Anda di halaman 1dari 23

CONTOH

DOKUMEN PEMAJUAN KEBUDAYAAN DESA

DESA POTO
KECAMATAN MOYO ILIR, KABUPATEN SUMBAWA,
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Landasan Hukum 3
BAB 2 GAMBARAN UMUM DESA
2.1. Sejarah Desa Poto 4
2.2. Aspek Geografi dan Demografi Penduduk 5
2.3. Penggunaan Tanah 6
2.4. Kondisi Sosial-Ekonomi Desa 6
BAB 3 POTENSI DESA 9
3.1. Keragaman Jenis Objek Pemajuan Kebudayaan di Desa 9
3.2. Identifikasi Lembaga Kebudayaan di Desa 10
3.3. Identifiksi SDM Kebudayaan di Desa 12
BAB 4 TANTANGAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN DI DESA 13
4.1. Masalah di Bidang Pelindungan Kebudayaan (terkait Pendataan, Pemeliharaan,
Pengamanan Objek Budaya) 13
4.2. Masalah di Bidang Pengembangan Kebudayaan (terkait Pengkajian dan Pengayaan
Beragaman Objek Budaya) 13
4.3. Masalah di Bidang Pemanfaatan Kebudayaan (terkait Pemberdayaan Objek Budaya
untuk Penguatan Karakter atau Pemanfaatan Ekonomis) 14
4.4. Masalah di Bidang Pembinaan Lembaga dan SDM Budaya (terkait Pelatihan dan
Regenerasi SDM Budaya serta Tata Kelola Lembaga Budaya) 15
BAB 5 RENCANA PEMAJUAN KEBUDAYAAN DI DESA 16
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 19

2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.
1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan


kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Atas dasar amanat
tersebut, disusunlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat pemajuan kebudayaan nasional Indonesia.
Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 (selanjutnya disebut sebagai UU No. 5 Tahun
2017), dinyatakan bahwa pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya
dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan,
pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.

Tentu suatu pedoman diperlukan untuk dapat melaksanakan mandat pemajuan


kebudayaan melalui pendidikan. Pedoman tersebut diatur dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 2017
yang menyebutkan bahwa Pemajuan Kebudayaan berpedoman pada:
a. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota;

b. Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi;

c. Strategi Kebudayaan; dan

d. Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan.

Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah


provinsi, dan Strategi Kebudayaan merupakan landasan kebijakan pembangunan Kebudayaan
di pusat maupun daerah. Dokumen-dokumen tersebut disusun untuk kemudian dapat
diterapkan sebagai suatu pedoman dalam pembuatan kebijakan pemajuan kebudayaan di
daerah dan di pusat. Suatu dokumen yang digunakan sebagai landasan pembuatan kebijakan
harus mengacu pada kondisi faktual agar kebijakan yang nantinya dilahirkan merupakan
3
kebijakan yang secara tepat menyasar langkah-langkah strategis yang harus diambil guna
membangun kebudayaan baik di daerah maupun pusat dan mewujudkan pemajuan kebudayaan
seutuhnya.
PPKD selain menjadi dasar dalam menyusun Strategi Kebudayaan juga menjadi
rujukan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), serta Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) baik provinsi maupun kabupaten/kota. Selanjutnya, pada
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2017 disebutkan bahwa pemajuan kebudayaan bertujuan untuk
mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; memperkaya keberagaman budaya;
memperteguh jati diri bangsa; memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa; mencerdaskan
kehidupan bangsa; meningkatkan citra bangsa; mewujudkan masyarakat madani;
meningkatkan kesejahteraan rakyat; melestarikan warisan budaya bangsa; dan mempengaruhi
arah perkembangan peradaban dunia, agar kelak kebudayaan menjadi haluan atau
pengarusutamaan pembangunan nasional.
Agar tujuan tersebut bisa tercapai, perlu dibangun sebuah paradigma pembangunan
berlandaskan kebudayaan dari unit terkecil, yaitu desa. Mengapa harus desa? Karena desa
mengandung interaksi budaya dan menyimpan tatanan nilai berkehidupan dimana kebudayaan
itu sendiri lahir, tumbuh, dan berkembang. Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa salah satu tujuan pengaturan desa adalah
melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa. Selain itu, desa juga
merupakan unit sosial terkecil yang dapat diproyeksikan pada tingkatan yang lebih tinggi. Jika
menggunakan unit analisis yang lebih kecil dari desa, akan sulit untuk diproyeksikan ke tingkat
kabupaten/kota. Selain itu, merujuk pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Pasal 79 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemerintah Desa menyusun perencanaan pembangunan
desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan
kabupaten/kota”. Perencanaan ini yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk RPJMDes
untuk jangka waktu 6 (enam) tahun dan RKPDes untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Kedua hal inilah yang menjadi modal penting bahwa seharusnya perencanaan desa
dapat diarahkan untuk berhulu pada kebudayaan. PPKD dapat diimplementasikan dalam
bentuk RPJMD kabupaten/kota dan RPJMDes begitupun sebaliknya PPKD yang perlu
disinkronkan dengan RPJMD kabupaten/kota dan RPJMDes ketika fakta yang terjadi di
lapangan tidak sesuai dengan apa yang tertuang di PPKD. Guna mewujudkan amanat UU No.5
Tahun 2017 untuk mengarusutamakan kebudayaan dalam pembangunan nasional, Direktorat

4
Jenderal Kebudayaan memprakarsai sebuah Program Percontohan Desa Pemajuan
Kebudayaan. Program ini menginisiasi masyarakat dan pemerintah daerah untuk menyusun
perencanaan pembangunan desa yang berbasis kebudayaan.
Program Percontohan Desa Pemajuan Kebudayaan adalah sebuah gagasan atau ide
yang memuat potensi kebudayaan, permasalahan yang dihadapi, beserta upaya
penyelesaiannya. Gagasan atau ide tersebut kemudian dituangkan dalam perencanaan
pembangunan desa berhulu kebudayaan baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Selanjutnya, dokumen perencanaan pembangunan desa berhulu kebudayaan tersebut
disandingkan dan dikomparasikan dengan PPKD kabupaten/kota untuk kemudian dijadikan
landasan kebijakan pembangunan daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Perencanaan
Pembangunan Desa Berhulu Kebudayaan disusun oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan
masyarakat, Pemerintah Kabupaten, para ahli, serta stakeholder terkait sesuai skema
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Para ahli yang dimaksud
tersebut adalah orang-orang yang pekerjaan dan/atau kepakarannya dapat mendukung
penyusunan perencanaan pembangunan desa berhulu kebudayaan. Salah satu yang menjadi
percontohan program desa pemajuan kebudayaan adalah Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir,
Kabupaten Sumbawa.

1.2. Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:


a. Mengidentifikasi potensi kebudayaan yang ada di desa
b. Membuat perencanaan pembangunan desa yang berbasis kebudayaan
c. Melindungi dan mengembangkan nilai ekspresi dan praktik kebudayaan local
d. Melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan
pemajuan kebudayaan

1.3. Landasan Hukum

Program Percontohan Desa Pemajuan Kebudayaan dilandasi oleh:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

5
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan

Program Percontohan Desa Pemajuan Kebudayaan juga wajib memperhatikan:

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

c. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional

d. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

6
BAB 2 GAMBARAN UMUM DESA
2.
2.1. Sejarah Desa Poto
Desa Poto adalah salah satu Desa dalam Wilayah Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten
Sumbawa. Desa Poto berasal dari Desa Bekat Loka yang terdiri dari 3 Dusun yaitu Dusun Poto,
Dusun Bekat, dan Dusun Malili. Dengan seiring berjalannya waktu terjadi pemekaran wilayah
Desa Bekat Loka yang mana telah berganti nama menjadi Desa Poto yang terdiri dari 7 (tujuh)
Dusun dan Dusun Malili menjadi milik Wilayah Desa Berare.
Masyarakat ketiga dusun tersebut memiliki nenek moyang dan asal-usul yang sama.
Desa asal yang bernama Bekat tersebut terletak di tengah persawahan yang sering disebut
Orong-Rea. Orong-Rea menghampar seluas lebih dari 1000 Ha mulai dari bukit Berare di
sebelah selatan sampai ke Desa Pungkit di sebelah utara. Sedangkan sebelah barat dan timurnya
dialiri oleh sungai yang bertemu di Brang-Panemung. Lokasi Orong-Rea ini berada di atas
Tana-ela (Tanah-lidah) mirip delta.
Wilayah Bekat itu persis berada di tengah hamparan persawahan tersebut, ditandai oleh
bukit pekuburan tua yang bernama bukit Ponan. Di bukit Ponan itulah terdapat makam para
leluhur masyarakat Bekat. Sekitar 300 meter di sebelah tenggara bukit Ponan ditandai sebagai
bekas desa Bekat, sehingga lokasi tersebut disebut Bekat Loka (Bekat Tua), yang kini
seluruhnya sudah menjadi sawah yang subur.
Ada tiga alasan mengapa mereka berpisah membentuk permukiman baru di Dusun
Melili, Dusun Lengas, dan Dusun Poto adalah:
1. Penduduk semakin bertambah, sementara lahan pemukiman sudah menyempit, agar tidak
merusak persawahan yang telah ada
2. Mendekatkan diri pada lahan-lahan garapannya
3. Menghindari bahaya banjir yang hampir setiap tahun meluap ke Bekat Loka.
Berdasarkan alasan tersebut sehingga saat ini dusun Poto dan Lengas menempati aliran
sungai di kaki bukit Langko sebelah barat persawahan, sedangkan dusun Melili walaupun masih
tetap berada di tengah persawahan, tetapi menempati kaki bukit Melili, sebuah bukit batu cadas
di sebelah timur, dekat dengan aliran sungai.
7
Sampai saat ini penduduk wilayah Desa Poto masih memegang teguh adat istiadat yang
disebut Ponan. Desa Poto merupakan salah satu wilayah yang berpotensi menjadi desa wisata di
Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa karena terdapat Festival Ponan yang rutin
diadakan setiap tahun.

2.2. Aspek Geografi dan Demografi Penduduk


Desa Poto merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten
Sumbawa memiliki luas wilayah 1.367 Ha. Secara administrasi wilayah Desa Poto berbatasan
dengan Desa Sebewe di sebelah utara, Desa Moyo di sebelah selatan, Desa Seketeng di
sebelang barat, dan Desa Berare di sebelah timur. Desa Poto terdiri dari 7 (tujuh) dusun yaitu
Dusun Poto, Dusun Bekat, Dusun Samri, Dusun Tengke A, Dusun Tengke B, Dusun Bekat
Tengah, dan Dusun Bekat Pungka. Pada saat terjadi pemekaran desa, wilayah Desa Poto terbagi
menjadi 8 RW dan 24 RT.

Gambar 2.1 Peta Administrasi Desa Poto, Kecamatan Moyo Hilir

Berdasarkan hidrologinya, aliran-aliran sungai yang ada di wilayah Desa Poto


membentuk pola Daerah Alirah Sungai (DAS). Selain itu, mata air utama yang dapat digunakan
sebagai sumber air untuk pertanian yang terdapat di Desa Poto diantaranya adalah sbb:
8
1) Air Saluran Kiri dan Kanan Bendungan Batu Bulan
2) Air sungai dan kali sebagaimana tersebut diatas.
Jumlah penduduk Desa Poto sampai dengan Tahun 2017 berjumlah 2.732 jiwa dengan
kepadatan mencapai 200 jiwa per km2. Dari jumlah penduduk tersebut terdapat 1.369 laki-laki
dan 1.363 perempuan, dengan demikian Desa Poto mempunyai sex ratio sebesar 100,44. Desa
Poto merupakan desa yang memiliki proporsi jumlah penduduk terbesar keempat di Kecamatan
Moyo Hilir, dengan proporsi sebanyak 11%. Jumlah rumah tangganya sebanyak 706 dengan
rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3,83 orang. Berikut merupakan jumlah penduduk
Desa Poto digolongkan berdasarkan beberapa hal, antara lain jenis kelamin, angka kelahiran
dan kematian, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2017
No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (jiwa)

1. Laki-laki 1.369

2. Perempuan 1.363

Sumber: Kecamatan Moyo Hilir dalam Angka 2018, BPS Kab. Sumbawa

Tabel 2.2 Angka Kelahiran dan Kematian Tahun 2017


No. Angka Lahir & Mati Jumlah Penduduk (jiwa)

1. Lahir 1.369

2. Mati 1.363

Sumber: Kecamatan Moyo Hilir dalam Angka 2018, BPS Kab. Sumbawa

Dimensi penduduk dalam pembangunan memiliki kedudukan yang sangat penting dan
sangat berpengaruh dalam perkembangan serta kemajuan pembangunan wilayah, penduduk
merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah. Berdasarkan kelompok umur, populasi penduduk Desa Poto sampai dengan
Desember tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2014
No. Kelompok Umur Jumlah Penduduk (jiwa)

1. ≤ 1 tahun 27

9
2. ≥ 1 tahun 200

3. 5 ≤ 10 tahun 163

4. 10 ≤ 25 tahun 656

5. 25 ≤ 60 tahun 1.274

6. 60 tahun ke atas 2017

Sumber Data : RPJM Desa Poto 2014 – 2019

2.3. Penggunaan Lahan


Pada umumnya, lahan yang terdapat di Desa Poto digunakan secara produktif dan
sebagian besar berupa sawah yaitu seluas 770 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Desa
Poto memiliki sumber daya alam yang memadai dan siap untuk diolah. Berikut ini luas lahan
menurut jenis penggunaannya:
Tabel 1.4 Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaannya Tahun 2014
No. Jenis Luas Penggunaan Lahan (Ha)

1. Sawah 770

2. Tegalan 441

3. Perkebunan 20

4. Hutan Rakyat 48

5. Tambak/Kolam 15

6. Permukiman 73

Sumber: Kecamatan Moyo Hilir dalam Angka 2018, BPS Kab. Sumbawa

2.4. Kondisi Sosial-Ekonomi Desa


Gambaran bidang pendidikan di Desa Poto dapat diukur melalui Angka Partisipasi
Sekolah (APS), Rasio Ketersediaan Sekolah, rasio guru/murid, kualifikasi guru, angka putus
sekolah dan tingkat kerusakan bangunan kelas. Berikut merupakan gambaran Pendidikan pada
tingkat PAUD – SLTA tahun 2014:
10
Tabel 1.5 Gambaran Pendidikan pada Tingkat PAUD – SLTA Tahun 2014
No. Uraian Jumlah Murid
1. PAUD 63
2. SD 288
3. SLTP 69
4. SLTA 0
Jumlah 420
Sumber Data : RPJM Desa Poto 2014 – 2019

Kesejahteraan ekonomi masyarakat suatu desa dapat diketahui dari komposisi jumlah
masyarakat miskin, masyarakat menengah dan masyarakat kaya sebagaimana dalam tabel
dibawah ini:

Tabel 1.6 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun 2014


No. Tingkat Kesejahteraan Jumlah Keluarga
1. Keluarga Prasejahtera 35
2. Keluarga Sejahtera 1 211
3. Keluarga Sejahtera 2 332
4. Keluarga Sejahtera 3 87
5. Keluarga Sejahtera 3 plus 17
Jumlah 682
Sumber Data : RPJM Desa Poto 2014 – 2019

Pembangunan manusia sebagai insan dan sumber daya pembangunan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, dilakukan pada seluruh siklus hidup manusia sejak dalam
kandungan dingga lanjut usia. Upaya tersebut dilandasi oleh pertimbangan bahwa kualitas
manusia yang baik ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangannya sejak dalam
kandungan. Selama tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 berbagai program telah dilaksanakan
untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia di Desa Poto.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi bertujuan
untuk mensejahterakan masyarakat agar hidup mandiri, khususnya masyarakat yang masih
hidup dibawah garis kemiskinan serta Penyandang Masalah  Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Dalam pengertiannya Penyandang  Masalah Kesejahteraan Sosial  adalah; seseorang,  Keluarga,
11
Kelompok Masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat
melakukan fungsi sosialnya,sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani,
maupun rohani  dan sosial secara memadahi dan wajar.  Hambatan kesulitan dan gangguan
tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, keterbelakangan, dan perubahan
lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung, seperti terjadinya bencana.
Sebagaimana sebagian besar desa-desa lainnya di Kabupaten Sumbawa, mayoritas
masyarakat Desa Poto memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Secara rinci mata
pencaharian pokok masyarakat Desa Poto adalah sebagai berikut:
Tabel 1.7 Mata Pencaharian Pokok Penduduk Tahun 2014
No. Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
1. Petani 600 302
2. Buruh tani 168 150
3. PNS 45 21
4. Pedagang keliling/Bakulan - 37
5. Pengusaha - -
6. Pensiunan PNS 8 3
7 Nelayan - -
8 TKI/TKW - 35
Jumlah 821 548
Sumber Data : RPJM Desa Poto 2014 – 2019

Desa Poto merupakan daerah pertanian serta disamping itu nelayan yang
memanfaatkan genangan bendungan Batu Bulan, hal ini sangat menunjang tarap hidup warga
seandainya di bandingkan dengan beberapa tahun kebelakang. Meskipun pada kenyataannya
persaingan untuk mendapatkan kesempatan kerja tersebut cukup terbatas. Kondisi ekonomi
didalam Desa Poto cukup variatif .
Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan
untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, desa mempunyai sumber
pendapatan. Selain Pendapatan Asli Desa senilai Rp. 81.650.000,-. Sumber pendapatan desa
yang lain adalah berupa Alokasi Dana Desa (ADD) senilai Rp. 176.960.269,-. Alokasi dana
desa sebagian besar atau hampir 80% dialokasikan untuk belanja aparatur yaitu berupa
tunjangan aparat desa dan insentif anggota BPD.

12
BAB 3 POTENSI DESA
3.
3.1. Keragaman Jenis Objek Pemajuan Kebudayaan di Desa

Desa Poto memiliki banyak keragaman kebudayaan, dari total 186 Objek Pemajuan
Kebudayaan yang telah teridentifikasi melalui PPKD Kabupaten Sumbawa, dengan rincian
sebanyak 90 seni, 7 manuskrip, 22 cagar budaya, 11 ritus, 8 adat istiadat, 5 pengetahuan
tradisional, 10 permainan rakyat, 5 tradisi lisan, 6 teknologi tradisional, 3 olahraga tradisional,
dan 19 bahasa. Hampir sebagian ragam Objek Pemajuan Kebudayaan tersebut dapat ditemukan
di Desa Poto.
Desa Poto memiliki potensi pariwisata berbasis budaya, alam, dan buatan yang apabila
dirangkai dan dikelola secara sistematis memiliki potensi sebagai penggerak ekonomi
masyarakat tanpa meninggalkan warisan budaya. Beberapa Objek Pemajuan Kebudayaan yang
sangat erat dengan Desa Poto adalah Sedekah Adat Ponan, kesenian Ratib dan Sakeco, Rebana
Rea dan Rebana Ode, serta tenun atau yang sering disebut Kre Alang.
Sedekah Adat Ponan atau juga dikenal dengan sebutan Lalo Ko Ponan (Berziarah ke
Ponan) adalah sebuah ritus yang dilakukan setiap tahun untuk mengucapkan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa untuk hasil bumi yang telah diterima dan yang akan datang. Kegiatan
Sedekah Ponan berpusat di Bukit Ponan yang berada di tengah Kawasan persawahan atau yang
sering disebut Orong Rea. Bukit Ponan merupakan tempat dimana makam Haji Batu berada.
Haji Batu merupakan leluhur dari masyarakat Desa Poto yang kisah hidupnya menjadi dasar
pelaksanaan Sedekah Ponan. Sebagai sebuah ritus sedekah tani, Sedekah Ponan sangat unik
karena makanan yang disediakan hanya boleh diolah dengan cara direbus, dikukus, atau dibakar
serta berbahan baku beras, kelapa, dan pisang. Hal tersebut dikarenakan bungkus dan sisa
makanan dari Sedekah Ponan akan dibuang ke sawah yang menunjukkan filosofi ‘apa yang
berasal dari tanah akan kembali ke tanah’. Sedekah Ponan tidak hanya dihadiri oleh masyarakat
13
Desa Poto dan sekitarnya. Bahkan kini Sedekah Ponan telah menjadi salah satu atraksi
pariwisata bagi Kabupaten Sumbawa.
Secara etimologis Kre Alang bermakna ‘Kain Loteng’. Hal tersebut dikarenakan alat
tenun tradisional Sumbawa atau Alat Sesek merupakan bagian dari arsitektur rumah panggung
Sumbawa yang terletak di bagian atas rumah. Kre Alang adalah kain tenun dengan motif khas
Sumbawa yang mencerminkan filosofi daur hidup dari masyarakat Sumbawa. Mulanya kain ini
digunakan untuk keperluan adat, seperti sebagai kain, selendang (kobase), dan tutup kepala.
Menenun buat masyarakat Sumbawa merupakan kegiatan yang sudah menjadi tradisi.
Bahkan terdapat ungkapan masyarakat setempat ‘lamin no to nesek, siong tau swal’ yang
artinya bila tidak bisa menenun, bukanlah perempuan. Terdapat beberapa proses dalam
membuat kain tenun, antara lain:
1. Proses memintal, yaitu mengubah kapas menjadi benang yang akan digunakan sebagai
bahan dasar menenun.
2. Membuat pola/merane, yaitu proses pengaturan benang untuk mendapatkan motif yang
diinginkan dengan bantuan alat yang sangat unik.
3. Menenun/menesek, setelah benang tersusun dengan pola yang telah ditentukan, maka proses
selanjutnya adalah menenun atau menesek.
Setiap motif dalam Kre Alang dituangkan dalam bentuk simbol-simbol yang masing-
masing membawa pesan dan nilai yang terkandung di dalamnya. Ada beberapa motif yang
popular dibuat oleh para pengrajin, diantaranya adalah Lonto Engal (ragam sulur), Selimpat
(jaringan), Kemang Setange (ragam bunga), dan Pohon Hayat. Motif Selimpat menyimbolkan
cinta kasih dan kekeluargaan. Motif Lonto Engal bermakna daur hidup, kesinambungan daur
hidup, segala sesuatu berlangsung secara berkelanjutan, dan juga menyimbolkan sosok pekerja
keras. Motif Pohon Hayat menggambarkan akar, pohon, daun, bunga, dan buah yang bermakna
perjalanan manusia menuju perbaikan, menyimbolkan tinkat kehidupan manusia. Dapat juga
bermakna sebagai sumber dari kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran.
Ratib adalah seni pertunjukan masyarakat Poto yang berkembang dengan pengaruh
ajaran Islam yang kental. Tradisi ini dimainkan oleh sekelompok orang dengan alat musik
rebana dengan berbagai ukuran. Kitab Hadrah merupakan syair yang disenandungkan ketika
Ratiban sedang berlangsung. Isi dari kitab Hadrah sendiri adalah puji-pujian kepada Allah
SWT. Sakeco merupakan sebuah tradisi lokal khas Sumbawa yang dimainkan oleh dua orang
pria dengan menggunakan rebana yang sama jenis, yaitu Rebana Rea dan Rebana Ode sebagai
instrumennya. Penggunaan rebana ditentukan dengan nada lagu dan isi Sakeco. Rebana Ode

14
dimainkan dengan tempo lebih lincah, agresif, dan variatif, sedangkan untuk Rebana Rea
sebaliknya. Syair yang digunakan untuk mengiringi Sakeco umumnya menggunakan Lawas.
Rebana merupakan alat musik pukul yang digunakan saat memainkan Ratib dan Sakeco.
Dibuat dari kayu utuh, selaputnya menggunakan kulit kambing betina yang memiliki karakter
ketebalan yang lebih tipis namun lebih lentur dibandingkan kulit kambing jantan, aga
menimbulkan suara nyaring saat dipukul. Rebana dengan ukuran besar disebut Rebana Rea,
sedangkan ukuran yang lebih kecil dikenal dengan Rebana Ode.
Perspektif keberlanjutan dalam pemajuan kebudayaan di Desa Poto ditentukan oleh 3
(tiga) aspek yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Secara rinci aspek tersebut
berkaitan dengan:
1. Secara ekonomi mendatangkan manfaat
2. Secara sosial dan budaya dapat diterima di tingkat komunitas
3. Secara lingkungan tidak terjadi perusakan ekosistem pendukung.

3.2. Identifikasi Lembaga Kebudayaan di Desa

Upaya pembangunan berbasis kebudayaan di Desa Poto dalam rangka melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai budaya di
tengah semakin derasnya arus informasi dan kebudayaan global telah dilakukan secara gotong
royong. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat berkomitmen untuk menghidupkan kembali
aktivitas yang berakar dari tradisi dan kearifan budaya lokal.
Pemerintah Kabupaten Sumbawa juga melakukan upaya pembangunan berbasis
kebudayaan di tingkat desa, hal ini didorong dengan adanya Peraturan Bupati No. 10 Tahun
2017 tentang Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa sesuai dengan amanat Permendagri No. 18 Tahun 2018 mengenai Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa. Namun Desa Poto, belum memiliki turunan
yang merupakan bentuk implementasi berupa Peraturan Desa mengenai kelembagaan desa.
Meskipun belum memiliki Peraturan Desa yang mengatur mengenai kelembagaan desa,
namun sudah ada lembaga adat yang dibentuk untuk mewujudkan upaya pembangunan desa
berbasis kebudayaan, yaitu Lembaga Adat Ponan. Selain itu, Desa Poto juga memiliki
beberapa lembaga kebudayaan swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai pelestari
kebudayaan yang ada di desa. Lembaga tersebut yaitu Lembaga Analisis dan Kajian
Kebudayaan Rakyat (LINKKAR), Asosiasi Pengrajin Tradisional Samawa (APDISA), dan
sanggar kesenian tradisional.
15
Sanggar kesenian tradisional yang ada di Desa Poto antara lain Sanggar Permata,
Sanggar Matanu, dan Sanggar Cindehulaeng. Pada sanggar-sanggar tersebut proses regenerasi
kesenian Ratib dan Sakeco berjalan. Selain sanggar, Ratib dan Sakeco juga menjadi muatan
lokal pada kurikulum di Kabupaten Sumbawa.

3.3. Identifiksi Sumber Daya Manusia (SDM) Kebudayaan di Desa

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam upaya
pemajuan kebudayaan. Sumber Daya Manusia akan tersedia apabila tercipta proses regenerasi
yang baik. Upacara Sedekah Adat Ponan merupakan sebuah tradisi yang melibatkan seluruh
masyarakat Desa Poto. Regenerasi pada upacara ini berjalan turun-temurun pada masyarakat.
Saat berlangsungnya Sedekah Adat Ponan, setiap warga yang ada di Desa Poto
menyiapkan/memasak makanan untuk upacara tersebut. Namun, saat ini ketersediaan sumber
daya manusia untuk penyelenggaraan Sedekah Adat Ponan mulai berkurang kerena kesibukan
masyarakat. Sehingga mulai bermunculan bisnis penjualan makanan khas Sedekah Adat Ponan
bagi keluarga yang tidak sempat lagi memasak.
Pada tenun Desa Poto atau yang biasa disebut Kre Alang, regenerasi perajin masih
berjalan dengan baik dan terjadi secara alamiah dalam keluarga. Namun belum ada strategi
mewariskan pengetahuan pembuatan Kre Alang secara sistematis. Selain itu proses produksi
Kre Alang masih berjalan lamban karena masyarakat Desa Poto masih memiliki mata
pencaharian utama sebagai petani. Berdasarkan hasil pencatatan, ada sekitar 300 penenun yang
ada di Desa Poto atau sekitar 11% dari jumlah penduduk Desa Poto.

Tabel 3.1 Jumlah dan Persentase SDM Kebudayaan


Objek Pemajuan Jumlah SDM (jiwa) Persentase
Kebudayaan

Kre Alang 300 11%

Ratib dan Sakeco 90 3%

Sumber: pengolahan data, 2019

Regenerasi pada kesenian Ratib dan Sakeco masih berjalan dengan baik. Biasanya
strategi pewarisan pengetahuan kepada generasi muda mengenai Ratib terjadi di sekolah
agama. Ratib juga biasa diselenggarakan pada saat Maulid Nabi. Pelaku kesenian Ratib dan
16
Sakeco berjumlah sekitar 90 orang atau hanya sekitar 3% dari jumlah penduduk Desa Poto.
Kesenian Sakeco diajarkan melalui sanggar, yaitu Sanggar Cindehulaeng, Sanggar Permata,
dan Sanggar Matanu. Ketiga sanggar tersebut sudah cukup tenar dan berpengaruh di
Kabupaten Sumbawa. Pelaku kesenian Ratib dan Sakeco saat ini sudah mengalami modifikasi,
dahulu hanya dilakukan oleh laki-laki namun saat ini sudah mulai dilakukan oleh perempuan.

Persentase SDM Kebudayaan di Desa Poto

12%

10%

8%

6%

4%

2%

0%
SDM Kre Alang SDM Ratib dan Sakeco

Sumber: pengolahan data, 2019

17
BAB 4 TANTANGAN PEMAJUAN KEBUDAYAAN DI DESA
4.
4.1. Masalah di Bidang Pelindungan Kebudayaan (terkait Pendataan, Pemeliharaan,
Pengamanan Objek Budaya)
Permasalahan dalam bidang pelindungan, antara lain:
1. Kawasan Makam Haji Batu sebagai pusat kegiatan Sedekah Adat Ponan belum tertata
dengan baik dan tidak terawat.
2. Bahan baku penyelenggaraan Sedekah Adat Ponan seperti kelapa, daun pisang, dan
bambu sudah tidak tersedia lagi di Desa Poto.
3. Lahan pertanian di sekitar Makam Haji Batu terancam alih fungsi.
4. Minimnya pendataan para pelaku tenun Kre Alang.
5. Ragam motif Kre Alang belum terdokumentasi dengan baik.
6. Pelaku seni Ratib dan Sakeco belum terdata secara optimal.

4.2. Masalah di Bidang Pengembangan Kebudayaan (terkait Pengkajian dan


Pengayaan Beragaman Objek Budaya)
Permasalahan dalam bidang Pengembangan, antara lain:
1. Rencana induk pengembangan kawasan Sedekah Adat Ponan belum tersedia.
2. Proses produksi Kre Alang yang masih sangat lamban.
Hal ini dikarenakan penenun Kre Alang sebagian besar masih bermata pencaharian
sebagai petani, sehingga proses produksi dilakukan ketika ada pesanan. Hal tersebut
juga membuat ketersediaan Kre Alang tidak dapat memenuhi permintaan dengan cepat.
3. Belum ada pengembangan motif dan bahan pembuatan Kre Alang.
4. Bahan baku pembuatan Kre Alang belum tersedia dengan efisien di Desa Poto.
Dahulu ada pemintalan benang di Sumbawa, namun saat ini seluruh benang harus dibeli
dari luar daerah sehingga Desa Poto sangat bergantung pada daerah lain.
5. Masyarakat Desa Poto belum dapat menerima gagasan untuk memodifikasi Kre Alang.

18
4.3. Masalah di Bidang Pemanfaatan Kebudayaan (terkait Pemberdayaan Objek
Budaya untuk Penguatan Karakter atau Pemanfaatan Ekonomis)
Permasalahan dalam bidang Pemanfaatan, antara lain:
1. Sedekah Adat Ponan belum menjadi penggerak ekonomi masyarakat Desa Poto.
2. Kre Alang belum menjadi komoditas dominan dalam pasar tenun lokal maupun
regional.
3. Desa Poto belum menjadikan rebana sebagai komoditas untuk dijual keluar daerah.
4. Ratib dan Sakeco belum menjadi atraksi rutin dalam even pariwisata.
5. Teknik penyajian/pertunjukan Ratib dan Sakeco belum optimal.

4.4. Masalah di Bidang Pembinaan Lembaga dan SDM Budaya (terkait Pelatihan dan
Regenerasi SDM Budaya serta Tata Kelola Lembaga Budaya)
Permasalahan dalam bidang Pembinaan, antara lain:
1. Ketersediaan SDM untuk penyelenggaraan Sedekah Adat Ponan mulai berkurang karena
kesibukan masyarakat.
2. Belum ada strategi mewariskan pengetahuan pembuatan Kre Alang secara sistematis di
Desa Poto.
3. Semakin berkurangnya perajin Rebana Rea dan Rebana Ode sebagai alat musik
pengiring Ratib dan Sakeco.
4. Belum ada lokasi pembinaan Ratib dan Sakeco yang representatif.

19
BAB 5 RENCANA PEMAJUAN KEBUDAYAAN DI DESA
5.

Dalam rangka meningkatkan pemajuan kebudayaan di tingkat desa, pemerintah Desa Poto
bersama dengan masyarakat telah melakukan beberapa program terkait pemajuan kebudayaan yang
telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tahun 2014 –
2019, antara lain:

1. Pelaksanaan Sedekah Adat Ponan


2. Fasilitasi penyediaan bahan baku Kre Alang dalam bentuk hibah perorangan.

Tabel 5.1 menunjukkan program terkait upaya pemajuan kebudayaan yang telah dilakukan
Pemerintah Desa Poto dari tahun 2014 – 2019, yaitu sebagai berikut:

Tabel 5.1 Program Terkait Kebudayaan Tahun 2014 - 2019

Program Terlaksana
No
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Dukungan Dukungan Dukungan Dukungan Dukungan Dukungan
festival festival festival festival festival festival
1
kesenian kesenian/ kesenian/ kesenian/ kesenian/ kesenian/
Pasaji Ponan Ponan Ponan Ponan Ponan Ponan
Pembinaan
Peningkatan
Talut JUT pengrajin &
kualitas
Ponan dan Panggung fasilitasi Pembinaan
2 JUT Ponan penyelengga
JUT tujuan hiburan penyediaan lembaga adat
raan tradisi
Ponan bahan baku
adat Ponan
Kre Alang
Peningkatan Peningkatan
Dukungan
Festival kualitas Pembinaan kualitas
Pembinaan pembangun
3 kesenian/ penyelenggar lembaga penyelenggar
pengrajin an gedung
HUT RI aan tradisi adat aan tradisi
Seni Budaya
adat Ponan adat Ponan
Festival
Pembinaan
4 - - - kesenian/ -
lembaga adat
HUT RI

Untuk menjawab permasalahan Pemajuan Kebudayaan terkait Objek Pemajuan Kebudayaan


Sedekah Adat Ponan, Kre Alang, serta Ratib dan Sakeco, pemerintah Desa Poto merencanakan
program usulan Pemajuan Kebudayaan untuk 5 (lima) tahun ke depan yang harapannya dapat

20
dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana
Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Program usulan Pemajuan Kebudayaan tersebut antara lain:

1. Menjadikan Sedekah Adat Ponan sebagai kegiatan unggulan Desa Poto guna meningkatkan
daya tarik pariwisata.
2. Pembinaan kepada perajin Kre Alang untuk mengubah pola piker konservatif menjadi terbuka
terhadap gagasan untuk melakukan modifikasi Kre Alang sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan pasar.
3. Peningkatan peran BUMDes dalam penyediaan bahan baku maupun penjualan Kre Alang.
4. Regenerasi perajin Rebana Rea dan Rebana Ode sebagai alat pengiring dalam kesenian Ratib
dan Sakeco.
5. Pembangunan sanggar dan pusat pelestarian Ratib dan Sakeco.

Dari program usulan tersebut, selanjutnya Pemerintah Desa Poto menerjemahkan proyeksi
program Pemajuan Kebudayaan selama 5 (lima) tahun tersebut ke dalam kerangka perencanaan
yang lebih rinci, yaitu indikator capaian. Indikator capaian digunakan untuk mengukur keberhasilan
dari program yang telah diusulkan. Indikator capaian yang ada di Desa Poto dapat dilihat pada tabel
5.2.

Tabel 5.2 Indikator Capaian

Objek
Tahun ke- Tahun ke-
Pemajuan Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 Kondisi
4 5
Kebudaya 2020 2021 2022 Eksisting
2023 2024
an
Meningkatn
Berkembang ya kapasitas Tumbuhny
Terwujudn
Aksesibilitas nya penyelengg a Usaha
ya destinasi
yang Budidaya ara dan Kecil dan
wisata
memadai pisang dan pendukung Menengah
Sedekah religi/
kelapa Sedekah (UMKM)
Adat budaya
Adat Ponan
Ponan yang
Tersediany
Tersedianya refresentati
Tertatanya Tersedianya a
infrastruktur f
lokasi bukit infrastruktu infrastrukt
transpotasi/  
ponan r sanitasi ur tempat
tempat parkir
ibadah
Meningkatn Tersediany
Meningkatny Terwujudn
ya Meningkatn a sarana
a produksi ya sentra
Kre Alang kapasitas ya jumlah promosi
dan kualitas produksi
pengrajin penenun dan
produk Kre Alang
dan pemasaran
21
terbentuknya
kelembagaan
pengrajin Kre Alang
dan pelaku
usaha
Tersediany
Terlaksanan a sanggar Terwujudn
Meningkatny
nya proses Terbangunn Ratib dan ya pusat
Ratib dan a SDM
regenerasi ya sanggar Sakeco pelestarian
Sakeco pengrajin
bagi siswa seni yang Ratib dan
Rebana
SD dan SMP refresentati Sakeco
f

Upaya Pemajuan Kebudayaan akan berjalan optimal apabila terdapat sinergitas dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan komitmen antar
pemangku kepentingan, baik Pemerintah Kabupaten Sumbawa, Pemerintah Desa Poto, dan
masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima dampak (positif maupun negatif) yang menentukan
keberlanjutan program. Strategi internaliasi dibutuhkan pada regulasi tingkat desa yaitu dengan
memasukan program usulan dan indikator capaian ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), dan Anggaran Pendapatan
Belanja Desa (APBDes). Harapannya, program-program usulan tersebut dapat berdampak pada
aktivitas budaya masyarakat Desa Poto dan nilai budaya tersebut menjadi rujukan kebijakan publik.

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai