pada

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 21

membaca dan menulis, sedangkan menyimak dan berbicara adalah bagian


dari kegiatan orasi. Dari pendapat-pendapat di atas, literasi adalah
kemampuan membaca dan menulis untuk melahirkan suatu produk
berupa tulisan yang dihasilkan oleh literat, sedangkan orasi seperangkat
kegiatan untuk melahirkan produk berupa hasil lisan yang dihasilkan oleh
orator.
Literasi berfungsi sebagai sumber informasi. Literasi menjadi alat
untuk mempermudah individu belajar secara mandiri. Literasi berfungsi
untuk (1) menentukan informasi yang akurat dan lengkap yang akan
menjadi dasar dalam membuat keputusan; (2) menentukan batasan
informasi yang dibutuhkan; (3) memformulasikan kebutuhan informasi; (4)
mengidentifikasi sumber informasi potensial; (5) mengembangkan strategi
penelusuran yang sukses; (6) mengakses informasi yang dibutuhkan secara
efektif dan efisien; (7) mengevaluasi informasi; (8) mengorganisasikan
informasi; (9) menggabungkan informasi yang dipilih menjadi dasar
pengetahuan seseorang; dan (10) menggunakan informasi secara efektif
untuk mencapai tujuan tertentu (Wijetunge, 2016:31-41). Di samping itu,
Deklarasi Praha mencanangkan pentingnya literasi, yaitu kemampuan
untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola
informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan
kehidupan pribadi dan sosialnya (UNESCO, 2006:4).
Literasi memiliki manfaat yang dapat diimplementasikan individu
dalam berbagai keperluan, kegiatan, atau urusan. Tiga manfaat literasi,
yaitu landasan pengambilan keputusan, meningkatkan daya saing, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan (Adam, 2009). Di samping itu, literasi
juga bermanfaat bagi siswa atau santri, yaitu untuk membantu proses
belajar supaya tidak bergantung kepada guru karena mereka dapat belajar
mandiri. Selain itu, literasi bagi santri dapat mengembangkan ilmunya
dengan memperkaya konsep-konsep baru yang diperoleh melalui
keterampilan literasinya.

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 22

Literasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah keterampilan yang


tidak sebatas mendeskripsikan seperangkat keterampilan melalui
membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara, tetapi sebuah
keterampilan untuk mengakses, memahami, dan menggunakan informasi
secara cerdas sehingga menghasilkan produk literasi.

2. Minat Baca
Pengaruh-pengaruh dari luar, tuntutan kebutuhan pembaca, adanya
persaingan antarsesama, tersedianya waktu dan sarana yang diperlukan
merupakan beberapa faktor-faktor yang dipersiapkan untuk
menumbuhkan minat membaca (Santoso, 2013:14). Meningkatnya minat
membaca akan meningkat pula tingkat literasi. Dawson dan Rahman
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca
meliputi (1) dapat memenuhi kebutuhan dasar lewat bahan bacaan; (2)
memperoleh manfaat dan kepuasan dari kegiatan membaca; (3)
tersedianya sarana buku bacaan di rumah maupun di sekolah; (4) jumlah
dan ragam bacaan yang disenangi; (5) tersedianya sarana perpustakaan
yang lengkap dan kemudahan proses pinjam; (6) adanya program khusus
kurikuler yang memberi kesempatan murid membaca secara periodik; dan
(7) saran-saran teman sekelas, sikap guru dalam mengelola kegiatan belajar
mengajar, dan perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, minat baca setiap
individu tidak akan timbul otomatis, tetapi perlu ada upaya-upaya atau
dorongan eksternal.

3. Budaya Literasi
Penumbuhan budaya literasi merupakan usaha yang dilakukan
untuk mempengaruhi, menumbuhkan, mengembangkan minat baca
seseorang. Oleh karena itu, pegembangan budaya literasi sangat
bergantung pada usaha pesantren dalam meningkatkan minat baca santri.
Bahwa literasi adalah sebuah proses memprediksi, menginformasi,
dan mengintergrasikan informasi melalui 4 keterampilan berbahasa

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 23

(Linton & Hubble, 2016:107). Pembelajaran berbasis literasi adalah


pembelajaran yang melibatkan 4 keterampilan berbahasa itu untuk menjadi
seorang literat. Santri dibiasakan dengan membaca dari berbagai sumber
informasi dan mengakses berbagai informasi penting dari media (White,
1985:16). Selain itu, santri diarahkan untuk mengikuti perkembangan
peradaban yang sedang terjadi secara faktual. Oleh karena itu, dalam
mengembangkan budaya literasi pada pesantren perlu menyiapkan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang mengarah pada literasi.
Budaya literasi pada pesantren dapat dibangun melalui beberapa
hal-hal berikut, yaitu (1) mengarahkan aktivitas santri yang berbasis
literasi; (2) memilih dan menyiapkan bahan pembelajaran yang berbasis
literasi; (3) memerika hasil kerja literasi santri; (4) mengarahkan sistem
berkomunikasi keilmuan yang berbasis literasi; dan (5) mengintegrasikan
program literasi, kurikulum nasional, dan visi misi pesantren.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk menumbuhkan budaya
literasi pada pesantren ada 2, yaitu pendekatan langsung (directcontact) dan
pendekatan tidak langsung (indirectcontact) (Sutrianto, 2016:114).
Pendekatan budaya literasi ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian
pelaksanaan program dengan rencana yang telah ditetapkan dan untuk
mengidentifikasi penyimpangan masalah atau hambatan yang
membutuhkan perbaikan sehingga dapat ditemukan solusi terhadap
masalah literasi (Sudjana, 2004:230).

4. Gerakan Literasi Pesantren


Gerakan Literasi Pesantren (GLP) merupakan istilah yang diadobsi
dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Tujuannya untuk penumbuhan budi
pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan
tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum
waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan
minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 24

pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai
budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan
sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Gerakan ini melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan agama maupun umum, mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan pada pesantren modern dan
tradisional. Di samping itu, orang tua dan santri serta masyarakat juga
menjadi komponen penting dalam GLP.
GLP ini tidak terlepas dari tugas dan fungsi pendidikan, yaitu
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia;
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa
Asia lainnya; melakukan revolusi karakter bangsa; dan memperteguh
kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia (Sutrianto, 2016:1).
Literasi sangat penting bagi santri karena keterampilan literasi akan
berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dan kehidupannya. Literasi
yang baik dapat membantu santri dalam memahami bahasa lisan maupun
tulisan. Selain itu, literasi juga dapat mengasah berpikir kritis santri. Oleh
karena itu, tingkat literasi santri akan menentukan posisinya di masa yang
akan datang.
Empat keterampilan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat
dalam literasi. Keterampilan matematika, sains, dan IT juga mempunyai
korelasi dengan keterampilan bahasa. Itu semua seperti siklus yang saling
membutuhkan dan mendukung supaya dapat mencapai satu titik
penyelesaian masalah. Sebab itulah, GLP dikemas untuk mencapai visi
pendidikan nasional, yaitu meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan; untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian
yang bermoral; dan untuk meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan, ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan
standar nasional dan global.

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 25

5. Peran Perpustakaan Pesantren


Perpustakaan pesantren memiliki kontribusi yang sangat berharga
dalam upaya meningkatkan aktivitas santri dalam proses belajar serta
dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran. Melalui
perpustakaan ini, santri dapat mendidik diri sendiri secara
berkesinambungan dan dibelajarkan untuk menggali ilmu pengetahuan
secara mandiri. Tugas lembaga pendidikan adalah memberikan kepada
peserta didik keterampilan belajar tentang cara ia bisa belajar dan dapat
membaca dengan baik (Santoso, 2015:12).
Perpustakaan pesantren merupakan faktor penentu keberhasilan
program pendidikan dan pengajaran karena informasi dan ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan belajar di perpustakaan
dapat berfungsi sebagai “gizi intelektual“ bagi seluruh santri. Ralph dan
Wagner sebagaimana dikutip Mbulu mengemukakan bahwa perpustakaan
merupakan tempat penyimpanan ilmu pengetahuan, laboratorium
mengajar, jantung program pendidikan, tempat penelitian, dan sarana
rekreasi (Santoso, 2015:16). Perpustakaan merupakan monumen hidup
yang sungguh-sungguh berarti bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan
bangsa dari masa ke masa. Perpustakaan menjadi dapur ilmu pengetahuan
dan sarana hiburan.
Perpustakaan secara tidak sadar membantu para pendidik untuk
mengubah pola pikir peserta didik yang statis menjadi dinamis. Hal ini
terlihat cara berpikir, bersikap, dan berkomunikasi setelah mereka
membaca buku di perpustakaan. Dengan membaca buku, mereka akan
bertambah wawasan dengan sendirinya dan hal paling penting dari
kegiatan membaca dapat melatih peserta didik menjadi kritis.
Secara implisit, peran perpustakaan pesantren dalam
meningkatkan budaya literasi sangat besar. Santri dapat melatih dirinya
sendiri dengan memanfaatkan waktu luang ataupun pada saat istirahat.
Santri juga dapat mendorong dan memotivasi dirinya untuk mencintai

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 26

buku, sehingga merangsang daya intelektualnya. Santri dapat belajar


mandiri. Artinya, tanpa ada guru siswa bisa belajar sendiri dengan
membaca buku di perpustakaan karena perpustakaan merupakan media
pedagogis untuk meningkatkan kemampuan membaca. Sebab itulah,
upaya membudayakan pesantren menjadi lingkungan yang berbasis
literasi dapat di lakukan dengan memaksimalkan peran perpustakaan
pesantren.

6. Indikator Ketercapaian Literasi


Indikator ketercapaian literasi dilihat dari perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Salah satu bentuk kegiatan yang
menggambarkan ketercapaian literasi (1) tahap perencanaan, yaitu
terencananya program literasi dalam kurikulum; (2) tahap pelaksanaan,
yaitu terlaksananya program literasi yang telah direncanakan; dan (3) tahap
evaluasi, yaitu dievaluasi program-program literasi yang telah
direncanakan dan dilaksanakan.
Di samping indikator ketercapaian literasi di atas, ada indikator
pendukung literasi yang diadopsi dari pendapat Sutrianto meliputi (1) ada
kegiatan 15 menit membaca (membaca dalam hati, membacakan nyaring)
yang dilakukan setiap hari (di awal, tengah, atau menjelang akhir
pelajaran); (2) kegiatan 15 menit membaca telah berjalan selama minimal 1
semester; (3) peserta didik memiliki jurnal membaca harian; (4) guru,
kepala sekolah, dan/atau tenaga kependidikan menjadi model dalam
kegiatan 15 menit membaca dengan ikut membaca selama kegiatan
berlangsung; (5) ada perpustakaan, sudut baca di tiap kelas, dan area baca
yang nyaman dengan koleksi buku nonpelajaran; (6) ada poster-poster
kampanye membaca di kelas, koridor, dan/atau area lain di pesantren; (7)
ada bahan kaya teks yang terpampang di tiap kelas; (8) lingkungan yang
bersih, sehat dan kaya teks; (9) terdapat poster-poster tentang pembiasaan
hidup bersih, sehat, dan indah; (10) pesantren berupaya melibatkan publik
(orang tua, alumni, dan elemen masyarakat) untuk mengembangkan

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 27

kegiatan literasi; dan (11) pimpinan dan jajarannya berkomitmen


melaksanakan dan mendukung gerakan literasi pesantren.
Ketegori nilai yang digunakan dalam menentukan ketercapaian
budaya literasi santri pada pesantren modern di Aceh menggunakan
klasifikasi nilai yang dikeluarkan oleh Depdiknas, yaitu skor 85-100
kategori sangat baik, skor 69 – 84 kategori baik, skor 53 – 68 kategori
sedang, 37 – 52 kategori rendah, dan ≤ 21 – 36 kategori sangat rendah
(Depdiknas, 2006).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Sumber data terdiri dari 5 pesantren modern di
Aceh meliputi (1) Pesantren Modern Jeumala Amal di Pidie; (2) Pesantren
Modern Al-Muslimun di Aceh Utara; (3) Pesantren Modern Misbahul
Ulum di Kota Lhokseumawe; (4) Pesantren Modern Ruhul Islam Anak
Bangsa (RIAB) di Aceh Besar; dan (5) Pesantren Modern Mudi Mesra di
Bireuen. Penentuan sampel menggunakan purposive sampling. Jenis alat
pengumpulan data yang digunakan, yaitu angket berjenis skala likert dan
wawancara serta dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis
kualitatif deskriptif.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) hasil penelitian
yang diteliti pada Juni 2014 atau sebelum Peraturan Kemendikbud nomor
23 tahun 2015 dikeluarkan dan (2) hasil penelitian yang diteliti pada Maret
2018 atau setelah Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015
diluncurkan dan sudah diimplementasikan pada (a) Pesantren Modern
Jeumala Amal di Pidie; (b) Pesantren Modern Al-Muslimun di Aceh Utara;
(c) Pesantren Modern Misbahul Ulum di Kota Lhokseumawe; (d) Pesantren
Modern Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) di Aceh Besar; dan (e) Pesantren
Modern Mudi Mesra di Bireuen.
Sebelum Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015 dikeluarkan,
nilai budaya literasi santri pada 5 pesantren modern yang telah disebutkan
di atas masih rendah atau belum baik. Kategori ini diperoleh dari hasil

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 28

penilaian melalui angket, wawancara, dan dokumentasi. Komponen yang


dinilai dalam 3 jenis alat pengumpulan data itu meliputi (1) perencanaan
program literasi yang terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran, baik
inkurikuler maupun ekstrakurikuler; (2) pelaksanaan literasi yang
dilaksanakan melalui program literasi; dan (3) evaluasi program literasi
yang telah direncanakan dan dilaksanakan. Setelah data dianalisis, maka
perolehan nilai budaya literasi santri pada 5 pesantren modern tersebut
adalah 50 dengan kategori rendah. Perhatian rincian pada bagan berikut!

Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Rendah


( Nilai 18 ) ( Nilai 23 ) ( Nilai 9 ) ( Nilai 50 )

Peningkatan budaya literasi santri dari rendah menjadi baik


dilakukan beberapa upaya untuk memaksimalkan komponen-komponen
literasi dan juga menambah unsur pendukung literasi meliputi kegiatan
pembiasaan membaca, menambah bahan bacaan, membuat jurnal harian
santri, mengikutsertakan peran wali santri, menempel poster-poster literasi
di setiap sisi pesantren, menambah koleksi buku fiksi dan nonfiksi melalui
kegiatan sumbang buku, dan menerapkan Peraturan Kemendikbud nomor
23 tahun 2015.
Setelah penerapan Permendikbud tersebut dan melakukan beberapa
upaya peningkatan budaya literasi yang telah disebutkan di atas, tahun
Maret 2018, penelitian kedua dilakukan pada 5 pesantren modern tersebut.
Indikator penilaian masih mengacu pada indikator ketercapaian literasi,
yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evalusi. Dari indikator penilaian ini,
skor budaya literasi meningkat dari 50 dengan kategori rendah menjadi 83
dengan kategori baik. Dengan kata lain, terjadi peningkatan budaya literasi
santri setelah pemerintah mengeluarkan permendikbud nomor 23 tahun
2015. Perhatikan rincian pada bagan berikut ini!

Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Baik


( Nilai 25 ) ( Nilai 44 ) ( Nilai 14 ) ( Nilai 83 )

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 29

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan literasi pada


tahap perencanaan terjadi peningkatan karena pesantren menyusun (1)
program unggulan literasi dan (2) menjadikan kurikulum sebagai sarana
literasi. Hal ini senada dengan pendapat Wiedarti, yaitu program dan
sarana perencanaan merupakan unsur yang paling penting dalam
membudayakan literasi.
Program perencanaan literasi disusun dalam bentuk program-
program literasi meliputi program meringkas buku, program literasi setiap
Sabtu, program membaca 20 menit sebelum pembelajaran, program reading
camp, program membaca Al Quran, program tantangan membaca, program
sumbang buku, program membuat perpustakaan kelas, program book
worm, program minimoli (mini moving lybrary), program presentasi buku,
program sosialisasi literasi, program pelatihan literasi untuk guru, dan
program menyamakan persepsi literasi antarguru bidang studi. Beberapa
program inkurikuler dimasukkan dalam kurikulum karena mengingat
kurikulum adalah sarana dari perencanaan literasi.
Literasi dibudayakan melalui kegiatan-kegiatan penting sepanjang
tahun pelajaran. Kegiatan ini direalisasikan dalam bentuk festival buku,
lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.
Pimpinan dan pengurus pesantren juga ikut berperan aktif dalam
menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif
antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat
terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan
GLP pun dilibatkan untuk memperkuat komitmen pesantren dalam
pengembangan budaya literasi.
Pelaksanaan literasi melalui kegiatan inkurikuler dan
ekstrakurikuler juga menjadi faktor peningkatan literasi santri pada 5
pesantren modern tersebut. Implementasi literasi dapat dilaksanakan
melalui (1) kegiatan ekstrakurikuler dan (2) kegiatan inkurikuler yang
terbagi 3 jenis meliputi (a) presentasi merupakan kegiatan untuk memberi
pemahaman dan motivasi tentang literasi; (b) praktik terstruktur adalah

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 30

kegiatan menerapkan, mengabstraksi, dan menyampaikan, serta


menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan literasi; dan (c) praktik
terbimbing ialah kegiatan yang dibimbing. Adapun uraian kegiatannya
adalah sebagai berikut.
(1) Kegiatan-kegiatan literasi yang dilaksanakan pada
ekstrakurikuler meliputi bedah teks, diskusi dan tour to library,
pemberian penghargaan setiap akhir semester, membuat pojok
atau sudut baca, membuat Mading (majalah dinding),
menentukan hari literasi, memilih duta literasi, dan membuat
pelombaan resensi buku, membaca cepat, dan baca-tulis puisi
dan cerita pendek.
(2) Kegiatan-kegiatan literasi yang dilaksanakan pada inkurikuler
meliputi (a) presentasi, yaitu memberikan pemahaman kepada
siswa tentang literasi, membuka wawasan siswa tentang manfaat
literasi melalui reading club dan book fair, menampilkan video-
video motivasi tentang literasi, dan menceritakan tokoh-tokoh
hebat karena literasi; (b) praktik terstruktur, yaitu menerapkan
kegiatan membaca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai,
membuat book report, memaparkan hal-hal yang menarik dari
buku yang telat dibaca, menyampaikan pendapat dalam forum
pembelajaran, membaca buku sastra, membaca referensi terkait
materi/topik, mengabstraksi hasil bacaan, menulis resensi buku
sebanyak 1 buku 1 bulan, dan memproduksi teks narasi,
eksposisi, prosedur kompleks, negosiasi, dan eksplanasi; dan (c)
praktik terbimbing, yaitu melatih siswa membaca cepat, menulis,
dan debat bahasa (Indonesia, Arab, dan English).
Sederet kegiatan literasi yang telah dilaksanakan di atas, evaluasi
keberhasilannya dilakukan melalui (a) pengamatan terhadap lingkungan,
seperti perpustakaan pojok kelas, membaca 15 sebelum pembelajaran, dan
kegiatan-kegiatan harian lainnya; (b) evaluasi data pengunjung
perpustakaan, jumlah buku peminjaman buku, jumlah buku yang telah

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 31

dibaca dan diresensi oleh siswa, hasil menulis siswa yang dirilis oleh guru
Bahasa Indonesia, dan mendata produk pembelajaran yang dihasilkan
pada setiap bidang studi; dan (c) evaluasi melalui tes pada Ujian Tengah
Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).
Kegiatan literasi telah memberi perubahan yang signifikan terhadap
budaya literasi pada 5 pesantren modern yang diteliti pada kajian ini. Guru
menyampaikan bahwa sebelum budaya literasi ini dilaksanakan, santri
hanya menjadi pendengar yang budiman, tetapi setelah program GLP
digalakkan, proses komunikasi guru dan santri lebih komunikatif. Hal ini
karena santri telah diwajibkan mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber untuk mendukung proses pembelajaran. Di samping itu, guru juga
merasakan respon dan rasa ingin tahu santri semakin meningkat.
Peningkatan itu terlihat dari sumber-sumber yang diakses santri untuk
menyusun makalah dan jurnal mini semakin bervariasi. Deretan daftar
pustaka yang digunakan sudah beragam, seperti buku, jurnal ilmiah, dan
proseding.
Literasi dibudayakan melalui kegiatan-kegiatan penting sepanjang
tahun pelajaran. Kegiatan ini direalisasikan dalam bentuk festival buku,
lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.
Pimpinan dan pengurus pesantren juga ikut berperan aktif dalam
menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif
antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat
terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan
GLP pun dilibatkan untuk memperkuat komitmen pesantren dalam
pengembangan budaya literasi.

KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa budaya literasi santri pada (a) Pesantren
Modern Jeumala Amal di Pidie; (b) Pesantren Modern Al-Muslimun di
Aceh Utara; (c) Pesantren Modern Misbahul Ulum di Kota Lhokseumawe;
(d) Pesantren Modern Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) di Aceh Besar; dan
(e) Pesantren Modern Mudi Mesra di Bireuen meningkat dari nilai awal 50

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 32

menjadi 83 setelah pesantren tersebut memberlakukan Peraturan Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti melalui gerakan literasi. Peningkatan itu dilihat melalui tiga
indikator penilaian, yaitu (1) perencanaan disusun dalam bentuk program
literasi dalam sarana perencanaan, yaitu kurikulum; (2) pelaksanaan
literasi dilaksanakan dalam dua model kegiatan, yaitu (a) kegiatan
inkurikuler meliputi presetasi, praktik terstruktur, dan praktik terbimbing
dan (b) kegiatan ekstrakurikuler; dan (3) evaluasi literasi dimonitoring
melalui pengamatan, evaluasi data, dan evaluasi lanjutan melalui test.

DAFTAR PUSTAKA

Adam. Literasi Informasi. http://perpus.umy.ac.id/2009/02/19/literasi-


informasi/, 2009 (Diakses 10 Desember 2015).

Depdiknas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas,


2006.

Fransman, J. Understanding literacy. Background paper for EFA: Global


Monitoring Report, 2006.

Gee, James. Social Linguistics and Literacies: Ideology in Discourse.


London: Falmer Press, 1990.

Ibrahim, Gufran Ali. 2016. “Gerakan Literasi Bangsa untuk Membentuk


Budaya Literasi”. Badan Bahasa
kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/1891, 2016 (diakses 2
September 2016).

Iqbal, M. 2017. Existence of Acehnese Expression in Culture Indonesia


Speech Community, Jurnal Applied of Applied Studies in Language,1(1),
83-93, DOI:http://dx.doi.org/10.31940/jasl.v1i1.679.

Joyce, Bruce. Models of Teaching: Advance Organizer. New Jersey: Pearson


education Inc. 247-261, 2009.

Lipton & Hubble. Sekolah Literasi Perencanaan & Pembinaan. Bandung:


Nuansa, 2016.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh


Vol 1 Nomor 01 (2020): Ibrah Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 33

Resmini, Novi. Orasi dan Literasi dalam Pengajaran. Jurnal. Universitas


Pendidikan Indonesia, 2013.

Santoso, Hari. 2005. “Teknik dan Strategi dalam Membangun Minat Baca.”
http://digilib.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfhasan/p
df, 2005 (diakses 12 Juni 2015)

Senge, Peter, et al. School That Learn: A Fith Discipline Field Book for
Educators, Parents, and Everyone Who Cares About
Education. London: Nicholas Brealey Publishing, 2000.

Sudjana, Nana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung :Sinar. Baru


Algensido Offset, 2004.

Sutrianto, dkk. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah


Atas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.

UNESCO. Education for All: Literacy for Life. Paris: UNESCO, 2003.

UNESCO. Understandings of Literacy. In Education for All Monitoring


Report, 2006.

White, R. T, Learning Science. Oxford: Basil Blacwell Ltd, 1985.

Wiedarti, Pangesti dkk. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah.


Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.

Wijetunge. Pradeepa. Empowering 8: the Information Literacy Model


Developed in SriLanka to Underpin Changing Education
Paradigms of Sri Lanka. Srilanka Journal Of Librarianship. Vol.1(1).
Hal.31-41.
http://www.cmb.ac.lk/academic/institutes/nilis.org/reports/Inf
ormationLiteracy.pdf. (Diakses 29 November 2015)

Meningkatkan Budaya Literasi Santri pada Pesantren Terpadu di Aceh

Anda mungkin juga menyukai