Anda di halaman 1dari 15

A.

Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
1. Hentikan proses pembakaran
Pada saat pasien ditemukan, biasanya api sudah padam. Apabila pasien masih dalam
keadaan terbakar, maka dapat ditempuh cara:
a. Menyiram dengan air dalam jumlah banyak apabila api disebabkan karena bensin
atau minyak, karena apabila dalam jumlah sedikit hanya akan memperbesar api.
b. Menggulingkan pasien pada tanah yang datar, kalau bisa dalam selimut basah.
c. Luka bakar dapat mengalami pendalaman walaupun api sudah mati. Untuk
mengurangi proses pendalaman ini luka dapat disiram dengan air bersih untuk
pendinginannya.
2. Primary Survey
a. Airway/Jalan Napas
Pada permulaannya airway biasanya tidak terganggu. Dalam keadaan ekstrim bisa
saja airway terganggu, misalnya karena lama berada dalam ruangan tertutup yang
terbakar sehingga terjadi pengaruh panas yang lama terhadap jalan nafas.
Menghisap gas atau partikel karbon yang terbakar dalam jumlah yang banyak juga
akan dapat menggangu airway. Pada permulaan penyumbatan airway tidak total
sehingga akan timbul suara stridor/crowing. Bila menimbulkan sesak nafas berat
(bila saturasi oksigen kurang dari 95%) maka ini merupakan indikasi mutlak untuk
intubasi.
Indikasi klinis adanya trauma inhalasi antara lain:
 Luka bakar yang mengenai wajah dan atau leher
 Alis mata dan bulu hidung hangus
 Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring
 Sputum yang mengandung karbon atau arang
 Suara serak
 Riwayat gangguan mengunyah dan atau terkurung dalam api
 Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
Apabila ditemukan hal seperti tersebut di atas, sangat mungkin terjadi trauma
inhalasi yang memerlukan penanganan definitive, termasuk pembebasan jalan
nafas.
b. Breathing
Gangguan breathing yang timbul cepat dapat disebabkan karena:
1) Inhalasi partikel – partikel panas yang mengakibatkan proses peradangan dan
edema pada saluran nafas. Mengatasi sesak yang terjadi adalah dengan
penanganan yang agresif, lakukan airway definitive untuk menjaga jalan nafas.
2) Keracunan CO (karbonmonoksida).
Asap dan api mengandung CO. Apabila pasien berada dalam ruangan tertutup
yang terbakar, maka kemungkinan keracunan CO cukup besar. Diagnostiknya
sulit (apalagi di pra –RS). Kulit yang berwarna merah terang biasanya belum
terlihat. Pulse oksimeter menunjukkan tingkat saturasi oksigen yang cukup
walaupun pasien dalam kondisi sesak.
Bila diduga keracunan CO, maka diberikan oksigen 100% dengan non
rebreathing mask atau bila perlu ventilasi tambahan dengan BVM yang ada
reservoar oksigen.
c. Circulation
Kulit yang terbuka menyebabkan penguapan air yang berlebih dari tubuh, dengan
akibat terjadinya dehidrasi yang memerlukan tindakan resusitasi cairan.
1) Resusitasi syok
Menggunakan larutan kristaloid melalui dua jalur intravena.
2) Resusitasi tanpa syok
Resusitasi tanpa syok merupakan resusitasi cairan tanpa gejala klinis syok atau
pada kasus dengan luas < 25-30%, tanpa keterlambatan atau dijumpai
keterlambatan kurang dari 2 jam. Kebutuhan cairan yang diberikan adalah
berdasarkan rumus Baxter sebagai berikut:
4 ml/kgBB x % luka bakar
(pada dewasa)
2 ml/kgBB x % luka bakar
(pada anak)

Pemberian cairan mengikuti metode yang ditentukan berdasarkan formula


Parkland. Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Pemantauan sirkulasi renal juga harus dilakukan. Jumlah produksi urine
dipantau melalui kateter urine setiap jam (30-50 cc atau 0,5 ml/kgBB setiap jam
pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak dan 2 cc/kgBB/jam pada bayi).
Apabila produksi urine <0,5 ml/kgBB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan
sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumya. Apabila
produksi urine >1 cc/kgBB/jam, maka jumlah cairan yang diberikan dikurangi
25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya.
Bila fase pra RS hanya singkat, maka tidak perlu pemasangan kateter urine.
Namun dalam keadaan khusus dimana masa pra-RS lama, maka perlu
pemasangan kateter sehingga dapat dilakukan pemantauan produksi urine.
d. Disability
Pemeriksaan kesadaran dengan GCS dan tanda lateralisasi (pupil dan motorik)
harus dilakukan.
e. Eksposure
Pastikan pasien tidak mengalami hipotermi.
3. Secondary Survey
a. Anamnesis
Penting untuk menanyakan dengan teliti hal sekitar kejadian. Tidak jarang terjadi
disamping luka bakar akan ditemukan perlukaan lain yang disebabkan usaha
melarikan diri dari api dalam keadaan panik.
b. Pemeriksaan head to toe
Pemeriksaan head to toe dilakukan dengan teliti. Apabila ditemukan kelainan harus
diberikan penanganan yang sesuai.
c. Perawatan luka bakar
Untuk tindakan pra-RS tidak perlu dilakukan apa – apa selain menutup dengan kain
bersih. Jangan memecahkan bula atau vesikel pada fase pra-RS. Perawatan luka
dilakukan segera setelah tindakan resusitasi jalan nafas dan mekanisme bernafas
serta resusitasi cairan dilakukan, yang meliputi tindakan debridement, necrotomy
dan tindakan pencucian luka.
d. Indikasi rawat inap
Pada beberapa kasus luka bakar perlu dirujuk ke pusat luka bakar adalah sebagai
berikut:
1) Luka bakar derajat II >15% pada dewasa dan > 10% pada anak – anak
2) Luka bakar derajat II pada muka, tangan dan kaki, perineum dan sendi
3) Luka bakar derajat III > 2% pada dewasa, setiap derajat III pada anak-anak
4) Luka bakar disebabkan listrik, disertai cedera jalan nafas atau komplikasi lain

4. Akibat cuaca dingin


Berat ringannya akibat trauma dingin tergantung pada suhu, lamanya kontak, keadaan
lingkungan, jumlah baju hangat atau pelindung, dan keadaan kesehatan pasien. Ada 3
jenis trauma dingin yaitu:
a. Frostnip
Merupakan bentuk paling ringan dari trauma dingin, ditandai dengan nyeri, pucat,
dan kesemutan pada daerah yang terkena. Dengan penghangatan daerah ini dapat
pulih dengan sempurna tanpa kerusakan jaringan, kecuali bila trauma terjadi
berulang dan dalam jangka waktu bertahun – tahun dapat menyebabkan jaringan
lemak hilang atau atropi.

b. Frostbite
Frostbite merupakan pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh pembentukan
kristal es intraseluler dan bendungan mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia
jaringan.

Gambar 4. Frostbite
Frostbite dapat dibagi menjadi 4 derajat:
1) Derajat I: hyperemia dan edema tanpa nekrosis dikulit
2) Derajat II: pembentukan vesikel/bula disertai hyperemia, edema dan nekrosis
sebagian lapisan kulit
3) Derajat III: nekrosis seluruh lapisan kulit dan jaringan subkutan, biasanya juga
disertai dengan pembentukan vesikel hemoragik
4) Derajat IV: nekrosis seluruh jaringan kulit dan gangrene otot serta tulang.
c. Non freezing injury
Non freezing injury disebabkan oleh kerusakan endotel mikrovaskuler. Trenchfoot
merupakan salah satu contoh non frezzing injury tangan dan kaki akibat terkena
udara basah terus menerus yang suhunya masih di atas titik beku yaitu antara 1,6
ºC sampai 10 ºC.

Gambar 5. Trench foot


Penanganan :
1) Proteksi diri dan lingkungan.
2) Selalu mendahulukan hal yang mengancam A-B-C terlebih dahulu.
3) Penanganan harus segera dilakukan untuk memperpendek berlangsungnya
pembekuan jaringan. Jangan menggosok bagian yang terkena frostbite karena
akan lebih mencederai pasien.
4) Re-warming:
- Jangan lakukan pada frostbite dalam atau lanjut
- Selalu memakai penghangat lembab
- Jika terdapat luka lakukan seperti penanganan luka bakar
- Segera rujuk kerumah sakit
5. Luka bakar kimia
Penanganan apabila menemukan pasien masih dalam keadaan terkena zat kimia:
a. Selalu proteksi diri
b. Apabila zat kimia bersifat cair, langsung semprot dengan air mengalir.
c. Apabila zat kimia besifat bubuk sapu dahulu sampai zat kimia tipis baru kemudian
siram dengan air.

6. Luka bakar listrik


Penanganan pada pasien luka bakar listrik harus meliputi perhatian terhadap jalan
nafas dan pernafasan, pemberian cairan infuse, pemasangan EKG dan kateter urine.

B. Penatalaksanaan
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di tempat
kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah membebaskan
pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan diri sendiri.
Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak bisa dilepaskan. Air suhu kamar
dapat disiriamkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak kejadian, namun air
dingin tidak dapat diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia dan
vasokonstriksi.
2. Burn Resusitasi
Burn shock akan berkembang menjadi hypovolemi dan penghancuran jaringan
selular. Karakteristik dari tipe shock ini adalah penurunan cardiac output dan volume
plasma dan terjadi peningkatan cairan ekstraseluler, edema dan oligouria.
3. Resusitasi jalan nafas
Bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang adekuat. Pada luka bakar dengan
kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa
menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum dilakukan intubasi, oksigen 100%
diberikan dengan menggunakan face mask. Intubasi bertujuan untuk mempertahankan
patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan napas (penghisapan sekret) dan
broncoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih menjadi perdebatan karena dianggap
terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi
dilakukan pada kasus yang diperkirakan akan lama menggunakan ETT yaitu lebih
dari 2 minggu pada luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi. Kemudian
dilakukan pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotracheal. Terapi
inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik disaluran napas dengan cara
uap air menurunkan suhu yang meningkat pada proses inflamasi dan mencairkan
sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Pada cedera inhalasi perlu
dilakukan pemantauan gejala dan distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak,
gelisah,takipneu, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan dan
stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial
dan foto thorax.
4. Resusitasi cairan
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
 Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh vaskuler
regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival
seluruh sel.
 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi
pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

Menurut Fitriana (2014), bahwa resusitasi cairan dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

a) Resusitasi Syok
Cairan diberikan pada klien yang sudah mengalami syok atau dengan luas lebih
dari 25%-30% dengan keterlambatan penanganan sekitar 2 jam. Hindari
pemilihan vena pada daerah luka dan tungkai bawah karena terdapat hipoperfusi
perifer dan banyaknya sistem klep pada vena-vena bagian ekstremitas bawah.
Cairan yang digunakan adalah Kristaloid Ringer’s Lactate. Dalam waktu < 4 jam
pertama diberikan cairan sebanyak:

3 [25% (70% x
BBkg)] ml

Keterangan:
 70% adalah volume total cairan tubuh
 25% adalah jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat
menimbulkan gejala klinik dari syndrom syok.
 Untuk melakukan resusitasi cairan (melakukan koreksi volume) menggunakan
kristaloid sebanyak 3 kali jumlah cairan yang diperlukan.

b) Resusitasi tanpa syok


Resusitasi tanpa syok merupakan resusitasi cairan pada kasus tanpa gejala klinis
syok atau dengan luas kurang dari 25% sampai 30%, tanpa keterlambatan
penanganan atau dijumpai keterlambatan kurang dari 2 jam. Kebutuhan cairan
yang diberikan adalah berdasarkan rumus Baxter sebagai berikut:

3-4 ml/ kgBB/ % luka bakar

Pemberiannya mengikuti metode yang ditentukan berdasarkan formula Parkland


yaitu pada 24jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Setelah diberikan resusitasi cairan
perlu dilakukan pemantauan sirkulasi renal meliputi:
 Jumlah produksi urine dipantau melalui kateter urine setiap jam (30-50cc atau
0,5ml/kgBB setiap jam pada orang dewasa, 2ml/kgBB setiap jam pada anak
dan 1ml/kgBB setiap jam pada bayi).
 Bila produksi urine 0,5ml/kg/jam, maka jumlah cairan diberikan ditingkatkan
sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya.
 Bila produksi urine > 1ml/kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan
dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya.
Jenis cairan

Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik dan koloid:

a) Larutan kristaloid
Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah Ringer
Laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam plasma
atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal,
cairan ini tidak hanya dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini
banyak keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan
meningkatkan volume intravaskuer 300 ml.
b) Larutan hipertonik
Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan penggunaannya
dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan garam hiperonik tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5% dan 10%.
Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga cairan akan berpindah
dari intraseluler ke ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.
c) Larutan koloid
Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan Dextran. Molekul
koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran kapiler, oleh karena
itu sebagian akan tetap dipertahankan didalam ruang intravaskuler. Pada luka
bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan
berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium
yang ada.HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substitued amilopectin sintetik,
HES berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T ½ dalam plasma
selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun
umumnya tidak menyebabkan masalah klinis. HES dapat memperbaiki
permeabilitas kapiler dengan cara menutup celah interseluler pada lapisan endotel
sehingga menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian
terakhir mengemukakan bahwa HES memiliki efek antiinflamasi dengan
menurunkan lipid protein complex yang dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti
oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek antiinflamasi diharapkan dapat
mencegah terjadinya SIRS.

Dasar pemilihan Cairan

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek
hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oksigen,
PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan,
eliminasi praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai
kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat
bahwa kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi
awal pada kondisi klinis tertentu. Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas
klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran
di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam
pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.

Penentuan jumlah cairan

Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai empat
kali jumlah defisit intravaskuler. 1 L cairan kristaloid akan meningkatkan volume
intravaskuler 300 ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan
memperbaiki transpor oksigen.

Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama

Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau ringer asetat, menggunakan


beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar > 25-
30% atau dijumpai keterlambatan > 2 jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan
kristaloid sebanyak 3 [25%(70%xBBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh,
sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh dapat menimbulkan
gejala klinik sidrom syok.
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas < 25-30%, tanpa
atau dijumpai keterlambatan < 2 jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan rumus baxter
3-4 ml/kgBB/% LB.

Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum digunakan pada
kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu
iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka
bakar yang tidak terlalu luas tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut formula
Parkland adalah sebagai berikut:

 Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jampertama,


sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak dan orang tua,
kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan
cairan 4 ml ditambah 1% dari kebutuhan.
 Penggunaan zat vasoaktif (dopamin dan dobutamin) dengan dosis 3 mg/kgBB
dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% jumlah tetesan dibagi
rata dalam 24 jam.
 Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral
(minimal 6-12cm H20) sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi urin
melalui kateter, saat resusitasi (0,5- 1ml /kg BB/jam, maka jumlah cairan
ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya.
 Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan
sedimen).
 Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan
lambung melaui pipa nasogastrik. Jika, 200ml tidak ada gangguan pasase
lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400 ml gangguan berat.

Penatalaksanaan 24 jam kedua

 Pemberian cairan yang menggunakan glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam. Jenis
cairan yang dapat diberikan adalah glukosa 5% atau 10% 1500-2000 ml. Batasan
ringer laktat dapat memperberat edema interstisial.
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi uin
<1-2 ml/kgBB/jam,berikan vasoaktif samapi 5 mg/kgBB
 Pemantauan analisa gas darah, elektrolit

Penatalaksanaan setelah 48 jam

 Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintanance


 Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4 ml/kgBB), hemoglobin
dan hematokrit.

Rumus Baxter:

a) Pada dewasa:
 Hari I : 3-4 ml x kgBB x % luas luka bakar
 Hari II :Koloid: 200-2000 cc + glukosa 5%

Pemberian cairan ½ volume pada 8 jam pertama dan ½ volume


diberikan 16 jam berikutnya.

b) Pada anak:
 Hari I:
RL:dex 5% = 17:3
(2cc x kgBB x % luas luka bakar) + keb. faal
Kebutuhan Faal:
<1 thn = kgBB X 100cc
5-15 hn = kgBB X 75cc
>15 thn = kgBB X 50cc
 Hari II: sesuai kebutuhan faal

Formula Parkland:

 Hari I (24jam pertama):


16 jam pertama : [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA)] / 8 jam =cc/jam
16 jam kedua : [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam =
cc/jam
 Penambahan cairan rumatan pada anak :
4 cc/kgBB/jam dalam 10 kg pertama
2 cc/kg BB/jam dalam 10 kg kedua (11-20kg)
1 cc/kgBB/jam untuk tiap >20kg

Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1% dari


kebutuhan. Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari
produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0 cc/kg/jam dan pada anak 1,0-1,5
cc/kg/jam.

Cara lain adalah cara Evans:

 Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam.
 Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =jumah plasma / 24 jam
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan
osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali
cairan yang telah keluar).
 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan).

Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.

Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula Curreri,


adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka bakar/hari. Petunjuk
perubahan cairan dengan (1) Pemantauan urin output tiap jam, (2) Tanda-
tanda vital, tekanan vena sentral Kecukupan sirkulasi perifer, (3) Tidak
adanya asidosis laktat, hipotermi, (4) Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH
dan kadar glukosa

5. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme
bernapas dan resusitasi cairan dilakukan. Tindakan meliputi debridement secara
alami, mekanik (nekrotomi) atau tindakan bedah (eksisi), pencucian luka, wound
dressing dan pemberian antibiotik topikal. Tujuan perawatan luka adalah untuk
menutup luka dengan mengupaya proses reepiteliasasi, mencegah infeksi,
mengurangi jaringan parut dan kontraktur dan untuk menyamankan pasien.
Debridement diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati dengan
jalan eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan setelah keadaan penderita stabil,
karena merupakan tindakan yang cukup berat. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya
konservatif sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang
lapisan epidermis diatasnya.
Pengangkatan keropeng (eskar) atau eskarotomi dilakukan juga pada luka bakar
derajat III yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh sebab pengerutan keropeng
(eskar) da pembengkakan yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan
(compartment syndrome) yang membahayakan sirkulasi sehingga bahgian distal
iskemik dan nekrosis (mati). Tanda dini penjepitan (compartment syndrome) berupa
nyeri kemudian kehilangan daya rasa (sensibilitas) menjadi kebas pada ujung-ujung
distal. Keaadan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang
membuka keropeng sampai penjepitan bebas.
Pencucian luka dilakukan dengan hidroterapi yaitu memandikan pasien atau dengan
air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab
steril dengan atau tanpa krim pelembap. Perawatan luka tertutup dengan occlusive
dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle (antibiotik dalam
bentuk sediaan kasa) berfungsi sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan
epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.
1) Initial Treatment Wound Care
o Luka bakar harus steril.
o Pemberian profilaksis tetanus.
o Bersihkan semua bulla, kecuali pada luka bakar yang sangat kecil.
o Eksisi dan lakukan debridement pada jaringan nekrosis yang menempel.
o Setelah di-debridement, bersihkan luka bakar dengan larutan chlorhexidine
0.25% (2.5g/liter), 0.1% (1g/liter) larutan cetrimide, atau antiseptik lain yang
berbahan dasar air (CEPDR, 2013).
o Jangan menggunakan larutan berbahan dasar alkohol.
o Gosok dengan hati–hati jaringan nekrotik yang longgar.
o Berikan lapisan tipis krim antibiotik (silver sulfadiazine).
o Balutkan kain kasa pada luka. Gunakan kasa kering yang tebal untuk
mencegah terjadinya kebocoran pada lapisan luar.
2) Daily Treatment Wound Care
o Ganti balutan kasa setiap hari (dua kali sehari jika memungkinkan) atau
sesering mungkin untuk mencegah terjadinya kebocoran cairan.
o Inspeksi luka, ada perubahan warna atau tidak yang mengindikasikan adanya
infeksi.
o Demam dapat muncul hingga luka tertutup.
o Adanya selulitis mengindikasikan adanya infeksi.
o Berikan antibiotik sistemik jika mengalami infeksi Streptococcus hemolyticus.
o Infeksi Pseudomonas aeruginosa sering menimbulkan septicemia dan
kematian. Berikan aminoglikosida sistemik.
o Pemberian antibiotik topikal setiap hari. Jenis antibiotik topikal yang dapat
diberikan antara lain :
a) Nitrat silver (0.5% aqueous), paling murah, diaplikasikan pada balutan
kassa oklusif namun tidak dapat penetrasi ke dalam jaringan parut. Obat
ini dapat menyebabkan deplesi elektrolit dan menyebabkan noda.
b) Silver sulfadiazine (1% ointment), diaplikasikan pada selapis balutan kasa,
memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang terbatas, dan
dapat menyebabkan neutropenia.
c) Mafenide acetate (11% ointment), diaplikasikan tanpa balutan kasa,
memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang lebih baik,
dapat menyebabkan asidosis (WHO, 2003).

Anda mungkin juga menyukai