Anda di halaman 1dari 25

5

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Landasan Teori
1. Pengertian/Batasan
a. Definisi
Berikut ini ada beberapa pengertian gagal ginjal kronik menurut
beberapa literatur yang penulis gunakan, yaitu :
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur
atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal (National
Kidney Foundation, 2002).
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
adalah kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal kurang dari 60% ginjal
normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan
ginjal untuk membuang toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat
berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai
dengan albuminuria (>30 mg albumin urin per garam dari kreatinin urin),
Glomerular Filtration Rate (GFR)/Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (Black
& Hawks,2005; Smeltzer & Bare,2001; Mansjoer, A.,2001).

b. Epidemiologi
Prevalensi CKD atau Chronic Kidney Disease mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Dalam kurung waktu tahun 1999 sampai
dengan 2004 terdapat 16,8% dari populasi penduduk dengan usia diatas 20
tahun mengalami CKD. Persentase ini mengalami kenaikan dibandingkan 6
tahun sebelumnya, yakni 14,5% (Chelliah, 2011). Hipertensi juga sering
menyertai dan menjadi sebab dari keparahan CKD. Bahkan banyak pasien

5
6

yang memulai hipertensi kemudian mengalami komplikasi CKD,


dibandingkan CKD kemudian hipertensi (Cohen and Townsend, 2011).
Menurut Suhardjono (2000) di Indonesia berdasarkan Pusat Data dan
Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS) jumlah
penderita CKD diperkirakan sekitar 50 orang per 1 juta penduduk. Pada
tahun 2006 terdapat kurang lebih 100.000 orang penderita CKD di Indonesia
(Chelliah, 2011).
Berdasarkan laporan dari Indonesia Renal Registry dari PERNEFRI
tahun 2015, berikut beberapa epidemiologi PGK di Indonesia:
1. Terjadi peningkatan pasien baru yang terdata, yaitu sebanyak 21.050
(tidak dapat menunjukkan data seluruh Indonesia)
2. Terjadi peningkatan pasien aktif atau pasien yang menjalani
hemodialisis, diduga karena faktor Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
3. Proporsi berdasarkan usia tertinggi pada usia 45–54 tahun yaitu 56.72%
pasien baru dan 56.77% pasien aktif
c. Etiologi
Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi,
beberapa kondisi atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah
atau struktur lain di ginjal dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling
sering muncul adalah:
a. Diabetes Melitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus.
Jika kadar gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal
ini dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal (WebMD, 2015).

Tabel 2.1 Pengkatagorian Status Glukosa

Parameter Keterangan Nilai


Normal <100 mg/dL
Gula Darah Puasa Toleransi Kelainan 100-125 mg/dL
Diabetes Mellitus > 126 mg/dL
Normal <140 mg/dL
7

Gula Darah Dua Jam Setelah Toleransi Kelainan 140 – 199


Makan Glukosa mg/dL
Diabetes Mellitus >200 mg/dL

b. Hipertensi
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab
penurunan fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab
utama terjadinya CKD (WebMD, 2015).
Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD
antara lain:
a. Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan
oleh kista
b. Memiliki arteri renal yang sempit.
c. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak
ginjal. Seperti obat Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID),
seperti Celecoxib dan Ibuprofen dan juga penggunaan antibiotik
(WebMD, 2015).

Table 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa


Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120 – 139 80 - 89
Hipertensi Stage I 140 – 159 90 - 99
Hipertensi Stage 2 > 160 >100

d. Klasifikasi
Pengklasifikasian CKD berdasarkan derajat (Stage) (Suwitra, 2006),
seperti berikut ini :
8

Tabel 2.3 Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit

Derajat Deskripsi Nama Lain GFR


(mm/menit/1.73m2)
I Kerusakan ginjal dengan Risiko >90
GFR normal
II Kerusakan ginjal dengan Chronic Renal 60-89
penurunan GFR ringan Insufisiensi
(CRI)
III Penurunan GFR tingkat CRI, Chronic 30-59
sedang Renal Failure
(CFR)
IV Penurunan GFR tingkat CFR 15-29
berat
V Gagal Ginjal End- Stage <15
Renal Disease
(ESDR)
Sumber : (Black & Hawks,2005; Levin, et al., 2008)

e. Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan CKD terdapat manifestasi klinis yang bervariasi
dan pasien juga memiliki beberapa keluhan, berikut ini :

Table 2.4 Manifestasi Klinis pada pasien CKD

Derajat CKD Manifestasi Klinis


Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa
abnormalitas hasil tes laboraturium dan tanpa
manifestasi klinis
Derajat II Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi
hipertensi, munculnya nilai laboraturium yang
abnormal.
9

Derajat III Asimptomatik, nilai laboraturium menandakan


adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ,
terdapat hipertensi
Derajat IV Munculnya manifestasi klinis CKD tanpa kelelahan
dan penurunan rangsangan
Derajat V Peningkatan BUN, Anemia, Hipokalsemia,
Hiponatremia, peningkatan asam urat, proteinuria,
pruritus, edema, hipertensi, peningkatan kreatinin,
penurunan sensasi rasa, asidosis metabolik, mudah
mengalami perdarahan, hyperkalemia
Sumber : Black & Hawks (2005)

f. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif
GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular
Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
1. Penurunan cadangan ginjal
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal),
tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat
mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan
mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan
CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
2. Insufisiensi ginjal
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-
nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic
dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan
oliguri, edema. Derajat 8 insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan
berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis
3. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
10

4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang
dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di
seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi
sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam
darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan
pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Brunner &
Suddarth, 2011).
g. Faktor Resiko

Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan


faktor resiko untuk mendeteksi CKD. Delapan faktor tersebut meliputi usia
tua, anemia, wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskuler perifer dan
riwayat gagal jantung kongestif atau penyakit kardiovaskuler (Gopalan,
2008). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2010 didapatkan urutan etiologi terbanyak
penyakit ginjal hipertensi (35%), nefropati diabetika (26%), glumerulopati
primer (12%).

Menurut National Kidney Foundation, faktor resiko penyakit gagal


ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau hipertensi,
obesitas, perokok, berumur lebih dari 50 tahun dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan


dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation,
2010). Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
11

Tabel 2.5 Rencana Tatalaksana CKD Sesuai Stadium


Stadium GFR Rencana Tatalaksana
(mL/menit/1,73m2)
1 > 90 Observasi, control tekanan darah
2 60-89 Observasi, control tekanan darah
dan factor resiko
3a 45-59 Observasi, control tekanan daran
3b 30-44 dan factor resiko
4 15-29 Persiapan untuk RRT
5 <15 RRT
Sumber : (Suwitra, 2009 ; The Renal Association, 2013)
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dapat dibagi
menjadi berikut, yaitu :
a. Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk. Cairan yang diperbolehkan adalah 500
samapai 600 ml untuk 24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang
keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL 500 ml, maka air yang
masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
- Diet rendah uremia

b. Obat-obatan
Anti hipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium,
furosemid
c. Dialysis
- Peritoneal Dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency sedangkan
dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis)
12

- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan :
- AV fistula : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke
jantung )
d. Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan
sebelum terjadinya penurunan GFR sehingga tidak terjadi perburukan
fungsi ginjal. Selain itu, perlu juga dilakukan pencegahan dan terapi
terhadap kondisi komorbid dengan mengikuti dan mencatat penurunan GFR
yang terjadi. Perburukan fungsi ginjal dapat dicegah dengan mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus, yaitu melalui pembatasan asupan protein dan terapi
farmakologis guna mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting
mengingat 40-45 % kematian pada CKD disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular ini. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular dapat
dilakukan dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia dan sebagainya. Selain itu, perlu dilakukan 16
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi yang mungkin muncul seperti
anemia dan osteodistrofi renal (Suwitra, 2009).

2. Konsep Dasar Hemodialisis


1. Definisi Hemodialisis
Merupakan proses difusi melintasi membran semipermeabel untuk
menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah sementara
menambahkan komponen yang diinginkan (Carpenter & Lazarus, 2000).
13

Proses ini menggantikan sebagian faal eksresi ginjal yang ditujukan untuk
mempertahankan hidup pasien (Rahardjo, Susalit, & Suhardjono, 2009).
Hemodialisis merupakan salah satu metode RRT yang paling umum
digunakan dalam penanganan pasien ESRD (National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease, 2006). 2.2.2 Prosedur Hal penting yang
perlu diperhatikan sebelum memulai hemodialisis adalah mempersiapkan
akses vaskular, yaitu suatu tempat pada tubuh dimana darah diambil dan
dikembalikan. Persiapan ini dibutuhkan untuk lebih memudahkan prosedur
hemodialisis sehingga komplikasi yang timbul dapat diminimalisir (National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2006). 17 Akses
vaskular dapat berupa fistula, graft, atau kateter. Fistula dibuat dengan
menyatukan sebuah arteri dengan vena terdekat yang terletak di bawah kulit
untuk menjadikan pembuluh darah lebih besar. Graft merupakan akses lain
yang dapat digunakan apabila pembuluh darah tidak cocok untuk fistula.
Pembuatan graft ini dilakukan dengan cara menyatukan arteri dan vena
terdekat dengan tabung sintetis kecil yang diletakkan di bawah kulit. Akses
ketiga yang dapat digunakan adalah pemasangan kateter. Kateter dipasang
pada vena besar di leher atau dada sebagai akses permanen ketika fistula dan
graft tidak dapat dipasang. Kateter ini kemudian akan secara langsung
dihubungkan dengan tabung dialisis dan tidak lagi menggunakan jarum
(National Kidney Foundation, 2007).
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu
tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen terpisah
(Rahardjo et al., 2009). Salah satu kompartemen berisikan darah pasien dan
kompartemen lainnya berisikan cairan dialisat (National Kidney
Foundation, 2007). Dialisat merupakan suatu cairan yang terdapat dalam
dialiser yang membantu membuang zat sisa dan kelebihan cairan pada tubuh
(National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2006).
Cairan ini berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan
tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen (Rahardjo et al., 2009). 18
Kedua kompartemen ini dipisahkan oleh suatu membran. Dialisat dan darah
14

yang terpisah akan mengalami perubahan konsenstrasi karena zat terlarut


berpindah dari konsenterasi tinggi ke konsenterasi rendah sampai
konsenterasi zat pelarut sama di kedua kompartemen (difusi) (Rahardjo et
al., 2009). Hal ini yang menyebabkan terjadinya perpindahan zat sisa seperti
urea, kreatinin dan kelebihan cairan dari dalam darah. Sel darah, protein dan
zat penting lainnya tidak ikut berpindah dikarenakan molekulnya yang besar
sehingga tidak dapat melewati membran (National Kidney Foundation,
2007). 2.3 Imunodefisiensi pada Pasien ESRD Berdasarkan data dari United
States Renal Data System (USRDS), pasien yang menjalani hemodialisis
mengalami peningkatan angka morbiditas dan rawat inap terkait dengan
infeksi. Antara tahun 1993 sampai 2012 peningkatan angka rawat inap
pasien ESRD yang terjangkit infeksi mencapai 34% (United States Renal
Data System, 2014). Keadaan ini menyumbangkan 15% penyebab kematian
pada pasien ESRD (Allon et al., 2003). Uremia dan kontak ulang dengan
dialiser dianggap sebagai suatu faktor penting yang mempengaruhi respon
sistem imun (Amore & Coppo, 2002). Hal ini menstimulasi limfosit
sehingga menjadi penyebab terjadinya imunodefisiensi. Keadaan
imunodefisiensi inilah yang 19 kemudian membuat pasien ESRD menjadi
rentan terhadap infeksi (Lisowska et al., 2014) Normalnya, sel B dapat
mengenali antigen polisakarida secara langsung dan sel T spesifik mengenali
antigen lainnya. Namun pada keadaan uremia, terjadi kerusakan pada fungsi
sel T (Beaman et al., 1989; Girndt et al., 2001). Sel B dan T berfungsi dengan
normal apabila terdapat sinyal yang baik pula dari antigen-presenting cells
(APC). Pada ESRD terdapat kerusakan fungsi pada kostimulasi APC
sehingga menyebabkan gangguan aktivasi efektor limfosit (Girndt et al.,
2001). Jumlah leukosit pada pasien dialisis normal, namun terdapat
limfopenia akibat peningkatan apoptosis limfosit perifer (Amore & Coppo,
2002; Saad et al., 2014)
15

Gambar 1. Skema Proses Hemodialisis


2. Epidemiologi / Insiden Kasus
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pada bulan Januari
sampai Desember tahun 2011, didapatkan jumlah penderita penyakit ginjal
kronik yang tercatat dari Rumah Sakit umum Pemerintah dan Daerah
berjumlah 1171 rawat inap dan laporan pada bulan Januari sampai
Desember tahun 2011 jumlah pasien yang mengalami rawat jalan adalah
661. Peningkatan kasus baru hemodialisa sebesar 33% pertahun.
Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir – akhir ini
menjalani dialysis.
3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis
emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut
tindakan dialisis dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis
uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine 6,5 mmol/I), asidosis
berat (PH 150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati
uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115
mmol/l), hipertermia, keracunan akut (alcohol, obat –obatan) yang bisa
melewati membrane dialysis.
16

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan


berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR dijumpai salah satu dari :
1. GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis,
2. Gejala uremia meliputi : lethargi, anoreksi, nausea dan muntah,
3. Adanya malnutrisi, atau hilangnya massa otot,
4. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan,
5. Komplikasi metabolic yang refrrakter (Daugirdas et al., 2007).
4. Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap
akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang
mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang
sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan
hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik
terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis regular, namun
sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension
(Agarwal & Light, 2010).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya
adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb,
2013; Sudoyo et al., 2009).
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal
osteodystrophy, Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada
17

akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic


kidney disease (Bieber & Himmelfarb, 2013). Terjadinya gangguan
pada fungsi tubuh pasien hemodialisis, menyebabkan pasien harus
melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa.

5. Konsep Fisiologi Tindakan Atau Alat / Pengaruh Terhadap Tubuh


a. Konsep Fisiologi Tindakan
Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi zat terlarut dari satu
larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran semipermiabel.
Molekul- molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul rendah
dalam kedua larutan dapat melewati pori-pori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati
barier membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat
terlarut (toksin uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau
dializer berhubungan dengan proses difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).

1) Proses Difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut.
Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah
kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.

2) Proses Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut
secara simultan dari kompartemen darah kedalam kompartemen
dialisat melalui membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini
terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.

3) Ultrafiltrasi hidrostatik
- Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut
didalamnya berpindah dari darah ke dialisat melalui membran
18

semipermiabel adalah akibat perbedaan tekanan hidrostatik


antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat.
Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang
melewati membran.

- Koefisien ultrafiltrasi (KUf)


Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air
bervariasi tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf
adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati
membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure gradient) atau
perbedaan TMP yang melewati membran.

4) Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah
partikel dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih
kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan
berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan
membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan
permiabel terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada
kedua bagian menjadi sama.

b. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan


• UF Goal / UFR
• Metoda Heparin
• Lokasi & type AV
• Blood flow rate & lama HD
• Type & luas permukaan dialiser
• Komposisi cairan dialisat
c. Peralatan / Pengaruh Terhadap Tubuh
1) Hemodialisis
Peralatan untuk terapi HD terdiri dari dializer, water treatment,
larutan dialisat (konsentrat) serta mesin HD dengan sistem monitor.
19

a) Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung
sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan
dialisat. Material membran dializer dapat terbuat dari Sellulose,
Sellulose yang disubstitusi, Cellulosynthetic, Synthetic.
Spesifikasi dializer yang dinyatakan dengan Koeffisient
ultrafiltrasi (Kuf) disebut juga dengan permiabilitas air. Besarnya
permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah
jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per
mmHg perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan
TMP yang melewati membran. Dializer ada yang memiliki high
efficiency atau high flux. Dializer high efificiency adalah dializer
yang mempunyai luas permukaan membran yang besar. Dializer
high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang
dapat melewatkan. Molekul yang lebih besar, dan mempunyai
permiabilitas terhadap air yang tinggi. Ada 3 tipe dializer yang
siap pakai, steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk hollow-fiber
(capillary) dializer, parallel flat dializer dan coil dializer. Setiap
dializer mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin
efektifitas proses eliminasi dan menjaga keselamatan penderita.
Yang banyak beredar dipasaran adalah bentuk hollowfiber
dengan membran selulosa.

b) Water Treatment
Air yang dipergunakan untuk persiapan larutan dialisat
haruslah air yang telah mengalami pengolahan. Air keran tidak
boleh digunakan langsung untuk persiapan larutan dialisat,
karena masih banyak mengandung zat organik dan mineral. Air
keran ini akan diolah oleh water treatment sistim bertahap.
20

c) Larutan Dialisat
 Dialisat Asetat
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat
standard untuk mengoreksi asidosis uremikum dan untuk
mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD.
Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan
relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka
dialisat asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya
lebih banyak. Efek samping yang sering seperti mual, muntah,
kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik,
hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi
glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Adapun komposisi
dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut:

 Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu
larutan asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium
tidak termasuk dalam konsentrat bikarbonat oleh karena
konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan
bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium
karbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi
mikroba karena konsentratnya merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat
diminimalisir dengan waktu penyimpanan yang singkat.
Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut.
Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun
relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan
dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibanding dengan
dialisat asetat.
21

d) Mesin hemodialisis
Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk
mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada
dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml
per,33 - 8,33 menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi
diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan
dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-390 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang
terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD
sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan
keselamatan penderita.

e) Tusukan Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek
teknik untuk program HD akut maupun kronik. Tusukan
vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh
penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi
ketubuh penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten
jangka panjang, maka perlu ada jalan masuk ke sistem
vaskular penderita yang dapat di andalkan. Darah harus dapat
keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400
ml/menit. Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk
hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses
internal (Price, 1995).

(1) Akses Internal (Permanen)


 Arterio-Venous Fistula (AVF).
AVF di buat dengan teknik bedah melalui anastomosis
langsung dari suatu arteri dengan vena (biasanya arteri
22

radialis dan vena sefalika pergelangan tangan) pada


tangan yang non dominant. Darah pirau dari arteri ke
vana membesar setelah beberapa minggu. Pungsi vena
dengan jarum yang besar akan lebih mudah di lakukan
dan mencapai aliran darah pada tekanan arterial.
Hubungan ke sistem dialisis di buat dengann
menempatkan satu jarum di distal (garis arteri) dan
sebuah jarum lagi di proksimal (garis vena) pada vena
yang sudah di arterialisasi tersebut. Masalah yang paling
utam adalah rasa nyeri pada pungsi vena, terbentuknya
aneurisma, trombosis, kesulitan hemostasis postdialisis,
dan iskemia pada tangan (steal syndrome) (Price, 1995).

 Arterio-Venous Graft (AVG).


Di ciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari
teflon dalam arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis
posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-
ujung kanula kemudian dihubungkan dengan selang
karet silikon dan suatu sambungan teflon yang
melengkapi pirau. Pada waktu di lakukan dialisis,
maka selang pirau eksternal di pisahkan dan di buat
hubungan dengan dialyzer. Darah kemudian mengalir
dari jalur arteri, melalui dialyzer dan kemudian
kembali ke vena. Masalah utama adalah masa
pemakaian yang pendek akibat pembekuan dan infeksi
(rata-rata 9 bulan).

(2) Akses eksternal atau kateter


 Kateter vena subklavia
 Kateter vena jugularis
 Kateter vena femoralis
23

Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan


kedalamvena subklavia, jugularis, atau vena femoralis
yang memiliki akses langsung menuju jantung katetr ini
merupakan akses vaskular sementara. akses ini
digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan
untuk pengobatan, dan pasien membutuhkan dialisis
darurat. Internal AVF and AFG lebih di pilih untuk di
gunakan dari pada kateter karena AVF dan AVG
menurunkan kemungkinan infeksi, yang sangat penting
bagi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang
memiliki daya imun rendah (Kidney Dialysis
Foundation, 2004).

3. Lama Terapi Hemodialisis


KDOQI merekomendasikan bahwa pasien dengan residual kidney
function rendah (kurang dari 2 ml/menit) menjalani hemodialysis tiga kali
seminggu dengan durasi 3 jam setiap kali hemodialisis (Rocco et al., 2015).
Pranoto (2010) membagi lama terapi henodialisis menjadi 3 yaitu, kurang
dari 12 bulan, 12-24 bulan, dan lebih dari 24 bulan (Pranoto, 2010).
Pasien yang menjalani hemodialisis selama lebih dari 10 tahun kemudian
melakukan transplantasi ginjal memiliki outcome yang lebih buruk
dibandingkan dengan pasien yang melakukan transplantasi ginjal yang
sebelumnya melakukan terapi hemodialisis dalam waktu yang lebih singkat
(Campbell Walsh, 2012).
4. Kualitas Hidup
a. Definisi
Menurut WHO, kualitas hidup merupakan persepsi individu mengenai
posisi mereka dalam kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai
dimana mereka tinggal serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standar,
dan hal-hal lain. Kualitas hidup merupakan konsep yang luas karena
dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kesehatan fisik, psikologis, tingkat
24

kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan lingkungan (Nofitri,


2009).
Menurut WHOQOL (2012), kualitas hidup terdiri dari enam dimensi
yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian,
hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan, dan keadaan spiritual.
Dalam hal ini, dimensi fisik terdiri dari aktivitas sehari-hari, energi dan
kelelahan, serta tidur dan istirahat. Sementara pada dimensi psikologis
terdapat penampilan tubuh, perasaan negatif, dan perasaan positif. Aspek
kemandirian meliputi mobilitas, aspek sosial meliputi dukungan sosial dan
aktivitas seksual. Kemudian aspek lingkungan meliputi sumber finansial,
kebebasan, keselamatan fisik,dan yang terakhir dimensi spiritual terdiri dari
kepercayaan spiritual(WHOQOL, 2012)

b. Penilaian Kualitas Hidup


Penilaian atau pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan dapat
menggunakan kuesioner. Menurut (Harmaini, 2006), terdapat 3 macam alat
ukur kualitas hidup, yaitu:
1) Alat ukur generik
Alat ukur generik adalah alat ukur yang dalat digunakan untuk berbagai
macam penyakit maupun usia. Kelebihan dari alat ukur ini adalah
penggunaannya dapat lebih luas, namun kekurangan dari alat ukur ini
adalah tidak mencakup hal-hal khusus pada penyakit tertentu.
Contohnya adalah vShort Form-36 (SF-36).
2) Alat ukur spesifik
Alat ukur spesifik merupakan alatpengukur kualitas hidup yang spesifik
untuk penyakit tertentu. Alat ukur ini berisikan pertanyaan-pertanyaan
khusus yang sering terjadi pada penyakit yang dimaksud. Kelebihan
dari alat ukur ini adalah dapat mendeteksi lebih tepat keluhan atau hal
khusus yang berperan pada penyakit tertentu. Kekurangan dari alat ukur
25

ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan biasanya
pertanyaannya lebih sulit dimengerti. Contoh dari alat ukur ini adalah
Kidney Disease Quality of Life – Short Form (KDQOL-SF).
3) Alat ukur utility
Alat ukur utility merupakan pengembangan dari suatu alat ukur,
biasanya dari alat ukur generik. Pengembangannya dari penilaian
kualitas hidup menjadi parameter lainnya, sehingga mempunyai
manfaat yang berbeda. Contohnya adalah European Quality of life – 5
Dimensions (EQ-5) yang dikonversi menjadi Time Trade-Off (TTO)
yang berguna untuk bidang ekonomi, yaitu dapat digunakan untuk
menganalisis biaya kesehatan dan perencanaan keuangan kesehatan
negara.
Kuesioner KDQOL SF merupakan kuesioner spesifik yang digunakan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. KDQOL SF versi 1.3 mencakup
19 domain kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis, 19 domain tersebut adalah: Gejala/masalah yang menyertai,
efek penyakit ginjal, beban akibat penyakit ginjal, status pekerjaan, fungsi
kognitif, kualitas interaksi sosial, fungsi seksual, tidur, dukungan yang
diperoleh, dorongan dari staf dialisis, kepuasan pasien, funsi fisik,
keterbatasan akibat masalah fisik, rasa nyeri yang dirasakan, persepsi
kondisi kesehatan secara umum, kesejahteraan emosional, keterbatasan
akibat masalah emosional, fungsi sosial, energi/kelelahan (Hays et al.,
1997).
Kuesioner ini memiliki rentang nilai per-item 0-100. Dimana semakin
tinggi nilai berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik (Fructuoso
et al., 2011)

5. Pengaruh lamanya menjalani hemodialisis dengan kualitas hidup pasien


PGK
Lamanya hemodialisis diartikan sebagai seberapa lama seseorang telah
menjalani hemodialisis. Tujuan terapi hemodialisis bukan untuk
26

menyembuhkan pasien dari penyakit ginjal kronik, karena seperti yang telah
diterangkan sebelumnya, penyakit ini bersifat irreversible. Tujuan utamanya
sebagai pengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh
manusia. semakin lama seorang pasien menjalani terapi hemodialisis
berbanding terbalik dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal terminal. Hal
ini diikarenakan tingkat kekhawatiran serta stress pasien yang semakin
meningkat karena berpikir seharusnya hemodialisis dapat menyembuhkan
pasiennya (Anees et al., 2011).
Terapi HD juga akan mempengaruhi keadaan psikologis pasien. Pasien
akan mengalami gangguan proses berpikir dan konsentrasi serta gangguan
dalam berhubungan sosial. Semua kondisi tersebut akan menyebabkan
menurunnya kualitas hidup pasien PGK yang menjalani terapi HD (Atimiati,
2012).
Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
mengalami banyak perubahan fisik, psiologis, dan social yang dikaitkan
dengan proses penyakit dan kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan
perubahan. Penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis berhubungan dengan
gejala fisik dan komplikasi. Misalnya penyakit jantung, anemia, gangguan
tidur yang dapat disebabkan oleh uremia, durasi terapi dialisis, dan sakit kronis.
Selain itu, juga menyebabkan ganggun neurologis dan gangguan
gastrointestinal yang memberikan dampak bagi kualitas hidup penderita.
Masing-masing perubahan fisik memiliki potensial untuk menurunkan kualitas
hidup (Utami, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Liu (2006) menyatakan bahwa pasien
yang memulai terapi dialisis pada tahun 2000-2001 memiliki skor kualitas
hidup yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang memulai terapi dialisis pada
tahun 1997-1998 (Liu et al., 2006).
Penelitian pada tahun 2014 di semarang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan kualitas hidup pasien,
dengan p value < alpha (0,024 < 0,05) (Utami, 2014).
27

Terapi Hemodialisa membutuhkan waktu yang lama, biaya mahal, dan


membutuhkan kepatuhan pasien mengenai restriksi cairan dan diet. Pasien
akan kehilangan kebebasan karena berbagai aturan, pasien sangat tergantung
pada pemberi layanan kesehatan. Pendapatan akan semakin berkurang atau
bahkan hilang, akibat pasien tidak produktif. Dengan didukung beberapa aspek
lain seperti aspek fisik, psikologis, sosioekonomi dan lingkungan, maka hal
tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal (Nurchayati,
2011)
28

B. Kerangka Teori

PGK

Peritonial Transplantasi
Dialisis
Ginjal
Hemodialisis
Jangka Panjang

Komplikasi

Stressor Psikologis
 Pembatasan cairan
Stressor fisik  Pembatasan
konsumsi makanan
 Hipotensi
 Gangguan tidur
 Kram otot
 Pembatasan waktu
 Gatal
dan tempat bekerja
 Anemia
 Faktor ekonomi
 Lama menjalani
hemodialisis

Kualitas hidup
PGK

Gambar 1. Kerangka Kerangka Teori Hubungan Lama Menjalani Terapi Hemodialisis


dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik
29

C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan sehingga membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterkaitan antar variable (variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti)
(Nursalam, 2011).

PGK

Variabel Lama Menjalani


independen Terapi Hemodialisis

Variabel dependen Kualitas Hidup Pasien


Hemodialisis

Gambar 2. Kerangka Konsep Hubungan Lama Menjalani Terapi Hemodialisis


dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Anda mungkin juga menyukai