Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kanker servik (leher rahim) merupakan penyakit kanker yang sering

ditemui pada wanita (NCI, 2012). Menurut World Health Organization (WHO,

2006), disebutkan bahwa kanker serviks paling sering ditemukan di negara -

negara berkembang. Di Indonesia, kasus kanker serviks ditemukan sebanyak 40-

45 kasus per hari. Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), lebih dari 70%

kasus datang ke rumah sakit dalam keadaan stadium lanjut, sehingga sering

menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat.

Sel kanker serviks (sel HeLa) terjadi akibat infeksi Human Papilloma

Virus (HPV) tipe 18 sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher

rahim normal. Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan

2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Kedua onkogen tersebut merupakan protein yang

dapat menghambat ekspresi gen p53 yaitu gen penekan kanker. Gen p53 berperan

penting dalam pengaturan siklus sel, yaitu sebagai materi antiproliferasi dan

proses apoptosis karena adanya kerusakan DNA. Mekanisme penghambatan

ekspresi gen p53 yaitu protein onkogenik E6 bekerjasama dengan protein E6AP

sebagai E3 ubikutin ligase yang memediasi degradasi dari p53. Pada peristiwa ini

jumlah onkogen lebih tinggi dibandingkan p53 sehigga proliferasi sel kanker

menjadi tidak terkendali (Scheffner et al., 1993; Goodwin dan DiMaio, 2000;

Prayitno, 2005).

1
2

Pengobatan secara medis pada penderita kanker dapat dilakukan dengan

operasi, radiasi, kemoterapi serta yang sekarang berkembang adalah imunoterapi.

Pengobatan ini ditujukan untuk membunuh sel kanker sehinga tidak berkembang

dan membahayakan tubuh. Namun, masing-masing cara tersebut masih

mempunyai kelemahan. Salah satunya adalah timbulnya kanker yang resisten

terhadap kemoterapi. Selain itu pengobatan medis memerlukan biaya yang tinggi

(Katzung, 2001). Hal ini mendorong usaha penemuan obat antikanker baru

sebagai ko-kemoterapi dengan memanfaatkan tumbuhan obat di sekitar kita atau

istilah populernya kembali ke alam (back to nature).

Akhir-akhir ini banyak bahan alam Indonesia yang diteliti khasiatnya

sebagai antikanker, salah satunya adalah daun sirsak (Annona muricata L.). Di

dalam sebuah studi disebutkan bahwa terdapat senyawa dalam sirsak yang mampu

membunuh sel kanker pada kolon secara selektif lebih kuat dibanding

Adriamycin, obat yang digunakan pada kemoterapi (Rieser et al., 1996). Tanaman

sirsak memproduksi senyawa kimia yang bernama annonaceous acetogenin pada

daun, batang, kulit, dan biji buah. Senyawa ini mempunyai kemampuan

antikanker dan selektifitas dalam melawan beberapa tipe sel kanker tanpa melukai

sel yang sehat (Hai Jun and Xiang, 2008).

Daun sirsak mengandung berbagai senyawa aktif yang berpotensi sebagai

senyawa antikanker yaitu terdiri dari alkaloid, flavonoid, triterpenoid/steroid, dan

acetogenin (Lisdawati, 2007). Efek antiproliferatif dari beberapa senyawa yang

berpotensi sebagai antikanker salah satunya adalah melalui kemampuannya

menunda siklus sel. Senyawa steroid dapat menghambat kerja enzim DNA
3

topoisomerase yang berperan dalam proses replikasi dan proliferasi sel kanker

(Harfia, 2006). Senyawa terpenoid dapat memblok siklus sel pada fase G2/M

(Sugianto dkk., 2003).

Menurut Ezirim et al., (2013), daun sirsak dapat digunakan sebagai

sumber produk alami dalam pengembangan obat antikanker. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak memiliki aktivitas sitotoksik dan

menginduksi apoptosis pada sel kanker leukemia K562.

Hasil penelitian Djajanegara dan Wahyudi (2009), menunjukkan bahwa

daun dari tanaman lain anggota Annonaceae yaitu srikaya (Annona squamosa)

mempunyai potensi sebagai bahan alami antikanker. Berdasarkan nilai LC50,

fraksi kloroformnya lebih bersifat sitotoksik terhadap sel HeLa yaitu sebesar

7,6948 µg/mL sedangkan fraksi etanol 70% sebesar 4,5467 µg/mL. Hasil

penelitian Rachmani et al., (2012) menunjukkan bahwa fraksi kloroform dari

ekstrak etanol daun sirsak (A. muricata L.) lebih bersifat sitotoksik terhadap sel

kanker payudara T47D dengan IC50 sebesar 120,718 µg/mL dibandingkan dengan

fraksi n-heksannya yang memiliki IC50 sebesar 143,077 µg/mL.

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan uji sitotoksisitas dan efek

antiproliferatif fraksi kloroform dari daun sirsak terhadap sel HeLa secara in vitro

dan dilakukan karakterisasi profil kandungan kimia fraksi teraktifnya sebagai

dasar pengembangan ko-kemoterapi kanker.


4

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah efek sitotoksisitas fraksi kloroform daun sirsak (A. muricata L.)

terhadap sel HeLa secara in vitro?

2. Bagaimanakah efek aktivitas antiproliferatif dari fraksi kloroform teraktif daun

sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa secara in vitro melalui uji doubling

time?

3. Bagaimanakah profil kandungan kimia dari fraksi kloroform teraktif daun

sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa secara in vitro?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui efek sitotoksisitas fraksi kloroform daun sirsak (A. muricata L.)

terhadap sel HeLa secara in vitro.

2. Mengetahui efek aktivitas antiproliferatif dari fraksi kloroform teraktif daun

sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa secara in vitro melalui uji doubling

time.

3. Mengetahui profil kandungan kimia dari fraksi kloroform teraktif daun

sirsak (A. muricata L.) terhadap sel HeLa secara in vitro.


5

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

kontribusi ilmu mengenai ekstrak daun sirsak dalam pengembangan ko-

kemoterapi kanker. Selain itu memberikan informasi mengenai kandungan

senyawa kimia daun sirsak yang berpotensi paling aktif sebagai ko-kemoterapi

kanker serviks.

Anda mungkin juga menyukai