Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KEGIATAN

PENERAPAN DESAIN INOVATIF BERDASAR EBNP


DIAPHRAGMA BREATHING EXERCISE PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN OKSIGENASI : CKD DI RUANG ICU
RSUD DR R SOEPRAPTO CEPU

Oleh :
SITI SOLICHAH
P.1337420920064

PRODI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
PRODI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES
KEMENKES SEMARANG

LAPORAN DESAIN INOVATIF BERDASAR EBNP

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ginjal merupakan organ yang penting yang fungsinya membuang

sisa-sisa metabolisme dan racun yang ada di dalam tubuh kedalam bentuk urin.

Ginjal merupakan hal yang penting untuk di perhatikan kesehatannya,

seringkali manusia mengabaikan perawatan ginjal secara baik. Sehingga

berdampak pada peningkatan kasus penyakit ginjal, selain itu pelayanan

kesehatan yang terbatas serta kurangnya tenaga dokter spesialis yang menjadi

salah satu faktor penyebab tingginya kasus penyakit ginjal di Indonesia.

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah fungsi ginjal yang mengalami

kerusakan secara irreversible atau tidak dapat kembali seperti semula, tubuh

juga tidak mampu menjaga metabolisme dan tidak mampu menjaga

keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga ureum atau azotemia mengalami

peningkatan (Smeltzer & Bare, 2010).

Kematian yang disebabkan oleh gagal ginjal kronik pada tahun

2012 menurut WHO penyakit ginjal dan saluran kemih menyebabkan kematian

sebanyak 850.000 jiwa dan penyakit gagal ginjal kronik adalah penyakit

tertinggi ke-12. WHO juga memperkirakan penderita gagal ginjal kronis di


wilayah Asia Tenggara, Mediteraniam, Timur Tengah, dan Afrika akan terus

meningkat, serta pada tahun 2025 diperkirakan penderita gagal ginjal kronis

lebih dari 380 juta orang. Jepang merupakan Negara tertinggi yang

penduduknya menderita gagal ginjal dengan 1.800 kasus per juta penduduk,

dan 220 kasus baru per tahun. Sedangkan Amerika Serikat penderita gagal

ginjal kronik pada tahun 2007 prevalensinya mencapai 1.569 orang per sejuta

penduduk. Di Negara berkembang penyakit gagal ginjal cenderung kurang

tertangani dengan baik karena keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan yang

dapat menangani penyakit gagal ginjal kronik. Pada tahun 2015 sebanyak 3

juta penduduk perlu mendapatkan pengobatan untuk gagal ginjal terminal atau

ESRD (End Stage Renal Disease) (Dharma, P.S, dkk, 2015).

Negara Indonesia menurut data WHO menempati peringkat 4 dunia

sebagai Negara penderita gagal ginjal terbanyak. Jumlah penderita mencapai

16 juta jiwa. Pada tahun 2008 terdapat 300 ribu penderita gagal ginjal di

Indonesia dan semakin meningkat dari tahun ketahun, dibuktikan dari data PT

Askes Indonesia pasien gagal ginjal pada tahun 2010 mencapai 17.507 orang

dan meningkat menjadi 23.261 orang di tahun 2011, dan di tahun 2012

meningkat menjadi 24.141 orang(Dharma, P.S, dkk, 2015).


Pada tahun 2013 Sulawesi Tengah merupakan provinsi dengan penderita gagal ginjal kronis terbanyak dengan prevalensi 0,5 %

disusul oleh Aceh, Gorontalo, Sulawesi Utara dengan prevalensi 0,4% , sedangkan provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur prevalensi penderita gagal ginjal masing- masing 0,3 % (Dharma, P.S, dkk, 2015).

Keluhan utama yang paling sering dirasakan oleh penderita gagal ginjal kronik adalah sesak nafas, nafas tampak cepat dan dalam

atau yang disebut pernafasan kussmaul. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penumpukan cairan di dalam jaringan paru atau dalam

rongga dada, ginjal yang terganggu mengakibatkan kadar albumin menurun. Selain disebabkan karena penumpukan cairan, sesak nafas juga

dapat disebabkan karena pH darah menurun akibat perubahan elektrolit serta hilangnnya bikarbonat dalam darah. Sesak nafas

menyebabkan saturasi oksigen turun di bawah level normal. Jika kadar oksigen dalam darah rendah, oksigen tidak mampu menembus

dinding sel darah merah. Sehingga jumlah oksigen dalam sel darah merah yang dibawa hemoglobin menuju jantung kiri dan dialirkan menuju

kapiler perifer sedikit. Sehingga suplai oksigen terganggu, darah dalam arteri kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan penurunan

saturasi oksigen (Muttaqin, 2008, hlm.87; Asmadi, 2008, hlm.25).

Berdasarkan fenomena yang ditemukan peneliti saat praktek klinik, pada pasien gagal ginjal kronik atau chronic kidney diseases

(CKD) yang mengalami sesak nafas dan mengalami penurunan saturasi oksigen, intervensi yang dilakukan adalah pemberian oksigen nasal

atau masker, dan pengaturan posisi. Intervensi yang dilakukan tersebut belum memberikan dampak yang berarti, dimana pasien masih

mengalami penurunan saturasi oksigen.


Salah satu intervensi keperawatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan saturasi oksigen adalah pemberian latihan nafas

dengan teknik diafragmatic breathing exercise. Diaphragmatic Breathing Exercise merupakan latihan pernafasan yang merelaksasikan otot-

otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam. Pasien berkonsentrasi pada upaya mengembangkan diafragma selama melakukan inspirasi

terkontrol (Potter& Perry, 2006).

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap

peningkatan saturasi oksigen pada pasien yang mengalami gangguan oksigenasi pada pasien CKD

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Tujuan umum adalah untuk menerapkan evidence based nursing mengenai pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap

peningkatan saturasi oksigen pada pasien yang mengalami gangguan oksigenasi pada pasien CKD di RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui keefektifan diaphragmatic breathing exercise terhadap peningkatan saturasi oksigen pada pasien CKD yang mengalami

gangguan oksigenasi

b. Membuktikan apakah diaphragmatic breathing exercise dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien CKD yang mengalami

gangguan oksigenasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Chronic Kidney Disease/Penyakit Ginjal Kronik


a. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal kurang

dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan

produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan

albuminuria (>30 mg albumin urin per garam dari kreatinin urin), Glomerular Filtration Rate (GFR)/Laju Filtrasi

2
Glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (Black & Hawks,2005; Smeltzer &

Bare,2001; Mansjoer, A.,2001).

b. Klasifikasi

Pengklasifikasian CKD berdasarkan derajat (Stage) (Suwitra, 2006), seperti berikut ini :

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit


Derajat Deskrips Nama lain GFR(mm/menit/
Sumber : i 1.73 m2) (Black & Hawks,2005; Levin, et al.,
2008)
I Kerusakan ginjal Risiko >90
c. denganGFR normal Manifestasi Klinis
II Kerusakan ginjal dengan Chronic Renal 60-89
Pada penurunan GFR ringan Insufisiensi (CRI) pasien dengan CKD terdapat
III Penurunan GFR tingkat CRI, Chronic Renal 30-59
manife I sedang Failure (CFR) stasi klinis yang bervariasi dan
IV Penurunan GFR tingkat CFR 15-29
pasien V Gagal ginjal End-Stage Renal <15 juga memiliki beberapa keluhan,
Disease (ESDR)
beriku t ini :

Tabel 2.2 Manifestasi klinis pada pasien


Derajat CKD Manifestasi Klinis
Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitashasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis
Derajat II Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi hipertensi, munculnya nilai laboratorium yang
abnormal
Derajat III Asimptomatik, nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ,
terdapa hipertensi
Derajat IV Munculnya manifestasi klinis CKD tanpa kelelahan dan penurunan rangsangan
Derajat V Peningkatan BUN, anemia, hipokalsemia, hiponatremia, peningkatan asam urat, proteinuria,
pruritus, edema, hipertensi, peningkatan kreatinin, penurunan sensasi rasa, asidosis metabolik, mudah
mengalami perdarahan, hiperkalemia
Sumber : Black & Hawks (2005)
d. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi adalah sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur

dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor.

Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa, dan

akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi sklerosis dan progresifitas penyakit. Stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang

ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan

terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Pasien yang mengalami LFG sebesar 60% masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan

kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan

lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Pasien pada LFG di bawah 30 %, memperlihatkan gejala

dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,

mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan

keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih

serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi

ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2001).

e. Faktor Resiko
Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan faktor resiko untuk mendeteksi CKD. Delapan faktor

tersebut meliputi usia tua, anemia, wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskuler perifer dan riwayat gagal jantung kongestif

atau penyakit kardiovaskuler (Gopalan, 2008).

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2010 didapatkan urutan

etiologi terbanyak penyakit ginjal hipertensi (35%), nefropati diabetika (26%), glumerulopati primer (12%). Menurut National

Kidney Foundation, faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau hipertensi,

obesitas, perokok, berumur lebih dari 50 tahun dan individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit

ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

f. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan

dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tindakan konservatif untuk memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif,
pencegahan, dan pengobatan kondisi komorbid, penyakit kardiovaskuler dan komplikasi yang terjadi (Suwitra, 2006). Penanganan

konservatif meliputi : 1) Pencegahan dan pengobatan terhadap kondisi komorbid antara lain : gangguan keseimbangan cairan,

hipertensi, infeksi, dan obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksid; 2) Menghambat perburukan fungsi ginjal/mengurangi

hiperfiltrasi glomerulus dengan diet, seperti pembatasan asupan protein, fosfat; 3) Terapi farmakologis dan pencegahan

serta pengobatan terhadap komplikasi, bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan memperkecil risiko terhadap

penyakit kardiovaskuler seperti pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, asidosis, neuropati perifer,

kelebihan cairan dan keseimbangan elektronik (Suwitra, 2006; Price & Wilson, 2005).

Tahap kedua dilakukan ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif (Lemone & Burke, 2008).

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari

komplikasi dan memperpanjang usia pasien (Shahgholian, et al., 2008). Ada 2 terapi pengganti ginjal yaitu: 1) dialisis

(hemodialisa dan peritoneal dialisa); 2) transplantasi ginjal. Hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak

dilakukan di dunia dan jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat (Shahgholian, et al., 2008).

2. Konsep Diaphragmatic breathing

a. Pengertian
Diaphragmatic breathing adalah salah satu tehnik yang baik untuk pernapasan dan relaksasi terhadap paru karena dapat

menyebabkan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang sesuai (Seo et al. 2015).

Latihan pernapasan diafragma ini salah satu teknik bernapas, yang bertujuan untuk mengurangi dypsnea dengan meningkatkan

ekskursi diafragma dan secara simultan mengurangi penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk kerja

pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada yang abnormal (Cahalin et al 2002 dalam Morrow

et al., 2012).

Diafragma adalah otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah thorak. Diafragma berbentuk kubah pada waktu

relaksasi, dengan otot utama melekat pada prosesus xifoideus sternum dan rusuk bagian bawah. Kontraksi diafragma menarik otot

kebawah, meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru. Inervasi diafragma (nervus fernikus) berasal dari

medulla spinalis setinggi vertebra servikalis ketiga. (Black & Hawks 2014).

b. Tujuan

Diaphragmatic breathing adalah memperbaiki gerakan abdomen dengan mengurangi aktivitas otot pernapasan (Yamaguti et al.

2012).. Pengurangan mobilitas diafragma dan aktivitas otot dinding respirator yang lebih tinggi ini, berhubungan dengan peningkatan

dyspnea dan intoleransi latihan.

c. Prosedur diaphragm breathing exercise

Prosedur diaphragm breathing exercise (Lee et al. 2017), adalah sebagai berikut:
1. Responden mengambil posisi setengah duduk atau duduk dan posisi tangan kiri di atas otot rectus abdominalis (tulang kosta anterior),

2. Kemudian responden menghirup udara melalui hidung dengan perlahan dan dalam dengan hanya membengkakkan perutnya namun

posisi bahu tetap terjaga/ rileks dan tidak terangkat ke atas.

3. Responden menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup, udara dihirup melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya bengkak.

Setelah itu hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian responden menghembuskan udara dengan bibir yang mengerucut atau dengan

bibir setengah membuka, sampai perutnya menjadi cekung dengan durasi 6 detik. Satu pernapasan terdiri dari 3 detik inhalasi, 3 detik

suspensi, dan 6 detik ekhalasi pernapasan.

Tehnik diaphragm breathing exercise diketahui bahwa paling efektif bila diimplementasikan selama 4 sampai 12 minggu, 2

sampai 5 kali per minggu, dengan setiap sesi berlangsung tidak lebih dari 20 sampai 30 menit. Dengan mempertimbangkan hal tersebut,

durasi waktu waktu yang dipilih adalah 15 menit sehari 2 kali dilakukan selama 3 hari (Seo et al. 2015).

3. Pengaruh Diaphragm Breathing Exercise terhadap saturasi oksigen (SpO2)

Diaphragm breathing exercise dapat menurunkan dyspnea karena dapat meningkatkan ekskursi diafragma dan secara simultan

mengurangi penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk kerja pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada

yang abnormal (Cahalin et al 2002 dalam Morrow et al., 2012). Diaphragma breathing exercise dapat meningkatkan kekuatan otot

diafragma yang merupakan otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah thorak. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah,

meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru (Black & Hawks 2014). Apabila kerja otot diafragma dapat maksimal
maka klien dapat mengambil napas lebih dalam dan lebih efektif sehingga dapat mempertahankan ekspansi paru (Luh et al. 2017). Kerja

otot yang maksimal dapat meningkatkan recoil dan compliance paru secara sempurna sehingga oksigen akan lebih banyak masuk dan

dapat menembus dinding sel darah merah. Sel darah merah dibawa oleh hemoglobin menuju perifer mengandung oksigen yang banyak

sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen.( Potter & Perry, 2010, halm 200 )
BAB III
METODOLOGI

A. Rancangan solusi yang ditawarkan


P : Pasien CKD yang mengalami gangguan oksigenasi

I : Tehnik diaphragmatic breathing exercise

C : pemberian terapi oksigen

O : peningkatan saturasi oksigen


T : dilakukan selama 3 hari

B. Target dan Luaran Pasien


Target ditujukan pada klien yang mengalami gangguan oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen.

Luaran yang diharapkan dari penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) berupa diaphragmatic breathing exercise pada pasien yang

mengalami gangguan oksigenasi setelah diberikan intervensi diaphragmatic breathing exercise tersebut, beberapa kriteria hasil berdasarkan

NOC (Nursing Outcame Clasification) yang diharapkan dari penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) berupa tehnik

diaphragmatic breathing exercise adalah peningkatan saturasi oksigen (Sp02)

C. Prosedur Pelaksanaan

Teknik pengumpulan data pada penulisan tugas profesi ners ini didasarkan pada pemberian asuhan keperawatan pada pasien CKD yang

mengalami gangguan oksigenasi dan mengalami penurunan saturasi oksigen kurang dari normal. Pengumpulan data dilakukan pada fase

pengkajian keperawatan. Pertama – tama perawat melakukan pengkajian terhadap pasien CKD dengan gangguan oksigenasi yang mengalami

penurunan saturasi oksigen. Pengkajian ini bertujuan untuk sebagai dasar dalam menberikan intervensi diaphragmatic breathing exercise

pada pasien CKD yang mengalami gangguan oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen. Selanjutnya perawat melakukan penyusunan

intervensi berupa penerapan EBNP (Evidence Based Nursing Practice) tehnik diaphragmatic breathing exercise pada pasien yang

mengalami gangguan oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen dan dilanjutkan dengan implementasi keperawatan. Sebelum

implementasi perawat akan melakukan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) sebelum diberikan tehnik diaphragmatic breathing exercise.
Pada tahap pelaksanaan implementasi keperawatan perawat akan mengamati respon pasien selama pemberian tehnik diaphragmatic

breathing exercise. Setelah implementasi perawat akan melakukan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) setelah tehnik diaphragmatic

breathing exercise. .Pemberian diaphragmatic breathing exercise dilakukan dua kali sehari selama 3 hari, dengan durasi 15 menit setiap

latihan.

A. WAKTU (tanggal dan jam pelaksanaan)


Tanggal : 5-7 Oktober 2020
Jam : 10.00 WIB

B. TEMPAT
Di ruang ICU RSUD Dr R Soeprapto Cepu

C. MEDIA / ALAT YANG DIGUNAKAN


 Bedside monitor atau oksimetri
 Jam tangan
 Lembar observasi
 Alat tulis : pulpen

D. PROSEDUR OPERASIONAL TINDAKAN YANG DILAKUKAN


a. Tahap Pra Interaksi
 Verifikasi order : akan melakukan diaphragmatic breathing exercise pada klien

 Siapkan alat-alat

 Siap bertemu dengan klien

b. Tahap Orientasi

 Berikan salam, panggil klien dengan nama serta memperkenalkan diri

 Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarga

 Klarifikasi kontrak dilakukan diaphragmatic breathing exercise

 Beri kesempatan klien untuk bertanya dan meminta persetujuan klien dan keluarga

 Menjaga Privasi klien dengan caramenutup korden

 Peralatan alat didekatkan ke klien dan memakai sarung tangan

c. Tahap Kerja

1. Monitor Sp02 sebelum dilakukan tindakan, catat di lembar observasi


2. Atur pasien dalam posisi fowler atau fowler
3. Letakkan satu tangan di perut dan satu lagi di dada
4. Tarik napas melalui hidung selama tiga detik, rasakan udara bergerak mengisi perut. Rasakan perut semakin penuh bergerak
membesar. Perut harus bergerak lebih banyak dibandingkan dada
5. Tahan hirupan udara selama 3 detik
6. Embuskan napas selama enam detik melalui bibir yang terbuka kecil sambil merasakan perut mengempis
7. Ulangi 10 kali atau selama 15 menit. Tetap lemaskan bahu sepanjang pengulangan dan jaga punggung tetap tegak selama berlatih
pernapasan diafragma ini.
8. Evaluasi SpO2 setelah tindakan, catat dilembar observasi
9. Rapikan pasien dan alat
10. Ucapkan salam
11. Cuci tangan
12. Dokumentasi
d. Tahap terminasi

 Evaluasi respon dan kondisi klien

 Simpulkan hasil kegiatan

 Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya


LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN OKSIGENASI


PADA Ny R DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASES
DI RUANG ICU RSUD Dr. R. SOEPRAPTO CEPU

Tanggal Pengkajian : Senin, 5 Oktober 2020


Ruang/RS : ICU / RSUD Dr. R. SOEPRAPTO CEPU

A. BIODATA
1. Biodata Pasien
Nama pasien : Ny R
Umur : 53 tahun
Alamat : Pulo 3/1 Kedungtuban Blora
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 4 Oktober 2020
Diagnosa Medis : CKD stadium V, HT emergency, DM, Anemia
Nomor Register : 0048149
2. Biodata Penanggung Jawab
Nama : Tn S
Umur : 36 tahun
Alamat : Pulo 3/1 Kedungtuban Blora
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : swasta
Hubungan dengan Klien : Anak

B. KELUHAN UTAMA
Pasien mengatakan sesak nafas .

C. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan sejak jam 21.00 WIB pasien merasakan sesak nafas, pusing, mual dan muntah 1 kali. Karena sesak tak kunjung
berkurang, oleh keluarga pasien dibawa ke IGD RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu jam 22.06 WIB tanggal 4 Oktober 2020. Saat tiba di
IGD pasien merasa sesak, pusing, mual. Didapatkan data GCS E4M6V5, TD 240/121 mmHg, HR 131 x/menit, RR 36/menit, Suhu
360C, SPO2 70% , GDS 354 mg/dl, akral dingin., edema ekstremitas bawah, anemis. Oleh dokter IGD pasien dikonsulkan ke dokter
spesialis penyakit dalam. Oleh dokter spesialis pnyakit dalam pasien didiagnosa CKD, HT emergency, DM, anemia. Di IGD pasien
mendapatkan terapi oksigen NRM 10 lpm, infus nacl 20 tpm, injeksi furosemide 2 ampul, novorapid 8 iu, ceftriaxone 2 gr, digoxin 0,25
mg, farmoten 25 mg dan cedocard 2 mg/ jam. Karena kondisi belum stabil, pasien dipindahkan ke ruang ICU. Saat tiba di ICU pasien
masih sesak nafas, terdengar suara nafas ronchi, anemis dan diposisikan fowler terpasang NRM 12 lpm.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan DM.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa anggota keluarga lain tidak ada yang mempunyai penyakit hipertensi dan DM.

D. PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR


1. Manajemen Kesehatan
Pasien mengatakan jika pasien sakit maka segera berobat ke tempat praktek perawat
dekat rumahnya. Pasien konsumsi obat glibenclamide tiap hari.
2. Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
a. Sebelum sakit
Sebelum sakit pasien makan dengan porsi 3x sehari dengan makanan yang dikonsumsi nasi dan lauk pauk seadanya, jarang memakan
sayur dan buah-buahan. Pasien minum air putih 6 gelas / hari dan biasanya diselingi dengan teh atau kopi.
b. Pada waktu sakit
Selama sakit pasien makan dengan diit DM 1500 kalori, rendah purin. Pasien makan 3 x sehari, makan habis setengah porsi, minum
1000 cc/hari.
BALANCE CAIRAN
INPUT - Air (makan+minum) 1000 cc
- Infus 60 cc x 24 jam 1440 cc
- Injeksi furosemide 24 cc
- Injeksi cedocard 48 cc
- Injeksi ceftriaxone dioplos 100 cc
JUMLAH INPUT 2612
OUTPUT - Urine 900 cc
- IWL 900 cc
JUMLAH OUTPUT 1800
BALANCE CAIRAN + 812

3. Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi


a. Sebelum Sakit
Pasien BAB 1 kali per hari dan BAK 4 kali per hari tanpa dibantu oleh orang lain.
Fecal : pasien mengatakan warna feses kecoklatan, berbau khas, dengan konsistensi lembek
Urine : pasien mengatakan warna urine kekuningan berbau khas dan volumenya + 900 ml/24jam

b. Pada waktu sakit


Fecal : pasien BAB dengan warna feses kecoklatan, berbau khas dengan kosistensi lembek
Urine : pasien terpasang selang kateter dengan warna urine kekuningan, urine output 0,5 cc/kgBB/jam
4. Pemenuhan Kebutuhan Istirahat dan Tidur
a. Sebelum sakit
Sebelum sakit pasien mengatakan tidak ada keluhan dengan kebiasaan tidurnya yaitu 6- 8 jam/ hari. Kualitas tidurnya juga baik.
Biasanya pasien tidur pukul 21.00 WIB dan bangun pada pukul 04.30. Sebelum tidur pasien selalu membersihkan diri seperti mencuci
muka, serta membaca doa terlebih dahulu, dan pasien tidak pernah tidur siang karena harus kerja.
b. Pada waktu sakit
Pasien selama sakit lebih banyak waktu istirahat tidurnya, pasien dapat tidur nyenyak 10-12 jam/hari dan tidak terganggu dengan bunyi
alat yang ada di ICU.
5. Pemenuhan Aktivitas dan Latihan
a. Sebelum sakit
Sebelum sakit pasien meengatakan bahwa selalu beraktivitas seperti biasa yaitu bekerja dan melakukan aktivitas harian di rumah.
Apabila pasien memiliki waktu luang ia cenderung menghabiskan waktu luangnya untuk sekedar berkumpul dengan keluarga
b. Pada waktu sakit
Pasien mengatakan selama sakit pasien harus bedrest dan semua aktivitas latihan dilakukan di atas tempat tidur.
6. Peran dan Hubungan
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, istri, menantu maupun tetangga.
7. Pola Presepsi Kognitif, dan Sensori
Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, dengan menggunakan bahasa jawa dan bahasa indonesia. Pasien tidak mempunyai gangguan
pendengaran, pengecapan dan penglihatan serta penciuman.
8. Pola Presepsi diri / Konsep Diri
 Identitas Diri : Pasien mampu mengenali diri dan menyadari dirinya seorang perempuan
 Gambaran Diri : pasien merasa dirinya sedang sakit namun pasien merasa dapat sembuh dan sekarang sedang menjalankan pengobatan.
 Ideal Diri : Pasien ingin sembuh dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti sebelum sakit
 Harga Diri : pasien tidak putus asa dalam melakukan pengobatan, karena keluarga selalu memberikan perhatian dan motivasi
 Peran Diri : selama ini pasien menjalani perannya sebagai istri dan ibu.
9. Pemenuhan Kebutuhan Seksualitas dan Reproduksi
Pasien berumur 53 tahun, sudah memiliki suami dan anak .
10. Pola Mekanisme dan Koping
Pasien mengatakan sebelum sakit, pasien selalu memusyawarahkan dengan keluarga bila ada masalah, termasuk dengan penyakit yang
dialami ini. Pasien selalu berusaha meminta kepada yang Maha Kuasa masalah penyakit yang dialaminya agar segera membaik.
Keluarganya sering memberikan support, motivasi, dan selalu menyemangati pasiennya agar pasien tidak terlalu stress dan tidak terlalu
membebani hidupnya. Selain itu, keluarga pasien pun selalu menemani pasien secara bergantian ketika sedang dirawat di rumah sakit
sehingga pasien tidak merasa sendirian.
11. Pola Nilai dan Kepercayaan
Sebelum sakit pasien masih menjalankan ibadah rutin sebagai seorang muslim namun selama sakit pasien tidak menjalankan sholat tetapi
terus berdoa untuk kesembuhan penyakitnya ini.dan keluarganya juga membantu untuk berdoa dan ibadah yang rutin.

E. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 5 Oktober 2020
1. Keadaan Umum : lemah
a. Status Gizi :
TB : 155 cm
BB : 60 kg
b. Tanda – tanda vital :
TD : 213/117 mmHg
N : 123 x/mnt
RR : 33 x/mnt
S : 36,1 oC
SpO2 : 94 %
2. Pemeriksaan setiap sistem tubuh
a. Sistem saraf
1) Kesadaran : composmentis
GCS 15 (E :4 , V : 5, M : 6)
2) Tidak terlihat tremor dan kejang pada klien
b. Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : tidak ada pembesaran jantung, tidak sianosis
Palpasi :ictus cordis teraba di ICS 5, nadi 123 x,mnt, TD 213/117 mmHg, CRT< 2 detik
Perkusi : redup
Auskultasi : S1>S2, tidak terdengar bunyi gallop dan murmur
c. Sistem Penginderaan
1) Sistem Penglihatan
Bentuk mata simetris, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis, reflek cahaya +/+, pupil isokor.
2) Sistem Pendengaran
Bentuk telinga normal, bersih, tidak ada serumen, pasien tidak mengalami gangguan pendengaran
3) Pengecapan dan penciuman
Pasien dapat membedakan rasa manis, pahit, asam. Pasien dapat membedakan bau minyak kayu putih dan alkohol. Pasien tidak
mengalami gangguan pengecapan dan penciuman.
4) Perabaan
Rangsang nyeri (+)
d. Sistem Pernapasan
1) Inspeksi : nafas spontan, tidak ada sumbatan jalan nafas, hidung simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat
pengeluaran sekret pada hidung, dada simetris, terlihat tarikan otot nafas tambahan, pernafasan cepat dan dangkal, tidak dapat
retraksi dinding dada pergerakan dada cepat dan teratur. Terpasang oksigen NRM 12 liter
2) Palpasi :  Tidak terdapat nyeri tekan pada hidung, tidak terdapat nyeri tekan pada dinding dada
3) Perkusi : sonor pada permukaan paru
4) Auskultasi : Bunyi napas ronchi pada kedua lapang paru
e. Sistem Endokrin : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
f. Sistem Pencernaan
1) Mulut dan Kerongkongan : Bibir simetris, warna merah kehitaman, bibir tampak lembab
2) Abdomen : peristaltic usus 16x/menit
g. Sistem Muskuloskeletal
1) Ekstremitas atas
Rom : tidak ada edema, tidak tampak kelemahan pada pergerakan ekstremitas atas.
2) Ekstremitas bawah
Rom : kedua ekstremitas bawah edema, pitting edema derajat 1(kedalamam 2 mm, waktu kembali 3 detik) , pada pergerakan
ekstremitas bawah tidak terlihat adanya kelemahan.
3) Kekuatan otot
5 5

5 5
h. Sistem Perkemihan
Ginjal tidak teraba membesar,tidak ada nyeri tekan dan tidak ada nyeri saat perkusi. Pasien terpasang kateter. Urin out put 0,5
cc/kgBB/jam
i. Sistem Integumen
Turgor kulit normal elastis, pertumbuhan bulu merata..

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 4 Oktober 2020
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap :
Hemoglobin 7,3 g/dL 11.7 – 15.5
Lekosit 26,89 10^3/uL 3.6 – 11
Trombosit 359 10^3/dL 150 – 440
Hematokrit 22,3 % 35 – 47
Eritrosit 2,43 10^6/uL 3.8 – 5.2
MCV 91,8 fL 80 – 100
MCH 30,0 pg 26 – 34
MCHC 32,7 g/L 32 – 36
Hitung Jenis (diff)
Neutrofil 61 % 28-78
Limfosit 33 % 25 – 40
Monosit 4 % 2–8
KIMIA KLINIK
Ureum 161 mg/dL < 42
Creatinin 12,21 mg/dl 0,50 – 1,10
Asam urat 10,9 mg/dl 2,6-6,0
SGOT 144 U/L 0-31
SGPT 78 U/L 0-34
ELEKTROLIT
Natrium 145 mmol/L 135 – 145
Kalium 5,40 mmol/L 3.5 – 5.2
Chlorida 117,7 mmol/L 98 – 108
Calsium 0,75 mmol/L 1,1-1,4
Tca 1,46 mmol/L 2,2-2,9
DIABETES
Gula darah sewaktu 333 mg/dl 80-144

EKG TANGGAL 4 Oktober 2020 : synus takikardi

G. PROGRAM TERAPI
Infus : Nacl 8 tpm
Syringe pump : I. Furosemide 10 mg/jam
II. Cedocard 2 mg/jam
Injeksi : ceftriaxone 2 gr/24 jam
Novorapid 8-8-8 bila GDS > 200 mg/dl
Per oral : digoxin 0,25 mg/ 12 jam
Kolkatriol 1 tab/24 jam
Asam folat 1 tab/24 jam
Ketocid 2 tab/8jam

DAFTAR MASALAH
No Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan
1. 5/10/2020 DS : Hiperventilasi Pola nafas tidak efektif
08.00 WIB Pasien mengatakan sesak nafas
DO :
- sesak nafas
- terlihat penarikan otot pernafasan tambahan
-nafas cepat dan dangkal
- Bunyi nafas ronchi kedua lapang paru
- RR 33 x/mnt
- SpO2 94 %
- Hasil lab :
Hb 7,3 g/Dl
2. 5/10/2020 DS : Mekanisme pengaturan Kelebihan volume cairan
08.00 WIB Pasien mengatakan kedua kaki bengkak ginjal yang melemah
DO :
- Edema ekstremitas bawah
- Pitting edema derajat 1, dalam 1 mm dan waktu kembali 3
detik
- Balance cairan + 812
- Hasil lab:
Hct 22,3 %
Ureum 161 mg/dl
Creatinin 12,21 mg/dl
Natrium 145 mmol/L
Kalium 5,40 mmol/L
Chlorida 117,7mmol/L
Calsium 0,75mmol/L
Tca 1,46mmol/L
- Urin output 0,5 cc/kgBB/jam

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan ginjal yang melemah
INTERVENSI KEPERAWATAN
Tgl/ N Dx. Kep NOC NIC TTD
Jam o
5/10/2020 1 Pola nafas tidak - Respiratory status : Ventilation Airway Management Siti
- Respiratory status : Airway patency - Posisikan pasien untuk memaksimalkan
08.00 efektif berhubungan
- Vital sign Status ventilasi
dengan hiperventilasi Teratasi setelah dilakukan tindakan - Identifikasi pasien perlunya pemasangan
keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan : alat jalan nafas buatan
Kriteria Hasil : -  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
- tidak ada sianosis dan dyspneu mampu tambahan
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed - Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
lips Lembab
- Menunjukkan jalan nafas yang paten - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, keseimbangan.
frekuensi pernafasan dalam rentang - Monitor respirasi dan status O2
normal, tidak ada suara nafas abnormal) - Berikan terapi oksigen
- Tanda Tanda vital dalam rentang normal - Berikan latihan pernafasan berdasar EBNP
(tekanan darah, nadi, pernafasan) Diafragmatic breathing exercise
- Pasien mampu menerapkan diafragmatic - Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
breathing exercise

5/10/2020 2 Kelebihan volume   Electrolit and acid base balance NIC : Siti
  Fluid balance Fluid management and monitoring
08.00 cairan berhubungan
  Hydration  Pertahankan catatan intake dan output
dengan mekanisme Teratasi setelah dilakukan tindakan yang akurat
keperawatan selama 3 x 24 jam, dengan :   Pasang urin kateter jika diperlukan
pengaturan ginjal
Kriteria Hasil:   Monitor hasil lAb yang sesuai dengan
yang melemah   Terbebas dari edema retensi cairan (BUN , Hct , osmolalitas
  Bunyi nafas bersih, tidak ada urin , elektrolit )
dyspneu/ortopneu   Monitor status hemodinamik termasuk,
  Memelihara tekanan vena sentral, MAP
tekanan kapiler paru, output jantung dan   Monitor vital sign
vital sign dalam batas normal   Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan
  Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau   Kaji lokasi dan luas edema
kebingungan   Monitor status nutrisi
  Menjelaskan indikator kelebihan cairan   Berikan diuretik sesuai interuksi
  Batasi masukan cairan pada keadaan
hiponatrermi dilusi dengan serum Na <
130 mEq/l
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Kode
Tgl/Jam Tindakan Keperawtan TTD
Dx. Kep Respon
5/10/2020 1 Monitor TTV S :pasien mengatakan masih sesak nafas Siti
08.15 O : TD = 214/110 mmHg
N = 106 x/menit
RR= 33 x/menit
SpO2= 94%
5/10/2020 1 Melakukan auskultasi bunyi nafas S :Pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.30 O: terdengar suara ronchi
5/10/2020 1 Memberikan O2 NRM 10 lpm S ;pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.30 O: NRM terpasang
5/10/2020 1 Memantau frekuensi pernafasan S : pasien mengatakan sesak nafas Siti
08.45 O : RR = 33 x/menit. SpO2 94%
5/10/2020 1 Memberikan posisi fowler pada klien S :- Siti
09.00 O :nafas terlihat agak longgar terlihat dari
pergerakan dada
5/10/2020 1 Mengajari teknik diafragmatic breathing exercise S : pasien mengatakan bisa mempraktekkan teknik Siti
10.00 diafragmatic breathing exersice
O : pasien bisa mempraktekkan teknik
diafragmatic breathing exercise
5/10/2020 1 Memonitor status pernafasan S : Pasien mengatakan setelah latihan pernafasan
10.30 nafas lebih longgar
0: RR 30 x/mnt.. SpO2 97 %
5/10/2020 1 Mengatur posisi nyaman untuk pasien S : pasien mengatakan lebih nyaman dengan posisi Siti
11.00 setengah duduk
O : pasien tampak lebih rileks
5/10/2020 1,2 Memberikan ceftriaxone 2 gr injeksi, furosemide 10 S : - Siti
13.00 mg/jam syringe pump, cedocard 2 mg/jam, O : obat masuk, pasien tampak lebih tenang, tidak
kolkatriol 1 tab, asam folat 1 tab, ketocid 2 tab ada tanda alergi obat
5/10/2020 2 Monitor tanda-tanda kelebihan volume S : - Siti
13.15 cairan/edema O : edema ekstremitas bawah, pitting edema
derajat 1(kedalamam 1 mm,waktu kembali 3
detik)
5/10/2020 2 Menghitung balance cairan S : pasien mengatakan minum 1 gelas siti
13.30 O : balance cairan
Input : infus 384 cc
Minum 400 cc
Cedocard S.P 16 cc
Furosemide S.P 8 cc
Ceftriaxone 100 cc
Total input 908 cc
Output: urine 500 cc
IWL 300
Total output 800
Balance cairan + 108

6/10/2020 1 Melakukan auskultasi bunyi nafas S: Pasien mengatakan sesak berkurang Siti
15.00 O: Suara nafas ronchi berkurang

6/10/2020 1 Memberikan O2 canule nasal 5 lpm S: Siti


16.00 O: nasal canule terpasang
6/10/2020 1 Memantau frekuensi pernafasan S:- Siti
17.00 O : RR = 25 x/menit, SpO2 96 %
6/10/2020 1 Memberikan posisi Fowler pada klien S:- Siti
18.00 O : nafas terlihat agak longgar terlihat dari
pergerakan dada
6/10/2020 1 Memberikan teknik latihan pernafasan diafragmatic S : Pasien mengatakan dapat mempraktekkan Siti
19.15 breathing exercise teknik latihan nafas
O :Pasien dapat mempraktekkan teknik
diafragmatic breathing exercise
6/10/2020 1,2 Memonitor TTV S : Pasien mengatakan sesak berkurang Siti
19.45 O :TD 220/125 mmHg, MAP 179, HR 103 x/mnt,
RR 24 x/mnt, suhu 360C, SpO2 97 %
6/10/2020 1,2 Memberikan obat per oral ketocid 2 tab, digoxin S :
19.45 0,25 mg O : obat masuk, pasien tampak lebih tenang, tidak
ada tanda alergi obat
6/10/2020 2 Memonitor tanda kelebihan cairan/edema S : Pasien mengatakan kedua kaki bengkak
20.00 O : Kedua kaki edema, pitting edema derajat 1
(kedalaman 1 mm, waktu kembali 3 detik)

6/10/2020 1,2 Menyiapkan pemeriksaan lab ulang darah rutin, S:-


20.15 O : hasil lab hb 7,0 g/dl, lekosit 13,89 10 3/ul, Hct
20,9 %

6/10/2020 2 Menghitung balance cairan S :pasien mengatakan minum 2 cc


20.30 O:
balance cairan
Input : infus 336 cc
Minum 400 cc
Nicardipine S.P 49 cc
Furosemide S.P 8 cc
Total input 793 cc
Output: urine 400 cc
IWL 225
Total output 625
Balance cairan + 168

7/10/2020 1 Memonitor kondisi umum S ; pasien mengatakan sesak berkurang


07.30 O: ku pasien CM, kooperatif , sesak berkurang
7/10/2020 2 Mengganti cairan infus dan memberikan obat per S : -
09.00 oral digoxin 0,25 tab, asam folat 1 tab O : obat masuk pasien tidak alergi obat
7/10/2020 1 Memonitor pernafasan S:Pasien mengatakan sesak berkurang
10.00 O: Sesak berkurang, RR 19 x/menit, Sp02 97%,
suara nafas vesikuler
7/10/2020 1 Memberikan posisi fowler S:-
10.051 O : Pasien dalam posisi fowler
7/10/2020 1 Membimbing latihan pernafasan S : pasien mengatakan nafas lebih longgar
10.15 O : pasien tampak lebih rilek
Diafragmatic breathing exercise

7/10/2020 1 Monitoring pernafasan S : pasien mengatakan sesak berkurang


10.30 O : sesak berkurang, RR 17 x/mnt, SpO2 98%,
pasien tampak rileks, tidak ada pergerakan otot
bantu nafas, pergerakan dada teratur
7/10/2020 1,2 Memberikan obat per oral ketocid 2 tab S:
13.00 O : Obat masuk pasien tidak alergi
7/10/2020 1,2 Memonitot TTV S: Pasien mengatakan sesak berkurang
13.15 O: TD 183/91 mmHg..
HR 115 x/mnt
RR 17 x/mnt
SpO2 98%
7/10/2020 2 Memonitor tanda-tanda kelebihan cairan S: Pasien mengatakan bengkak kaki berkurang
13.20 O: edema ekstremitas bawah berkurang
kedalaman sekitar 0,5 mm
7/10/2020 2 Menghitun balance cairan S:Pasien minum 2 gelas
13.30 O:urine output 1,25 cc/kgBB/jam
balance cairan
Input : infus 384 cc
Minum 400 cc
Nicardipine S.P 49 cc
Furosemide S.P 4 cc
Ceftriaxone 100 cc
Total input 937 cc
Output: urine 600 cc
IWL 300
Total output 900
Balance cairan + 37
EVALUASI
Tgl/Jam Kode Dx Kep Evaluasi TTD
7/10/2020 1 S : Pasien mengatakan sesak berkurang Siti
14.00 WIB O : Klien terlihat rileks, tidak nambah penggunaan otot dada tambahan dalam
pernafasan
Pergerakan dada teratur
Suara nafas vesikuler
Hb 7,0 g/dl, RR : 17x/menit, SpO2 98 %
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
 Pertahankan latihan pernafasan: diafragmatic breathing exercise
 Pertahankan pemberian O2 yang adekuat
 Monitor perubahan pernafasan
 Melanjutkan terapi dokter/kolaborasi dokter dalam pemberian tranfusi darah
7/10/2020 2 S : pasien mengatakan bengkak dikaki berkurang Siti
14.00 WIB O : edema kedua ekstremitas berkurang, balance cairan +37, Hct 20,9 %, urine
output 1,25 cc/kgBB/jam
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
 Monitor balance cairan
 Melanjutkan terapi dokter/Kolaborasi dalam pemberian obat antideuretik
BAB IV

PEMBAHASAN

A. ANALISA KASUS

1. Problem

Ny.R dirawat di ruang ICU RSUD RSUD DR R Soeprapto Cepu

dengan diagnosa medis chronic kidney disease (CKD). Pasien

mengeluhkan sesak nafas.

2. Intervention

Intervensi yang kami lakukan pada Ny.R yang mengalami gangguan

oksigenasi dengan penurunan saturasi oksigen yaitu dengan menerapakan

tindakan inovatif evidence base nursing practise diaphragmatic breathing

exercise.. Berdasarkan intervensi yang telah kami lakukan selama 3 hari

didapatkan saturasi oksigen (SpO2) pada pemberian diaphragmatic

breathing exercise dengan oksigen melalui NRM selama 15 menit dihari

pertama menunjukkan adanya peningkatan 3 digit angka pada Sp02. Di

hari kedua pemberian diaphragmatic breathing exercise dengan oksigen

melalui nasal canule selama 15 menit didapatkan peningkatan 1 digit

angka pada SpO2. Di hari ketiga pemberian diaphragmatic breathing

exercise dengan oksigen melalui nasal canule selama 15 menit didapatkan

peningkatan 1 digit angka pada SpO2

Pada dasarnyan sebelum inspirasi dimulai otot pernapasan berada

dalam keadaan lemas, tidak ada udara yang mengalir, dan tekanan intra
alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama adalah otot

diafragma, diafragma dalam keadaan melemas berbentuk kubah yang

menonjol keatas ke dalam rongga thoraks. Ketika berkontraksi, diafragma

turun dan memperbesar volume rongga thoraks dengan meningkatkan

ukuran vertical (atas ke bawah) (Sherwood, 2013, hlm.506-507) . Sewaktu

inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754 mm Hg akibat ekspansi

thoraks. Peningkatan gradient tekanan transmural yang terjadi sewaktu

inspirasi memastikan bahwa paru teregang untuk mengisi rongga thoraks

yang mengembang (Sherwood, 2013, hlm.507) Dengan pernapasan

diafragma paru menjadi mengambang sempurna sehingga oksigen akan

lebih banyak masuk dan dapat menembus dinding sel darah merah. Sel

darah merah dibawa oleh hemoglobin menuju perifer mengandung

oksigen yang banyak sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen

(Potter & Perry, 2010, hlm. 200).

3. Comparison

Intervensi yang dilakukan pada Ny.R adalah mengajarkan adalah

diaphragmatic breathing exercise. Pada masalah Ny.R tidak terdapat

intervensi yang dibandingkan maupun pasien yang dibandingkan.

4. Outcome

Hasil yang didapatkan dari intervensi yang telah dilakukan selama

3 hari didapatkan hasil bahwa Ny.R mengatakan sesak berkurang dan

nafas lebih longgar. Dari hasil pengukuran didapatkan hasil penurunan

frekuensi pernafasan ( RR ) dan peningkatan saturasi oksigen ( Spo2 ).


5. Times

Intervensi keperawatan yang dilakukan Ny.R adalah

diaphragmatic breathing exercise. Teknik ini dilakukan selama 15 menit

di setiap latihan, dilakukan dua kali sehari selama 3 hari.

B. FAKTOR PENDUKUNG

1. Pasien dan keluarga kooperatif selama pelaksanaan intervensi keperawatan

diaphragmatic breathing exercise.

2. Tersedianya alat ukur saturasi oksigen: oxymetri portable atau betside

monitor disetiap ruang rawat RSUD DR R Soeprapto Cepu

C. FAKTOR PENGHAMBAT

Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran saturasi oksigen yaitu

menggunakan oxymetri portable atau betside monitor. Kendalanya alat

tersebut terkadang mengalami gangguan dalam pencarian sinyal saturasi

oksigen.

D. EVALUASI KEGIATAN

1. Pelaksanaan diaphragmatic breathing exercise dapat dilanjutkan secara

rutin dirumah sehingga perlunya diberikan pendidikan kesehatan tentang

diaphragmatic breathing exercise.

2. Alat ukur saturasi oksigen perlu dilakukan kalibrasi secara rutin, sehingga

didapatkan hasil yang akurat.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan terdapat beberapa kesimpulan

yang dapat diambil sebagai berikut:

1. Masalah utama keperawatan yang diangkat pada pasien NY.R yaitu pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Salah satu intervensi yang dilakukan dalam menangani masalah
keperawatan yang diambil adalah dilakukannya tindakan terapi
diaphragmatic breathing exercise
3. Implementasi keperawatan dilakukan selama 3 hari
4. Pada hasil Evaluasi didapatkan hasil masalah pada diagnosa 1 telah
teratasi sebagian
5. Hasil Evaluasi implementasi berdasarkan EBP yang dilakukan pada pasien

Ny.R didapatkan hasil keluhan sesak nafas pasien berkurang, terdapat

peningkatan saturasi oksigen (SpO2) dan penurunan frekuensi pernafasan

(RR)

B. Saran

1. Untuk Institusi Pelayanan Keperawatan

Diaphragmatic breathing exercise perlu dilakukan secara


terprogram di setiap institusi pelayanan keperawatan baik oleh perawat
maupun bekerja sama dengan keluarga setelah terlebih dahulu keluarga
diajarkan tentang latihan diaphragmatic breathing exercise. Selain itu di
rumah sakit perlu dibuat standar operasional prosedur (SOP) tentang
pelaksanaan diaphragmatic breathing exercise.
2. Untuk Institusi Pendidikan Keperawatan

Teknik diaphragmatic breathing exercise perlu dimasukan kedalam

kurikulum pendidikan keperawatan sebagai bagian dari topik

penatalaksanaan non farmakologi bagi pasien gangguan oksigenasi, dan

diberikan kepada mahasiswa mencakup teori dan praktek di laboratorium

keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M. & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen

Klinis untuk Hasil yang Diharapkan 8th ed., Elsevier Singapuore.

Dwi Mayuni, dkk. 2015. Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise Terhadap

Kapasitas Vital Paru Pada Pasien Asma Di Wilayah Kerja Puskesmas III

Denpasar Utara. Community of Publishing in Nursing Vol 3 No 3. Jurnal

edisi September-Desember 2015

Lee, H.-Y., Cheon, S.-H., & Yong, M.-S. (2017). Effect of diaphragm breathing

exercise applied on the basis of overload principle. The Journal of Physical

Niko Qorisetyartha, dkk. 2017. Efektivitas Posisi Semi Fowler Dengan Pursed

Lip Breathing Dan Semi Fowler Dengan Diaphragma Breathingterhadap

Sao2 Pasien Tb Paru Di RSP Dr. Ariowirawan Salatiga. Jurnal Ilmu

Keperawatan Dan Kebidanan [hal :1-14]

Nurachmah, Elly & Sudarsono, Ratna. (2008). Buku Saku Prosedur Keperawatan

Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Potter & Perry,(2010). Fundamental Keperawatan edisi 7. Jakarta: Salemba

Medika

Seo, K., Park, S. H., & Park, K. (2015). Effects of diaphragm respiration exercise

on pulmonary function of male smokers in their twenties. Journal Physical

Therapy Science, 27(No. 7), 2313–2315.

Warsono, dkk. 2016. Peran Latihan Pernafasan Terhadap Nilai Kapasitas Vital

Paru Pada Pasien Asma. Jurnal Care Vol 4, No 3 [hal : 132-138]


Yadav, S. G., Sule, K., Palekar, T. J., & Yadav, S. G. (2017). Effect of Ice and

Airflow Stimulation Versus Controlled Breathing Exercise to Reduce

Dyspnea in Patients With Obstructive Lung Disease. International Journal

of Scientific Research And Education, 5(5), 6484–6490.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18535/ijsre/v5i05.20
LAMPIRAN :

LEMBAR OBSERVASI
PENERAPAN DIAPHRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP
SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN GANGGUAN OKSIGENASI : CKD

Kode Responden : R
Umur : 53 Tahun

NO HARI/TGL INTERVENSI SpO2 SPo2


LUAR/TAMBAHAN SEBELUM SESUDAH
1. SENIN, Pemakaian NRM
5/10/2020 94 % 97 %

2 SELASA, Pemakaian nasal canule


6/10/2020 96 % 97 %

3 RABU, Pemakaian nasal canule 97 % 98%


7/10/2020

Cepu, 7 Oktober 2020


Peneliti,

( Siti Solichah)

Anda mungkin juga menyukai