Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumor orofaring adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi
pada daerah orofaring. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada daerah bibir, 2/3 lidah
anterior, mukosa bukal, dasar mulut, ginggiva atas dan bawah, trigonum retromolar,
palatum durum, dan palatum molle. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas
(maligna) atau jinak (benigna).
Insidensi tumor orofaring di dunia belum diketahui dengan pasti. Pria yang
terkena 2-4 kali lebih sering daripada perempuan untuk semua kelompok ras dan
etnis. Insiden kanker mulut meningkat dengan meningkatnya umur. Di Indonesia
angka kejadian relatif rongga mulut sebesar 3,75% dan 90% terjadi jenis squamous
cell carcinoma (SCC). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hastin ditemukan sebesar
227 kasus tumor ganas orofaring, 209 kasus tumor ganas epitel. Tumor orofaring
merupakan pertumbuhan dari berbagai jaringan di dalam dan sekitar mulut termasuk
tulang, otot dan syaraf. Menurut penelitian Sundaram dkk tahun 2005 urutan lokasi
terbanyak dari tumor orofaring terdapat di tonsil 50%, dasar lidah 20%, palatum
mole 10%, vallecula dan epiglottis 10%, dinding posterior 5 %, dinding leteral 5%.
Manifestasi klinis tumor orofaring tergantung dari jenisnya. Biasanya berupa
tumor atau massa yang tumbuh lambat, tidak nyeri, terfiksir, dan berbatas tegas.
Kadang bila tumor sudah melewati fase pertumbuhan lambat, tumor dapat membesar
dengan cepat. Gambaran klinis pada mulanya sering kali asimtomatis, dan dianggap
sebagai penyakit yang lain. Gambaran klinis muncul apabila benjolan dalam
orofaring sudah mulai membesar. Biasanya pasien mengeluh terdapat benjolan
dalam rongga mulut yang terasa mengganjal, suara menjadi sengau, sulit menelan,
sering tersedak, tidur mengorok, bahkan bisa juga dengan sesak nafas,
tergantung dari besarnya ukuran tumor tersebut.
Lebih dari 90% dari tumor oropharyngeal adalah karsinoma sel skuamosa,
pertumbuhan dari sel datar bersisik yang melapisi rongga mulut dan orofaring.
Tumor ini hampir selalu harus dikerluarkan melalui pembedahan dengan radiasi
sebagai tindak lanjut, kemudian terapi dilanjutkan dengan kemoterapi. Karsinoma sel
skuamosa merupakan jenis sel yang cepat tumbuh dan sangat berbahaya.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah asuhan keperawatan ini adalah sebegai berikut:
1.2.1 Apa definisi tumor orofaring?
1.2.2 Bagaimana manifestasi klinik dari tumor orofaring?
1.2.3 Apa diagnosa keperawatan yang muncul pa pasien dengan tumor orofaring?
1.2.4 Bagaimana rencana asuhan keperawatan penyakit tumor orofaring?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi tumor orofaring
1.3.2 Untuk mengetahui manifestasi klinik dari tumor orofaring
1.3.3 Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien tumor orofaring
1.3.4 Untuk mengetahui rencana asuhan keperawatan penyakit tumor orofaring
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumor
2.1.1 Definisi
Istilah tumor kurang lebih merupakan sinonim dari istilah neoplasma. Semua istilah
tumor diartikan secara sederhana sebagai pembengkakan atau gumpalan, dan kadang-kadang
istilah “ tumor sejati” dipakai untuk membedakan neoplasma dengan gumpalan lainnya.
Neoplasma dapat dibedakan berdasarkan sifat-sifatnya ada yang jinak dan ada pula yang ganas
(Price et al., 2012).
2.1.2 Klasifikasi Tumor
Berdasarkan pertumbuhannya tumor dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : malignant
tumor (tumor ganas) dan benign tumor (tumor jinak). Perbedaan keduanya tampak sangat
jelas, malignant tumor disebut juga dengan kanker. Kanker dapat menyerang bahkan merusak
jaringan dan bermetastase (gerakan atau penyebaran sel kanker dari organ ke organ lainnya).
Sedangkan benign tumor tidak menyerang jaringan dan tidak bermetastase, namun dapat
tumbuh besar. Kanker sudah pasti tumor namun tumor belum pasti kanker (Saleh , 2016).
Tumor adalah benjolan jinak, secara mikroskopis dan makroskopik benjolan tidak
menyerang jaringan di sekitarnya. Pertumbuhan tumor jinak dapat dihentikan memalui
prosedur operasi lokal sehinggga pasien dapat bertahan hidup. Tumor jaringan lunak adalah
tumor yang di klasifikasikan berdasarkan jaringan berasal dari lemak, neurovaskular, dan
masih banyak lagi. Beberapa tumor jaringan lunak memiliki derivasi yang tidak diketahui
(Kumar, 2015).

2.2 Tumor Orofaring


2.2.1 Definisi
Orofaring adalah bagian dari tenggorokan yang tepat di belakang mulut. Oro berati
mulut dan faring adalah tenggorokan. Orofaring terletak di belakang cavum oris dan
terbentang dari palatum mollesampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap,
dasar, dinding anterior,dinding posterior, dan dinding lateral. Tumor orofaring adalah suatu
pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada daerah orofaring. Jaringan tersebut
dapat tumbuh pada daerah bibir, 2/3 lidah anterior, mukosa bukal, dasar mulut, ginggiva
atas dan bawah, trigonum retromolar, palatum durum, dan palatum molle.
Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna).
2.2.2 Etiologi
Umumnya penyebab yang pasti tidak dapat diketahui. Faktor merokok dan
alkohol disebut-sebut sebagai penyebab utama. Mengunyah sirih dan tembakau juga
dapat sebagai fakotr penyebab tumor ini. Penting diketahui lamanya kontak zat
karsinogen yang terdapat pada daerah orofaring dan banyaknya kontak dengan
selaput lendir rongga mulut. Tumor orofaring lebih sering terdapat pada usia lanjut.
Faktor etnis juga menentukan. Pada wanita-wanita di India yang mengisap tembakau
mempunyaiinsiden tumor ganas palatum yang lebih tinggi. Alkohol sebagai suatu zat
yang memberikan iritasi, secara teori, menyebabkan terjadinya pembakaran pada
tempat tersebut secara terus-menerus dan meningkatkan permeabilitas selaput lendir.
Hal ini menyebabkan penyerapam zat karsinogen yang terdapat dalam alkohol atau
tembakau tersebut oleh selaput lendir mulut. Hygiene mulut serta kebiasaan makanan
juga menetukan terjadinya tumor pada orofaring.

2.2.3 Patofisiologi
Asap rokok mengandung sekitar 50 karsinogen dan procarcinogen yang paling
menonjol adalah procacinogens hidrokarbon polisiklik aromatic dan amina aromatic.
Kebanyakan karsinogen dan procacinogens membutuhkan aktifitas oleh enzim metabolism
seperti sitokrom p450.Enzim Lin membantu mendetoksifikasi karsinogen seperti glutathione-
transferase. Ketika sel kanker melepaskan diri dari tumor asli primer dan perjalanan melalui
getah bening atu darah ketempat-temopat lain dalam tubuh, tumor lain (sekunder) dapat
membentuk proses yang disebut metastasis, tumor metastasis sekunder jenis yang sama kanker
sebagia tumor primer.(Efiaty dan Nurbaiti 2011).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang paling umum dari tumor orofaring adalah:
1. Rasa sakit akibat adanya pembengkakan atau benjolan di leher bagian atas.
2. Sakit tenggorokan yang tidak kunjung sembuh.
3. Kesulitan menelan.
4. Sakit telinga yang tidak kunjung sembuh.
5. Kesulitan membuka mulut dan rahang (dikenal sebagai trismus).
6. Bau mulut.
7. Perubahan suara.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksan kelenjar limfe leherPerhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis
interna, rantai nervus aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah
terdapat pembesaran (Desen, 2008).
2. CT scanPemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang
paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium
dini terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior
nasofaring
3. MRI magnetic rsonnance imaging) MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan
lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih
baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan
luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam
membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga
lebih bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society, 2011) .
4. X-ray Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada
mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (American Cancer
Society, 2011 dan Soetjipto, 1989).
5. Biopsy Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh
patologi untuk memastikan tanda-tanda kanker. Biopsi nasofaring dapat dilakukan
dengan 2 cara dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa
melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menyulusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.

2.2.6 Staging pada Tumor Orofaring


Stadium pada tumor orofaring berdasarkan klasifikasi TNM dari American Joint
Committee on Cancer (AJCC) , sebagai berikut:
1. Tx: Tumor primer tidak dapat ditentukan. T0 Tidak ada bukti adanya tumor
primer. Tis Karsinoma in situ.
2. T1: Tumor berukuran 2 cm atau kurang dalam ukuran terbesar.
3. T2: Tumor berukuran lebih dari 2 cm namun tidak lebih besar dari 4 cm.
4. T3: Tumor berukuran lebih dari 4 cm dalam ukuran terbesar.
5. T4a: Tumor menginvasi struktur sekitar (korteks tulang, otot-otot ekstrinsik
lidah, sinus maksilaris, kulit wajah)

2.2.7 Penatalaksanaan
Untuk penyakit tumor orofaring, ada beberapa terapi yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemulihan kondisi pasien diantaranya: (Tirtaamijaya 2010 dkk).
1. Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan
sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu
berat. Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor.
2. Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.Obat- obat anti kanker
dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada
umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
Disekresi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan
bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Salah satu pembeahan yang
di lakukan adalah tindakan tracheostomy.
4. Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu perhatian setelah pengobatan radiasi. Perawatan paliatif
diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa nyeri, mengontrol gejala dan
memperpanjang usia.

2.3 Asuhan Keperawatan pada Pasien Tumor Orofaring


2.3.1 Pengkajian
Pada pengkajian di lakukan pengkajian indentitas pasien dan riwayat
kesehatan. Pengkajian riwayat kesehatan pasien terdiri atas:
1. Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, benjolan di leher semakin lama semakin membesar, susah menelan,
sesak, badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengeluh lemas,sulit menelan, sesak, nyeri dan aa benjolan pada bagian pipi
dan leher serta pasien mengeluh mual muntah, nafsu mkan menurun dan leher susah
digerakkan dan suara menjadi serak.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Terdapat keluarga yang mempunyai riwayat sakit kanker atau tumor.
Pengkajian persistem:
B1: adanya sesak napas, saturasi oksigen menurun
B2: Tekanan darah dan nadi meningkat
B3: Terdapat nyeri pada benjolan di leher
B4: Tidak ada masalah
B5: Susah menelan makanan, nafsu makan menurun
B6: Tidak ada masalah

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada pasien dengan tumor orofaring adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan neoplasma
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam
jalan napas
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Nyeri (D.0077) 1. Observasi
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
2. Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Bersihan jalan napas 1. Observasi


 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
tidak efektif (D.0001)
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot,
ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Defisit nutrisi 1. Observasi


 Identifikasi status nutrisi
(D.0019)
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida
makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik
jika asupan oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlU

2.4 Nyeri
2.4.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran terhadap kenyataan
bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Karena nilainya bagi kelangsungan hidup,
nosiseptor (reseptor nyeri) tidak beradaptasi terhadap stimulasi yang berulang atau
berkepanjangan. Simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri dalam ingatan membantu
kita menghindari kejadian – kejadian yang berpotensi membahayakan di masa mendatang
(Sherwood, 2015).
2.4.2 Mekanisme Nyeri
Perasangan nosiseptor menimbulkan persepsi nyeri serta respons motivasional dan
emosional. Tidak seperti modalitas somatosensorik lain, sensasi nyeri disertai respons
perilaku bermotif (menarik diri atau bertahan) serta reaksi emosional (menangis atau
takut). Tidak seperti sensasi lain persepsi subjektif nyeri dapat dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu atau sekarang (berkurangnya persepsi nyeri pada seorang atlet
yang cedera ketika sedang bertanding). Nyeri adalah pengalaman pribadi yang
multidimensi (Sherwood, 2015). Kategori reseptor nyeri terdapat tiga kategori
nosiseptor: Nosiseptor mekanis berespons terhadap kerusakan mekanis (sayatan,terpukul
dan cubitan). Nosiseptor suhu berespons terhdap suhu ekstrim (panas). Nosiseptor
polimodal berespons sama kuat terhadap semua jenis rangsangan yang merusak terutama
bahan kimia yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera. Semua nosiseptor ditingkatkan
kepekaannya oleh adanya prostaglandin yang sangat meningkatkan respons reseptor
terhadap rangsangan yang dapat menimbulkan kerusakan. Prostaglandin adalah
kelompok khusus turunan asam lemak yang dipecah dari lapis – ganda lemak membrane
plasma dan bekerja lokal setelah dibebaskan. Cedera jaringan dapat menyebabkan
pelepasan lokal prostaglandin. Bahan – bahan kimia ini bekerja pada ujung perifer
nosiseptor untuk menurunkan ambang pengaktifan reseptor. Obat golongan aspirin
menghambat pembentukan prostaglandin yang ikut berperan menentukan sifat analgesik
(Sherwood, 2015).
Serat nyeri afferent cepat dan lambat impuls nyeri berasal dari nosiseptor
disalurkan ke SSP melalui salah satu dua jenis serat afferent. Sinyal yang berasal dari
nosiseptor berespons terhadap kerusakan mekanis seperti terpotong atau kerusakan suhu
yang terbakar melalui serat A – delta halus bermielin dengan cepat (jalur nyeri cepat).
Impuls dari nosiseptor polimodal yang berespons terhadap bahan kimia dilepaskan ke
CES dari jaringan yang rusak disalurkan serat C halus tak – bermielin dengan kecepatan
yang lebih rendah (jalur nyeri lambat). Nyeri tajam dirasakan awal terjadinya sayatan
yang segera diikuti oleh nyeri yang lebih difus.
2.4.3 Skala Nyeri
Untuk menilai skala nyeri terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:
1. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Verbal Descriptor Scale (VDS) adalah garis yang terdiri dari tiga sampai lima
kata pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak yang sama sepanjang garis.
Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak adanya rasa nyeri” sampai “nyeri
hebat”.Perawat menunjukkan ke klien tentang skala tersebut dan meminta klien
untuk memilih skala nyeri terbaru yang dirasakan.Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
tidak menyakitkan. Alat VDS memungkinkan klien untuk memilih dan
mendeskripsikan skala nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2006).
2. Visual Analogue Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang menggambarkan skala nyeri terus
menerus.Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat nyeri yang
dirasakan.VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat menentukan setiap titik dari rangkaian yang tersedia tanpa
dipaksa untuk memilih satu kata (Potter & Perry, 2006)

Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, skala nyeri pada skala 1-3
seperti gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih, mules.Skala nyeri 4-
6 digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit bergerak, terbakar, ditusuk-
tusuk.Skala 7-9 merupakan skala sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh
klien, sedangkan skala 10 merupakan skala nyeri yang sangat berat dan tidak
dapat dikontrol.Ujung kiri pada VAS menunjukkan “tidak ada rasa nyeri”,
sedangkan ujung kanan menandakan “nyeri yang paling berat”.
3. Numeric Rating Scale (NRS)

Skala nyeri pada angka 0 berarti tidak nyeri, angka 1-3 menunjukkan nyeri
yang ringan, angka 4-6 termasuk dalam nyeri sedang, sedangkaan angka 7-10
merupakan kategori nyeri berat. Oleh karena itu, skala NRS akan digunakan
sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry, 2006). Menurut Skala nyeri
dikategorikan
sebagai berikut: 1. 0 : tidak ada keluhan nyeri, tidak nyeri. 2. 1-3 : mulai terasa
dan dapat ditahan, nyeri ringan. 3. 4-6 : rasa nyeri yang menganggu dan
memerlukan usaha untuk menahan, nyeri sedang. 4. 7-10 : rasa nyeri sangat
menganggu dan tidak dapat ditahan, meringis, menjerit bahkan teriak, nyeri
berat.
4. Faces Pain Rating Scale

Skala ini terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan
wajah yang sedang tersenyum untuk menandai tidak adanya rasa nyeri yang
dirasakan, kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia,
wajah sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan yang berati skala nyeri
yang dirasakan sangat nyeri (Potter & Perry, 2005)

Skala nyeri tersebut Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan


kesulitan atau keterbatasan verbal.Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan
mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang
dirasakn
2.4.4 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri berdasarkan durasinya:
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat
(Andarmoyo, 2013). Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan
akan menghilang tanpa pengobatan setalh area yang rusak pulih kembali
(Prasetyo, 2010).
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang
suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang
bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam
Potter &Perry, 2007).
Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal:
1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri Nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensivitas
nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus yang mengantarkan stimulus
naxious. Nyeri Nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang
mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain (Andarmoyo,
2013).
2. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di dapat
pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit diobati
(Andarmoyo, 2013).
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi:
1. Supervicial atau kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit. Karakteristik dari nyeri
berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang
tajam (Potter dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik
dan luka potong kecil atau laserasi.
2. Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal (Potter
dan Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar
kebeberapa arah. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan
sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.
3. Nyeri Alih (Referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna banyak organ tidak
memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah
dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik (Potter dan Perry,
2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard,
yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan
nyeri ke selangkangan.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
Identitas pasien:
Nama : Ny. Siti M
Usia : 63 th
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jombang
No RM : 12927374

Keluhan Utama:
Pasien mengungkapkan leher terasa nyeri dan susah untuk makan, pasien makan lewat
NGT.
Riwayat Penyakit:
Keluarga mengatakan ada benjolan di leher pasien, benjolan sudah lama, tapi 2 bulan
terakhir semakin membesar dan membuat pasien merasa sesak napas. Pada tgl 11 april
2022 pasien mengeluh bertambah sesak, saat di bawa ke RS terdekat di sarankan untuk di
rujuk ke RSUD soetomo. Kemudian pasien menjalani operasi cito tracheostomi. Pasien
tidak ada riwayat penyakit tertentu

Pengkajian Persistem:
B1: Pasien bernapas melalui tracheostomy, masih ada banyak secret yg keluar. SpO2 95-
97%
B2: TD 135/90 mmHg, nadi 85 x/mnt. Tidak ada perdarahan
B3: nyeri pada leher, skala nyeri 2 (numeric scale), pasien susah tidur
B4: Tidak ada masalah
B5: Pasien terpasang NGT tgl 13/04/2022 karena pasien susah untuk menelan.
B6: pasien lemas, aktivitas di bantu sebagian.
Pemeriksaan penunjang:
1. Thorax foto: Normal (12/04/2022)
2. Pemeriksaan laborat: Hb 11,7 , WBC 9,50 , BUN 10, SK 0,85 , Na 140, Kalium 4,1 ,
Cl 100 , SGOT 24, SGPT 49, Alb 3,3 , PPT 11,4 , APTT 22,8 , GDA 134, D-Dimer
900 (12/04/2022)

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


Tgl No Diagnosa Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
13/04/ 1 Nyeri berhubungan Observasi
2022 dengan post operasi,  lokasi, karakteristik, durasi,
ditandai dengan frekuensi, kualitas, intensitas
pasien mengeluhkan nyeri
nyeri, tidak bisa  Identifikasi skala nyeri
tidur, nyeri skala 2.  Identifikasi respon nyeri non
TD 135/90 mmHg verbal
 Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik metamizol 1 gr/8 jam
iv

13/04/ 2 Bersihan jalan napas Observasi


2022 tidak efektif  Monitor frekuensi, irama,
berhubungan dgn kedalaman, dan upaya napas
produksi secret  Monitor adanya produksi
berlebih , ditandai sputum
dengan pasien  Monitor adanya sumbatan jalan
mengeluh kadang napas
terasa sesak, pasien  Monitor saturasi oksigen
terpasang Terapeutik
tracheostomi,  Atur interval waktu
produksi sputum pemantauan respirasi sesuai
berlebih. Saturasi kondisi pasien
95-97%  Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

13/04/ 3 Defisit nutrisi Observasi


2022 berhubungan dengan  Identifikasi status nutrisi
sulit menelan  Identifikasi alergi dan
makanan, ditandai intoleransi makanan
dengan pasien tidak  Identifikasi perlunya
dapat makan karena penggunaan selang nasogastrik
susah menelan,  Monitor asupan makanan
terpasang NGT Terapeutik
untuk membantu  Berikan makanan tinggi kalori
memenuhi nutrisi dan tinggi protein
pasien, paisien  Hentikan pemberian makan
lemas. melalui selang nasigastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat
antiemetik metoclopramide 10
mg/8 jam iv
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

3.3 Implementasi
Tgl No waktu Implementasi
diagnosa
13/04/2022 1,2 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
3 08.30 2. Menanyakan dan mengevaluasi kembali kepada
keluarga pasien apakah sudah bisa untuk
memberikan nutrisi melalui NGT
Respon: Keluarga sudah diajari oleh dokter
1,2 09.45
3. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 135/70, nadi 85 x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.00
96%
4. Mengajarkan pasien melakukan teknik relaksasi
nyeri menggunakan teknik distraksi
1 10.20 Respon: Pasien sudah mengerti tentang teknik
relaksasi yang di ajarkan
5. Mengakaji skala nyeri pasien
3 11.00 Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
bertanya nyeri sudah berkurang. Nyeri skala 2
6. Melakukan kolaborasi dengan tim gizi dalam
pemberian diit pasien melalui NGT.
2 12.00 Respon: tim gizi sudah visite ke pasien dan
memberikan edukasi terkait nutrisi pasien.
7. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, warna
putih dan encer. Pasien tidak sesak.
14/04/2022 1,3 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
3 09.00 2. Menanyakan kepad keluarga pasien apakah pasien
sudah mencoba untuk makan peroral
Respon: Keluarga mengatakan pasien belum bisa
makan melalui mulut, kadang tersedak. Masih lewat
NGT.
1,2 10.00
3. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 130/70, nadi 87 x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.20
97%
4. Mengakaji skala nyeri pasien
Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
2 11.30 bertanya nyeri sudah berkurang, pasien dapat
istirahat. Nyeri skala 2
5. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, warna
putih dan encer. Pasien tidak sesak.
15/04/2022 1,3 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
1,2 10.00 2. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 125/70, nadi 90x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.30
97%
3. Mengakaji skala nyeri pasien
Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
bertanya nyeri sudah berkurang. Pasien akan pulang
2 11.00
hari ini, nyeri sakala 1-2
4. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, encer dan
dapat keluar. Pasien tak sesak

3.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan yang didapat setelah di berikan asuhan keperawatan selama 3 hari
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut teratasi ditandai dengan pasien rileks, dapat beristirahat, pasien
mengangguk saat perawat bertanya nyeri berkurang. Nyeri skala 2 (numeric scale)
Obs ttv TD 125/70 mmHg, nadi 90 x/mnt, pasien sudah mengerti teknik distraksi
untuk mengurangi nyeri.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif teratai di tandai dengan pasien tak sesak, SPO2
97%, RR 20 x/mnt. Produksi sputum encer dan dapat di keluarkan
3. Defisit nutrisi teratasi ditandai dengan pasien sudah terpasang NGT, keluarga sudah
dapat memberikan sonde secara mandiri. Pasien tak lemas.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang apat diambil dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
1. Tumor orofaring adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada
daerah orofaring. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada daerah bibir, 2/3 lidah
anterior, mukosa bukal, dasar mulut, ginggiva atas dan bawah, trigonum
retromolar, palatum durum, dan palatum molle. Pertumbuhannya dapat
digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna).
2. Manifestasi klinis pada psien dengan tumor orofaring adalah rasa sakit akibat
adanya pembengkakan atau benjolan di leher bagian atas, sakit tenggorokan
yang tidak kunjung sembuh, kesulitan menelan, sakit telinga yang tidak kunjung
sembuh, kesulitan membuka mulut dan rahang (dikenal sebagai trismus), bau
mulut, perubahan suara. Namun pada pasien tumor orofaring post pembedahan,
gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri akibat tidakan post operasi.
3. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien tumor orofaring adalah nyeri akut,
bersihan jalan napas dan juga defisit nutrisi. Diagnosa yang mencul dapat berubah atau
bertambah sesuai dengan gejala yang muncul pada pasien.
4. Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien tumor orofaring disesuaikan dengan
diagnosa atau gejala yang muncul. Untuk diagnosa nyeri maka akan di berikan asuhan
keperawatan untuk mengobservasi nyeri, meredakan nyeri dan mengedikuasi pasien
untuk menurunkan skala nyeri. Pada diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif maka
asuhan keperawatan yang diberikan adalah mengobservasi napas pasien, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian terapi atau tindakan pebedahan, dll. Pada diagnosa
4.2 Saran
Pada pemberi pelayanan kesehatan diharapkan tetap menjaga dan meningkatkan lagi
kualitas tindakan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien, khusunya pada pasien
dangan tumor orofaring.

Anda mungkin juga menyukai