Santosa Soewarlan
Iwan Zahar
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia.
Email : iwan.zahar@esaunggul.ac.id
Karna Mustaqim
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia.
Email: karna.mustaqim@esaunggul.ac.id
Ahmad Fuad
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia
Email: ahmad.fuad@esaunggul.ac.id
Pendahuluan
Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan bapak pendidikan dengan slogan
terkenalnya Tut Wuri Handyani dsb. Kiprah Ki Hadjar Dewantara dalam
bidang seni banyak terliwatkan, walaupun pemikirannya di masa hidupnya
tergolong sangat maju pada bidang seni. KHD banyak mengkritisi dan
mengevaluasi perbedaan seni menggambar, seni tari, seni drama, seni musik
dan permainan tradisionil lainnya, yang dimasukan ke dalam kurikulum
sekolah Taman Siswa yang didirikannya. Hebatnya Taman Siswa merupakan
sekolah dengan kurikulum, muatan lokal yang pertama dan berbeda dengan
kurikulum dari sekolah yang didirikan orang Belanda, termasuk filosofi dan
muatan lokalnya. Pendapat Ki Hadjar Dewantara banyak membandingkan
muatan lokal dengan pandangan antrosophi dari Rudolf Steiner, pandangan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara
Dalam perspektif filsafat ilmu, keabsahan studi tokoh sebagai salah satu
metode penelitian, dapat dianalisis dari sudut ontologi, epistemologi, dan
aksiologi (Bado, 2022). Secara ontologis studi tokoh Ki Hadjar Dewantara bisa
dilihat dari tiga sudut. Studi secara ontology lebih bersifat bersifat alamiah dan
apa adanya dengan pertimbangan etik dan emik serta verstehen. Peneliti dapat
menggali pikiran, perasaan dan motif yang ada di belakang tokoh. Penelitian
ini juga mengambil bagian epistomologinya yang bersifat kritis analisis,
pendekatan historis dan konteks sosio kultural.
Pendapat Rudolf Steiner tentang jiwa mungkin berhutang budi kepada St.
Augustine's (Confessions AD397–400) gagasan tentang modalitas yang sesuai
dengan jiwa: keberadaan, pengetahuan dan kehendak, yang membawa jejak
'Other par excellence', seperti Tuhan (Rijke, 2019). Sedangkan Ki Hadjar
Dewantara menyatakan bahwa kesenian itu suatu perwujudan lahir dari jiwa
kita akibat kemauan jiwa kita (Ki Hadjar Dewantara, 1977). Pengetahuan
menurut KHD berupa pikiran (cipta) yang dalam teori Bloom dikenal sebagai
kognitif, sedangkan kehendak menurut KHD sering disebut kemauan (karsa)
yang lebih dikenal sebagi psikomotoris. Jiwa manusia secara positivisme
dibagi menjadi tiga bagian yaitu pikiran (cipta), perasaan (rasa) dan kemauan
(karsa) yang dicetuskan 20 th sebelum Taksonomi Bloom kognitif, afektif dan
psikomotorik ((Miarso, 2004). Jiwa dalam pandangan KHD merupakan
kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia, dan membuat manusia dapat
berfikir dan berperasaan dan berkehendak (budi) dan membuat orang mengerti
dan insyaf akan segala gerak jiwanya. .Jiwa dan raga bukanlah dua bagian
yang terpisah, tetapi saling mendidik. Berbeda dengan Rudolf Steiner yang
terbagi menjadi tiga bagian spirit, tubuh dan jiwa. Rudolf Steiner percaya bahwa
manusia dalam sejarah manusia di masa lampau pernah lebih berpartisipasi
penuh proses spiritual dunia melalui kesadaran dan lama kelamaan semakin
dibatasi oleh keterikatan mereka pada hal-hal material. Persepsi yang
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara
Seperti dikatakan oleh Kant mengenai estetika sebagai doktrin urutan sensasi
dalam panca indera yang berkaitan dengan ruang dan waktu, pengetahuan
yang rasionil dan intelektual. Sedangkan baumgarten menyatakan estetika
sebagai doktrin persepsi indera yang sempurna dan etika sebagai doktrin
hukum penggunaan pikiran. Hubungan ketiganya antara estetika, logika dan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara
etika adalah hakikat dan esensi suatu nilai (waardeleer). Pendekatan Kant
dalam sensasi dan panca indera juga terlihat pada KHD saat menjelaskan
dengan contohseorang anak belajar musik dengan urutan merasakan, berfikir
yang akhirnya mewujudkan kehendak dan kemauannya. Penggunaan panca
indera untuk merasakan suara musik tersebut ketika seorang anak berusaha
meniru suatu lagu untuk dinyanyikan. Pendidikan estetika akan
meningkatkan pendidikan intelektual seseorang dan berlanjut ke pendidikan
budi pekertai. Yang sering kesemuanya sering disebut essensi suatu nilai.
Seperti juga Plato yang mempunyai pandangan bahwa seni yang baik
mempunyai pesan moral ((Dee Braembussche, 2006), Ki Hadjar Dewantara
berpendapat bahwa keindahan meningkatkan rasa ketertiban dan menjadi etis
dan moral.
Ki Hadjar Dewantara menyarankan anak-anak untuk belajar menggambar
dengan tema bebas sesuai dengan imajinasi mereka dan prilaku dan pikiran
anak-anak. Sebaiknya anak-anak diajarkan dengan dunia anak-anak sendiri.
Hal kebebasan menggambar (Krenz, 2011) mempunyai pandangan yang sejalan
dengan Rudolt Steiner. KHD juga berpendapat untuk menunjukkan kodrat
alam dan sering menggambar hutan, bukit, laut, sungai dan sawah, tetapi tidak
seperti pelukis. Sehingga gambaran disesuaikan dengan persepsi anak-anak.
Pandangan KHD ini termasuk maju pada jamannya, bahkan sampai saat ini
masih banyak guru seni atau orang tua yang berpandangan kalau anak-anak
perlu diajar teknik melukis seperti orang dewasa dan hasil berupa imitasi dari
pemandangan alam. Perbedaan seni lukis dan seni musik juga dijabarkan oleh
KHD dan berpendapat bahwa pikiran lebih banyak digunakan dari pada rasa
saat melihat lukisan, sedangkan menikmati musik lebih membuat orang tidak
berfikir tetapi menikmati musik dengan rasa. Walapun berbeda, KHD
berpendapat pembelajaran musik dan lukis akan memperbaiki budi pekerti
dari anak-anak.
Simpulan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara
Rujukan
Bado, B. (2022). Model Pendekatan Kualitatif: Telaah dalam Metode Penelitian Ilmiah
(1st ed.). Tahta Media Grup. https://books.google.co.id/books?
id=CadcEAAAQBAJ&pg=PA226&dq=metode+peneltian+pendekatan+epi
stomologi&hl=ban&sa=X&ved=2ahUKEwiXm6_p58z4AhUQIbcAHSugDA
EQ6AF6BAgJEAI#v=onepage&q=metode peneltian pendekatan
epistomologi&f=false
Dee Braembussche, A. van. (2006). Thinking Art. Springer.
Feldman, E. B. (1994). Practical Art Criticism. Prentice Hall.
https://www.worldcat.org/title/practical-art-criticism/oclc/27814416
Ki Hadjar Dewantara. (1977). Pendidikan (2nd ed., Vol. 1). Majelisluhur
Persatuan Taman Siswa.
Krenz, A. (2011). The Secret of Children’s Drawings. In From Images to Thinking.
AWSNA Publications Office.
Miarso, Y. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada Media.
Rijke, V. de. (2019). Art and Soul : Rudolf Steiner , Interdisciplinary Art and
Education. In V. de Rijke (Ed.), Art and Soul: Rudolf Steiner, Interdisciplinary
Art and Education (pp. 1–20).
Steiner, R. (1923). A Lecture on Eurohythmy Given at Penmaenmawr on 26th
August, 1923. Anthroposophical Publishing.