Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) meliputi berbagi proses patofisiologi yang berbeda
dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penuruan progresif dari laju filtrasi
glomeruslus (LFG).16 Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan National Kidney
Foundation dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan Nationaly Kidney Foundation
(K/DOQI).17
Kriteria

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, yang didefinisikan


dengan kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi :
 Kelainan patologis; atau
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencintraan
2. Laju filtrasi glomerulus <60 mL/min/1,73 m2 selama lebih dari 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.18 Istilah
penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) menggambarkan tahap dari penyakit ginjal kronik
dimana LFG < 15 mL/min/1,73 m2 dan telah terjadi akumulasi racun, cairan dan
elektrolit yang biasanya diekskresi secara normal oleh ginjal, akumulasi ini
menyebabkan sindrom uremik.16
2.1.2 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik di masing-masing negara berbeda satu sama lain.
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014 penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 2.2.6

Tabel 2.2 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun
2014.

Penyebab Insiden
Penyakit Ginjal Hipertensi 37 %
Nefropati Diabetika 27%
Glomerulopati Primer (GNC) 10%
Sebab Lain 7%
Nefropati Obstruksi 7%
Pielonefritis Kronik (PNC) 7%
Tidak Diketahui 2%
Nefropati Lupus (SLE) 1%
Ginjal Polikistik 1%
Nefropati Asam Urat 1%

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan Kidney Disease Improving Global
Outcome (KDIGO) membagi prognosis penyakit ginjal kronik berdasarkan kadar LFG
dan albuminuria, seperti pada tabel 2.3.19
Tabel 2.3 Klasifikasi Prognosis Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan LFG dan
Albuminuria menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO).19

Albuminuria persiten : Kategori,


deskripsi, dan nilai

A1 A2 A3

Peningkatan Peningkatan Peningkatan


normal sedang berat
sampai
sedang

< 30 mg/g 30-300 mg/g >300 mg/g

<3 3-30 >30


mg/mmol mg/mmol mg/mmol

G1 Normal atau ≥ 90
tinggi
Laju Filtrasi Glomerulus (mL/mnt/1,73m2) deskripsi

G2 Kekurangan 60 – 89
ringan

G3a Kekurangan 45 – 59
ringan
dan nilai

sampai
sedang

G3b Kekurangan 30 – 44
sedang
sampai berat

G4 Kekurangan 15 – 29
berat

G5 Gagal Ginjal < 15

Hijau : risiko rendah (jika tidak terdapat tanda penyakit ginjal, tidak PGK) ;
Kuning : risiko meningkat ; Jingga = risiko tinggi ; Merah = risiko sangat
tinggi
2.1.4 Gejala Klinis
Walaupun konsentrasi urea dan kreatinin yang selalu dihitung untuk menilai kapasitas
eksresi dari ginjal, akumulasi dari dua molekul ini sendiri tidak dapat menyebabkan
gejala-gejala yang timbul pada penyakit ginjal kronik. Ratusan racun yang terakumulasi
pada gagal ginjal yang menimbulkan gejala sindrom uremik. 16 Gejala uremia berdasarkan
K/DOQI, yaitu : kelelahan, kelesuan, kebingungan, anorexia, mual, perubahan dalam
indra penciuman dan rasa, cramps, restless legs syndrome, gangguan tidur dan pruritus.
Tanda uremia berdasarkan K/DOQI yang timbul, yaitu : kejang, amenorrhea, suhu inti
tubuh berkurang, protein-energy wasting, resistan insulin, meningkatnya katabolisme,
serositis (pleuritis, pericarditis), cegukan, gangguan trombosit dan somnolen.17

Gejala sindrom uremik bukan hanya melibatkan gangguan ekskresi ginjal, tetapi juga
fungsi ginjal sendiri. Gangguan fungsi metabolisme dan endokrin yang biasanya
dilakukan oleh ginjal terganggu, menyebabkan anemia, malnutrisi, dan metabolisme
abnormal karbohidrat, lemak, dan protein. Selain itu, hilangnya fungsi regulasi hormon
dan fungsi menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada PGK terjadi inflamasi
sistemik yang progresif dan menyebabkan gangguan pada pembuluh darah dan nutrisi.16

2.1.5 Patofisiologi
Ginjal yang normal memiliki jumlah nefron kira-kira 1 juta dan masing- masing
berpengaruh dalam total laju filtrasi glomerulus.20 Penyakit ginjal kronik terjadi, karena
penyakit yang mendasarinya (genetik yang menyebabkan kelainan perkembangan atau
integritas ginjal, imun kompleks dan inflamasi pada jenis glomerulonephritis tertentu)
atau penyebab lain (diabetes, hipertensi). Ginjal memiliki kemampuan untuk menjaga
LFG, walaupun terjadi kerusakan nefron yang progresif.16,20
Masing-masing penyebab penyakit ginjal kronik dalam perkembangan selanjutnya
memiliki proses yang kurang lebih sama.18 Mekanisme kompensasi hiperfiltrasi dan
hipertrofi struktural dan fungsional pada nefron yang tersisa, terjadi oleh karena
pengurangan massa ginjal dalam jangka waktu yang lama, yang diperantai oleh molekul
vasoaktif, sitokin, dan growth factors.16 Proses adaptasi nefron memungkinkan
terjadinya normal clearance plasma, tetapi ketika LFG berkurang 50% maka zat-zat
seperti urea dan kreatinin akan mulai meningkat.20 Proses adaptasi berlangsung singkat
dan menjadi maladaptasi dengan peningkatan tekanan dan aliran darah pada nefron yang
menjadi predisposisi distorsi glomerulus, fungsi podosit yang abnormal, dan gangguan
pada filtration barrier yang menyebabkan sklerosis dari nefron yang tersisa. Peningkatan
aktivitas renin- angiostensin-aldosteron intrarenal, memberikan kontribusi terjadinya
proses adaptif hiperfiltrasi dan maladaptif hipertrofi dan sklerosis. Aktivasi jangka
panjang renin- angiostensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF- β). Proses ini menjelaskan mengapa terjadinya
penurunan fungsi ginjal yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi.16,20 Gambar 2.1 menunjukkan perbedaan glomerulus normal dan glomerulus
hiperfiltrasi.

Gambar 2.1 Perbedaan Glomerulus normal dan Glomerulus Hiperfiltrasi Kiri:


Skema dari bentuk glomerulus yang normal. Kanan: Perubahan sekunder
glomerulus dengan penurunan jumlah nefron, pembesaran lumen kapiler, dan
adhesi fokal, yang diduga terjadi karena kompensasi hiperfiltrasi dan hipertrofi
oleh nefron yang tersisa.15

2.1.6 Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya


sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal, yang dapat dilihat pada tabel 2.4.18
Tabel 2.4 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik.18
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan ≥ 90 -
LFG normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60 – 89 Tekanan darah mulai
penurunan LFG ringan meningkat
3 Penurunan LFG sedang 30 – 59 Hiperfosfatemia,
hipokalsemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
hiperhomosistinemia
4 Penurunan LFG berat 15 – 29 Malnutrisi, asisdosis
metabolik, cenderung
hiperkalemia,
dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 Gagal jantung, uremia

a. Penyakit jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien
penyakit ginjal kronik. Penyakit jantung terutama gagal jantung, sudden cardiac
death, cardiomyopathy, ischemic heart disease, dan stroke. Penyakit jantung
disebabkan oleh beberapa faktor risiko, yaitu: hipertensi, dislipidemia, merokok,
aktivitas berlebihan dari simpatis, peningkatan abnormal volume plasma dalam
tubuh, anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroid, dan inflamasi. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan perfusi, struktur jantung dan fungsi jantung. 16,21,22

b. Anemia

Anemia terjadi saat kadar Hb ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30%. Penurunan kadar Hb


terjadi akibat proses penyakit ginjal kronik, yang menyebabkan defisiensi produksi
eritropoetion (EPO) oleh ginjal, berkuranganya masa hidup eritrosit, meningkatnya
kehilangan darah (pendarahan sistem pencernaan, darah yang hilang saat hemodialisis
dan disfungsi trombosit), gangguan absorpsi besi, defisiensi nutrisi seperti asam folat
dan vitamin B12. Anemia dapat menyebabkan berkurangnya penghantaran oksigen,
meningkatkan cardiac output, dilatasi ventrikel dan hipertrofi ventrikel. Gejala yang
dapat muncul yaitu kelelahan, berkurangnya aktivitas fisik, gagal jantung, dan
gangguan kognitif. 16,18,22

c. Malnutrisi
Malnutrisi khususnya terjadi kekurangan kalori dan protein pada pasien PGK. Faktor
penyebab terjadinya malnutrisi, karena meningkatnya kebutuhan protein dan energi,
menurunnya cakupan energi dan protein yang dikonsumsi, hilangnya asam amino di
dialisat, dan asidosis metabolik serta aktivasi sitokin dapat meningkatkan katabolisme
protein.16,18

d. Gangguan kulit
Gatal-gatal (Pruritus) merupakan gangguan kulit yang umum dijumpai pada pasien
penyakit ginjal kronik. Penyebab gatal-gatal pada kulit disebabkan oleh karena retensi
sisa nitrogen, hiperkalsemia, hiperfosfatemia, meningkatnya produk kaslium x fosfat.
Pada PGK tahap lanjut, walaupun pasien menjalani terapi dialisis, dapat terjadi
pigmentasi yang berlebihan, penyebabnya adalah deposisi pigmen urochrome, dimana
pada ginjal yang sehat dapat dibuang.16,23

e. Osteodistrofi renal
Penyakit tulang dapat diklasifikasi menjadi penggantian tulang yang cepat dengan
peningkatan tingkat PTH (termasuk osteitis fibrosa cystica, hiperparatiroidisme
sekunder) dan pergantian tulang yang lambat dengan tingkat PTH normal atau rendah
(penyakit tulang adinamik dan osteomalasia).16

2.2 Hemodialisis
2.2.1 Definisi
Hemodialisis adalah proses untuk memisahkan makromolekul dari ion dan senyawa
berberat molekul rendah di dalam larutan dengan memanfaatkan perbedaan tingkat
difusinya melalui membran semipermeabel.22 Terapi hemodialisis dilakukan pada pasien
dengan gangguan ginjal akut yang memerlukan terapi dialisis ataupun pasien gagal ginjal
yang membutuhkan terapi hemodialisis secara permanen.18
2.2.2 Indikasi hemodialisis
Indikasi pelaksanaan hemodialisis pada gagal ginjal bervariasi diantara dokter. Secara
umum indikasi untuk hemodialisis adalah: Indikasi hemodialisis dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik.

1. Indikasi hemodialisis emergency atau hemodialisis segera antara lain :


a. kegawatan ginjal : keadaan uremik berat, overdehidrasi, oligouria, anuria,
hiperkalemia, asidosis berat, uremia, encephalopaty uremikum, neuropati /
miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat, hipertermia.
b. Keracunan akut (alcohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.24

Indikasi hemodialisis kronik antara lain : LFG dibawah 10 mL/mnt/1,73 m2, gejala
uremia meliputi ; lethargy, anoreksia, nausea, mual, dan muntah, adanya malnutrisi atau
hilangnya massa otot, hipertensi tak terkontrol dan adanya kelebihan cairan, komplokasi
metabolik yang refrakter, hiperkalemia yang tidak responsif terhadap tindakan
konsevatif, ekspansi volume ekstraseluler yang tetap walaupun telah diberikan terapi
diuretik, asidosis yang refrakter setelah diberikan terapi, bleeding diathesis. 5,16,24

2.2.3 Inisiasi hemodialisis


Komponen yang penting dalam pelaksanaan hemodialisis adalah waktu pelaksanaan
terapi, oleh karena dapat mempengaruhi kemampuan dalam membuang sisa metabolisme
tubuh dan penumpukan cairan yang berlebihan.25 Berdasarkan K/DOQI HD Adequacy
Guideline: 2015 Update inisiasi hemodialisis dilaksanakan saat :

1. Pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 4 ( < LFG < 30 mL/mnt/1,73m 2) ,
termasuk pasien yang memerlukan tatalaksana dialisis segera pada saat
pemeriksaan awal, pasien harus mendapat penjelasan mengenai gagal ginjal dan
pilihan pengobatan yang lain, termasuk transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,
hemodialisis di rumah atau rumah sakit, dan pengobatan konservatif. Keluarga
pasien dan pengurus harus juga dijelaskan mengenai pilihan terapi untuk gagal
ginjal.
2. Keputusan untuk memulai tatalaksana dialisis pada pasien yang memilih untuk
melakukannya harus didasarkan pada tanda-tanda atau gejala uremik, bukti
adanya kekurangan protein dan energi, dan pasien memiliki kemampuan untuk
menjaga fungsi metabolik dan volume cairan tubuh agar tetap stabil.5
2.2.4 Tujuan hemodialisis
Terapi hemodialisis dilakukan untuk menggantikan fungsi ekskresi dari ginjal, yaitu
menghilangkan gejala sindrom uremik dengan mengendalikan uremia, menjaga
keseimbangan elektrolit, dan mengembalikan cairan intraseluler dan ekstraseluler seperti
semula.23,25 Pasien dengan gagal ginjal, hemodialisis dapat menjadi pengganti fungsi
ginjal, meskipun tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak dapat
mengimbangi hilangnya aktivitas endokrin ataupun metabolisme ginjal. Pasien yang
melaksanakan terapi hemodialisis harus menjalani pengobatan untuk seumur hidup
mereka atau hingga pasien sukses menjalani terap transplantasiginjal.26

2.2.5 Prinsip hemodialisis

Terdapat tiga komponen yang esensial untuk hemodialisis yaitu : 1) Mesin


hemodialisis yang terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan dialisat dan sistem
monitoring. Pompa darah berfungsi untuk memompa darah dari pasien ke dialiser dan
kembali ke pasien. 2) Dialiser adalah tempat dimana proses hemodialisis berlangsung
dimana memungkinkan terjadinya transfer solut dan air di dalam darah melalui membran
semipermeabel dengan dialisat. 3) Dialisat adalah cairan atau larutan yang terdiri dari air
dan elektrolit yang mengalir melalui dialiser, tidak melewati membran dan dibuang
bersama dengan bahan-bahan toksik setelah meninggalkan dialiser.16,26,27
Darah, dengan racun dan zat sisa nitrogen, dialihkan dari pasien ke mesin (dialiser)
dimana darah dibersihkan dan kemudian dikembalikan kepada pasien. Hemodialisis
merupakan gabungan dari proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. 26 Difusi adalah
pergerakan zat terlarut di darah melalui membran semipermeabel, dimana zat bergerak
dari konsentrasi yang tinggi (darah) ke konsentrasi rendah yaitu dialisat.26,27 Laju difusi
dipengaruhi oleh konsentrasi zat, luas permukaan membrane dialiser dan ukuran molekul.
Berdasarkan prinsip difusi, molekul yang besar memiliki laju difusi lebih lambat.
Molekul yang kecil, seperti urea (60 Da) laju difusi lebih cepat dibandingkan kreaktinin
(113 Da).16
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis, yaitu air
bergerak dari tekanan yang lebih tinggi (darah) ke tekanan yang lebih rendah (dialisat).
Gradien tekanan dapat dimanipulasi untuk mencapai jumlah air yang ingin dibuang
dengan menambahkan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin
hemodialisis.16,27
Aliran darah masuk ke dialiser dengan laju 300-500 mL/mnt, dimana dialisat bergerak
berlawanan arah (counter-current) dengan laju 500-800 mL/mnt.16 Akses vaskular dialisis
diperlukan untuk memperoleh aliran darah yang cukup besar. Akses ini dapat berupa
fistula (arteri-vena), graft, maupun kateter intra vena.16,26,27
Antikoagulan heparin diberikan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah di
sirkuit dialisis.2

Gambar 2.2 Sistem Hemodialisis.26

2.2.6 Komplikasi hemodialisis


Walaupun pasien yang menjalani hemodialisis menjadi memiliki kemungkinan untuk
dapat bertahan hidup dengan waktu yang tidak pasti, tetapi hemodialisis tidak dapat
mengobati penyakit ginjal ataupun menggantikan seluruh fungsi ginjal.5,26 Pasien yang
menjalani hemodialisis untuk mengatasi gejala penyakit ginjal kronik dapat mengalami
komplikasi dalam proses hemodialisis. Komplikasi interdialisis yaitu :
1. Hipotensi
Merupakan komplikasi yang paling umum terjadi selama hemodialisis,
terutama pada pasien diabetes mellitus. Penyebab terjadinya hipotensi adalah
ultrafiltrasi dalam jumlah yang besar disertai kurangnya kompensasi pengisian
pembuluh darah (vascular filling), osmolar shift, penggunaan anti hipertensi
yang berlebiham, disfungsi otonom, intoleransi asetat sebagai buffer pada
dialisat (meningkatkan vasodilatasi).16,2
2. Kram otot
Interdialytic muscle cramping, biasa terjadi pada akhir hemodialisis dimana
saat cairan elektrolit secara cepat meninggalkan cairan ekstraseluler. Penyebab
kram otot masih belum jelas. Beberapa pencetus yang dihubungkan terjadinya
kram otot adalah berkurangnya perfusi darah ke otot, karena volume cairan
yang hilang berlebih (>1012 ml/kg/jam). 16,26
3. Sindrom Disequilibrium
Kumpulan gejala pada sindrom disequilibrium ditandai dengan mual, muntah,
sakit kepala, lemas, dan penurunan kesadaran. Sindrom disequilibrium terjadi
oleh karena pergeseran cairan serebral, umumnya terjadi apabila kadar ureum
di dalam darah > 150 mg/dL. 21,26
4. Reaksi anafilaktoid
Terjadi pada pasien terutama pada pemakaian pertama dialiser. Biasanya
terjadi pada membran bioikompatibel yang mengandung selulosa.16

2.3 Adekuasi Hemodialisis


2.3.1. Definisi
Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang
direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis.7
2.3.2. Tujuan
Masalah utama dalam pengelolaan pasien yang menjalani perawatan
hemodialisis adalah penilaian adekuasi hemodialisis. Apabila hanya menilai
nitrogen urea darah (BUN) tidak cukup, karena BUN yang rendah dapat
mencerminkan nutrisi yang tidak memadai daripada pembuangan urea yang
cukup. Dan pemantauan gejala pasien saja tidak cukup, karena proeses
dialisis dengan pemberian erythropoietin untuk memperbaiki anemia dapat
menghilangkan gejala uremik meskipun pasien dapat dalam kondisi
underdialyzed. Dengan demikian, gejala, gizi pasien dan kelangsungan hidup
pasien dicerminkan dengan adekuasi hemodialisis. Adekuasi hemodialisis
bertujuan untuk dapat memindahkan secara adekuat akumulasi produk
metabolik dan air serta menjaga keseimbangan elektrolit. Berdasarkan
penelitian sebelumnya didapati hubungan yang kuat antara tidak adekuatnya
adekuasi hemodialisis dengan morbiditas.28
2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis
a. Frekuensi dan lama dialisis
Berdasarkan K/DOQI HD Adequacy Guidelines 2015 disarankan
pasien dengan penyakit gagal ginjal stadium akhir (ESRD) untuk
melaksananakan hemodialisis di rumah sakit atau pusat dialisis dengan
frekuensi HD yang singkat yaitu pada siang hari, durasi dialisis kurang dari 3
jam/sesi dan 5-7 kali seminggu, sebagai alternatif untuk hemodialisis
konvensional yang dilaksanakan pada siang hari, durasi dialisis 3-5 jam/sesi
dan 3-4 kali seminggu. 4 Semakin panjang durasi atau waktu sesi
hemodialisis akan semakin mengoptimalkan bersihan ureum sehingga
adekuasi dapat tercapai.
b. Aliran darah (Blood flow)
Laju aliran darah dapat berkisar 250-500 mL / menit, tergantung pada
jenis dan integritas akses vaskular.16 Pada umumnya kecepatan aliran
darah rata-rata paling tidak 4 kali berat badan dalam kilogram. 29

Berdasarkan data penelitian Bouzou et al. mengkonfirmasi bahwa


peningkatan laju aliran darah sebesar 25% efektif dalam meningkatkan
adekuasi dialisis pada pasien HD. Peningkatan aliran darah 100% dari 200
mL/menit menjadi 400 mL/menit dapat meningkatkan pembersihan urea
darah menjadi 33%. Namun, harus diperhatikan faktor-faktor seperti
toleransi pasien, status hemodinamik, penggunaan filter yang cocok sesuai
dengan berat badan pasien, dan laju aliran darah yang tepat.
c. Aliran dialisat (Dialysate flow)
Besarnya aliran dialisat yang mengalir dalam arah berlawanan dengan
darah mempengaruhi tingkat bersihan yang dicapai, sehingga perlu diatur
sebesar 500-800 mL/min.
d. Karakteristik dialiser
Klirens menggambarkan kemampuan dialiser untuk membersihkan
darah dari carian dan zat terlarut, dan besarnya klirens dipengaruhi oleh
bahan, tebal dan luasnya membran.7 Berdasarkan K/DOQI HD Adequacy
Guidelines 2015 merekomendasikan penggunaan dialisier yang
biokompatibel, baik membran hemodialisis fluks tinggi atau rendah
untuk hemodialisis intermiten.5 Biokompatibel menunjukkan adanya
membran yang tidak menghasilkan toksin, injuri atau respon imunologis
saat kontak dengan darah. Luas permukaan membran bervariasi antara
1,3 – 2,0 m2.27
e. Tipe akses vaskular
Dialisis memerlukan darah pasien agar dapat terekspos dengan
dialisat melewati membrane semipermeabel. Hal ini dicapai dengan
menyalurkan darah keluar tubuh pasien keluar tubuh pasien ke dialiser.
Hemodialisis membutuhkan aliran darah yang tinggi antara 250-450
ml/menit. Aliran sebesar itu tidak dapat dicapai dengan vena perifer.
Sehingga dialisis membutuhkan akses vena sentral untuk menyediakan
kebutuhan aliran darah tersebut. Bila dialisis dilakukan jangka panjang
maka dibutuhkan akses permanen yang ideal (fistula, graft atau
permacath) dan kanulasi akses temporer menggunakan vena besar
(femoral, subklavian atau jugular internal). 31 Fistula memiliki patensi
jangka panjang paling lama diantara semua pilihan akses dialisis. 27
Fistula merupakan proses pembedahan untuk melakukan anastomosis
arteri ke vena, sehingga terjadi arterialisasi vena.26,27 Dibutuhkan waktu 4
– 6 minggu sebelum fistula siap untuk digunakan. Hal ini memberikan
waktu untuk penyembuhan dan fistula vena untuk melebar serta dapat
mengakomodasi dua jarum berdiameter besar (14 gauge atau 16 gauge).

2.3.4 Pengukuran adekuasi hemodialisis


Tujuan akhir dari perawatan dialisis adalah penurunan kadar zat
terlarut pada pasien, pengukuran tingkat zat terlarut menjadi tidak
sesuai jika zat terlarut yang diukur tidak mewakili semua racun uremik.
Karena tidak ada zat terlarut yang memenuhi syarat dalam hal ini,
sehingga dipilih penanda suatu zat terlarut, seperti urea, yang
konsentrasinya dalam pasien menurun secara signifikan selama proses
dialisis. Urea klirens ditentukan dari rasio konsentrasi, dan bukan dari
nilai absolut, yang merupakan penanda sensitif dari zat kecil yang
terdifusi di dialiser. Adekuasi hemodialisis diukur secara kuantitatif
dengan menghitung Kt/V yang merupakan rasio dari bersihan urea dan
waktu hemodialisis dengan volume distribusi urea dalam tubuh pasien.7
Perhitungan Kt/V dapat dilakukan dengan menggunakan rumus yang
dianjurkan K /DOQI HD Adequacy Guidelines 2015.

Keterangan :
K = Klirens dialiser yaitu darah yang melewati
membrane dialiser dalam mL/menit
Ln = Logaritma natural
R = Ureum sesudah dialisis Ureum sebelum dialisis
t = Lama dialisis (jam)
V = volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65%
berat badan dan wanita 55% berat badan)

K /DOQI HD Adequacy Guidelines 2015 merekomendasikan Kt / V 1,4


per sesi hemodialisis untuk pasien yang dirawat 3 kali seminggu, dengan
minimal kt/ V 1,2. Karena penurunan relatif konsentrasi urea selama
terapi dialisis adalah penentu paling signifikan dari Kt / V, terdapat cara
lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis dengan mudah yaitu rasio
reduksi ureum (RRU). RRU dihitung dengan32 :

RRU (%) = 100 x (1 – Ct / Co)

Keterangan :

RRU = rasio reduksi ureum


Ct = ureum sesudah dialisis

Co = ureum sebelum dialisis

Karena mudahnya perhitungan, RRU umumnya digunakan dalam


studi epidemiologi.28 Kelemahan perhitungan RRU adalah tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan
sisa klirens yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk
merencanakan dosis HD.29 Untuk dialisis yang dilakukan 3 kali
seminggu kurang dari 5 jam, dosis minimum alternatif RRU adalah 65%
dan target dosis RRU adalah 70%. 32 Rata-rata, Kt / V 1,2 kira-kira setara
dengan URR sekitar 63 persen.

2.4 Hubungan Hemodialisis dengan Kadar Ureum


Kadar ureum yang tinggi pada pasien PGK menyebabkan berbagai
gangguan organ, seperti anoreksia dan mual pada pencernaan, asidosis
metabolik pada darah hingga pada arytmia jantung, kerusakan kulit, dan
penurunan kesadaran. Dengan bertambahnya kadar ureum maka akan
meningkatkan gejala dan komplikasi PGK (National Kidney Foundation,
2008). Peningkatan kadar ureum sama dengan akumulasi racun dalam darah
yang menurunkan kemampuan fisik, meningkatkan kebergantungan pada
orang lain, mengurangi kepercayaan diri dan mempengaruhi dimensi sosio
psikologis. Dengan kondisi ini pasien merasakan kualitas hidup mereka
sangat berkurang. 33
Menurut Musch W, et al (2006) bertambahnya usia sejalan dengan
bertambahnya kadar urea plasma (ureum) dan menurunkan kemampuan
tubuh dalam eksresi urea. Kadar ureum pada responden selain karena
menderita penyakit ginjal kronis, juga dipengaruhi oleh faktor usia yang
sebagian besar responden berada pada usia lansia awal/ middle range dan
lanjut usia/ old. Dapat disimpulkan penurunan kualitas hidup pasien PGK
salah satunya disebabkan peningkatan kadar ureum, artinya bila semakin
tinggi kadar ureum maka menurunkan kualitas hidup seseorang. Pasien
PGK perlu mengontrol kadar ureum dengan rutin dengan melakukan
hemodialisa sesuai program. Selain itu pasien PGK melakukan diet rendah
ureum yaitu membatasi makanan tinggi protein.
17

DAFTAR PUSTAKA

2. Mills KT, Xu Y, Zhang W, Bundy JD, Chen C-S, Kelly TN, et al. A systematic
analysis of world-wide population-based data on the global burden of chronic
kideny disease in 2010. Kidney Int. 2015;88(5):950–7
5. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guideline for hemodialysis
adequacy: 2015 update. Am J Kidney Dis. 2015;66(5):884-930.
6. Perkumpulan. Nefrologi Indonesia. 7th Report Of Indonesian Renal Registry.
Jakarta: Perkumpulan Nefrologi Indonesia; 2014.
7. Septiwi C. Hubungan Antara Adekuasi Hemodialisis Dengan Kualitas Hidup
Pasien Hemodialisis di Unit Hemodialisis RS PROF. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto [Internet] [Tesis]. [Depok]: Universitas Indonesia; 2010. [dikutip 17
April 2016]. Diambil dar
15. Radić J, Ljutić D, Radić M, Kovaĉić V, M Săin, Ćurković KD. The possible
impact of dialysis modality on cognitive function in chronic dialysis patients. Neth
J Med. 2010;68(4):153–7.
16. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editor.
Harisson Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: Mc Graw Hill;
2015.[dikutip 7 Mei 2016]
17. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis
39:S1-S266,2002
18. Suwitra K. Penyakit Ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
II. 6th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014. hal. 1285–8.
19. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.
KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kidney inter., Suppl. 2013; 3: 1-150.
20. Chronic Kidney Disease: Practice Essentials, Background, Pathophysiology
[Internet]. [dikutip 7 Mei 2016]. Diambil dari:
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview
21. Himmelfarb J. Hemodialysis Complications. Am J
KidneyDis. 2005;45(6):1122–31.
18

22. Dorland WAN. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008.
23. Kumar P, Clark M, editor. Kumar & Clark’s Clinical Medicine. 7th ed.
Edinburgh: Elseiver; 2009. [dikutip 8 Mei 2016]
24. Albert AT, Hubungan Karakteristik Pasien dengan Adekuasi Hemodialisis di
Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Tahun 2014 [Internet]
[KTI]. [Medan] : Universitas Sumatera Utara; 2015. [dikutip 9 Mei 2016].Diambil
dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/44743
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44743/3/Chapter%20II.pdf
25. Himmelfarb J, Ikizler TA. Hemodialysis. N Engl J Med. 2010;363:1833–45.
26. Smeltzer SC, Bare B. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical
Nursing. 10th ed [internet]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.
Chapter 44, Dialysis. [dikutip 17 April 2016]. Diambil dari:
https://metronidazole.files.wordpress.com/2010/03/medical-surgical_nursing-
10th-edition-by-brunner-suddarth.pdf
27. Suhardjono. Hemodialisis: Prinsip Dasar dan Pemakaian Kliniknya. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor.
Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. Ed 6. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
dalam, 2014; p.2192-96
28. Kt/V and the adequacy of hemodialysis [Internet]. [dikutip 8 Mei 2016]. Diambil
dari: http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?17/53/18257?
source=see_link
29. Dairion G. Rasio Reduksi Ureum Dializer 0,90; 2,10 dan 2 Dializer Seri 0,90
dengan 1,20 [Internet] [Tesis]. [Medan]: Universitas Sumatera Utara; 2003.
[dikutip 8 Mei 2016] Diambil dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-dairot%20gatot.pdf

32. KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for 2006
Updates: Hemodialysis Adequacy, Peritoneal Dialysis Adequacy and Vascular Access. Am J
Kidney Dis 48:S1-S322, 2006 (suppl 1)

33. Musch W, Verfaillie L, Decaux G. (2006). AGE RELATED INCREASE IN PLASMA


UREA AND DECREASE IN FRACTIONAL UREA EXCRETION. Clin J Am Soc Nephrol.
Sep; 1(5):909-14. Brussel, Belgium
19

Anda mungkin juga menyukai