PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi tumor orofaring
1.3.2 Untuk mengetahui manifestasi klinik dari tumor orofaring
1.3.3 Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien tumor orofaring
1.3.4 Untuk mengetahui rencana asuhan keperawatan penyakit tumor orofaring
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumor
2.1.1 Definisi
Istilah tumor kurang lebih merupakan sinonim dari istilah neoplasma. Semua istilah
tumor diartikan secara sederhana sebagai pembengkakan atau gumpalan, dan kadang-kadang
istilah “ tumor sejati” dipakai untuk membedakan neoplasma dengan gumpalan lainnya.
Neoplasma dapat dibedakan berdasarkan sifat-sifatnya ada yang jinak dan ada pula yang ganas
(Price et al., 2012).
2.1.2 Klasifikasi Tumor
Berdasarkan pertumbuhannya tumor dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : malignant
tumor (tumor ganas) dan benign tumor (tumor jinak). Perbedaan keduanya tampak sangat
jelas, malignant tumor disebut juga dengan kanker. Kanker dapat menyerang bahkan merusak
jaringan dan bermetastase (gerakan atau penyebaran sel kanker dari organ ke organ lainnya).
Sedangkan benign tumor tidak menyerang jaringan dan tidak bermetastase, namun dapat
tumbuh besar. Kanker sudah pasti tumor namun tumor belum pasti kanker (Saleh , 2016).
Tumor adalah benjolan jinak, secara mikroskopis dan makroskopik benjolan tidak
menyerang jaringan di sekitarnya. Pertumbuhan tumor jinak dapat dihentikan memalui
prosedur operasi lokal sehinggga pasien dapat bertahan hidup. Tumor jaringan lunak adalah
tumor yang di klasifikasikan berdasarkan jaringan berasal dari lemak, neurovaskular, dan
masih banyak lagi. Beberapa tumor jaringan lunak memiliki derivasi yang tidak diketahui
(Kumar, 2015).
2.2.3 Patofisiologi
Asap rokok mengandung sekitar 50 karsinogen dan procarcinogen yang paling
menonjol adalah procacinogens hidrokarbon polisiklik aromatic dan amina aromatic.
Kebanyakan karsinogen dan procacinogens membutuhkan aktifitas oleh enzim metabolism
seperti sitokrom p450.Enzim Lin membantu mendetoksifikasi karsinogen seperti glutathione-
transferase. Ketika sel kanker melepaskan diri dari tumor asli primer dan perjalanan melalui
getah bening atu darah ketempat-temopat lain dalam tubuh, tumor lain (sekunder) dapat
membentuk proses yang disebut metastasis, tumor metastasis sekunder jenis yang sama kanker
sebagia tumor primer.(Efiaty dan Nurbaiti 2011).
2.2.7 Penatalaksanaan
Untuk penyakit tumor orofaring, ada beberapa terapi yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemulihan kondisi pasien diantaranya: (Tirtaamijaya 2010 dkk).
1. Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan
sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu
berat. Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor.
2. Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.Obat- obat anti kanker
dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada
umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
Disekresi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan
bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Salah satu pembeahan yang
di lakukan adalah tindakan tracheostomy.
4. Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu perhatian setelah pengobatan radiasi. Perawatan paliatif
diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa nyeri, mengontrol gejala dan
memperpanjang usia.
2.4 Nyeri
2.4.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran terhadap kenyataan
bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Karena nilainya bagi kelangsungan hidup,
nosiseptor (reseptor nyeri) tidak beradaptasi terhadap stimulasi yang berulang atau
berkepanjangan. Simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri dalam ingatan membantu
kita menghindari kejadian – kejadian yang berpotensi membahayakan di masa mendatang
(Sherwood, 2015).
2.4.2 Mekanisme Nyeri
Perasangan nosiseptor menimbulkan persepsi nyeri serta respons motivasional dan
emosional. Tidak seperti modalitas somatosensorik lain, sensasi nyeri disertai respons
perilaku bermotif (menarik diri atau bertahan) serta reaksi emosional (menangis atau
takut). Tidak seperti sensasi lain persepsi subjektif nyeri dapat dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu atau sekarang (berkurangnya persepsi nyeri pada seorang atlet
yang cedera ketika sedang bertanding). Nyeri adalah pengalaman pribadi yang
multidimensi (Sherwood, 2015). Kategori reseptor nyeri terdapat tiga kategori
nosiseptor: Nosiseptor mekanis berespons terhadap kerusakan mekanis (sayatan,terpukul
dan cubitan). Nosiseptor suhu berespons terhdap suhu ekstrim (panas). Nosiseptor
polimodal berespons sama kuat terhadap semua jenis rangsangan yang merusak terutama
bahan kimia yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera. Semua nosiseptor ditingkatkan
kepekaannya oleh adanya prostaglandin yang sangat meningkatkan respons reseptor
terhadap rangsangan yang dapat menimbulkan kerusakan. Prostaglandin adalah
kelompok khusus turunan asam lemak yang dipecah dari lapis – ganda lemak membrane
plasma dan bekerja lokal setelah dibebaskan. Cedera jaringan dapat menyebabkan
pelepasan lokal prostaglandin. Bahan – bahan kimia ini bekerja pada ujung perifer
nosiseptor untuk menurunkan ambang pengaktifan reseptor. Obat golongan aspirin
menghambat pembentukan prostaglandin yang ikut berperan menentukan sifat analgesik
(Sherwood, 2015).
Serat nyeri afferent cepat dan lambat impuls nyeri berasal dari nosiseptor
disalurkan ke SSP melalui salah satu dua jenis serat afferent. Sinyal yang berasal dari
nosiseptor berespons terhadap kerusakan mekanis seperti terpotong atau kerusakan suhu
yang terbakar melalui serat A – delta halus bermielin dengan cepat (jalur nyeri cepat).
Impuls dari nosiseptor polimodal yang berespons terhadap bahan kimia dilepaskan ke
CES dari jaringan yang rusak disalurkan serat C halus tak – bermielin dengan kecepatan
yang lebih rendah (jalur nyeri lambat). Nyeri tajam dirasakan awal terjadinya sayatan
yang segera diikuti oleh nyeri yang lebih difus.
2.4.3 Skala Nyeri
Untuk menilai skala nyeri terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:
1. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Verbal Descriptor Scale (VDS) adalah garis yang terdiri dari tiga sampai lima
kata pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak yang sama sepanjang garis.
Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak adanya rasa nyeri” sampai “nyeri
hebat”.Perawat menunjukkan ke klien tentang skala tersebut dan meminta klien
untuk memilih skala nyeri terbaru yang dirasakan.Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
tidak menyakitkan. Alat VDS memungkinkan klien untuk memilih dan
mendeskripsikan skala nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2006).
2. Visual Analogue Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang menggambarkan skala nyeri terus
menerus.Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat nyeri yang
dirasakan.VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat menentukan setiap titik dari rangkaian yang tersedia tanpa
dipaksa untuk memilih satu kata (Potter & Perry, 2006)
Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, skala nyeri pada skala 1-3
seperti gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih, mules.Skala nyeri 4-
6 digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit bergerak, terbakar, ditusuk-
tusuk.Skala 7-9 merupakan skala sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh
klien, sedangkan skala 10 merupakan skala nyeri yang sangat berat dan tidak
dapat dikontrol.Ujung kiri pada VAS menunjukkan “tidak ada rasa nyeri”,
sedangkan ujung kanan menandakan “nyeri yang paling berat”.
3. Numeric Rating Scale (NRS)
Skala nyeri pada angka 0 berarti tidak nyeri, angka 1-3 menunjukkan nyeri
yang ringan, angka 4-6 termasuk dalam nyeri sedang, sedangkaan angka 7-10
merupakan kategori nyeri berat. Oleh karena itu, skala NRS akan digunakan
sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry, 2006). Menurut Skala nyeri
dikategorikan
sebagai berikut: 1. 0 : tidak ada keluhan nyeri, tidak nyeri. 2. 1-3 : mulai terasa
dan dapat ditahan, nyeri ringan. 3. 4-6 : rasa nyeri yang menganggu dan
memerlukan usaha untuk menahan, nyeri sedang. 4. 7-10 : rasa nyeri sangat
menganggu dan tidak dapat ditahan, meringis, menjerit bahkan teriak, nyeri
berat.
4. Faces Pain Rating Scale
Skala ini terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan
wajah yang sedang tersenyum untuk menandai tidak adanya rasa nyeri yang
dirasakan, kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia,
wajah sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan yang berati skala nyeri
yang dirasakan sangat nyeri (Potter & Perry, 2005)
3.1 Pengkajian
Identitas pasien:
Nama : Ny. Siti M
Usia : 63 th
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jombang
No RM : 12927374
Keluhan Utama:
Pasien mengungkapkan leher terasa nyeri dan susah untuk makan, pasien makan lewat
NGT.
Riwayat Penyakit:
Keluarga mengatakan ada benjolan di leher pasien, benjolan sudah lama, tapi 2 bulan
terakhir semakin membesar dan membuat pasien merasa sesak napas. Pada tgl 11 april
2022 pasien mengeluh bertambah sesak, saat di bawa ke RS terdekat di sarankan untuk di
rujuk ke RSUD soetomo. Kemudian pasien menjalani operasi cito tracheostomi. Pasien
tidak ada riwayat penyakit tertentu
Pengkajian Persistem:
B1: Pasien bernapas melalui tracheostomy, masih ada banyak secret yg keluar. SpO2 95-
97%
B2: TD 135/90 mmHg, nadi 85 x/mnt. Tidak ada perdarahan
B3: nyeri pada leher, skala nyeri 2 (numeric scale), pasien susah tidur
B4: Tidak ada masalah
B5: Pasien terpasang NGT tgl 13/04/2022 karena pasien susah untuk menelan.
B6: pasien lemas, aktivitas di bantu sebagian.
Pemeriksaan penunjang:
1. Thorax foto: Normal (12/04/2022)
2. Pemeriksaan laborat: Hb 11,7 , WBC 9,50 , BUN 10, SK 0,85 , Na 140, Kalium 4,1 ,
Cl 100 , SGOT 24, SGPT 49, Alb 3,3 , PPT 11,4 , APTT 22,8 , GDA 134, D-Dimer
900 (12/04/2022)
3.3 Implementasi
Tgl No waktu Implementasi
diagnosa
13/04/2022 1,2 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
3 08.30 2. Menanyakan dan mengevaluasi kembali kepada
keluarga pasien apakah sudah bisa untuk
memberikan nutrisi melalui NGT
Respon: Keluarga sudah diajari oleh dokter
1,2 09.45
3. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 135/70, nadi 85 x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.00
96%
4. Mengajarkan pasien melakukan teknik relaksasi
nyeri menggunakan teknik distraksi
1 10.20 Respon: Pasien sudah mengerti tentang teknik
relaksasi yang di ajarkan
5. Mengakaji skala nyeri pasien
3 11.00 Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
bertanya nyeri sudah berkurang. Nyeri skala 2
6. Melakukan kolaborasi dengan tim gizi dalam
pemberian diit pasien melalui NGT.
2 12.00 Respon: tim gizi sudah visite ke pasien dan
memberikan edukasi terkait nutrisi pasien.
7. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, warna
putih dan encer. Pasien tidak sesak.
14/04/2022 1,3 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
3 09.00 2. Menanyakan kepad keluarga pasien apakah pasien
sudah mencoba untuk makan peroral
Respon: Keluarga mengatakan pasien belum bisa
makan melalui mulut, kadang tersedak. Masih lewat
NGT.
1,2 10.00
3. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 130/70, nadi 87 x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.20
97%
4. Mengakaji skala nyeri pasien
Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
2 11.30 bertanya nyeri sudah berkurang, pasien dapat
istirahat. Nyeri skala 2
5. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, warna
putih dan encer. Pasien tidak sesak.
15/04/2022 1,3 08.00 1. Memberikan obat metamizol 1 gr iv dan
metoclopramide 10 mg iv
Respon: Pasien tidak ada alergi pada obat yng di
berikan
1,2 10.00 2. Melakukan observasi vital sign
Respon: TD 125/70, nadi 90x/mnt, RR 20, SPO2
1 10.30
97%
3. Mengakaji skala nyeri pasien
Respon: Pasien menganggukan kepala saat perawat
bertanya nyeri sudah berkurang. Pasien akan pulang
2 11.00
hari ini, nyeri sakala 1-2
4. Mengobservasi produksi sputum pasien
Respon: Produksi sputum pasien banyak, encer dan
dapat keluar. Pasien tak sesak
3.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan yang didapat setelah di berikan asuhan keperawatan selama 3 hari
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut teratasi ditandai dengan pasien rileks, dapat beristirahat, pasien
mengangguk saat perawat bertanya nyeri berkurang. Nyeri skala 2 (numeric scale)
Obs ttv TD 125/70 mmHg, nadi 90 x/mnt, pasien sudah mengerti teknik distraksi
untuk mengurangi nyeri.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif teratai di tandai dengan pasien tak sesak, SPO2
97%, RR 20 x/mnt. Produksi sputum encer dan dapat di keluarkan
3. Defisit nutrisi teratasi ditandai dengan pasien sudah terpasang NGT, keluarga sudah
dapat memberikan sonde secara mandiri. Pasien tak lemas.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang apat diambil dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
1. Tumor orofaring adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada
daerah orofaring. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada daerah bibir, 2/3 lidah
anterior, mukosa bukal, dasar mulut, ginggiva atas dan bawah, trigonum
retromolar, palatum durum, dan palatum molle. Pertumbuhannya dapat
digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna).
2. Manifestasi klinis pada psien dengan tumor orofaring adalah rasa sakit akibat
adanya pembengkakan atau benjolan di leher bagian atas, sakit tenggorokan
yang tidak kunjung sembuh, kesulitan menelan, sakit telinga yang tidak kunjung
sembuh, kesulitan membuka mulut dan rahang (dikenal sebagai trismus), bau
mulut, perubahan suara. Namun pada pasien tumor orofaring post pembedahan,
gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri akibat tidakan post operasi.
3. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien tumor orofaring adalah nyeri akut,
bersihan jalan napas dan juga defisit nutrisi. Diagnosa yang mencul dapat berubah atau
bertambah sesuai dengan gejala yang muncul pada pasien.
4. Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien tumor orofaring disesuaikan dengan
diagnosa atau gejala yang muncul. Untuk diagnosa nyeri maka akan di berikan asuhan
keperawatan untuk mengobservasi nyeri, meredakan nyeri dan mengedikuasi pasien
untuk menurunkan skala nyeri. Pada diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif maka
asuhan keperawatan yang diberikan adalah mengobservasi napas pasien, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian terapi atau tindakan pebedahan, dll. Pada diagnosa
4.2 Saran
Pada pemberi pelayanan kesehatan diharapkan tetap menjaga dan meningkatkan lagi
kualitas tindakan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien, khusunya pada pasien
dangan tumor orofaring.