Anda di halaman 1dari 8

Template Artikel Buku Bunga Rampai Purnatugas Prof.

Santosa Soewarlan

Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

Iwan Zahar
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia.
Email : iwan.zahar@esaunggul.ac.id
Karna Mustaqim
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia.
Email: karna.mustaqim@esaunggul.ac.id

Ahmad Fuad
F.DIK Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia
Email: ahmad.fuad@esaunggul.ac.id

ABSTRAK (Berbahasa Inggris atau Berbahasa Indonesia)

Pembahasan Ki Hadjar Dewantara mengenai estetika termasuk jarang diulas


padahal termasuk pelopor muatan lokal di sekolah Taman Siswa. Metode yang
digunakan pada penelitian ini dilihat dari sudut ontologi yang bersifat alamiah,
dengan pertimbangan etik dan emik serta verstehen. Pembahasan rasa yang
artinya leibh luas dari pada pengertian rasa di teks pendidikan dan kaitannya
antara Eurythmy versi Rudolf Steiner dengan wirama versi Ki Hadjar Dewantara.

Kata kunci: Ki Hadjar Dewantara, Ontologi, Estetika

Pendahuluan
Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan bapak pendidikan dengan slogan
terkenalnya Tut Wuri Handyani dsb. Kiprah Ki Hadjar Dewantara dalam
bidang seni banyak terliwatkan, walaupun pemikirannya di masa hidupnya
tergolong sangat maju pada bidang seni. KHD banyak mengkritisi dan
mengevaluasi perbedaan seni menggambar, seni tari, seni drama, seni musik
dan permainan tradisionil lainnya, yang dimasukan ke dalam kurikulum
sekolah Taman Siswa yang didirikannya. Hebatnya Taman Siswa merupakan
sekolah dengan kurikulum, muatan lokal yang pertama dan berbeda dengan
kurikulum dari sekolah yang didirikan orang Belanda, termasuk filosofi dan
muatan lokalnya. Pendapat Ki Hadjar Dewantara banyak membandingkan
muatan lokal dengan pandangan antrosophi dari Rudolf Steiner, pandangan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

pendidikan dengan Montesori, Froeble dan pandangan filsafat dengan Kant,


Baumgarten dll.
Masuknya tarian daerah ke dalam kurikulum bukanlah hal baru pada
saat ini, tentunya berbeda sekali di era Ki Hadjar Dewantara yang memulai
sekolah Taman Siswa yang kurikulumnya dengan muatan lokal bangsa
Indonesia termasuk pendidikan seninya yang banyak menggunakan tari, lagu,
sandiwara yang lokal. Bahkan Ki Hadjar Dewantara sudah menyarankan
penggunaan lagu daerah lain dan bukan hanya kesenian Jawa saja di Taman
Siswa supaya anak didiknya menghargai perbedaan dan juga mempertahankan
budayanya sendiri yang saat ini dikenal dengan kata pluralisme dan
multikulturalisme. Permainan anak-anak tradisional di Indonesia itu sejalan
dengan teori Eurytmi Rudolf Steiner yang menyatukan kata, jiwa dan gerak
sehingga dapat meningkatkan kecerdasan budi anak-anak.
Pendidikan pada jaman Ki Hadjar Dewantara terutama bangsa Belanda
yang lebih bertitik berat pada pikiran (kognitif) dari pada pendidikan perasaan
(afektif) dan pendidikan kemauan (psikomotorik). Walapun begitu anak didik
bukan dididik untuk jadi seniman profesional melainkan untuk melatih
perasaan sehingga roh, jiwa dan budi menjadi luhur untuk mempertinggi
niveau human. Rasa pada definisi Ki Hadjar Dewantara termasuk luas, bahkan
rasa dalam berfikir juga termasuk rasa. Walaupun pikiran (kognitif) hanya
dapat menentukan benar dan salah dan tidak kompeten dalam menentukan
keindahan suatu perwujudan.

Pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (Perintah, hukuman, dan


ketertiban). Menurut beliau karakter Pendidikan semacam ini merupakan
suatuperkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak
akan budipekertinya Karena selalu hidup di bawah paksaan dan tekanan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa
membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian. Salah satu bentuk
ketertiban pada murid dibentuk dengan dasar dari keindahan dan moral,
bukan dengan cara paksaan atau hukuman ala pendidikan barat pada jaman
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

KHD. Kesenian itu sendiri adalah keindahan yang berdasarkan ketertiban


sehingga adanya rasa agama, rasa kesusilaan dan rasa kesenian bisa ada pada
seseorang. Pada contoh buku di KHD kebanyakan adalah kesenian jawa, yang
menurut KHD sendiri pada zamannya kesenian Indonesia itu sendiri belum
terbentuk terutama pada saat penulisan KHD, sehingga contoh di dalam buku
itu lebih banyak membahas kesenian daerah.

Teori dan Metodologi

Dalam perspektif filsafat ilmu, keabsahan studi tokoh sebagai salah satu
metode penelitian, dapat dianalisis dari sudut ontologi, epistemologi, dan
aksiologi (Bado, 2022). Secara ontologis studi tokoh Ki Hadjar Dewantara bisa
dilihat dari tiga sudut. Studi secara ontology lebih bersifat bersifat alamiah dan
apa adanya dengan pertimbangan etik dan emik serta verstehen. Peneliti dapat
menggali pikiran, perasaan dan motif yang ada di belakang tokoh. Penelitian
ini juga mengambil bagian epistomologinya yang bersifat kritis analisis,
pendekatan historis dan konteks sosio kultural.

Hasil dan Pembahasan


Rudolf Steiner dan Lori Maier-Smiths menggabungkan elemen formal
dari tarian tradisionil dengan gaya yang lebih bebas. Walaupun begitu
Eurythmy tidak hanya dengan pembacaan dan deklamasi, tetapi juga dengan
musik instrumental. Tetapi di sini harus selalu diingat bahwa Eurythmy adalah
musik yang diterjemahkan ke dalam gerakan, dan tidak menari dalam arti kata
apa pun. Ada perbedaan mendasar antara Eurythmy dan menari. Akan tetapi,
orang sering gagal membedakan keduanya ketika melihat Eurythmy di atas
panggung, karena faktanya Eurythmy menggunakan tubuh manusia yang
bergerak sebagai instrumennya. Pandangan mengenai Eurythmy ini
sebenanrya ada juga di tarian tradisionil Indonesia seperti Tarian Serimpi dan
permainan anak-anak tradisionil di Indonesia menurut Ki Hadjar Dewantara.
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

Nada-Eurythmy dan nyanyian disertai dengan musik instrumental


berbeda dengan tarian biasa. Tone-Eurythmy pada dasarnya bukanlah tarian,
tetapi merupakan nyanyian dalam gerakan, gerakan yang dapat dilakukan baik
oleh satu pemain, atau oleh banyak orang secara bersama-sama (Steiner, 1923).
Ki Hadjar Dewantara menggunakan kata “wirama” (dan ritme pada hal 316 (Ki
Hadjar Dewantara, 1977) sejalan dengan Rudolf Steiner yang menyatakan
wirama (ritme) akan memudahkan pekerjaaan jasamani, pikiran, budi pekerti
dan menghidupkan semangat. Hal ini menurut Ki Hadjar Dewantara terlihat
pada permainan tradisional jathilan atau kuda lumping. Pendidikan gerak dan
wirama ini akan berguna untuk pendidikan jasmani dan rohani.

Pendapat Rudolf Steiner tentang jiwa mungkin berhutang budi kepada St.
Augustine's (Confessions AD397–400) gagasan tentang modalitas yang sesuai
dengan jiwa: keberadaan, pengetahuan dan kehendak, yang membawa jejak
'Other par excellence', seperti Tuhan (Rijke, 2019). Sedangkan Ki Hadjar
Dewantara menyatakan bahwa kesenian itu suatu perwujudan lahir dari jiwa
kita akibat kemauan jiwa kita (Ki Hadjar Dewantara, 1977). Pengetahuan
menurut KHD berupa pikiran (cipta) yang dalam teori Bloom dikenal sebagai
kognitif, sedangkan kehendak menurut KHD sering disebut kemauan (karsa)
yang lebih dikenal sebagi psikomotoris. Jiwa manusia secara positivisme
dibagi menjadi tiga bagian yaitu pikiran (cipta), perasaan (rasa) dan kemauan
(karsa) yang dicetuskan 20 th sebelum Taksonomi Bloom kognitif, afektif dan
psikomotorik ((Miarso, 2004). Jiwa dalam pandangan KHD merupakan
kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia, dan membuat manusia dapat
berfikir dan berperasaan dan berkehendak (budi) dan membuat orang mengerti
dan insyaf akan segala gerak jiwanya. .Jiwa dan raga bukanlah dua bagian
yang terpisah, tetapi saling mendidik. Berbeda dengan Rudolf Steiner yang
terbagi menjadi tiga bagian spirit, tubuh dan jiwa. Rudolf Steiner percaya bahwa
manusia dalam sejarah manusia di masa lampau pernah lebih berpartisipasi
penuh proses spiritual dunia melalui kesadaran dan lama kelamaan semakin
dibatasi oleh keterikatan mereka pada hal-hal material. Persepsi yang
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

diperbarui tentang hal-hal spiritual membutuhkan pelatihan kesadaran


manusia untuk mengatasi perhatian pada materi. KHD menggunakan
kesenian untuk mengatasi terlalu dominannya kognitif pada pendidikan
Belanda di zamannya. Disamping itu pendidikan yang menuntun anak sesuai
dengan kodrat anak tersebut. Sehingga pendidikan lebih berfunsi sebagai
penuntun anak.
Anggapan KHD mengenai jiwa itu dapat dibuat tertib lahirnya dan
damai batinnya dengan kesenian tradisionil dalam hal contoh di buku KHD
adalah tarian serimpi, gending jawa dan permaianan. KHD tidak menutup diri
untuk mengembangkan atau memodifikasi yang serba tradisional. Secara
khusus KHD menekankan pentingnya yang tradisionil seperti tari serimpi yan
gdianggap bukan hanya rasa keindahan melainkan rasa kebatinan suci yang
mempunyai nilai religi dan dahulu hanya untuk keluarga keratin. Tari serimpi
itu selain gerak badan dan rasa keindahan, juga menyehatkan tubuh, mendidik
rasa wirama (ritme), mengekang diri, dan gerak raga yaitu kesusilaan.
Sehingga orang yang belajar tari serimpi tahu akan kesucian dan menghargai
adat istiadat dan tidak kasar seperti hasil pendidikan barat di jaman KHD.
Walaupun tidak semua kesenian masa lampau akan berbobot, contohnya
ketoprak yang dianggap merupakan kedangkalan dan membuat masyarakat
yang menggemari lebih kearah ke duniawian dibandingkan kebatinan. KHD
tidak juga menutup kemajuan zaman dan kemauan masyarakat yang lebih
menyukai sandiwara yang modern dan mudah dimengerti, bersifat lebih
merdeka dari ikatan kebudayaan lama. Yang pada zaman ini, sandiwara sudah
terkikis habis beserta seni pertunjukan lain dan tergantikan oleh media yang
lebih modern seperti film dan tontonan di social media. Tetap diingatkan oleh
KHD akan pentingnya seni sandiwara yang mempunyai dasar estetika,
religious, dan kebajikan atau etika sehingga dapat digunakan juga sebagai alat
pembelajaran terutama anak anak. Ketrampilan dan kompetensi anak akan
meningkat dalam hal bahasa, kesusateraaan, menghafalkan teks dan naskah,
bercakap dengan irama
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

Gending jawa mempunyai lima suara sedangkan music barat mempunyai 7


suara, sehingga gending jawa dianggap menjemukan untuk bangsa barat.
Padahal KHD lebih menyatakan bahwa orang barat lebih berfikir dan
mementingkan jenis-jenisnya sedangkan bangsa timur lebih melihat masalah
harmoni dan wirama (ritme) yang merupakan roh dari lagi ((Ki Hadjar
Dewantara, 1977). Sebagai contoh lain pada bidang seni rupa, model kritik
Edmund Burke Feldman masih digunakan di sekolah-sekolah barat dan masih
sulit digantikan dengan model kritik lainnya (Feldman, 1994). Selain mudah
dipelajarai bagi murid sekolah, model feldman lebih rasionil dan diklaim tidak
perlu pengetahuan seni rupa sebelumnya (previous knowledge) untuk
mempelajarinya.
Ukuran keindahan menurut KHD hanya 3 syarat saja yaitu bermacam-macam
(variety), keutuhan (volledigheid) dan laras (harmoni) yang menyangkut ritme di
dalamnya. Keutuhan serupa dengan kesatuan di dalam prinsip seni,
walaupun penggunaan kata kesatuan pada prinsip seni rupa lebih berupa
deskripsi visual misal pada suatu gambar akan terlihat adanya perulangan
bentuk dan warna yang hampir sama sehingga terlihat gambar tersebut
mempunyai kesatuan, seperti juga cara memilih warna pakaian dan aksesoris
yang dicontohkan KHD. Begitu pula dengan laras dan ritme yang sama
dengan penjelasan prinsip seni. Walaupun dalam penjelasan di KHD, istilah
ritme itu sama dengan wirama dan berarti lebih luas dari dalah pengulangan
secara terus menerus dan teratur dari suatu unsur atau beberapa unsur seperti
dalam seni rupa maupun seni musik, dan seni tari. Ritme dianggap akan
memudahkan pekerjaan jasmani dan rohani, menertibkan dan mengeluarkan
kekuatan jiwa dan mencerdaskan jiwa manusia.

Seperti dikatakan oleh Kant mengenai estetika sebagai doktrin urutan sensasi
dalam panca indera yang berkaitan dengan ruang dan waktu, pengetahuan
yang rasionil dan intelektual. Sedangkan baumgarten menyatakan estetika
sebagai doktrin persepsi indera yang sempurna dan etika sebagai doktrin
hukum penggunaan pikiran. Hubungan ketiganya antara estetika, logika dan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

etika adalah hakikat dan esensi suatu nilai (waardeleer). Pendekatan Kant
dalam sensasi dan panca indera juga terlihat pada KHD saat menjelaskan
dengan contohseorang anak belajar musik dengan urutan merasakan, berfikir
yang akhirnya mewujudkan kehendak dan kemauannya. Penggunaan panca
indera untuk merasakan suara musik tersebut ketika seorang anak berusaha
meniru suatu lagu untuk dinyanyikan. Pendidikan estetika akan
meningkatkan pendidikan intelektual seseorang dan berlanjut ke pendidikan
budi pekertai. Yang sering kesemuanya sering disebut essensi suatu nilai.
Seperti juga Plato yang mempunyai pandangan bahwa seni yang baik
mempunyai pesan moral ((Dee Braembussche, 2006), Ki Hadjar Dewantara
berpendapat bahwa keindahan meningkatkan rasa ketertiban dan menjadi etis
dan moral.
Ki Hadjar Dewantara menyarankan anak-anak untuk belajar menggambar
dengan tema bebas sesuai dengan imajinasi mereka dan prilaku dan pikiran
anak-anak. Sebaiknya anak-anak diajarkan dengan dunia anak-anak sendiri.
Hal kebebasan menggambar (Krenz, 2011) mempunyai pandangan yang sejalan
dengan Rudolt Steiner. KHD juga berpendapat untuk menunjukkan kodrat
alam dan sering menggambar hutan, bukit, laut, sungai dan sawah, tetapi tidak
seperti pelukis. Sehingga gambaran disesuaikan dengan persepsi anak-anak.
Pandangan KHD ini termasuk maju pada jamannya, bahkan sampai saat ini
masih banyak guru seni atau orang tua yang berpandangan kalau anak-anak
perlu diajar teknik melukis seperti orang dewasa dan hasil berupa imitasi dari
pemandangan alam. Perbedaan seni lukis dan seni musik juga dijabarkan oleh
KHD dan berpendapat bahwa pikiran lebih banyak digunakan dari pada rasa
saat melihat lukisan, sedangkan menikmati musik lebih membuat orang tidak
berfikir tetapi menikmati musik dengan rasa. Walapun berbeda, KHD
berpendapat pembelajaran musik dan lukis akan memperbaiki budi pekerti
dari anak-anak.

Simpulan
Ontologi dan Estetika Ki Hadjar Dewantara

Pandangan KHD mengenai estetika sebagai ketertiban untuk mencapai


noveau dari manusia, dan membantu siswa dalam melepaskan rasa,
berimajinasi, bercerita, olah raga, budi pekerti, bersifat nasionalis,
meningkatkan rasa kesucian, menghargai perbedaan dan menjadikan anak
lebih berani dan punya rasa religi. Seni juga dianggap sebagai alat
pembelajaran yang baik untuk mata pelajaran seperti contohnya sandiwara.

Rujukan
Bado, B. (2022). Model Pendekatan Kualitatif: Telaah dalam Metode Penelitian Ilmiah
(1st ed.). Tahta Media Grup. https://books.google.co.id/books?
id=CadcEAAAQBAJ&pg=PA226&dq=metode+peneltian+pendekatan+epi
stomologi&hl=ban&sa=X&ved=2ahUKEwiXm6_p58z4AhUQIbcAHSugDA
EQ6AF6BAgJEAI#v=onepage&q=metode peneltian pendekatan
epistomologi&f=false
Dee Braembussche, A. van. (2006). Thinking Art. Springer.
Feldman, E. B. (1994). Practical Art Criticism. Prentice Hall.
https://www.worldcat.org/title/practical-art-criticism/oclc/27814416
Ki Hadjar Dewantara. (1977). Pendidikan (2nd ed., Vol. 1). Majelisluhur
Persatuan Taman Siswa.
Krenz, A. (2011). The Secret of Children’s Drawings. In From Images to Thinking.
AWSNA Publications Office.
Miarso, Y. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada Media.
Rijke, V. de. (2019). Art and Soul : Rudolf Steiner , Interdisciplinary Art and
Education. In V. de Rijke (Ed.), Art and Soul: Rudolf Steiner, Interdisciplinary
Art and Education (pp. 1–20).
Steiner, R. (1923). A Lecture on Eurohythmy Given at Penmaenmawr on 26th
August, 1923. Anthroposophical Publishing.

Anda mungkin juga menyukai