PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merger dan Akuisisi yang akan dilakukan oleh PT Surya Citra Media Tbk (SCTV)
terhadap PT Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar) telah menjadi perbincangan yang
hangat di kalangan masyarakat sejak berita ini berhembus daritahun 2008 lalu.
Seperti yang kita ketahui PT Surya Citra Media Tbk (SCTV)merupakan salah satu
stasiun televisi terkemuka yang berdiri pada tahun 1993, berbekal SK Menteri
Penerangan No 111/1992 SCTV melakukan siaran nasionalke seluruh Indonesia
sedangkan PT Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar)merupakan salah satu stasiun
televisi swasta nasional di Indonesia yang tidak kalah terkemuka dan beroperasi dari
Jakarta sejak tahun 1994. Kedua perusahaantersebut sama-sama bergerak dalam
bidang pernyiaran pertelevisian di Indonesiadan tentu saja sepak terjang dari kedua
perusahaan tersebut sudah tidak bisadiragukan lagi.
Merger dan Akuisisi yang akan dilakukan kedua perusahaan ini didugadan
dikhawatirkan menimbulkan monopoli karena antara SCTV dan Indosiar dipandang
memiliki pangsa lumayan besar di Indonesia. Terlepas dari permasalahan monopoli
merger dan akuisisi yang akan dilakukan kedua perusahaan tersebut terhalang oleh
Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dimana tidak
memperbolehkan dua stasiun televisi dimiliki satu pemilik. Dari permasalahan-
permasalahan inilah untuk itu kami akan melakukananalisis mengenai Merger dan
Akuisisi SCTV terhadap Indosiar, dimana apakah dampak dari Merger dan Akuisisi
yang dilakukan oleh kedua perusahaan tersebutmenghasilkan hasil positif maupun
negatif dan sebagai tugas akhir dari perkuliahan Merger dan Akuisisi.
B. Rumusan Masalah
Adapaun permasalahan yang akan dibahas dalam Penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apakah Merger dan Akuisisi yang dilakukan oleh SCTV terhadap Indosiar
melanggar ketentuan dalam Undang-undang tentang Penyiaran?
2. Apakah Merger dan Akuisisi yang dilakukan oleh SCTV terhadap Indosiar dapat
menyebabkan monopoli dan persaingan tidak sehat dalam persaingan bisnis
pertelvisian di Indonesia?
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Horizontal merger adalah penggabungan dua jenis perusahaan atau lebih ketika
dua perusahaan tersebut bergerak di bidang industri yang sama dan bergabung.
Contohnya, Restoran cepat saji menggabungkan diri dengan perusahaan
peternakan ayam.
2. Vertikal merger adalah penggabungan dua jenis perusahaan atau lebih yang
terjadi ketika suatu perusahaan mengakuisisi perusahaan supplier atau
customernya. Contohnya, pabrik komputer yang gabung dengan pabrik
komputer.
3. Congeneric merger adalah penggabungan dua jenis perusahaan atau lebih yang
terjadi ketika perusahaan yang bergerak dalam idustri yang sama tetapi tidak
dalam garis bisnis yang sama dengan supplier atau customernya. Keuntungannya
adalah perusahaan dapat menggunakan penjualan dan distribusi yang sama.
5. Pertimbangan pajak
Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan
atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian
pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba
untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang
mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan
mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi.
Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi
berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik.
6. Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang
lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan
saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan
perusahaan yang lebih kecil.
7. Melindungi diri dari pengambilahlian
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihan yang
tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi perusahaan lain, dan membiayai
pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini, kewajiban
perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh bidding firm yang
c. Kelebihan Akuisisi
Menurut Harianto dan Sudomo, 2001, p.643-644, akuisisi memiliki keuntungan
baik dari segi keuntungan akuisisi saham maupun akuisisi aset adalah sebagai
berikut:
1. Akuisisi Saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang
saham sehingga jika pemegang saham tidak menyukai tawaran Bidding firm,
mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak Bidding firm.
2. Dalam Akusisi Saham, perusahaan yang membeli dapat berurusan langsung
dengan pemegang saham perusahaan yang dibeli dengan melakukan tender
offer sehingga tidak diperlukan persetujuan manajemen perusahaan.
3. Karena tidak memerlukan persetujuan manajemen dan komisaris perusahaan,
akuisisi saham dapat digunakan untuk pengambilalihan perusahaan yang tidak
bersahabat (hostile takeover).
4. Akuisisi Aset memerlukan suara pemegang saham tetapi tidak memerlukan
mayoritas suara pemegang saham seperti pada akuisisi saham sehingga tidak ada
halangan bagi pemegang saham minoritas jika mereka tidak menyetujui akuisisi.
d. Kekurangan Akuisisi
Menurut Harianto dan Sudomo, 2001, p.643, terlepas dari keuntungan yang dimiliki
akuisisi, akuisisi juga memiliki kerugian baik dari segi kerugian akuisisi saham
maupun kerugian akuisisi asset yang dimiliki seperti yang dijelaskan sebagai
berikut :
1. Jika cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui
pengambilalihan tersebut, maka akuisisi akan batal. Pada umumnya anggaran
dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara
setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
2. Apabila perusahaan mengambil alih seluruh saham yang dibeli maka
terjadi merger.
3. Pada dasarnya pembelian setiap aset dalam akuisisi aset harus secara
hukum dibalik nama sehingga menimbulkan biaya legal yang tinggi
a. Pengertian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat memberi arti kepada monopolis sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh salah satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha sesuai pada Pasal
1 ayat (1). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/ atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu,
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum, sesuai dalam Pasal 1 ayat (2). Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat” sebagai
suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/ atau
pemasaran barang dan/ atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur
atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha sesuai Pasal 1
ayat (6).
Dalam hubungan dengan aplikasi dari hukum monopoli, dikenal beberapa teori
yuridis, yaitu sebagai berikut : ( Munir Fuady, 2003 : 46-50)
1) Teori Balancing
Teori Balancing atau teori keseimbangan ini lebih menitikberatkan kepada
pertimbangan apakah tindakan yang dilakukan seorang pelaku pasar menjurus
kepada pengebirian atau bahkan penghancuran persaingan pasar atau sebaliknya
bahkan dapat lebih mempromosikan persaingan tersebut. Teori ini juga
mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan sosial, termasuk kepentingan pihak
pebisnis kecil, sehingga teori ini dijuluki sebagai teori Kemasyarakatan (populism).
2) Teori Per Se
Teori ini lebih menitikberatkan kepada struktur pasar tanpa terlalu
memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Menurut teori
ini, pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor juga dianggap bertentangan
dengan hukum antimonopoli.
4) Output Analysis
Output Analysis atau analisis keluaran ini dilakukan dengan cara menganalisis
apakah tindakan yang dilakukan pelaku usaha, misalnya penetapan harga harga
bersama (price fixing) dirancang atau mempunyai efek yang negatif terhadap
persaingan pasar. Dalam hal ini yang dilihat bukan penetapan harga bersama Per Se,
melainkan yang dilihat adalah efeknya terhadap persaingan pasar.
5) Market Power Analysis
Market Power Analysis atau analisis kekuatan pasar ini disebut juga dengan analisis
stuktural (structural analysis) merupakan suatau pendekatan di mana agar suatu
tindakan dari pelaku pasar dapat dikatakan melanggar hukum antimonopoli, maka di
samping dianalisis terhadap tindakan yang dilakukan itu, tetapi juga dilihat kepada
kekuatan pasar atau struktur pasar.
6) Ancillary Restraint
Ancillary Restraint atau doktrin pembatasan tambahan merupakan teori yang
mengajarkan bahwa tidak semua monopoli atau pembatasan persaingan dapat
dianggap bertentangan dengan hukum. Hanya perbuatan-perbuatan yang
mempengaruhi persaingan secara langsung dan segera (direct and immidate) yang
dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Apabila efeknya terhadap persaingan
pasar terjadi secara tidak langsung atau hanya merupakan efek sampingan
(tambahan) semata-mata, maka tindakan tersebut, meskipun mempunyai efek
negatif terhadap persaingan pasar, tetap dianggap sebagai tidak bertentangan dengan
hukum antimonopoli. Sebaliknya jika efeknya (yang negatif ) terhadap persaingan
merupakan efek langsung, meskipun tindakan tersebut tergolong resonable tetap
dianggap sebagai melanggar hukum antimonopoli.
Industri televisi nasional saat ini cenderung mengarah kepada monopoli dan
konglomerasi yang akan mengganggu hak publik terhadap konten penyiaran dan
informasi. Dalam UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi jelas disebutkan bahwa
frekuensi tidak boleh dipindahtangankan. Jika pun harus terjadi maka harus
memperoleh izin dari Menteri Komunikasi dan Informatika. Selain itu dalam UU
Penyiaran, Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) juga tidak boleh
dipindahtangankan.
Tetapi yang banyak terjadi sekarang sifatnya holding, izin masih tetap pemilik lama
kemudian dua perusahaan itu melakukan holding. Hal itu merupakan salah satu
upaya agar tidak terjadi benturan dengan dua UU tersebut. Terkait dengan pilihan
pola penggabungan seperti merger, akuisisi, atau holding, memang masih belum ada
pembicaraan lebih lanjut tentang pola yang akan dipilih.
Pada rentang waktu 20 Juni 2011 hingga tanggal 20 Juli 2011, EMTek melengkapi
dokumen yang diminta dimana KPPU (pada akhir masa pemeriksaan dokumen ini)
melalui Surat Penetapan 48/KPPU/Pen/VII/2011 tanggal 20 Juli 2011 menyatakan
akan melakukan Penilaian atas Pemberitahuan ini mengingat transaksi telah
memenuhi batasan (threshold) omset dan asset minimal dilakukannya Penilaian.
Pasal 5 (2) PP 57/2010 menyatakan bahwa suatu transaksi akuisisi akan diadakan
Penilaian apabila : (a). asset gabungan dari transaksi ini melebihi Rp. 2,5 triliun
rupiah dan atau (b). omset gabungan melebihi Rp. 5 triliun.
Dalam proses Penilaian yang berlangsung sejak tanggal 20 Juli 2011- 24 November
2011, KPPU terlebih dahulu melihat (a) pasar bersangkutan (relevant market) dan
(b) konsentrasi pasar serta (c) checklist justifikasi. Dalam konteks pasar
bersangkutan, setelah melalui pengumpulan data, Komisi mengidentifikasi pasar
bersangkutan dari transaksi ini berdasarkan pasar produk dan pasar geografisnya
yaitu pasar jasa penayangan program melalui televisi free to air yang diukur melalui
pendapatan iklan, dan akan dilakukan penilaian checklist justifikasi bilamana
konsentrasi pasar yang ada sebelum akuisisi adalah melebihi batas 1800 HHI
(Hirschman-Herfindahl Index) dengan perubahan konsentrasi melebihi 150.
Dengan demikian, kita dapat menilai justifikasi dari akuisisi ini dimana berdasarkan
parameter (1) besaran entry barrier (hambatan masuk pasar bagi pesaing), akuisisi
ini tidak menghambat masuknya kompetitior baru karena mekanisme masuknya
kompetitior berdasarkan ijin pemerintah dan slot (frekuensi) yang kini terbatas akan
berkembang dan disediakan oleh Pemerintah (2) efisiensi dimana komisi menilai
bahwa transaksi ini menimbulkan efisiensi karena akan terjadi pemakaian bersama
infrastruktur dan fasilitas produksi antara SCTV dan Indosiar sehingga efisien dan
meningkatkan kemampuan bersaing mereka dengan group LPS lain dan (3) potensi
perilaku kolutif, Komisi menilai bahwa potensi perilaku ini kecil karena industri
penyiaran mengedepankan diversifikasi program siaran dimana setiap LPS memiliki
target pemirsa dengan segmentasi tertentu. Di samping itu, stasiun televisi tidak
akan mampu mengontrol harga (bagian dari kolusi ini) atas iklan karena banyaknya
stasiun televisi menciptakan pilihan kepada perusahaan pengiklan dan konsumen
dalam memilih program. Atas dasar analisa inilah, dapat disimpulkan bahwa
akuisisi Indosiar ini tidak melanggar UU No. 5 tahun 1999.
.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan
Komisi Nomor 13 Tahun 2010, setelah dilakukannya pengambilalihan saham
IDKM oleh EMTEK, maka dapat disimpulkan tidak terdapat dugaan adanya praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh pengambilalihan
saham tersebut dengan alasan sebagai berikut:
a. Potensi unilateral conduct dan atau potensi perilaku anti persaingan lainnya
minimal karena di pasar penyiaran tersedia jumlah program yang bervariasi
dengan segmen pemirsa yang juga luas serta beragam. Konsumen (Perusahaan
iklan dan Perusahaan pengiklan) memiliki alternatif substitusi yang cukup
terkait dengan pasar bersangkutan penayangan program televisi;
b. Industri pasar penyiaran free to air merupakan industri kreatif yang
menawarkan program acara se-kreatif mungkin sehingga dapat diterima oleh
pemirsa yang berkorelasi positif dengan pendapatan dari iklan;
c. Stasiun televisi free to air tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol
pemirsa untuk memperoleh rating yang tinggi, dikarenakan pemirsa bebas untuk
memilih program mana yang disukai dan yang tidak disukai.
d. Pengambilalihan juga merupakan tindakan EMTEK untuk dapat bersaing
dengan grup televisi lainnya untuk menawarkan program acara yang berkualitas
untuk pemirsa.