Oleh :
SITI SOLICHAH
P.1337420920064
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
sisa-sisa metabolisme dan racun yang ada di dalam tubuh kedalam bentuk urin.
kesehatan yang terbatas serta kurangnya tenaga dokter spesialis yang menjadi
kerusakan secara irreversible atau tidak dapat kembali seperti semula, tubuh
2012 menurut WHO penyakit ginjal dan saluran kemih menyebabkan kematian
sebanyak 850.000 jiwa dan penyakit gagal ginjal kronik adalah penyakit
meningkat, serta pada tahun 2025 diperkirakan penderita gagal ginjal kronis
lebih dari 380 juta orang. Jepang merupakan Negara tertinggi yang
penduduknya menderita gagal ginjal dengan 1.800 kasus per juta penduduk,
dan 220 kasus baru per tahun. Sedangkan Amerika Serikat penderita gagal
ginjal kronik pada tahun 2007 prevalensinya mencapai 1.569 orang per sejuta
tertangani dengan baik karena keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan yang
dapat menangani penyakit gagal ginjal kronik. Pada tahun 2015 sebanyak 3
juta penduduk perlu mendapatkan pengobatan untuk gagal ginjal terminal atau
16 juta jiwa. Pada tahun 2008 terdapat 300 ribu penderita gagal ginjal di
Indonesia dan semakin meningkat dari tahun ketahun, dibuktikan dari data PT
Askes Indonesia pasien gagal ginjal pada tahun 2010 mencapai 17.507 orang
dan meningkat menjadi 23.261 orang di tahun 2011, dan di tahun 2012
disusul oleh Aceh, Gorontalo, Sulawesi Utara dengan prevalensi 0,4% , sedangkan provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur prevalensi penderita gagal ginjal masing- masing 0,3 % (Dharma, P.S, dkk, 2015).
Keluhan utama yang paling sering dirasakan oleh penderita gagal ginjal kronik adalah sesak nafas, nafas tampak cepat dan dalam
atau yang disebut pernafasan kussmaul. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penumpukan cairan di dalam jaringan paru atau dalam
rongga dada, ginjal yang terganggu mengakibatkan kadar albumin menurun. Selain disebabkan karena penumpukan cairan, sesak nafas juga
dapat disebabkan karena pH darah menurun akibat perubahan elektrolit serta hilangnnya bikarbonat dalam darah. Sesak nafas
menyebabkan saturasi oksigen turun di bawah level normal. Jika kadar oksigen dalam darah rendah, oksigen tidak mampu menembus
dinding sel darah merah. Sehingga jumlah oksigen dalam sel darah merah yang dibawa hemoglobin menuju jantung kiri dan dialirkan menuju
kapiler perifer sedikit. Sehingga suplai oksigen terganggu, darah dalam arteri kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan penurunan
Berdasarkan fenomena yang ditemukan peneliti saat praktek klinik, pada pasien gagal ginjal kronik atau chronic kidney diseases
(CKD) yang mengalami sesak nafas dan mengalami penurunan saturasi oksigen, intervensi yang dilakukan adalah pemberian oksigen nasal
atau masker, dan pengaturan posisi. Intervensi yang dilakukan tersebut belum memberikan dampak yang berarti, dimana pasien masih
dengan teknik diafragmatic breathing exercise. Diaphragmatic Breathing Exercise merupakan latihan pernafasan yang merelaksasikan otot-
otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam. Pasien berkonsentrasi pada upaya mengembangkan diafragma selama melakukan inspirasi
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap
peningkatan saturasi oksigen pada pasien yang mengalami gangguan oksigenasi pada pasien CKD
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum adalah untuk menerapkan evidence based nursing mengenai pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap
peningkatan saturasi oksigen pada pasien yang mengalami gangguan oksigenasi pada pasien CKD di RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui keefektifan diaphragmatic breathing exercise terhadap peningkatan saturasi oksigen pada pasien CKD yang mengalami
gangguan oksigenasi
b. Membuktikan apakah diaphragmatic breathing exercise dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien CKD yang mengalami
gangguan oksigenasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan
produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan
albuminuria (>30 mg albumin urin per garam dari kreatinin urin), Glomerular Filtration Rate (GFR)/Laju Filtrasi
2
Glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (Black & Hawks,2005; Smeltzer &
b. Klasifikasi
Pengklasifikasian CKD berdasarkan derajat (Stage) (Suwitra, 2006), seperti berikut ini :
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi adalah sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur
dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa, dan
akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi sklerosis dan progresifitas penyakit. Stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Pasien yang mengalami LFG sebesar 60% masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Pasien pada LFG di bawah 30 %, memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2001).
e. Faktor Resiko
Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan faktor resiko untuk mendeteksi CKD. Delapan faktor
tersebut meliputi usia tua, anemia, wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskuler perifer dan riwayat gagal jantung kongestif
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2010 didapatkan urutan
etiologi terbanyak penyakit ginjal hipertensi (35%), nefropati diabetika (26%), glumerulopati primer (12%). Menurut National
Kidney Foundation, faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau hipertensi,
obesitas, perokok, berumur lebih dari 50 tahun dan individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit
f. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan
dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tindakan konservatif untuk memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif,
pencegahan, dan pengobatan kondisi komorbid, penyakit kardiovaskuler dan komplikasi yang terjadi (Suwitra, 2006). Penanganan
konservatif meliputi : 1) Pencegahan dan pengobatan terhadap kondisi komorbid antara lain : gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi, infeksi, dan obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksid; 2) Menghambat perburukan fungsi ginjal/mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus dengan diet, seperti pembatasan asupan protein, fosfat; 3) Terapi farmakologis dan pencegahan
serta pengobatan terhadap komplikasi, bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan memperkecil risiko terhadap
penyakit kardiovaskuler seperti pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, asidosis, neuropati perifer,
kelebihan cairan dan keseimbangan elektronik (Suwitra, 2006; Price & Wilson, 2005).
Tahap kedua dilakukan ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif (Lemone & Burke, 2008).
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan memperpanjang usia pasien (Shahgholian, et al., 2008). Ada 2 terapi pengganti ginjal yaitu: 1) dialisis
(hemodialisa dan peritoneal dialisa); 2) transplantasi ginjal. Hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak
dilakukan di dunia dan jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat (Shahgholian, et al., 2008).
a. Pengertian
Diaphragmatic breathing adalah salah satu tehnik yang baik untuk pernapasan dan relaksasi terhadap paru karena dapat
menyebabkan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang sesuai (Seo et al. 2015).
Latihan pernapasan diafragma ini salah satu teknik bernapas, yang bertujuan untuk mengurangi dypsnea dengan meningkatkan
ekskursi diafragma dan secara simultan mengurangi penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk kerja
pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada yang abnormal (Cahalin et al 2002 dalam Morrow
et al., 2012).
Diafragma adalah otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah thorak. Diafragma berbentuk kubah pada waktu
relaksasi, dengan otot utama melekat pada prosesus xifoideus sternum dan rusuk bagian bawah. Kontraksi diafragma menarik otot
kebawah, meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru. Inervasi diafragma (nervus fernikus) berasal dari
medulla spinalis setinggi vertebra servikalis ketiga. (Black & Hawks 2014).
b. Tujuan
Diaphragmatic breathing adalah memperbaiki gerakan abdomen dengan mengurangi aktivitas otot pernapasan (Yamaguti et al.
2012).. Pengurangan mobilitas diafragma dan aktivitas otot dinding respirator yang lebih tinggi ini, berhubungan dengan peningkatan
Prosedur diaphragm breathing exercise (Lee et al. 2017), adalah sebagai berikut:
1. Responden mengambil posisi setengah duduk atau duduk dan posisi tangan kiri di atas otot rectus abdominalis (tulang kosta anterior),
2. Kemudian responden menghirup udara melalui hidung dengan perlahan dan dalam dengan hanya membengkakkan perutnya namun
3. Responden menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup, udara dihirup melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya bengkak.
Setelah itu hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian responden menghembuskan udara dengan bibir yang mengerucut atau dengan
bibir setengah membuka, sampai perutnya menjadi cekung dengan durasi 6 detik. Satu pernapasan terdiri dari 3 detik inhalasi, 3 detik
Tehnik diaphragm breathing exercise diketahui bahwa paling efektif bila diimplementasikan selama 4 sampai 12 minggu, 2
sampai 5 kali per minggu, dengan setiap sesi berlangsung tidak lebih dari 20 sampai 30 menit. Dengan mempertimbangkan hal tersebut,
durasi waktu waktu yang dipilih adalah 15 menit sehari 2 kali dilakukan selama 3 hari (Seo et al. 2015).
Diaphragm breathing exercise dapat menurunkan dyspnea karena dapat meningkatkan ekskursi diafragma dan secara simultan
mengurangi penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk kerja pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada
yang abnormal (Cahalin et al 2002 dalam Morrow et al., 2012). Diaphragma breathing exercise dapat meningkatkan kekuatan otot
diafragma yang merupakan otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah thorak. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah,
meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru (Black & Hawks 2014). Apabila kerja otot diafragma dapat maksimal
maka klien dapat mengambil napas lebih dalam dan lebih efektif sehingga dapat mempertahankan ekspansi paru (Luh et al. 2017). Kerja
otot yang maksimal dapat meningkatkan recoil dan compliance paru secara sempurna sehingga oksigen akan lebih banyak masuk dan
dapat menembus dinding sel darah merah. Sel darah merah dibawa oleh hemoglobin menuju perifer mengandung oksigen yang banyak
sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen.( Potter & Perry, 2010, halm 200 )
BAB III
METODOLOGI
Luaran yang diharapkan dari penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) berupa diaphragmatic breathing exercise pada pasien yang
mengalami gangguan oksigenasi setelah diberikan intervensi diaphragmatic breathing exercise tersebut, beberapa kriteria hasil berdasarkan
NOC (Nursing Outcame Clasification) yang diharapkan dari penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) berupa tehnik
C. Prosedur Pelaksanaan
Teknik pengumpulan data pada penulisan tugas profesi ners ini didasarkan pada pemberian asuhan keperawatan pada pasien CKD yang
mengalami gangguan oksigenasi dan mengalami penurunan saturasi oksigen kurang dari normal. Pengumpulan data dilakukan pada fase
pengkajian keperawatan. Pertama – tama perawat melakukan pengkajian terhadap pasien CKD dengan gangguan oksigenasi yang mengalami
penurunan saturasi oksigen. Pengkajian ini bertujuan untuk sebagai dasar dalam menberikan intervensi diaphragmatic breathing exercise
pada pasien CKD yang mengalami gangguan oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen. Selanjutnya perawat melakukan penyusunan
intervensi berupa penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) tehnik diaphragmatic breathing exercise pada pasien yang
mengalami gangguan oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen dan dilanjutkan dengan implementasi keperawatan. Sebelum
implementasi perawat akan melakukan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) sebelum diberikan tehnik diaphragmatic breathing exercise.
Pada tahap pelaksanaan implementasi keperawatan perawat akan mengamati respon pasien selama pemberian tehnik diaphragmatic
breathing exercise. Setelah implementasi perawat akan melakukan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) setelah tehnik diaphragmatic
breathing exercise. .Pemberian diaphragmatic breathing exercise dilakukan dua kali sehari selama 3 hari, dengan durasi 15 menit setiap
latihan.
B. TEMPAT
Di ruang ICU RSUD Dr R Soeprapto Cepu
Siapkan alat-alat
b. Tahap Orientasi
Beri kesempatan klien untuk bertanya dan meminta persetujuan klien dan keluarga
c. Tahap Kerja
A. BIODATA
1. Biodata Pasien
Nama pasien : Ny R
Umur : 53 tahun
Alamat : Pulo 3/1 Kedungtuban Blora
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 4 Oktober 2020
Diagnosa Medis : CKD stadium V, HT emergency, DM, Anemia
Nomor Register : 0048149
2. Biodata Penanggung Jawab
Nama : Tn S
Umur : 36 tahun
Alamat : Pulo 3/1 Kedungtuban Blora
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : swasta
Hubungan dengan Klien : Anak
B. KELUHAN UTAMA
Pasien mengatakan sesak nafas .
C. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan sejak jam 21.00 WIB pasien merasakan sesak nafas, pusing, mual dan muntah 1 kali. Karena sesak tak kunjung
berkurang, oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu jam 22.06 WIB tanggal 4 Oktober 2020. Saat tiba di
IGD pasien merasa sesak, pusing, mual. Didapatkan data GCS E4M6V5, TD 240/121 mmHg, HR 131 x/menit, RR 36/menit, Suhu
360C, SPO2 70% , GDS 354 mg/dl, akral dingin., edema ekstremitas bawah, anemis. Oleh dokter IGD pasien dikonsulkan ke dokter
spesialis penyakit dalam. Oleh dokter spesialis pnyakit dalam pasien didiagnosa CKD, HT emergency, DM, anemia. Di IGD pasien
mendapatkan terapi oksigen NRM 10 lpm, infus nacl 20 tpm, injeksi furosemide 2 ampul, novorapid 8 iu, ceftriaxone 2 gr, digoxin 0,25
mg, farmoten 25 mg dan cedocard 2 mg/ jam. Karena kondisi belum stabil, pasien dipindahkan ke ruang ICU. Saat tiba di ICU pasien
masih sesak nafas, terdengar suara nafas ronchi, anemis dan diposisikan fowler terpasang NRM 12 lpm.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan DM.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa anggota keluarga lain tidak ada yang mempunyai penyakit hipertensi dan DM.
E. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 5 Oktober 2020
1. Keadaan Umum : lemah
a. Status Gizi :
TB : 155 cm
BB : 60 kg
b. Tanda – tanda vital :
TD : 213/117 mmHg
N : 123 x/mnt
RR : 33 x/mnt
S : 36,1 oC
SpO2 : 94 %
2. Pemeriksaan setiap sistem tubuh
a. Sistem saraf
1) Kesadaran : composmentis
GCS 15 (E :4 , V : 5, M : 6)
2) Tidak terlihat tremor dan kejang pada klien
b. Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : tidak ada pembesaran jantung, tidak sianosis
Palpasi :ictus cordis teraba di ICS 5, nadi 123 x,mnt, TD 213/117 mmHg, CRT< 2 detik
Perkusi : redup
Auskultasi : S1>S2, tidak terdengar bunyi gallop dan murmur
c. Sistem Penginderaan
1) Sistem Penglihatan
Bentuk mata simetris, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis, reflek cahaya +/+, pupil isokor.
2) Sistem Pendengaran
Bentuk telinga normal, bersih, tidak ada serumen, pasien tidak mengalami gangguan pendengaran
3) Pengecapan dan penciuman
Pasien dapat membedakan rasa manis, pahit, asam. Pasien dapat membedakan bau minyak kayu putih dan alkohol. Pasien tidak
mengalami gangguan pengecapan dan penciuman.
4) Perabaan
Rangsang nyeri (+)
d. Sistem Pernapasan
1) Inspeksi : nafas spontan, tidak ada sumbatan jalan nafas, hidung simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat
pengeluaran sekret pada hidung, dada simetris, terlihat tarikan otot nafas tambahan, pernafasan cepat dan dangkal, tidak dapat
retraksi dinding dada pergerakan dada cepat dan teratur. Terpasang oksigen NRM 12 liter
2) Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan pada hidung, tidak terdapat nyeri tekan pada dinding dada
3) Perkusi : sonor pada permukaan paru
4) Auskultasi : Bunyi napas ronchi pada kedua lapang paru
e. Sistem Endokrin : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
f. Sistem Pencernaan
1) Mulut dan Kerongkongan : Bibir simetris, warna merah kehitaman, bibir tampak lembab
2) Abdomen : peristaltic usus 16x/menit
g. Sistem Muskuloskeletal
1) Ekstremitas atas
Rom : tidak ada edema, tidak tampak kelemahan pada pergerakan ekstremitas atas.
2) Ekstremitas bawah
Rom : kedua ekstremitas bawah edema, pitting edema derajat 1(kedalamam 2 mm, waktu kembali 3 detik) , pada pergerakan
ekstremitas bawah tidak terlihat adanya kelemahan.
3) Kekuatan otot
5 5
5 5
h. Sistem Perkemihan
Ginjal tidak teraba membesar,tidak ada nyeri tekan dan tidak ada nyeri saat perkusi. Pasien terpasang kateter. Urin out put 0,5
cc/kgBB/jam
i. Sistem Integumen
Turgor kulit normal elastis, pertumbuhan bulu merata..
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 4 Oktober 2020
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap :
Hemoglobin 7,3 g/dL 11.7 – 15.5
Lekosit 26,89 10^3/uL 3.6 – 11
Trombosit 359 10^3/dL 150 – 440
Hematokrit 22,3 % 35 – 47
Eritrosit 2,43 10^6/uL 3.8 – 5.2
MCV 91,8 fL 80 – 100
MCH 30,0 pg 26 – 34
MCHC 32,7 g/L 32 – 36
Hitung Jenis (diff)
Neutrofil 61 % 28-78
Limfosit 33 % 25 – 40
Monosit 4 % 2–8
KIMIA KLINIK
Ureum 161 mg/dL < 42
Creatinin 12,21 mg/dl 0,50 – 1,10
Asam urat 10,9 mg/dl 2,6-6,0
SGOT 144 U/L 0-31
SGPT 78 U/L 0-34
ELEKTROLIT
Natrium 145 mmol/L 135 – 145
Kalium 5,40 mmol/L 3.5 – 5.2
Chlorida 117,7 mmol/L 98 – 108
Calsium 0,75 mmol/L 1,1-1,4
Tca 1,46 mmol/L 2,2-2,9
DIABETES
Gula darah sewaktu 333 mg/dl 80-144
G. PROGRAM TERAPI
Infus : Nacl 8 tpm
Syringe pump : I. Furosemide 10 mg/jam
II. Cedocard 2 mg/jam
Injeksi : ceftriaxone 2 gr/24 jam
Novorapid 8-8-8 bila GDS > 200 mg/dl
Per oral : digoxin 0,25 mg/ 12 jam
Kolkatriol 1 tab/24 jam
Asam folat 1 tab/24 jam
Ketocid 2 tab/8jam
DAFTAR MASALAH
No Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan
1. 5/10/2020 DS : Hiperventilasi Pola nafas tidak efektif
08.00 WIB Pasien mengatakan sesak nafas
DO :
- sesak nafas
- terlihat penarikan otot pernafasan tambahan
-nafas cepat dan dangkal
- Bunyi nafas ronchi kedua lapang paru
- RR 33 x/mnt
- SpO2 94 %
- Hasil lab :
Hb 7,3 g/Dl
2. 5/10/2020 DS : Mekanisme pengaturan Kelebihan volume cairan
08.00 WIB Pasien mengatakan kedua kaki bengkak ginjal yang melemah
DO :
- Edema ekstremitas bawah
- Pitting edema derajat 1, dalam 1 mm dan waktu kembali 3
detik
- Balance cairan + 812
- Hasil lab:
Hct 22,3 %
Ureum 161 mg/dl
Creatinin 12,21 mg/dl
Natrium 145 mmol/L
Kalium 5,40 mmol/L
Chlorida 117,7mmol/L
Calsium 0,75mmol/L
Tca 1,46mmol/L
- Urin output 0,5 cc/kgBB/jam
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan ginjal yang melemah
INTERVENSI KEPERAWATAN
Tgl/ N Dx. Kep NOC NIC TTD
Jam o
5/10/2020 1 Pola nafas tidak - Respiratory status : Ventilation Airway Management Siti
- Respiratory status : Airway patency - Posisikan pasien untuk memaksimalkan
08.00 efektif berhubungan
- Vital sign Status ventilasi
dengan hiperventilasi Teratasi setelah dilakukan tindakan - Identifikasi pasien perlunya pemasangan
keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan : alat jalan nafas buatan
Kriteria Hasil : - Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
- tidak ada sianosis dan dyspneu mampu tambahan
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed - Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
lips Lembab
- Menunjukkan jalan nafas yang paten - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, keseimbangan.
frekuensi pernafasan dalam rentang - Monitor respirasi dan status O2
normal, tidak ada suara nafas abnormal) - Berikan terapi oksigen
- Tanda Tanda vital dalam rentang normal - Berikan latihan pernafasan berdasar EBNP
(tekanan darah, nadi, pernafasan) Diafragmatic breathing exercise
- Pasien mampu menerapkan diafragmatic - Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
breathing exercise
5/10/2020 2 Kelebihan volume Electrolit and acid base balance NIC : Siti
Fluid balance Fluid management and monitoring
08.00 cairan berhubungan
Hydration Pertahankan catatan intake dan output
dengan mekanisme Teratasi setelah dilakukan tindakan yang akurat
keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan : Pasang urin kateter jika diperlukan
pengaturan ginjal
Kriteria Hasil: Monitor hasil lAb yang sesuai dengan
yang melemah Terbebas dari edema retensi cairan (BUN , Hct , osmolalitas
Bunyi nafas bersih, tidak ada urin , elektrolit )
dyspneu/ortopneu Monitor status hemodinamik termasuk,
Memelihara tekanan vena sentral, MAP
tekanan kapiler paru, output jantung dan Monitor vital sign
vital sign dalam batas normal Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan
Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau Kaji lokasi dan luas edema
kebingungan Monitor status nutrisi
Menjelaskan indikator kelebihan cairan Berikan diuretik sesuai interuksi
Batasi masukan cairan pada keadaan
hiponatrermi dilusi dengan serum Na <
130 mEq/l
Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Kode
Tgl/Jam Tindakan Keperawtan TTD
Dx. Kep Respon
5/10/2020 1 Monitor TTV S :pasien mengatakan masih sesak nafas Siti
08.15 O : TD = 214/110 mmHg
N = 106 x/menit
RR= 33 x/menit
SpO2= 94%
5/10/2020 1 Melakukan auskultasi bunyi nafas S :Pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.30 O: terdengar suara ronchi
5/10/2020 1 Memberikan O2 NRM 10 lpm S ;pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.30 O: NRM terpasang
5/10/2020 1 Memantau frekuensi pernafasan S : pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.45 O : RR = 33 x/menit. SpO2 94%
5/10/2020 1 Memberikan posisi fowler pada klien S :- Siti
09.00 O :nafas terlihat agak longgar terlihat dari
pergerakan dada
5/10/2020 1 Mengajari teknik diafragmatic breathing exercise S : pasien mengatakan bisa mempraktekkan teknik Siti
10.00 diafragmatic breathing exersice
O : pasien bisa mempraktekkan teknik
diafragmatic breathing exercise
5/10/2020 1 Memonitor status pernafasan S : Pasien mengatakan setelah latihan pernafasan
10.30 nafas lebih longgar
0: RR 30 x/mnt.. SpO2 97 %
5/10/2020 1 Mengatur posisi nyaman untuk pasien S : pasien mengatakan lebih nyaman dengan posisi Siti
11.00 setengah duduk
O : pasien tampak lebih rileks
5/10/2020 1,2 Memberikan ceftriaxone 2 gr injeksi, furosemide 10 S : - Siti
13.00 mg/jam syringe pump, cedocard 2 mg/jam, O : obat masuk, pasien tampak lebih tenang, tidak
kolkatriol 1 tab, asam folat 1 tab, ketocid 2 tab ada tanda alergi obat
5/10/2020 2 Monitor tanda-tanda kelebihan volume S : - Siti
13.15 cairan/edema O : edema ekstremitas bawah, pitting edema
derajat 1(kedalamam 1 mm,waktu kembali 3
detik)
5/10/2020 2 Menghitung balance cairan S : pasien mengatakan minum 1 gelas siti
13.30 O : balance cairan
Input : infus 384 cc
Minum 400 cc
Cedocard S.P 16 cc
Furosemide S.P 8 cc
Ceftriaxone 100 cc
Total input 908 cc
Output: urine 500 cc
IWL 300
Total output 800
Balance cairan + 108
6/10/2020 1 Melakukan auskultasi bunyi nafas S: Pasien mengatakan sesak berkurang Siti
15.00 O: Suara nafas ronchi berkurang
PEMBAHASAN
A. ANALISA KASUS
1. Problem
2. Intervention
dalam keadaan lemas, tidak ada udara yang mengalir, dan tekanan intra
alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama adalah otot
lebih banyak masuk dan dapat menembus dinding sel darah merah. Sel
3. Comparison
4. Outcome
B. FAKTOR PENDUKUNG
C. FAKTOR PENGHAMBAT
oksigen.
D. EVALUASI KEGIATAN
2. Alat ukur saturasi oksigen perlu dilakukan kalibrasi secara rutin, sehingga
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masalah utama keperawatan yang diangkat pada pasien NY.R yaitu pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Salah satu intervensi yang dilakukan dalam menangani masalah
keperawatan yang diambil adalah dilakukannya tindakan terapi
diaphragmatic breathing exercise
3. Implementasi keperawatan dilakukan selama 3 hari
4. Pada hasil Evaluasi didapatkan hasil masalah pada diagnosa 1 telah
teratasi sebagian
5. Hasil Evaluasi implementasi berdasarkan EBP yang dilakukan pada pasien
(RR)
B. Saran
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Kapasitas Vital Paru Pada Pasien Asma Di Wilayah Kerja Puskesmas III
Lee, H.-Y., Cheon, S.-H., & Yong, M.-S. (2017). Effect of diaphragm breathing
Niko Qorisetyartha, dkk. 2017. Efektivitas Posisi Semi Fowler Dengan Pursed
Nurachmah, Elly & Sudarsono, Ratna. (2008). Buku Saku Prosedur Keperawatan
Medika
Seo, K., Park, S. H., & Park, K. (2015). Effects of diaphragm respiration exercise
Warsono, dkk. 2016. Peran Latihan Pernafasan Terhadap Nilai Kapasitas Vital
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18535/ijsre/v5i05.20
LAMPIRAN :
LEMBAR OBSERVASI
PENERAPAN DIAPHRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP
SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN GANGGUAN OKSIGENASI : CKD
Kode Responden : R
Umur : 53 Tahun
( Siti Solichah)