Abstrak
Abstract
The reading ability of Indonesian people is very high, but the reading power is so
low. For this reason, the quality of Indonesian literacy is declining. PISA results
from 2000 to 2012 place Indonesian literacy below the average international score.
The success of santri is directly proportional to the quality and culture of literacy.
This study aims to measure the culture of santri literacy in Islamic boarding
schools in Aceh. The research method used is a qualitative method with a
descriptive approach. Data sources consist of 5 modern pesantren in Aceh. Two
types of data collection tools are used, namely questionnaires and interviews. Data
analysis uses descriptive qualitative analysis techniques. The results of this study
indicate that the culture of santri literacy in modern pesantren increased from an
initial value of 50 to 83 after the pesantren imposed Minister of Education and
Culture Regulation number 23 of 2015 concerning Growth of Character through
the literacy movement. The improvement was seen through three assessment
indicators, namely (1) planning was arranged in the form of a literacy program in
planning facilities, namely the curriculum; (2) literacy is carried out in two models
of activities, namely (a) incuricular activities including presets, structured
practices, and guided practices and (b) extracurricular activities; and (3) literacy
PENDAHULUAN
“(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan
Tuhanmu adalah Maha Pemurah (4) Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran qalam (alat tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq)”
kecil dan sampai besar ia tetap menjadi pembaca buku yang baik sepanjang
hidupnya.
Islam pernah berjaya selama 500 tahun (abad ke-8 s/d ke-13) karena
menempatkan literasi pada poros utama pembangunan. Bahkan, Nabi
Muhammad Saw. pun akan membebaskan tawanan Perang Badar apabila
mereka dapat mengajarkan literasi kepada umat Islam. Nabi menganggap
literasi adalah modal awal untuk kebangkitan Islam. Jepang, Arab, dan
negara-negara di Eropa maju karena intensitas membacanya sudah cukup
tinggi. Di Jepang, 40 buku dibaca oleh pekerja biasa setiap tahunnya; di
Arab, sepersepuluh dari jumlah halaman buku dibaca dalam kurun waktu
setahun; dan di Eropa, minimal 10 buku dibaca oleh masyarakat Eropa
dalam jangka waktu setahun.
Didasari pada fakta, masalah, dan harapan yang telah diuraikan di
atas, maka peneliti akan fokus mengkaji tentang budaya literasi santri pada
pesantren modern di Aceh. Tujuan kajian ini adalah untuk menakar dan
mendeskripsikan budaya literasi pada pesantren modern di Aceh sehingga
tergambar dengan jelas program literasi yang telah diterapkan oleh
beberapa pesantren modern di Aceh dan menjadi pedoman bagi pesantren
dan lembaga pendidikan lain untuk implementasi literasi.
1. Konsep Literasi
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa Latin, yaitu
littera yang bermakna huruf (letter) dan diturunkan dari akar kata literatus
yang bermakna memiliki pengetahuan tentang huruf dan dapat dimaknai
pula sebagai berpendidikan (educated) atau terpelajar (learned) (Sange,
2010:210). Literasi erat kaitannya dengan pendidikan dan pengetahuan
yang berkembang dalam pemahaman keaksaraan dengan empat
keterampilan bahasa.
Lebih spresifik, literasi lebih mengarah pada keterampilan membaca
dan menulis(Fransman, 2006:24). Literasi mengacu pada aspek membaca
dan menulis (Fransman, 2006:23). Dengan demikian, literasi fokus pada
2. Minat Baca
Pengaruh-pengaruh dari luar, tuntutan kebutuhan pembaca, adanya
persaingan antarsesama, tersedianya waktu dan sarana yang diperlukan
merupakan beberapa faktor-faktor yang dipersiapkan untuk
menumbuhkan minat membaca (Santoso, 2013:14). Meningkatnya minat
membaca akan meningkat pula tingkat literasi. Dawson dan Rahman
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi minat baca
meliputi (1) dapat memenuhi kebutuhan dasar lewat bahan bacaan; (2)
memperoleh manfaat dan kepuasan dari kegiatan membaca; (3)
tersedianya sarana buku bacaan di rumah maupun di sekolah; (4) jumlah
dan ragam bacaan yang disenangi; (5) tersedianya sarana perpustakaan
yang lengkap dan kemudahan proses pinjam; (6) adanya program khusus
kurikuler yang memberi kesempatan murid membaca secara periodik; dan
(7) saran-saran teman sekelas, sikap guru dalam mengelola kegiatan belajar
mengajar, dan perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, minat baca setiap
individu tidak akan timbul otomatis, tetapi perlu ada upaya-upaya atau
dorongan eksternal.
3. Budaya Literasi
Penumbuhan budaya literasi merupakan usaha yang dilakukan
untuk mempengaruhi, menumbuhkan, mengembangkan minat baca
seseorang. Oleh karena itu, pegembangan budaya literasi sangat
bergantung pada usaha pesantren dalam meningkatkan minat baca santri.
Bahwa literasi adalah sebuah proses memprediksi, menginformasi,
dan mengintergrasikan informasi melalui 4 keterampilan berbahasa
pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai
budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan
sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Gerakan ini melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan agama maupun umum, mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan pada pesantren modern dan
tradisional. Di samping itu, orang tua dan santri serta masyarakat juga
menjadi komponen penting dalam GLP.
GLP ini tidak terlepas dari tugas dan fungsi pendidikan, yaitu
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia;
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa
Asia lainnya; melakukan revolusi karakter bangsa; dan memperteguh
kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia (Sutrianto, 2016:1).
Literasi sangat penting bagi santri karena keterampilan literasi akan
berpengaruh terhadap keberhasilan belajar dan kehidupannya. Literasi
yang baik dapat membantu santri dalam memahami bahasa lisan maupun
tulisan. Selain itu, literasi juga dapat mengasah berpikir kritis santri. Oleh
karena itu, tingkat literasi santri akan menentukan posisinya di masa yang
akan datang.
Empat keterampilan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat
dalam literasi. Keterampilan matematika, sains, dan IT juga mempunyai
korelasi dengan keterampilan bahasa. Itu semua seperti siklus yang saling
membutuhkan dan mendukung supaya dapat mencapai satu titik
penyelesaian masalah. Sebab itulah, GLP dikemas untuk mencapai visi
pendidikan nasional, yaitu meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan; untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian
yang bermoral; dan untuk meningkatkan keprofesionalan dan
akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan, ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan
standar nasional dan global.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) hasil penelitian
yang diteliti pada Juni 2014 atau sebelum Peraturan Kemendikbud nomor
23 tahun 2015 dikeluarkan dan (2) hasil penelitian yang diteliti pada Maret
2018 atau setelah Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015
diluncurkan dan sudah diimplementasikan pada (a) Pesantren Modern
Jeumala Amal di Pidie; (b) Pesantren Modern Al-Muslimun di Aceh Utara;
(c) Pesantren Modern Misbahul Ulum di Kota Lhokseumawe; (d) Pesantren
Modern Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) di Aceh Besar; dan (e) Pesantren
Modern Mudi Mesra di Bireuen.
Sebelum Peraturan Kemendikbud nomor 23 tahun 2015 dikeluarkan,
nilai budaya literasi santri pada 5 pesantren modern yang telah disebutkan
di atas masih rendah atau belum baik. Kategori ini diperoleh dari hasil
dibaca dan diresensi oleh siswa, hasil menulis siswa yang dirilis oleh guru
Bahasa Indonesia, dan mendata produk pembelajaran yang dihasilkan
pada setiap bidang studi; dan (c) evaluasi melalui tes pada Ujian Tengah
Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).
Kegiatan literasi telah memberi perubahan yang signifikan terhadap
budaya literasi pada 5 pesantren modern yang diteliti pada kajian ini. Guru
menyampaikan bahwa sebelum budaya literasi ini dilaksanakan, santri
hanya menjadi pendengar yang budiman, tetapi setelah program GLP
digalakkan, proses komunikasi guru dan santri lebih komunikatif. Hal ini
karena santri telah diwajibkan mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber untuk mendukung proses pembelajaran. Di samping itu, guru juga
merasakan respon dan rasa ingin tahu santri semakin meningkat.
Peningkatan itu terlihat dari sumber-sumber yang diakses santri untuk
menyusun makalah dan jurnal mini semakin bervariasi. Deretan daftar
pustaka yang digunakan sudah beragam, seperti buku, jurnal ilmiah, dan
proseding.
Literasi dibudayakan melalui kegiatan-kegiatan penting sepanjang
tahun pelajaran. Kegiatan ini direalisasikan dalam bentuk festival buku,
lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.
Pimpinan dan pengurus pesantren juga ikut berperan aktif dalam
menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif
antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat
terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan
GLP pun dilibatkan untuk memperkuat komitmen pesantren dalam
pengembangan budaya literasi.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa budaya literasi santri pada (a) Pesantren
Modern Jeumala Amal di Pidie; (b) Pesantren Modern Al-Muslimun di
Aceh Utara; (c) Pesantren Modern Misbahul Ulum di Kota Lhokseumawe;
(d) Pesantren Modern Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) di Aceh Besar; dan
(e) Pesantren Modern Mudi Mesra di Bireuen meningkat dari nilai awal 50
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Hari. 2005. “Teknik dan Strategi dalam Membangun Minat Baca.”
http://digilib.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfhasan/p
df, 2005 (diakses 12 Juni 2015)
Senge, Peter, et al. School That Learn: A Fith Discipline Field Book for
Educators, Parents, and Everyone Who Cares About
Education. London: Nicholas Brealey Publishing, 2000.
UNESCO. Education for All: Literacy for Life. Paris: UNESCO, 2003.