Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intimacy (Keintiman)


2.1.1 Definisi Intimacy
Menurut Erikson (dalam Valentini, & Nisfiannoor, 2006) intimacy sebagai
kemampuan untuk berkomunikasi dan juga berperan penting dalam menjalin dan
meningkatkan keintiman dalam menjalin hubungan yang romatis. Hal ini didukung oleh
pernyataan Strong dan Devault (1989) yang mengemukakan bahwa intimacy dan komunikasi
saling berkaitan dan pasangan yang mengalami kesulitan dalam komunikasi dikatakan tidak
memiliki intimacy didalam hubungan mereka.
Menurut Sternberg (2006) intimacy adalah elemen emosional dalam suatu hubungan
yang melibatkan pengungkapan diri (self-disclosure), yang akan menghasilkan suatu
keterkaitan, kehangatan, dan kepercayaan. Sternberg (2006) juga menyatakan bahwa intimacy
adalah kedekatan yang dirasakan oleh dua orang dan kekuatan yang mengikat mereka berdua
untuk tetap bersama.
Menurut Roscoe, Kennedy, dan Pope (2006) intimacy adalah perkembangan sikap
keterbukaan, saling berbagi, kepercayaan, menghargai satu sama lain, afeksi dan kesetiaan,
sehingga sebuah hubungan dapat dicirikan sebagai sebuah hubungan yang dekat, berlangsung
lama, dan melibatkan cinta dan komitmen.

2.1.2 Level Marital Intimacy (Keintiman Pernikahan)


Menurut Van den Broucke (1995) telah teridentifikasi adanya tiga tingkat marital
intimacy dan lima struktural didalamnya yaitu:
1. The Dyadic : Keintiman pernikahan mengacu pada tingkat afektif (Affective),
kognitif (Cognitive) dan perilaku (Behavioral) interpendence antara pasangan.
Dibenarkan bahwa pasangan yang intim satu sama lain dapat mengapresiasi dan
memberikan aspek kognitif dalam hubungan mereka untuk dapat saling
melakukan interaksi yang baik dan stabil (Hatfield, 1982). Hal ini tercermin dalam
perasaan kedekatan pada pasangan, rasa emosional ataupun cinta, validasi ide-ide
dan nilai-nilai individu serta konsensus (Consensus) implisit ataupun eksplisit
mengenai aturan-aturan yang dapat membimbing untuk saling berinteraksi.
2. The Individual : Keintiman mengacu pada kemampuan yang dipertimbangkan
oleh beberapa aspek yaitu, kemampuan untuk menjadi diri sendiri dalam suatu
hubungan (Authenticity), memiliki aspek keterbukaan (Openess) atau kesiapan
untuk berbagi ide dan perasaan dengan pasangan.
3. The Social Group/ Network Level : Menurut Rosenblatt (1977) dalam Rusbult
Buunk (1993), keintiman pernikahan memerlukan aspek indentitas dyadic, dalam
berinteraksi dengan pihak lain, seperti keluarga atau relasi, pasangan yang intim
dapat mengidentifikasikan hubungan mereka sebagai satu bagian. Hal ini
diungkapkan ketika mereka menggunakan istilah “kami” untuk memperlihatkan
keyakinan hubungan mereka dan biasanya memerlukan aspek eksklusivitas
(Exclusiveness) dimana secara simbolis dapat diterima oleh jaringan sosial melalui
keterlibatan dalam acara upacara pernikahan yang menandakan mereka akan
memiliki hubungan perspektif jangka panjang, dalam arti sebuah niat untuk saling
mengakui antara pasangan untuk saling menjaga hubungan mereka yang secara
konseptual akan terkait dengan komitmen (Commitment).

2.1.3 Dimensi Marital Intimacy (Keintiman Pernikahan)


Terkait dengan hal diatas, Van den Broucke (1995) membagi ketiga tingkat marital
intimacy tersebut menjadi lima dimensi marital intimacy, yaitu:
1. Intimacy Problems
Dimensi utama dari kelima dimensi ini mengacu pada masalah-masalah yang
ada pada rasa takut secara emosional ketika berada dekat dengan orang lain.
Ketakutan dalam hal keintiman ini juga didefinisikan sebagai kapasitas yang
menghambat individu, karena kecemasannya untuk bertukar pikiran dan perasaan-
perasaan penting yang dirasakan oleh individu dengan orang lain tetapi sulit
mengungkapkannya, tidak terbuka, selalu memiliki kecemasan untuk sesuatu hal
yang menyangkut keintiman.
2. Consensus
Dimensi kedua mengacu dalam aspek The Dyadic. Dapat dijelaskan bahwa
Consensus meranah kepada aspek kognitif (Cognitive). Kognitif mencakup
kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah
termasuk dalam ranah kognitif. Tujuan aspek kognitif pada pasangan berorientasi
pada kemampuan berfikir, mengingat, memahami, menilai, memberikan
penghargaan, mengevaluasi, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang
menuntut individu untuk mengubungkan dan menggabungkan ide, gagasan,
metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Openess
Dimensi ketiga mengacu dalam aspek The Individual yang menjelaskan bahwa
keintiman mengacu pada kemampuan yang dipertimbangkan oleh beberapa aspek
yaitu, kemampuan untuk menjadi diri sendiri dalam suatu hubungan (Authenticity)
serta memiliki aspek keterbukaan atau kesiapan untuk berbagi ide dan perasaan
dengan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Ada kemauan untuk saling
bekerjasama dalam mengemukakan pendapat secara jujur, terbuka dan positif.

4. Affection
Dalam dimensi keempat dapat dijelaskan bahwa Affection merupakan bagian
dari The Dyadic, dimana Keintiman pernikahan mengacu pada tingkat afektif
(Affective). Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi, dan nilai. Dibenarkan bahwa pasangan yang intim satu sama lain dapat
mengapresiasi dan memberikan aspek kognitif dalam hubungan mereka untuk
dapat saling melakukan interaksi yang baik dan stabil (Hatfield, 1982).
5. Commitment
Dimensi terakhir ini lebih mengacu kepada The Social Group/ Network Level,
dalam berinteraksi dengan pihak lain, seperti keluarga atau relasi, pasangan yang
intim dapat mengidentifikasikan hubungan mereka sebagai satu bagian. Hal ini
diungkapkan ketika mereka menggunakan istilah “kami” untuk memperlihatkan
keyakinan hubungan mereka dan biasanya memerlukan aspek eksklusivitas
(Exclusiveness) dimana secara simbolis dapat diterima oleh jaringan sosial melalui
keterlibatan dalam acara upacara pernikahan yang menandakan mereka akan
memiliki hubungan perspektif jangka panjang, dapat diartikan sebagai sebuah niat
untuk saling mengakui antara pasangan serta mengupayakan untuk selalu menjaga
hubungan mereka secara terkonsep (konseptual) yang terkait dengan sebuah
kesepakatan atau komitmen (Commitment).

2.2 Media Sosial


2.2.1 Definisi Media Sosial
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum
dan dunia virtual. Kaplan dan Haenlein (dalam Kaplan, & Haenlein, 2010) mendifinisikan
media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas
dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran.
Tentu masyarakat masih mengingat bahwa sebelumnya teknologi internet hanya
digunakan untuk berkirim pesan elektronik melalui email dan chatting, untuk mencari
informasi melalui browsing, dan googling. Namun saat ini, seiring dengan perkembangannya,
internet mampu melahirkan suatu jaringan baru yang biasa dikenal dengan sebutan media
sosial. Sebagaimana yang diketahui, media sosial merupakan suatu media online dimana para
penggunanya dapat ikut serta dalam mencari informasi, berkomunikasi dan menjaring
pertemanan, dengan segala fasilitas dan aplikasi yang dimilikinya seperti Blog, Facebook,
Twitter, Line dan Path. Kehadiran media sosial telah membawa pengaruh tersendiri terhadap
kegiatan yang dilakukan oleh manusia saat ini.

2.2.2 Peran dan Fungsi Media Sosial


Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang seperti bisa
memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau
koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan
media. Seorang pengguna media sosial dapat dengan mudah mengakses serta menggunakan
media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya
besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Pengguna media sosial dengan
bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan
berbagai model content lainnya. (Kaplan & Andreas, 2010).

2.2.3 Media Sosial dan Keintiman


Penelitian yang dipimpin oleh Bernie Hogan (2008) ingin membuktikan apakah
semakin beragamnya alat komunikasi akan memperkuat sebuah hubungan pernikahan. Ada
lebih dari 24 ribu orang menikah yang ikut terlibat dalam penelitian tersebut. Riset dilakukan
untuk mengetes teori media multiplexity yaitu kemampuan untuk berkomunikasi melalui
beberapa chanel komunikasi yang pertama kali dikembangkan pada 2008. Bernie Hogan
(2008) menjelaskan bahwa, banyaknya chanel media sosial yang digunakan, dapat
berdampak buruk bagi hubungan atau keintiman antara pasangan. Hogan menyarankan untuk
diperlukan adanya batasan dalam penggunaan media sosial yang mereka gunakan untuk
berkomunikasi agar dapat meningkatkan hubungan serta keintiman dalam hubungan
pernikahan.
2.3 Dewasa Muda
2.3.1 Definisi Dewasa Muda
Salah satu transisi penting dalam perkembangan hidup seseorang adalah masa dimana
remaja berkembang ke periode dewasa. Emerging Adulthood adalah salah satu istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan masa transisi ini (Santrock, 2006). Menurut Monks dan
Knoers (1988), dewasa dalam bahasa belanda adalah ‘Volwassen‘, yang berarti ‘Vol’ sebagai
penuh dan ‘wassen’ sebagai tumbuh. Maka Volwassen berarti ‘sudah tumbuh dengan penuh’
atau ‘selesai tumbuh’. Jika transisi yang dialami masa anak-anak ke remaja dimulai dari
perkembangan pubertas masa transisi remaja ke dewasa ditentukan melalui latar belakang
kebudayaan dan pengalaman hidup (santrock, 2006).
Semakin berkembangnya jaman secara tidak langsung menuntut remaja untuk
menunda perkembangan mereka ke fase selanjutnya yaitu masa dewasa. Hal ini dikarenakan,
masyarakat sekarang ini lebih menuntut individu untuk lebih mantap dalam pendidikan dan
berkemampuan tinggi didalam segala hal dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya
(Santrok, 2006). Berdasarkan hal ini, transisi yang dialami seseorang dalam dari masa remaja
untuk menjadi dewasa memerlukan proses yang panjang dan durasi waktunya kadang tidak
menentu. Masa transisi ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat berkembang dan
berhasil untuk mencapai ke tahap selanjutnya, banyak perbedaan penelitian pada deskripsi
jangka waktu lamanya transisi tersebut. Jika Erikson (dalam Boeree, 2005) menyebutkan
bahwa transisi ini berada di umur 18 tahun sampai 30 tahun., Santrok (2006) menyatakan
bahwa transisi ini meliputi umur 18 sampai 25 tahun.

2.3.2 Karakteristik Dewasa Muda


Menurut Hurlock (1999), membangun hubungan dengan lawan jenisnya dan
kemudian menikah, adalah salah satu tugas perkembangan individu pada masa dewasa dini
yang berada pada rentang usia 21 – 40 tahun . Seseorang memasuki pernikahan dalam usia
yang bervariasi, tetapi sebagian besar pasangan menikah ketika berada di masa dewasa muda
(Erikson dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2005).
Dalam masa ini terdapat beberapa perubahan yang berbeda dengan kehidupan lajang
yang dapat memicu munculnya berbagai masalah. Beberapa permasalahan yang biasa terjadi
dalam pernikahan dewasa muda antara lain adalah penyesuaian antara harapan ideal dengan
keadaan sesungguhnya dari pasangan, kemandirian, penyesuaian diri dengan teman dan
keluarga dari pasangan, serta pembagian tugas dan peran antara keduanya (Blumstein &
Williams, Stacey, Carl, 2006). Menurut DeGenova dan Rice (dalam Genova, 2005) pasangan
di awal pernikahan biasanya juga membutuhkan penyesuaian dalam delapan hal, diantaranya
:
1. Pemenuhan dan dukungan emosional
2. Penyesuaian seksual, keuangan terkait dengan pernikahan
3. Pekerjaan dan pencapaian, kewenangan dan pengambilan keputusan
4. Konflik dan pemecahan masalah, moral, nilai dan ideology
5. Komunikasi vs Intimacy
2.4. Kerangka Berpikir

Keintiman menurun
1. Meningkat
Jumlah Media Sosial yang Digunakan

Keintiman meningkat
Menurun

Intimacy Problems
2. Meningkat meningkat
Jumlah Media Sosial yang Digunakan

Intimacy Problems
Menurun menurun

3.
Consensus menurun
Meningkat
Jumlah Media Sosial yang Digunakan

Menurun Consensus meningkat

4. Openness menurun
Meningkat
Jumlah Media Sosial yang Digunakan

Menurun Openness meningkat

5.
Affection
Meningkat
Jumlah Media Sosial yang Digunakan menurun

Affection
Menurun
meningkat
6.
Commitment meningkat
Jumlah Media Sosial yang Meningkat
Digunakan

Menurun
Commitment menurun
Dari kerangka diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka keintiman rumah
tangga pada pasangan dewasa muda akan menurun, disebabkan oleh berkurangnya
komunikasi tatap muka dengan pasangan dan apabila semakin berkurangnya jumlah media
sosial yang digunakan maka keintiman pasangan akan meningkat, karena pasangan dapat
berkomunikasi secara tatap muka dan tidak memunculkan adanya kesalah pahaman dalam
berkomunikasi.
2. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka dimensi intimacy
problems pada pasangan dewasa muda akan meningkat, karena masalah-masalah dalam
keintiman pasangan bermunculan, melainkan semakin berkurangnya jumlah media sosial
yang digunakan maka intimacy problems pada pasangan akan menurun, karena berkurangnya
rasa cemas untuk sesuatu hal yang menyangkut keintiman dalam hubungan serta rasa takut
secara emosional ketika berada dekat dengan orang lain akan menurun.
3. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka dimensi
Consensus pada pasangan dewasa muda akan menurun khususnya dalam hal penggabungan
ide, memecahkan masalah, berfikir, mengingat dan kemampuan cognitive lainnya. Sementara
itu, semakin berkurangnya jumlah media sosial yang digunakan maka Consensus pasangan
akan meningkat, karena pasangan dapat saling menyamakan pendapat, mengevaluasi
hubungan dan lebih memperhatikan untuk lebih mengenal satu sama lain.
4. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka dimensi Openness
pada pasangan dewasa muda akan menurun, karena pasangan cenderung menjadi tidak jujur,
tidak terbuka dan berfikiran negatif. Apabila semakin berkurangnya jumlah media sosial yang
digunakan maka dimensi Openness pada pasangan akan meningkat, karena pasangan
cenderung akan lebih jujur, terbuka dan positif serta mampu untuk menjadi diri sendiri dalam
segala situasi dan kondisi.
5. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka dimensi Affection
pada pasangan dewasa muda akan menurun karena pasangan akan kehilangan aspek afektif
yang membuat pasangan tidak terarah dalam hal-hal tertentu. Apabila semakin berkurangnya
jumlah media sosial yang digunakan maka dimensi Affection pada pasangan akan meningkat,
karena pasangan dapat saling mengapresiasi dan memberikan aspek kognitif dalam hubungan
mereka untuk dapat melakukan interaksi yang baik dan stabil.
6. Semakin meningkatnya jumlah media sosial yang digunakan, maka Commitment
rumah tangga pada pasangan dewasa muda akan menurun, dan apabila semakin berkurangnya
jumlah media sosial yang digunakan maka dimensi Commitment pada pasangan akan
meningkat.

Dari keenam bagan kerangka berfikir diatas, dapat disimpukan bahwa semakin
banyak dan berkembangnya media sosial pada dasawarsa terakhir hingga saat ini, terlebih
dengan munculnya media sosial baru yang lebih menarik, inovatif dan semakin kreatif yang
membuat pasangan dewasa muda yang telah menikah dapat mengandalkan media sosial
sebagai landasan untuk berkomunikasi dengan pasangan serta menjadikan media sosial
sebagai suatu kebutuhan (Laohapensang, 2009). Hogan (2008) menyarankan untuk
diperlukan adanya batasan dalam penggunaan media sosial yang mereka gunakan untuk
berkomunikasi agar dapat meningkatkan hubungan serta keintiman dalam hubungan
pernikahan. Karena jumlah penggunaan media sosial bagi masing-masing individu akan
sangat berpengaruh terhadap keintiman pasangan dalam hubungan pernikahan.
Media sosial digunakan oleh pasangan dalam kesehariannya, dari mengaali aktifitas
hingga mengakhiri aktifitas. Berkomunikasi melalui media sosial juga sudah menjadi tradisi
dan kebiasaan bagi para pasangan. Individu dapat saling melakukan atau memperlihatkan
segala kegiatan, aktifitas atau hal-hal yang ingin diperlihatkan kepada pasangan maupun
relasi secara spontan dengan pengharapan respon yang juga cepat (Beatty & Ferrel, 1998).
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat kontribusi dari teori Van den Broucke
(1995) mengenai lima dimensi marital intimacy dengan jumlah media sosial yang digunakan
pada pasangan dewasa muda yang sudah menikah. Terdapat dimensi-dimensi yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu : (1) Intimacy problems, (2) Consensus, (3) Openess, (4) Affection
dan (5) Commitment yang akan dikaitkan dengan lima jumlah media sosial yang digunakan,
yaitu : (1) Facebook, (2) Twitter, (3) Path, (4) WhatsApp, (5) Blackberry Messanger (BBM),
(6) Line, dan (7) KakaoTalk.
Terlihat bahwa lima dimensi tersebut kemudian dapat dijadikan tolak ukur dalam
menciptakan keintiman dalam hubungan pernikahan dewasa muda. Semakin rendah intensitas
penggunaan media sosial yang dilakukan oleh suami dan istri setiap harinya, maka
kemungkinan masing-masing komponen keintiman tersebut akan meningkat serta
menciptakan keintiman di usia pernikahan tiga tahun pertama. Sebaliknya, apabila intensitas
penggunaan media sosial yang dilakukan suami/istri setiap harinya semakin tinggi, maka
kemungkinan masing-masing dimensi marital intimacy tersebut memiliki kemungkinan kecil
dalam menciptakan keintiman di usia pernikahan tiga tahun pertama.

Anda mungkin juga menyukai