Anda di halaman 1dari 7

GERIATRI

A. Kategori Usia
Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Kriteria kelompok lanjut usia menurut
Departemen Kesehatan RI, yaitu kelompok usia lebih dari 60 tahun. Sedangkan
menurut WHO, usia yang termasuk kelompok geriatri adalah lebih dari 65 tahun.
Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi,
fisiologi, psikologi, dan juga sosiologi. Kategori umur menurut Depkes RI (2009):

1) Masa balita: 0-5 tahun


2) Masa kanak- kanak : 5-11 tahun
3) Masa remaja awal : 12-16 tahun
4) Masa remaja akhir : 17-25 tahun
5) Masa dewasa awal : 26-35 tahun
6) Masa dewasa akhur : 36-45 tahun
7) Masa Lansia Awal : 46-55 tahun
8) Masa lansia akhir : 56-65 tahun
9) Masa manula : > 65 tahun

B. Penyakit-penyakit pada lansia


Berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 diketahui bahwa prevalensi penyakit
yang sering diderita lansia adalah hipertensi, penyakit radang sendi, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), kanker, dan diabetes melitus. Hipertensi sendiri menduduki
peringkat kedua terbanyak setelah penyakit radang sendi.
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sangat umum terjadi pada lansia (60
tahun) dengan capaian prevalensi di Amerika Serikat sebanyak 60-80% per
individu. Hipertensi yang terjadi pada lansia (65 tahun lebih) merupakan suatu
masalah kesehatan masyarakat yang semakin meningkat dikaitkan dengan
peningkatan pada Systolic Blood Pleasure (SBP) lebih dari 140 mmHg dan
Diastolic Blood Pleasure (DBP) pada 90 mmHg yang mana akibat dari peningkatan
tersebut mengakibatkan terjadinya masalah kardiovaskular seperti stroke dan gagal
jantung dengan prevalensi kejadian masalah melebihi 50% pada orang dengan usia
yang lebih tua (70 tahun keatas) (Kjeldsen et al, 2016)
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC 7 adalah:
a. Diuretika, terutama jenis thiazide atau agonis aldosteron
b. Beta Blocker (BB)
c. CalciumChanelBlocker
d. Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
JNC VII merekomendasikan untuk
Pasien yang mengalami gagal jantung menggunakan obat golongan diuretik, beta
blocker, ACEI. Untuk pasien dengan infark miokard direkomendasikan penggunaan
beta blocker, ACEI dan antagonis aldosteron. Pada Pasien hipertensi disertai
diabetes mellitus direkomendasikan semua golongan obat kecuali ARB
2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya masa
tulang dan ada perubahan mikroarsitektur jaringan tulang, mengakibatkan
menurunya kekuatan tulang, meningkatnya kerapuhan tulang, dan resiko terjadinya
patah. Di Amerika Serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, 1 diantara
2-3 wanita post- menopause dan lebih dari 50% penduduk di atas umur 75-80 tahun.
Sekitar 80% penderita penyakit osteoporosis adalah wanita.
Anamnesis memegang peranan penting pada populasi geriatri. Tujuannya
adalah untuk faktor-faktor yang meningkatkan risiko “kepadatan tulang rendah”,
risiko jatuh dan akibat dari fraktur. Hal-hal diatas mencakup riwayat jatuh, jumlah
jatuh dalam setahun terakhir, gait, kesulitan menjaga keseimbangan serta fraktur
fragilitas. Faktor-faktor risiko lain yang telah disebutkan di atas juga perlu untuk
ditanyakan termasuk obat-obatan seperti glukokortikoid ataupun non-
glukokortikoid yang diketahui dapat menginduksi osteoporosis, lalu ditanyakan
pula riwayat fraktur akibat trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor
dan vitamin D.
Pada pemeriksaan fisik, tujuan utama yang ingin dicapai adalah : menilai risiko
terjadinya fraktur serta mengidentifikasi kemungkinan fraktur yang telah terjadi
namun belum terdiagnosis. Tinggi badan dan berat badan wajib diukur pada kasus
osteoporosis. Demikian pula gaya berjalan, deformitas tulang, range of motion
(ROM), ketidaksamaan panjang kaki, nyeri spinal (termasuk nyeri tekan pada
vertebra), pemeriksaan neurologi secara menyeluruh, jaringan parut pada leher
(bekas operasi tiroid), uji Get-Up-and-Go-Test (menilai kelemahan otot proksimal,
gait dan risiko jatuh), skrining fraktur vertebra dengan ditemukannya : (1)
berkurangnya tinggi badan >2 cm ; (2) jarak iga ke pelvis <2 jari ; (3) jarak-oksipital
ke-diding >5 cm (evidence level A). Lokasi kemungkinan fraktur yang perlu
diidentifikasi adalah vertebra, kolumna femur dan pergelangan tangan
Bifosfonat, merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana osteoporosis
khususnya bagi pasien dengan kontraindikasi terapi hormon, atau pada pasien laki-
laki. Bifosfonat memiliki efek penghambat osteoklas. Yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa absorbsi bifosfonat sangat buruk, oleh karena itu harus diberikan
dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air putih dan setelah itu
penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Efek samping bifosfonat
adalah hipokalsemia dan refluks esofagitis.
3. Diabetes Melitus
Diabetes merupakan kondisi kesehatan yang penting bagi populasi lanjut usia
(lansia); sekitar seperempat orang berusia di atas 65 tahun mengidap diabetes, dan
proporsi ini diperkirakan meningkat cepat dalam beberapa dekade mendatang.
Lansia dengan diabetes memiliki tingkat kematian dini lebih tinggi, cacat
fungsional, dan penyakit penyerta, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan
stroke, dibandingkan mereka yang tidak menderita diabetes. Pada lansia dengan
diabetes juga berisiko lebih besar untuk menderita beberapa sindrom geriatrik,
seperti polifarmasi, gangguan kognitif, inkontinensia urin, risiko jatuh, dan nyeri.
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Kriteria diagnosis DM:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam, atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/ dL 2 jam setelah tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik,
atau Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP)
Pengelolaan DM pada usia lanjut memerlukan penilaian aspek medis, mental,
fungsional, dan sosial untuk menyediakan kerangka kerja menentukan target dan
pendekatan terapeutik. Perhatian khusus harus diberikan pada komplikasi yang dapat
berkembang dalam waktu singkat dan/atau yang secara signifikan akan merusak
status fungsional, seperti komplikasi visual dan ekstremitas bawah.
4. Gagal Jantung
Prevalensi gagal jantung pada seluruh populasi berkisar antara 2 sampai 30%
dan yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh populasi. Angka ini cenderung
mengikuti pola eksponensial seiring usia, sehingga pada orang tua (70-80 tahun)
menjadi 10- 20%. Meskipun insidens relatif gagal jantung lebih rendah pada
perempuan, perempuan berkontribusi pada setidaknya setengah kasus gagal jantung
karena angka harapan hidup mereka lebih tinggi.
Di Amerika, prevalensi gagal jantung pada usia 50 tahun ialah sebesar 1%, pada
usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di Inggris, prevalensi gagal jantung pada usia 60-70
tahun sebesar 5% dan mencapai 20% pada usia 80 tahun, situasi yang sama terjadi
di Italia dan Portugal. DiCina, prevalensi gagal jantung pada usia 60 tahun ke atas
sebesar 0,9%. Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung muncul
setiap tahunnya di seluruh dunia.
Sama seperti dewasa muda, manifestasi klinis paling sering pada orang tua ialah
sulit bernafas, orthopnoe, edema, fatigue dan intoleransi kerja. Akan tetapi,
terutama pada usia 80 tahun ke atas dapat ditemukan atypical symptomatology yaitu
simptom tidak khas, sehingga gagal jantung pada orang tua sering over atau
underdiagnosed. Gejala sulit bernafas dan orthopnoe menjadi manifestasi gagal
jantung dengan penyakit yang mendasari berupa penyakit paru kronik, pneumonia
atau emboli pulmoner.
Pemeriksaan fisik pada orang tua dapat nonspesifik atau tidak khas. Tanda
klasik gagal jantung antara lain ronkhi paru, peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks abdominojugular, gallop S3 dan pitting edema ekstremitas bawah. Tetapi
ronkhi paru pada orang tua dapat menjadi tanda penyakit paru.
Tujuan utama penatalaksanaan gagal jantung pada orang tua ialah untuk
mengembalikan kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi gagal jantung
dan memperpanjang hidup. Tujuan sekunder ialah memaksimalkan kemandirian
serta kapasitas kerja dan mengurangi biaya perawatan. Untuk mencapai tujuan ini
terapi harus mencakup penanggulangan etiologi dan faktor pencetus, terapi
nonfarmakologi (nonmedikamentosa) dan farmakologi (medikamentosa).
Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa) antara lain dapat berupa:
a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung
b. Manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan
bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat
c. Latihan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik yang
berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan muskuloskeletal.
Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas
hidup pasien gagal jantung
d. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal
jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup
pasien.
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala. Gejala
dikurangi dengan cara menurunkan preload (aliran darah balik ke jantung),
afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki
kontraktilitas miokardium. Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian
golongan obat diuretik, ACE-inhibitor, penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen
inotropik positif, penghambat kanal kalsium, antikoagulan, dan obat antiaritmia.
5. PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Semakin bertambah usia semakin besar
risiko menderita PPOK serta penurunan fungsi kognitif. Tata laksana yang
digunakan memerlukan pendekatan kedokteran keluarga karena selain
menggunakan modalitas farmakologis dan non farmakologis, diperlukan pula
dukungan dari keluarga pasien. Penerapan pelayanan dokter keluarga yang berbasis
EBM pasien PPOK pada lansia dengan riwayat sebagai perokok aktif dengan
identifikasi faktor risiko dan klinis serta penatalaksanaan berdasarkan patient-
centered dan family approach.
PPOK disebabkan oleh adanya inflamasi kronis pada saluran nafas yang bersifat
progresif. Penyakit ini ditandai dengan terbatasnya aliran udara yang masuk ke
saluran pernafasan (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015).
PPOK merupakan salah satu penyakit yang tidak menular yang disebabkan oleh
paparan yang lama terhadap rokok, dan polusi. Salah satu gejala yang sering
ditemukan pada penderita PPOK yaitu adanya sesak nafas pada saat melakukan
aktivitas dan terganggunya aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editor.
Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition. New York: McGraw
Hill Education; 2015.
2. American Diabetes Association. 11. Older adults: Standards of medical care in
diabetes. Diabetes Care. 2018;41(Supplement 1):119–25
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.
4. Darmono B. Geriatri. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2009
5. Riskesdas. Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian RI;2013
6. Kuswardhani, T. Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut. J Penyakit
Dalam 2006; 7(2): 135-40.
7. Dumitru, I. Heart Failure. eMedicine. [Online] Nov 24, 2009. [Cited: January
14, 2010.] http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview.
8. Hanon O et al. Consensus of the French Society of Gerontology and Geriatrics
and the French Society of Cardiology for the management of coronary artery
disease in older adults. Archives of Cardiovascular Disease 2009:102:829-45

Anda mungkin juga menyukai