Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

GAGAL GINJAL KRONIK

DISUSUN OLEH
KELOMPOK : III (TIGA)
NAMA : DEBY MARISKA SUNE
NIM : 2022142015

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI, DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA
2023
A. JUDUL PRAKTIKUM
Gagal Ginjal Kronik (GGK)
B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah terkait obat (Drug Related Problem)
pada kasus penyakit gagal ginjal kronis
2. Mahasiswa mampu memberikan rekomendasi terapi, pemantauan terapi serta
informasi dan edukasi yang tepat pada kasus gagal ginjal kronis
C. KASUS
1. Deskripsi Pasien
Bapak TB, berusia 48 tahun, berat badan 60 kg
2. Keluhan Utama
Pusing, lemah, cepat lelah, mual, dan sakit di pinggang. Urin sedikit dan berbusa,
serta kulit kering
3. Riwayat Penyakit Terdahulu
 DM Tipe 2 sejak 5 tahun lalu
 Hipertensi sejak 2 tahun lalu
4. Riwayat Penggunaan Obat
 Glibenklamid 2 x 5 mg/hari PO
 Hidroklorothiazid 1 x 25 mg/hari PO
5. Riwayat Penyakit Keluarga
-
6. Riwayat Sosial
-
7. Riwayat Alergi
-
8. Pemeriksaan Fisik
 Tekanan Darah : 160/90 mmHg
 Berat badan : 60 kg
 RR : 20 kali/menit
 Suhu : 37,5ºC
9. Pemeriksaan Penunjang Medik
 Na : 138 mEq/L
 K : 4,9 mEq/L
 Cl : 108 mEq/L
 CO2 : 27 mEq/L
 K : 4,9 mEq/L
 Phos : 7,4 mEq/L
 Ca : 8,6 mEq/L
 BUN : 20 mg/dl
 SrCr : 3 mg/dl
 GDS : 225 mg/dl
 HbA1c : 7%
 Kolestrol : 180 mg/dl
 Trigliserida : 130 mg/dl
 HDL : 60 mg/dl
 LDL : 120 mg/dl
 Fe : 70 µg/dl
 Ferritin : 349 ng/dl
 Hb : 9 g/dl
 Urinalisis : Glukosa +1, Protein +4
D. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit gagal ginjal merupakan suatu keadaan dimana ginjal mengalami
penurunan pada sistem fungsi kerja ginjal yang seharusnya. Pada kondisi
kronik fungsi ginjal yang seharusnya mengalami kerusakan pada kedua ginjal
yang ada didalam tubuh sehingga, tidak dapat bekerja sama sekali pada bagian
penyaringan ataupun pembuangan elektrolit tubuh, selain itu juga tidak dapat
menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh, serta tidak bekerja secara
maksimal dalam memproduksi urin (Dewi, 2015). Menurut (Rustandi dan Al,
2018) Gagal ginjal kronik adalah kondisi klinis terjadinya kerusakan ginjal
secara progresif bersifat irreversible yang penyebabnya timbul dari berbagai
macam penyakit.
Penyakit GGK, biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab. Penyebab
GGK yang paling sering ditemui adalah glomerulonefritis, pielonefritis,
hipoplasia konginetal, penyakit ginjal polikistik, diabetes militus, hipertensi,
sistemik lupus, sindrom Alport’s, amiloidosis (Tucker et al, 1998).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) dibagi menjadi 5 tingkatan, berdasarkan
pada Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sesuai dengan ada atau tidaknya
kerusakan pada ginjal. Pada tingkatan 1 – 3 umumnya belum ada terlihat gejala
apapun (Asimptomatik). Kondisi klinis fungsi ginjal menurun dapat dilihat
pada tingkatan 4 – 5.
Tabel Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (M.A. et al, 2013).
Tingkatan LFG (ml/menit/1,732 m2) Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan LFG
1  90
normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG
2 60 – 89
menurun ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
3a 45 – 59 menurun dari ringan sampai
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG
3b 30 – 44 menurun dari sedang sampai
berat
Kerusakan ginjal dengan LFG
4 15 – 29
menurun berat
5  15 Gagal ginjal
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) didapatkan dari hasil perhitungan
berdasarkan rumus Kockcroft-Gault, sebagai berikut:
( 140−Umur ) x Berat Badan
𝑳𝑭𝑮 (𝐦𝐥/𝐦𝐧𝐭/𝟏. 𝟕𝟑𝟐𝐦²) =
72 x Kreatinin Plasma(mg /dl)
Pada pasien wanita:
( 140−Umur ) x Berat Badan
𝑳𝑭𝑮 (𝐦𝐥/𝐦𝐧𝐭/𝟏. 𝟕𝟑𝟐𝐦²) = x 0 , 85
72 x Kreatinin Plasma(mg /dl)
Perjalanan umum penyakit GGK dibagi menjadi 3 tingkatan, meliputi
(Price dan Wilson, 2006) :
a. Stadium I
Pada stadium ini terjadi penurunan pada cadangan ginjal, akan tetapi
kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) masih pada kondisi
normal. Pasien simtomatik gangguan fungsi ginjal dapat diketahui melalui test
pemekatan urin yang lama.
b. Stadium II
Pada stadium tahap ini dinamakan Insufisiensi ginjal, terdapat kerusakan
lebih dari 75% pada jaringan ginjal (Besarnya LFG 25% dari normal). Pada
stadium ini kadar BUN dan kreatini mengalami peningkatan
c. Stadium III
Pada stadium ini umumnya dikenal dengan stadium akhir atau uremia.
Terjadi kehancuran sekitar 90% pada massa nefron. Dapat dilihat dari % LFG
bahwasanya hanya 10% dari keadaan normal dan bersihan kreatinin serum
dankadar BUN mengalami peningkatan, dimana peningkatan tersebut
merupakan respon yang diberikan terhadap LFG yang menurun. Pada stadium
ini pasien merasakan baru merasakan gejala – gejala yang cukup serius, hal ini
disebabkan karena ginjal tidak lagi dapat mempertahankan homeostasis cairan
dan elektrolit pada tubuh.
Pada pasien GGK terjadi kerusakan pada nefron yang berkelanjutan,
akan tetapi nefron yang tersisa masih dalam kondisi utuh tetap bekerja secara
normal untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit. Nefron yang
masih tersisa akan mengalami hipertrofi, hal ini terjadi karena nefron berusaha
untuk melaksanakan seluruh beban kerja pada ginjal. Terjadinya peningkatan
pada filtrasi beban solute dan reabsorbsi tubular pada ginjal mengalami
penurunan hingga dibawah nilai normal.Hal ini menyebabkan 75% massa
nefron mengalami kehancuran. Selanjutnya, kecepatan filtrasi dan beban solute
setiap nefron meningkat hal ini menyebabkan keseimbangan glomerulus
tubulus tidak dapat dipertahankan (Berkurangnya keseimbangan antara
kenaikan filtrasi, reabsorbsi dan fleksibilitas pada proses ekskresi atau pun
konservasi solute dan air). Terjadinya perubahan bisa mengubah keseimbangan
yang mengkhawatirkan karena semakin rendah LFG semakin besar juga
perubahan yang terjadi pada kecepatan ekskresi pernefron, terjadi kehilangan
kemampuan pemekatan atau pengenceran urine dapat menyebabkan berat jenis
urine 1,010 atau 285m Os/mol dapat menyebabkan poliuria dan nokturia (Price
dan Wilson, 2006).
Terapi gagal ginjal kronis berdasarkan etiologinya sebagai berikut :
1. Hipertensi
Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih dari
75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun. Hipertensi ini
merupakan penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian pedoman ini
menyoroti aspek kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal
kronik. Aspek ini termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal untuk
gagal ginjal kronik proteinuria dan non proteinuria, dan pengobatan hipertensi
dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal pembuluh darah
besar
a. Pasien tanpa diabetes
 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik proteinuria (rasio albumin
urin dengan kreatinin ≥ 30 mg/mmol), terapi antihipertensi
seharusnya termasuk ACE inhibitor atau angiotensin - receptor
blocker pada kasus yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor.
 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130/80 mm Hg
 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik nonproteinuria (rasio
albumin dengan kreatinin < 30 mg/mmol), terapi antihipertensi
seharusnya termasuk baik ACE inhibitor, angiotensin-receptor
blocker, diuretik tiazid, beta bloker (pasien yang berusia 60 tahun
atau kurang, atau long acting calcium channel blocker).
b. Pasien dengan diabetes
 Terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor atau
angiotensin receptor blocker
 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130 mm/Hg
sistolik (derajat C) dan kurang dari 80 mmHg diastolic.
c. Pasien dengan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar.
Hipertensi renovaskular seharusnya diobati dengan cara yang sama
seperti untuk nondiabetik, gagal ginjal kronik non-proteinuria. Harus
hati-hati dengan penggunaan ACE inhibitor atau angiotensin-receptor
blocker karena risikogagal ginjal akut .
2. Diabetes
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal
kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien
dengan gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau
berubahnya sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet
dan masalah kepatuhan terkait dengan diperlukannya kerumitan dalam
perawatan. Karena itu penting untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya
kontrol glikemik bagi pasien ini (Nathan, 2005).
a. Kontrol glikemik
 Target untuk kontrol glikemik, daiman mereka dapat dicapai
dengan aman, seharusnya mengikuti Canadian Diabetes
Association Guideline (hemoglobin A1c< 7.0%, kadar glukosa
darah puasa 4-7 mmol/L).
 Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian dari strategi
intervention multi faktorial yang menyebutkan kontrol tekanan
darah dan risiko kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE
inhibitor, angiotensin receptor blocker, statin dan asam asetil
salisilat.
b. Penggunaan metformin pada diabetes mellitus tipe 2
 Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe
diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang
memiliki fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan
terakhir.
 Metformin mungkin dilanjutkan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik stabil stadium 3.
c. Rekomendasi praktek klinis
Metformin seharusnya dihentikan jika terdapat akut dalam fungsi
renal atau selama periode penyakit yang dapat menimbulkan perubahan
tersebut (misalnya tidak nyamanan gastrointestinal atau dehidrasi) atau
menyebabkan hipoksia (misalnya gagal jantung atau respirasi).
Perawatan khusus seharusnya dilakukan untuk pasien yang juga
mengkonsumsi ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, obat
antiinflamasi nonsteroid atau diuretik, atau setelah pemberian kontras
intravena karena risiko gagal ginjal akut dan sehingga akumulasi asam
laktat, terbesar untuk pasien ini.
d. Pilihan agen lain yang mengurangi glukosa
 Menyesuaikan pilihan agen lain yang mengurangi glukosa
(termasuk insulin) pada pasien individu, tingkat fungsi renal dan
komorbiditas.
 Risiko hipoglikemia seharusnya dinilai secara teratur untuk pasien
yang memakai insulin atau insulin secretagogue. Pasien ini
seharusnya diajarkan bagaimana mengenali, mendeteksi dan
mengobati hipoglikemia.
 Rekomendasi praktek klinis : Sulfonilurea kerja pendek (misalnya
gliclazide) dipilih melebihi agen kerja panjang untuk pasien dengan
chronic kidney disease.
3. Anemia
Anemia lazim pada pasien dengan kecepatan filtrasi glomerulus yang
diperkirakan kurang dari 60 mL/menit/ 1.73 m 2. target kadar hemoglobin 110
g/L direkomendasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronik (kisaran yang dapat
diterima 100 - 120g/L). pengobatan yang disarankan untuk anemia pada gagal
ginjal kronis ini diantaranya (K/DOQI, 2006):
a. Penggunaan agen yang menstimulasi eritropoiesis
 Untuk pasien dengan anemia dan cadangan besi yang adekuat, agen
yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya dimulai jika kadar
hemoglobin berkurang di bawah 100 g/L.
 Untuk pasien yang mendapat agen yang menstimulasi eritropoesis,
target kadar hemoglobin seharusnya 110 g/L. Kisaran hemoglobin
yang dapat diterima adalah 100-120 g/L.
 Agen yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya diresepkan
bersama-sama dengan spesialis yang berpengalaman dalam
meresepkan agen.
b. Menggunakan terapi besi
 Untuk pasien yang tidak menerima agen yang menstimulasi
eritropoiesis dan yang kadar hemoglobin 100 ng/mL dan saturasi
transferin >20%.
 Untuk pasien yang mendapat agen yang stimulasi eritropoiesis, besi
seharusnya diberikan untuk mempertahankan kadar feritin >100
ng/mL dan saturasi transferin >20% .
 Bentuk besi oral merupakan terapi lini pertama yang dipilih untuk
pasien dengan gagal ginjal kronik.
 Pasien yang tidak mencapai target serum feritin atau saturasi
transferin atau keduanya ketika mengonsumsi bentuk besi oral atau
yang tidak menolerir bentuk oral seharuanya menerima bentuk besi
intravena.
Terapi konservatif dilakukan dengan tujuan menghambat perkembangan
kerusakan pada fungsi ginjal, menjaga keseimbangan tubuh pasien, dan
mengurangi setiap efek samping pada pasien yang bersifat reversibel, biasanya
terapi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal buruk yang timbul secara
progresif pada ginjal (Price dan Wilson, 2006). Ada berbagai macam terapi
yang dapat dilakukan pada terapi konservatif, seperti:
1. Diet Protein
Penderita GGK melakukan diet protein dengan cara mengurangi
pemasukan protein didalam tubuh. Hal ini dapat meminimalkan muatan
ekskresi pada ginjal sehingga dapat menurunkan hiperfiltrasi glomerulus.
Pemasukan protein secara berlebih bisa menyebabkan peralihan hemodinamik
ginjal sehingga dapat meningkatkan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
sehingga dapat menyebabkan peningkatan memburuknya ginjal secara
progresif
2. Diet Kalium
Terapi ini dilakukan pada penderita GGK dengan cara mengurangi
pemasukan kalium pada tubuh seperti tidak menggunakan terapi farmakologi
(obat – obatan) yang mengandung banyak kalium. Pemasukan kalium secara
berlebih dapat berakibat hiperkalemia yang dapat membahayakan tubuh
penderita. Range total kalium yang dianjurkan pada penderita yang sedang
melakukan diet kalium adalah 40 – 80 mEq/hari.

3. Diet Kalori
Total kalori pada penderita GGK harus sesuai dengan target terapi, yaitu
untuk menjaga stabilitas positif nitrogen, dan menjaga keadaan nutrisi dan gizi
4. Asupan Cairan
Penderita GGK melakukan terapi asupan cairan karena pada penyakit ini
asupan cairan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Asupan cairan secara
berlebih dapat berakibat peningkatan pada bobot sirkulasi, edem serta
intoksikasi. Sedangkan apabila asupan cairan kurang dapat berakibat terjadi
dehidrasi (kekurangan cairan), hipotensi (darah rendah), dan memburuknya
kondisi fungsi ginjal. Setelah melakukan terapi konservatif berupa diet diatas,
tetapi tidak menimbulkan efek apapun (tidak efektif) pada penderita maka,
terapi selanjutnya yang dilakukan adalah terapi pengganti ginjal dengan cara
hemodialisis, dialisis perintoneal ataupun transplantasi ginjal. Terapi ini
dilakukan untuk menggantikan fungsi kerja ginjal yang sudah tidak lagi efektif
dan atau fungsi kerja ginjal yang tidak dapat dilakukan secara alami (Rahardjo,
2006).
E. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Penyelesaian metode SOAP
No Problem Terapi Saat Ini Subyektif & Obyektif Assesment Plan
Medik
 DM tipe 2,  Glibenklamid Subyektif  Berdasarkan hasil pemeriksaan dan Farmakologi
sejak 5 tahun 2 x 5 mg/hari Pasien datang ke RS riwayat penyakit sebelumnya, pasien  Valsartan 1 x 80
lalu PO dengan keluhan pusing, didiagnosis DM tipe 2 dan hipertensi. mg/hari PO
 Hipertensi,  Hidroklorotiazid lemah, cepat lelah, mual, Menurut Ayutthaya & Nurhayati (2020)  Pioglitazone 1 x 15
sejak 2 tahun 1 x 25 mg/hari dan sakit pinggang. pada penderita DM, kadar glukosa mg/hari PO
lalu PO Urinnya sedikit dan darah meningkat (hiperglikemia)  Asam Folat 1 x 5
 Gagal Ginjal berbusa, serta kulitnya sehingga terjadi resistensi cairan mg/hari PO
Kronis kering. intravascular yang berakibat pada Non Farmakologi
 Anemia Obyektif peningkatan volume cairan tubuh serta  Mengurangi asupan
 Umur : 48 tahun diikuti dengan kerusakan sistem vascular gula pada makan dan
 BB : 60 kg yang menyebabkan peningkatan minuman
 TD : 160/90 mmHg resistensi arteri perifer. Kedua keadaan  Mengurangi asupan

 RR : 20 x/menit ini yang menjadi dasar terjadinya natrium makanan


 Suhu : 37,5ºC hipertensi  Menjaga berat badan
 Dalam perkembangan yang lebih  Membatasi protein
 Na : 138 mEq/L lama, keadaan hipertensi yang diikuti yang masuk sekitar
 K : 4,9 mEq/L dengan kerusakan vascular lebih lanjut, 0,8g/kg/hari

 Cl : 108 mEq/L akan menimbulkan komplikasi  Berolahraga ringan

 CO2 : 27 mEq/L Cardiovascular Diseases (CVD) dan secara rutin


Chronic Kidney Diseases (CKD) yang  Tidak merokok
 Phos : 7,4 mEq/L
merupakan penyebab utama kematian  Tidak mengkonsumsi
 Ca : 8,6 mEq/L
(Ayutthaya & Nurhayati, 2020). alkohol
 BUN : 20 mg/dl
 Tekanan darah yang tidak terkontrol
 SrCr : 3 mg/dl
dalam jangka waktu lama dapat
 GDS : 225 mg/dl
menaikkan tekanan intraglomerular yang
 HbA1C : 7%
dapat menyebabkan jumlah protein di
 Kolestrol : 180 mg/dl
dalam urin (mikroalbuminuria atau
 TG : 130 mg/dl proteinuria) (Ricchetti dan Leticia,
 HDL : 60 mg/dl 2012).
 LDL : 120 mg/dl  Berdasarkan hasil pemeriksaan
 Fe : 70 µg/dl laboratorium didapatkan kadar serum
 Ferritin : 349 ng/dl kreatinin (SrCr) pasien tinggi yakni 3
 Hb : 9 mg/dl mg/dl. Menurut Alfonso dkk (2016),
Urinalisis : nilai normal kadar kreatinin serum pada
 Glukosa : +1 pria adalah 0,7-1,3 mg/dL. Ada beberapa
 Protein +4 penyebab peningkatan kadar kreatinin
dalam darah, yaitu dehidrasi, kelelahan
yang berlebihan, penggunaan obat yang
bersifat toksik pada ginjal, disfungsi
ginjal disertai infeksi, hipertensi yang
tidak terkontrol, dan penyakit ginjal.
 Hasil pemeriksaan urin pasien
didapatkan terdapat protein +4. Menurut
Muss dkk (2022), kelebihan protein yang
disekresikan melalui urine disebut
proteinuria. Proteinuria biasanya
menandakan penyakit ginjal.
 Keluhan yang dialami pasien diduga
karena gagal ginjal kronik yang dialami
pasien. Menurut Griselda (2021), pasien
dengan penyakit ginjal kronis dapat
memiliki gejala seperti gross hematuria,
"urine berbusa" (tanda albuminuria),
nokturia, nyeri pinggang, atau penurunan
produksi urin. Jika PGK sudah lanjut,
pasien dapat melaporkan kelelahan,
nafsu makan yang buruk, mual, muntah,
rasa logam, penurunan berat badan yang
tidak disengaja, pruritus, perubahan
status mental, dispnea, atau edema
perifer.
 Dari pemeriksaan urinalisis pasien,
didapatkan Glukosa 1+. Normalnya,
glukosa akan disaring oleh ginjal dan
diserap kembali ke peredaran darah,
tidak dikeluarkan melalui urin. Namun
pada kondisi hiperglikemia (kadar
glukosa tinggi pada darah) atau ada
kelainan pada fungsi penyaringan ginjal,
molekul glukosa bisa keluar bersama
urin, sehingga terdeteksi positif pada
pemeriksaan urin rutin.
 Penggunaan Obat HCT dihentikan,
karena obat ini memiliki efek samping
meningkatkan kadar kolesterol LDL
pada pasien. Sesuai dengan JNC VII
tahun 2003, Journal Of Clinical Diabetes
tahun 2007, dan Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach tahun 2008,
bahwa drug of choice untuk terapi
hipertensi dengan penyakit penyerta
diabetes melitus adalah antihipertensi
golongan ACEI atau ARB.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien di diagnosa gagal ginjal kronik.
Dari data subjektif pasien mengeluh sakit pinggang, urin berbusa dan kulit
kering, serta pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan DM tipe 2.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa pasien mengalami gagal
ginjal kronik disebabkan oleh hipertensi dan DM tipe 2. Menurut Ayutthaya &
Nurhayati (2020), pada penderita DM kadar glukosa darah meningkat
sehingga terjadi resistensi cairan intravascular yang berakibat pada
peningkatan volume cairan tubuh serta diikuti dengan kerusakan sistem
vascular yang menyebabkan peningkatan resistensi arteri perifer. Keadaan ini
yang menjadi dasar terjadinya hipertensi. Dalam perkembangan yang
lebih lama, keadaan hipertensi yang diikuti dengan kerusakan vascular lebih
lanjut, akan menimbulkan komplikasi Cardiovascular Diseases (CVD) dan
Chronic Kidney Diseases (CKD).
Pasien juga menunjukkan mengalami anemia yang dimana nilai hb
pasien berada di bawah batas normal (Hb = 9 g/dl). Penyebab utama anemia
pada PGK adalah defisiensi relatif hormon eritropoietin. Beberapa faktor lain
yang berkontribusi untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi,
inflamasi akut dan kronis, severe hyperparathyroidism, aluminum toxicity,
defisiensi folat, menurunnya masa hidup SDM (Kandarini, 2017).
Kadar keratinin pasien juga berada diatas batas normal. Kadar keratinin
digunakan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu kemampuan
fungsi ginjal untuk menyaring darah dalam satu menit. Berdasarkan laju filtrasi
glomerulus (LFG), derajat penyakit gagal ginjal kronik terdiri dari stage atau
stadium 1 sampai 5. Hasil perhitungan LFG pasien diperoleh adalah 25,56
ml/mnt/1.732m2, berdasarkan klasifikasi yang disebutkan dalam KDIGO,
menunjukkan bahwa pasien masuk ke dalam stadium 4 (15-29
ml/mnt/1.732m2).
Menurut Lubis dkk (2017) tatalaksana gagal ginjal kronik yaitu dengan
mengatasi penyakit penyerta serta terapi terhadap komplikasi. Dari kasus ini
penyakit penyerta yang diderita pasien yaitu hipertensi dan DM Tipe 2 serta
komplikasi yang terjadi yaitu anemia. Terapi hipertensi yang disarankan untuk
pasien dengan diabetes pada pasien GGK yaitu golongan ACEI/ARB. Pada
terapi ini digunakan golongan ARB. Menurut Dipiro et al (2015), ARBs
memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan antihipertensi
golongan ACE inhibitor seperti diantaranya dapat menyebabkan infusiensi
ginjal, hyperkalemia dan hipotensi ortostatik. Zat – zat atau obat - obatan
golongan ARBs ini memiliki daya lindung ginjal terhadap kerusakan lebih
lanjut terutama pada pasien DM tipe 2 dan dapat memperlambat terjadinya
albuminuria pada penderita.
Penggunaan HCT digantikan dengan valsartan 1 x 80 mg/hari PO.
Menurut pionas HCT dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan ginjal
berat seperti yang dialami oleh pasien (GGK stadium 4), serta dapat
meningkatkan kadar LDL dimana pasien telah mengalami peningkatan LDL
pada pemeriksaan sebelumnya. Menurut Kholifah (2023), Kelebihan dari obat
valsartan adalah efektif dalam pengobatan hipertensi ringan dan sedang dan
untuk mendapatkan efek renoprotektif yang bermanfaat untuk pasien penyakit
ginjal dan memaksimalkan dosis obat tunggal maupun kombinasi dua obat lain,
dan valsartan salah satu alternatif terapi untuk mencegah kerusakan ginjal.
Untuk terapi DM tipe 2 pada pasien dengan mengganti terapi
glibenklamid 2 x 5 mg/hari PO dengan Pioglitazone 1 x 15 mg/hari PO.
Menurut Setyaningrum dkk (2019), Pioglitazone dimetabolisme oleh hati dan
tidak dipengaruhi fungsi ginjal. Resiko hipoglikemia tidak terjadi akibat
penggunaan obat ini. Penggunaan pioglitazon pada gagal ginjal stadium 3, 4
dan 5 tidak memerlukan penyesuaian dosis. Anti diabetik oral ini juga dapat
diberikan pada pasien gagal ginjal dengan dialysis.
Selanjutnya terapi untuk anemia pada pasien yaitu menggunakan terapi
Asam Folat 1 x 5 mg/hari PO. Karena menurut Makmur dkk (2022),
penggunaan obat vitamin dan mineral yang paling banyak digunakan pada
penelitian yaitu asam folat sebanyak 25 pasien (49%). Penggunaan vitamin dan
mineral ditujukan untuk mengobati anemia yang banyak diderita oleh pasien
GGK yang disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoetin (EPO).
Pengunaan asam folat diberikan kepada pasien karena berperan dalam
pemeliharaan eritropoiesis sel darah merah karena efek teraupetik dari asam
folat yaitu sebagai pemulihan hematopoiesis normal.
Selanjutnya untuk terapi anemia ini, jika telah menggunakan asam folat
namum belum mencapai goals terapi pasien dapat dilakukan penambahan obat
Eritropoietin untuk menghindari anemia yang dialami pasien semakin parah.
Selain terapi secara farmakologi, pasien juga diharapkan dapat
melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, serta melakukan terapi secara
non farmakologi juga agar dapat meningkatkan keberhasilan terapi yang
diinginkan seperti mengurangi asupan gula pada makan dan minuman,
mengurangi asupan natrium makanan, menjaga berat badan, membatasi protein
yang masuk sekitar 0,8g/kg/hari, berolahraga ringan secara rutin, tidak
merokok, serta tidak mengkonsumsi alcohol.
Pemantauan
Nama Obat Kondisi Klinik Tanda Vital Parameter Laboratorium
I : hipertensi
ESO : hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan
kadar renin tinggi seperti hypovolemia, gagal jantung, tekanan darah, nadi, Pemeriksaan urin, Na, K, Cl,
Valsartan
sirosis hepatis. Efek samping lainnya : pusing, sakit pernapasan Ca, BUN, SrCr
kepala, diare, ruam, abnormal taste sensation (metallic
taste)
I : Diabetes melitus tipe 2
ESO : Gangguan saluran cerna, peningkatan berat
badan, edema, anemia, sakit kepala, gangguan GDs, GDp, Gula darah
Pioglitazone penglihatan, pusing, altralgia, hipoestesia, hematuria, sebelum makan/preprandial,
impoten, lemah, insomnia, vertigo, berkeringat, HbA1c
mempengaruhi kadar lemak darah, proteinuria,
hepatotoksik
I : anemia, pemeliharaan eritropoiesis sel darah merah
ESO : Mual, kehilangan nafsu makan, kembung, rasa
Asam Folat tekanan darah Hemoglobin
pahit atau tidak enak di mulut, gangguan tidur dan
perubahan mood
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
1. Pasien diharapkan menggunakan terapi yang direkomendasikan dengan
patuh
2. Pemantauan terapi Chronic Renal Failure (CRF) setelah pemberian obat
3. Melakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala
4. Persiapan hemodialysis
5. Melakukan pola hidup sehat
F. KESIMPULAN
1. Masalah terkait obat yang ditemukan antara lain : penggunaan obat yang
tidak tepat
2. Rencana rekomendasi terapi yang diusulkan antara lain :
Farmakologi
 Valsartan 1 x 80 mg/hari PO
 Pioglitazon 1 x 15 mg/hari PO
 Asam Folat 1 x 5 mg/hari PO
Non Farmakologi
 Mengurangi asupan gula pada makan dan minuman
 Mengurangi asupan natrium makanan
 Menjaga berat badan
 Membatasi protein yang masuk sekitar 0,8g/kg/hari
 Berolahraga ringan secara rutin
 Tidak merokok
 Tidak mengkonsumsi alkohol
G. DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, A. A., & Mongan, A. E., 2016. Gambaran Kadar Kreatinin Serum
Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis. Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.

Ayutthaya, S.S & Nurhayati, A. 2020. Faktor Risiko Hipertensi Pada


Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Vol. 9, No. 2. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Dewi, S. P. (2015) Hubungan Lamanya Hemodialisa Dengan Kualitas Hidup


Pasien Gagal Ginjal Di RS Pku Muhammadiyah Yogyakarta, Pp. 1–11.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition-Section 4 Chapter 19, The
Mcgraw-Hill Companies, Inc, United States.

Gliselda, V. K. 2021. Diagnosis Dan Manajemen Penyakit Ginjal Kronik


(PGK). Jurnal Medika Hutama, Vol. 02, No. 04. Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.

K/DOQI. 2006. Clinical Practice Guidelines And Clinical Practice


Recommendations For Anemi In Chronic Kidney Disease. Am J Kidney
Dis 47: S11-145.

Kandarini, Yenny. 2017. Penatalaksanaan Anemia Pada Penyakit Ginjal


Kronik. Divisi Ginjal Dan Hipertensi, Bagian/Smf Ilmu Penyakit Dalam
Fk Unud/Rsup Sanglah Denpasar.

Kholifah, D. 2023. Perubahan Tekanan Darah Pasien Hipertensi Dengan


Gagal Ginjal Pada Pemberian Obat Valsartan Di Rumah Sakit Citra
Husada. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Dr.Soebandi
Jember.

Lubis, Abdurrahim R. Et Al. 2017. Pedoman Penatalaksanaan Gagal Ginjal


Kronik. Divisi Nefrologi-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rsup. H Adam Malik
Medan.

M.A., T. Et Al. (2013) Kidney Disease: Improving Global Outcomes (Kdigo)


Lipid Work Group. Kdigo Clinical Practice Guideline For Lipid
Management In Chronic Kidney Disease, Kidney International
Supplements, 3(3), Pp. 1– 315.

Makmur, Siti Alfanda., Madania, Nur, R. 2022. Gambaran Interaksi Obat


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dalam Proses Hemodialisis.
Indonesian Journal Of Pharmaceutical Education (E-Journal), 2 (3): 218–
229. Fakultas Olahraga Dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.

Muss, R., Mutmainnah Abbas, Titin Agustina. 2022. Skrining Kesehatan


Melalui Pemeriksaan Protein Urine Di Kompleks Aditarina Kota
Makassar. Jurnal Mandala, Vol. 3, No. 2. Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura.

Nathan, D.M., Cleary, P.A., Backlund, J.Y., Et Al. 2005. Intensive Diabetes
Treatment And Cardiovascular Disease In Patients With Type I Diabetes.
N Engl J Med 353: 2643-2653.

Price, S. A. And Wilson, L. M. (2006) Patofisiologi Clinical Concepts Of


Desiase Process.Edisi 6 Vo. Edited By A. Bahasa B. U. Jakarta: Egc
Rahardjo, P. (2006). Hemodialisis Dalam Ilmu Penyakit Dalam.J Ilid: 1. Edisi:
Iv. Penerbit : Fkui. Jakarta: 579
Ricchetti, C., Leticia, B. 2012. Chronic Kidney Disease.
Http://www.Medscape.com/viewarticle/766696_print. [Diakses: 3
Desember 2023].

Rustandi, H. And Al, E. (2018) Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan


Mekanisme Koping Pasien Hemodialisa RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu,
6(1), Pp. 15–24.

Setyaningrum, N., Rina Agustina, Yosi Febrianti. 2019. Kesesuaian


Pengobatan Antidiabetik Oral Pada Pasien Dengan Komplikasi Penyakit
Ginjal Kronik Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. J
Pharm Sci, Vol 02, No 1, Departemen Farmasi Fakultas Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia.

Tucker, S.M. (1998). Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan,


Diagnosis, Dan Evaluasi Edisi V. Jakarta : EGC.

H. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai