Anda di halaman 1dari 3

Perkembangan PLTA di Indonesia

Perkembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit, maka dari itu dibutuhkan investor untuk menjalankan
pengembangannya. PLTA berhasil menarik minat investor yaitu melalui perusahaan mantan Wakil Presiden RI Juduf
Kalla, independent power producer (IPP) menggelontorkan dana sebesar Rp 17,1 triliun untuk membangun dua PLTA
di Sulawesi, yaitu Poso berkapasitas 515 MW dan PLTA Malea berkapasitas 90 MW.

PLTA Poso, yang berada di kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, sebagai pembangkit peaker didukung oleh
beberapa faktor.
1. Live storage cukup besar yaitu Danau Poso.
2. Regulating dam yang bisa mengatur debit keluaran dari Danau Poso yang membuat pembangkit ini dapat
beroperasi dengan kapasitas penuh pada jam puncak sepanjang tahun.
3. Mampu start-stop dengan cepat.
4. Sinkronisasi yang dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 15 menit.
5. Mampu merespons perubahan beban dengan cepat sehingga memperbaiki kualitas listrik pada sistem
jaringan.
6. Berbeda dengan PLTA umumnya yang menggunakan konsep waduk, PLTA Poso menggunakan sistem
pengelolaan run-off river (ROR), dimana air dipertahankan selama 24 jam, hanya menggunakan bendungan
atau tanggul berukuran cukup kecil sebagai penahan atau gerbang air, kemudian dikembalikan lagi pada
sistem sungai.

PLTA Poso menyumbang sekitar 10,69% dari total bauran EBT sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan.
Pembangkit ramah lingkungan ini telah terinterkoneksi dengan saluran transmisi 275 kV ke Provinsi Sulawesi Selatan.
Tak hanya itu, PLTA Poso juga telah tersambung dengan saluran transmisi 150 kV dari pembangkit ke Kota Palu,
Sulawesi Tengah.
Adapun PLTA Malea yang berkapasitas 90 MW di aliran Sungai Saddang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi
Selatan. Pembangkit ini dikembangkan oleh PT Malea Energy, anak usaha PT Bukaka Teknik Utama yang juga milik
Kalla Group.

PLTA ini menggunakan sistem pengambilan air run off river dengan bangunan utama berupa area pengambilan,
area saluran penghantar, area tangki peredam, dan area gedung pembangkit. Dengan menggunakan dua unit mesin
pembangkit yang masing-masing memiliki kapasitas 45 MW, total kapasitas daya yang didapat mencapai 2x45 MW
atau 90 MW. Dalam 10 tahun ke depan, PLN dapat membeli listrik dari PLTA Malea sebesar Rp1.398,53 per kilowatt
hour (kWh). “Jadi PLN membeli per KWh. Kapasitas yang dibutuhkan PLN saat ini 60 persen daya mampu dari PLTA
Male. Jika 90 MW, PLN butuh 6%. Setiap jam kita kirim,” ujar mantan Bupati Tana Toraja ini. (Rachmat Ariadi).

Selain PLTA Poso dan PLTA Malea, sudah ada beberapa PLTA di Indonesia yang sudah berjalan, yaitu:

Nama PLTA Lokasi Kapasitas


Waduk Cirata Cianjur; Purwakarta; dan Bandung barat, Jawa Barat 1,008 MW
Waduk Saguling Bandung Barat, Jawa Barat 700-1400
MW
PLTA Sigura-Gura Danau Toba, Sumatera Utara 286 MW
PLTA Musi Sungai Musi, Sumatera Selatan 210 MW
Komitmen Indonesia pada PLTA
Pemerintah berencana mengganti pasokan listrik yang apada awalnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang
bersumber dari batu bara diganti menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang pastinya bersumber dari air.
Pemerintah melakukan ini untuk mewujudkan energi hijau dan berkelanjutan. Pemerintah tengah menyiapkan skema
sumber energi bersih untuk menggantikan PLTU batu bara.

Komitmen pemerintah ini sangat dinantikan untuk mengoptimalkan energi terbarukan, khususnya untuk tenaga air.
Dari potensi sebesar 75.000 megawatt, pemanfaatan tenaga air menjadi listrik baru sekitar 6.100 megawatt. Selain
murah, listrik dari tenaga air lebih ramah lingkungan. Salah satu yang menjadi opsi sumber energi bersih untuk
pembangkit adalah hydro power. Hanya saja dalam situasi saat ini pembangunan PLTA hydropower tidak bisa
dilakukan di Jawa, melainkan di Kalimantan Utara dan Mamberamo Papua. Pemerintah pun berencana akan membuat
jaringan transmisi antar pulau sebagai penyangga. Menurutnya pembangunan jaringan transmisi memiliki ongkos yang
lebih murah dan harus segera disediakan lebih dulu.

Dikarenakan potensi tenaga hidro di Indonesia sedemikian besar, banyak investor yang tertarik untuk
mengembangkan potensi tersebut. Namun, tiadanya kepastian aturan mengenai harga listrik energi terbarukan
membuat mereka menahan diri. Sempat ada masanya pemerintah dan PLN cukup agresif mengoptimalkan energi
terbarukan. Namun, seiring pergantian menteri terkait, berubah pula semangatnya. Aturan yang dibuat kerap berubah
dan membuat bingung investor.

Begitu juga dengan penyusunan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, yang tak
kunjung terbit. RUPTL secara umum berisi rencana pembangunan pembangkit, proyeksi kebutuhan tenaga listrik, serta
target bauran energi pembangkit. Rencana pengaturan tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan lewat
peraturan presiden juga belum jelas. Namun, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menyatakan, pemerintah tetap berkomitmen
mengoptimalkan energi terbarukan. Dalam draf RUPTL 2021-2030, porsi energi terbarukan untuk sumber energi
pembangkit listrik mencapai 51,6 persen.

Anda mungkin juga menyukai