Anda di halaman 1dari 2

Kiriman Setya Rini

Penyuluh KB Kab Pekalongan


Ig: mami_mikita

LOYO

Mitos mengenai penggunaan alat kontrasepsi modern dalam Program Keluarga


Berencana, masih sering ditemui di masyarakat. Jadi bahan gunjingan ala warung kopi,
ngerumpi emak-emak di warung, atau even kampung lain yang seru-seru.
---0--
Di kecamatan tempat saya bekerja, capaian
kesertaan penggunaan alat kontrasepsi masih
didominasi oleh wanita, dan memang rata-rata terjadi
juga di kecamatan lain. Salah satu alasannya:
terbatasnya pilihan terhadap jenis alat kontrasepsi.
Alat kontrasepsi bagi pria hanya ada 2 jenis yaitu
MOP (Medis Operasi Pria/vasektomi) dan Kondom.
Sementara untuk wanita, tersedia berbagai jenis,
mulai pil, suntikan, implan, IUD dan MOW (Medis
Operasi Wanita, tubektomi).
Suatu ketika, saya melakukan kunjungan ke desa
bersama kader setempat. Tujuannya sebagaimana
biasa: konseling calon akseptor.
Kami berjalan menuju gang kecil di suatu desa yang
selalu terendam air rob. Begitulah kondisi beberapa
desa yang berada di wilayah pantura. Tujuan kami
adalah kerumah Ibu “M”. Menurut laporan kader, Ibu
“M” yang sudah memiliki 5 orang anak, tidak diijinkan
ikut Program KB oleh suaminya yang bekerja
sebagai buruh bangunan. Kami datang ketika hari
jumat sehingga sang Suami berada di rumah.
Sebagaimana kebiasaan wilayah Pantura, jumat
merupakan hari pendek yang berhubungan dengan
ritual ibadah bagi yang beragama Islam.
Obrolan kami dimulai dengan motivasi KB MOW
kepada Ibu “M”. Menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan pelayanan KB
MOW. Namun beliau masih enggan memberi keputusan, dengan alasan efek istirahat
total pasca tindakan medis pelayanan MOW. Beliau bingung karena masih memiliki bayi
yang baru berusia 3 bulan.
Tetiba Sang Suami mendatangi kami, Bu Kader
langsung nyeletuk. “…. La iki bapakke bae seng
kon KB.., ayo Pak melu KB lanang..”. (Lha
bapaknya ini saja yang ber KB, ayo Pak, ikut KB
Pria). Si Suami menjawab “…. Ah, mengko
barangku ora biso tangi” (Ah, nanti barang saya
(Mr P, red) tidak bisa bangun). Sambil tertawa.
Mendengar hal itu saya sebagai Penyuluh KB
kemudian menjelaskan secara rinci, bahwa MOP
alias vasektomi sama sekali tidak membuat loyo.
Namun si Suami masih tetap tidak percaya.
Bu Kader menimpali “… kae lo pak, jajal takon
Pak “S”, dekne ki wes MOP lo, nyatane ijek seger
buger” (Itu lho Pak, coba tanya Pak S, yang sudah
MOP, faktanya masih segar bugar). “Dan nanti dapat uang pendampinngan 1 juta lo Pak”,
saya pun menambahi.
Sang suami pun berpikir sambil berbisik dengan si istri. Kemudian berkata “Yowes mbak,
aku gelem, tapi nek barangku mengko ora iso tangi, njenengan tanggung jawab
nangekke lo!!!!”. (Ya sudah mbak, saya mau. Tapi kalau barang saya tidak bisa bangun,
anda harus tanggung jawab lo!!).
Whaaaaatttt, dalam hati saya kaget sekaligus marah, tapi saya redam karena saya pikir
ini adalah bagian dari resiko dalam melakukan motivasi kepada para Pria untuk dalam
Program KB. Seketika itu si Suami langsung dicubit perutnya oleh si istri dan berkata “..
Bapak ki ngawur..”, kemudian berkata ke saya “… Ngapunten njih mba, namung
guyonan” (Maaf lho Mbak, hanya candaan). Saya lihat raut wajahnya tertunduk malu.
Percakapan pun saya akhiri dengan menyarankan Pak Suami untuk screening
(pemeriksaan) kesehatan dulu ke Puskesmas sebelum pelayanan MOP. Screening
diperlukan untuk memastikan kesiapan calon sebelum dilakukan tindakan medis
kemudian.
Bergitulah kami, para penyuluh KB yang tidak hanya harus gesit dalam mencari akseptor,
namun juga harus bisa menata emosi Ketika ada perkataan dari calon akseptor yang
kurang mengenakkan.

Anda mungkin juga menyukai