Anda di halaman 1dari 14

Pola Interaksi Siswa Non Inklusi dan Siswa Inklusi

Azizah Arumsari
Program Studi Magister Sains Psikologi
Universitas Airlangga
Jl. Airlangga No 4-6, Surabaya, Indonesia, 60115
Azizah.arumsari-2018@psikologi.unair.ac.id
No HP : 085706378398

Suryanto
Program Studi Magister Sains Psikologi
Universitas Airlangga
Jl. Airlangga No 4-6, Surabaya, Indonesia, 60115
suryanto@psikologi.unair.ac.id
No HP: 087702697767

Abstrak- Sekolah inklusi merupakan bentuk pemerataan pendidikan yang dibangun oleh
pemerintah sebagai perwujudan pendidikan tanpa diskriminasi, anak yang memiliki kebutuan
kusus dan anak pada umumnya dapat memperoleh hak yang sama dalam pendidikan dan
mampu berinteraksi dengan teman sebayanya. Tujuan dalam penelitian untuk mengetahui
pola interaksi yang terjadi dalam kelas program inklusi di sekolah dasar, serta untuk
mengetahui bentuk yang terjadi dalam pola interaksi didalam maupun di luar kelas. Metode
penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi.
tentang pola interksi siswa non inklusif terhadap siswa inklusif di sekolah inklusif di Kota
Surabaya. Penelitian dilaksanakan di lembaga pendidikan SDN Klampis Ngasem 1/26
Surabaya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi.
Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Partisipan dalam penelitian ini
adalah siswa non inklusi yang satu kelas bersama siswa inklusi pada kelas 5 yang berusia 11-
12 tahun. Data dianalisis dengan tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Hasil penelitian didapatkan gambaran mengenai pola interaksi sosial siswa non
inklusi memiliki keterbukaan dan penerimaan dalam interaksi didalam maupun diluar kelas,
bentuk interaksi yang terjadi didalam kelas ada bentuk interaksi asosiatif dan interaksi
dissosiatif. Bentuk interaksi asosiatif yang terjadi adalah siswa non inklusi banyak melakukan
kerjasama dalam membantu siswa inklusi, sedangkan bentuk interaksi disasosiatif yaitu
konflik, tidak ada bentuk konflik yang cukup serius dalam hal ini, hanya perbedaan pendapat
dan ketika bermain bersama. Saran untuk pembahasan selanjutnya diharapkan bisa
menemukan kesulitan siswa inklusi dalam pola interaksi dengan siswa non inklusi.
Kata Kunci: pola interaksi, inklusi
Abstract- Inclusion schools are a form of education equity that is built by the government as a
manifestation of education without discrimination, children who have special needs and
children in general can obtain the same rights in education and are able to interact with their
peers. The purpose of the research is to find out the patterns of interaction that occur in the
class of inclusion programs in primary schools, and to find out the forms that occur in patterns
of interaction within and outside the classroom. This research method uses a qualitative
research approach with phenomenological design. about non-inclusive student interaction
patterns towards inclusive students in inclusive schools in the City of Surabaya. The study
was conducted at the SDN Klampis Ngasem 1/26 Surabaya educational institution. Data
collection is done by interview and observation methods. Sampling was done by purposive
sampling. Participants in this study were non-inclusive students with one class with inclusion
students in grade 5 who were 11-12 years old. Data were analyzed by the stages of data
reduction, data presentation and conclusion drawing. The results of the study showed that the
description of the social interaction patterns of non-inclusive students had openness and
acceptance in interaction inside and outside the classroom, the forms of interaction that
occurred in the classroom there were forms of associative interactions and dissociative
interactions. The form of associative interaction that occurs is that many non-inclusion
students collaborate in helping inclusion students, while the form of disassociative interaction
is conflict, there is no serious form of conflict in this case, only differences of opinion and
when playing together. Suggestions for further discussion are expected to find students'
inclusion difficulties in patterns of interaction with non-inclusion students.
Keywords: interaction pattern, inclusion
1. Pendahuluan .

Siswa inklusi merupakan siswa yang mengikuti keiatan pembelajaran di sekolah


yang menyediakan kelas dan sistem pembelajaran reguler yang diperuntukkan bagi anak-
anak yang berkebutuhan khusus. Pemerataan pendidikan untuk siswa berkebutuhan kusus
adala salah satu masalah sosial yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia saat ini.

Banyaknya anak yang memiliki kebutuhan kusus mendapatkan stigma negatif dari
masyarakat Indonesia, membuat anak-anak ini merasa terdiskriminasi di segala bidang
kehidupan. Di bidang pendidikan anak berkebutuhan kusus juga mengalami
pendiskriminasian, dimana pendidikan yang diperoleh anak berkebutuhan khusus
dibedakan dengan anak normal pada umumnya. Namun dengan adanya proram
pemerintah dalam dunia pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan kusus agar tidak
merasa terdiskriminasi adalah dengan adanya sistem lembaga yan menyediakan kelas
inklusi bagi anak-anak berkebutuhan kusus, dengan program ini anak-anak berkebutuhan
khusus mampu merasakan proses pembelajaran bersama dengan anak-anak yang normal
pada umumnya, namun guru juga menyesuaikan program pembelajaran sesuai dengan
kemampuan anak.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem


pendidikan nasional bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan lobal sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana, terara, dan berkesinambungan. Dalam hal ini pemerataan pendidikan
harus menyeluruh dan di dapatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai
lapisan. Salahsatu langgkah pemerintah dalam mewujudkan pemerataan pendidikan bagi
masyarakat Indonesia dengan membuat program pendidikan.

Pemerintah membuat peraturan pendidikan nasional nomor 70 tahun 2009 tentang


pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa. peraturan ini adalah salah satu dukungan pemerintah
dalam pemerolehan pendidikan bagi peserta didik yang memeiliki keistimewaan dalam
dirinya, sehingga nantinya pada peserta didik mendapatkan pendidikan yang layak dan
sesuai perkembangannya dan sesuai dengan keistimewaan yang dimiliki, dan bertujuan
agar ilmu yang telah diperoleh akan membantu perkembangan, mampu menghadapi
permasalahan yang terjadi dan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki untuk proses
kehidupan yang lebih baik. Pendidikan sangat diperlukan dalam upaya mencapai
kesejahteraan sosial. Hak atas pendidikan merupakan bagian esensial dalam hak asasi
manusia seseorang. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan prasyarat bagi
terlaksananya hak-hak dasar yang lain bagi seseorang. Dalam lingkup hak ekonomi, sosial
dan budaya, hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, untuk memperoleh pembayaran
yang setara dengan pekerjaan yang dilakukan, untuk membentuk serikat buruh, atau untuk
mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, untuk menikmati manfaat kemajuan
ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan
kemampuannya, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh
tingkat pendidikan minimum.

Pada kelas inklusi terdiri dari siswa inklusi, siswa reguler dan guru. Pada proses
belajar mengajar di dalam atau di luar kelas merupakan kegiatan yang memiliki
keterkaitan dengan interaksi sosia antar anggota kelas, baik dari sisiwa inklusi ke siswa
reguler, siswa regular ke siswa inklusi, dan interksi siswa ke guru. Interaksi menuert
Chaplin (2011) suatu pertalian sosilal antar individu sedemikian rupa sehingga individu
yang bersangkutan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jadi ada suatu hubungan yang
melibatkan dua pihak atau lebih yang saling berubungan.

Interakasi sosial adalah ubungan antara individu dengan individu laian atau
kelompok, yang mana perilaku individu tersebut dapat berpengaruh terhadap individu lain
atau kelompok, dan sebaliknya (Ginintasasi, 2012). Proses Interaksi sosial menurut
Herbert Blumer(1969) adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar
makna yang di miliki sesuatu tersebut bagi manusia terhadap sesuatu atas dasar makna
yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu
berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna
tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui
proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut
juga dengan interpretative proses. Jadi proses interaksi karena adanya suatu makna yang
ingin di sampaikan kepada oran lain sehingga terjadilah suatu bentuk perlakuan dari
interaksi antarindividu, interaksi antara individu dan kelompok, serta interkasi antara
kelompok dengan kelompok.

Menurut ( Kolip,2011) Syarat- syarat terjadinya interaksi sosial yaitu adanya


kontak sosial dan komunikasi sosial.

a. Adanya Kontak Sosial

Secara etimologi kontak artinya bersama-sama menyentuh. Secara fisiologis,


kontak akan terjadi dalam bentuk sentuhan angota tubuh. Dalam konsep sosiologi istilah
kontak sosial akan terjadi jika seseorang atau sekelompok orang mengadakan ubungan
denan piak lain yang mana dalam mengadakan hubungan ini tidak harus selalu berbentuk
fisik, tetapi kontak sosial juga bisa terjadi melalui gejala-gejala sosial seperti berbicara
dengan orang lain melalui telepon, membaca surat, saling mengirimkan informasi melalui
email dan lain sebagainya, sehinga kontak sosial dapat diartikan sebagai aksi individu atau
kelompok dalam bentuk isyarat yang memiliki arti atau makna bagi si pelaku, dan
penerima membalas aksi tersebut dengan sebuah reaksi. Sehingga dapat diartikan bahwa
didalam sebuah interaksi sosial harus melewati sebuah proses yang menghasilkan sebuah
kontak sosial.

Menurut (soekanto,2013) suatu kontak sosial bisa bersifat primer maupun


sekunder. Kontak dapat diartikan primer apabila kontak tersebut terjadi dengan lansung
bertemu dan berhadapan muka seperti, berjabat tangan, salin terenyum dan seterusnya,
sedangkan kontak sosial skunder yaitu apabila terjadi kontak tersebut dengan melalui
suatu preantara seperti melalui telpon dan alat komunikasi lainnya. Kontak sosial dilihat
dari bentuknya yaitu berupa kontak sosial positif dan negatif. Kontak sosial dapat
dikatakan positif apabila bentuk hubungan tersebut lebih mengara pada pola-pola
kerjasama. Sedangkan kontak sosial negative yaitu apabila hubungan yang terjadi menara
pada pertentangan yang bisa mengakibatkan pada putusnya suatu interakasi.

b. Adanya Komunikasi Sosial

Adapun komunikasi merupakan aksi antara dua pihak atau lebih yang melakukan
hubungan dalam bentuk saling memberikan penafsiran atas pesan yang di sampaikan oleh
masing-masing pihak. Melalui penafsiran yang diberikan pada perilaku pihak lain,
sesorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi atas maksud yang ingin disampaikan oleh
pihak lain. Dalam komunikasi seringkali muncul berbagai macam penafsiran terhadap
makna sesuatu atau tingkah laku orang lain yang mana ini semua ditentukan oleh
perbedaan kontek sosialnya. Komunikasi dapat diartikan sebagai proses saling
memberikan tafsiran kepada/dari antar pihak yang sedang melakukan hubungan dan
melalui tafsiran tersebut pihak-pihak yang saling berhubungan mewujudkan perilaku
sebagai reaksi atas maksud atau pesan yang disampaikan oleh pihak laintersebut.

Karakter khusus dari komunikasi manusia adalah tidak terbatas hanya


menggunakan isyarat, teatapi didalam berkomunikasi manusia menggunakan kata-kata,
yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti bersama dan bersifat standart. Melalui
simbol bahasa orang lain dapat mengetahui gerak-gerik atau suara yang disampaikan oleh
pihak lain. Yang dapat memberikan gambaran bahwa ia sedang sedih, senang, ragu-ragu,
menerima, menolak, takut, dan sebagainya.

Menurut ( Kolip, 2011) ada beberpaa sifat dalam komunikasi diantaranya yaitu:

a. Komunikasi positif
Kominikasi positif dapat dikatakan jika pihak-pihak yang melakukan
komunikasi ini terjalin kerja sama sebagai akibat kedua belah pihak saling memahami
maksud atau pesan yang di sampaikannya.
b. Komunikasi negatif
Komunikasi negative yaitu Komunikasi dapat bersifat negatif jika pihak-pihak
yang melakukan komunikasi tersebut tidak saling mengerti atau salah paham maksud
masing-masing pihak sehingga tidak menghasilkan kerja sama, tetapi justru
sebaliknya, yaitu menghasilkan pertentangan di antara keduanya
Dari paparan penjelasan diatas mengenai pola interaksi, terjadinya interaksi
memiliki sayat yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi sosial, didalam kontak
sosial dan kominikasi sosial dibagai menjadi dua yakni kontak sosial positif yaitu
mengarah pada kerjasama sedangkan kontak sosial negative mengarah ke perpecahan
baik tujuan individu maupun kelompok.
Pola interaksi memiliki dua bentuk yaitu pola interaksi asosiatif dan pola
interaksi disosiatif. Menurut soekanto (2013) pola interaksi asosiatif terbagi dalam
kerja sama (cooperation) kerja sama disini dimaksudkan sebagai suatu suaa bersama
antara oran perorangan atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama,
akomodasi (accommodation) akomodasi dalam hubungan sosial memiliki arti yang
sama dengan pengertian adaptasi, dimana seseorang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, dan asimilasi (assimilation ) merupakan tahap lanjut dari proses sosial
ditandai dengan usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara individu maupun
kelompok, . Sedangkan untuk pola interaksi disosiatif terdiri dari persaingan
(competition)suatu proses sosial dimana individu atau kelompok mencari keuntunan
melalui penarikan perhatian pada lingkungannya, kontravensi
(contravention)kontravensi proses sosial yang berada antara persaingan dan
pertentanan dalam bentuk berbuatan seperti protes, angguan, kekerasan, pengacauan
rencana, memaki, mencerca, memfitnah, menghasut dan mengganggu, sedangkan
pertentangan atau pertikaian (conflict) suatu proses sosial dimana individu maupun
kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan cara menantang pihak lawan,
menancam atau dalam bentuk kekerasan.
Perkembangan anak dapat mengalami beberapa macam perkembangan,
diantaranya adalah pola perkembangan fisik, motorik, bahasa, emosi dan sosial. Pada
penelitian ini, peneliti akan lebih fokus pada perkembangan pola interaksi sosial yang
terjadi dalam masa perkembangan anak. Menurut Hidayati (2008) bahwa
perkembangan sosial merupakan suatu proses individu memiliki kemampuan
berperilaku dan dapat diterima di lingkungan masyarakat, perkembangan sosial juga
dapat diartikan sebagai pencapaian kematangan.
Secara umum menurut Papalia, Olds & Feldman (2009) membagi
perkembangan manusia menjadi sembilan tahapan yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
a. Masa Pra-natal

Masa pra-natal atau lebih dikenal dengan masa sebelum lahir, ditandai dengan proses
pembentukan sistem jaringan dan struktur organ-organ fisik.

b. Masa Bayi dan Anak Tiga Tahun Pertama (Atitama/Toddler)

Saat janin berusia 9 bulan 10 hari seluruh organ fisiknya telah matang (mature) dan
bayi siap dilahirkan ke dunia.

c. Masa Anak-anak Awal (Early Childhood)

Secara kronologis usia yang tergolong masa anak-anak awal (early childhood) saat
anak berusia 4 tahun-5 tahun 11 bulan. Anak -anak pada masa ini masih memfokuskan
diri pada hubungan dengan orangtua atau keluarga, masa anak -anak awal ditandai
dengan kemandirian, kemampuan mengontrol diri (self control) serta keinginan untuk
memperluas pergaulan melalui kegiatan bermain sendiri atau bermain dengan teman
sebayanya.
d. Masa Anak-anak Tengah (Middle Childhoood)

Masa anak-anak tengah dialami oleh anak-anak usia 7-9 tahun, atau secara akademis
anak-anak yang duduk di kelas awal SD (kelas 1, 2, dan 3). Kehidupan sosial anak pada
masa ini diwarnai dengan kekompakan kelompok teman sebaya yang berjenis kelamin
sejenis(homogen).

e. Masa Anak Akhir (Late Childhoo)

Masa anak-anak akhir (late childhood) berlangsung pada anak dengan usia 10-12
tahun atau pada anak yang sedang duduk di SD kelas atas (kelas 4, 5, dan 6) masa ini
sering juga disebut sebagai masa bermain. Ciri-ciri anak pada masa ini adalah memiliki
dorongan untuk masuk dalam kelompok sebaya, dengan kata lain pada usia ini anak-anak
mulai membentuk geng karena anak-anak merasa 16 nyaman berada dalam lingkungan
sebayanya.

f. Masa Remaja (Adolescence)

Masa remaja berlangsung antara usia 12-21 tahun, perkembangan anak pada masa ini
sangat labil karena masa ini merupakan masa peralihan dari masa anak -anak menuju ke
masa dewasa. g.Masa Dewasa Muda (Young Adulthood). Umumnya seseorang
digolongkan sebagai dewasa muda saat individu berusia 22-40 tahun. Segala aspek
perkembangan pada usia ini bisa dikatakan telah matang, tapi pada organ-organ tertentu
masih tetap tumbuh dan berkembang walupun berjalan dengan sangat lambat.

g. Masa Dewasa Tengah (Middle Adulthood)

Masa dewasa tengah merupakan masa yang penuh tantangan karena kondisi fisik
individu sudah mulai mengalami penurunan, untuk wanita ditandai dengan mulai
terjadinya menopause. Masa dewasa tengah umumnya terjadi pada usia 40-60 tahun,
pada beberapa orang tertentu pada masa ini muncul puber kedua dimana individu suka
berdandan bahkan mungkin jatuh cinta lagi.

h. Masa Dewasa Akhir (Late Adulthoo)

Masa dewasa akhir lebih sering disebut sebagai masa tua, dimana masa ini
merupakan masa terakhir dalam kehidupan manusia. Umumnya seseorang dikatakan
sudah tua saat berusia lebih dari 60 tahun. Masa ini ditandai dengan semakin
menurunnya berbagai fungsi fisik dan organ-organ tubuh, melemahnya otot-otot tubuh
sehingga akan merasa cepat lelah dan semakin sering mendapat keluhan penyakit.
Jadi dari semua penjelasan yang sudah di paparkan oleh peneliti bahwa pendidikan
inklusi merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk pemerataan
pendidikan dan menghilangkan stigma negatif yang menimbulkan dampak diskriminatif
pada siswa inklusi. Dalam kelas inklusi yang terdapat siswa non inklusi dan siswa inklusi
memiliki sebuah interaksi yang dilakukan dalam setiap harinya, baik didalam kelas
maupun di luar kelas.

Rumusan masalah. Rumusan masalah utama pada penelitian ini adalah: Bagaimana
pola interaksi yang terjadi di kelas regular yang terdapat siswa inklusi.? Dengan
pertanyaan khusus sebagai berikut:

a. Bagaimana pola interaksi yang terjadi pada siswa didalam kelas?


b. Bagaimana hubungan antara siswa non inklusi dan siswa inklusi ?
2. Metode Penelitian
Partisipan: partisipan pada penelitian ini adalah siswa kelas 5 SDN di surabaya.
Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah (1) siswa non inklusi yang satu kelas
dengan siswa inklusi (2) berusia 11-12 tahun . pada penelitian ini partisipan dalam
penelitian ini berjumlah sebanyak tiga orang. Sampling dilakukan dengan cara purposive
sampling, teknik ini digunakan ketika peneliti ingin menentukan sampel dengan
pertimbangan tertentu,partisipan dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang sudah
ditentukan di awal (Sugiyono, 2006).

Desain Penelitian: Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif


dengan pendekatan Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). Metode penelitian
kualitatif dengan desain fenomenologi dipilih karena merupakan strategi peneltian di
mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu
fenomena tertentu (Creswell, 2012). Metode untuk menyediakan data yang mendalam
dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Jadi penelitian mengunakan
metode ini dalam pengalian data secara mendalam.

Prosedur: Pada penelitian ini prosedur yang digunakan dalam pengambilan data
yaitu dengan melakukan wawancara dengan partisipan yang mencakup kegiatan dan
interaksi siswa baik siswa inklusi maupun siswa regular. Partisipan diberikan pertanyaan
mencakup kerjasama, tolong-menolong dan konflik, pertanyaan tersebut bertujuan agar
partisipan menjelaskan mengenai aktifitas yang biasa dilakukan baik di luar maupun di
dalam kelas. Dengan menggunakan metode wawancara dalam pengambilan data peneliti
akan mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Teknik analisis. Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah
dengan menganalisis, mendalami, kemudian menginterpretasikan hasil dari wawancara
yang telah dilakukan dengan partisipan melalui hasil rekaman wawancara. yang
digunakan pada penelitian ini adalah dengan menganalisa dan mendalami, serta
menginterpretasikan hasil dari rekaman. Peneliti melakukan proses analisis wawancara
dan transkrip berdasarkan tahapan analisis dari Interpretative Phenomenological Analysis
(Pietkiewicz & Smith, 2012). Dalam pengolahan data peneliti mengolah hasil wawancara
dan hasil observasi yang telah dilakukan dengan partisipan menjadi transkip verbatim,
kemudian dilakukan pengelompokan tema sesuai dengan tujuan penelitian, tema yang
memiliki keselarasan atau kesesuaian pernyataan dengan konsep yang iningin diteliti.
Kemudian memberikan penjelasan sesuai dengan kelompok tema yang telah dibuat.

3. Hasil dan Diskusi

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan mengungkap beberapa hal mengenai
pola interaksi siswa non inklusi dengan siswa inklusi. Dalam sebuah kelas inklusi terdapat
siswa non inklusi dan siswa inklusi yang melakukan kegiatan didalam maupun luar kelas
suatu kegiatan maka terjadilah proses interaksi, dari hasil wawancara dan observasi yang
telah dilakukan peneliti ada dua pola interaksi yang terjadi kelas yakni pola interaksi
asosiatif dan pola interaksi disosiatif

A. Pola Interaksi Asosiatif

Menurut (Soekanto, 2013) Suatu interaksi sosial dapat dikatakan asosiatif jika
proses dari interaksi sosial tersebut menuju pada suatu kerjasama berikut adalah hasil
dari wawancara mengenai pola interaksi asosiatif:

a. Kerja Sama
Kerja sama (cooperation) kerja sama disini dimaksudkan sebagai suatu
kegiatan bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai suatu
tujuan bersama Pada hasil wawancara yang telah dilakukan pada tiga partisipan yang
sesuai dengan kreiteria penelitian adalah sebagai berikut:
“Biasanya dibantu sama yang deket sama tempat duduknya mbak, kita kan
duduknya sering pindah-pindah perkelompok, biasanya yang disampingnya
yang bantuin, tapi kadang dia langsung ke depan meja uru, minta bantu bu
guru” (Subjek 1)

“Kalo pas kerja kelompok dia ikut nerjain juga mbak, pernah satu kelompok
sama aku, terus ikut ngerjain tugasnya tapi dia gak banyak ngomong gitu
mbak” (Subjek 2)
“Kalo waktunya piket, dia juga ikut bersih-bersih mbak, biasanya menghapus
papan tulis, berisihin meja” (Subjek 3)

Dari hasil wawancara yang sudah di kelompokkan sesuai dengan tema,


mendapatkan asil bahwa siswa non inklusi memiliki peran dalam siswa inklusi
mengikuti proses pembelajaran didalam kelas, siswa inklusi pun mengikuti aktivitas
yang dilakukan pada proses pembelajaran.
b. Akomodasi
Akomodasi (accommodation) dalam hubungan sosial memiliki arti yang sama
dengan pengertian adaptasi, dimana seseorang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian menggunakan metode
wawancara adalah sebagai berikut:
“Yaa… kalo sama cewek biasanya Cuma cerita-cerita mbak, tapi kalo dia main
kayak tembak-tembakan sama laki” (Subjek 1)

“Dia inklusi tapi pinter matematika mbak, kalo ngerjain sering selesai duluan mbak”
(Subjek 2)

“Kalo istirahat dia biasanya suka gabung sama temen-temen kadang ikut jajan,
kadang kalo main dia juga ikut main mbak” (subjek 3)

Dari hasil wawancara mengenai adaptasi siswa non inklusi dengan siswa inklusi
tidak memiliki masalah, karena mereka mampu beradaptasi atau mampu
menyesuaikan diri dengan satu sama lain.
c. Asimilasi
Asimilasi (assimilation ) merupakan tahap lanjut dari proses sosial ditandai dengan
usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara individu maupun kelompok. Pada
hasil penelitian ini menunjukkan sebagai berikut:
“ Iya, dia sering selesai duluan kalo ngerjain, tapi kalo dia gak bisa biasanya
marah-marah, oh iya mbak, sekarang aku duduknya satu kelompok sama dia” (Subjek
1)
“Dia kalo ngajak main biasanya kejar-kejaran, tembak-tembakan” (Subjek 2)
“Biasanya dia sering diajak main sama temen-temen mbak kalo waktu istirahat “
(subjek 3)

Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam pola interaksi asosiatif pada siswa
non inklusi teradap siswa inklusi tidak memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan
interaksi siswa sesama siswa non inklusi, sihingga siswa inklusi tidak merasa
terdiskriminasi jika satu kelas dengan siswa non inklusi.
B. Pola Interaksi Disosiatif
Interaksi yang disosiatif dapat diartikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang
atu sekelompok orang. Dalam pola interaksi disosiatif terbagi dalam tia bentuk, yakni
persaingan, Kontroversi dan Pertikaian, berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan
partisipan mengenai pola interaksi disosiatif.
a. Persaingan
Persaingan dapat diartikan sebaai suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-
bidang kehidupan yang ada pada suatu tertenu menjadi pusat perhatian umum (baik
perseorangan maupun kelompok). Data hasil wawancara dalam konteks persaingan
dalam interaksi sosial tidak menunjukkan persaingan dalam interaksi siswa non
inklusi dengan siswa inlkusi. Jadi dalam aspek persainan ini para siswa baik dari
siswa inklusi maupun dari siswa non inklusi memiliki interaksi yan baik di dalam
maupun diluar kelas.
b. Kontraversi
Kontraversi pada hakikatnnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang
berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaiaan. Kontroversi ini ditandai
denan adanya gejala-gejala ketidak pastian menggenai diri seseorang atau suatu
rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan. Hasil dari wawancara sebagai
berikut:
“ Emmm….. apa ya, IPA IPS, tapi kalo dia gak bisa langsung kemeja guru,
tapi kalo kita yang kasih tau misalnya gini “yan, ituloh salah punyamu” dia mesti
langsung marah-marah” (Subjek 1)

“ aku kan pernah satu kelompok sama dia, biasanya tak suruh nulis mbak, tapi
kalo dia memang gak mau biasanya marah” (Subjek 2)

“kalo dia lagi gak suka sama pelajaran biasanya dia suka main sendiri mbak,
terus biasanya di datengin bu guru suruh ngerjain” (Subjek 3)

Dari hasil data wawancara dilapangan menenai aspek kontravensi dari ketiga
partisipan diketaui ada bentuk proses penolakan ketika siswa inklusi tidak merasa
nyaman ketika mendaatkan pemberitahuan oleh siswa non inklusi lainnya.
c. Pertikaian atau Pertengkaran
Pertikaian atau pertenkaran merupakan suatu proses sosial dimana individu
ataupun kelompok berusaha untuk memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak
lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Data wawancara yang telah
didapatkan dari partisipan tidak menunjukkan adanya pertikaian atau pertenkaran
dalam pola interaksi mereka baik dari segi individu ke kelompok maupun kelompok
ke individu. Jadi para siswa inklusi denan siswa non inklusi memiliki pola interaksi
yang baik.
4. KESIMPULAN
Sekolah inklusi dalam penelitian ini merupakan salah satu sekolah dasar inklusi yang
ada di kota Surabaya yang menyediakan program kelas inklusi dari mulai kelas 1 sampai
kelas 6, dalam penelitian ini partisipan berasal dari kelas lima yang berjumlah tiga siswa
non inklusi. Kelas 5 inklusi ini memiliki satu anggota inklusi yang mengalami autism
namu keterangan dari guru kelas bahwa siswa tersebut dalam kategori ringan seingga
masih bisa mengikuti pembelajaran didalam kelas meskipun menunakan kurukulum yang
telah dimodifikasi oleh pihak sekola dan menyesuaikan kebutuhan masin-masing siswa
inklusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola interaksi yang terjadi dalam kelas yang
terdapat siswa inklusi dan siswa non inklusi, mereka memiliki interaksi yang baik hal ini
ditunjukkan dengan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan tiga partisipan yang
berada satu kelas dengan siswa inklusi yang menunjukkanbhawa dari pola interaksi yang
terjadi sebagian besar adalah mereka melakukan pola interaksi dengan bentuk asosiatif
yang artinya siswa non inklusi memiliki kesadaran dan simpati pada siswa inklusi yang
berada didalam kelas, dari hasil data yang telas diperole siswa non inklusi membantu
siswa inklusi jika mereka mendapatkan masalah didalam kelas, meskipun kadang siswa
inklusi menolak dengan bantuan siswa inklusi. Pada bentuk pola disosiatif peneliti hanya
menemukan data yang yang menunjukan adanya kontravensi dalam interaksi keseharian
mereka, kontravensi yang muncul dan terjadi dalam pola interaksi mereka adalah karena
siswa inklusi tidak merasa nyaman dalam suatu kondisi misalnya seperti pada saat di
dalam kelas waktu proses belajar, siswa inklusi tidak menyukai pelajaran yang di
kerjakan, dan melakukan kegiatan yang menggangu teman sebelahnya, jadi dapat teguran
dari temannya untuk dia menggerjakan namun dia malah marah dan menolak ajakan
temanya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kontraversi dalam interaksi siswa non
inklusi dengan siswa inklusi namun tidak terlalu serius. Hanya pada tahap protes ketika
siswa merasa terganggu. Jadi sebagian besar pola interaksi terjadi dalam kelas adalah
pola interaksi asosiatif dengan pola interaksi yang terbentuk dalam kelas ini akan sangat
membatu proses belajar siswa inklusi dan tingkat diskriminasi dalam kelas akan semakin
berkurang. Salah satu tujuan pemerintah dalam membuat sekolah yang ramah teradap
siswa yang berkebutuhan kusus untuk mendapatkan pembelajaran yang sama dengan
siswa yang memiliki kemampuan yang umum, dengan adanya sistem inklusi ini memang
sudah menjadi salah satu cara agar siswa inklusi tidak merasa terdiskriminasi dalam
pemerolehan pendidikan.
Pendekatan kualitatif dalam metode ini sanat membantu untuk peneliti dalam
menggali data mendalam untuk mengetaui pola interaksi yang terjadi dalam sokolah yang
menerapkan sistem inklusi didalamnya. Peneliti bisa secara langsung melakukan
pengambilan data dengan menjadikan siswa yang non inklusi menjadi partisipan dalam
penelitian ini. Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian yang lebih
mendalam pada pola interaksi disosiatif seingga nantinya akan mendapatkan data yang
lebih mendalam mengenai pola interaksi yang terjadi pada siswa inklusi dengan siswa
non inklusi.
DAFTAR PUSTAKA

Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspectif and Method. New Jersey: Harper
and Row.
Chaplin, J.P.. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Creswell, John W. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelaja
Dany Haryanto, S.S & G. Edwi Nugrohadi, S.S., M.A, Pengantar Sosiologi Dasar, (Jakarta:
PT Prestasi Pustakaraya, 2013)
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana, 2011)
Ginintasasi, R. 2012. Interaksi sosial. Depok: Universitas Pendidikan Indonesia
Hidayati, dkk.2008. Pengembangan Pendidikan IPS SD.Surakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan terapan,(Jakarta:
Kencana, 2007)
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan terapan,(Jakarta:
Kencana, 2007)
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R.D. 2009. Human Development (11th ed.). New
York : McGraw Hill Persada
Pietkiewicz, I., & Smith, J. A. (2012). A practical guide to using Interpretative
Phenomenological Analysis in qualitative research psychology 1. Czasopismo
Psychologiczne, 18(2), 361–369. https://doi.org/10.14691/CPPJ.20.1.7.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013)
Republik Indonesia. “Undang-Undan RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan
Dan/Atau Bakat Istimewa.” Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.” Menteri Pendidikan Nasional 2009. Jakarta.
Republik Indonesia. “Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.” Dalam Undang-Undang Republik Indonesia.” Menteri Pendidikan
Nasional 2003. Jakarta
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Sugiyono.2006.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung:Alfabeta.
Sukanto Reksohadiprojo dan T.Hani Handoko, Organisasi Perusahaan, Teori Struktur dan
Perilaku, Yogyakarta: BPFE, 2000

Anda mungkin juga menyukai