Secara pribadi saya belum pernah bertatap muka dengan Pak Ioanes Rakhmat, sebelum saya mengambil S2 di STTJ
beliau sudah bukan dosen STTJ, namun dilingkungan kampus masih sering diperbincangkan secara non-formal
dalam percakapan-percakapan di kantin, di taman dan kadang disinggung dalam diskusi disaat-saat kuliah.
Penasaran dengan nama Ioanes Rakhmat kemudian saya mencoba menjelajah di facebook yang akhirnya menjadi
teman di facebook, dalam pernyataan serta status-status dalam facebook kadang saya mengomentari dan beliaupun
juga sering menjawab berbagai komentar termasuk saya. Sampai suatu saat beliau mempromosikan lewat facebook
buku-buku yang ia tulis salah satunya adalah buku “Memandang Wajah Yesus”. Menurut saya seorang Ioanes
Rakhmat dalam buku ini lebih tepat disebut sebagai “Pakar” sejarah gereja dibandingkan sebagai Teolog atau
“Saintis” seperti yang selalu ia sampaikan disetiap kesempatan. Mengapa??. Karena yang namanya “TEOLOG”
menurut imho (in my humble opinion)…meminjam istilah seorang teman…… adalah ilmu Yang mempelajari
tentang Tuhan, bagaimana Tuhan bekerja, bagaimana rencana Tuhan, apa yang dimaui Tuhan, perbuatan atau
tindakan apa yang membuat Tuhan senang atau tidak, apa rencana Tuhan selanjutnya, bagaimana Tuhan berpikir,
bagaimana Tuhan melakukan segala sesuatu.
Sedangkan Ioanes mempertanyakan apakah Yesus itu benar ada, apakah Mukjizat-mukjizat Yesus itu nyata
atau hanya metafora atau ilusi, apakah tulisan-tulisan dalam Alkitab itu benar-benar ditulis oleh orang yang sama
dengan yang tertera dalam kitab atau surat. Pertanyaan- pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh seorang sejarawan
atau seorang antroplog daripada seorang Teolog.
Dilain pihak Ioanes juga sering menyebut dirinya seorang “saintis” padahal belum pernah kuliah di Fakultas Teknik,
Biologi atau Ilmu Sains lainnya.
Sarjana S1 yang pernah disandangnya kalau itu bisa dikatakan Sains adalah STTJ (Sekolah Tinggi Teologi Jakarta),
gelar kesarjanaannya adalah S.Si (Sarjana Sains). Gelar S.Si di sekolah Teologi memang kelihatan “unik” kalau
dilihat secara sepintas, karena walaupun gelar kesarjanaannya S.Si tetapi mahasiswa disini sama sekali tidak belajar
Biologi, Fisika apalagi Matematika, padahal Matematika adalah Pelajaran wajib bagi seorang saintis. Menurut saya
inilah kegagapan seorang Teolog, mereka akan babak belur apabila sudah digempur dari sisi ilmiah dan sains karena
teolog yang sarjana sains tapi tidak pernah diajarkan Ilmu Sains. Sehingga setiap gempuran-gempuran dari sisi sains
hanya dijawab secara normative dan kalau Teolognya sendiri tidak menemukan jawabannya mereka akan berbalik
menentang realitas Teologi itu baik secara sembunyi-sembunyi karena kawatir kehilangan pekerjaannya sebagai
pendeta yang notabene hilangnya kewibawaan dan nafkah, atau menentang realitas mukjizat secara terang-terangan
dengan resiko kehilangan kewibawaan dan nafkah dari jabatan kependetaan yang salah satunya adalah Pak Ioanes
Rakhmat.
Dalam buku “Memandang Wajah Yesus” saya tidak akan mengkritik semua isi dalam setiap bab dalam buku
ini karena pada dasarnya buku ini ditinjau dari sisi sejarah dan analisis data-data yang disampaikan oleh penulis
sangat layak untuk dibaca dalam menambah pengetahuan tentang sejarah gereja dan penulis menyajikan data-data
“yang mudah-mudahan” kredibel. Namun ketika penulis sudah menyampaikan pandangan, asumsi, dan pendapatnya
sendiri terutama pandangan dari sisi sains oleh penulis yang tidak pernah belajar sains secara formal (paling tidak
menurut sepengetahuan saya), tulisan itulah yang saya kritisi terutama dalam bab empat pada buku “Memandang
Wajah Yesus.” Memfokuskan pada bab empat (bukan berarti dibab-bab lain tidak perlu dikritisi) karena bab empat
banyak ke pendapat pribadi penulis, dan bila semua bab dikritisi selain bukan keahlian saya tentang data-data yang
ditampilkan juga akan memerlukan buku sendiri untuk diterbitkan. Kritikan tulisan Ioanes Rakhmat pada judul buku
yang lain bisa pembaca temukan juga buku: “Berdamai dengan Salib” Membedah Ioanes Rakhmat tulisan Joas
Adiprasetya, Th.D, saat ini menjabat ketua STT Jakarta.
Selanjutnya mari kita bedah bab empat dari buku tulisan Ioanes Rakhmat ini:
Pada pembukaan Bab empat (halaman 77) Ioanes menulis:
“Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa
kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan didalamnya tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-
kisah itu……..” alasan Ioanes mengatakan seperti itu karena: “Jika ada suatu laporan apapun bahwa telah terjadi
sesuatu yang menurut sains selamanya tidak akan mungkin terjadi secara alamiah di Bumi atau di Alam Semesta
karena melanggar hukum-hukum alam, maka laporan ini tidak boleh diperlakukan sebagai suatu laporan tentang
sesuatu yang factual empiris, alamiah sungguh terjadi dalam dunia.”[1]
Selanjutnya penulis buku “Memandang Wajah Yesus” mengambil contoh mukjizat yang pernah dilakukan Yesus
dengan memulai pertanyaan:
Nah itulah contoh-contoh mukjizat dan mukjizat Tipuan. Selanjutnya mari kita menganalisa mukjizat “tiruan” dalam
Ilmu Kedokteran.
Bagaimana Yesus melakukan mukjizat 2000 tahun yang lalu, salah satu contoh kita ambil dari Markus 5: 25-43.
“Adalah disitu seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan, ia telah berulang-
ulang telah diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali
tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk. Dia sudah mendengar berita-berita tentang
Yesus, maka ditengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya. Sebab
katanya: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” Seketika itu juga berhentilah pendarahannya, dan ia
merasa bahwa, badannya sudah sembuh dari penyakitnya. Pada ketika itu juga Yesus mengetahui bahwa ada tenaga
yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: “Siapa yang menjamah jubah-
Ku?” Murid-muridnya menjawab: “Engkau melihat bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan dekat-Mu dan
Engaku bertanya: Siapa yang menjamah Aku?” Lalu Ia memandang sekelilingnya untuk melihat siapa yang telah
melakukan hal itu. Perempuan itu yang menjadi takut dan gemetar ketika mengetahui apa yang telah terjadi atas
dirinya, tampil dan tersungkur di depan Yesus dan dengan tulus memberitahukan segala sesuatu kepada-Nya. Maka
kata-Nya kepada perempuan itu: “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan
sembuhlah dari penyakitmu!”. Ketika Yesus masih berbicara datanglah orang dari keluarga kepala rumah ibadat itu
dan berkata: “Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru?”. Tetapi Yesus tidak
menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat: “Jangan takut, percaya saja!” Lalu Yesus
tidak memperbolehkan seorangpun ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes, saudara Yakobus. Mereka tiba
di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana dilihat-Nya orang-orang ribut, menangis dan meratap dengan suara
nyaring. Sesudah Ia masuk Ia berkata kepada orang-orang itu: “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak
mati, tetapi tidur!”. Tetapi mereka menertawakan Dia. Maka diusir-Nya semua orang itu, lalu dibawa-Nya ayah dan
ibu anak itu dan mereka yang bersama-sama dengan Dia masuk ke kamar anak itu. Lalu dipegang-Nya tangan anak
itu, kata-Nya: “Talita kum,” yang berarti: “Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!” Seketika itu juga anak itu
bangkit berdiri dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun. Semua orang yang hadir sangat takjub. Dengan
sangat Ia berpesan kepada mereka, supaya jangan seorangpun mengetahui hal itu, lalu Ia menyuruh mereka memberi
anak itu makan.
Peristiwa yang ditulis oleh Markus, salah seorang pengikut Petrus dan Paulus adalah peristiwa yang dilihat dan catat
oleh markus sendiri dan mungkin juga beberapa mukjizat yang diceritakan oleh Petrus. Berikut ini bagaimana saya
mengalami mukjizat “tiruan” itu dalam Ilmu Kedokteran.
Bulan Januari 2009 yang lalu saya mengalami demam yang luar biasa, meskipun hari-hari sebelumnya saya juga
merasakan tetapi tidak sehebat hari itu, maka mau tidak mau harus masuk rumah sakit. Singkat cerita ketika sudah
tiga hari berada dirumah sakit baru di vonis dokter menderita sakit usus buntu yang sudah akut dan akan menjalar ke
lambung bila tidak segera dioperasi. Sebelum dioperasi saya diberi pilihan dengan cara lama yaitu dibedah atau
dengan cara baru yaitu dengan cara memasukkan sebuah alat melalui pusar, tidak sakit hanya resiko kegagalan lebih
besar dibanding dengan cara lama dan biaya dengan cara baru hampir dua kalinya. Maka saya memilih alternative
kedua.
Begitu giliran saya masuk ke kamar operasi dengan didorong sambil tiduran, hal terakhir yang saya ingat
adalah di atas tempat tidur saya banyak lampu yang menyala kemudian setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi
karena tertidur. Begitu bangun saya sudah berada diluar kamar operasi dengan posisi sama ketika saya menunggu
giliran untuk menjalani operasi. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam hanya kemudian istri saya bilang bahwa
operasi sudah selesai. Saya tidak merasakan sakit sedikitpun dari efek operasi itu sampai pulang ke rumah, karena
menurut istri begitu rasa sakit sehabis operasi itu akan timbul, maka akan segera dimasukkan tambahan bius melalui
infuse yang dipasang untuk menghilangkan rasa sakit. Satu-satunya bekas yang tertinggal adalah perban kecil yang
berada di pusar saya. Wajah dokter yang katanya mengoperasi perut saya baru saya ketahui esuk hari ketika
mengontrol perkembangan hasil operasi. Setelah dinyatakan hasil operasi baik dua hari kemudian saya
diperbolehkan pulang dengan control lagi beberapa hari kemudian.
Saya tidak tahu ilmunya bagaimana system operasi tersebut, yang saya tahu adalah hari itu saya sudah
merasakan sehat dan sembuh tanpa ada keluhan panas dingin lagi.
Bagaimana seandainya tidak ada yang memberitahu kepada saya bahwa telah terjadi operasi, atau terjadi
pembiusan tanpa sepengetahuan dan tiba tiba sudah berada di rumah lagi dengan kondisi yang sudah sembuh. Saya
akan mengatakan bahwa itu adalah sebuah mukjizat, bukan mukjizat tiruan.
Bisa saja kedepan bila teknologi sudah lebih maju lagi proses operasi usus buntu hanya dengan memegang
sebuah tombol saja seperti orang yang sakit pendarahan puluhan tahun dan hanya memegang jubah Yesus akhirnya
sembuh. Matius 9: 21-25.
Seorang pasien bisa saja mendengarkan dan menanyakan secara detail mengapa itu bisa terjadi, tetapi yang menjadi
pertanyaan adalah: “Apa gunanya.?” Karena selain mengeluarkan banyak biaya untuk membayar dokter (kalau
dokternya mau menjelaskan sedetai-detailnya). Yang perlu dilakukan oleh pasien kepada dokternya adalah:
“Percayalah kepada dokter dan dokter akan melakukan tugasnya dan pasien akan sembuh”.
Mungkin sedikit berbeda ceritanya apabila sipasien sebelum menjalani operasi bertanya dulu atau lebih tepat
meragukan kemampuan dokternya seperti : bagaimana prosesnya ?, dokter lulusan mana?, sudah berapa lama
menjadi dokter spesialis bedah ?, berapa orang yang berhasil ?, berapa orang yang gagagl? Atau bahkan pasiennya
sok pinter ngedekte dokternya. Kalau dokternya cukup sabar dan pasien mau membayar mahal mungkin dokternya
berhasil melakukan operasi, tetapi bisa sebaliknya dokternya akan meninggalkan pasiennya dan tidak mau
mengoperasi.
Sama halnya dengan Yesus, pasien disuruh berserah saja mengenai teknologi bagaimana Yesus melakukan
kalau Yesus mau menyembuhkan pasti akan sembuh.
Mungkin definisi-definisi di atas tidak begitu tepat tetapi semoga pembaca tahu maksudnya. Saya berharap seorang
Ioanes Rakhmat tidak berpikir sesederhana itu memandang sains, sains diartikan hanya sebatas pikirannya sendiri,
apabila tidak masuk diakalnya itu tidak ilmiah.
Menurut pendapat saya buku “Memandang wajah Yesus” ini adalah sebuah buku sejarah, buku kebajikan,
buku pengetahuan seperti seorang nenek yang menceritakan sejarah dan pendapatnya kepada cucunya. Tentu saja
pendapat-pendapat seorang nenek tidak semua diikuti karena secara logika dan sains saya lebih tahu daripada nenek
tetapi sejarah, cerita dan kebijaksanaan nenek patut untuk didengar atau syukur-syukur sinenek adalah juga nenek
yang pintar juga dari sisi sains sehingga menerima penjelasan seorang cucu. Apabila nenek mengerti dan menerima
penjelasan cucunya maka nenek akan mendapatkan semuanya yang tidak didapatkan oleh cucunya dan jauh
melampaui pikiran sang cucu.
Sebagai kesimpulan saya: “Mukjizat-mukjizat Yesus itu lambat laun seiring berkembangnya jaman, akan
bisa dijelaskan secara sains dan seiring berkembangnya waktu manusia akan bisa meniru menyerupai apa yang
dilakukan Yesus 2000 tahun yang lalu dan Yesus melakukan semua mukjizat itu bukan metafora atau ilusi, bukan
hanya kisah tetapi suatu fakta sejarah, bahkan mukjizat Yesus membangkitkan orang mati suatu hari nanti sains dan
teknologi akan bisa meniru perbuatan Yesus yaitu menghidupkan orang yang sudah mati, seperti yang sudah
dikatakan Yesus sendiri, engkau juga bisa melakukan bahkan lebih besar dari apa yang sudah Aku lakukan ketika
Aku masih bersama-sama dengan kamu di dunia”