Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tom Jacobs adalah seorang teolog terkemuka di Asia, khususnya Indonesia. 1

Pemikiran-pemikirannya tentang Yesus Kristus sampai saat ini masih tetap aktual dan

hangat untuk dibahas dalam ruang diskusi ilmiah dan dalam berbagai forum diskusi

lainnya. Jacobs merupakan teolog yang banyak menulis buku sehingga buah-buah

pemikirannya banyak tersebar di berbagai wacana teologi di Indonesia seperti Jurnal

Orientasi, Basis dan Rohani. Romanus Romas dalam artikelnya yang berjudul;

“Kristologi dalam Pandangan Ratzinger dan Tom Jacobs”, mengatakan bahwa Tom

Jacobs adalah teolog besar abad ke-21 yang layak disandingkan dengan seorang

teolog Jerman bernama Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI). 2 Menurutnya, jika

sekilas pandang membaca karya-karya kedua teolog ini memang sulit ditemukan

dimana letak perbedaannya. Pemikiran keduanya tampak serasi di berbagai sudut

pandang teologi, khususnya berkaitan dengan dogma kristologi, dengan berpangkal

pada kebangkitan Yesus Kristus. Pemikiran kedua teolog ini bahkan tampak saling

melengkapi satu sama lain. Misalnya, Tom Jacobs yang kurang berbicara mengenai

eklesiologi dalam hubungannya dengan kristologi, tetapi Ratzinger justru

mengintegrasikan kedua topik tersebut dalam keseluruhan kristologinya.3

1
Romanus Romas, “Kristologi Dalam Pandangan Ratzinger Dan Tom Jacobs,” Jurnal Sepakat, Vol. 4,
No. 1, (2017): 66.
2
Ibid.
3
Krispurwana Cahyadi, Benediktus XVI (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), 63.

1
Jika menelusuri kembali dogma kristologi awal dalam konteks sejarahnya,

dapat dijumpai berbagai usaha yang dilakukan oleh para bapa Gereja dalam

menetapkan rumusan iman sebagai tanggapan atas menjamurnya ajaran sesat yang

berusaha meruntuhkan iman Gereja. Hasil kerja keras mereka, sampai sekarang masih

tetap dipertahankan dan digunakan sebagai dogma oleh Gereja. Namun, perumusan

dogma kristologi dalam Gereja seperti yang ada sekarang ini tidak dapat dilepaskan

dari keterbatasan Gereja dalam merumuskan ajaran imannya. Perumusan ajaran iman

selalu menyisakan “misteri” yang tak terpecahkan, dengan berbagai pertanyaan

mendalam yang diajukan, baik di kalangan Gereja sendiri maupun di luar Gereja.

Kesulitan serupa juga terjadi ketika orang hendak mengerti dan memahami konsep

tentang Trinitas. Menyadari kesulitan ini, Tom Jacobs mengatakan bahwa problem-

problem perumusan iman seperti itu sejatinya sudah lama ada dalam Gereja. 4 Melalui

kekhasan kristologinya dalam buku; “Imanuel: Perubahan dalam Rumusan Iman akan

Yesus Kristus” (2000) bagian Imanuel II, Jacobs menekankan pentingnya pemahaman

utuh terhadap identitas Yesus Kristus. Menurutnya, pengenalan akan Kristus tidak

boleh dilakukan hanya setengah-setangah atau per-bagian saja. Pengenalan yang utuh

akan terjadi jika terdapat integrasi antara Kitab Suci, Tradisi, kristologi konsili-konsili

awal (Nicea, Konstantinopel, Efesus dan Kalsedon) dan perkembangan dalam

konteks zaman.5 Dengan berangkat dari integrasi tersebut, gambaran mengenai

Kristus kiranya menjadi lebih mudah dipahami, meskipun kemudian terdapat

ketegangan abadi dalam dunia kristologi berhadapan dengan pertanyaan bagaimana

4
Tom Jacobs, Imanuel: Perubahan dalam Rumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2000), 265.
5
Ibid.

2
menjelaskan kepada orang “awam” tentang keilahian dan kemanusiawian dalam diri

Yesus tidak tercampur, tidak berubah, tidak terbagi dan tidak terpisah (Kalsedon 451).

Jika menelusuri pemikiran para teolog Kristen Katolik abad XIX-XX, dapat

ditemukan berbagai macam perspektif kristologi yang diajukan. Walter Kasper dalam

bukunya yang berjudul; “Jesus the Christ” (1977), hendak menempatkan pengakuan

iman Gereja tentang Yesus adalah Kristus sebagai pusat kristologinya. 6 Kasper ingin

menjelaskan dan mengintegrasikan Yesus historis dengan Yesus kepercayaan.

Menurutnya kedua dimensi kristologis ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika

fokus pembicaraan terletak pada Yesus historis, maka kristologi akan menjadi

Yesuologi dan jika fokus pembicaraan pada Kristus kepercayaan, maka pemikiran

akan cenderung terarah pada mitologi. 7 Kristologi Kasper juga kental dengan

penjelasan mengenai tampilnya Yesus sebagai manusia konkret sebagaimana yang

tertuang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yang menghayati persatuan relasional-

personal-Nya dengan Bapa. Seluruh karya Kasper dalam dua bukunya yang berjudul;

“Jesus The Christ” (1977) dan “The God of Jesus Christ” (1982), merupakan uraian

kristologinya yang bertolak dari penjelasan mengenai Yesus Kristus dalam Alkitab

dan dalam konsili kristologis awali terutama dalam rumusan Konsili Kalsedon (451).

Dengan demikian jelas bahwa, Kasper ingin mempertahankan pengakuan iman akan

Yesus yang adalah Kristus yang satu dan sama, sungguh-sungguh Allah, sungguh-

sungguh manusia.

Teolog lain yang patut ditelusuri pemikiran kristologinya yakni Edward

Schillebeeckx, seorang teolog Jerman beraliran spekulatif-sistematis di bawah

6
Walter Kasper, Jesus the Christ (New York: Paulist Press, 1977), 9.
7
Ibid., 37.

3
pengaruh pemikiran Thomas Aquinas. Schillebeeckx sendiri merasa kurang puas

dengan kristologi skolastik yang menurutnya tidak memadai dalam berkristologi di

zaman sekarang. Karena itu, dalam bukunya yang berjudul “God Among Us” (1983),

Schillebeeckx mengajukan sebuah pengajaran kristologi yang bertitik-tolak dari Injil.

Baginya, Injil merupakan akar dari pengenalan akan Yesus Kristus yang

memungkinkan orang dapat mengkomunikasikan imannya kepada sesama. 8 Dalam

bukunya yang berjudul; “Revelation and Theology Volume 1” (1967), Schillebeeckx

menjelaskan pewahyuan diri Allah dan Tradisi dalam berteologi khususnya dalam

berkristologi secara tepat. Ia ingin menemukan cara berkristologi yang kontekstual

dalam mewartakan Yesus Kristus sehingga pewartaan itu tetap relevan bagi manusia

di zaman ini.

Dengan berpangkal pada Yesus historis dalam kristologi Perjanjian Baru,

Schileebeckx melihat peran sentral Yesus historis sebagai penguji setiap kristologi

dari zaman ke zaman. Kristologi Schillebeeckx tampak pada kecenderungannya

untuk ber-apologi. Keseluruhan pemikiran kristologinya diwarnai oleh keinginan

untuk memperlihatkan bagaimana iman umat kristen kepada Yesus Kristus dapat

diterima oleh manusia modern. Menurutnya ini hanya mungkin apabila pemikiran-

pemikiran teologis itu dibangun dengan sikap kritis, ilmiah, positivis dan

antropologis. Berdasarkan analisa John Bowden terhadap karya Edward

Schellebeeckx, dalam karyanya yang berjudul “Edward Schillebeeckx: In Search of

The Kingdom of God” (1983), mengatakan bahwa Schillebeeckx berusaha

menjelaskan kristologinya dengan bertolak dari Yesus dari Nazaret abad pertama dan

8
Edward Schillebeeckx, God Among Us: The Gospel Proclaimed (New York: Crossroad: 1982), 3.

4
melihat relevansinya bagi manusia dewasa ini. 9 Adapun pertanyaan sentral yang

diajukan Schillebeeckx dalam kristologinya, yakni; siapakah Yesus Kristus bagi

manusia di zaman ini? Schillebeeckx dengan demikian ingin ber-kristologi lewat

pengalaman personal berdasarkan refleksi mendalam Gereja atas Yesus Kristus dalam

pergumulan hidup sehari-hari.

Sementara itu, Joseph Ratzinger (1927-2023) banyak memaparkan Yesus dari

Injil sebagai Yesus historis, Yesus yang hadir dalam panggung sejarah manusia dalam

arti yang sesungguhnya. Menurut Ratzinger, titik-tolak Yesus dari Injil lebih logis

untuk dibicarakan dan secara historis lebih mudah dipahami daripada rekonstruksi-

rekonstruksi kristologis yang diajukan selama puluhan tahun terakhir ini.10 Yesus dari

Injil adalah tokoh historis yang sangat berarti dan menarik untuk didiskusikan

bersama.11 Karena itu, teologi harus selalu berpusat dan bersumber pada kristologi.

Dalam pandangan Ratzinger, kristologi memiliki peran dan posisi sentral dalam

teologi kristen sebagai sumber dan fondasi bagi teologi. Ratzinger melihat bahwa

krisis yang terjadi dalam teologi Katolik dewasa ini bukanlah krisis eklesiologis,

melainkan krisis kristologis.12 Menurutnya, berbagai macam pertanyaan tentang

Allah, mau tidak mau harus dijawab dengan menggunakan tafsiran Alkitab yang

memuat unsur eksegese historis.13 Bagi Ratzinger, merefleksikan kristologi secara

tepat amat penting karena mengingat di zaman sekarang, banyak orang jatuh pada

sikap dan paham relativistis terhadap Yesus Kristus.


9
John Bowden, Edward Schillebeeckx: In Search of The Kingdom of God (New York: Crossroad,
1983), 56.
10
B. S. Mardiatmadja, Penerj., Yesus dari Nazaret (Jakarta: Gramedia, 2010), xxi-xxii.
11
Ibid., xxii.
12
Cahyadi, 29-30.
13
Adolf Heuken, Penerj., Yesus dari Nazaret: Prolog, Kisah Masa Muda (Jakarta: Cipta Loka Caraka,
2012), 7.

5
Kenyataannya, Yesus historis seringkali dilihat secara terpisah dari sisi ke-

ilahian-Nya sehingga dalam pandangan manusia zaman ini, Ia sama sekali tidak

berbeda dengan salah satu tokoh heroik dari sekian banyak tokoh keagamaan lainnya.

Inilah alasan mengapa manusia dewasa ini mengalami krisis kristologi, “ke-Allahan-

Nya” Yesus tereliminasi.14 Bagi Ratzinger, Kristus bukanlah hasil konstruksi

pemikiran para ahli, melainkan perjumpaan setiap orang dengan Kristus lewat

pengalaman konkret. Kristus adalah pusat dogma yang secara definitif dan terperinci

dirumuskan oleh Konsili Kalsedon (451); “one of the same Son, our Lord Jesus

Christ, perfect in his humanity, true God and true man, composed of rational soul

and body, consubstantial with the Father by his divinity, and consubstantial with us

by his humanity.”15 Dengan demikian, Ratzinger hendak mewartakan Kristus

sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Baru dan mencoba mengintegrasikannya

dengan kristologi Konsili Kalsedon yang kemudian dibahasakan sesuai dengan

kebutuhan manusia dewasa ini dalam mengimani Yesus sebagai Penyelamat.

Benang merah dari pemikiran kristologi ketiga teolog di atas kiranya menjadi

semacam “pemantik” bagi penulis untuk meneliti Yesus Kristus dari salah satu teolog

terkemuka yang banyak mempengaruhi perkembangan teologi di Indonesia abad

XXI. Teolog tersebut bernama Thomas Jacobus Maria Jacobs atau yang lebih dikenal

dengan nama Tom Jacobs. Pemikiran kristologinya yang tertuang dalam buku

berjudul; “Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus” (2000),

telah banyak “menelurkan” refleksi kristologis yang amat mendalam dan kontekstual

di bumi Indonesia. Dalam buku ini, Jacobs menuangkan refleksi kristologinya dengan

14
Romas, 69-70.
15
Ibid.

6
amat tajam, mendalam dan aktual sehingga memberikan pengaruh yang luas bagi

perkembangan kristologi di Indonesia sekarang ini. Pemikiran kristologinya banyak

dipelajari bukan hanya di kalangan akademisi Katolik, melainkan juga di kalangan

akademisi Protestan dan agama-agama lain.

Audy Haryanto Lebang dalam artikelnya berjudul; “Spiritualitas Pemuda Dan

Kesiapannya Menjadi Presbiter Di Gereja Protestan Di Indonesia Bagian Barat

(GPIB) Jemaat Immanuel-Makasar”, memanfaatkan pemikiran Jacobs untuk

menjelaskan pengertian kata “Spiritualitas” dan hubungan manusia dengan Tuhan. 16

Benediktus Feliks Hatam dalam artikelnya yang berjudul “Persekutuan Yang

Membebaskan Dalam Perspektif Biblis 1Kor 12:12-31 Dan Kebudayaan Manggarai”,

mengutip pemikiran Jacobs untuk menguraikan titik temu persekutuan yang

membebaskan dalam perspektif teologis dan kultural. 17 Sedangkan Fanny Y. M

Kasekke dalam artikelnya berjudul; “Logos Dalam Injil Yohanes: Allah Atau Hakikat

Adikodrati Yang Lebih Rendah Dari Allah”, mencoba menguraikan pandangan Tom

Jacobs tentang Yesus Kristus sebagai ciptaan Allah secara khusus pada sub-bab

“Imanuel II”, yakni tentang lima misteri Allah beserta kita.

Melihat pentingnya sosok Tom Jacobs dalam uraian beberapa tulisan artikel di

atas, maka penulis merasa perlu mendalami pemikiran kristologinya secara

mendalam. Adapun tujuan penulis memilih Tom Jacobs dalam penelitian ini ialah

dengan menemukan kekhasan Jacobs dalam berkristologi, penulis akan terbantu

16
Audy Haryanto Lebang, “Spiritualitas Pemuda Dan Kesiapannya Menjadi Presbiter Di Gereja
Protestan Di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel-Makasar,” Jurnal Syntax Literate: Vol.
5, No. 9, (2020): 755-756.
17
Benediktus Feliks Hatam, “Persekutuan Yang Membebaskan Dalam Perspektif Biblis I Kor 12: 12-
31 Dan Kebudayaan Manggarai,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 10, No. 1, (2018):
102-104.

7
untuk mengembangkan gagasan-gagasannya yang lain sesuai dengan kebutuhan

Gereja di dewasa ini, terutama dalam kerangka pengembangan kristologi yang lebih

kontekstual berhubungan dengan cara berkristologi, kristologi dalam Perjanjian Baru,

kristologi dalam konteks misi Gereja, kristologi dalam konteks pluralisme agama dan

kristologi berbasis pengalaman personal. Dalam aspek pastoral, kristologi ala Jacobs

memang sangat diperlukan terutama berhadapan dengan berbagai macam persoalan

iman Gereja dewasa ini di tengah perkembangan arus kemajuan zaman yang semakin

pesat di berbagai bidang kehidupan. Munculnya berbagai aliran pemikiran seperti

relativisme, radikalisme, materialisme dan berbagai macam aliran baru lainnya yang

muncul di abad ini, dapat dipastikan akan mempengaruhi pola pandang Gereja

terhadap Yesus yang adalah Juruselamat dan Tuhan. Perlahan-lahan iman Gereja akan

memudar dan akhirnya Yesus Kristus tidak berbeda dari tokoh-tokoh keagamaan

lainnya seperti Nabi Muhammad SAW, Mahadma Gandhi, Budha, Konfusius dan

lain-lainnya.

1.2. Pembatasan Masalah

Setelah menguraikan latar belakang dari penulisan karya yang berjudul

“Penghayatan Kristologi Menurut Tom Jacobs”, maka penulis membuat beberapa

rumusan masalah, yakni sebagai berikut:

a Siapa itu Tom Jacobs?

b Bagaimana Tom Jacobs berkristologi?

c Bagaimana menghayati Kristus menurut Tom Jacobs?

d Bagaimana mengevaluasi kristologi Jacobs dalam perspektif teolog lain?

8
Empat pertanyaan di atas menjadi bahan bagi penulis untuk menguraikan

pemikiran kristologi Tom Jacobs yang diakui sebagai teolog ternama dan penting

dalam membangun kristologi di Indonesia dewasa ini. Pemikiran-pemikirannya akan

selalu hangat dan relevan dalam berkristologi.

1.3. Tujuan Pembahasan

Bertitik tolak dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas, tujuan dari

penulisan tema “Penghayatan Kristologi Menurut Tom Jacobs”, adalah:

1. Untuk mengeksplorasi dan mengekspos penghayatan kristologi menurut

Tom Jacobs.

2. Memberikan pengetahuan baru kepada para penggiat teologi Gereja: teolog

maupun para mahasiswa/mahasiswi prodi teologi dalam dunia pendidikan

Gereja Katolik di Indonesia, tentang bagaimana Tom Jacobs dalam

berkristologi dan penghayatan kristologinya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Membantu umat beriman merefleksikan imannya berdasarkan pergumulan

dengan Yesus Kristus dalam kehidupan nyata di tengah perkembangan

zaman yang semakin cepat di berbagai bidang.

4. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan program

sarjana Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya

Sasana Malang.

1.4. Metode dan Sistematika Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini ialah

metode kualitatif dengan pembacaan kritis terkait dengan pemikiran-pemikiran

9
kristologi Tom Jacobs. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penulisan

yakni; pertama, mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan bahasan

tema. Kedua, membaca dan menganalisa pemikiran Jacobs yang termuat dalam bahan

utama, yakni; Siapa Yesus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

(1982), Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (1983),

Yesus Anak Maria. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (1984), Imanuel: Perubahan dalam

Perumusan Iman akan Yesus Kristus. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (2000), Syalom,

Salam, Selamat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (2007). Ketiga, bahan-bahan yang

telah dikumpulkan dan dianalisa kemudian dihimpun menjadi satu kesatuan berupa

kerangka bahasan terkait tema gagasan kristologi Tom Jacobs. Keempat, pada bagian

akhir akan diberikan catatan kritis terhadap pemikiran kristologi Tom Jacobs dari

beberapa teolog.

Untuk mempermudah penulisan, karya ini disusun dalam sistematika

pembahasan sebagai berikut: Bab 1 merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari

latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan pembahasan, metode dan

sistematika penulisan. Bab II membahas secara singkat riwayat hidup dan latar

belakang pemikiran Tom Jacobs yang terdiri dari; riwayat hidup dan karya-karya Tom

Jacobs, tokoh-tokoh yang mempengaruhi, latar belakang pemikiran, metode

pemikiran dan garis besar pemikiran Jacobs tentang Yesus Kristus. Bab III membahas

tentang penghayatan kristologi yang menjadi kekhasan Tom Jacobs. Poin-poin dalam

pada bab ini terdiri atas; Yesus Kristus Sang Imanuel, persoalan perumusan bahasa

dogma, pendekatan kristologis bercorak Perjanjian Baru yang memuat poin;

soteriologi dan kyriologi, Yesus Kristus di tengah pluralisme agama dan perjumpaan

10
manusia dengan Allah melalui pengalaman personal. Bab IV merupakan catatan kritis

penulis terhadap gagasan kristologi Tom Jacobs berdasarkan pemikiran beberapa

teolog Gereja Katolik seperti; Joseph Ratzinger, Edward Schillebeeckx, Cletus

Groenen dan Mgr. Adrianus Sunarko, OFM. Bab V merupakan penutup dari karya

ilmiah ini.

BAB II

RIWAYAT HIDUP DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN TOM JACOBS

11
2.1. Riwayat Hidup dan Karya Tom Jacobs

2.1.1. Riwayat Hidup

Thomas Jacobus Maria Jacobs atau sering dikenal dengan nama Tom Jacobs

lahir di Zevenbergen-Belanda pada 13 Juli 1929. Pada tanggal 12 September 1949

(usia 20 tahun) ia datang ke Indonesia untuk menjalani masa novisiat Serikat Yesus

(SJ) dan pada tahun 1959 ditahbiskan menjadi imam di Yogyakarta. Setelah dua tahun

menjadi pengajar teologi di IKIP Sanata Dharma dan Sekolah Tinggi Kateketik

Prajnawidya Yogyakarta, ia melanjutkan studi di Roma tahun 1963 hingga tahun

1966 dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang teologi pada tahun 1967 di

Universitas Gregoriana dan Sarjana Kitab Suci di Institut Biblicum dengan disertasi

yang berjudul; “Kruis en Verrijzenis, theologische verhouding in het Nieuwo

Testament” (1966).18 Ia dikenal sebagai teolog pertama yang memperkenalkan istilah

teologi proyek di Indonesia setelah pulang dari Amerika Serikat tahun 1975 kepada

para mahasiswanya di bangku perkuliahan teologi.

Dengan bertolak dari teologi proyek, Tom Jacobs bermaksud mengajak

masing-masing mahasiswa menemukan arti Yesus bagi mereka dalam pengalaman

keseharian. Artinya ia lebih mengutamakan pengalaman iman dari setiap

mahasiswanya sebagai titik tolak refleksi teologisnya mengenai Yesus Kristus. 19 Bagi

Tom Jacobs, metode berteologi seperti itu akan sangat membantu para mahasiswa

dalam mengembangkan teologi yang menjadi kekhasan di Indonesia. Melalui teologi

18
Y.B. Prasetyantha, MSF, “Kamu Percaya Dogma?: Tantangan ber-Kristologi dari Tom Jacobs,”
http://giovannipromesso.blogspot.com/2012/09/kamu-percaya-dogma_1372.html. Diakses: 30
September 2022.
19
A. Widyaputranto, “RIP Pater Tom Jacobs, SJ,” April 6, 2008 by
https://ignatiusofloyola.wordpress.com/2008/04/06/rip-pater-tom-jacobs-sj/ Diakses: 26 Agustus 2022.

12
proyeksi, Tom Jacobs banyak menyumbangkan pemikirannya bagi pembaharuan dan

kemajuan penghayatan religius di Indonesia.

Ketika belajar bahasa dan kebudayaan Jawa, Tom Jacobs ternyata menaruh

perhatian khusus kepada masalah pluralitas, kepercayaan dan agama di Indonesia.

Karena itu, Jacobs mengatakan bahwa masalah identitas Yesus dari Nazaret akan

selalu diperbincangkan bukan hanya di kalangan umat Kristiani saja melainkan juga

di luar Kristiani.20 Masalah ini kemudian menjadi latar belakang pemikirannya

berhubungan dengan Yesus Kristus yang menjadi pusat seluruh refleksi hidupnya.

Tom Jacobs menjadi dosen tetap untuk teologi dogmatik dan tafsir Kitab Suci di

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.21 Tahun 2003, ia dianugerahi gelar Guru

Besar di bidang teologi dan meninggal dunia pada hari Sabtu, 5 April 2008.

2.1.2. Karya-Karya Tom Jacobs

Sepanjang hidupnya, Tom Jacobs telah banyak menuliskan pemikirannya

tentang Yesus Kristus baik dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk artikel ilmiah.

Berikut ulasan singkat tentang tiga buku Jacobs yang secara langsung membahas

mengenai Yesus Kristus dan menjadi bahan utama penulisan karya ilmiah ini:

Pertama, Siapa Yesus Menurut Perjanjian Baru (1982).

Tom Jacobs mengembangkan tema tentang kristologi dan kyriologi

berdasarkan pewartaan Kitab Suci Perjanjian Baru khususnya dari pemikiran Rasul

Paulus. Namun, ia mengakui bahwa dengan menyelidiki teks Kitab Suci Perjanjian

Baru, tidak berarti meragukan iman Gereja purba, justru penyelidikan itu sangat

20
Tom Jacobs, Siapa Yesus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1982), 5.
21
Tom Jacobs, Teologi dan Praksis Komunitas Pastoral Post Modern, ed. Budi Susanto (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1994), 233.

13
berguna untuk menangkap secara lebih jelas iman yang terungkap dalam buku suci

ini. Melalui penelusuran tulisan-tulisan dalam Perjanjian Baru secara cermat, Jacobs

yakin bahwa iman Kristiani akan Yesus Kristus sebagai Putera Allah menjadi semakin

jelas dan teguh.22

Kedua, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya (1983).

Dalam buku ini, Tom Jacobs menguraikan secara mendetail tentang riwayat

hidup, karya dan teologi Rasul Paulus, terutama berhubungan dengan kristologi,

pembenaran, eskatologi, moral dan eklesiologi.23 Pemikiran Rasul Paulus mengenai

kristologi, kyriologi dan soteriologi kemudian menjadi titik tolak bagi Tom Jacobs

dalam menguraikan pemikirannya tentang Yesus Kristus yang hadir sebagai

penyelamat universal dari Allah Bapa.

Ketiga, Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus

(2000).

Tom Jacobs mengulas tentang dogma kristologi dalam cara pandang baru,

yakni menafsirkan dogma dengan metode eksegese Kitab Suci. Dogma kristologi

dipandang dengan terang Kitab Suci.24 Buku ini menjadi semacam perkembangan

pemikirannya tentang dogma kristologi awal dan dipahami dalam perpektif kristologi

Perjanjian Baru.

Selain beberapa buku di atas, Tom Jacobs masih memiliki banyak tulisan yang

diterbitkan dan dimuat di beberapa jurnal teologi diantaranya, yakni; Kruis en

Verrijzenis; hun theologische verhouding in het Nieuwe Testament (1966), Konstitusi

22
Ibid., 17.
23
Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 7-9.
24
Jacobs, Imanuel, 262.

14
Dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahju Ilahi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1969),

Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Geredja, djilid I dan II

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1970), Beberapa gagasan mengenai bimbingan

rohani (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1973), Renungan dari surat Paulus (1973),

Konstitusi Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Geredja, djilid III

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1974), Injil Gereja Purba tentang Yesus Kristus

Tuhan Kita (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1975), Syalom, Salam, Selamat (2007),

Komentar pada Konstitusi Dei Verbum (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1969),

Konstitusi Lumen Gentium (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1970), Dinamika Gereja

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1979) dan masih banyak buah pemikirannya yang

termuat dalam majalah Orientasi, Basis dan Rohani.25

2.2. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Tom Jacobs

Dalam menguraikan kristologinya, pemikiran Tom Jacobs dipengaruhi oleh

beberapa tokoh seperti Friedrich Schleiermacher, Karl Rahner, Walter Kasper,

Nicholas Thomas Wright dan Filsafat Skolastik. Nama-nama tersebut dapat diketahui

melalui beberapa tulisannya yang secara eksplisit disebut langsung oleh Tom Jacobs,

terutama dalam bukunya yang berjudul; “Syalom, Salam, Selamat” (2007) dan

“Imanuel: Perubahan dalam Rumusan Iman akan Yesus Kristus” (2000).

2.2.1. Friedrich Schleiermacher26

Friedrich Schleiermacher lahir di Breslau–Silesia pada 21 November 1768

dan meninggal dunia pada 12 Februari 1834. Ayahnya seorang pendeta dari Gereja
25
Ibid., 299.
26
“Friedrich Schleiermacher,” https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Daniel_Ernst_Schleiermacher.
Diakses, 26 September 2022.

15
Reformasi di Prusia. Ia merupakan seorang teolog dan filsuf berkebangsaan Jerman.

Sebagai mahasiswa teologi di Universitas Halle yang dipengaruhi oleh rasionalisme

dari Friedrich August Wolf dan Johann Salomo Semler, Schleiermacher berkenalan

dengan teknik kritis sejarah dalam Perjanjian Baru di bawah bimbingan Johann

Augusts Eberhard, yang membawanya pada ketertarikkan untuk mendalami filsafat

Plato dan Aristoteles. Tahun 1796, ia menjadi pendeta di Rumah Sakit Charite di

Berlin. Dalam ajarannya tentang Allah Schleiermacher berpendapat bahwa

pengalaman manusia dengan Allah yang sejati ditandai dengan kemunculan perasaan

kehangatan kasih, spontanitas keterlibatan pribadi secara total. Schleiermacher

percaya bahwa pengalaman yang sejati dengan Allah juga ditandai dengan munculnya

perasaan “kehangatan kasih,” spontanitas dan keterlibatan pribadi secara penuh.

Pengalaman akan kasih, terjalin melalui hubungan manusia dengan Allah yang

membawa pada keselamatan. Baginya iman kristiani merupakan pengalaman akan

Allah yang berpangkal pada iman akan Yesus dari Nazaret. 27 Titik tolak dari

pengalaman inilah yang digunakan Tom Jacobs dalam menjelaskan pemikirannya

mengenai karya Roh Allah yang membimbing pengalaman manusia untuk mengakui

arti Kristus dalam hidupnya.28

2.2.2. Karl Rahner29

Karl Rahner merupakan seorang teolog Gereja Katolik terkenal abad ke-20.

Lahir di Freiburg im Breisgau - Jerman Barat pada tanggal 05 Maret 1904 dan

meninggal dunia tahun 1984 di Innsburck, Austria. Ia merupakan imam Ordo Yesuit

27
M. Purwatma, Firman menjadi Manusia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015), 91.
28
Tom Jacobs, Syalom, Salam, Selamat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 188.
29
“Karl Rahner,” https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner, Diakses, 26 September 2022.

16
dan belajar di Freiburg di bawah pengaruh Martin Heidegger dan ditahbiskan menjadi

imam pada tahun 1932. Tahun 1939 Rahner menyelesaikan disertasinya yang

berjudul “Spirit in the World” dan tahun 1948 ia diangkat menjadi guru besar teologi

dogmatik di Universitas Innsbruck. Rahner juga menjabat sebagai guru besar di

Muenchen dan Munster dengan gaya bahasa teologinya yang terkenal

berlatarbelakang filsafat eksistensialisme. Rahner mencetuskan teorinya yang

terkenal yakni “Kristen Anonim” yang membuka cara pandang baru bagi umat

kristiani dalam memandang agama-agama non-kristiani. Teori tersebut berbicara

tentang rahmat Allah tidak hanya dalam agama Kristiani, tetapi juga dalam agama-

agama lain.

Allah mengaruniakan keselamatan kepada manusia dan manusia dapat

merasakan rahmat itu lewat pengalaman hidupnya sehari-hari. Salah satu ciri khas

Rahner ialah bahwa ia tidak pernah berusaha membuktikan Kristus atau menyelidiki

kemungkinan bahwa Yesus adalah Tuhan. Ia menerima begitu saja rumusan yang

tertuang dalam Konsili Kalsedon (431) yang mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah

Allah dan manusia, tidak tercampur, tidak berubah, tidak terbagi dan tidak terpisah. 30

Pertanyaan yang diajukan Rahner selanjutnya bukanlah “Apakah ini sungguh benar?”

melainkan “Apa artinya?”. Pertanyaan ini kemudian digunakan Tom Jacobs dalam

merefleksikan “Arti saya bagi Kristus?”31

2.2.3. Walter Kasper32

30
Karen Kilby, Karl Rahner (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 31.
31
Emmy Tranggani, Penyusun., Yesus Anak Maria: Buah Renungan Tom Jacobs (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1984), 18.
32
“Walter Kasper,” https://en.wikipedia.org/wiki/Walter_Kasper. Diakses, 26 September 2022.

17
Walter Kasper adalah seorang kardinal dan teolog Gereja Katolik lahir pada 5

Maret 1933 di Heidenheim an der Brenz – Jerman. Setelah memperoleh gelar doctor

di bidang teologi dogmatik dari Universitas Tübingen, Kasper kemudian menjadi

dosen dogmatis di Universitas Münster tahun 1964-1970. Tahun 1983 ia menjadi

professor tamu di Universitas Katolik Amerika. Pada tanggal 3 Maret 1999, Kasper

dipilih untuk menjabat sebagai Sekretatis Dewan Kepausan untuk memajukan

Persatuan Kristen, sekaligus Presiden Komisi Kepausan untuk Hubungan Agama

dengan Yahudi. Pada tanggal 21 Februari 2001, Paus Yohanes Paulus II

mengangkatnya menjadi kardinal.

Sebagai seorang teolog, Kasper merasa perlu untuk mewartakan Yesus Kristus

dengan metode yang sesuai tuntutan zaman. Dalam bukunya yang berjudul; Jesus The

Christ (1974), Kasper memandang kristologi dengan tiga cara yakni; melalui

pendekatan kontemporer, pendekatan historis dan pendekatan faktual. Kasper

berusaha mengartikan secara baru ajaran Konsili Kalsedon yang harus berpusat pada

hidup dan pribadi Yesus sesuai dengan kesaksian injil. Kasper menitikberatkan pada

relasi Yesus dengan Bapa yang merupakan kesatuan tertinggi karena memperlihatkan

hubungan antara Allah dan umat-Nya.33 Pemikiran tentang soteriologi tidak boleh

ditentukan oleh rumusan dogmatis dalam kategori pemikiran Yunani abad ke 5

melainkan harus bersumber pada Kitab Suci.34

2.2.4. Nicholas Thomas Wright35

33
Walter Kasper, Theology and Church (New York: Crossroad, 1989), 104-107.
34
Jacobs, Syalom, Salam, Selamat, 186.
35
“Nicholas Thomas Wright,” https://id.wikipedia.org/wiki/N._T._Wright, Diakses, 05 Oktober 2022.

18
Nicholas Thomas Wright lahir di Morpeth, Northumberland pada tanggal 1

Desember 1948. Ia adalah seorang pensiunan uskup Gereja Anglikan dan ahli di

bidang Kitab Suci Perjanjian Baru. Antara tahun 2003 sampai 2010, Tom Wright

menjabat sebagai Bishop of Durham. Saat ini ia bekerja sebagai Research Professor

of New Testament and Early Christianity di St. Mary’s College, University of St.

Andrews - Skotlandia.

Dalam bukunya yang berjudul Christian Origins and the Question of God,

Wrigth berhasil mengajukan visi yang lebih luas mengenai pengharapan akan

soteriologis Israel dan pemenuhnnya dalam diri Kristus. 36 Visi ini kemudian

digunakan Tom Jacobs untuk melihat kesatuan pewartaan antara Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru yang baginya berhubungan dengan tema keselamatan Allah dalam

sejarah umat manusia. Israel dan Gereja Perdana telah mengalami keselamatan itu

dan akhirnya mereka memberikan kesaksian atas pengalaman itu. Kesaksian itu tidak

diberikan begitu saja, tetapi direfleksikan secara kritis baik pengalaman pribadi,

maupun rumusan sejarah pengalaman sebelumnya. Keselamatan itu terjadi karena

adanya relasi dengan Allah sebagai inti pokok keselamatan. 37 Melalui pandangan

Nicholas Thomas Wright, Tom Jacobs menyimpulkan bahwa teologi biblis harus ikut

menjembatani jarak antara Kitab Suci dan situasi konkret manusia zaman sekarang. 38

2.2.5. Filsafat Skolastik

36
Jacobs, 177.
37
Ibid.
38
Ibid., 178.

19
Secara etimologis, istilah Skolastik berasal dari Bahasa Inggris “school” yang

berarti sekolah, tempat untuk menimba ilmu pengetahuan. 39 Menurut Ali Maksum,

skolastik diambil dari kata schuler yang diartikan sebagai sekolahan.40 Filsafat

Skolastik lahir pada abad ke-9 sampai abad ke-15 41 di lingkungan Gereja Barat

tepatnya di biara-biara Galila Selatan. Tokoh-tokoh yang terkenal pada abad ini ialah

Abelardus, Albertus Magnus dan Thomas Aquinas. Inti pokok persoalan yang muncul

di abad ini yakni menjawab pertanyaan; bagaimana memahami filsafat tanpa

kehilangan hakekat teologi. Dengan kata lain, para pemikir masa Skolastik ingin

mengintegrasikan antara filsafat dan teologi, antara iman dan akal budi. Bagi Thomas

Aquinas, filsafat Aristoteles mengandung kebenaran rasional yang sejati, kebenaran

yang dapat digunakan untuk mempertanggung-jawabkan iman kristiani. Tidak

semuanya kebenaran teologi dapat dipahami, misalnya mengenai eksistensi Allah.

Kebenaran ini merupakan kebenaran wahyu yang harus dibuktikan secara filosofis

agar menjadi rasional. Tom Jacobs dalam pemikirannya mengenai Imanuel, banyak

dipengaruhi oleh filsafat Skolastik. Menurutnya, pikiran aristotelianisme-thomistik

searah dengan pemikiran para bapa Gereja sehingga dapat digunakan untuk

memahami dogma-dogma Gereja khususnya dogma kristologis dari Nikea sampai

Kalsedon.42

2.3. Latar Belakang Pemikiran Tom Jacobs

39
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), 69.
40
Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 97.
41
Muhammad Taufik, “Filsafat Barat Era Skolastik: Telaah Kritis Pemikiran Thomas Aquinas”, Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Vol. 19, No. 2, (2020): 187.
42
Jacobs, Imanuel, 261-262.

20
Pemikiran Tom Jacobs tidak dapat dilepaskan dari pendidikan masa kecilnya.

Sejak kecil, Jacobs telah mendapat pendidikan kristiani dalam keluarga Katolik yang

saleh dan hidup sesuai ajaran iman Gereja Katolik. Sejak dikeluarkannya Ensiklik

Quas Primas, oleh Paus Pius XI pada 11 Desember 1925, Jacobs muda tertarik untuk

bermisi ke tanah air yang memiliki kebudayaan Kristen dengan membawa konsep

tentang Yesus Kristus sebagai “Sang Raja Semesta Alam”. Kristus sejauh dalam

ensiklik-ensiklik dan dalam dogma-dogma seperti itulah yang dihayati Tom Jacobs

sejak awal kariernya sebagai dosen teologi. Dalam perkembangan selanjutnya, Jacobs

merasa tidak puas dengan perumusan dogmatisasi Yesus Kristus. Untuk

membebaskan diri, Jacobs menulis sebuah buku yang berjudul Siapakah Yesus

Kristus dalam Perjanjian Baru. Tradisi sebelum teks Perjanjian Baru, menggunakan

dua macam pengakuan iman yakni “Tuhanlah Yesus” dan “Allah membangkitkan

Yesus dari antara orang mati”. Titik tolak pengakuan dan pernyataan iman ini terletak

pada surat Paulus Roma 10:9 yakni, pengalaman akan kebangkitan Kristus.

Menurut Jacobs, keempat injil memiliki tujuan yang sama yakni; melukiskan

Yesus sebagai Kristus anak Allah yang hadir dalam panggung sejarah umat manusia. 43

Yesus Kristus tidak hanya berbicara atas nama Allah seperti para nabi, melainkan Dia

adalah Allah yang pada kegenapan waktu menjadi manusia dan tinggal bersama

manusia (Yoh 1:14). Peristiwa inkarnasi Sabda Allah menjelma menjadi manusia

merupakan pokok iman yang membedakan kristianitas dari semua agama, yang

mengungkapkan pencarian manusia akan Allah yang telah diungkapkan sejak

permulaan zaman dan yang telah digaungkan oleh para nabi, khususnya ramalan Nabi

43
Jacobs, Siapa Yesus Menurut Perjanjian Baru, 261.

21
Yesaya 7:14, yang mengatakan; “...Sesungguhnya, seorang perempuan muda

mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan

Dia Imanuel.”

Dengan perutusan-Nya, Yesus Kristus ingin berbicara kepada manusia tentang

misi perutusan-Nya (Mat 13:53-58, Mrk 6:1-6, Luk 4:18-19), tentang visi-Nya (Mat

10:5-15, Mrk 6:7-13, Luk 9:2) dan tentang jalan yang harus ditempuh manusia untuk

sampai kepada Bapa.44 Yesus mengatakan bahwa; “Dia-lah Jalan, Kebenaran, dan

Hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Dia” (Yoh

14:6). Kesamaan ini dapat disimpulkan melalui corak pemikiran dan pewartaan

masing-masing pengarang. Dalam perbedaan interpretasi itu, Tom Jacobs kemudian

memberikan penegasan bahwa harus dibedakan antara Yesus historis dan Yesus

kepercayaan. Yesus historis dapat diselidiki kehadiran-Nya di dunia ini melalui

penyelidikkan ilmu sejarah, sedangkan Yesus kepercayaan merupakan interpretasi

iman Gereja terhadap Yesus historis.45

Selanjutnya, latar belakang pemikiran Tom Jacobs tentang Yesus Kristus dapat

ditemukan dalam bukunya yang berjudul; “Imanuel: Perubahan dalam Perumusan

Iman akan Yesus Kristus” (2000) dan artikel yang termuat dalam Jurnal Orientasi

Baru, berjudul; “Mewartakan Yesus Kristus dalam Dunia Modern” (2000). Tom

Jacobs ingin mewartakan diri Yesus Kristus bukan pertama-tama bertitik-tolak dari

Katekismus Gereja Katolik dan bahasa biblis-dogmatis melainkan melalui

pengalaman umat beriman bersama dengan-Nya. 46 Menurutnya, pengalaman itu harus


44
Agus M. Hardjana, Penerj., Yubelium Agung Tahun 2000: Menjadi Manusia Baru dalam Kristus
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997), 18-25.
45
Jacobs, 194.
46
Tom Jacobs, “Mewartakan Yesus Kristus di Zaman Modern,” Jurnal Orientasi Baru, No. 13,
(2000): 41.

22
bersifat pribadi dan memberikan kesaksian iman kepada semua orang tentang hidup

yang digerakkan oleh Roh Kudus.47 Bagi Tom Jacobs, mewartakan Yesus Kristus di

zaman modern membutuhkan kecakapan untuk menggunakan bahasa yang tepat

bukan bahasa yang terlalu berbau dogmatis. Bahasa yang dimaksud yakni bahasa

yang mendapat inspirasi dari Kitab Suci yang sungguh-sungguh mengisahkan karya

penyelamatan Allah dalam diri Yesus Putera-Nya.48 Seluruh kisah hidup Yesus dapat

ditemukan melalui kesaksian Kitab Suci Perjanjian Baru terutama injil suci dan

dikuatkan dengan kesaksian hidup Jemaat Perdana. Tentu saja, tradisi Gereja dan

ajaran magisterium juga memberikan kesaksian yang sama, tetapi Jacobs dalam

keseluruhan karyanya ingin menegaskan kembali bahwa Yesus historis dan Yesus

kepercayaan hanya dapat dijumpai lewat Kitab Suci sebagai sumber utama pencarian.

Menurut Tom Jacobs, orang di zaman ini seringkali salah memahami apa yang

dimaksud dengan Kerajaan Allah. Orang mengartikannya secara spasial, politik dan

nasional. Padahal Kerajaan Allah yang sesungguhnya ialah berhubungan dengan sifat

dan tindakkan Allah yang diwartakan Yesus Kristus.49 Kerajaan Allah tampak dalam

diri Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1:1) yang

membawa kasih Allah kepada seluruh umat manusia. Yesus memandang Kerajaan

Allah itu berciri apokaliptis terbatas, yakni kerajaan itu kini hadir dan sekaligus akan

tiba (eskatologis).50 Tom Jacobs memandang bahwa banyak orang zaman sekarang

mengalami kebingungan dalam memahami ajaran Gereja mengenai Yesus Kristus.

Kebingungan ini berakar pada banyaknya ajaran mengenai Yesus Kristus, baik dalam

47
Ibid.
48
Ibid., 41.
49
Ibid., 30.
50
Ibid., 31.

23
teologi dogmatik mengenai ajaran hypostasis dan persona Yesus maupun dalam

katekese perihal interpretasi Konsili Vatikan II yang dianggap banyak menimbulkan

kebingungan di kalangan umat.51

Persoalan inilah yang melatar-belakangi Tom Jacobs untuk mewartakan Yesus

Kristus sebagai tanda cinta kasih Allah kepada manusia di zaman modern dengan

bertitik-tolak dari Kitab Suci Perjanjian Baru, terutama Injil dan Surat-Surat Rasul

Paulus. Baginya, hanya dalam diri Yesus Kristus rahmat Allah telah menampakkan

diri sebagai pokok keselamatan bagi semua orang (Tit 2:11). 52 Komunikasi para

penginjil tentang Yesus Kristus Penyelamat merupakan komunikasi Yesus sendiri

berdasarkan relasi personal mereka dengan-Nya.53 Bagi Tom Jacobs, relasi ini harus

menjadi semacam pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus yang dikomunikasikan

dan dihidupi dalam keseharian.

Dalam bukunya; “Imanuel: Perubahan dalam “Perumusan Iman akan Yesus

Kristus” (2000), Tom Jacobs secara terbuka menguraikan latar belakang

pemikirannya mengenai Yesus Kristus. Ia menganggap buku ini lebih bersifat

autobiografis atas perkembangan pemikirannya mengenai pribadi Yesus. 54

Perkembangan itu membawanya pada perjumpaan dengan Kitab Suci yang membuka

jalan baru bagi pemikirannya. Bertolak dari Kitab Suci Perjanjian Baru, Tom Jacobs

akhirnya menemukan dua arus pemikiran khususnya dalam teologi Paulus yakni

soteriologi (teologi tentang karya penyelamatan Allah) yakni karya Allah dalam

51
Ibid., 32.
52
Tranggani, 17-18.
53
Ibid., 228.
54
Jacobs, Imanuel, 261.

24
Yesus Kristus dan kyriology (teologi tentang Yesus Tuhan) yang berbicara tentang diri

Yesus sebagai Tuhan.55

Bagi Tom Jacobs, teologi soteriologi dan kyriologi yang ditemukan dalam

Perjanjian Baru merupakan kunci untuk memahami dogma-dogma Kristologi yang

tertuang dalam Katekismus dan refleksi kritis Konsili Vatikan II. 56 Karya Allah dalam

Yesus Kristus merupakan pusat hubungan soteriologis antara Allah dan manusia. Tom

Jacobs berusaha untuk berteologi secara baru yakni dengan menempatkan kerangka

pewahyuan diri Allah dalam ruang lingkup metode membahasakan iman.

2.4. Metode Pemikiran Tom Jacobs

Tom Jacobs menguraikan keseluruhan pemikirannya tentang Yesus Kristus

bertitik-tolak dari teologi Kitab Suci untuk menafsirkan dogma-dogma konsili awal

dengan metode yang digunakan dalam metode eksegese Kitab Suci. Dalam konteks

teologi, metode tersebut dikenal dengan nama metode literer-historis-refleksif.


57
Dengan memanfaatkan metode eksegese, Jacobs menemukan dua arus pikiran

dalam teologi Perjanjian Baru, khususnya dalam Surat-surat Paulus yang hampir

seluruhnya berbicara tentang soteriologi dan kyriologi. Temuan ini kemudian

dimanfaatkan Jacobs untuk menguraikan pemikirannya yang menghubungkan Yesus

historis sebagaimana yang diwartakan dalam Perjanjian Baru dengan konteks

penggunaan bahasa pewartaan di zaman modern. Dalam keseluruhan tulisan-

tulisannya, Jacobs ingin membawa para pembaca untuk mengenal dan mendalami

Yesus Kristus berdasarkan pada pewartaan Injil dan Surat-surat Paulus yang baginya

55
Ibid., 262.
56
Ibid., 264.
57
Jacobs, Syalom, Salam, Selamat, 173.

25
dapat membawa orang pada perjumpaan pribadi dengan Yesus melalui pengalaman

hidup sehari-hari.

2.5. Garis Besar Pemikiran Tom Jacobs Tentang Yesus Kristus

Secara garis besar, butir-butir pemikiran Tom Jacobs tentang Yesus Kristus

dapat ditemukan dalam keseluruhan karyanya. Dalam buku yang berjudul; “Yesus

Anak Maria” (1984) dan “Imanuel: Perubahan Dalam Perumusan Iman Akan Yesus

Kristus” (2000), secara eksplisit memuat pemikiran kristologi Tom Jacobs yang

bercorak fenomenologis dan diuraikan dengan metode eksegese Kitab Suci. Menurut

Jacobs, Yesus Kristus adalah Putera Allah yang sunguh-sungguh hadir dalam

panggung sejarah umat manusia. Melalui pewahyuan diri Kristus, Allah yang semula

jauh kini menjadi dekat dengan umat manusia, Allah yang semula tidak kelihatan kini

menjadi kelihatan dalam Yesus dari Nazaret, “sebab barang siapa melihat Aku, ia

melihat Bapa” (Yoh 14:9, Kol 1:15). Kehadiran Kristus merupakan tanda cinta kasih

Allah kepada manusia yang hanya dapat dijumpai melalui dan dalam diri Yesus

sebagai pembawa rahmat Allah yang tampak. 58 Yesus adalah pokok keselamatan bagi

semua orang (Tit 2:11) dan pemahaman akan Kristus tidak boleh hanya setengah-

setengah saja. Pengenalan itu harus utuh.

Tom Jacobs menyadari bahwa untuk memahami Kristus secara utuh, tentu

tidak mudah. Pada bagian “Imanuel II”, Jacobs menjelaskan kristologinya secara

mendalam. Bagian ini berbicara tentang perkembangan pemikirannya dalam ber-

kristologi selama lima puluh tahun mengajar teologi di Universitas Sanata Dharma-

Semarang dengan menggunakan metode Skolastik. Menurutnya, berkristologi bukan

58
Tranggani, 11.

26
hanya aktivitas menyelami identitas Yesus Kristus berdasarkan etimologi kata,

melainkan juga merupakan aktivitas merefleksikan secara kritis-historis atas peristiwa

hidup Yesus Kristus sekitar dua ribu tahun yang lalu, sebagaimana yang tertuang

dalam Perjanjian Baru. Dengan demikian, Gereja secara implisit juga berkristologi

dalam konteks keseharian hidup sehari-hari yakni melalui merefleksikan Allah yang

sungguh sempurna dalam diri-Nya dan dalam hubungannya dengan karya

keselamatan. Ia mewahyukan diri tanpa ikatan dengan yang bukan ilahi. Karena itu,

Allah mengkomunikasikan diri-Nya dengan menciptakan “partner dialog”.

Melalui keseluruhan karya kristologinya, tampak bahwa Jacobs ingin ber-

kristologi dengan cara menggabungkan dua pendekatan yang digunakan oleh konsili-

konsili ekumenis awal, yakni pendekatan dari atas dan pendekatan dari bawah yang

secara tegas menekankan ciri Ilahi Yesus Kristus. Pendekatan dari atas mengatakan

bahwa Allah turun ke dunia ini dengan yang mewujud dalam diri putra tunggal-Nya

yakni Yesus Kristus. Allah menjadi manusia. Sedangkan pendekatan dari bawah

merupakan refleksi eksistensial umat beriman seputar Yesus Kristus yang berpangkal

pada pengalaman dengan-Nya ketika Yesus hidup di dunia. Yesus kemudian disadari

bukanlah manusia biasa. Ada kekhasan yang membedakan antara Yesus dengan

manusia biasa.

Bertolak dari bahasan kedua pendekatan tersebut, Jacobs sepertinya merasa

perlu berbicara tentang persoalan bahasa dalam ber-kristologi. Salah satu aspek yang

mempersulit pewartaan iman Kristiani dewasa ini ialah persoalan bahasa. Istilah-

istilah dogmatis seperti prosopon, pribadi, hypostasis, ousia, hakekat dan kodrat,

tidak begitu mudah dipahami oleh umat dewasa ini. Bertolak dari persoalan ini,

27
Jacobs kemudian mendasarkan pemikirannya pada pewartaan iman sebagaimana

yang tertuang dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, khususnya soteriologi dan kyriologi

menurut Rasul Paulus. Menurutnya, kedua tema teologis ini adalah kunci memahami

keseluruhan bahasa dogma kristologi awali Gereja. Jacobs merasa bahwa umat

beriman perlu mengerti dan memahami dua arus besar teologi Paulus yakni

soteriologi dan kyriologi. Kristologi Soteriologi berbicara tentang karya

penyelamatan Allah yang di dalamnya terdapat perdamaian, penebusan dan

pembenaran. Kristologi Kyriologi berbicara tentang pengakuan iman yakni Yesus

Kristus adalah Tuhan yang di dalamnya termuat pengosongan diri Putera Allah, Yesus

Putera Allah dan keutamaan Kristus.

Melalui pemahaman terhadap dua pokok teologi tersebut, Jacobs kemudian

menguraikan kristologi dalam konteks misi Gereja. Bertolak dari paham misi Paulus,

Jacobs memandang bahwa misi tiada lain adalah kristologi. Roma 10 kiranya dapat

menjadi titik-tolak yang jelas untuk membicarakan lebih lanjut mengenai misi Paulus.

Titik-tolak itu adalah pewartaan yang kristosentris. Misi Paulus menjadi acuan bagi

Jacobs dalam berkristologi misi karena menurutnya, Paulus dengan kegigihan dan

kesetiaaanya mewartakan Injil Yesus Kristus dan membentuk Kelompok orang

beriman terutama di pusat-pusat kehidupan masyarakat zaman itu.

Setelah menguraikan kristologi misi Paulus, Jacobs kemudian

mengimplementasikan misi tersebut ke dalam dasar-dasar misi kontekstual pewartaan

Gereja yang diarahkan pada hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama lain di

Indonesia, terutama dengan saudara-saudari yang beragama Muslim dapat terjalin

28
dengan baik.59 Namun, perlu penggunaan bahasa komunikasi yang tepat dalam

menguraikan kedua teologi di atas sehingga mudah dipahami dalam forum dialog.

Kristologi kontekstual ini ditempatkan Jacobs dalam kerangka kehadiran Kristus

sebagai penyelamat universal, posisi Kristus di tengah-tengah pluralisme agama.

Posisi Yesus Kristus sebagai penyelamat universal kemudian diwartakan Jacobs

kepada setiap pribadi, yakni dengan menekankan pentingnya perjumpaan dengan

Kristus melalui pengalaman personal. Perjumpaan inilah yang disebut dengan

kristologi berbasis pengalaman personal. Menurut Jacobs, hanya dengan perjumpaan

secara pribadi dengan Kristus, orang akan mengakui siapa Yesus dan apa arti Kristus

baginya?

Agar semua orang menyadari hal ini, Jacobs mengajukan sebuah pertanyaan

sebagai bahan permenungan; “Apa arti Kristus bagi saya?” Melalui pertanyaan ini,

Jacobs ingin membawa umat Kristiani untuk memberikan pengakuan atas identitas

orang yang diimani itu berdasarkan pergulatan hidup sehari-hari, bukan berdasarkan

rumusan-rumusan kristologis tertentu. Baginya, syarat mutlak mengenal Yesus

Kristus dalam setiap orang beriman yakni dengan mengenal diri sendiri. Pribadi

Yesus Kristus baru berarti jika setiap orang mengenal dirinya sendiri secara utuh dan

menyeluruh.60 Dengan kata lain, perjumpaan dengan Kristus hanya mungkin terjadi

jika orang berani bergulat dengan hidup sendiri dan pergulatan inilah yang kemudian

membawa orang pada suatu pengakuan akan makna Yesus dalam hidupnya. Melalui

pergumulan iman akan Yesus Kristus, orang diarahkan untuk mengajukan pertanyaan

59
Ibid., 243-261.
60
Ibid., 13.
Ibid., 14.

29
secara kritis tentang makna kata tersebut dalam dogma soteriologis yang selama ini

berkembang sampai pada pergeseran-pergeseran arti yang muncul sampai zaman

sekarang. Itulah garis besar kristologi Tom Jacobs yang akan di bahas dalam bab

selanjutnya.

BAB III

PENGHAYATAN KRISTOLOGI MENURUT TOM JACOBS

3.1. Berkristologi Menurut Tom Jacobs

Setiap pemikir memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan pemikirannya,

termasuk dalam berkristologi. Menurut Jacobs, berkristologi bukan hanya merupakan

30
sebuah aktivitas menggali identitas Yesus Kristus berdasarkan asal usul kata,

melainkan juga merupakan kegiatan yang mengerahkan daya refleksi kritis-historis

atas historisitas Yesus Kristus, seperti yang tertuang dalam Perjanjian Baru. 61 Dengan

merefleksikan Yesus yang hadir dalam panggung sejarah keselamatan, Gereja secara

implisit juga berkristologi dalam konteks keseharian yakni refleksi terhadap

keunikkan Allah yang sungguh sempurna dalam diri-Nya dan dalam hubungannya

dengan karya keselamatan. Ia mewahyukan diri tanpa ikatan dengan yang bukan ilahi.

Karena itu, Allah mengkomunikasikan diri-Nya dengan menciptakan “partner

dialog”. Melalui keseluruhan karya kristologinya, tampak bahwa Jacobs ingin ber-

kristologi dengan cara menggabungkan dua pendekatan yang digunakan oleh konsili-

konsili ekumenis awal, yakni pendekatan dari atas dan pendekatan dari bawah yang

secara tegas menekankan ciri Ilahi Yesus Kristus.

Pada bagian “Imanuel II, dalam bukunya yang berjudul; “Imanuel: Perubahan

dalam Rumusan Iman akan Yesus Kristus” (2000), halaman 243-265, Tom Jacobs

secara eksplisit menguraikan kristologinya yang menekankan agar memahami Yesus

Kristus harus secara utuh, tidak boleh per-bagian saja. Yesus Kristus memiliki dua

kodrat yakni kodrat ilahi dan kodrat insani dalam satu prosopon (pribadi) dan satu

hypostasis (subyek).62 Keduanya secara total dan tegas berbeda. Kristus juga bukan

setengah Allah setengah manusia, melainkan Dia adalah sungguh Allah, sungguh

manusia. Tindakkan Allah dalam menyelamatkan manusia hanya melalui dan dalam

diri Yesus Kristus yang diciptakan dalam kerangka penyerahan total kepada Bapa-

61
Jacobs, Imanuel, 262.
62
Ibid., 246.

31
Nya.63 Kristus merupakan fondasi dan awal karya penyelamatan Allah dan seluruh

ciptaan tertuju pada Allah, tetapi tidak identik dengan Allah karena manusia Yesus

sejak semula secara total terarahkan kepada Allah. 64 Dalam relasi Kristus dengan

Allah Tritunggal; Allah, Tuhan dan Roh Kudus, menurut Jacobs secara tegas berbeda

antara satu dengan yang lainnya, tetapi ketiganya memiliki suatu hubungan yang unik

dalam kedudukan masing-masing pribadi. Kristus merupakan Firman Allah yang

sudah ada sebelum segala abad. Jika dilihat dalam konteks soteriologi, kedudukan

Kristus dalam karya penyelamatan Allah itulah yang membuat-Nya tidak hanya

sekadar sebagai nabi, tetapi juga sebagai Almasih. Ia dikatakan sehakikat dengan

Allah karena sejak semula Allah menghendaki Kristus sebagai Anak-Nya yang

Tunggal.

Dalam penjelasannya, Jacobs juga menjelaskan arti kata “Tuhan” (kryios).

Menurutnya, kata: “Tuhan” biasanya digunakan dalam lingkup liturgi yang menunjuk

pada Yesus Kristus yang telah bangkit mulia.65 Maka, kebangkitan-Nya inilah yang

menjadi awal kristologi.66 Selain itu, arti kata “Tuhan-Lord” juga tidak sama dengan

“Allah-God”. Tuhan (Lord) merupakan nama gelar bagi Yesus yang merujuk pada

kemuliaan-Nya. Dalam Bahasa Indonesia, kata “Tuhan” seringkali disamakan begitu

saja dengan “Allah”, padahal dalam Kitab Suci tidaklah demikian. 67 Perbandingan ini

dapat ditemukan dalam 1Kor 8:6, 2Kor 11:31, yang mengatakan bahwa hanya ada

63
Ibid.
64
Ibid., 249.
65
Jacobs, Syalom, Salam, Selamat, 105-106.
66
Ibid., 100.
67
Jacobs, Imanuel, 257.

32
satu Allah yakni Allah Bapa dari Yesus, dan hanya ada satu Tuhan yakni Yesus

Kristus. Kitab Perjanjian Baru tidak pernah menyebut Yesus sebagai “Allah”.

Dalam pengakuan Tomas dikatakan: “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28).

Pengakuan ini hanya ingin menonjolkan kesatuan Yesus dengan Allah Bapa-Nya. 68

Jacobs menyadari bahwa di dalam Diri Allah, terdapat dua komunikasi, yang bersifat

ad intra dan ad extra; dari luar melalui Yesus Kristus dan dari dalam melalui Roh

Kudus.69 Melalui karya Roh Kudus, manusia bahkan mampu menangkap

pengalamannya dengan Yesus Kristus dan Sabda-Nya. Manusia juga dimampukan

untuk menangkap pewahyuan diri Allah sebagai bagian dari karya ilahi keselamatan.

Pertemuan Allah dengan manusia sebenarnya sudah terjadi dalam diri Allah sejak

semula. Kesatuan Allah dengan manusia oleh Roh Kudus sejak semula telah

mempersatukan Allah dengan Sabda-Nya. Pewahyuan diri Allah dalam Kristus oleh

Roh Kudus merupakan pernyataan diri Allah sendiri.

Dalam konteks wahyu-iman, Kristus menjadi “tempat” di mana Allah bertemu

dengan manusia seutuhnya. Manusia dapat memandang Allah dalam diri Kristus (Yoh

14: 9). Dalam diri Kristus tegangan Allah manusia, ilahi-insani, Rahmat-Kodrat

senantiasa didamaikan karena hanya dalam Kristuslah Allah mengungkapkan diri

secara utuh kepada manusia. Dalam Yesus, manusia bertemu dengan Allah

kendatipun tidak dapat melihat-Nya. Allah yang menyatakan diri kepada manusia

ditanggapi dengan iman, sebagai bentuk tanggapan manusia atas wahyu Allah. Di

sini, Jacobs mengatakan bahwa iman dan wahyu itu sama, yakni berbicara tentang

hubungan Allah dan manusia tetapi keduanya serentak berbeda sebab iman adalah

68
Ibid.
69
Ibid., 251.

33
jawaban manusia terhadap wahyu Allah. 70 Maka, manusia di satu pihak bertemu

dengan Allah, tetapi di lain pihak Allah tetaplah menjadi misteri bagi manusia.

Perumusan misteri tentang Allah dalam bahasa manusia menurut Jacobs tidak

pernah akan tuntas sampai kapan pun. Perumusan iman dalam sejarah Gereja selalu

berhadapan dengan berbagai macam kesulitan seperti penggunaan istilah-istilah

dogmatis yang terbatas pada perkembangan dan konteks tertentu sehingga

menyebabkan perumusan iman tidak dapat dilakukan secara tuntas. 71 Perumusan

dalam konsili terkesan kaku dan formal sehingga orang mengalami kesulitan bertemu

dengan Allah. Sedangkan dalam Kitab Suci, orang dapat berjumpa dengan Allah yang

secara konkret-aktual menyapa kehidupan manusia.72 Sebagai seorang teolog pluralis,

Tom Jacobs berusaha untuk merumuskan kembali ajaran kristologi yang telah

digunakan berabad-abad yang lalu dengan keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah

pribadi kedua Allah Tritunggal.

Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia dengan menyampaikan Sabda

yang keluar dari mulut-Nya secara efektif. Allah tidak hanya menyampaikan Sabda-

Nya, melainkan Dia sendiri bertemu dengan manusia. 73 Pewahyuan diri Allah secara

nyata tampak dalam diri Yesus Kristus. Yesuslah pemenuhan janji keselamatan yang

telah diramalkan oleh Nabi Yesaya (Yes 52:14, 53:1-12). Pada bagian akhir bukunya

Tom Jacobs mengakui bahwa buku Imanuel merupakan buku yang menyajikan jalan

perkembangan pemikiran dan refleksi teologisnya dimana gaya filsafat skolastik

70
Ibid.
71
Ibid., 258.
72
Ibid., 259.
73
Ibid., 243.

34
(aristotelis-thomistis) sebagai tumpuan pemikirannya. 74 Jacobs mengembangkan

teologi dogmatik para bapa Gereja termasuk dogma kristologis Nikea-Efesus-

Konstantinopel dan Kalsedon. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, setelah

mengenal Kitab Suci ia mulai membuat sebuah pemisahan antara Kitab Suci dan

dogma Gereja, dan kemudian mulai menekuni teologi Kitab Suci. Perkembangan ini

secara eksplisit membawa dampak dalam keseluruhan refleksi teologisnya.

Teologinya merujuk pada “soteriologi” dan “kyriologi” yang disadari sebagai kunci

untuk memahami dogma-dogma konsili awali Gereja. Menurutnya, hubungan antara

Allah dan manusia dalam Kristus sebagai inti dari soteriologi, merupakan

“pengilahian” manusia, sehingga harus dinyatakan bahwa Kristus adalah Firman yang

“sehakikat” dengan Allah.75

3.1.1. Persoalan Perumusan Bahasa Dogma

Tom Jacobs menyadari bahwa hal pertama yang harus dibicarakan yakni

persoalan bahasa. Menurutnya, jika ingin mewartakan Yesus Kristus di dunia modern

seorang pewarta perlu mengerti bahasa yang tepat. Bahasa yang digunakan bukan

bahasa dogmatis dan bukan pula bahasa biblis, 76 melainkan bahasa yang mendapat

inspirasi dari Kitab Suci yakni suatu bahasa yang kyrigmatis, yang membuat

pendengarnya merasakan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam diri Yesus

Kristus Putra-Nya.77 Pewartaan itu harus bersumber pada pengalaman pribadi

sehingga memberi kesaksian mengenai hidup iman yang digerakkan oleh Roh Kudus.

74
Ibid., 261.
75
Ibid., 267.
76
Jacobs, Mewartakan Yesus Kristus dalam Dunia Modern, 41.
77
Ibid.

35
Persoalan bahasa dalam mewartakan Yesus Kristus diuraikan Jacobs secara terperinci

dalam bukunya berjudul; “Imanuel” (2000). Nico Syukur Diester mengatakan bahwa

bahasa merupakan persoalan klasik dalam diskusi berbicara tentang Allah. 78Berangkat

dari persoalan penguraian kata “Imanuel”, Jacobs ingin menunjukkan bahwa dalam

Injil Matius, kata “Imanuel” tidak memaksudkan nama diri Yesus sebab Yusuf

mendapat perintah untuk menamai Dia, “Yesus” (Mat 1:21). Apa yang dimaksud

dengan Imanuel semakin jelas dari ayat terakhir Injil Matius yang berbunyi; “Aku

menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman” (Mat 28:20).

Kata “Imanuel” bukanlah nama diri Yesus melainkan penjelasan mengenai arti

kelahiran Yesus.79 Keyakinan ini bukan hanya ditemukan dalam Injil Matius

melainkan juga dalam Gereja Perdana. Aneka nama digunakan untuk menyatakan

bahwa Allah sungguh-sungguh hadir dalam diri Yesus Kristus. Tetapi untuk

mewartakan kebenaran itu, manusia selalu terkendala oleh keterbatasan bahasa dalam

mengungkapkan apa yang menjadi keyakinannya.80 Keseluruhan Perjanjian Baru juga

mendapat kesulitan dalam menyatakan misteri Allah dalam Kristus. Bahasa, dengan

demikian menjadi tantangan tersendiri dalam pewartaan iman Gereja mengenai Yesus

Kristus. Berthold Anton Pareira juga mengatakan bahwa tantangan pertama dalam

penerusan Injil ialah bahasa.81 Pareira memberikan contoh mengenai kesulitan Paulus

di Atena. Ketika Paulus memperkenalkan Injil di Atena, ia diejek-ejek dan

78
Nico Syukur Diester, “Bahasa Agama dan Ungkapan Iman Orang Kristiani: Sebuah Analisis Formal-
Struktural,” Jurnal Orientasi Baru, No. 7, (1993): 43.
79
Jacobs, Imanuel, 14-15.
80
Ibid.
81
Berthold Anton Pareira, “Apa itu Teologi?,” dalam Robert Pius Manik, Gregorius Pasi dan Yustinus
(Eds), Berteologi Baru untuk Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2020, xxiii.

36
ditertawakan oleh para pendengarnya karena bahasa yang ia gunakan tidak

dimengerti. Padahal, Paulus pandai berbahasa Yunani.82

Meskipun Gereja adalah kumpulan orang-orang beriman, namun tidak berarti

bahwa pemahaman tentang pribadi Yesus Kristus dari Nazaret itu selalu bersifat

kolektif. Pengajaran Gereja bukanlah sabda Allah sendiri melainkan juga pengalaman

dan kebijaksanaan orang lain, khususnya mereka yang diberi tugas kepemimpinan

Gereja.83 Menurut Tom Jacobs, jika ajaran Gereja itu dihubungkan dengan bahasa

Kitab Suci khususnya perikop yang berbicara tentang Yesus dan relasi-Nya dengan

Allah, maka akan banyak menimbulkan pertanyaan dan kebingungan bukan hanya di

kalangan umat, tetapi juga di kalangan para teolog. Kesulitan yang dihadapi ialah soal

pemahaman terhadap terminologi dan penafsirannya.84 Sebagai contoh, Jacobs

mengutip artikel pertama dari konstitusi Dewan Gereja-Gereja Sedunia (WCC) yang

berbunyi;

Dewan Gereja-Gereja Sedunia merupakan persekutuan (fellow-ship)


Gereja-Gereja yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah
penyelamat sesuai dengan (according to) Alkitab dan karena itu
berusaha bersama-sama mengikuti (fulfil) panggilan mereka bersama
demi kemuliaan Allah yang satu, Bapa, Anak dan Roh Kudus.85

Rumusan Trinitas ini memang sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi. Namun,

penjelasan mengenai dogma tersebut tidak dicantumkan agar dapat dimengerti

dengan baik. Katekismus Gereja Katolik artikel 252 mencoba menjelaskan rumusan

tersebut dengan mengatakan bahwa:

82
Ibid.
83
Jacobs, 23.
84
Ibid.
85
Ibid., 23.

37
Gereja mempergunakan gagasan “substansi” (kadang-kadang
diterjemahkan juga dengan “hakikat” atau “kodrat”) untuk menyatakan
kodrat ilahi dalam kesatuannya; gagasan “pribadi” atau “hipostasis”
untuk menyatakan Bapa, Putera, dan Roh Kudus dalam perbedaan-Nya
yang real satu dari yang lain; gagasan “hubungan” untuk mengatakan
bahwa perbedaannya terletak dalam hubungan timbal balik antara
ketiganya.86

Menurut Jacobs di balik rumusan tersebut terdapat berbagai pertanyaan

kristologis yang tidak terelakkan; apa yang dimaksud dengan kata pribadi?

Bagaimana menjelaskannya? Kesulitan menjelaskan kata “pribadi” sebenarnya sudah

disadari dalam teologi sebelum Agustinus. Kata “pribadi” dapat dimengerti sebagai

sentral dari tindakan yang sadar dan bebas yang tertutup dalam dirinya sendiri. 87

Istilah ini seringkali menggiring orang pada paham triteisme (adanya tiga Allah),

sebagai tiga pusat tindakkan dalam Allah. Melihat kesulitan dalam penggunaan istilah

ini, maka para teolog menurut Jacobs, mengusulkan agar istilah itu diganti dengan

istilah khusus yang merujuk pada cara berada Yesus. Karena itu, pada abad ke-4 cara

berada tersebut dikenal dengan istilah hypostasis. Tetapi cara berada yang khusus ini

tidak mudah untuk dipahami bahkan lebih sulit dari istilah “pribadi”. Dengan

demikian, bahasa juga menjadi persoalan dalam perumusan dogma kristologis awali.

Berbagai kesulitan dalam perumusan istilah dogmatis menunjukkan problem

abadi dalam Gereja yakni persoalan bahasa pengungkapan yang tepat. Penafsiran dan

pemahaman bahasa Kitab Suci dan ajaran Gereja tidak hanya persoalan terjemahan

teks, melainkan juga keterlibatan aneka komunikasi.88 Pemahaman itu mungkin hanya

dimiliki oleh para ahli atau mungkin juga tidak satupun dari mereka yang dapat

86
P. Herman Embuiru, Penerj., Katekismus Gereja Katolik (Ende: Penerbit Arnoldus, 1995), 98.
87
Jacobs, 25.
88
Ibid., 30.

38
memahami bahasa iman Kristiani dengan baik. Untuk mengerti, orang perlu

menyadari bahwa perumusan iman dari waktu ke waktu dan dalam konteks tertentu

akan mengalami perubahan sesuai dengan konteks peradaban zaman. Rumus-rumus

tersebut selalu memperoleh arti dan maksud lain. Karena itu, dalam mengimani Yesus

Kristus orang tidak lagi bergulat dengan rumusan-rumusan dogmatis, melainkan

dengan fakta dan pengalaman sebagai pusat dari pengenalan iman.89

Berdasarkan kesulitan bahasa pengungkapan iman di atas, maka Tom Jacobs

memberikan satu syarat pewartaan iman yang menjadi dasar berteologi dewasa ini,

yakni: “back to basics” (kembali kepada dasar-dasarnya).90 Ungkapan ini sekaligus

petunjuk bagi siapapun yang ingin menghubungkan bahasa pewartaan dengan

konteks zaman: “kembali kepada dasar dan sumber iman Gereja, yakni Kitab Suci”.

Menurutnya, teologi harus mampu mempertanggungjawabkan diri di hadapan bahasa

pengungkapan.91 Bahasa merupakan pengungkapan diri subyek dan kehadiran obyek.

Bahasa teologi juga bersifat “obyektif” baik sebagai representasi obyek maupun

sebagai penunjuk subyek.92 Pewartaan dalam berteologi haruslah menghadirkan

Kristus sendiri sebagai sentral pewartaan. Menggunakan pemikiran Cuma Warneck,

Jacobs menegaskan bahwa subyek misi Gereja yang sesungguhnya ialah mewartakan

Yesus Kristus dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang, yakni bahasa

yang tidak terikat dengan berbagai macam terminologi yang sulit ditafsirkan dengan

89
Ibid.
90
Ibid.
91
Tom Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi”, ed. Prof. Tjaard. G.
Hommes, Th. D dan E. Gerrit Singgih, Ph. D, Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi Pastoral
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 206.
92
Tom Jacobs, “Teologi yang Eklesial dan Kultural,” ed. Budi Susanto, Teologi dan Praksis
Komunitas Post-Modern, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), 34.

39
tepat.93 Bahasa, dengan demikian menjadi titik-tolak dalam ber-teologi khususnya

dalam merumuskan dan mewartakan bahasa kristologis tradisional dalam konteks

zaman sekarang.

3.1.2. Kristologi Bercorak Perjanjian Baru

Secara keseluruhan, gagasan-gagasan kristologi Tom Jacobs diwarnai oleh

Kitab Suci Perjanjian Baru, terutama dari surat-surat Rasul Paulus yang menjadi titik-

tolak kristologinya. Bertolak dari rumusan-rumusan dogma kristologi awali, Jacobs

ingin ber-kristologi secara baru dengan melihat bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru dan

Tradisi Gereja sebagai sumber pengetahuan tersendiri untuk mendalami misteri karya

keselamatan Allah. Yesus Kristus adalah pokok iman Gereja. Semua ajaran dan karya

Yesus secara eksplisit dituangkan dalam karangan-karangan Kitab Perjanjuan Baru,

khususnya dalam Injil.94 Melihat pentingnya berbicara tentang Yesus dalam Perjanjian

Baru, maka Douglas Broothuis mengatakan bahwa kekristenan akan hancur

berkeping-keping tanpa adanya Yesus Perjanjian Baru. 95 Memeriksa alam Perjanjian

Baru sangat penting untuk melihat apakah Yesus yang dipresentasikan itu dapat

dipercaya sebagai Yesus yang sebenarnya atau tidak.

A. Roy Eckardt, dalam bukunya yang berjudul; “Menggali Ulang Yesus

Sejarah: Kristologi Masa Kini”, melihat pentingnya kembali kepada sumber iman

Gereja, yakni Kitab Suci sebagai fondasi dalam berbicara tentang Yesus dari Nazaret.

Eckardt ingin mengembalikan Yesus dari Nazaret ke dunia-Nya dan agama-Nya

93
Tom Jacobs, “Misi dan Kristologi,” Jurnal Orientasi Baru, No. 5, (1991): 69.
94
Jacobs, Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, 5.
95
Daniel Setiawan, Penerj., Yesus di Zaman Kontroversi (Jakarta: Verbum Dei Books, 2008), 36-37.

40
semula, yaitu dunia Yahudi dan Yudaisme.96 Penekanan Eckardt memiliki kesamaan

dengan penekanan Jacobs dalam ber-kristologi. Dengan memisahkan pengajaran

dogma dan Kitab Suci, Jacobs ingin mewartakan Yesus Kristus yang tertuang dalam

Perjanjian Baru dengan metode yang digunakan dalam eksegese Kitab Suci dan

kembali kepada Yesus yang sebenarnya.97 Melalui metode eksegese, ditemukan

bahwa kunci memahami dogma-dogma kristologi awali terletak pada dimensi:

soteriologi dan dimensi kyriologi yang dalam teologi Patristik relasi soteriologi

ditempatkan seluruhnya dalam diri Yesus Kristus. Menurut Jacobs, metode kristologi

Patristik ternyata dihadapkan pada persoalan serius yakni; bagaimana kesatuan antara

ke-allahan dan kemanusiaan serentak berada dalam pribadi Yesus dari Nazaret? 98

Dalam teologi Patristik, relasi Allah dan manusia merupakan inti soteriologi yang

diartikan sebagai “pengilahian” manusia, sehingga menimbulkan konsekuensi yakni

Kristus sebagai Firman Allah (logos) yang sehakikat dengan Allah harus dijelaskan.99

Perbedaan dimensi soteriologi dan kyriologi merupakan faktor penting untuk

memahami aneka kristologi yang ada dalam alam Perjanjian Baru. Jacobs

mengatakan bahwa;

Selanjutnya saya temukan dua arus pemikiran dalam teologi Perjanjian


Baru, khususnya Paulus yang saya sebut soterologi (teologi tentang
karya penyelamatan Allah) dan kyriologi (teologi tentang Yesus Tuhan).
Yang pertama memusatkan perhatian pada karya Allah dalam Kristus.
Yang kedua berfokus pada diri Yesus sendiri sebagai Tuhan. Pada waktu
itu saya sama sekali tidak menyadari betapa pentingnya perbedaan
pandangan teologis ini berhubungan dengan rumusan dogma kristologis
dalam konsili-konsili Gereja yang pertama. Saya hanya mencatat bahwa

96
Ioanes Rahmat, Penerj., Menggali Ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masa Kini (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 1996), xiii.
97
Jacobs, Imanuel, 262.
98
Ibid., 264.
99
Ibid.

41
perbedaan itu merupakan faktor penting untuk memahami aneka
kristologi yang ada dalam Perjanjian Baru.100

Dalam kerangka pewahyuan diri Allah yang ditempatkan dalam kerangka

membahasakan iman, Jacobs berusaha berkristologi secara baru. Menurutnya,

kristologi Perjanjian Baru merupakan kristologi yang dapat menjadi semacam sumber

otentik dalam menemukan identitas Yesus Kristus. Kitab Perjanjian Baru memberikan

informasi penting bagi Gereja, yakni Allah yang berinisiatif mendatangi manusia

dalam diri Anak-Nya, Yesus Kristus. Maka tanggapan manusia terhadap inisiatif itu

harus terwujud dalam iman akan Yesus Kristus yang hanya di dalam dan melalui Dia,

karya keselamatan Allah dilaksanakan secara total.101 Allah menerima semua orang

yang percaya kepada-Nya masuk ke dalam hidup-Nya sendiri dan sebagai Allah yang

transenden, Ia mengambil rupa seorang hamba dalam diri Yesus dan masuk dalam

sejarah manusia.102

Berikut merupakan uraian dua arus pemikiran kristologi Tom Jacobs, yakni;

soteriologi dan kyriologi yang diuraikan berdasarkan kristologi Rasul Paulus. Kedua

arus pemikiran ini menurutnya merupakan kunci memahami rumusan kristologi

awali.

3.2. Kristologi Soteriologi: Karya Penyelamatan Allah

100
Ibid., 262.
101
Tom Jacobs, Iman dan Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 7.
102
Jacobs, Imanuel, 261.

42
Secara keseluruhan karya Jacobs dalam berkristologi, dapat ditemukan bahwa

pembicaraannya selalu dihubungkan dengan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.

Identitas Yesus selalu dihubungan dengan peran-Nya sebagai sang Juruselamat.

Berdasarkan arti katanya, “soteriologi” berasal dari Bahasa Yunani (= soteria) dan

dalam bahasa Ibrani (yesyu’a) yang berarti keselamatan. Menurut teologi dogmatik,

soteriologi berpusat pada Yesus sebagai sang penebus yang berlangsung pada wafat

Yesus di kayu Salib dan kebangkitan-Nya demi keselamatan manusia. A. Heuken, SJ,

dalam ensiklopedi Gereja mengatakan bahwa inti pokok teologi Kristiani semuanya

diwarnai oleh dimensi penebusan.103 Menurut injil, kedatangan Yesus Kristus sabda

Allah yang menjelma menjadi manusia bertujuan untuk memulihkan relasi manusia

dengan Allah yang telah dirusakkan oleh dosa.104 Ketaatan penuh Yesus kepada Bapa,

ditunjukkan dengan kerelaan-Nya menanggung dosa semua orang dengan wafat di

kayu Salib dan mengalahkan maut dengan kebangkitan (Rm 4:25, 8:3, 1Kor 15:21,

Ibr 4:15).

Tom Jacobs melihat konteks penebusan ini berdasarkan pandangan kristologi

Paulus. Menurutnya, perkembangan soteriologi Paulus tampak jelas dalam 1Kor

15:3-5.105 Di Korintus, banyak orang tidak percaya akan adanya kebangkitan orang

mati. Bagi Paulus jika orang menyangkal kebangkitan badan, maka runtuhlah iman

Kristiani (15:2). Dengan tegas Paulus mengatakan bahwa “Kristus telah mati karena

dosa-dosa kita” (15:3). Penegasan ini menunjukkan bahwa wafat Yesus tidak hanya

sebatas fakta historis, melainkan sungguh-sungguh dilihat sebagai peristiwa

103
A. Heuken, Ensiklopedi Gereja Edisi IV Ph-To (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Craka, 1994), 273.
104
Jacobs, Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, 59.
105
Ibid., 50.

43
keselamatan yang diungkapkan dengan kata “menurut Alkitab”. Jacobs mengartikan

kata ini sebagai “menurut rencana keselamatan Allah yang diuraikan dalam

Alkitab”.106 Fitzmyer mengatakan bahwa dimensi soteriologis seluruh kehidupan dan

pelayanan Yesus merupakan tema besar dan mendasar dari pewartaan Paulus 107 yakni

Allah dalam Kristus,108 untuk manusia dan di pihak manusia. Jacobs kemudian

menyebut dimensi ini sebagai “prinsip solidaritas” Putera Allah dengan kehidupan

manusia berdosa yang dibuktikan dengan wafat-Nya di kayu Salib. 109 Karena dosa,

manusia dijauhkan dari Allah, tetapi karena Salib, Kristus bersatu kembali dengan

Allah dan relasi manusia dengan-Nya dipulihkan. Karya penyelamatan Allah selalu

dilakukan oleh Allah Bapa, dalam dan melalui Kristus.

Jacobs menguraikan tiga metafor hubungan Allah dengan Kristus dalam

konteks soteriologi Paulus yang sekaligus merupakan inti pokok kesatuan manusia

dengan Allah. Tiga metafora tersebut, yakni; perdamaian, penebusan dan

pembenaran.

3.2.1. Perdamaian

Jika karya keselamatan dilihat terutama dari sudut Allah Bapa, maka

hubungan itu disebut perdamaian. Jacobs menggunakan teks Paulus dalam 2Kor

5:18-19 yang berbunyi; “Allah dengan perantaraan Kristus mendamaikan kita dengan

diri-Nya dan mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami. Sebab memang

Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya dalam Kristus dan menyampaikan sabda

106
Ibid.
107
Joseph A. Fitzmyer, Katekismus Kristologi (Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 1994), 110-111.
108
Tom Jacobs, “Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru,” Jurnal Orientasi Baru,
No. 6, (1992): 102.
109
Ibid.

44
perdamaian dalam kami.” Mengikuti Paulus, Jacobs mengatakan bahwa upacara hari

raya perdamaian dalam Imamat 16 merupakan hari di mana Yahwe, Allah Israel

membangun kembali kerukunan dengan umat-Nya.110 Berkat perjumpaan manusia

dengan Yesus sendiri, upacara ini tidak akan diulangi kembali. Wafat Yesus adalah

tempat pertemuan antara Allah dan manusia dan dengan kematian-Nya, Allah bersatu

dengan kelemahan manusia.111 Paulus yakin bahwa wafat Kristus berarti pertemuan

Allah dengan manusia berdosa dan dalam Yesus, rahmat khusus diberikan Allah

kepada orang berdosa. Inilah yang disebut dengan paham perdamaian. 112 Melalui

perdamaian, terbukalah rahmat keselamatan bagi manusia. Dalam konteks ini, arti

keselamatan pada peristiwa wafat Kristus terletak pada sikap ketaatan Kristus.

Sebagai anak, Ia menyerahkan diri secara penuh kepada Bapa Maharahim dan

melalui pertemuan Bapa dalam wafat dan kebangkitan putra-Nya inilah yang

merupakan inti dari misteri keselamatan.113

3.2.2. Penebusan

Donald Macleod, dalam bukunya berjudul; “The Person of Christ” (1998),

mengatakan bahwa kedatangan Yesus Putra Allah ke dunia ini ialah untuk merasakan

pengalaman manusia.114 Macleod ingin menegaskan pentingnya melihat makna

solidaritas Yesus dalam konteks karya penyelamatan. Dalam Roma 3:24, Paulus

mengatakan bahwa penebusan manusia oleh Kristus disebut dengan “uang tebusan”.

Jacobs melihat bahwa ada sedikit perbedaan antara paham penebusan dalam
110
Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, 55.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
Jacobs, Syalom, Salam, Selamat, 75.
114
Donald Macleod, The Person of Christ: Contours of Christian Theology (United States of America:
Illionis, 1998), 23.

45
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, “penebusan” dilihat

sebagai pengambil-alihan posisi. Artinya, orang lain mengambil alih nasib sesamanya

yang tidak berdaya lagi (bdk. Ul 25:5-10, Rut 3:9-13). Tetapi dalam Perjanjian Baru,

kata “penebusan” dihubungkan dengan darah Kristus. Prinsip solidaritas Kristus

dengan manusia menjadi jelas karena Ia telah menebus (= membeli) manusia dari

kutuk Hukum Taurat dengan menjadi kutuk atas manusia (Gal 3:13). Karena itu,

penebusan Kristus mengembalikan kebebasan manusia dalam relasinya dengan

Allah.115

3.2.3. Pembenaran

Mengutip Roma 3:24-25, Jacobs hendak menempatkan arti pembenaran dalam

konteks perdamaian dan penebusan. Dengan metafor pembenaran, maka dialog

Paulus dengan orang Yahudi menjadi lebih terbuka (Rm 3-8, Gal 2-3). Kata

“membenarkan” merupakan istilah dari dunia pengadilan; “dibenarkan” berarti

“dinyatakan benar atau salah oleh hakim” (Mat 12:37). Di sini, manusia dibenarkan

karena solidaritas Kristus. Berkat kepercayaan akan Kristus, manusia dibenarkan. 116

Iman akan Kristus berarti percaya bahwa hanya Kristuslah pengantara Allah dan

manusia (1Tim 2:5). Percaya akan kebangkitan berarti mengamini bahwa Yesus

dipersatukan dengan Bapa dan Dia-lah yang membenarkan manusia di hadapan

Allah.117 Wafat Kristus merupakan bukti solidaritas-Nya dengan manusia dan

tindakkan kebenaran Kristus dalam ketaatan-Nya sebagai Anak. Paulus mengatakan;

115
Jacobs, Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, 56.
116
Ibid., 57.
117
Tranggani, 121.

46
“Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi

hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” (1Kor 1:30).

3.3. Kristologi Kyriologi: Yesus Kristus adalah Tuhan

Setelah menguraikan aspek karya keselamatan Allah dalam diri Yesus Kristus,

Jacobs mencoba menguraikan Kristologi Paulus dari sudut pandang kyriologi. Dalam

dunia Hellenis, kata kyrios digunakan baik dengan arti religius, maupun dengan arti

sekular.118 Secara etimologi, kata “kyrios” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti

“tuan” atau “Tuhan”. Dalam terjemahan Ibrani yang digunakan dalam Septuaginta,

kata “kyrios” disebut Yahwe.119 Agama-agama dalaml imperium Yunani dan kerajaan-

kerjaan pada zamannya menggunakan kata kyrios (Feminin: kyria) untuk menyebut

dewa-dewi yang mereka jadikan sembahan, yang dianggap mampu menjawab semua

doa dan permohonan sehingga patut memperoleh ungkapan syukur dan terima kasih

serta sembah bakti manusia. Dewa-dewi tersebut diantaranya seperti Isis, Serapis,

Osiris, yang mereka sebut sebagai kryios. Dalam arti sekular, kyrios merujuk pada

arti; tuan, misalnya dalam tulisan-tulisan Paulus yang dihubungkan dengan kata

doulos (hamba). Dalam penggunaan ini, kyrios dapat berarti tuan, penguasa dan

pemilik.120 Kadang-kadang, kata ini juga merupakan bentuk sapaan halus kepada

seseorang yang dihormati, seperti kata seru Sir (Inggris), tuan (Indonesia) dan ndara

(Jawa).

Kata kyrios juga memiliki berbagai sebutan seperti dalam bahasa Portugis

Senhor sama dengan Tuan, Bahasa Perancis disebut Seigneur, Inggris Lord, Belanda
118
Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011), 154.
119
A. Heuken, Ensiklopedi Gereja Edisi III Kons-Pe (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993), 59-
60.
120
Ibid., 155.

47
Heere melalui Leijdecker berubah menjadi Tuhan. Dalam septuaginta, kata kyrios

digunakan lebih dari 9.000 kali. Kata ini digunakan untuk menyebut seorang pemilik,

mulai dari pemilik hewan piaraan (Ul 1:3) sampai Allah yang memiliki bumi (Yos

3:11, Mzr 97:5). Sebanyak 6.156 kali, kyrios digunakan untuk menulis nama diri

Allah Israel (YHWH). Kata “Yahwe” merupakan nama Allah yang tidak boleh

diucapkan. Untuk menghindari penyebutan nama suci (yang sering disebut

Tetragrammaton), digunakan kata Adonai yang berarti tuanku. Setiap kali ada kata

YHWH, orang membacanya dengan Adonai. Kyrios digunakan untuk menerjemahkan

kata Adonai yang berarti tuanku ini. karena itu, kyrios tidak sama arti dengan YHWH,

melainkan searti dengan Adonai yang dalam tradisi Yahudi digunakan untuk

membaca nama YHWH tersebut.121

Kyrios merupakan gelar kehormatan yang mengungkapkan hubungan orang

beriman dengan Allah. Dalam Perjanjian Baru, kyrios digunakan untuk menyebut

Allah Bapa dan Kristus.122 Kata ini dapat ditemukan dalam surat-surat Paulus

misalnya kepada Jemaat di Filipi 2:9-11. Kata kyrios bermakna sama dengan kata

Tuhan dan menyatakan keluhuran ilahi Allah Putra yang menjelma menjadi manusia

dalam Kristus Yesus (Yoh 1:1). Tradisi kristen mengambil kata Yunani “kurios” dan

mengalihkannya menjadi suatu istilah yang menyatakan kedudukan istimewa Yesus

dan kodrat-Nya yang unik sebagai Tuhan yang ada sebelum segala zaman. 123

Pembicaraan Paulus mengenai pribadi Yesus sebenarnya juga merupakan uraian

tentang Yesus yang diangkat menjadi “kyrios, Tuhan, tuan”. 124 Karena itu, kristologi

121
Ibid., 156.
122
Roch A. Kereszty, Jesus Christ: Fundamentals of Christology (New York: Alba House, 1991), 136.
123
Rahmat, 249.
124
Jacobs, 66.

48
Paulus disebut kyriologi yang dapat ditemukan dalam Filipi 2:6-11, Roma 1:1-7 dan

Kolose 1:15-20. Ketiga teks tersebut merupakan gambaran Paulus mengenai pribadi

Kristus.

Menurut kesaksian Bernhard Kieser, Jacobs mendalami teologi Paulus bukan

karena pribadi Paulus yang unik dan menarik, melainkan karena injil yang diwartakan

oleh Paulus, yakni injil yang memaklumkan pribadi Yesus Kristus sebagai Tuhan

(kyrios) dan mengenangkan peristiwa keselamatan dalam Yesus, khususnya wafat dan

kebangkitan-Nya.125 Jacobs selalu menghubungkan kristologinya dengan pengakuan

iman bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Pada bahasan ini, Jacobs ingin mendalami

tiga pokok teologi kyriologi Paulus, yakni; pengosongan diri Putera Allah, Yesus

Putera Allah dan Keutamaan Kristus.

3.3.1. Pengosongan Diri Putera Allah (Filipi 2:6-11)

“.... 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah

itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7melainkan telah mengosongkan diri-

Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan

manusia. 8Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan

taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 9Itulah sebabnya Allah sangat

meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,


10
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di

atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 11dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus

adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa

125
Bernhard Kieser, “Teologi dan Spiritualitas,” Jurnal Orientasi Baru, No. 8, (1994): 10.

49
Dalam perikop ini Paulus melihat peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus

dalam kesatuan yang erat. Kedua relasi itu diterangkan dengan skema “kerendahan

dan peninggian”. Yesus Kristus ditinggikan oleh Bapa karena dengan ketaatan-Nya

yang total, telah merendahkan diri-Nya, Ia telah “mengosongkan” diri dengan

mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (2:6). Menurut

Jacobs, jika dikatakan bahwa Yesus “taat sampai mati”, ketaatan ini bukanlah suatu

“tindakan benar” seperti dikatakan dalam Rm 5:19, melainkan sebagai “tanda” atau

perwujudan konkret dari sikap “pengosongan” diri Kristus. 126 Sebagaimana Kristus

di bawah Allah dalam kemuliaan (1Kor 15:24-28), demikian juga dengan pra-

eksistensi-Nya. Paulus memandang “pengosongan” diri Yesus dari sudut kebangkitan

Tuhan yang mulia (Rm 1:1-14). Kemuliaan itu diungkapkan dengan nama yang biasa

digunakan untuk Allah sendiri yakni “Tuhan” (kyrios). Maka, pemikiran kristologi

Paulus lebih jelas dilukiskan dalam kyriologi daripada dalam soteriologinya. Disini

Paulus mengemukakan bahwa wafat dan kebangkitan Kristus merupakan ungkapan

dari relasi pribadi antara Bapa dan Putera, yakni wafat Kristus sebagai ungkapan

kataatan Putera kepada Bapa, sedangkan kebangkitan merupakan ungkapan

penerimaan Putera oleh Bapa.127

3.3.2. Yesus Putera Allah (Roma 1:1-7)

“1Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan

untuk memberitakan Injil Allah. 2 Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan

126
Jacobs, 66.
127
Ibid., 67-68.

50
perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, 3tentang Anak-Nya, yang menurut

daging diperanakkan dari keturunan Daud, 4dan menurut Roh kekudusan dinyatakan

oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang

berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. 5Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih

karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya

dan taat kepada nama-Nya. 6Kamu juga termasuk di antara mereka, kamu yang telah

dipanggil menjadi milik Kristus. 7Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang

dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus: Kasih karunia

menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus

Kristus.”

Jacobs menguraikan kyriologi Paulus bertolak dari struktur “kerendahan-

peninggian, yang kemudian dirumuskan menurut daging dan menurut Roh.

Pengakuan bahwa Yesus dilahirkan dari benih Daud merupakan pengakuan

kristologis. Menurutnya, pandangan Paulus mengenai daging dan Roh harus dilihat

dalam ayat 3-4; “Injil Allah tentang Putra-Nya” yang sejak semula dalam daging”,

Yesus adalah putera Allah. Jacobs mengidentifikasi barangkali yang dirumuskan

sebagai “menurut daging – menurut Roh” mempergunakan bahan dari tradisi, “Yesus

dilahirkan dari benih Daud” dan “Yesus adalah Putera Allah.” 128 Penyebutan “Yesus

adalah Putera Allah” serupa dengan homologi “Yesus adalah Tuhan”. Namun, tidak

ada bukti yang menunjukkan bahwa Gereja Purba pernah menggunakan nama “Putera

128
Ibid.

51
Allah”.129 Pengungkapan ini masih tersembunyi dan hanya dikenal sebagai Kristus

karena kelahiran-Nya yang berasal dari keturunan Daud.

Menurut Jacobs, Paulus mewartakan sejarah Yesus bertolak dari keadaan-Nya

dalam daging yang masuk ke dalam kemuliaan ilahi dengan gelar kehormatan dari

bangsa Yahudi yakni “Putera Allah dalam kuasa, Yesus Kristus Tuhan kita”. Melalui

kebangkitan-Nya Yesus “diangkat” menjadi Putera Allah. Paulus mengatakan bahwa

sebelumnya Yesus sudah menjadi putera Allah, hanya dengan kebangkitan-Nya Ia

“dinyatakan” dalam kuasa Putera Allah. Kata “dinyatakan”; “dibenarkan” dan

“diangkat”, secara implisit mengandung arti bahwa Allah terungkap sebagai subyek.

Namun, dengan menampakkan diri kepada pada malaikat, dinyatakan bahwa Kristus

adalah kyrios di surga. Karena itu, di dunia ini juga harus diwartakan bahwa dalam

Kristus, terlaksanalah karya keselamatan Allah secara penuh dan definitif. Maka

hymne kyriologi 1Tim 3:16 menurut Jacobs sewajarnya diakhiri dengan “kemuliaan”

Kristus, sebab Kristus adalah kepenuhan karya Allah.130

3.3.3. Keutamaan Kristus (Kolose 1:15-20)

“15Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari

segala yang diciptakan, 16karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu,

yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan,

baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala


17
sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala
18
sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat.

129
Ibid.
130
Jacobs, Imanuel, 116-117.

52
Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang

lebih utama dalam segala sesuatu. 19Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam
20
di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-

Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan

pendamaian oleh darah salib Kristus.”

Jacobs menguraikan pemikiran Paulus tentang Kristus sebagai gambar Allah.

Menurutnya, hymne perikop ini dapat dibagi dalam dua bagian yakni; peranan

Kristus dalam karya penciptaan (ay. 15-17) dan karya Kristus dalam karya

penyelamatan (ay. 18-20 dan disinggung oleh Paulus dalam 1Kor 8:6), khususnya

relasi dalam relasi dengan Gereja. 131 Kedua pembagian ini tidak hanya

memperlihatkan Yesus sebagai pengantara antara Allah dan manusia, tetapi juga

sekaligus segala sesuatu terarah kepada Dia (ay. 16, 20; “untuk Dia”). Dengan

demikian, kyriologi di sini dapat dilihat dalam rangka dimensi kosmis (ay. 15). Wafat

dan kebangkitan Kristus adalah fakta keselamatan yang tidak dibicarakan lagi dalam

diri Kristus, Allah hadir melaksanakan karya penyelamatan-Nya. Surat Paulus kepada

Timotius dalam 1Tim 3:16 merupakan contoh kyriologi karena di dalamnya

terkandung pokok hubungan antara surga dan dunia yang terjadi karena penampakkan

diri Kristus yang dinyatakan, diwartakan dan dipercayai. Sedangkan kata

“dibenarkan” dan “diangkat” menyatakan kemuliaan Kristus sendiri sebagai Anak

Allah.132 Hanya melalui Kristus, Allah melakukan karya penyelamatan-Nya secara

definitif dan tak terbatalkan.

131
Ibid., 114.
132
Ibid., 115-116.

53
Melalui penguraian kedua pokok kristologi Paulus di atas, maka terbukti

bahwa Tom Jacobs mendasarkan kristologinya pada pewartaan Perjanjian Baru

khususnya kristologi Paulus yang memperlihatkan adanya hubungan erat antara

soteriologi dan kyriologi dalam pemikiran Paulus sehingga Jacobs mengatakan bahwa

disitulah kunci untuk memahami keseluruhan dogma Kristologi awal: Nikea,

Konstantinopel, Efesus dan Kalsedon.133

3.4. Kristologi Dalam Konteks Misi Gereja

Pemikiran kristologi Tom Jacobs tidak bisa dipisahkan dari konteks misi

Gereja. Baginya, Gereja tanpa misi bukanlah Gereja seperti yang dimaksudkan oleh

Yesus.134 Menurut Edmund Woga, dalam situasi saat ini, penjelasan tentang misi

seperti yang dikehendaki oleh Yesus Kristus sangat perlu dan berguna, sebagai dasar

perutusan dan pendalaman iman dalam Gereja. 135 Melalui artikelnya yang berjudul

“Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi Dalam Perjanjian Baru” (1992), Tom Jacobs

menguraikan secara eksplisit relasi misi dan Gereja dalam dimensi kristologis.

Mengutip pemikiran Lucien Legrand yang melihat pembentukan Gereja sebagai

prinsip dasar misi, Jacobs mengatakan bahwa Allah datang untuk menciptakan umat

manusia yang dalam Perjanjian Lama adalah Allah Israel dan dalam Perjanjian Baru

adalah Gereja.136 Legrand mengingatkan para pembaca bahwa dalam Kitab Suci,

terdapat banyak paham misi. Namun menurut Jacobs, Legrand hanya melihat satu

133
Ibid., 262.
134
Tom Jacobs, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium: Mengenal Gereja (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1970), 335-338.
135
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 10.
136
Jacobs, Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru, 95.

54
faktor yang konstan dalam panggung sejarah Allah dengan manusia sehingga ia

berani mengatakan bahwa misi selalu berarti pengumpulan.

Jacobs kemudian menguraikan paham misi Perjanjian Baru sebagai bentuk

tanggapan atas pandangan Legard yang dipersempit oleh konteks Perjanjian Lama.

Secara konsekuen dikatakan bahwa, seperti Yesus dan bangsa Israel, begitu juga misi

Gereja adalah pertama-tama dan terutama karya dan tindakan Allah. Menurut Jacobs,

di satu pihak misi berakar kuat pada sejarah Israel, namun di pihak lain, misi akan

masuk ke dalam struktur geografis dan historis umat manusia seluruhnya dan Paulus

juga termasuk dari jemaat itu.137 Paulus merasa diri sebagai rasul Kristus Yesus (1Kor

1:1, 2Kor 1:1, 1Tes 2:6). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hubungan rasul dan

Kristus bagi Paulus sangat penting. Yang dimaksudkan bukanlah kesinambungan

Paulus dan Yesus tetapi terutama isi kristologi pewartaan Paulus yang berpusat pada

Kristus. Jacobs mengatakan bahwa Rom 10, kiranya menjadi titik pangkal yang jelas

menggambarkan misi Paulus. Titik pangkal itu ialah pewartaan yang kristosentris. Di

samping menggunakan kata kerysein Paulus juga menggunakan kata eyanggelion dan

eyanggelizesthai sebagai pewartaan pokok. Eyanggelion itu tidak hanya berasal dari

Paulus melainkan juga dari Jemaat Purba (1Kor 15:3-5, Rom 1:3-4, 10:8-9). Isi Injil

itu bukanlah sebuah teori melainkan sebuah fakta khususnya mengenai wafat dan

kebangkitan Kristus sebagai pelaksanaan tuntas karya penyelamatan Allah (2Kor 2:8,

Fil 2:5-11). Karena itulah, Injil diyakini sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan

setiap orang yang percaya (Rom 1:16, 1Kor 1:18). Yesus Kristus mewartakan Injil

137
Ibid., 96.

55
dan membentuk kelompok orang beriman terutama di pusat-pusat kehidupan

masyarakat pada zaman itu.

Namun bagi Jacobs, yang pokok di sini bukanlah soal pembentukan Gereja,

melainkan pewartaan Injil sendiri (1Kor 1:17). Paulus seolah-olah

mengidentifikasikan diri dengan Injil sehingga ia berani mengatakan “Injil-ku” (Rm

2:16, 16:25) atau “Injil kami” (1Tes 2:5, 1Kor 15:1) dan sekaligus “Injil Allah” (Rm

1:1, 2Kor 11:7).138 Di sinilah paham kerasulan Paulus yang khas yakni dengan

mewartakan Injil ia mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Maka, Injil

tidak hanya disampaikan dengan kata-kata saja, tetapi dengan kekuatan dan dorongan

Roh Kudus (1Tes 1:5). Injil dan pewartaannya adalah murni karya Allah dalam Yesus

Kristus oleh Roh Kudus yang ditanggapi manusia dengan iman sehingga dikatakan

bahwa keselamatan akan terjadi bagi setiap orang yang mengimani-Nya.

Dalam konteks misi Gereja Yoh 20:21 menggunakan kata “mengutus”. Kata

ini, nyata tampak dalam perutusan para murid yang selalu berpangkal pada perutusan

Yesus Kristus sendiri seperti dikatakan dalam Yoh 17:18-19; “Sama seperti Engkau

telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke

dalam dunia dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun

dikuduskan dalam kebenaran.” Maka perutusan para murid tidak dapat dikatakan

sebagai sesuatu yang baru, bahkan bukan merupakan tahap baru dalam sejarah

keselamatan. Para murid diutus untuk memberi kesaksian mengenai keselamatan

yang sudah terlaksana secara definitif dalam diri Yesus. Kesaksian yang pertama

menurut Jacobs ialah Yohanes Pembabtis (Mrk 3:1).

138
Ibid., 103.

56
Namun yang paling penting adalah kesaksian Bapa (Mrk 3:17), Kitab Suci

dan terutama Roh Kudus (Yoh 15:26-27). Kesaksian yang diberikan oleh Roh Kudus

terus berjalan seluruh sejarah keselamatan mulai dengan Kitab Suci Perjanjian Lama,

kemudian Yohanes Pembabtis, Yesus sendiri dan akhirnya para murid. Misi berarti

mengambil bagian dalam sejarah pewahyuan Allah dan dalam arti itu, para murid

juga mempunyai tempat dan fungsi sendiri dalam proses itu (Yoh 4:38, 13:20, 15:20).

Evangelisasi Gereja dengan demikian melanjutkan evangelisasi Yohanes yakni

perutusan untuk berdialog dengan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan yang

kontekstual. Pewartaan misi kristologi Gereja merupakan aktivitas sharing iman.

Pewartaan yang terlepas dari dialog kristologis menurut Jacobs tidak lagi

menampakkan misteri Allah yang sudah hadir dan mempersatukan manusia dalam

kemajemukan.139 Karena itu, subyek misi dan pewartaan Gereja dalam konteks

kristologis selalu berarti pewartaan mengenai Yesus Kristus sebagai Penyelamat

dunia.

3.5. Kristologi Kontekstual Berbasis Pluralisme Agama

Dalam karyanya berjudul; “Imanuel” Tom Jacobs terkesan dengan masalah-

masalah Kristologis, khususnya karena dialog dengan saudara-saudari

Muslimin/Muslimat.140 Bukunya yang berjudul; “Syalom, Salam, Selamat”, mencoba

membuka dialog dengan agama lain seperti agama Hindu, Budha dan Islam dengan

menitik-beratkan pada pandangan keselamatan berdasarkan ajaran agama-agama

tersebut.141 Jacobs menyadari bahwa pribadi Yesus Kristus dan peristiwa kristologis

139
Ibid., 121.
140
Ibid., 263.
141
Jacob, Syalom, Salam, Selamat, 13-31.

57
merupakan unsur konstitutif bagi keselamatan seluruh umat manusia. 142 Dengan kata

lain, penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus bersifat universal. Menurutnya,

pengaruh Kristus yang menyelamatkan tidak dapat dibatasi hanya pada orang

beriman kristiani saja, melainkan juga bagi agama-agama bukan kristiani. 143 John

Hick, seorang teolog pluralis melihat bahwa sentralitas Kristus sebagai penyelamat

universal merupakan “masalah Sentral Teologi”. 144 Teologi ditantang untuk berdialog

dengan konteks. Keselamatan yang dimaksud merupakan suatu peralihan dari

keadaan radikal menuju keadaan yang lebih baik, inklusif.

Keselamatan menurut Jacobs berarti suatu tingkat kehidupan yang baru dan

jauh lebih baik, terjadi melalui peralihan hidup yang berpusat pada Realitas. 145 Usaha

memahami tradisi dialog dalam konteks perlu keahlian menangkap khazanah

pemahaman religius dan iman yang ada di dalamnya, sebab pemahaman ini memberi

arah bagi refleksi teologi yang kreatif.146 Selain itu, Jacobs juga menekankan bahwa

faktor yang menentukan selain keahlian oleh teolog lokal adalah dialog antara teologi

dan ilmu-ilmu lain dan partisipasi observasi sehingga menuntut agar para teolog harus

kreatif agar sukacita dapat tersampaikan dengan baik. 147 Mengikuti semua pengarang

Perjanjian Baru, Jacobs mengatakan bahwa misi Gereja selalu berarti mewartakan

Kristus dalam bentuk apapun.148 Joseph Ratzinger, dalam karya Krispurwana

Cahyadi, SJ mengatakan bahwa dasar dari kristianitas adalah Kristus. Tidak ada

142
Jacobs, Mewartakan Yesus Kristus dalam Dunia Modern, 36.
143
Tom Jacobs, “Misi dan Kristologi,” Jurnal Orientasi Baru, No. 5, (1991): 77.
144
Ibid., 77.
145
Ibid.
146
Tom Jacobs, Teologi dan Praksis Komunitas Postmoderen, Teologi Yang Ekklesial Dan Kultural
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 62.
147
Ibid., 62-63.
148
Jacobs, Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru, 122.

58
Gereja tanpa Kristus.149 Kristus adalah fondasi Gereja dan penyelamat universal.

Dalam Nostra Aeate no. 2 dikatakan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apapun

yang benar dan serba suci dalam agama-agama lain.” 150 Sikap inklusif Gereja

didasarkan pada pemahaman bahwa perutusan Kristus bukan hanya untuk semua

orang beriman saja, melainkan juga untuk mereka yang berbeda keyakinan dengan

agama Kristiani. Melalui peranan konstitutif, kemanusiaan Kristus tidak menjadi

absolut. Hanya kehendak Allah yang mutlak.151 Jacobs mengatakan bahwa;

Peristiwa Kristus tetap absolut, tetapi yang mutlak hanyalah kehendak


penyelamat Allah itu. Peristiwa Kristus tetap khusus, walaupun
mempunyai arti universal. Kekhususan ini sekaligus juga menentukan
tempat pewahyuan dalam Kristus di antara agama-agama. Wahyu Allah
tidak terbatas pada wahyu yang diberikan dalam Kristus, namun Kristus
adalah pusatnya. Kristus adalah simbol pemberian diri Allah, yang
merupakan inti pokok pewahyuan. Dalam arti ini, pewahyuan adalah
selalu berarti penyelamatan juga. Karena wahyu Allah bersifat per se dari
dirinya sendiri, maka rahmat penyelamatan tidak terbatas pada tradisi
yudeo-kristiani.152

Kristus adalah penyelamat universal bagi semua orang dan penyelamatan-Nya

ini sama sekali tidak terikat pada suku, adat, agama dan ras manusia. Mengutip

pemikiran Karl Rahner, Leonardus Samosir mengatakan bahwa semua orang yang

belum ataupun tidak mengenal Kristus, tetapi melakukan apa yang diajarkan-Nya,

maka mereka dapat disebut “Kristen anonim”.153 Tetapi menurut Jacobs, ini

merupakan jalan keluar yang semu, sebab dengan prinsip tersebut semua orang yang

bukan Kristen termasuk mereka yang secara terang-terangan menolak disebut

149
Cahyadi, Benediktus XVI, 29.
150
Nostra Aetate, No. 2.
151
Jacobs, Mewartakan Yesus Kristus dalam Dunia Modern, 36.
152
Ibid., 36-37.
153
Dr. Leonardus Samosir, Agama Dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks
(Jakarta: Penerbit Obor, 2010), 90-91.

59
Kristen, dibabtis dengan paksa.154 Mengikuti Stanley J. Samarta, Jacobs mengajukan

jalan keluar terhadap persoalan ini yakni dengan suatu posisi relational

distinctiveness dari Kristus. Disebut relational karena Kristus memiliki relasi erat

dengan saudara-saudari yang beriman lain dan distinctiveness mengakui adanya

kekhasan tersendiri dari tradisi-tradisi religius mengenai misteri Allah yang

memungkinkan terjadinya dialog.155 Dalam salah satu artikelnya yang berjudul;

“Yesus Kristus Sang Jalan: Kristologi Kontekstual Bagi Penghayatan Kebatinan

Katolik”, Martinus Joko Lelono mengatakan bahwa Tom Jacobs pernah menulis suatu

karangan ilmiah yang membahasa naskah Jawa Kuno dimana di dalamnya termuat

doa kepada Syiwa.156 Di akhir bahasannya, Jacobs mengatakan bahwa jika seorang

misionaris ingin mewartakan injil Yesus Kristus kepada umat beragama lain, maka ia

harus sungguh mengerti ilmu perbandingan agama. 157 Jika mengerti, maka tidak

mungkin pesan kebenaran ditolak oleh para pendengarnya. Inilah yang menjadi

kesimpulan terhadap “doa syukur agung” kepada Syiwa.

Melalui kontekstualisasi pewartaan tentang Kristus yang hadir di tengah

kemajemukkan agama, maka kekhasan kristologi modern, yakni “relational

distinctiveness” atau “keterbukaan untuk berdialog” dalam arti yang sepenuh-

penuhnya menjadi tampak. Pada abad ke-22, semua orang berusaha memberikan

gambaran mengenai Yesus yang tampil sebagai seseorang yang senasib dan

seperasaan dengan kebanyakan orang, yakni Yesus yang solider dengan orang miskin,

154
Jacobs, 74.
155
Ibid.
156
Martinus Joko Lelono, “Yesus Kristus Sang Jalan: Kristologi Kontekstual Bagi Penghayat
Kebatinan Katolik,” Jurnal Teologi, Vol. 4, No. 2, (2015): 109.
157
Ibid.

60
terlantar, menderita, kelaparan dan dengan mereka yang hidup dalam ketidak-

berdayaan.158 Di abad ini, orang tidak lagi bergulat dengan rumusan-rumusan

kristologis, melainkan ingin melihat peranan Kristus Penyelamat dalam kehidupan

manusia secara nyata. Dalam konteks keberadaan di tengah pluralisme agama,

Kristus menjadi milik semua orang bukan hanya milik umat Kristiani. Ia berbicara

kepada setiap pribadi yang berusaha menemukan eksistensi manusiawi yang benar

dalam pengalaman hidup sehari-hari.159

3.6. Kristologi Berbasis Pengalaman Personal

Menurut Jacobs kristologi dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari aspek

pengalaman personal. Pengalaman iman personal menjadi titik-tolak refleksi

teologis Gereja atas pokok imannya. Dalam refleksi atas pengalaman pribadi hal

yang ingin dicari ialah nilai iman dari pengalaman itu. Dengan kata lain pengalaman

direfleksikan dalam bahasa teologis.160 Dalam pengalaman personal tampak bahwa

dengan refleksi teologis atas pengalaman pribadi, teologi menggali lebih dalam

pengalaman iman umat kristiani daripada dengan pengetahuan intelektual murni. 161

Teologi bertugas untuk menggali perkembangan iman yang ada di bawah ungkapan

dan ekspresi subyek dalam usaha mempertemukan pengalaman iman para

pendahulu dengan pengalaman iman sekarang. 162 Kitab Suci dan tradisi menjadi

pusat refleksi Gereja atas realitas hidupnya. Karena itu, arti Kristus bagi orang

158
Ibid.
159
Yanuarius Lobu, “Yesus Kristus dan Agama-Agama,” Dalam Bunga Rampai, Yesus Kristus
Harapan Kita, eds. Yanuarius Lobu dan Vincent Jolasa, (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992), 227.
160
Jacobs, Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi, 1992, 220.
161
Ibid., 221.
162
Ibid., 222-223.

61
beriman bukan hanya soal teori dan rumusan-rumusan dogmatis, melainkan soal

pengalaman perjumpaan dengan-Nya dalam keseharian.163

Melalui perjumpaan ini maka arti Kristus bagi setiap orang juga berkembang

seiring berjalannya waktu dan menurut kedalaman refleksinya terhadap pengalaman

iman personal. Pengalaman ini hanya mungkin terjadi melalui pergulatan dengan

hidup sendiri.164 Karl Rahner mengatakan bahwa pengalaman manusia akan Allah dan

dengan pergumulannya sendiri merupakan tema konstitutif yang ada dalam

kebenaran, kenyataan dan keseluruhan totalitas pengalaman dan pengetahuan

manusia.165 Menurut John Navone, sesungguhnya pengalaman orang kristen

didasarkan pada kebenaran pewahyuan historis Yesus Kristus. Iman akan Yesus

Kristus dan kebenaran sejarah pewahyuan-Nya yang disampaikan dalam dan melalui

Gereja-Nya menjadi dasar penafsiran bagi seluruh pengalaman religius orang kristen

yang sejati.166 Jacobs mengatakan pendalaman personal sebagai tempat untuk

menemukan Tuhan sebagai dasar hidup.167 Allah dihayati sebagai sumber hidup yang

ditemukan sebagai dasar paling mendalam dari jiwa setiap orang. Allah Pencipta

selalu dihayati sebagai Pribadi yang menanggung dan menjaga manusia dalam cinta

kasih. Pengalaman menjadi dasar bagi manusia untuk sampai pada pengakuannya

terhadap Allah dan karya keselamatan-Nya di tengah-tengah dunia ini. Selanjutnya

Rahner melihat bahwa kesatuan antara pengalaman akan Allah dan pengalaman

dengan diri sendiri disini bersifat refleksi transendental yang dihubungkan dengan

163
Tranggani, 12.
164
Ibid., 13.
165
Karl Rahner, Theologian of the Grace Search for Meaning (Edinburgh: T & T Clark, 1993), 173.
166
Willem Daia, Penerj., Toward a Theology of Beauty (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 98.
167
Tom Jacobs, Karya Roh Dalam Gereja (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988), 15.

62
konteks zaman.168 Mengikuti Edward Schillebeeckx, Georg Kirchberger mengartikan

pengalaman sebagai hasil pertemuan subyek dengan obyek. Baginya, pengalaman

berarti “seseorang bertemu secara langsung dengan suatu obyek dan belajar melalui

pertemuan itu sehingga subyek memperoleh pengetahuan langsung tentang obyek

itu.169

Pengetahuan yang dimaksud ialah pengakuan personal akan obyek yang

menjadi sasaran pertemuan tersebut berdasarkan pengalaman langsung dari “mata ke

mata”. Pengalaman hidup bersama Kristus harus diwartakan sebagai pengalaman

hidup manusiawi dalam kehidupan nyata kepada semua orang. 170 Pengalaman

merupakan suatu kenyataan yang kompleks dalam diri seseorang karena latar

belakang pengalaman dan tradisi kultural, wawasan berpikir dan latar belakang

lainnya yang dapat mempengaruhi relasi subyek-obyek. Menurut Kirchberger kadar

pengaruh dari obyek yang dialami dan subyek yang mengalami berbeda dengan

sendirinya dalam konteks membahasakan pengalaman. 171 Karena itu, Edward

Schillebeeckx menekankan pentingnya pengalaman dalam iman Kristiani khususnya

dalam berteologi. Menurutnya, pengalaman baru selalu berarti pengetahuan baru bagi

subyek.172 Pengetahuan baru tersebut harus berhadapan dengan arti pengalaman itu

dalam kehadiran diri sendiri dan dengan dogmatisasi manusia dalam konteks zaman

168
Ibid., 177.
169
Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen (Ende: Penerbit
Arnoldus, 2000), 15.
170
Jacobs, Mewartakakn Kristus dalam Dunia Modern, 41.
171
Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero,
2007), 4-5.
172
Edward Schillebeeckx, Christ: The Experience of Jesus as Lord (New York: Crossroad, 1990), 31-
36.

63
sehingga memerlukan metode yang tepat untuk membagikan pengalaman itu kepada

orang lain.173

Gerald O’Collins mengatakan bahwa pengalaman personal umat beriman

dengan Kristus harus dapat diaplikasikan melalui kontak langsung dengan orang

lain.174 Bahkan Walter Kasper, dalam bukunya berjudul; “The God of Jesus Christ”

(1987) mengatakan bahwa pesan injil Yesus dari Nazaret yang “ditangkap” dalam

pengalaman harus memiliki arti dalam kehidupan nyata. 175 Dengan menekankan

pengalaman personal akan Kristus, tidak berarti setiap orang harus bertemu dengan

Allah sebelum mengimani-Nya. Sebaliknya, penerimaan diri yang unik dan apa

adanya, itulah landasan bagi setiap pribadi untuk berjumpa dengan Allah. Dengan

demikian, tidak berarti bahwa orang harus mengakui Allah sebelum bertemu dengan-

Nya. Justru menurut Jacobs, orang dapat mengenal Allah lewat perjumpaan dengan-

Nya melalui pengalaman personal.176 Dalam artikelnya yang berjudul; “Pembaharuan

dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi” (1992), Jacobs meletakkan refleksi

teologis atas perjumpaan iman dengan situasi konkret dalam bingkai pengalaman

iman personal yang direfleksikan dan dikonkretkan dalam konteks.177

Perjumpaan antara pengalaman religius umum dan tradisi Kristiani harus

dilaksanakan dalam suatu refleksi yang secara eksplisit bersifat transendental 178 dan

pertemuan dengan Kristus harus mempunyai dampak bagi semua umat beriman. 179

173
Edward Schillebeeckx, Christ: The Experience In the Modern World (London: SCM Press LTD,
1980), 36.
174
Geral O’Collins, Fundamental Theology (New York: Paulist Press, 1981), 33.
175
Walter Kasper, The God of Jesus Christ (New York: Crossroad, 1987), 65.
176
Jacobs, Imanuel, 47.
177
Jacobs, Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi, 198.
178
Ibid,. 200.
179
Tranggani, 13.

64
Agar memiliki relasi dengan Kristus yang hidup, Gereja harus berada dalam ruang

konkret. Menurut Jacobs, kebutuhan pokok manusia zaman ini adalah berjumpa

dengan Kristus yang hidup, yang dicari adalah Kristus sebagai penggerak, penerang,

jalan hidup, sahabat, penebus dan Tuhan bagi semua orang. 180 Melalui pengalaman,

orang akan sampai pada pengakuan akan makna Kristus baginya, yakni arti Kristus

baru sebagai hasil dari pengalaman perjumpaan personal dengan-Nya. Hanya dengan

pengalaman rohani, orang akan sampai pada pengakuan dan arti Kristus baginya.

Perjumpaan secara pribadi menyanggupkan orang untuk mengakui; “Kristus Jemaat

Perdana menjadi Kristus-ku, bukan Kristus yang “aku” peroleh dari pelajaran

agama, khotbah, renungan, formula-formula doa, melainkan Kristus yang

menyangkut hidup pribadiku; itulah Kristus yang berarti”. 181 Di satu pihak, Jacobs

mengakui bahwa Konsili Kalsedon (451)182 memberikan gambaran Kristus yang

berbeda dengan gambaran Kristus yang tertuang dalam Perjanjian Baru, dimana
180
Ibid., 15.
181
Ibid., 16.
182
Konsili Khalsedon (451) mengajarkan bahwa; “Yesus Kristus sungguh-sungguh Allah, sungguh-
sungguh manusia. Dalam diri-Nya, kedua kodrat itu bersatu, tetapi tak tercampur, tak berubah, tak
terpisah dan tak terbagi.” Rumusan lengkap dikutip sebagai berikut: “Maka dengan mengikuti para
nenek moyang suci, kami sekalian sehati sepikir mengajarkan bahwa mengakui Sang Putra dan Tuhan
kita Yesus Kristus sebagai satu dan sama: yang sama sempurna dalam keilahian dan yang sama
sempurna dalam kemanusiaan, yang sama sungguh Allah dan sungguh manusia (terdiri) dari jiwa
berakal dan tubuh, menurut keilahian sehakikat dengan Bapa dan sama sehakikat dengan kita
menurut keinsanian, dalam segalanya sama dengan kita tetapi tanpa dosa (bdk. Ibr 4:15), menurut
keilahian dilahirkan dari Bapa sebelum segala zaman, tetapi menurut kemanusiaan pada hari-hari
akhir itu yang sama (dilahirkan) dari perawan Maria, Bunda Allah, demi untuk kita dan demi untuk
keselamatan kita. Kami mengajarkan bahwa Tuhan Yesus Kristus yang satu dan sama, Putra yang
Tunggal itu, harus diakui: dalam dua kodrat (en duo physein), tak tercampur (asygkhytos), tak berubah
(atreptos), tak terbagi (adiairetos), tak terpisah (akhoritos), dengan sama sekali tidak dihilangkan
perbedaan kodrat-kodrat karena pemersatuan, tetapi sebaliknya ciri-corak khas masing-masing
kodrat tetap aman, dan (kedua kodrat itu) bergabung dalam satu pribadi (prosopon) dan satu diri
(hypostasis), tidak terbagi atau terpisah menjadi dua pribadi, melainkan yang satu dan sama, Anak
Tunggal, Allah-Logos, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana para nabi dahulu dan Yesus Kristus sendiri
mengajarkan kita tentang itu dan syahadat para nenek moyang menyampaikannya kepada kita.” Bdk.
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), 217-
228; C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada
Umat Kristen (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988), 166.

65
dalam Perjanjian Baru kepribadian Kristus sang pembebasan dikonkretkan kepada

orang sezaman-Nya. Konsili Kalsedon memberikan perhatian penuh pada pribadi

Sang Ilahi sehingga menimbulkan konsekuensi besar yakni Yesus Kristus dipikirkan

sebagai manusia.183 Tetapi di pihak lain, dogma Kalsedon merupakan tradisi kuno

yang dituangkan dalam suatu rumusan-rumusan yang sesuai dengan konteks

zamannya.184 Mengikuti P. Grillmeier, Jacobs mengatakan dogma Kalsedon harus

selalu dimengerti dari latar belakang Kitab Suci dan keseluruhan tradisi.185

Konsili kristologi awal tampak melepaskan begitu saja peranan Kitab Suci

dalam perumusan ajaran. Konsekuensi yang harus diterima dari rumusan dogmatis

yakni kesulitan Gereja dewasa ini untuk mengerti istilah-istilah yang digunakan

dalam rumusan iman Gereja dari konsili kristologis awali. Pergeseran rumusan

dogma tersebut dewasa ini jelas terlihat pertama-tama dari aspek bahasa yang

menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Menurutnya, kristologi modern tidak lagi

menggunakan istilah pribadi dan hakekat, melainkan bertolak dari pengalaman dan

keterlibatan Kristus dalam kehidupan sosial.186 Emmanuel Martasudjita mengatakan

bahwa kehadiran Yesus selalu melalui dan di dalam pengalaman manusia konkret.

Karena itu, jika mencari kehadiran Kristus di tengah umat manusia, sebaiknya

kembalilah kepada pengalaman konkret manusia.187 Pengalaman personal menjadi

pusat bagi manusia untuk berjumpa dengan Allah dalam diri Kristus Putera-Nya.

183
Jacobs, Misi dan Kristologi, 78.
184
Ibid.
185
P. Grillmeier, Christ in Christian Tradition, Vol. 1 (Mowbrays: London-Oxford, 1975), 550.
186
Jacobs, 79.
187
E. Martasudjita, “Kehadiran Kristus di Tengah Umat Manusia Zaman Ini,” Jurnal Orientasi Baru,
No. 13, (2000): 121.

66
BAB IV

EVALUASI KRITIS ATAS PENGHAYATAN KRISTOLOGI MENURUT TOM

JACOBS

4.1. Sumbangan Kristologi Tom Jacobs Terhadap Kristologi di Indonesia

67
Kristologi Tom Jacobs tidak dapat dipisahkan dari misi perutusannya sebagai

imam Yesuit yang berkarya di Indonesia selama kurang lebih lima puluh sembilan

tahun. Kemajemukkan Indonesia dari berbagai dimensi (suku, adat-istiadat, ras dan

agama), tentu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi Jacobs

dalam berteologi khususnya dalam berkristologi. Pengaruh itu kemudian membentuk

suatu metode khas Jacobs yang tidak dapat tidak memberikan kontribusi tersendiri

terhadap perkembangan arus kristologi di Indonesia dewasa ini. Jacobs berusaha

menampilkan Kristus dengan berorientasikan pada Kitab Suci dan penghayatan umat

beriman setelah melihat keberagaman yang ada di Indonesia. Yesus yang cocok

ditampilkan di Indonesia adalah Yesus yang dilihat sebagai mana adanya dalam Kitab

Suci, sebagai dasar pewartaan Injil dan sebagai penyelamat universal di tengah

keberagaman suku, adat, ras dan agama.

4.1.1. Berkristologi Berbasis Kitab Suci

Bagi kebanyakan orang, memahami dan mengerti pesan yang ingin

disampaikan dalam teks-teks suci bukanlah perkara mudah karena di dalam suatu

teks, terdapat pluralitas makna interpretasi. Menurut Paul Ricoeur apabila terdapat

pluralitas makna teks, maka di sana interpretasi dibutuhkan. Lebih dalam, jika

simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi sangat penting sebab di sinilah

terdapat multi lapisan makna.188 Dalam ranah penafsiran teks suci, ilmu hermeneutika

sangat diperlukan guna mengupas makna yang tersembunyi dalam teks yang

kelihatan mengandung makna. Dialog kristologi tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan masyarakat. Kitab Suci, dengan jelas berbicara mengenai karya Kristus
188
Farida Rukan Salikun, “Paradigma Baru Hermeneutika Kontemporer Poul Ricoeur”, Jurnal
Hermeneutik, No.1, Vol. 9, (2015): 175.

68
yang adalah Allah sejati dan manusia sejati yang rela turun ke dunia sebagai

Pengantara antara Allah dan manusia agar manusia memperoleh anugerah.

Pemahaman kristologis yang akurat dan benar sesuai Alkitab memang menjadi dasar

yang penting guna membangun teologi kristiani yang korektif. 189 Dalam keseluruhan

kristologinya, Tom Jacobs juga memanfaatkan ilmu hermeneutika. Jacobs berusaha

menghadirkan Yesus Kristus sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Baru,

khususnya dalam pewartaan Paulus Rasul tentang penyelamatan Allah dan pengakuan

iman Gereja bahwa Yesus adalah Tuhan. Semua uraiannya dibuktikan dengan kutipan

Kitab Suci, sehingga pembaca karyanya mendapatkan dua pengetahuan sekaligus

yakni tentang Yesus Kristus dan tentang bukti kebenaran yang ia sampaikan. Uraian

kristologinya dapat ditemukan dalam keseluruhan karyanya.

Dalam buku yang berjudul; “Yesus Anak Maria” (1984) dan “Imanuel:

Perubahan Dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus” (2000), secara eksplisit

memuat gagasan kristologi Tom Jacobs yang bercorak fenomenologis dan diuraikan

dengan metode eksegese Kitab Suci. Menurut Jacobs, Yesus Kristus adalah Putera

Allah yang sunguh-sungguh hadir dalam panggung sejarah umat manusia. Melalui

pewahyuan diri Kristus, Allah yang semula jauh kini menjadi dekat dengan umat

manusia, Allah yang semula tidak kelihatan kini menjadi kelihatan dalam Yesus dari

Nazaret, “sebab barang siapa melihat Aku, ia melihat Bapa” (Yoh 14:9, Kol 1:15).

Kehadiran Kristus merupakan tanda cinta kasih Allah kepada manusia yang hanya

dapat dijumpai melalui dan dalam diri Yesus sebagai pembawa rahmat Allah yang

tampak. Yesus adalah pokok keselamatan bagi semua orang (Tit 2:11) dan

189
Desti Samarenna, “Berteologi Dalam Konteks Indonesia Modern,” Jurnal Evangelikal, Vol. 1, No.
1, (2017): 27.

69
pemahaman akan Kristus tidak boleh hanya setengah-setengah saja. Pengenalan itu

harus utuh. Jacobs berusaha mewartakan Yesus Kristus kepada semua orang dengan

sekaligus menghadirkan kembali pokok iman Gereja melalui pembuktian langsung

lewat Kitab Suci seolah-olah pembaca menyaksikan sendiri peristiwa yang terjadi di

Palestina sekitar dua ribu tahunan yang lalu. Pembaca dimudahkan untuk memahami

apa yang disampaikan. Dalam konteks kristologi di Asia khususnya di Indonesia,

berkristologi ala Tom Jacobs ini sangat relevan. Kemiskinan, kemelaratan, politik

SARA merupakan beberapa dimensi yang mendesak untuk dientaskan. Di tengah

situasi seperti ini, Gereja ditantang untuk kembali merefleksikan pokok imannya yang

tertuang dalam Kitab Suci sehingga, kehadiran Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat

di tengah-tengah pergumulan manusia secara konkret sungguh-sungguh dialami

semua orang.

4.1.2. Misi Evangelisasi di Indonesia

Dengan menguraikan kristologi dalam konteks misi Gereja, Jacobs telah

membuka cakrawala baru bagi pengembangan misi penyelamatan Allah di Indonesia.

Baginya, apapun pembicaraan yang berhubungan dengan evangelisasi Gereja selalu

berpusat pada Yesus Kristus dan misi perutusan-Nya ke dunia ini. Menurut Jacobs,

yang pokok dalam misi bukanlah soal pembentukan Gereja, melainkan pewartaan

Injil (1Kor 1:17). Paulus dengan gagah berani mengidentifikasikan diri dengan Injil

(Rom 2:16, 16:25, 1Tes 2:5, 1Kor 15:1, Rom 1:1, 2Kor 11:7). Paham kerasulan

Paulus yang khas ditandai dengan partisipasinya dalam karya keselamatan Allah.

Dalam konteks berkristologi di Indonesia, Gereja dipanggil untuk mewartakan

imannya kepada semua orang.

70
Dasar keberadaan Gereja adalah Yesus Kristus sebagai Sabda Allah yang

menyelamatkan.190 Tetapi secara empiris-historis Gereja dibangun oleh para rasul

dalam kuasa Roh Kudus sehingga mereka mendirikan Gereja menurut kehendak

Allah yang beralaskan pada peristiwa penyelamatan dalam diri Yesus Kristus. Dengan

bertolak dari kritiknya terhadap Legrand, Jacobs hanya ingin mengatakan bahwa

tugas pewartaan tidak lain kecuali mengaktualisasikan apa yang disampaikan Allah

dalam Kristus sebagaimana diwartakan para para rasul. Tugas evangelisasi Kristologi

di Indonesia bukan hanya merupakan tugas para klerus melainkan juga tugas semua

orang yang telah dibabtis menjadi anggota Gereja. Injil Kerajaan Allah yang secara

nyata dalam pelayanan dan ajaran-Nya, merupakan suatu perubahan radikal terhadap

tatanan sosial dan politik.191

Ucapan dan tindakan Yesus mengedepankan suatu tantangan konsisten

terhadap semua sikap, praktik dan struktur yang cenderung sewenang-wenang

membatasi atau menyingkirkan warga persekutuan masyarakat. Paulus dalam misinya

menurut Jacobs, mengajarkan bagaimana menjadi saksi Kristus yang mendatangkan

rahmat Allah di tengah-tengah bangsa Indonesia yang dirasakan telah kehilangan

identitasnya. Yesus mencari mereka yang disisihkan, mereka yang dipinggirkan dari

persekutuan dan memberi tempat dalam oikos, rumah, kediaman di mana semua

orang hidup bersama dalam kasih dan pelayanan.

4.1.3. Kristus Sang Penyelamat Universal

190
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), 383.
191
Zakaria J. Ngelow, “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam
Politik Di Indonesia”, Jurnal Jaffray, No. 2, Vol. 12, (2014): 214.

71
Hidup sebagai warga negara Indonesia berarti hidup dalam keberagaman. 192

Kenyataan ini di satu sisi patut disyukuri sebagai anugerah Allah, namun di sisi lain

tentu membawa keprihatinan dan kecemasan banyak orang, terutama bagi bangsa

Indonesia yang telah disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Timbulnya kecemasan akan konflik, kekerasan, perpecahan dan kehancuran,

disebabkan oleh fanatisme agama.193 Dewasa ini, sila pertama seringkali tidak

dipahami dan diterapkan dengan bijaksana. Sebaliknya sila tersebut seringkali

dijadikan oleh oknum-oknum tertentu untuk dijadikan pemukul agama lain.

Kelompok agama yang satu menekan kelompok agama yang lain. Akibatnya,

masyarakat Indonesia semakin terpecah-belah oleh penghayatan agama yang radikal

dan konservatif. Tom Jacobs dalam kristologi kontekstual bercorak pluralis

memberikan kontribusi besar dalam hubungan Gereja dan agama-agama lain dalam

konteks kristologi di Indonesia.

Tom Jacobs menguraikan keprihatinannya akan dialog kristologis Gereja

dengan agama-agama lain khususnya dengan saudara-saudari Muslimin/Muslimat

yang terkesan kurang mendapat tempat dalam tataran praksis. Lebih dalam Jacobs

mencoba membuka dialog dengan agama lain seperti agama Hindu, Budha dan Islam

dengan menitik-beratkan pada pandangan keselamatan berdasarkan ajaran agama-

agama tersebut. Jacobs menyadari bahwa pribadi Yesus Kristus dan peristiwa

kristologis merupakan unsur konstitutif bagi keselamatan seluruh umat manusia.

Dengan kata lain, penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus bersifat universal.
192
Petrus Danan Widharsana dan Victorius Rudy Hartono, Pengajaran Iman Katolik (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2017), 613.
193
Adrianus Sunarko, “Teologi Kontekstual di Tengah Maraknya Hidup Beragama,” dalam Robert
Pius Manik, Gregorius Pasi dan Yustinus (Eds), Berteologi Baru untuk Indonesia, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2020, 162.

72
Pengaruh Kristus yang menyelamatkan tidak dapat dibatasi hanya pada orang

beriman kristiani saja, melainkan bagi agama-agama bukan kristiani. Dalam hal ini,

teologi kristologi ditantang untuk berdialog dengan konteks pluralis agama.

Keselamatan yang dimaksud merupakan suatu peralihan dari keadaan radikal menuju

keadaan yang lebih baik, inklusif.

4.2. Beberapa Catatan Kritis

Setelah melihat sumbangan kristologi Tom Jacobs dalam konteks kristologi di

Indonesia, berikut merupakan evaluasi kritis penulis terhadap pemikirannya

berdasarkan perspektif beberapa teolog seperti Cletus Groenen, Edward

Schellebeexck, Joseph Ratzinger dan Adrianus Sunarko.

4.2.1. Prinsip Solidaritas Kristus

Tom Jacobs memandang bahwa prinsip solidaritas selalu berarti pengosongan

diri Yesus Kristus sebagai Penyelamat umat manusia dari dosa. Allah berkarya dalam

Kristus, untuk manusia dan di pihak manusia. Ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya

hanya dimengerti sebagai tuntutan tugas penebusan dosa manusia. Namun menurut

Adrianus Sunarko, prinsip solidaritas Kristus tidak selalu demikian. Sunarko melihat

mentalitas modern yang cenderung dihadapkan pada mentalitas yang ditandai oleh

empat ciri yakni; rasionalitas, sekularitas, kepercayaan akan kemajuan melalui usaha

manusia dan paham akan martabat manusia. 194 Solidaritas Yesus dalam pemikiran

modern tidak boleh dibatasi oleh konsep penebusan dosa melainkan juga harus

diarahkan pada kehidupan konkret manusia dewasa ini. Solidaritas Yesus

194
Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual (Jakarta: Penerbit Obor, 2016), 106.

73
menciptakan dan membangun kebersamaan atas dasar kasih dan keadilan di tengah

kehidupan konkret manusia.195

Solidaritas Kristus haruslah dibicarakan dalam terang konteks hidup manusia

secara nyata dalam kesehariannya. Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang

disingkirkan dan ditekan juga mengalami solidaritas dan persahabatan yang tulus

dengan-Nya (Mat 11:19, Mrk 2:14-17), mereka yang bermusuhan dapat berdamai

kembali dengan Yesus (Mrk 2:15-17, 3:18; Mat 5:43-48). 196 Belas kasihan Yesus

sebenarnya merupakan wujud bela rasa Allah terhadap manusia. Ia sendiri juga

menghendaki agar para murid melakukan hal yang sama. 197 Menurut Sunarko,

seseorang yang memiliki bela rasa tidak menutup mata terhadap realitas penderitaan

yang dialami oleh orang lain.198 Pembicaraan Jacobs pada tema ini hanya

dihubungkan dengan karya penyelamatan Allah terhadap dosa-dosa manusia dan

belum menyentuh pada perkara solidaritas Kristus terhadap kehidupan nyata umat

manusia.

4.2.2. Evangelisasi Selalu Berarti Kristosentris

Menurut Jacobs, mewartakan Injil dan membangun Gereja merupakan sebuah

tindakan ketaatan iman. Dengan memberikan kesaksian mengenai iman terwujudlah

Gereja yang menjadi persekutuan iman dalam Yesus Kristus. Relasi dengan Kristus

itulah yang menentukan paham Gereja dalam dokumen-dokumen Federation of Asian

Bishops’ Conferences (FABC) 1970-1982 dan seluruh Gereja Asia. Oleh karena itu,

bukan lagi misi yang ekklesiosentris, melainkan Yesus Kristus sebagai pusat segala-
195
Adrianus Sunarko, Teologi Fundamental Jilid I (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2013), 45.
196
Ibid.
197
Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual Modern (Jakarta: Penerbit Obor, 2022), 265.
198
Ibid., 266.

74
galanya.199 Menurut Joseph Ratzinger, sama halnya integralisasi kristologi dari atas

dan dari bawah, teologi inkarnasi dan teologi salib, demikian pula dimensi kristologis

dan soteriologis.200 Refleksi Gereja tidak dapat dilepaskan dari akarnya yaitu refleksi

biblis.201 Joseph Ratzinger menegaskan pula bahwa refleksi akan kebangkitan Yesus

Kristus merupakan pintu masuk ke dalam alam Perjanjian Baru yang di dalamnya

dinyatakan keberpihakan Allah menghadapi konsep mesianis politis. Lebih dalam,

Ratzinger menegaskan bahwa mengenal Kristus berarti masuk ke dalam pengalaman

Gereja.202 Karena itu, mengenal Kristus selalu berarti mengenal Gereja baik dalam

konteks refleksi Gereja terhadap pengalaman konkretnya, maupun dalam konteks

misi evangelisasi.

Menurut Georg Kirchberger, Ratzinger ingin memberikan suatu gambaran

utuh tentang Yesus yang berakar dalam iman Gereja mengenai Yesus Kristus sebagai

penjelmaan Putra Allah yang tunggal, yang sehakikat dengan Bapa. 203 Menurut

Robert Barron, hanya pengenalan akan Kristus secara utuh yang akan membantu

manusia untuk sampai dan akhirnya mengenal Allah secara penuh melalui pewahyu

kebenaran-Nya.204 Pewartaan ke-Allah-an kristiani memuat kristosentris yang kental.

Dalam Ratzinger, kristosentris tidak lain adalah teosentris dan keduanya tidak dapat

dipisahkan dari iman Gereja dalam kehidupan iman, liturgi dan Gereja. 205 Dalam

199
Tom Jacobs, Misi dan Kristolog., 73.
200
Cahyadi, Benediktus XVI, 36.
201
Ibid., 31.
202
Ibid., 32.
203
Georg Kirchberger, “Hans Küng dan Joseph Ratzinger: Dua Pandangan tentang Yesus Kristus”,
Jurnal Ledalero Vol. 20, No. 2, (2021): 289.
204
Robert Barron, And Now I See: A Theology of Transformation (United States of America: Word On
Fire Academic, 2021), 193.
205
Ibid.

75
konteks misi, Jacobs lebih mementingkan Yesus Kristus, bukan Gereja. 206 Jacobs

khawatir, jika Kristus tidak menjadi sentral dalam misi maka dapat dipastikan bahwa

pewartaan Gereja akan pokok imannya perlahan-lahan akan memudar bahkan

menghilang dari misi Gereja. Karena itulah, Jacobs memandang konsep Kerajaan

Allah sering digunakan sebagai ganti Kristus, seakan-akan orang lupa Kerajaan itu,

yaitu Kristus.207

4.2.3. Ambivalensi Makna Pengalaman Transendental

Menurut Tom Jacobs kristologi dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari aspek

pengalaman personal. Pengalaman itu menjadi dasar refleksi teologis Gereja atas

Yesus Kristus sebagai pokok imannya. Dalam refleksi atas pengalaman pribadi hal

yang ingin dicari ialah nilai iman dari pengalaman itu. Pengalaman direfleksikan

dalam bahasa teologis, yang dengannya membantu Gereja secara lebih dalam

mengimani Yesus Kristus sebagai Penyelamat dan Tuhan. Pengalaman dengan

demikian menyelam lebih dalam ke dasar pengakuan iman Gereja daripada iman

yang berbasiskan pengetahuan intelektual. Namun, apakah titik-tolak dari

pengalaman iman seperti ini kemudian tidak menimbulkan adanya kecenderungan

subyektivitas atas yang pengalaman perjumpaan itu? Menurut Cletus Groenen,

pendekatan ini terlalu berat sebelah dan karena itu, dengan sendirinya tidak tepat.

Menurutnya teologi ini ingin mengutamakan pengalaman subyek dan seolah-olah

mengangkatnya menjadi tolok ukur Firman Allah yang tertulis. Padahal, pengalaman

206
Theo Witkam, “Tanggapan atas Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru Menurut
Tom Jacobs,” Jurnal Orientasi Baru, No. 6, (1992): 137.
207
Ibid.

76
itu sejatinya selalu bersifat ambivalen, dwiarti dan polisemen. 208 Jika terlalu

menekankan pengalaman subyek-obyek, kecenderungan yang terjadi ialah Gereja

akan mengarahkan imannya pada sistem filsafat marksisme dan neomarksisme yang

mengartikan pengalaman dengan kuncinya sendiri. Padahal, kunci penafsiran

pengalaman itu tidak dapat dilepaskan dari Tradisi umat beriman mengenai Yesus

Kristus.209

Menurut Groenen, mata rantai pertama dalam tradisi itu ialah pengalaman

serta Alkitab. Kalau pengalaman teoretis diterima terlebih dahulu, maka pengalaman

aktual harus ditafsirkan oleh Alkitab yang kemudian barulah pengalaman aktual

menolong Gereja mengartikan Firman Allah yang tertulis. Lebih lanjut Groenen

menambahkan, pengalaman manusia modern di satu pihak memang tidak bisa

disangkal dapat dipisahkan bahwa umat dalam pengalaman aktualnya masing-masing

dapat mengalami Allah dimana karya penyelamatan-Nya merangkul seluruh sejarah

kehidupan. Tetapi di sisi lain, teologi pengalaman modern itu tiada lain sebenarnya

merupakan “gnosis” klasik yang dimodernisasikan. Gnosis itu hanya berdasarkan

pengalaman aktual akan Yang Ilahi, yang tersembunyi dalam dunia khususnya dalam

diri manusia sendiri. Sama halnya dengan gnosis klasik, gnosis modern pun

menafsirkan Alkitab dengan memanfaatkan pengalaman umat sebagai titik-tolaknya.

Pendekatan semacam ini menurut Groenen hanya berarti memanipulasi Kitab Suci,

sehingga mendukung pendekatan gnosis.210

208
C. Groenen, Soteriologi Alkitab: Keselamatan yang Diberitakan Alkitab (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1989), 20.
209
Ibid.
210
Ibid., 21.

77
Menurut Edward Schillebeecxk pengalaman transendental subyek atas obyek

selalu berhadapan dengan dilematis dalam ranah teologi khususnya dalam ber-

kristologi.211 Melalui kristologi “dari bawah”, Schillebeecxk tidak hendak

membuktikan iman kristiani berdasarkan penelitian historis. Baginya, untuk sampai

pada pengakuan akan Yesus sebagai Kristus diandaikan adanya transformasi metanoia

dan pembaharuan hidup dalam diri seseorang. Dalam kristologi Jacobs, proses sampai

pada pengakuan tersebut tidak dijelaskan. Karena itu, pertanyaan yang muncul di sini

ialah; bagaimana orang dapat sampai pada pengakuan akan Yesus sebagai Kristus?

Perjumpaan dengan Allah melalui pengalaman personal menyatakan bahwa Jacobs

menggunakan pendekatan kristologi “dari bawah”. Pengalaman pribadi yang

direfleksikan, direnungkan, dihayati dan diwartakan itu merupakan hasil perjumpaan

dengan Allah.

Namun, perlu dicatat di sini bahwa Jacobs seolah-olah mengabaikan

pengalaman iman para rasul dan peristiwa Paskah yang menurut Nico Syukur Dister

sebagai sentral dari pengakuan bahwa Yesus Kristus sebagai Mesias dari Allah. 212

Bertolak dari pemikiran Edward Schillebecxk, Adrianus Sunarko mengatakan bahwa

dengan berangkat dari Kitab Suci, sesungguhnya orang sedang berusaha

merekonstruksi siapa itu Yesus Kristus sesungguhnya. Usaha itu dilakukan untuk

menemukan dalam hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus hal-hal yang

memainkan peran penting bagi muncul dan berkembangnya iman para rasul kepada

211
Ted Mark Schoof, Carl Sterkens, Erik Borman and Robert J. Schreiter (eds), Christ The Christian
Experience In The Modern World: The Colected of Edward Schilebeecxk Vol VII (London: T & T
Clark, 2018), 27.
212
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Allah Penyelamat, 184-185.

78
Yesus.213 Schillebeecxk dalam ulasan Brian O. McDermott, mengatakan bahwa

partisipasi manusia dalam menyatukan segenap perasaan dan perjalanan hidup secara

konkret, dapat menolong sesorang untuk mengerti apakah peristiwa keselamatan

dalam Yesus memiliki makna bagi manusia di zaman sekarang.214

BAB V

KESIMPULAN
213
Adrianus Sunarko, “Kristianitas Inklusif Atau Pluralis? Diskusi Dengan Edward Schillebeeckx”,
Jurnal Melintas, No. 1, Vol. 31 (2015): 20.
214
Brian O. McDermott, “Roman Catholic Christology: Two Recurring Themes,” Jurnal Theological
Studies, No. 2, Vol. 41 (1980): 347-350.

79
Tom Jacobs adalah seorang teolog ternama di Indonesia. Pemikiran-

pemikirannya akan tetap aktual dibicarakan bukan hanya di kalangan akademisi

Katolik tetapi juga di kalangan akademisi Protestan dan agama-agama lain. Bangunan

pemikiran teologinya menjadi semacam stimulus bagi para teolog dewasa ini dalam

rangka berteologi, khususnya dalam menemukan cara berkristologi yang lebih

kontekstual dan mengena. Dalam berkristologi Jacobs awalnya hanya memilih untuk

menggunakan metode ala kristologi Skolastik yakni dengan mengajarkan begitu saja

siapa itu Yesus Kristus berdasarkan ajaran konsili-konsili awali. Namun, setelah

menyadari ternyata bahasa dogmatis tidak terlalu cocok berhadapan dengan situasi

dan kondisi manusia dewasa ini, maka Jacobs mengubah cara pengajaran dengan

menggunakan metode eksegese Kitab Suci.

Dengan mengintegrasikan antara ajaran Skolastik dengan Kitab Suci, Jacobs

sampai pada pengakuan bahwa untuk berbicara tentang siapa itu Yesus, pemahaman

orang tidak boleh setengah-setengah atau perbagian saja, melainkan harus

menyeluruh, parsial dan utuh. Hal ini dilakukan supaya orang tidak salah memahami

identitas Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat dunia. Terminologi-terminologi yang

terlalu abstrak dalam konsili-konsili awali, menurutnya bukan hanya sulit dimengerti

oleh semua kalangan, tetapi juga dapat mengaburkan iman Gereja akan Yesus Kristus

sebagai Penyelamat Universal dari Allah Bapa dalam kesatuan-Nya dengan Roh

Kudus. Melihat kesulitan ini, maka Jacobs memilih berkristologi dengan

menampilkan Yesus Kristus seperti yang tertuang dalam Perjanjian Baru, khususnya

80
dalam Surat-surat Paulus dengan tetap berpegang pada dogma kristologi awali

terutama dogma konsili Kalsedon (451).

Menjawab pertanyaan siapa itu Yesus, Tom Jacobs mengatakan bahwa Yesus

itu ialah Kristus. Semua karya dan pemikiran kristologi Tom Jacobs tidak dapat

dipisahkan dari misi perutusan Yesus yakni sebagai penyelamat dunia (soter) dan

pengakuan iman Gereja bahwa Dia adalah Tuhan (kyrios). Karya Penyelamatan Allah

dalam diri Yesus Kristus merupakan prinsip solidaritas yang menunjukkan

pengosongan diri Putera Allah yang rela menebus manusia dari dosa dengan wafat-

Nya di kayu Salib. Dosa menjauhkan manusia dari Allah, tetapi berkat Salib Kristus

bersatu kembali dengan Allah dan kebangkitannya relasi manusia dengan-Nya

dipulihkan. Karya penyelamatan Allah selalu dilakukan oleh Allah Bapa, dalam dan

melalui Kristus. Karya Penyelamatan ini dilukiskan Jacobs dengan tiga metafora,

yakni; perdamaian, penebusan dan pembenaran, yang menunjukkan relasi Allah

dengan Kristus dalam pemikiran soteriologi Paulus. Relasi ini sekaligus merupakan

inti pokok kesatuan manusia dengan Allah yang tidak terbatalkan oleh dosa.

Kristologi penyelamatan Allah bagi Jacobs tidak dapat dipisahkan dari pengakuan

iman Gereja bahwa Yesus sang Penyelamat adalah Tuhan. Jacobs selalu

menghubungkan kristologinya dengan pengakuan iman Gereja bahwa Yesus adalah

Tuhan. Dengan bertitik-tolak dari kristologi Paulus Rasul, Jacobs kemudian

mendalami tiga pokok teologi kyriologi, yakni; pengosongan diri Putera Allah, Yesus

Putera Allah dan Keutamaan Kristus.

Selanjutnya, Jacobs mencoba berkristologi dalam konteks misi Gereja,

kristologi kontekstual berbasis pluralisme agama, kristologi berbasis pengalaman

81
personal. Dalam konteks misi, Jacobs menekankan misi yang bercorak kristologis.

Baginya sentral misi Gereja adalah Yesus Kristus. Bermisi berarti berkristologi. Sama

seperti Paulus Rasul dan para rasul demikian juga Gereja diutus untuk mewartakan

Kristus kepada seluruh umat manusia. Misi itu tidak dapat dipisahkan dari kristologi

kontekstual khususnya dialog antara agama, dengan menitik-beratkan pada ajaran

keselamatan berdasarkan ajaran setiap agama. Jacobs menyadari bahwa pribadi Yesus

Kristus dan peristiwa kristologis merupakan unsur konstitutif bagi keselamatan

seluruh umat manusia. Penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus adalah penyelamat

universal yang tidak bisa dibatasi oleh negara, agama, kepercayaan, adat, suku dan

ras. Berkat universalitas penyelamatan ini, misi perutusan Kristus tidak dapat dibatasi

hanya pada orang kristiani saja, melainkan juga bagi agama-agama bukan kristiani.

Universalitas ini membawa Jacobs pada pemikiran bahwa dengan demikian,

penyelamatan Kristus pertama-tama dapat ditemukan lewat pengalaman personal.

Melalui hubungan pribadi setiap orang dengan Kristus Yesus, maka keselamatan itu

sebenarnya sudah terjadi. Pengalaman konkret, membawa setiap orang pada relasi

khusus dengan Kristus sehingga orang dapat sampai pada pengakuan bahwa “inilah

Yesusku, bukan Yesus yang saya peroleh dari khotbah, pengajaran agama dan

pelajaran teologi”.

Melalui pemikirannya yang jenius, Tom Jacobs telah memberikan

sumbangan yang besar bagi perkembangan kristologi di Indonesia dewasa ini.

Sumbangan itu berupa cara berkristologi yang paling otentik. Menurut Jacobs cara

tersebut itu yakni dengan back to basic yakni Kitab Suci, sehingga di tengah

kemajemukkan suku, adat, ras dan agama di Indonesia, orang dapat berkristologi

82
seolah-olah berada di zaman Yesus. Pewartaan iman dalam konteks misi, bukan

hanya tugas para kaum berjubah melainkan juga semua orang yang telah menerima

babtisan Tinitaris. Gereja diutus untuk mengemban misi yang satu dan sama kepada

semua orang yakni Yesus Kristus sebagai penyelamat universal yang berasal dari

Allah Bapa. Penyelamatan itu tidak dapat dibatasi oleh perbedaan agama dan

kepercayaan, keberagaman suku, ras dan suatu negara.

Pemikiran kristologi Jacobs tidak hanya memberikan kontribusi terhadap

perkembangan kristologi di Indonesia, tetapi juga mendapat evaluasi kristis dari

beberapa teolog Katolik seperti Cletus Groenen, Edward Schillebeecxk, Joseph

Ratzinger dan Adrianus Sunarko. Beberapa evaluasi itu berhubungan dengan prinsip

solidaritas Kristus yang tidak hanya terarah pada penghapusan dosa melainkan juga

keberpihakannya kepada kaum miskin dan tertindas. Keberpihakan ini berhubungan

erat dengan misi evangelisasi yang berciri kristosentris dalam hubungannya yang

tidak terpisahkan dari dimensi ekklesial. Sementara kristologi yang bertolak dari

pengalaman transendetal tentu saja menurut Groenen dan Schillebeecxk berciri

ambivalensi makna karena akan cenderung mengarah pada sistem filsafat markisme

dan gnosis baru sehingga pengalaman subyek atas obyek tidak bisa dipertahankan.

Secara teoretis maupun praktis, tidak terdapat hal baru dalam pemikiran

kristologi Tom Jacobs, misalnya seperti dalam Leonardo Boff Kristus dipandang

sebagai pembebas, Karl Rahner termasyur dengan istilah Kristen Anonim dan

Schileebecxk yang terkenal dengan istilah “pengalaman Abba” untuk mengatakan

pengalaman Yesus Kristus akan Allah.215 Bahkan metode Jacobs dalam berkristologi
215
Ibid., Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus
Pada Umat Kristen, 264.

83
pun harus diakui bukan sesuatu yang baru. Integrasi Kitab Suci, pandangan kristologi

konsili ekumenis awali dan pengalaman iman Gereja, sebenarnya sudah dilakukan

oleh teolog-teolog lain misalnya Walter Kasper. Menurut Jacobs, Kristus selalu

berarti Penyelamat dan Tuhan. Meskipun demikian, secara teoretis pemikirannya

memberikan implikasi teoretis di bidang teologi dogmatik kristologi yakni Kitab Suci

sebagai titik-tolak dalam berkristologi.

Kitab Suci menjadi dasar dan penerang bagi para teolog zaman ini untuk

menelusuri sejarah perkembangan teologi kristologi dari konsili awali sampai saat ini.

Kitab Suci dalam kristologi Tom Jacobs menjadi sumber utama untuk berbicara

tentang Yesus Kristus, bukan hasil konsili awali. Dengan melandaskan diri pada Kitab

Suci kristologi sedikit akan terbebas dari persoalan perumusan bahasa dogmatik yang

dirasa sampai saat ini menyulitkan banyak pihak, terutama kaum awam dalam

memahami identitas Yesus sebagai pokok imannya. Yesus sebagaimana kesaksian

dalam Kitab Suci menampakkan relasi-Nya yang erat dengan Bapa dan Roh Kudus

dan dengan manusia. Yesus Penyelamat sungguh-sungguh hadir secara nyata dalam

pengalaman hidup manusia. Sedangkan Yesus dalam bahasa dogmatik dirasakan

terlalu abstrak dan membingungkan sehingga mengaburkan iman Gereja.

Secara praktis, pemikiran kristologi Tom Jacobs dapat membantu umat

dalam menghayati imannya yang bertolak dari pengalaman konkret sehari-hari.

Melalui refleksi iman berdasarkan pengalaman itu, umat semakin diteguhkan bahwa

Yesus dari Nazaret adalah Yesus Penyelamat. Kedatangan-Nya ke dunia ini bukan

hanya menyelamatkan manusia dari dosa, melainkan sebagai manusia biasa yang

turut serta merasakan suka-duka kehidupan umat-Nya. Pengakuan personal Gereja

84
“Yesusku” kiranya mendorong umat membangun relasi kasih dengan umat beragama

lain dan memampukannya untuk berpartisipasi pada misi evangelisasi Gereja di

Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

85
Sumber Primer:

Jacobs, Tom. Siapa Yesus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,

1982.

_________. Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,

1983.

_________. Imanuel: Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.

_________. Syalom, Salam, Selamat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Sumber Pendukung:

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Barron, Robert. And Now I See: A Theology of Transformation. United States of

America: Word On Fire Academic, 2021.

Bowden, John. Edward Schillebeeckx: In Search of The Kingdom of God. New York:

Crossroad, 1983.

Cahyadi, Krispurwana. Benediktus XVI. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.

Daia, Willem. Penerj. Toward a Theology of Beauty. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika: Allah Penyelamat. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius, 2004.

_______. “Bahasa Agama dan Ungkapan Iman Orang Kristiani: Sebuah Analisis

Formal-Struktural.” Jurnal Orientasi Baru, No. 7, 1993.

Embuiru, P. Herman. Penerj., Katekismus Gereja Katolik. Ende: Penerbit Arnoldus.

1995.

86
Ensiklik Nostra Aetate. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1991, No. 2.

Fitzmyer, Joseph A. Katekismus Kristologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 1994.

Grillmeier, P. Christ in Christian Tradition, Vol. 1. Mowbrays: London-Oxford, 1975.

Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus

Kristus Pada Umat Kristen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988.

_______. Soteriologi Alkitab: Keselamatan yang Diberitakan Alkitab. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 1989.

Heuken, Adolf. Penerj. Yesus dari Nazaret: Prolog, Kisah Masa Muda. Jakarta: Cipta

Loka Caraka, 2012.

_______. Ensiklopedi Gereja Edisi III Kons-Pe. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

1993.

_______. Ensiklopedi Gereja Edisi IV Ph-To. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Craka,

1994.

Hatam, Benediktus Feliks. “Persekutuan Yang Membebaskan Dalam Perspektif Biblis

I Kor 12: 12-31 Dan Kebudayaan Manggarai.” Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan Missio, Vol. 10, No. 1, 2018.

Hardjana, Agus M. Penerj. Yubelium Agung Tahun 2000: Menjadi Manusia Baru

dalam Kristus. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.

Jacobs, Tom. Karya Roh Dalam Gereja. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988.

_______. Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern, Teologi Yang Ekklesial Dan

Kultural. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

_______. Yesus Anak Maria. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.

87
_______. “Misi dan Kristologi.” Jurnal Orientasi Baru, No. 5, 1991.

_______. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium: Mengenal Gereja. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 1970.

_______. Iman dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

_______. “Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian Baru.” Jurnal

Orientasi Baru, No. 6, 1992.

_______. “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi.” Ed. Prof.

Tjaard. G. Hommes, Th. D dan E. Gerrit Singgih, Ph. D, Teologi dan Praksis

Pastoral: Antologi Teologi Pastoral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

_______. “Teologi yang Eklesial dan Kultural.” Ed. Budi Susanto, Teologi dan

Praksis Komunitas Post-Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.

_______. “Misi dan Kristologi.” Jurnal Orientasi Baru, No. 5, 1991.

_______. “Mewartakan Yesus Kristus di Zaman Modern.” Jurnal Orientasi Baru,

No. 13, 2000.

_______. Teologi dan Praksis Komunitas Pastoral Post Modern. Ed. Budi Susanto.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.

Kasper, Walter. Theology and Church. New York: Crossroad, 1989.

_______. Jesus the Christ. New York: Paulist Press, 1977.

_______. The God of Jesus Christ. New York: Crossroad, 1987.

Kereszty, Roch A. Jesus Christ: Fundamentals of Christology. New York: Alba

House, 1991.

Kieser, Bernhard. “Teologi dan Spiritualitas.” Jurnal Orientasi Baru, No. 8, 1994.

88
Kirchberger, Georg. Allah: Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen. Ende:

Penerbit Arnoldus, 2000.

_______. Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit

Ledalero, 2007.

_______. “Hans Küng dan Joseph Ratzinger: Dua Pandangan tentang Yesus Kristus.”

Jurnal Ledalero Vol. 20, No. 2, 2021.

Kilby, Karen. Karl Rahner. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.

Lebang, Audy Haryanto. “Spiritualitas Pemuda Dan Kesiapannya Menjadi Presbiter

Di Gereja Protestan Di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Immanuel-

Makasar.” Jurnal Syntax Literate: Vol. 5, No. 9, 2020.

Lelono, Martinus Joko. “Yesus Kristus Sang Jalan: Kristologi Kontekstual Bagi

Penghayat Kebatinan Katolik.” Jurnal Teologi, Vol. 4, No. 2, 2015.

Lobu, Yanuarius. “Yesus Kristus dan Agama-Agama,” Dalam Bunga Rampai, Yesus

Kristus Harapan Kita. Eds. Yanuarius Lobu dan Vincent Jolasa, Ende:

Penerbit Nusa Indah, 1992.

Macleod, Donald. The Person of Christ: Contours of Christian Theology. United

States of America: Illionis, 1998.

Mardiatmadja, B. S. Penerj. Yesus dari Nazaret. Jakarta: Gramedia, 2010.

Martasudjita, E. “Kehadiran Kristus di Tengah Umat Manusia Zaman Ini.” Jurnal

Orientasi Baru, No. 13, 2000.

McDermott, Brian O. “Roman Catholic Christology: Two Recurring Themes.” Jurnal

Theological Studies, Vol. 41. No. 2, 1980.

89
Ngelow, Zakaria J. “Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran

Gereja Dalam Politik Di Indonesia.” Jurnal Jaffray, No. 2, Vol. 12, 2014.

Pareira, Berthold Anton. “Apa itu Teologi?.” Dalam Robert Pius Manik, Gregorius

Pasi dan Yustinus (Eds), Berteologi Baru untuk Indonesia, Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2020.

Rahmat, Ioanes. Pentrj. Menggali Ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masa Kini.

Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.

Rahner, Karl. Theologian of the Grace Search for Meaning. Edinburgh: T & T Clark,

1993.

Riyadi, Eko. Yesus Kristus Tuhan Kita. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.

Romas, Romanus. “Kristologi Dalam Pandangan Ratzinger Dan Tom Jacobs.” Jurnal

Sepakat Vol. 4, No. 1, 2017.

Setiawan, Daniel. Penerj. Yesus di Zaman Kontroversi. Jakarta: Verbum Dei Books,

2008.

Schillebeeckx, Edward. God Among Us: The Gospel Proclaimed. New York:

Crossroad: 1982.

_______. Christ: The Experience of Jesus as Lord. New York: Crossroad, 1990.

_______. Christ: The Experience In the Modern World. London: SCM Press LTD,

1980.

Samarenna, Desti. “Berteologi Dalam Konteks Indonesia Modern.” Jurnal

Evangelikal, Vol. 1, No. 1, 2017.

Samosir, Dr. Leonardus. Agama Dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi

dalam Konteks. Jakarta: Penerbit Obor, 2010.

90
Salikun, Farida Rukan. “Paradigma Baru Hermeneutika Kontemporer Poul Ricoeur.”

Jurnal Hermeneutik, No.1, Vol. 9, 2015.

Schoof, Ted Mark Carl Sterkens, Erik Borman and Robert J. Schreiter (eds). Christ

The Christian Experience In The Modern World: The Colected of Edward

Schilebeecxk Vol VII. London: T & T Clark, 2018.

Sunarko, Adrianus. “Teologi Kontekstual di Tengah Maraknya Hidup Beragama.”

Dalam Robert Pius Manik, Gregorius Pasi dan Yustinus (Eds). Berteologi

Baru untuk Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2020.

_______. Teologi Kontekstual. Jakarta: Penerbit Obor, 2016.

_______. Teologi Fundamental Jilid I. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2013.

_______. Teologi Kontekstual Modern. Jakarta: Penerbit Obor, 2022.

_______. “Kristianitas Inklusif Atau Pluralis? Diskusi Dengan Edward

Schillebeeckx.” Jurnal Melintas Vol. 31, No. 1, 2015.

Taufik, Muhammad. “Filsafat Barat Era Skolastik: Telaah Kritis Pemikiran Thomas

Aquinas”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 19, No. 2, 2020.

Tranggani, Emmy. Penyusun. Yesus Anak Maria: Buah Renungan Tom Jacobs.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984.

O’Collins, Geral. Fundamental Theology. New York: Paulist Press, 1981.

Purwatma, M. Firman menjadi Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015.

Widharsana, Petrus Danan dan Victorius Rudy Hartono. Pengajaran Iman Katolik.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017.

Witkam, Theo. “Tanggapan atas Dasar-Dasar Misi dan Evangelisasi dalam Perjanjian

Baru Menurut Tom Jacobs.” Jurnal Orientasi Baru, No. 6, 1992.

91
Woga, Edmund. Dasar-Dasar Misiologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002.

Internet

“Friedrich Schleiermacher.”

https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Daniel_Ernst_Schleiermacher.

Diakses, 26 September 2022.

“Karl Rahner,” https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner, Diakses, 26 September

2022.

“Nicholas Thomas Wright,” https://id.wikipedia.org/wiki/N._T._Wright, Diakses, 05

Oktober 2022.

“Prasetyantha, MSF, Y.B. “Kamu Percaya Dogma?: Tantangan ber-Kristologi dari

Tom Jacobs.” http://giovannipromesso.blogspot.com/2012/09/kamu-percaya

dogma_1372.html. Diakses: 30 September 2022.

Walter Kasper,” https://en.wikipedia.org/wiki/Walter_Kasper. Diakses, 26 September

2022.

Widyaputranto, A. “RIP Pater Tom Jacobs, SJ.” April 6, 2008 by

https://ignatiusofloyola.wordpress.com/2008/04/06/rip-pater-tom-jacobs-sj/

Diakses: 26 Agustus 2022.

92

Anda mungkin juga menyukai