Anda di halaman 1dari 50

2.1.8.

Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan,

yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi

membuat nilai perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan menurut

theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai

perusahaan (value of the firm) (Salvatore,

2005). Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi

suatu perusahaan, karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti

juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan

utama perusahaan. Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan

harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut

dijual. Sedangkan menurut Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai

pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai

perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan

perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham.

Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai

perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya pada

kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa

depan.

Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar,

seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin

(2008), karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang

saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat.

Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang


saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal

menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional

diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.

Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value

(EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan

konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai

perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2006) dalam Nurlela

dan Islahuddin (2008) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan

harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut

dijual. Dalam penilaian perusahaan terkandung unsur proyeksi, asuransi,

perkiraan, dan judgment. Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai

ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai harus ditentukan

pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli

tertentu.

Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan

dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : a) pendekatan laba

antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode

kapitalisasi proyeksi laba; b) pendekatan arus kas antara lain metode

diskonto arus kas; c) pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan

dividen; d) pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e)

pendekatan harga saham; f) pendekatan economic value added (Suharli,

2002). Pada dasarnya tujuan manajemen keuangan adalah

memaksimumkan nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih

terdapat konflik antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai

kreditur. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan
meningkat, sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak

terpengaruh sama sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham

kepemilikan bisa merupakan index yang tepat untuk mengukur tingkat

efektifitas perusahaan.

Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan

dinyatakan dalam bentuk maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan,

atau memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga

saham tidak berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan

nilai saham dengan mengorbankan para pemegang obligasi. Nilai

perusahaan dapat juga dilihat melalui nilai pasar atau nilai buku perusahaan

dari ekuitasnya.

Menurut Fama (1978) nilai perusahaan akan tercermin dari harga

sahamnya. Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara

pembeli dan penjual disaat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan,

karena harga pasar saham dianggap cerminan dari nilai aset perusahaan

sesungguhnya. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar

saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya

peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan

perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan nilai

perusahaan.

Sebelum krisis nilai perusahaan dan nominalnya cukup tinggi. Tapi

setelah krisis kondisi perusahaan merosot sementara nilai nominalnya

tetap (Kompas, 2 November 2008). Suatu perusahaan dikatakan mempunyai

nilai yang baik jika kinerja perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat

tercermin dari harga sahamnya. Jika nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan
nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan utama perusahaan adalah

meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik

atau para pemegang saham.

Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar

perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen

mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau

dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai

pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan

informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur

hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan

tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset

perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti

perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor

dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan

operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari

pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).

Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan

memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena

semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku

asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk

mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut

(Sukamulja, 2004).

2.1.2 Corporate Social Responsibility (CSR)


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

sebenarnya telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama.

Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah

memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan

warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya, disebutkan bahwa

hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin

penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan

gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.

Perhatian para pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah

adanya kesadaran sejak lama bahwa terdapat potensi timbulnya dampak

buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi

sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat

sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.

Di Indonesia Corporate Social Responsibility telah berkembang sejak

dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Ini memberikan gambaran bahwa pemerintah juga sangat peka

terhadap masalah- masalah yang mungkin akan ditimbulkan oleh kegiatan

operasional perusahaan baik bagi masyarakat umum, karyawan maupun

lingkungan.

Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social

Responsibility (CSR) merupakan mekanisme bagi suatu organisasi untuk

secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial

ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders. The World

Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menjelaskan,

Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan


didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi

pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para

karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas

setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan

dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk

pembangunan.

Corporate Social Responsibility menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi nilai perusahaan karena salah satu dasar pemikiran yang

melandasi Corporate Social Responsibility yang pada saat ini dianggap

sebagai inti etika bisnis adalah kesadaran bahwa perusahaan tidak hanya

memiliki kewajiban ekonomi dan legal terhadap pemegang saham

(shareholder) saja, tetapi juga memiliki kewajiban sosial terhadap stakeholder

(pemangku kepentingan) seperti pemerintah, customers, investors,

masyarakat, pegawai dan bahkan kompetitor. Stakeholder theory

berpandangan bahwa perusahaan harus melakukan pengungkapan sosial

sebagai salah satu tanggung jawab kepada para stakeholder.

Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan semakin menyadari

pentingnya menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR)

sebagai bagian dari strategi bisnisnya, ini berkaitan dengan tuduhan bahwa

industri adalah penyumbang terbesar dari terjadinya pemanasan global jelas

tidak terbantahkan lagi. Penggunaan energi yang boros hingga buangan

limbah gas karbon akibat proses produksi merupakan dampak negatif

operasi perusahaan yang terjadi setiap harinya.


Pemanasan global selalu menjadi isu yang didengungkan perusahaan besar

di dunia. Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Menurut

data yang dihimpun melalui (www.csrindonesia.com) mengatakan bahwa

dalam CSR Indonesia

2007 yang menampilkan beragam perusahaan yang telah

mengimplementasikan program CSR baru-baru ini, nampak jelas terlihat

bahwa isu yang dibangun belum menyentuh masalah pemanasan global

sama sekali. Banyak perusahaan menyatakan dengan gagah bahwa

dengan programnya secara nyata akan mengurangi permasalahan

bangsa dan masyarakat Indonesia terutama kemiskinan, pengembangan

masyarakat, hingga pendidikan dan kesehatan.

Bila demikian halnya, pemanasan global nampaknya belum dianggap

masuk dalam masalah bangsa karena berdasarkan tulisan Kanis Dursin di

harian The Jakarta Post (1 Mei 2007) yang berjudul Most Indonesian Not

Aware of Global Warming mengungkapkan fakta minimnya pemahaman

masyarakat Indonesia akan pemanasan global. Hal ini dibuktikan dengan

adanya survey AC Nilsen di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan

Medan dengan 1700 responden. Di Jakarta, hanya 24% orang yang

paham akan pemanasanan global, demikian juga di Semarang.

Dalam Isu pemanasan global, tampaknya belum ada perusahaan di

Indonesia yang menempatkannya sebagai bagian dari strategi CSR. Padahal,

harusnya perusahaan-perusahaan segera sadar bahwa Indonesia juga

merupakan salah satu negara penyumbang karbon besar karena deforestasi

dan borosnya penggunaan bahan bakar fosil. Hal ini ironis karena seharusnya
badan usaha yang melaksanakan CSR lebih perduli terhadap lingkungan

karena berkaitan dengan kelangsungan hidup orang banyak dan membantu

mempercepatnya MDGs (Millennium Development Goals) yang merupakan

janji negara kepada rakyatnya didalam pembangunan, kemudian hal ini akan

membawa dampak yang positif pula bagi pencitraan perusahaan dimata calon

investor, yang akhirnya akan mempengaruhi nilai perusahaan yang

tercermin dari harga sahamnya.

Hal inilah yang mungkin saja menciptakan hasil yang tidak konsisten

didalam penelitian, misalnya saja penelitian Basamalah dan Jermias (2005)

menunjukkan bahwa salah satu alasan manajemen melakukan pelaporan

sosial adalah untuk alasan strategis, namun meskipun belum bersifat

mandatory, tetapi dapat dikatakan bahwa hampir semua perusahaan yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia sudah mengungkapkan informasi mengenai

CSR dalam laporan tahunannya. Dari perspektif ekonomi, perusahaan akan

mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan

nilai perusahaan (Verecchia, 1983 dalam Basamalah dan Jermias, 2005).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusumadilaga (2010) menunjukkan

adanya pengaruh yang signifikan antara pengungkapan Corporate Social

Responsibility terhadap nilai perusahaan. Sebaliknya pada penelitian yang

dilakukan oleh Nurlela dan Islahudin (2008) menunjukkan hasil yang

bertentangan yakni tidak adanya pengaruh antara pengungkapan Corporate

Social Responsibility

terhadap nilai perusahaan.


Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan

yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah

pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh

dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) (ACCA, 2004 dalam Anggraini,

2006). Sustainability report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel

tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability

Development yang membawanya menuju kepada core business dan

sektor industrinya.

Berkaitan dengan pelaksanaan CSR, perusahaan bisa

dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Meskipun cenderung

menyederhanakan realitas, tipologi ini menggambarkan kemampuan dan

komitmen perusahaan dalam menjalankan CSR. Pengkategorian dapat

memotivasi perusahaan dalam mengembangkan program CSR, dan dapat

pula dijadikan cermin dan guideline untuk menentukan model CSR yang

tepat.

2.1.3 Leverage

Menurut Brigham dan Houston (2001) stuktur modal merupakan

kombinasi hutang dan ekuitas dalam struktur keuangan jangka panjang

perusahaan. Dalam studi- studi empiris, leverage didefinisikan sebagai

sebuah ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat penggunaan

hutang dalam membiayai aktiva perusahaan. Ada tiga ukuran leverage yang

sering digunakan sebagai proxy dari struktur modal yaitu rasio total debt to
total asset, rasio long-term debt to total asset dan short-term debt to total

asset. Pengukuran ini sesuai dengan penelitian Chen (2008).

Penggunaan modal pinjamam yang biasa disebut Leverage

dimaksudkan untuk meningkatkan kekayaan pemilik. Menurut Brigham dan

Houston (2001), Hal


ini dikarenakan penggunaan Leverage mempunyai implikasi penting dan

memberikan manfaat yaitu ;

1. Pembayaran bunga adalah tax deductible, yang menurunkan biaya efektif


hutang.
2. Debtholder memperoleh return yang pasti.
3. Melalui financial leverage dimungkinkan laba per lembar saham akan
meningkat.
4. Kendali terhadap operasi perusahaan oleh pemegang saham yang
ada tidak berubah.
Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan leverage, yaitu :
1. Semakin tinggi debt ratio, semakin beresiko perusahaan. Karena
semakin tinggi biaya tetapnya yaitu berupa pembayaran bunga.
2. Jika sewaktu-waktu perusahaan kesulitan keuangan dan operating
income tidak cukup untuk menutup beban bunga, maka akan
menyebabkan kebangkrutan.

Dari pendapat Brigham dan Houston tersebut dapat dijelaskan bahwa

hutang bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap nilai perusahaan.

Pada titik tertentu peningkatan hutang akan menurunkan nilai perusahaan

karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan hutang lebih kecil daripada

biaya yang ditimbulkannya. Para pemilik perusahaan biasanya menciptakan

hutang pada tingkat tertentu untuk menaikkan nilai perusahaan.

Bagi perusahaan, hutang mempunyai dua keuntungan. Pemegang

hutang (debtholder) mendapat pengembalian yang tetap yang pertama.

Kedua, bunga yang dibayarkan dapat mengurangi beban pajak sehingga

menurunkan efektif dari hutang. Kelemahan hutang yaitu bila semakin tinggi

rasio hutang (debt ratio), semakin tinggi pula resiko perusahaan sehingga

suku bunga makin tinggi. Apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan

dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutupi beban bunga maka

pemegang saham harus dapat menutup kekurangan tersebut, dan jika


perusahaan tidak sanggup maka perusahaan akan bangkrut. Hutang

dapat
menghambat perkembangan perusahaan yang pada gilirannya dapat

membuat pemegang saham berpikir dua kali untuk tetap menanamkan

modalnya. Modigliani dan Miller mengatakan bahwa teori struktur modal yang

optimal didasarkan atas keseimbangan antara manfaat dan biaya dari

pembiayaan dengan hutang. Manfaat terbesar dari suatu pembiayaan dengan

hutang adalah bunga atas hutang dapat mengurangi pendapatan kena pajak.

Mengingat hutang adalah instrumen yang sensitif terhadap perubahan

nilai perusahaan. Semakin tinggi proporsi hutang maka semakin tinggi harga

saham karena penggunaan hutang diharapkan mampu menambah tingkat

pengembalian perusahaan sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan

harga perusahaan tersebut melalui pemenuhan modal yang dibutuhkan

perusahaan dalam rangka melancarkan kegiatan operasional. Ketersediaan

modal akan membuat perusahaan mampu bertahan bahkan mampu

berkembang menjadi lebih besar.

Ada beberapa pandangan yang dikemukakan berkaitan dengan

struktur modal, diantaranya :

1. Pecking Order Theory

Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson sejak tahun

1961, sedangkan penamaan packing order theory dilakukan oleh Myers pada

tahun 1984. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa: (a) Perusahaan

menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan

berwujud laba ditahan), (b) Apabila pendanaan dari luar (external financing)

diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling

aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan


penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik

opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum

mencukupi, maka saham baru diterbitkan. Sesuai dengan teori ini, tidak ada

suatu target debt to equity ratio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu

internal dan external. Modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan lebih

disukai daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan.

Menurut Myers (1984) perusahaan lebih menyukai penggunaan

pendanaan dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas, laba

ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan

mengacu pada packing order theory adalah: internal fund (dana internal),

debt (hutang), dan equity (modal sendiri). Dana internal lebih disukai dari

dana eksternal karena dana internal memungkinkan perusahaan untuk tidak

perlu "membuka diri lagi" dari sorotan pemodal luar. Kalau bisa

memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh "sorotan

dan publisitas publik" sebagai akibat penerbitan saham baru. Dana eksternal

lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua alasan.

Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi lebih murah

dari biaya emisi saham baru.

Husnan (1996) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena

penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua,

manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai

kabar buruk oleh para pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Hal

ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik

antara pihak manajemen dengan pihak pemodal.


2. Signaling Theory

Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2001) adalah

suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk

bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek

perusahaan. Dalam Brigham dan Houston (2001), perusahaan dengan

prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham

dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara

lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang

normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan

cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham

oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal)

bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram.

Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru, lebih sering

dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan

saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat

menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.

Kasus yang dialami Enron pada bulan Desember 2001 salah satu bukti

yang bisa dijadikan bahan pertimbangan didalam pengambilan kebijakan

hutang. Diawali ketika Kenneth Lay, seorang pengamat ekonomi dan mantan

wakil menteri pada Departemen Interior Amerika Serikat, membangun Enron

di tahun 1985 dengan melakukan penggabungan dua perusahaan gas alam

yang memiliki sistem pipanisasi terpadu, ketika bergabung bersama,

membentuk untuk pertama kalinya sistem nasional yang dapat

mendistribusikan gas alam ke pabrik-pabrik seluruh negeri. Lay


mengembangkan perusahaannya dengan mendapatkan pinjaman untuk

membeli
perusahaan lain, dan di tahun 1987 hutang yang dimiliki Enron sudah

sebesar 75% dari nilai pasar sahamnya, yang berakibat menciptakan

masalah yang berlarut-larut dalam perusahaan.

Untuk memasuki beberapa pasar yang ia perdagangkan, ia harus

meminjam lagi sejumlah uang yang sangat besar untuk membeli infrastruktur

yang dibutuhkan untuk mengangkut, menyimpan, dan mengirimkan

komoditas yang diperdagangkan. Tingkat hutang yang tinggi menyebabkan

terbuka lebarnya jalan kebangkrutan dan juga akan menurunkan peringkat

investasi serta juga akan membuat bank menarik pinjamannya kembali.

Ditambah lagi dengan kecurangan yang dilakukan oleh Anderson sebagai

akuntan dalam menutupi keadaan ini. Tingkat hutang yang dimiliki Enron

membuat nilai perusahaannya jatuh sampai menjadi nol dan kehilangan 70

milyar dolar AS atas kerugian tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan Sujoko dan Soebiantoro (2007), dan

Susanti (2010) menamukan hasil bahwa leverage mempunyai

hubungan negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Artinya

semakin tinggi leverage suatu perusahaan, maka nilai perusahaannya akan

turun.

2.1.4 Investment
Opportunity Set

Investment opportunity Set (IOS) diperkenalkan pertama kali oleh

Myers pada tahun 1977. Investment opportunity Set (IOS) menurut Myers

(1977) adalah kombinasi antara aktiva yang dimiliki perusahaan (assets in


place) dan pemilihan investasi pada masa yang akan datang dengan net

present value (NPV) positif.


Sementara Gaver dan Gaver (1993) mengemukakan definisi Investment

Opportunity Set (IOS) sebagai nilai perusahaan yang besarnya tergantung

pada pengeluaran yang ditetapkan oleh manajemen untuk masa mendatang

dalam ukuran uang, yang pada saat ini sebagai alternatif investasi yang

expected returnnya lebih besar. Perbedaan nilai buku saham dan nilai pasar

tidak lain adalah Investment opportunity Set (IOS). Kenaikan nilai

perusahaan yang dihasilkan dari berbagai alternatif pilihan

kesempatan investasi perusahaan dimasa yang akan datang adalah IOS.

Nilai perusahaan dipengaruhi oleh dua hal yaitu asset yang saat ini

telah ditempatkan dan opsi untuk investasi di masa depan. Investment

Opportunity Set (IOS) lebih ditekankan pada opsi investasi di masa depan.

Opsi investasi di masa depan dapat diperoleh jika perusahaan memiliki

proyek dengan net present value positif. Investment opportunity Set (IOS)

bukan merupakan pertumbuhan riil yang dicapai perusahaan saat ini namun

kesempatan perusahaan untuk bertumbuh di masa mendatang. Sehingga

ukuran Investment opportunity Set (IOS) secara esensi selain dikaitkan

dengan diperolehnya proyek yang menguntungkan adalah investasi

perusahaan di research and development serta aktiva tetap. Dengan

melakukan investasi untuk R&D dan aktiva tetap, perusahaan akan menikmati

pertumbuhan riil dimasa mendatang.

Investment opportunity Set (IOS) meliputi pengeluaran modal untuk

pengenalan produk baru, atau memperluas jangkauan pasar produk

yang ada, alternatif pengeluaran untuk menekan biaya restrukturisasi

perusahaan, pilihan
kebijakan akuntansi yang menguntungkan. Lebih lanjut Myers (1977),

menyatakan bahwa semua biaya variable adalah bagian dari Investment

opportunity Set (IOS).

Pengukuran Investment opportunity Set (IOS) beragam, baik yang

menggunakan faktor tunggal maupun dengan menggunakan kombinasi

beberapa faktor. Sebagian besar menggunakan ukuran data-data

pasar modal dalam menghitung Investment opportunity Set (IOS)

karena lebih banyak menggunakan ukuran harga saham dan market value

of equity sebagai proksi dari Investment opportunity Set (IOS). Investment

opportunity Set (IOS) dapat diamati dari pertumbuhan nilai buku perusahaan

di masa mendatang. Nilai perusahaan di masa mendatang akan tercermin

dari harga saham, karena harga saham mencerminkan present value dari

arus kas di masa mendatang yang akan diterima investor.

Untuk mencapai tujuan perusahaan, manajer membuat keputusan

investasi yang menghasilkan net present value positif. Fama (1978).

mengatakan bahwa nilai perusahaan semata-mata ditentukan oleh keputusan

investasi. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa keputusan investasi itu

penting, karena untuk mencapai tujuan perusahaan hanya akan dihasilkan

melalui kegiatan investasi perusahaan. Keputusan investasi tidak dapat

diamati secara langsung.

Jenis pengeluaran modal tampaknya besar pengaruhnya terhadap nilai

perusahaan, karena jenis informasi tersebut akan membawa informasi

tentang pertumbuhan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan

datang. Mc Connel dan Muscarella (1984) menguji gagasan dalam kaitannya


dengan tingkat pengeluaran research dan development perusahaan.

Ternyata kenaikan dalam pengeluaran modal,


relatif terhadap harapan-harapan sebelumnya, mengakibatkan kenaikan

return atas saham sekitar waktu pengumuman, dan sebaliknya return negatif

atas perusahaan melakukan penurunan pengeluaran modal. Temuan tersebut

telah membawa kepada suatu hasil yang menyatakan bahwa keputusan

investasi yang dilakukan mengandung informasi yang berisi sinyal-sinyal akan

prospek perusahaan di masa yang akan datang.

2.1.5 Ukuran
Perusahaan

Besar (ukuran) perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva,

penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, maka semakin

banyak modal yang ditanam. semakin banyak penjualan, maka semakin

banyak perputaran uang. Semakin besar kapitalisasi pasar, maka semakin

dikenal dalam masyarakat. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar

menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan

dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap

memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu

juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu

menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang kecil.

Menurut Sujoko dan Soebiantoro (2007) ukuran perusahaan yang

besar menunjukkan perusahaan mengalami perkembangan sehingga

investor akan merespon positif dan nilai perusahaan akan meningkat. Hal

tersebut dikarenakan perusahaan-perusahaan yang memilki size yang cukup

besar, umumnya sudah berada pada tahap maturity dan akan memiliki

prospek pembagian dividen yang baik dimasa


yang akan datang serta pangsa pasar relatif menunjukkan daya saing

perusahaan lebih tinggi dibanding pesaing utamanya. Investor akan

merespon positif sehingga nilai perusahaan akan meningkat. Kemudian pada

umumnya perusahaan dengan ukuran yang besar memilki total aktiva yang

besar pula sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya

pada perusahaan tersebut dan akhirnya saham tersebut mampu bertahan

pada harga yang tinggi. Pada umumnya perusahaan dengan size kecil

sangat riskan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan cenderung kurang

menguntungkan dibandingkan dengan saham dengan size besar.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan terkait dengan pengaruh

ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan, menunjukkan hasil yang

konsisten yaitu berpengaruh positif signifikan, diantaranya penelitian yang

dilakukan oleh Sujoko dan Soebinatoro (2007) serta Herawaty (2008) yang

konsisten menemukan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif

dan signifikan terhadap nilai perusahaan, hal ini menunjukkan semakin besar

perusahaan maka semakin baik nilai perusahaannya.

Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia

untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi

dalam saham perusahaan tersebut semakin banyak. Ukuran perusahaan

dapat diproksikan ke dalam logaritma natural dari total aktiva (Brigham and

Houston, 2001).

Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan

perusahaan dalam menentukan kebijakan hutangnya. Perusahaan besar


diantaranya memiliki keuntungan aktivitas serta lebih dikenal oleh publik

dibandingkan dengan
perusahaan kecil sehingga kebutuhan hutang perusahaan yang besar akan

lebih tinggi dari perusahaan kecil. Selain itu, semakin besar ukuran

perusahaan maka perusahaan semakin transparan dalam mengungkapkan

kinerja perusahaan kepada pihak luar, dengan demikian perusahaan semakin

mudah mendapatkan pinjaman karena semakin dipercaya oleh kreditur.

2.1.6 Kepemilikan
Manajerial

Pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat

menyebar. Kegiatan operasi perusahaan sehari-hari dijalankan oleh manajer

yang biasanya tidak mempunyai saham kepemilikan yang besar. Secara

teori, manajer merupakan agen atau wakil pemilik. Namun pada

kenyataannnya mereka mengendalikan perusahaan. Dengan demikian,

konflik kepentingan antar pemilik dapat terjadi. Hal ini disebut “masalah

keagenan”, yaitu devergensi kepentingan yang timbul antara pemilik dan

agennya. Struktur kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai

perusahaan. Dua aspek yang perlu dipertimbangkan ialah (1) konsentrasi

kepemilikan perusahaan oleh pihak luar (outsider ownership concentration)

dan (2) kepemilikan perusahaan oleh manajer (manager ownership). Pemilik

perusahaan dari pihak luar berbeda dengan manajer karena kecil

kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam urusan bisnis

perusahaan sehari-hari (Widyastuti, 2004).

Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer

dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa


disebut agency conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini

menyebabkan pentingnya
suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang

saham. Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut

menimbulkan suatu biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu

cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan adanya kepemilikan

saham oleh pihak manajemen (Haruman, 2008).

Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak

manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan

(direktur dan komisaris) (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya

kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan

dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat

kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang

besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh

manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku

opportunistic manajer yang meningkat juga. Dengan adanya kepemilikan

manajemen terhadap saham perusahaan maka dipandang dapat

menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan

pemegang saham lainnya sehingga permasalahan antara agent dan principal

diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga sekaligus sebagai

pemegang saham. Morck, Shleifer dan Vishny (1988) menemukan bahwa

pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial

dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%,

berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan

pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Midiastuty dan Machfoedz (2003)

menyatakan bahwa nilai perusahaan akan lebih tinggi ketika direktur memiliki

bagian saham yang lebih besar. Penelitian ini sepaham dengan Susanti

(2010) menemukan hasil kepemilikan manajerial memiliki hubungan positif

signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini tidak sepaham

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishaaq (2009) yang menunjukkan

adanya hubugan negatif antara ownership structure dengan nilai perusahaan,

penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Haruman (2008) yang

menyebutkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara kepemilikan

manjerial dengan nilai perusahaan.

2.1.7 Profitabilitas

Dewasa ini banyak pimpinan mendasarkan kinerja perusahaan yang

dipimpinnya pada financial performance. Paradigma yang dianut oleh banyak

perusahaan tersebut adalah profit oriented. Perusahaan yang dapat

meperoleh laba besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja

financial yang baik. Sebaliknya apabila laba yang diperoleh perusahaan

relatif kecil, maka dapat dikatakan perusahaan kurang berhasil atau kinerja

yang kurang baik, hal tersebut dikarenakan profitabilitas adalah hasil akhir

dari sejumlah kebijakan dan keputusan manajemen perusahaan.

Menurut Brigham and Houston (2001) Profitabilitas adalah


serangkaian

kebijakan dan keputusan. Profitabilitas dapat dikatakan sebagai


kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari aktivitas yang dilakukan

pada periode akuntansi. Menurut Saidi (2004) Profitabilitas adalah

kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor

menanamkan saham pada perusahaan adalah untuk mendapatkan return,

yang terdiri dari yield dan capital gain. Semakin tinggi kemampuan

memperoleh laba, maka semakin besar return yang diharapkan investor,

sehingga menjadikan nilai perusahaan menjadi lebih baik.

Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan


tingkat

pengembalian yang tinggi atas investasi perusahaan yang memperoleh

laba yang besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja

yang baik, sebaliknya kalau laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil atau

menurun dari periode sebelumnya, maka dapat dikatakan perusahaan kurang

berhasil atau memiliki kinerja yang kurang baik. Laba yang menjadi ukuran

kinerja perusahaan harus dievaluasi dari suatu periode ke periode berikutnya

dan bagaimana laba aktual dibandingkan dengan laba yang direncanakan.

Apabila seorang manajer telah bekerja keras dan berhasil

meningkatkan penjualan sementara biaya tidak berubah, maka laba

harus meningkat melebihi periode sebelumnya, yang mengisyaratkan

keberhasilan. Profitabilitas yang tinggi menunjukan prospek perusahaan yang

baik, sehingga investor akan merespon positif sinyal tersebut dan nilai

perusahaan akan meningkat (Sujoko dan Soebintoro, 2007).

Profitabilitas dapat diproksi melalui Return on Equity (ROE) sebagai

ukuran profitabilitas perusahaan. Menurut Brigham and Houston (2001)

Return on Equity
adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri. Maksud dari

definisi ROE yang dikemukakan oleh Brigham and Houston tersebut adalah

bahwa rasio ini mengukur tingkat pengembalian atas investasi bagi para

pemegang saham. Dari definisi ROE di atas dapat disimpulkan bahwa,

tingkat pengembalian modal atau ROE adalah rasio yang mengukur berapa

besar pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham)

atas modal yang disetorkannya untuk perusahaan tersebut. Secara umum,

semakin tinggi ROE, semakin baik kedudukan pemilik perusahaan sehingga

akan meyebabkan baiknya penilaian investor terhadap perusahan yang

menyebabkan meningkatnya harga saham dan nilai perusahaan.

Penelitian Susanti (2010) menyimpulkan bahwa faktor profitabilitas

berpengaruh signifikan dalam meningkatkan nilai perusahaan, dalam

penelitiannya menunjukkan profit yang tinggi akan memberikan indikasi

prospek perusahaan yang baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut

meningkatkan permintaan saham. Selanjutnya permintaan saham yang

meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan yang meningkat.

2.1.8. Komisaris
Independen

Terdapat dua sistem manajemen yang berbeda yang berasal dari dua

sistem hukum yang berbeda (FCGI, 2011) yang membedakan mekanisme

pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris, yaitu :

1. Sistem satu tingkat atau one tier


system
Sistem satu tingkat berasal dari sistem hukum aglo saxon. Dalam
sistem ini perusahaan hanya mempunyai satu dewan direksi yang
pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus
senior (direktur eksekutif)
dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu.
Negara-negara yang menggunakan sistem satu tungkat misalnya adalah
Amerika Serikat dan Inggris.

2. Sistem dua tingkat atau Two Tiers System


Sistem dua tingkat berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Dalam
sistem ini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan
pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi).
Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan dibawah
pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi juga harus
memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal
yang diajukan oleh dewan komisaris. Sehingga dewan komisaris terutama
bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. Negara-
negara yang menggunakan sistem dua tingkat adalah Denmark, Belanda,
Jepang dan juga Indonesia.

Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan

bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan

memberikan nasehat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan

melaksanaan tata kelola sesuai dengan aturan. Namun demikian, Dewan

Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional.

Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris non

independen. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak

berasal dari pihak terafiliasi, sedangkan komisaris non-independen

merupakan komisaris yang terafiliasi. Terafiliasi adalah pihak yang

mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham

pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan

perusahaan itu sendiri.

Keberadaan Komisaris independen telah diatur oleh Bursa Efek

Indonesia melalui peraturan BEJ tanggal 1 juli 2000 dikutip dari (FCGI, 2011).

Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai

komisaris independen yang


secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemagang

saham minoritas. Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris

independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.

Dikarenakan Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab dan

kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan direksi

dan manajemen atas pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat

berjalan secara efektif, efisien,

dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan organisasi, serta memberikan

nasihat bilamana diperlukan, dan karena posisinya yang sangat penting

dalam perusahaan, kemampuan dan pemahaman komisaris terhadap

bidang usaha dan emiten akan sangat mempengaruhi persetujuan dan

keputusan yang dibuat, sehingga komisaris harus memiliki dan menguasai

latar belakang pendidikan di bidang ekonomi.

Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan pengawasan

jalan kegiatan usaha dari praktik-praktik kecurangan sehingga pada akhirnya

akan meningkatkan nilai perusahaan, dengan pengambilan keputusan yang

efektif, tepat, dan cepat, serta dapat bertindak secara independen. Sesuai

dengan teori sinyal (signal model), bahwa tingginya Dividen yang

dibagikan menunjukkan tingginya performance perusahaan. Pada kondisi

informasi tidak seimbang (disparity) tinggi antara manajer dan investor,

perusahaan akan memberikan sinyal dengan membayar Dividen yang tinggi.

Penelitian tentang "Peran Praktek Corporate Governance


Sebagai

Moderating Variable dari Pengaruh Earning Management


Terhadap Nilai
Perusahaan" oleh Herawaty (2008) membuktikan bahwa variabel Corporate

Governance mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap nilai

perusahaan dengan variabel komisaris independen dan kepemilikan

institusional. Kepemilikan manajerial akan menurunkan nilai perusahaan

sedangkan klasifikasi akuntan publik akan meningkatkan nilai perusahaan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) yang

mendapatkan hasil bahwa Board Independent atau jumlah dewan

komisaris independen dalam perusahaan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap nilai perusahaan.

2.1.9. Cash
Holding

Kas adalah salah satu aset yang siap dikonversikan menjadi aset jenis

lainnya. Kas sangat mudah disembunyikan dan dipindahkan, dan sangat

diinginkan. Oleh karena karakteristik tersebut, maka kas merupakan aset

yang paling mungkin untuk digunakan dan dibelanjakan dengan tidak tepat.

Kas juga merupakan aset yang paling rentan terhadap perilaku ceroboh

manajemen (Isshaq, 2009).

Kas (cash) terdiri atas koin, uang kertas, cek, money order

(wesel atau kiriman uang melalui pos yang lazim berbentuk draft bank atau

cek bank), dan uang tunai di tangan atau simpanan di bank atau semacam

deposito. Aturan yang berlaku umum di bank adalah jika bank menerima

untuk disimpan di bank, maka itulah kas. Benda-benda semacam benda pos,

dan cek masa depan (utang cek dimasa depan) bukanlah kas . Dari uraian di

atas maka kriteria kas adalah sebagai berikut:


1. Diakui secara umum sebagai alat pembayaran yang sah.

2. Dapat dipergunakan setiap saat diperlukan.

3. Penggunaannya bersifat bebas.

4. Dikirim sesuai dengan nilai nominalnya.

Penentuan tingkat cash holding perusahaan merupakan salah satu

keputusan keuangan penting yang harus diambil oleh seorang manajer

keuangan karena cash holding dapat digunakan untuk beberapa hal, antara

lain dibagikan kepada pemegang saham berupa dividen, melakukan

pembelian kembali saham, melakukan investasi atau menyimpannya untuk

kepentingan perusahaan di masa depan.

Perusahaan harus dapat menjaga kas yang dimiliki pada tingkat yang

optimal karena menahan kas terlalu besar dalam aktiva adalah hal yang tidak

produktif dan memerlukan biaya yang tinggi (Martono dan Harjito, 2001).

Salah satu tujuan perusahaan memiliki cash holding antara lain untuk

membayar hutang, membiayai kesempatan investasi yang menguntungkan

serta sebagai cadangan apabila terdapat kejadian-kejadian yang tidak

terduga dimasa yang akan datang.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menemukan

pengaruh negatif dan signifikan antara cash holding dengan nilai perusahaan.

Sementara Isshaq (2009) yang mengadakan penelitian mengenai

hubungan antara corporate governance, struktur kepemilikan, dan cash

holding dengan nilai perusahaan sebagai variabel dependen. Dalam

penelitiannya menemukan bahwa variable corporate governance yaitu ukuran


dewan direksi dan pertemuan dewan berpengaruh secara positif signifikan

terhadap nilai perusahaan yang diproksikan melalui dari harga


saham. Sementara itu, ditemukan hubungan negatif tidak signifikan antara

proporsi dewan komisaris independen, struktur kepemilikan saham, dan cash

holding terhadap nilai perusahaan.

2.1.10 Dividend Payout


Ratio

Kebijakan dividen adalah kebijakan yang menyangkut tentang

penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham. Pada dasarnya

laba tersebut bisa dibagi sebagai Dividen atau ditahan untuk diinvestasikan

kembali. Perusahaan bisa membagi Dividen dalam bentuk uang tunai atau

dalam bentuk saham (stock Dividen). Kebijakan dividen masih merupakan

masalah yang mengundang perdebatan karena ada beberapa pendapat

mengenai Dividen. Pertama, pendapat yang mengatakan dividen dibagi

sebesar-besarnya (dividend relevant); Kedua, kebijakan dividen tidak relevan;

dan ketiga perusahaan membagi dividen sekecil mungkin.

Jika perusahaan mampu meningkatkan pembayaran dividen karena

peningkatan laba, maka harga saham akan naik. Jadi, kenaikan harga saham

tersebut pada dasarnya adalah sebagai akibat dari kenaikan dari laba.

Pemberian dividen dimungkinkan hanya apabila perusahaan memperoleh

keuntungan, namun tidak menutup kemungkinan perusahaan tetap membagi

dividen meskipun perusahaan menderita kerugian.

Bird in the hand Theory menjelaskan bahwa investor menyukai dividen

yang tinggi karena dividen yang diterima seperti burung di tangan yang

risikonya lebih kecil atau mengurangi ketidakpastian dibandingkan

dengan dividen yang tidak


dibagikan. Kelompok ini berpendapat bahwa peningkatan dividen akan

meningkatkan harga saham yang selanjutnya berdampak terhadap nilai

perusahaan.

Kelompok pertama, dividen relevan dapat berarti juga, bahwa

pembayaran dividen dapat menurunkan nilai perusahaan. Pemikiran ini

didasari adanya pajak dividen yang lebih tinggi dari pada pajak capital gain.

Juga tidak benar kalau perusahaan harus membagikan semua laba sebagai

dividen, hanya karena perusahaan harus membagikan dividen sebesar-

besarnya. Laba dibenarkan untuk ditahan jika dana tersebut bisa

diinvestasikan dan menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih besar dari

biaya modalnya (memberi net present value positif), dengan harapan

dividen di masa yang akan datang akan naik sebagai hasil dari investasi yang

dilakukan. Harapan investor untuk memperoleh dividen secepatnya dapat

direalisasikan dengan kesediaannya untuk membayar harga atas saham

perusahaan dengan lebih tinggi. Pada pasar modal sempurna dan efisien,

investor dapat setiap saat menjual atau menginvestasikan kembali dividen

yang diterima, sehingga untuk jangka panjang dividen tetap memberikan

suatu pendapatan yang tidak berbeda dengan dividen yang tidak dibagikan

tapi diinvestasikan oleh perusahaan.

Kelompok kedua menganggap Dividen tidak relevan (the irrelevant of

Dividend). Modigliani dan Miller (1958) mengatakan bahwa kebijakan Dividen

tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan. Nilai

perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan menghasilkan laba, bukan

pada pembagian laba perusahaan untuk dividen atau sebagai laba ditahan.
Selanjutnya dikatakan bahwa perusahaan bisa saja membagikan dividen

yang besar ataupun kecil, asalkan


dimungkinkan menutup kekurangan dana dari sumber eksternal. Jadi yang

penting adalah apakah investasi yang tersedia diharapkan akan memberikan

net present value yang positif, tidak perduli apakah dana yang digunakan

diperoleh dengan menahan laba ataukah dari luar perusahaan dengan

menerbitkan saham baru. Dampak dari pilihan keputusan tersebut sama

saja terhadap nilai perusahaan. Jadi keputusan Dividen adalah tidak

relevan (the irrelevant of dividen).

Kelompok ketiga berpendapat agar dividen dibagi sekecil-

kecilnya. Pendapat sebelumnya mengatakan bahwa dividen tidak relevan

mendasarkan diri atas pemikiran bahwa membagikan dividen dan

menggantikan dengan menerbitkan saham baru mempunyai dampak yang

sama terhadap harga saham. Sayangnya analisis tersebut mengabaikan

adanya biaya penerbitan saham baru/biaya emisi (flotation cost). Biaya

yang ditimbulkan akibat menerbitkan saham baru adalah fee untuk

underwriter, biaya notaris, akuntan, konsultan hukum pendaftaran saham dan

lain sebagainya yang berkisar antara 2% sampai 4%. Dengan adanya biaya-

biaya tersebut, berarti sebagian kekayaan pemegang saham diberikan

kepada berbagai pihak sebagai flotation cost. Jadi bila perusahaan memiliki

dana untuk investasi mengapa dana tersebut dibagikan sebagai dividen?,

sehingga menimbulkan biaya flotation. Oleh sebab itu, mereka

beranggapan dividen sebaiknya dibagi sekecil-kecilnya, sejauh dana

tersebut dapat digunakan untuk investasi yang menguntungkan atau

memberi NPV positif.


Easterbrook (1984) dalam Susanti (2010) menyatakan ada keyakinan

bahwa semakin banyak Dividen yang ingin dibayarkan oleh perusahaan,

semakin besar
kemungkinan berkurangnya laba ditahan. Akibatnya, perusahaan harus

mencari biaya eksternal untuk melakukan investasi baru. Namun biaya

penerbitan sumber pembiayaan ekternal menjadi mahal karena adanya

flotation cost. Akibatnya pembayaran Dividen menjadi mahal karena

meningkatnya kebutuhan untuk menambah modal eksternal yang lebih

mahal.

Perusahaan di negara berkembang umumnya melakukan

kebijakan pembayaran dividen dengan payout ratio sebesar dua pertiga dari

perusahaan- perusahaan di negara maju. Perusahaan di negara berkembang

lebih mementingkan kebijakan dividen berdasarkan payout ratio dibandingkan

dengan besaran-besaran moneternya. Investor individual dengan usia lanjut

dan penghasilannya hanya tergantung dari dividen mungkin lebih menyukai

dividen payout yang tinggi. Akan tetapi investor dengan penghasilan tinggi

akan lebih menyukai dividen payout rendah.

Dalam teori kebijakan dividen yang penting diperhatikan adalah

apakah perubahan rasio pembayaran dividen akan mempengaruhi nilai

perusahaan? Dalam dunia tanpa pajak atau biaya transaksi tidak ada,

Modigliani dan Miller (1958) mengatakan bahwa kebijakan dividen tidak

mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam dunia tanpa pajak pemegang saham

bersikap sama saja apakah mereka menerima arus kas sebagai dividen, atau

sebagai keuntungan modal, jika kas disimpan sebagai laba ditahan.

Sedangkan perusahaan dapat memilih untuk membayar dividen dari

kelebihan arus kas dari operasi dan tetap menjalankan investasi yang

direncanakan. Karena dana ekstra yang diperlukan dapat diperoleh dengan


menerbitkan saham baru tanpa biaya penerbitan. Nilai perusahaan tidak

tergantung pada kebijakan dividen,


karena semua investasi yang menguntungkan dapat

dilaksanakan tanpa memperhatikan pembayaran dividen.

Dunia tanpa pajak tidak realistis karena dalam prakteknya unsur

pajak akan selalu mengikuti setiap kebijakan yang diambil. Setiap dividen

yang diterima investor akan dikenakan pajak. Modigliani dan Miller juga

mengatakan bahwa selama dividen memiliki tarif pajak yang tinggi bagi

investor dibandingkan dengan capital gain, maka tingginya dividen

menjadikan tingginya expected personal tax liabilities, sehingga investor

mensyaratkan tingginya expected return sebelum pajak. Jadi menurut mereka

apapun kebijakan dividen yang dipilih tidak ada pengaruhnya terhadap harga

saham.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa

alasan mengapa dividen tetap dibagikan meskipun pada saat yang sama

perusahaan memiliki kesempatan investasi yang menarik, dan perusahaan

mendanai perusahaan dari sumber eksternal.

1. Pembayaran dividen kas merupakan suatu yang lazim. Artinya kegagalan

melakukan pembayaran dividen dapat dianggap suatu aib yang

memalukan. Selain itu pembayaran dividen dapat memberikan sinyal

tentang masa depan perusahaan.

2. Dividen menyajikan sales point bagi investment banking, karena

beberapa investor institusional hanya akan membeli saham perusahaan

yang membayar dividen.


3. Shareholders sering meminta dividen, walaupun perusahaan memiliki

kesempatan untuk melakukan investasi kembali dari seluruh dana yang

mungkin cukup besar.

4. Ada suatu keyakinan yang tersebar luas, bahwa pembayaran Dividen akan

mengakibatkan harga saham yang lebih tinggi.

Manajer dapat menggunakan kebijakan Dividend Payout Ratio untuk

menangkal isu-isu negatif berkaitan dengan kinerja perusahaan dimasa yang

akan datang untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menemukan hasil yang

positif dan tidak signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan nilai

perusahaan dan penelitian yang dilakukan oleh Isshaq (2009), menemukan

hasil yang positif dan signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan

nilai perusahaan.

2.1.11. Jakarta Islamic Index

Jakarta Islamic Index atau biasa disebut JII adalah salah satu index

saham yang ada di Indonesia yang menghitung index harga rata-rata saham

untuk jenis saham-saham yang memenuhi kriteria syariah. Pembentukan JII

tidak lepas dari kerja sama antara Pasar Modal Indonesia (dalam hal ini PT.

Bursa Efek Jakarta) dengan PT. Danareksa Invesment Management (PT.

DIM).

JII dikembangkan sejak tanggal 3 Juli 2000. Pembentukan instrumen

syariah ini dilakukan untuk mendukung pembentukan Pasar Modal Syariah

yang kemudian diluncurkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2003. Setiap

periodenya, saham yang


masuk JII berjumlah 30 (tiga puluh) saham yang memenuhi kriteria

syariah yang dilakukan per semester yaitu pada bulan Juni dan Desember.

Tujuan pembentukan JII adalah untuk meningkatkan kepercayaan

investor untuk melakukan investasi pada saham berbasis syariah dan

memberikan manfaat bagi pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk

melakukan investasi di bursa efek. JII juga diharapkan dapat mendukung

proses transparansi dan akuntabilitas saham berbasis syariah di Indonesia.

JII menjadi jawaban atas keinginan investor yang ingin berinvestasi sesuai

syariah. Dengan kata lain, JII menjadi pemandu bagi investor yang ingin

menanamkan dananya secara syariah tanpa takut tercampur dengan

dana ribawi. Selain itu, JII menjadi tolak ukur kinerja (benchmark) dalam

memilih portofolio saham yang halal.

Penentuan kriteria indeks itu sendiri melibatkan Dewan Pengawas

Syariah PT. Danareksa Invesment Management, menurut Prakarsa (2006)

saham-saham didalamnya harus memiliki sifat:

1. Emiten tidak menjalankan usaha perjudian dan permainan yang


tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2. Bukan lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba,
termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3. Usaha yang dilakukan bukan memproduksi,
mendistribusikan dan memperdagangkan makanan/minuman yang
haram.
4. Tidak menjalankan usaha memproduksi, mendistribusikan dan
menyediakan barang/jasa yang merusak amoral.

Dengan penyaringan berdasarkan penilaian syariah, dipilihlah 30

emiten yang mampu masuk kedalam indeks JII. Setelah melewati beberapa

tahap seleksi seperti memilih emiten dengan prinsip syariah, memilih

saham dengan rasio Kewajiban


terhadap Aktiva maksimal 90%, kemudian memilih 60 saham teratas

berkapitalisasi besar selama 1 tahun terakhir dan memilih 30 saham

berdasarkan liquiditas terbesar selama satu tahun terahir maka didapatlah 30

emiten yang masuk kedalam indeks JII.

2.2 Review Penelitian


Terdahulu

Beberapa peneliti mencoba untuk menjelaskan nilai perusahaan, tetapi

penelitian empiris membuktikan bahwa yang mempengaruhi nilai

perusahaan berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin saja disebabkan oleh

beberapa faktor misalnya data yang digunakan, perbedaan tempat penelitian,

perbedaan periode pengamatan penelitian dan lain sebagainya.

Hasil-hasil penelitian terdahulu secara singkat dapat dilihat pada Tabel

2.1 sebagai berikut:


Tabel 2.1. Review Peneliti Terdahulu

Nama Tahun Judul Variabel yang Digunakan Hasil Yang Diperoleh


Peneliti
Rika Susanti 2010 Analisis a. Nilai perusahaan (Y) Terdapat hubungan positif dan
faktor- faktor b. Corporate signifikan antara corporate
yang Governance governance, profitabilitas,
berpengaruh (Komisaris Investment Oppurtunity Set
terhadap Independen) (X 1 ) terhadap nilai perusahaan.
nilai c. Ownership Sedangkan ownership
perusahaan Structure structure, DPR memiliki
(X 2 ) hubungan positif dan tidak
d. Cash Holding (X 3 ) signifikan. Dan variabel cash
e. Profitabilitas (X 4 ) holding, finance risk memiliki
f. Finance Risk (X 5 ) hubungan yang negatif
g. Dividen Payout terhadap nilai perusahaan.
Ratio
(X 6 )
h. IOS (X 7 )
Vinola 2008 Peran a. Nilai perusahaan (Y 1 variabel yang berpengaruh
Herawat Praktek ) signifikan terhadap nilai
y Corporate b. Earning perusahaan adalah variabel
Governance Manajemen corporate governance, ukuran
sebagai (Y 2 ) perusahaan dan earnings
Moderating c. Komisaris manajemen. Komite
Variabel Independen independen, kualitas audit,
dari pengaruh (X 1 ) kepemilikan institusioal
Earning d. Kepemilikan merupakan variabel
Manajemen Manajerial permoderasi antara earnings
Terhadap (X 2 ) manajemen dan
Nilai e. Kepemilikan nilai
Perusahaan. Instutisional (X 3 perusahaan.
pada )
f. Kualitas Audit (X 4 )
sektor
g. Ukuran Perusahaan
perbankan (X 5 )
yang
Go Public di BEJ
Zangin 2009 Corporate a. Independen: a. Variabel yang
a Governance, corporate governance berpengaruh positif
Isshaq Ownership (ukuran dewan direksi, signifikan: ukuran dewan
Structure, dewan komisaris direksi, pertemuan dewan,
Cash Holdings, independen, dan risiko finansial, dan
and Firm pertemuan dewan) Dividend Payout Ratio
Value on the struktur kepemilikan, (DPR)
Ghana Stock dan cash holding b. Variabel yang
Exchange b. Dependen: berpengaruh positif tidak
nilai perusahaan signifikan: investment
c. Kontrol: risiko opportunity.
financial (leverage), c. Variabel yang
Dividend payout berpengaruh negatif tidak
ratio,
dan investment signifikan: proporsi dewan
opportunity komisaris independen,
struktur kepemilikan
Ni Wayan 2007 Pengaruh Kinerja a. Variabel dependen : Returnsaham,on dan cash holding.
Yuniasih dan Keuangan Nilai Perusahaan berpengaruh asset
Made Gede Terhadap Nilai b. Variabel Independen : statistis pada terbukti positif
wirakusuma Perusahaan Kinerja Keuangan Pengungkapan secara nilai
dengan Pengungkapan Perusahaan.
CSR dan GCG sebagai c. Variabel Moderating CSR sebagai
Variabel Pemoderasi : Pengungkapan variabel pemoderasi terbukti
corporate social berpengaruh positif secara
responsibility, dan statistis pada hubungan return
Good corporate on asset dan nilai perusahaan.
governance Kepemilikan manajerial
sebagai
variabel
pemoder
asi tidak
terbukti
berpengaruh terhadap
hubungan return on asset dan
nilai perusahaan
1. Susanti (2010) melakukan penelitian mengenai “Analisis Faktor-faktor yang

Berpengaruh terhadap Nilai Perusahaan”. Dalam penelitiannya Susanti

menemukan bahwa variabel Komisaris Independen, Profitabilitas, dan

Investment Opportunity Set berpengaruh secara positif dan signifikan

terhadap nilai perusahaan yang diproksikan melalui harga saham dengan

rasio Tobin’s Q. Sementara itu variabel kepemilikan manajerial dan

Dividend Payout Ratio ditemukan berpengaruh positif tetapi tidak

signifikan. Sedangkan variabel Leverage dan Cash Holding berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.

2. Herawaty (2008) meneliti tentang “Peran Praktek Corporate Governance

sebagai Moderating Variabel dari Pengaruh Earning Management

Terhadap Nilai Perusahaan”. Alat analisis yang digunakan adalah alat

statistik regresi berganda. Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa

variabel corporate governance yaitu dewan komisaris independen dan

struktur kepemilikan institusional, ukuran perusahaan dan earning

management memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai

perusahaan. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa dewan komisaris

independen, kualitas audit, dan struktur kepemilikan institusional

merupakan moderating variables dari hubungan antara earnings

management dan nilai perusahaan, dan bukan merupakan

moderating variables dari struktur kepemilikan manajerial. Selain itu

dalam penelitian ini ditemukan bahwa struktur


kepemilikan manajerial tidak bias meminimalisir earnings

management yang mempengaruhi nilai perusahaan.

3. Isshaq (2009) mengadakan penelitian mengenai hubungan antara

corporate governance, struktur kepemilikan, dan cash holding dengan nilai

perusahaan sebagai variabel dependen. Dalam penelitiannya Isshaq

menemukan bahwa variable corporate governance yaitu ukuran dewan

direksi dan pertemuan dewan berpengaruh secara positif signifikan

terhadap nilai perusahaan yang diproksikan melalui harga saham.

Sementara itu, ditemukan hubungan negatif tidak signifikan antara

proporsi dewan komisaris independen, struktur kepemilikan saham, dan

cash holding terhadap nilai perusahaan. Sementara untuk variable kontrol

yaitu terdapat hubungan positif signifikan antara risiko finansial dan

Dividend Payout Ratio (DPR) terhadap nilai perusahaan, serta positif tidak

signifikan antara investment opportunity terhadap nilai perusahaan.

4. Yuniasih dan Wirakusuma (2007), melakukan penelitian tentang

“Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan

Pengungkapan corporate social responsibility dan good corporate

governance sebagai variabel Pemoderasi”. Hasil penelitian menemukan

bahwa Return on Asset terbukti berpengaruh positif secara statistik

pada nilai perusahaan. Pengungkapan corporate social responsibility

sebagai variabel Pemoderasi terbukti berpengaruh positif secara statistik

pada hubungan Return on Asset dan nilai perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai