Mitos mengenai penggunaan alat kontrasepsi modern dalam Program Keluarga
Berencana, masih sering ditemui di masyarakat. Jadi bahan gunjingan ala warung kopi, ngerumpi emak-emak di warung, atau even kampung lain yang seru-seru. ---0-- Di kecamatan tempat saya bekerja, capaian kesertaan penggunaan alat kontrasepsi masih didominasi oleh wanita, dan memang rata-rata terjadi juga di kecamatan lain. Salah satu alasannya: terbatasnya pilihan terhadap jenis alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi bagi pria hanya ada 2 jenis yaitu MOP (Medis Operasi Pria/vasektomi) dan Kondom. Sementara untuk wanita, tersedia berbagai jenis, mulai pil, suntikan, implan, IUD dan MOW (Medis Operasi Wanita, tubektomi). Suatu ketika, saya melakukan kunjungan ke desa bersama kader setempat. Tujuannya sebagaimana biasa: konseling calon akseptor. Kami berjalan menuju gang kecil di suatu desa yang selalu terendam air rob. Begitulah kondisi beberapa desa yang berada di wilayah pantura. Tujuan kami adalah kerumah Ibu “M”. Menurut laporan kader, Ibu “M” yang sudah memiliki 5 orang anak, tidak diijinkan ikut Program KB oleh suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Kami datang ketika hari jumat sehingga sang Suami berada di rumah. Sebagaimana kebiasaan wilayah Pantura, jumat merupakan hari pendek yang berhubungan dengan ritual ibadah bagi yang beragama Islam. Obrolan kami dimulai dengan motivasi KB MOW kepada Ibu “M”. Menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan pelayanan KB MOW. Namun beliau masih enggan memberi keputusan, dengan alasan efek istirahat total pasca tindakan medis pelayanan MOW. Beliau bingung karena masih memiliki bayi yang baru berusia 3 bulan. Tetiba Sang Suami mendatangi kami, Bu Kader langsung nyeletuk. “…. La iki bapakke bae seng kon KB.., ayo Pak melu KB lanang..”. (Lha bapaknya ini saja yang ber KB, ayo Pak, ikut KB Pria). Si Suami menjawab “…. Ah, mengko barangku ora biso tangi” (Ah, nanti barang saya (Mr P, red) tidak bisa bangun). Sambil tertawa. Mendengar hal itu saya sebagai Penyuluh KB kemudian menjelaskan secara rinci, bahwa MOP alias vasektomi sama sekali tidak membuat loyo. Namun si Suami masih tetap tidak percaya. Bu Kader menimpali “… kae lo pak, jajal takon Pak “S”, dekne ki wes MOP lo, nyatane ijek seger buger” (Itu lho Pak, coba tanya Pak S, yang sudah MOP, faktanya masih segar bugar). “Dan nanti dapat uang pendampinngan 1 juta lo Pak”, saya pun menambahi. Sang suami pun berpikir sambil berbisik dengan si istri. Kemudian berkata “Yowes mbak, aku gelem, tapi nek barangku mengko ora iso tangi, njenengan tanggung jawab nangekke lo!!!!”. (Ya sudah mbak, saya mau. Tapi kalau barang saya tidak bisa bangun, anda harus tanggung jawab lo!!). Whaaaaatttt, dalam hati saya kaget sekaligus marah, tapi saya redam karena saya pikir ini adalah bagian dari resiko dalam melakukan motivasi kepada para Pria untuk dalam Program KB. Seketika itu si Suami langsung dicubit perutnya oleh si istri dan berkata “.. Bapak ki ngawur..”, kemudian berkata ke saya “… Ngapunten njih mba, namung guyonan” (Maaf lho Mbak, hanya candaan). Saya lihat raut wajahnya tertunduk malu. Percakapan pun saya akhiri dengan menyarankan Pak Suami untuk screening (pemeriksaan) kesehatan dulu ke Puskesmas sebelum pelayanan MOP. Screening diperlukan untuk memastikan kesiapan calon sebelum dilakukan tindakan medis kemudian. Bergitulah kami, para penyuluh KB yang tidak hanya harus gesit dalam mencari akseptor, namun juga harus bisa menata emosi Ketika ada perkataan dari calon akseptor yang kurang mengenakkan.